Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi

2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang mengatakan bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana...

9 downloads 322 Views 2MB Size
Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ________________________________________________________________________ Tri Andrisman I. Pendahuluan Penegakan hukum di Indonesia selalu menjadi objek yang menarik untuk dikaji baik pada masa Orde Lama, orde baru maupun orde yang sekarang ini sedang berjalan yang biasa disebut dengan orde reformasi. Khusus dalam penegakan hokum terhadap tindak pidana korupsi terdapat berbagai lembaga yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tersebut. Lembaga-lemabaga tersebut diantaranya lembaga kepolisian, kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut KPK). Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi sangat berbeda dengan tindak pidana yang lain, diantaranya karena banyaknya lembaga yang berwenang untuk melakukan proses peradilan terhadap tindak pidana korupsi sebagaimana telah di sebutkan dalam alenia pertama. Kondisi demikian merupakan konsekuensi logis dari predikat yang di letakkan pada tindak pidana tersebut sebagai extra ordinary crime (kejahatan luar biasa). Sebagai tindak pidana yang dikategorikan sebagai extra ordinary crime tindak pidana korupsi mempunyai daya hancur yang luar biasa dan merusak terhadap sendi-sendi kehidupan suatu Negara dan bangsa. Dampak dari tindak pidana korupsi dapat dilihat dari terjadinya berbagai bencana alam dan kerusakan lingkungan seperti banjir, bahkan Nyoman Serikat Putra Jaya mengatakan bahwa akibat negatif dari adanya tindak pidana korupsi sangat merusak tatanan kehidupan bangsa, bahkan korupsi merupakan perampasan hak ekonomi dan hak sosial masyarakat Indonesia.1 Aktivitas para penegak hukum khususnya penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi tidak selalu sesuai dengan harapan. Konfigurasi politik suatu Negara akan mempengaruhi aktifitas penegak hukum dalam melakukan penegakan hukum. Hal ini ini disebabkan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi selalu melibatkan penyelenggara negara atau pejabat Negara. Hal ini berbeda apabila para pihaknya adalah orang biasa dalam hal ini penegak hukum lebih bebas untuk mengekpresikan kewenangannya dalam menegakkan keadilan dan hukum. Dalam hal salah satu pihaknya Negara atau pejabat Negara penegak hukum akan ekstra hati-hati dalam menggunakan kewenangannya sehingga akan timbul kesan lambat, tebang pilih dan sebagainya. Dalam kondisi demikian asas Equality Before the Law akan dibuktikan kebohongannya, dan hanya akan dipercaya sebagai sebuah mitos belaka. Berkaitan dengan hal ini Romli Atmasasmita menyatakan:

1

Nyoman Sarekat Putra Jaya. 2008. Beberapa Pemikiran ke arah Pengembangan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti. Hlm. 69.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Dampak negatif dari keadaan di atas adalah muncul fenomena ambivalensi sikap dan perilaku pejabat pemerintahan dan bahkan penegak hukum dalam menjalankan kewajibannya menaati hukum dan menegakan hukum. Berbagai kasus korupsi yang menyangkut pejabat tinggi dan mereka yang dekat dengan kekuasaan ditindak lanjuti secara selektif dan menampakkan diskriminasi secara terbuka, resistensi terhadap agenda pemberantasan korupsi mulai tumbuh seperti jamur di musim hujan, mulai dari lontaran keresahan pejabat daerah dan calon pemimpin proyek sampai kepada gagasan untuk membubarkan Komisi Pemberantasan Korupsi dan mengurangi peranan lembaga Negara yang ditugasi melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintah.2 Korupsi merupakan salah satu tindak pidana yang tidak dapat dilepaskan dari masalah Negara, pejabat Negara atapun orang-orang yang mempunyai kedudukan terhormat di dalam masyarakat. Dalam hal ini Harkristuti Harkrisnowo menyatakan: Baik korupsi maupun tindak pidana biasa, kedua golongan kasus tersebut samasama merupakan tindak pidana terhadap harta benda. Perbedaannya, setidaknya dapat dilihat dari dua aspek yakni pelaku dan korban. Pelaku korupsi terang bukan orang sembarangan karena mereka mempunyai akses untuk melakukan korupsi tersebut, “…dengan menyalah gunakan kewenangan, kesempatankesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatannya…”, Sedangkan pelaku tindak pidana jalanan umumnya adalah anggota masyarakat dari strata bawah yang tidak mempuyai akses kemana-mana, juga tidak memilki tingkat pengetahuan dan pendidikan yang tinggi. Korban korupsi memang tidak kasat mata dan bukan individu, tetapi Negara, justru karena invisibility inilah maka public kebanyakan tidak merasakan bahwa korupsi merupakan tindak pidana yang membahayakan warga (setidaknya secara langsung). Lain halnya dengan tindak pidana jalanan jauh lebih tinggi dibanding dengan tindak pidana korupsi, demikian persepsi masyarakat yang sulit untuk diubah karena kasat matanya tindak pidana jalanan.3 Pembicaraan penegakan hukum khususnya penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi ini akan semakin menarik lagi ketika di kaitkan dengan reformasi. Reformasi merupakan sebuah gerakan yang dipelopori mahasiswa berhasil menumbangkan kekuasaan rezim Suharto yang telah berkuasa selama 32 tahun. Tuntutan gerakan reformasi telah di akomodasi oleh Lembaga tertinggi Negara waktu itu yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Beberapa tuntutan tersebut adalah: a) Amandemen UUD 1945; Penghapusan doktrin dwi fungsi ABRI; b) Penegakan supremasi hukum penghormatan hak asasi manusia (HAM) dan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN); c) Desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah (otonomi); d) Mewujudkan kebebasan pers; dan 2

Atmasasmita, Romli. 2008. Arah Pembangunan Hukum di Indonesia, dalam Komisi Yudisial dan Keadilan Sosial. Komisi Yudisial. Hlm. 116 3 Harkrisnowo, Harkristuti. 2009. Korupsi, Konspirasi dan Keadilan di Indonesia, dalam jurnal kajian putusan pengadilan DICTUM, L e I P 1. Hlm. 67.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

e) Mewujudkan kehidupan demokrasi. 4 Masalah penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme merupakan salah satu agenda yang harus di realisasikan oleh pemegang kekuasaan pada era reformasi ini. Hal ini menunjukkan permasalahan penegakan hukum maupun pemberantasan korupsi merupakan hal yang sangat menggelisahkan kehidupan bangsa dan Negara pada masa rezim Suharto, sehingga muncul sebagai salah satu agenda dari gerakan reformasi disamping agenda-agenda yang lain. Barda Nawawi ketika berbicara tentang fungsionalisasi hukum pidana terhadap tindak pidana ekonomi menyamakan antara pengertian penegakan hukum dengan fungsionalisasi. Beliau mengatakan fungsionalisasi hukum pidana dapat diartikan sebagai upaya untuk membuat hukum pidana dapat terwujud secara konkret. Jadi istilah fungsionalisasi hukum pidana dapat diidentikkan dengan istilah operasionalisasi atau konkretisasi hukum pidana yang pada hakekatnya sama dengan pengertian penegakan hukum pidana.5 Berkaitan dengan sistem peradilan pidana Muladi juga mengungkapkan bahwa sistem penegakan hukum identik dengan sistem peradilan, sebagaimana dikatakan olehnya sebagai berikut: Sistem peradilan peradilan pada hakeketnya identik dengan sistem penegakan hukum, karena proses peradilan pada hakekatnya suatu proses menegakkan hukum, jadi hakekatnya identik dengan “sistem kekuasaan kehakiman” karena “kekuasaan kehakiman” pada dasarnya merupakan “kekuasaan/kewenangan menegakkan hukum”. Apabila difokuskan dalam bidang hukum pidana, dapatlah dikatakan bahwa “sistem Peradilan Pidana” (dikenal dengan istilah SPP atau Criminal Justice System/CJS) pada hakekatnya merupakan “Sistem Peradilan Pidana” yang pada hakekatnya juga identik dengan “Sistem Kekuasaan Kehakiman di bidang Hukum Pidana” (SKK-HP).6 Bertolak dari pengertian yang demikian maka penegakan hukum pidana, seperti proses penegakan hukum pada umumnya, melibatkan minimal tiga faktor yang terkait yaitu faktor perundang-undangan, faktor aparat/badan penegak hukum dan faktor kesadaran hukum. Pembicaraan ketiga faktor ini dapat dikaitkan dengan pembagian tiga komponen sistem hukum, yaitu substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum. Dilihat dalam kerangka sistem peradilan pidana munculnya lembaga KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) di era reformasi ini menimbulkan permasalahan karena akan mengganggu sistem yang telah ada yaitu sistem peradilan pidana terhadap tindak pidana korupsi atau sistem penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi. Berdasarkan uraian di atas dapatlah dirumuskan permasalahan sebagai berikut: (1) Bagaimanakah Kedudukan KPK dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi 4

Sekretariat Jenderal MPR. 2003. Panduan Dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. MPR RI. Jakarta. Hlm. 6 5 Barda Nawawi Arief. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana. Alumni Bandung. Hlm. 157 6 Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang. Hlm. 20.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

dalam sistem peradilan pidana?; dan (2) Bagaimanakah penegakan hukum tindak pidana korupsi oleh KPK dalam era reformasi? II. Pembahasan 1.

Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam Sistem Peradilan Pidana Komisi Pemberantasan Korupsi yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan salah satu struktur hukum yang luar biasa yang dibentuk di era transisi yang sampai saat ini masih eksis. Dalam banyak hal lembaga ini berhasil memberikan shock therapy dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Sifat yang luar biasa ini terlihat dari besarnya tugas dan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang kepada lembaga ini sebagaimana dapat dilihat dalam pasal-pasal di bawah ini : Pasal 6: Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas: a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi; d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan Negara. Pasal 7 Dalam melakukan tugas koordinasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang : a. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, penuntutan tindak pidana korupsi; b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi; c. meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait; d. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan e. Meminta Laporan instansi terkiat mengenai pencegahan tindak pidana korupsi. Berdasarkan pada kutipan di atas tentang tugas dan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang kepada Komisi Pemberantasan Korupsi terlihat bahwa lembaga ini mempunyai kewenangan yang sangat luas di bandingkan dengan instansi

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

penegak hukum yang lain. Oleh karena itu Komisi Pemberantasan Korupsi sering disebut sebagai lembaga yang super body. Komisi Pemberantasan Korupsi menurut Pasal 3 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga Negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independent dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Yang dimaksud kekuasaan manapun adalah kekuatan yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi atau anggota Komisi secara indivudial dari pihak eksekutif, legislative, pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi, atau keadaan dari situasi ataupun dengan alasan apapun. Sedangkan tujuan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Melihat kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi seperti diuraikan di atas terlihat bahwa lembaga ini memiliki independensi yang lebih dibanding dengan kepolisian dan kejaksaan. Padahal lembaga ini kewenangannya mencakup kewenangan yang dimiliki oleh kepolisian dan kejaksaan yaitu berwenang untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam tindak pidana korupsi. Kepolisian dan Kejaksaan relative kurang independen dalam melaksanakan tugasnya karena kedua lembaga ini berada dalam struktur kekuasaan eksekutif, oleh karena itu kedua lembaga ini akan mengalami suatu konflik antara fungsi dan tugas yudisial dengan kepentingan politik, yaitu pada saat melaksanakan fungsi dan tugas penegakan hukum berhadapan dengan adanya perintah dari pihak eksekutif yang bertentangan dengan fungsi dan tugasnya tersebut. Secara teoritis keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi adalah merupakan lembaga yang dibentuk berdasarkan perintah undang-undang (Legislatively entrusted power). Pembentukan Lembaga ini di era transisi pada prinsipnya akibat ketidak percayaan masyarakat terhadap lembaga konvensional yang ada seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini terlihat dalam salah satu konsideran dibentuknya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang mengatakan bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. Oleh karena itu dapat diartikan eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kontek penegakan hukum tindak pidana korupsi bersifat transisi saja dan akan berfungsi sebagai trigger mechanism bagi lembaga konvensional untuk berbenah diri menghadapi tuntutan reformasi. Ketika lembaga konvensional yang ada telah berhasil melakukan pembenahan secara internal dan mulai mendapatkan kepercayaan kembali oleh masyarakat sebaiknya Komisi Pemberantasan Korupsi diberhentikan, namun sebaliknya apabila Lembaga konvensional tersebut tidak mampu memperbaiki kinerjanya dalam pemberantasan korupsi Komisi Pemberantasan Korupsi harus tetap dipertahankan. Lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi apabila dilihat dari sudut desain kelembagaan masuk dalam kerangka “proportional model” yaitu merupakan desain

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

kelembagaan yang bertumpu pada prinsip pemencaran kekuasaan, karena sesuai dengan salah satu konsideran di atas pertimbangan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi adalah karena tidak efektifnya lembaga penegak hukum konvensional yang ada. Pada masa rezim orde baru berkuasa mekanisme kerja lembaga penegak hukum konvensional tersebut tidak lepas dari control eksekutif dan pada masa transisi ini eksistensi lembaga konvensional penegak hukum tersebut mengalami krisis legitimasi.7 Oleh karena itu keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sistem hukum di Indonesia dapat dipandang sebagai bentuk control warga Negara terhadap lembaga kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Keberadaan Lembaga kepolisian, kejaksaan dan pengadilan sebelum adanya Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang untuk menyelesaikan kasus-kasus pidana termasuk tindak pidana korupsi, sehingga dalam kontek sistem peradilan pidana keberadaan tiga lembaga penegak hukum tersebut dapat di pandang sebagai suatu sistem. Dalam hal ini Muladi menyatakan: Selanjutnya akan tampak pula, bahwa Sistem Peradilan Pidana akan melibatkan penegakan hukum pidana, baik hukum pidana substantive, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Disamping itu dapat dilihat pula bentuknya baik yang bersifat prefentif, represif maupun vkuratif. Dengan demikian akan nampak keterkaitan dan saling ketergantungan antar sub-sistem peradilan pidana yaitu lembaga kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Bahkan dapat ditambahkan di sini Lembaga Penasehat Hukum dan Masyarakat.8 Peradilan Pidana adalah suatu proses yang di dalamnya ikut bekerja beberapa lembaga penegak hukum beserta aparaturnya. Kegiatan peradilan pidana adalah kegiatan bertahap dimulai dari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di persidangan dan diakhiri dengan pelaksanaan putusan oleh lembaga pemasyarakatan. Kegiatan berkelanjutan ini merupakan suatu rangkaian kegiatan yang terpadu antara kepolisian, kejaksaan, hakim dan petugas pemasyarakatan, sehingga peradilan pidana merupakan suatu sistem. Dihadapkan pada sistem peradilan pidana yang terdiri dari sub sistem kepolisian, kejaksaan dan pengadilan maka kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi muncul sebagai sistem tersendiri yang terpisah dari sistem peradilan pidana dan mempunyai fungsi yang sama dengan sistem peradilan pidana yang konvensional dalam hal penyelesaian tindak pidana korupsi. Hal ini berarti ada dualisme sistem peradilan pidana dalam proses penyelesaian tindak pidana korupsi. Pertama adalah sistem peradilan pidana yang terdiri dari lembaga Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan, dan yang kedua adalah sistem yang ada dalam tubuh Komisi Pemberantasan Korupsi itu sendiri. Komisi Pemberantasan Korupsi dapat dikatakan sebagai suatu sistem karena di dalam Komisi Pemberantasan Korupsi

7

George Junus Aditjondro. 2002. Korupsi Kepresidenan di Masa Orde Baru, dalam Mencari Uang Rakyat 16 Kajian Korupsi di Indonesia. Buku I. Yayasan Aksara. Yogyakarta. Hlm. 35. 8 Muladi. 1995. Ibid. Hlm. 16.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

terdiri dari fungsi-fungsi yang dimiliki oleh sub sistem peradilan pidana seperti fungsi penyelidikan dan penyidikan, fungsi penuntutan, dan fungsi mengadili. Fungsi mengadili ada pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor) yang keberadaannya didasarkan pada Pasal 53 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. B. Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi oleh KPK Dalam Era Reformasi Penegakan hukum pidana yang menurut Barda Nawawi Arief identik dengan fungsionalisasi hukum pidana dapat diartikan sebagai upaya untuk membuat hukum pidana dapat terwujud secara konkret. Jadi istilah fungsionalisasi hukum pidana dapat diidentikkan dengan istilah operasionalisasi atau konkretisasi hukum pidana yang pada hakekatnya sama dengan pengertian penegakan hukum pidana. 9 Apabila dikaitkan dengan pendapat Lawrence Friedman10 tentang sistem hukum yang terdiri dari subsansi, struktur dan kultur hukum maka penegakan hukum pidana adalah merupakan upaya untuk membuat substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum pidana dapat terwujud secara konkret. Penegakan hukum tindak pidana korupsi dapat diartikan pula sebagai konkritisasi terhadap sistem hukum yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yaitu usaha untuk mewujudkan substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi secara konkret. Substansi hukum yang berkaitan dengan upaya pemberatasan tindak pidana korupsi yang pertama kali muncul sejak reformasi dan dimulainya masa transisi dari kehidupan politik yang otoriter menuju kehidupan politik yang demokratis adalah di keluarkannya Tap MPR. No. IX/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Kemudian, dalam kurun waktu kurang dari setahun yaitu pada bulan November 1999, MPR yang baru mengumumkan agenda reformasi untuk menciptakan aparatur Negara yang professional, efisien, produktif, transparan dan bebas KKN, yang fungsinya adalah untuk melayani masyarakat. Munculnya kedua Tap MPR tersebut menunjukkan adanya semangat rakyat Indonesia untuk memberantas korupsi pada level teratas Negara.11 Perbedaan utama antara kedua Ketetapan MPR tadi adalah bahwa ketetapan bulan November 1999 menyebut nama bekas presiden Republik Indonesia yang kedua. Butir (d) ketetapan itu menyatakan bahwa “Usaha-usaha untuk menghilangkan korupsi, kolusi dan nepotisme mesti dilakukan melalui investigasi terhadap semua orang yang dicurigai melakukan praktek-praktek tersebut, baik itu bekas pejabat atau pejabat yang sekarang, keluarga dan teman-teman mereka, termasuk bekas presiden Soeharto, atau dari sector swasta/konlomerat, dengan tetap berpegang pada prinsip asumsi tak bersalah dan hak asasi manusia. 12

9

Barda Nawawi Arief, 1992. Op.cit. Hlm. 19. Satjipto Rahardjo. tt. Masalah Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman. Jakarta. Hlm. 56. 11 George Junus Aditjondro. 2002. Op.cit. Hlm. 1 12 Ibid. 10

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Tap MPR No. IX/MPR/1998 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Kolusi, Korupsi dan Nepotisme dijadikan landasan hukum pembentukan undang-undang yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi yaitu dalam UndangUndang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini terlihat dalam bagian mengingat kedua undang-undang tersebut menyebutkan salah satunya adalah Tap MPR No. IX/MPR/1998. Produk perundang-undangan lain yang merupakan respon terhadap tuntutan reformasi dalam rangka pemberantasan korupsi adalah : a. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; b. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; c. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002.Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi; d. Disamping itu juga ada TIMTAS Tipikor yang dipimpin oleh JAMPIDSUS waktu itu yaitu Hendarman Supanji yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Korupsi. Pembentukan perundangan-undangan menunjukkan adanya respon positif dari penyelenggara Negara baik eksekutif maupun legislatif untuk mengakomodir semangat masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Kondisi demikian merupakan konsekuensi logis adanya perubahan kehidupan politik yang mengarah pada kehidupan politik yang demokratis pada era reformasi baik itu ketika rezim Habibie, Megawati, Gus Dur maupun SBY yang sedang berkuasa. Melihat pada penjelasan di atas tampak bahwa secara substantive telah ada upaya positif untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, namun demikian apabila dicermati substansi dari beberapa peraturan perundang-undangan yang ada menunjukkan adanya upaya setengah hati dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal ini terlihat dari tidak dicantumkannya ketentuan peralihan dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebelum di rubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Tidak adanya ketentuan peralihan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 menimbulkan berbagai macam interpretasi yuridis. Diantaranya menafsirkan bahwa pelaku tindak pidana yang diadili pada saat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 masih berlaku tapi belum di sidangkan tidak dapat diadili. Kasus nyata mengenai ketidakjelasan antara Undang-undang yang lama menuju undang-undang yang baru tentang pemberantasan tindak pidana korupsi terjadi dalam kasus penuntutan terhadap Hakim Mahkamah Agung yang di dakwa menerima suap/melakukan tindak pidana korupsi, dan dituntut oleh Penuntut Umum berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, tetapi dakwaan itu tidak dapat

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

diterima oleh hakim karena Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 oleh Pasal 44 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sudah dinyatakan tidak berlaku lagi.13 Adapun ketentuan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 31 Tahu 1999 sebagai berikut: Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, maka undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara tahun 1971 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2958), dinyatakan tidk berlaku. Undang-undang yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tidak dapat diterapkan karena dalam hukum pidana berlaku asas retro aktif yang merupakan konsekuensi dari asas legalitas. Dalam Hukum pidana asas ini merupakan asas yang fundamental dan essensial.14 Asas ini di atur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menentukan tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang mendahuluinya.15Asas Legalitas, sebagaimana karakter aslinya, mengandung tujuh aspek yang dapat dibedakan sebagai berikut: a. Tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undangundang; b. Tidak ada penerapan undang-undang pidana berdasarkan analogi; c. tidak dipidana hanya berdasar kebiasaan; d. Tidak ada rumusan delik yang kuran jelas (syarat lex certa); e. Tidak ada kekuatan surut dari ketentuan pidana; f. Tidak ada pidana lain, kecuali yang ditentukan dalam undang-undang; dan g. Penuntutan pidana hanya menurut cara yang ditentukan undang-undang.16 Respon positif dari penyelenggara Negara baik dari eksekutif maupun legislatif terhadap tuntutan reformasi ternyata melahirkan hukum (Undang-Undang) yang tidak mencerminkan keadilan masyarakat dan dalam hal tertentu kebutuhan membangun hukum dan perundang-undangan memang seringkali merupakan “permainan politik” elit.17 Hal ini menimbulkan kesan adanya upaya setengah hati dalam upaya melakukan pemberantasan korupsi, karena para koruptor yang telah berhasil mengeruk uang rakyat yang dilakukan pada masa berlakunya undangundang Nomor 3 Tahun 1971 terlepas dari jerat hukum. Upaya pemberantasan korupsi di era reformasi menampakan adanya rivalitas antara pihak yang mempunyai semangat memberantas korupsi dengan pihak-pihak yang menghendaki status quo. Rivalitas ini terlihat adanya berbagai upaya untuk 13

Tri Andrisman. 2010, Hlm. 51. Sudarto. 1986. Hukum dan Hukum Pidana. alumni. Bandung. Hlm. 140. 15 Andi Hamzah, 2005. Asas-Asas Hukum Pidana. Yasrif Watampone. Jakarta. Hlm. 41. 16 Nyoman Sarekat Putra Jaya. 2008. Beberapa Pemikiran ke arah Pengembangan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti. Hlm. 13 17 Putra, Anom Surya. 2005. Hukum Konstitusi Masa Transisi: Semiotika, Psikoanalisis dan Kritik Idiologi. Nuansa. Jakarta. Hlm. 19 14

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

menghambat upaya pemberantasan Korupsi. Dalam kerangka pikir dalam sub bab di atas telah dijelaskan bahwa korupsi merupakan tindak pidana yang tergolong dalam extraordinary crime maka upaya-upaya yang dilakukan untuk memberantas tindak pidana korupsi harus secara luar biasa pula. Salah satu upayanya yaitu dengan membentuk instrument hukum yang luar biasa (extraordinary legal instrument), sepanjang instrument yang luar biasa tersebut tidak bertentangan dengan atau menyimpang dengan pelbagai standar yang berlaku secara universal.18 Berbagai instrument hukum yang luar biasa telah di keluarkan, diantaranya adanya amanat dari Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Pasal 43 ayat (1) yang memberikan amanat agar dalam waktu 2 (dua) Tahun sejak undang-undang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Struktur Hukum dalam sistem hukum pemberantasan korupsi berupa Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan salah satu instrument hukum yang luar biasa dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Dikatakan luar biasa karena lembaga ini mempunyai kewenangan yang sangat besar dalam upayanya melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Selain itu dalam Pasal 27 Undang-undang tersebutpun ada amanah untuk membentuk tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung dalam hal ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya. Penyelesaian perkara korupsi yang harus didahulukan dibanding perkara-perkara yang lain sebagaimana ditentukan dalam Pasal 25. Adanya prioritas dalam penyelesaian perkara korupsi dibanding dengan perkara lainnya adalah juga instrument hukum yang luar biasa karena menurut Harkristuti Harkrisnowo19 bahwa: a. Kasus korupsi harus didahulukan dalam proses peradilan pidana dibanding dengan kasus-kasus lainnya, dan; b. Kasus korupsi harus didahulukan dari kasus ikutan yang berkenaan dengan korupsi tersebut (misalnya, pencemaran nama baik). Makna yang dikandung dalam ketentuan ini sudah sangat jelas, yakni bahwa: a. Kasus korupsi merupakan kasus yang sangat merugikan Negara dan masyarakat Indonesia, karenanya harus didahulukan; b. Kasus korupsi harus ditempatkan dalam prioritas tertinggi dalam agenda para penegak hukum, dan c. Dituntut keseriusan dari para penegak hukum untuk secara sungguh-sungguh menjalankan tugasnya itu melakukan proses peradilan terhadap korupsi. 20

18

Nyoman Serikat Jaya Putra, 2008, Op.cit, Hlm. 58. Harkristuti Harkrisnowo, 2009, Op.cit, Hlm. 80. 20 Ibid. Hlm. 83. 19

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Menyikapi amanat Pasal 27 Undang-Undang 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pemerintahan Gus Dur telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Peraturan Pemerintah tersebut memberikan kewenangan yang luas kepada penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (5) yang menentukan penyidik berwenang pula untuk meminta keterangan mengenai keuangan tersangka pada bank, meminta bank memblokir rekening tersangka, membuka/memeriksa/menyita surat dan kiriman melalui pos, telekomunikasi, atau alat lain yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi, melakukan penyadapan, mengusulkan pencekalan, dan merekomendasikan kepada atasan tersangka untuk pemberhentian sementara tersangka dari jabatannya. Perluasan kewenangan tersebut juga terlihat dalam Pasal 12 ayat (4) Peraturan Pemerintah tersebut yang menentukan bahwa Ketua Tim Gabungan, dengan persetujuan Jaksa Agung, dapat menetapkan Surat Perintah Penghentian Pemeriksaan Perkara (SP3). Adanya perluasan kewenangan yang diberikan oleh Peraturan Pemerintah tersebut menunjukan bahwa ada political will dari pemerintah untuk merespon realitas yang berkembang dalam masyarakat kaitannya dengan tindak pidana korupsi sebagai kejahatan yang tergolong dalam extra ordinary crime. Oleh karena itu apabila di lihat dari teori hukum responsive dari Nonet dan Selznik,21 maka peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan salah satu bentuk hukum yang bersifat responsif. Responsifitas perundang-undangan yang berkaitan dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dalam realitanya mendapatkan berbagai macam kendala baik dalam substansinya seperti tidak diaturnya aturan peralihan dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang menimbulkan berbagai macam penafsiran. Ketidak tegasan pengaturan aturan peralihan dalam Undang-undang tersebut di manfaatkan oleh pihak yang menghendaki status quo untuk tidak mengadili pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan pada waktu Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 padahal apabila dicermati lebih jauh dalam ilmu hukum khususnya ilmu hukum pidana ada suatu asas yang mengatakan lex specialis derogat legi generale, asas ini mengatakan bahwa aturan yang bersifat khusus menyampingkan ketentuan yang bersifat umum. Asas ini tercantum dalam Pasal 103 KUHP yang menentukan : Ketentuan-ketentuan dalam Bab I ini sampai dengan Bab VIII buku ini, juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain. Berdasarkan ketentuan Pasal 103 KUHP tersebut sebenarnya tidak diaturnya ketentuan peralihan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak akan menimbulkan masalah, karena apabila Undang-undang tersebut sebagai lex spesialis tidak mengatur hendaknya di kembalikan ke KUHP sebagai lex generale-nya. Dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP 21

Satjipto Raharjo, tt: Op.cit. Hlm. 60

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

mengatur dalam hal terjadi perubahan dalam perundang-undangan sesudah tindak pidana terjadi, di pakai undang-undang yang paling menguntungkan/meringankan terdakwa. Berdasarkan ketentuan ini maka tidak ada alasan untuk tidak mengadili pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan ketika Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 masih berlaku. Oleh karena itu upaya mempermasalahkan tidak adanya aturan peralihan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 menunjukkan adanya tarik ulur antara pihak yang dengan tegas berniat memberantas tindak pidana korupsi dengan pihak yang menghendaki status quo di era transisi ini. Konflik yang ada mengenai berbagai macam penafsiran tentang tidak diaturnya aturan peralihan dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi oleh pemerintah diintegrasikan ke dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam salah satu pertimbangan diundangkannya undang-undang tersebut di katakan : Bahwa untuk lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak social dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi, perlu diadakan perubahan atas undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan peralihan sebagai suatu respon adanya permasalahan pro dan kontra yang terjadi dalam masyarakat berkaitan tidak diaturnya ketentuan peralihan dalam undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 telah di integrasikan dalam Pasal VI A Pasal 43 A yang menentukan: (1) Tindak Pidana Korupsi yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diundangkan, di periksa dan di putus berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ketentuan maksimum pidana penjara yang menguntungkan bagi terdakwa diberlakukan ketentuan dalam Pasal 5, Pasal, 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 Undang-undang ini dan Pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; (2) Ketentuan minimum pidana penjara dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 undang-undang ini dan Pasal 13 undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum berlakunya undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; (3) Tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum undang-undang ini diundangkan, diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ketentuan mengenai maksimum pidana penjara bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp. 5000.000,00 (Lima Juta Rupiah) berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 A ayat 2 undang-undang ini.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Di akomodasinya konflik yang terjadi dalam masyarakat berkaitan penafsiran mengenai tidak diaturnya ketentuan peralihan dalam undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, menunjukkan bahwa Undang-Undang tersebut telah menampilkan dirinya sebagai instrumen hukum yang berfungsi mengintegrasikan berbagai kepentingan yang ada dalam masyarakat sebagaimana dikatakan oleh Bredemier22 yang mengatakan fungsi hukum adalah untuk menyelesaikan konflik-konflik yang timbul dalam masyarakat. Kendala terhadap upaya pemerintah dalam merespon tuntutan reformasi, khususnya yang berkaitan dengan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi adalah dengan adanya upaya judicial review terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Permohonan judicial review tersebut oleh Mahkamah Agung dengan keputusannya Nomor : 03 P/HUM/2000 telah dikabulkan seluruhnya, adapun permohonan judicial review yang dimohonkan oleh pemohon judicial review adalah: i. Mengabulkan permohonan para pemohon seluruhnya; ii. Menyatakan P.P. No. 19 Tahun 2000 tidak sah dan tidak berlaku secara umum; iii. Memerintahkan Pemerintah/Presiden untuk mencabut PP No. 19 Tahun 2000 dengan ketentuan apabila dalam waktu 90 hari setelah putusan dikirimkan (disampaikan) ternyata tidak dilaksanakan pencabutan, demi hukum, PP yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum; iv. Menghukum pihak pemerintah untuk membayar biaya perkara.23 Secara filosofis keputusan tersebut melanggar rasa keadilan masyarakat (keadilan substantive) kerena hakim tidak memperhatikan perasaan masyarakat yang berkembang pada masa reformasi ini sebagaimana tergambar dalam tuntutan yang menghendaki adanya pemberantasan kolusi, korupsi dan nepotisme. Mahkamah Agung lebih mengutamakan prinsip rechtsmatigheid dibanding prinsip yang lain yaitu doelmatigheid. Pada dasarnya hukum mengandung di dalam dirinya tujuan yang hendak dicapai, yang diidealkan memberi manfaat (asas kemanfaatan) bagi kehidupan bersama dalam masyarakat. Nilai tujuan atau manfaat ini tidak boleh terganggu atau diabaikan begitu saja hanya karena soal cara dan prosedur yang bersifat tehnis.24 Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dibentuk berdasarkan PP No. 19 Tahun 2000 pada prinsipnya merupakan salah satu bentuk instrumen hukum yang luar biasa (extraordinary legal instrument) yang dibentuk untuk memberantas tindak pidana korupsi. Oleh karena itu keputusan Mahkamah Agung tersebut lebih menampakan dirinya sebagai hukum yang otonom dimana Mahkamah Agung memposisikan dirinya sebagai sebuah lembaga hukum yang terspesialisasi dan relatif otonom.

22

Satjipto Rahardjo.1983. Hukum dan Perubahan Masyarakat. Alumni. Bandung. Hlm. 82.

23

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tertanggal 23 Maret 2001, Varia Peradilan Tahun 2001 Jimly Asshiddiqie, Judicial Review, Kajian atas Putusan Permohonan Hak Uji Materiil terhadap PP No. 19 Tahun 2000 tentang TGTPK. Jurnal Kajian Putusan Pengadfilan.

24

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Kecurigaan adanya upaya menggagalkan semangat memberantas tindak pidana korupsi dengan upaya Judicial review terhadap PP Nomor 19 Tahun 2000 terilihat dari pendapat Jimly Asshiddiqie25 yang menyatakan : Apa sebenarnya yang menyebabkan Indra Sahnun Lubis merasa sangat berkepentingan sehingga mereka mengajukan permohonan keberatan terhadap PP No. 19 Tahun 2000 tersebut ? Atas dasar kepentingan apa sehingga apa sehingga mereka merasa terdorong untuk mengajukan permohonan?. Apakah murni atas dasar kepentingan hukum, atas dasar kepentingan membela dan melindungi warga Negara yang terancam oleh eksistensi Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan PP No. 19 Tahun 2000 tersebut? Jika pilihannya adalah yang terakhir berarti kepentingan hukum yang terlibat di dalamnya berkaitan dengan norma hukum yang nyata-nyata –dengan meminjam istilah dari yang dipergunakan oleh Hans Kelsen dalam pandangannya mengenai ‘stuffenbau-theorie’- bersifat konkret dan individual (concrete and individual norms), bukan norma hukum yang bersifat umum (general norms). Dalam pendapatnya lebih lanjut Jimly Asshiddiqie mengatakan : Dipandang dari latar belakang pengajuan permohonan keberatan atas PP Nomor 19 Tahun 2000 tersebut, kasus ini jelas-jelas menyangkut kepentingan para pemohon yang mewakili kepentingan 2 orang hakim agung yang menjadi tersangka tindak pidana korupsi oleh TGTPK. Sangat boleh jadi, kedua hakim tersebut memang tidak bersalah. Akan tetapi, ditinjau dari segi prosedur objektifnya, kepentingan hukum yang terkait dalam kasus ini menyangkut norma hukum yang bersifat konkret dan individual (concrete and individual norms). Yaitu sebatas kepentingan 2 orang hakim agung yang disangka melakukan tindak pidana korupsi dan tidak secara langsung berkaitan dengan materi PP No. 19 Tahun 2000.26 Berdasarkan pendapat Jimly Asshiddiqie di atas, tampak ada pihak-pihak yang lebih mementingkan kepentingan individu dibanding kepentingan umum yang lebih luas dalam upaya pemberantasan korupsi. Berbagai upaya dilakukan untuk lepas dari jerat hukum meskipun upaya tersebut akan mengakibatkan kepentingan umum yang lebih luas dikorbankan. Pada masa transisi kondisi demikian memang biasa terjadi karena pada masa reformasi posisi pihak yang telah diuntungkan oleh rezim lama (orde baru) masih eksis dalam birokrasi pemerintahan sebaliknya banyak pula pihak yang menghendaki perubahan dan berusaha mengakomodir tuntutan reformasi. Upaya memerangi tindak pidana korupsi tidak pernah mengenal surut berbagai upaya untuk menghambat di hadapi pula dengan upaya yang lebih tegas dalam membentuk instrumen hukum yang luar biasa. Di hapuskannya TGTPK melalui keputusan Mahkamah Agung segera disambut dengan pembentukan Komisi 25 26

Ibid. Hlm. 47. Ibid. Hlm. 49.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang merupakan amanat dari Pasal 43 UU No. 20 Tahun 2001 jo UU No. 31 Tahun 1999 dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diundangkan pada tanggal 27 Desember 2002. Bersamaan itu pula berdasarkan Pasal 53 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuklah Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang berada dilingkungan Peradilan Umum dan untuk sementara Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang wilayah hukumnya meliputi wilayah Negara Republik Indonesia. KPK dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi telah membuat suatu gebrakan dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi dan berhasil membuat para pelaku tindak pidana korupsi jera karena tidak ada kasus Korupsi yang di adili oleh pengadilan tindak pidana korupsi lepas dari jerat hukum. Keberadaan dua lembaga tersebut pun sempat membuat para pejabat Negara merasa takut apabila berhadapan dengan KPK. Upaya yang luar biasa inipun mendapat suatu hambatan kembali dengan di ajukannya upaya judicial review mengenai eksistensi Pengadilan Tipikor yang dibentuk berdasarkan Pasal 53 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Komisi Korupsi. Berdasarkan permohonan judicial review tersebut Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2002 bertentangan dengan UUD 1945, namun tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak putusan ini diucapkan. Berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut maka eksistensi pengadilan tipikor saat ini hanya efektif sampai di bentuknya Pengadilan Tipikor yang harus dibentuk dengan Undang-undang tersendiri yang lepas dari Undangundang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Oleh Mahkamah Konstitusi keputusan tersebut dikatakan sebagai Smooth transition, sebab keputusan sesuai ketentuan Pasal 47 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi keputusan Mahkamah Konstitusi yang dijatuhkan harusnya telah inkracht van gevijsde, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Lebih lanjut dalam Pasal 57 ayat (2) Undang-undang tersebut juga ditentukan : Putusan Mahkamah yang amar putusannya menyatakan bahwa pembentukan undang-undang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat. Namun, amar putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memberi kesempatan paling lambat 3 (tiga) tahun kepada eksistensi pengadilan tipikor hingga terbentuknya pengadilan tipikor yang baru, sehingga bunyi amar keputusan yang dijaruhkan Mahkamah Konstitusi tersebut menyimpangi ketentuan yang terdapat dalam Pasal 47 dan Pasal 57 ayat (2) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Waktu 3 (tiga) tahun sejak dijatuhkannya keputusan Mahkamah Konstitusi pada bulan 19 Desember 2006 berkaitan dengan eksistensi pengadilan tipikor berarti pengadilan tipikor yang ada sekarang ini akan tidak efektif lagi pada yanggal 19 Desember tahun 2009, berarti eksistensi pengadilan tipikor tinggal 5 bulan lagi. Sedangkan anggota DPR hasil Pemilu April 2009 akan di lantik sekitar bulan Oktober, ini berarti hanya ada waktu 2 (dua) bulan untuk membahas RUU Pengadilan Tipikor sebab apabila dibahas oleh anggota DPR hasil pemilu yang baru di prediksi akan mengalami jalan buntu karena para anggota DPR yang baru tersebut belum memahami permasalahan secara mendalam mengenai RUU Tipikor. Kesempatan yang tinggal 2 bulan lagi ini ternyata tidak di kelola dengan baik oleh pemerintah dan DPR karena sampai saat ini belum terlihat rencana pembahasan RUU tipikor. Sudah barang tentu kondisi yang demikian ini akan semakin menghambat upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Dihapuskannya sifat melawan hukum materiil dalam tindak pidana korupsi oleh putusan Mahkamah Konstitusi dapat dipandang sebagai tindakan yang dapat menghambat pemberantasan tindak pidana korupsi karena keputusan demikian akan membawa konsekuensi yuridis bahwa yang dikatakan tindak pidana korupsi haruslah perbuatan yang sesuai dengan rumusan undang-undang saja. Perbuatan-perbuatan lain yang tidak dirumuskan dalam undang-undang tapi dapat merugikan keuangan Negara tidak dapat dijerat dengan undang-undang tindak pidana korupsi. Penghapusan sifat melawan hukum materiil bertentangan dengan arah perkembangan hukum pidana. Arah perkembangan hukum pidana di Indonesia mengarah kepada pengakuan hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum. Hal ini bisa dilihat dalam berbagai seminar Nasional, dalam kebijakan legislative maupun dalam Konsep KUHP. Oleh karena itu penghapusan ajaran sifat melawan hukum materiil dalam tindak pidana korupsi akan menyulitkan penegak hukum untuk menjerat pelaku tindak pidana yang melakukan perbuatan yang tidak masuk dalam rumusan tindak pidana korupsi namun di pandang dari ukuran kepatutan perbuatan tersebut tidak patut atau tidak pantas dilakukan. III. Penutup A. Simpulan Berdasarkan uraian dalam pembahasan di atas dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penegakan hukum dilihat dalam sistem peradilan pidana, Komisi Pemberantasan Korupsi menampakkan dirinya sebagai sistem tersendiri dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi yaitu suatu sistem yang mempunyai kewenangan luar biasa, sehingga ada dualisme sistem peradilan pidana dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi. Eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi bersifat transisi dan dapat difungsikan sebagai pemicu untuk perbaikan kinerja lembaga penegak hukum konvensional seperati kepolisian, kejaksaan dan

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

pengadilan dan sekaligus sebagai kontrol masyarakat terhadap kinerja lembaga kepolisian, kejaksaan dan pengadilan dalam pemberatasan tindak pidana korupsi. 2.

Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi oleh KPK dalam sistem peradilan pidana menunjukkan adanya persaingan antara pihak-pihak yang ingin mempertahankan status quo (keadaan tetap seperti semula) dan pihak-pihak yang menghendaki adanya upaya yang maksimal dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Oleh karena itu penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi terlihat secara setengah hati. Kesimpulan demikian terlihat dari adanya berbagai upaya penghambatan terhadap gerak laju pemberantasan tindak pidana korupsi seperti tidak mencatumkan aturan peralihan dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; adanya upaya judicial review terhadap lembaga-lembaga super body yang mempunyai kewenangan yang luar biasa dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti judicial review terhadap TGTPK dan eksistensi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi; keengganan lembaga legislatif untuk melakukan pembahasan terhadap RUU Tipikor; dan dihapuskannya ajaran sifat melawan hukum materiil dalam tindak pidana korupsi oleh Mahkamah Konstitusi.

B. Saran 1.

Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi perlu diperkuat dan diberikan beberapa hak yang telah dipunyai seperti hak untuk menyadap, menyidik dan menuntut tetap dipertahankan, demikian pula dengan lembaga pengadilan tindak pidana korupsi merupakan lembaga yang khusus terpisah dari pengadilan negeri.

2.

Komisi Pemberantasan Korupsi perlu diberikan kewenangan untuk merekrut penyidik dan penuntut dari warga negara Indonesia yang mempunyai keahlian di bidang hukum.

DAFTAR PUSTAKA Aditjondro, George Junus. 2002. Korupsi Kepresidenan di Masa Orde Baru, dalam MENCURI UANG RAKYAT 16 Kajian Korupsi di Indonesia. Buku I. Yayasan Aksara. Yogyakarta. Arief, Barda Nawawi. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana. Alumni Bandung. Asshiddiqie, Jimly. Judicial Review, Kajian atas Putusan Permohonan Hak Uji Materiil terhadap PP No. 19 Tahun 2000 tentang TGTPK. Jurnal Kajian Putusan Pengadfilan. Atmasasmita, Romli. 2008. Arah Pembangunan Hukum di Indonesia, dalam Komisi Yudisial dan Keadilan Sosial. Komisi Yudisial. Hamzah, 2005. Andi. Asas-Asas Hukum Pidana. Yasrif Watampone. Jakarta. Harkrisnowo, Harkristuti. 2009. Korupsi, Konspirasi dan Keadilan di Indonesia, dalam jurnal kajian putusan pengadilan DICTUM, L e I P 1. Moeljatno, 1987. Asas-Asas Hukum Pidana. Alumni. Bandung. Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Nyoman Sarekat Putra Jaya. 2008. Beberapa Pemikiran ke arah Pengembangan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti. Putra, Anom Surya. 2005. Hukum Konstitusi Masa Transisi: Semiotika, Psikoanalisis dan Kritik Idiologi. Nuansa. Jakarta. Rahardjo, Satjipto. tt. Masalah Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman. Jakarta. ----------------. 1983. Hukum dan Perubahan Masyarakat. Alumni. Bandung. Sekretariat Jenderal MPR. 2003. Panduan Dalam Memasyarakatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. MPR RI. Jakarta. Sudarto. 1986. Hukum dan Hukum Pidana. alumni. Bandung. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan TindakPidana Korupsi. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Kontroversi Putusan Bebas Terhadap Koruptor ________________________________________________________________________ Gunawan Jatmiko A. Pendahuluan Di Indonesia beberapa waktu lalu ramai polemik mengenai di putus bebasnya para terdakwa tindak pidana korupsi oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang berada di daerah. Tidak kurang 15 tersangka korupsi yang telah diputus bebas termasuk di Provinsi Lampung yaitu tersangka korupsi Satono dan Andi Achmad. walaupun dalam putusan Kasasi mereka akhirnya dijatuhi pidana. Hal ini menimbulkan keprihatinan penggiat LSM bahkan Mahfud MD sampai mengusulkan dibubarkannya pengadilan tindak pidana korupsi yang ada di daerah-daerah, karena hanya menimbulkan semrawutnya pemberantasan tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi telah diposisikan sebagai tindak pidana yang luar biasa (extra ordinary crime) dalam masyarakat kita. Keadaan ini bisa di pahami karena dalam kenyataannya tindak pidana ini mempunyai daya hancur yang sangat luar biasa dan masif terhadap sendi-sendi kehidupan negara dan bangsa. Dampak derivative tindak pidana korupsi dapat dilihat dari terjadinya kerusakan lingkungan dan bencana alam seperti banjir, kecelakaan di darat, di laut, maupun udara, bahkan Nyoman Serikat Putrajaya guru besar hukum pidana Undip mengatakan bahwa dampak negative dari adanya tindak pidana korupsi sangat merusak tatanan kehidupan bangsa dan merupakan perampasan terhadap hak ekonomi dan hak social masyarakat Indonesia. Posisi tindak pidana korupsi sebagai extra ordinary crime membawa konsekuensi perlunya di imbangi dengan upaya yang luar biasa (extra ordinary legal instrument) pula dalam memberantasnya. Di Era reformasi ini telah di munculkan berbagai instrument hukum guna mendukung upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, seperti Tap MPR No. IX/MPR/1998 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Kemudian dalam kurun waktu kurang dari satu tahun yaitu pada bulan November 1999, MPR yang baru mengumumkan agenda reformasi untuk menciptakan aparatur Negara yang professional, efisien, produktif, transparan dan bebas KKN, yang fungsinya adalah untuk melayani masyarakat. Munculnya kedua Tap MPR tersebut menunjukkan adanya semangat rakyat Indonesia untuk memberantas korupsi pada level teratas Negara. Kedua Tap MPR tersebut dijadikan landasan hukum pembentukan undangundang yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti Undangundang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi dan Nepotisme, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Produk peraturan perundang-undangan lain yang merupakan respon terhadap tuntutan reformasi dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi adalah Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Undang-Undang No 46 Tahun 2009 Tentang

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2000 Tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, B. Upaya luar biasa versus upaya melemahkan Pemerintah telah menunjukkan iktikad baiknya dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang dapat dilihat dengan dikeluarkannya instrument hukum sebagai landasan pemberatasan tindak pidana korupsi. Namun dalam pelaksanaannya ternyata banyak kendala yang dihadapi sehingga terkesan adanya upaya setengah hati dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Demikian pula dalam perjalanan upaya pemberantasan tidak pidana korupsipun terkesan ada upaya-upaya yang melemahkannya Hal ini dapat dilihat dengan tidak mencantumkannya ketentuan peralihan dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebelum dirubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001. Tidak adanya ketentuan peralihan dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 menimbulkan berbagai macam interpretasi yuridis. Diantaranya menafsirkan bahwa pelaku tindak pidana yang dilakukan pada saat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 masih berlaku tapi belum disidangkan tidak dapat di adili. Kasus nyata mengenai ketidak jelasan transisi atau adanya perubahan antara undang-undang yang lama menuju undang-undang yang baru tentang pemberantasan tindak pidana korupsi terjadi dalam kasus penuntutan terhadap Hakim Mahkamah Agung yang di dakwa menerima suap/melakukan tindak pidana korupsi, dan dituntut oleh Penuntut Umum berdasarkan Undang-undng Nomor 3 Tahun 1971, tetapi dakwaan itu tidak dapat diterima oleh hakim karena Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 oleh Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1999 Pasal 44 sudah dinyatakan tidak berlaku, sedangkan undang-undang yang baru yaitu undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tidak dapat diterapkan dengan alasan tidak boleh berlaku surut (retro aktif). Padahal apabila dicermati lebih jauh dalam hukum pidana dikenal asas lex specialis derogat legi generale. Berdasarkan asas tersebut sebetulnya ketika undang-undang yang baru tidak mengatur pasal peralihan hendaknya dikembalikan kepada ketentuan yang bersifat umum yaitu ketentuan yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 1 ayat (2) KUHP mengatur dalam hal terjadi perubahan dalam perundang-undangan sesudah tindak pidana terjadi, dipakai undang-undang yang paling menguntungkan / meringankan terdakwa. Oleh karena itu sebenarnya tidak ada alasan untuk tidak mengadili pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan ketika UU Nomor 3 Tahun 1971 masih berlaku. Tindakan lain yang dipandang sebagai upaya pelemahan upaya pemberantasan korupsi adalah adanya upaya yudicial review terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 tentang TGTPK yang mengabulkan permohonan pemohon. Keputusan yang mengabulkan permohonan pemohon yudicial review bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. Karena Mahkamah Agung lebih mengutamakan rechtsmatigheid (kepastian hukum) dibandingkan prinsip yang lain yaitu doelmatigheid (tujuan hukum). Padahal hukum didalamnya mengandung tujuan yang hendak dicapai, yang diidealkan memberi manfaat bagi kehidupan bersama dalam masyarakat. Nilai, tujuan atau manfaat tidak boleh terganggu atau diabaikan begitu saja hanya karena soal cara dan prosedur yang bersifat tekhnis.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Pembubaran TGTPK direspon dengan di bentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan Undang-Undang nomor 30 Tahun 2002. KPK merupakan lembaga independent dalam pemberatasan tindak pidana korupsi dan memiliki kewenangan yang luar biasa pula. KPK mempunyai kewenanngan penyidikan, penuntutan bahkan sebelum dibentuk pengadilan tipikor di daerah-daerah, pengadilan Tipikor yang ada di Jakarta dibentuk berdasarkan amanat Pasal 53 Undang –Undang Nomor 30 Tahun 2002. Setelah dilakukan yudicial review terhadap pengadilan tipikor pada waktu itu yang kemudian dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi kemudian diundangkanlah Undang-undang nomor 46 Tahun 2009 tentang pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan undang-undang tersebut dibentuklah pengadilan Tindak Pidana Korupsi di 33 provinsi di Indonesia. Komisi Pemberantasas Korupsi maupun pengadilan Tipikor yang ada di ibu kota baik yang dibentuk berdasarkan Undang-undang KPK maupun Undang-undang No 46 Tahun 2006 telah membuat banyak gerbrakan dengan menyeret dan menghukum para pelaku korupsi baik pejabat Negara (eksekutif , legislative) maupun pengusaha. Namun akhir-akhir ini timbul kesan adanya upaya pelemahan kembali terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi. Ketika Komisi Pemberantasan Korupsi dengan tegas menyeret pelaku-pelaku korupsi yang ada di lembaga legislative ada ancaman dari lembaga legislative untuk melakukan perubahan terhadap undangundang Komisi Pemberantasan Korupsi.. Demikian juga dengan dibentuknya pengadilan tipikor di daerah-daerah ternyata tidak menunjukan adanya upaya yang serius dalam pemberantasan tindak pidana korupsi yang terbukti dengan dibebaskannya para pelaku tindak pidana korupsi oleh pengadilan-pengadilan tipikor di daerah-daerah termasuk di Lampung. 1. Salahkah hakim memutus bebas ? Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang yang telah menjatuhkan putusan bebas kedua terdakwa korupsi bupati Lampung Timur Satono dan mantan bupati Lampung Tengah Andi Achmad telah menuai pro dan kontra. Para ahli hukum telah beradu argumentasi di media masa dalam bentuk pemaparan legal opinion. Terlepas dari etis atau tidaknya perbuatan tersebut, karena adu argumentasi tersebut dilakukan pada saat perkara masih dalam proses peradilan yaitu proses kasasi, sisi lain yang menarik pula untuk di kritisi tanpa masuk pada substansi putusan adalah apakah hakim telah salah menjatuhkan putusan bebas terhadap terdakwa tindak pidana korupsi ? Stigma korupsi sebagai extra ordinary yang kemudian di ikuti dengan extra ordinary legal instrument seharusnya tidak boleh mengurangi independensi hakim dalam melakukan tugas mengadili. Banyaknya pihak yang mencurigai putusan bebas terdakwa korupsi menimbulkan kesan pula bahwa setiap tersangka korupsi adalah koruptor dan harus dipidana. Persepsi yang demikian adalah keliru dan akan menganggu tugas hakim dalam mengadili manakala ternyata penuntut umum tidak dapat membuktikan dakwaannya. Putusan bebas dijatuhkan ketika dakwaan jaksa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Tidak terbuktinya dakwaan tersebut disebabkan karena, pertama, tersangkanya memang benar-benar tidak melakukan suatu tindak pidana, kedua, sebenarnya tersangka melakukan tindak pidana namun pembuktiannya lemah sehingga tidak bisa dibuktikan, ketiga, adanya kesengajaan hakim untuk menjatuhkan putusan bebas.dengan cara memainkan hukum. Apabila lemahnya dakwaan dilakukan dengah

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

sengaja serta putusan bebas itu terjadi karena kesengajaan hakim dengan memainkan hukum maka hal ini patut dicurigai sebagai upaya pelemahan pemberantasan korupsi. Dalam hal putusan bebas terjadi karena lemahnya pembuktian yang terjadi tanpa kesengajaan, kesalahan terjadi pada tahap pemeriksaan di luar pengadilan yaitu tahap penyidikan maupun penuntutan. Penyidik dan penuntut umum tidak dapat mencari alat bukti yang kuat guna mendukung pembuktian sehingga ketika di uji di depan pengadilan dakwaannya lemah. Dalam hal demikian hakim harus menjatuhkan putusan bebas walaupun persepsi yang ada di masyarakat berbeda. Hakim bukanlah alat legitimasi dakwaan dan tuntutan jaksa penuntut umum. Ketika penuntut umum tidak bisa membuktikan hakim harus berani memutus bebas. Oleh karena itu dalam kondisi yang demikian yang dikritisi/di eksaminasi jangan hanya lembaga pengadilan saja melainkan lembaga penuntut umum dan lembaga penyidikan. Kecuali kalau putusan bebas itu karena kesengajaan hakim dengan cara memainkan hukum. Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan, sedangkan Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut di duga sebagai pelaku tindak pidana. Pengertian di muka menunjukkan bahwa tersangkapun dapat juga dikatakan sebagai orang yang belum tentu bersalah karena baru dugaan saja dan pada prinsipnya terdakwa adalah tersangka sehingga terdakwapun juga orang yang belum tentu bersalah Oleh karena itu sesuai asas presumption of innocence tersangka maupun terdakwa wajib diperlakukan layaknya seperti orang yang belum bersalah dengan cara menghormati hak-hak tersangka atau terdakwa yang diberikan oleh undang-undang. Hal ini berarti kalau alat-alat bukti yang di ajukan untuk mendukung pembuktian lemah mengakibatkan dugaan itu salah demikian juga sebaliknya. Tugas hakim adalah memeriksa perkara, mengadili dan menjatuhkan putusan bukan sebagai alat legitimasi dakwaan dan tuntutan jaksa penuntut umum, sehingga hakim tidak harus memenuhi tuntutan jaksa, karena jaksa dan terdakwaa adalah para pihak yang diadili oleh hakim. Hakim berada di tengah-tengah para pihak.dan memeriksa secara objektif dan professional. Seorang tersangka yang dihadapkan ke pengadilan belum tentu bersalah, oleh karena itu KUHAP telah menyediakan tiga bentuk putusan dalam perkara pidana, yaitu pemidanaan, putusan bebas (virjspraak), lepas dari segala tuntutan hukum (onlsag van alle rechtsvervolging). Seorang terdakwa dimana perbuatan yang didakwakan bisa dibuktikan oleh jaksa penuntut umum dengan di dukung oleh alat bukti yang sah dan minimum alat bukti yang ditentukan undang-undang telah terpenuhi serta hakim yakin harus, di kenakan pemidanaan. Sebaliknya apabila jaksa penuntut umum tidak dapat membuktikan kesalahan terdakwa maka harus di putus bebas (vrijspraak), sedangkan kalau perbuatan terdakwa terbukti namun ternyata bukan tindak pidana, atau ada alasan pemaaf maupun pembenar kepada terdakwa dapat dijatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging). C. Simpulan Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang luar biasa (extra ordinary crime) oleh karena itu perlu upaya yang luar biasa (extra ordinary legal instrumen) pula dalam memberantas tindak pidana korupsi.. Penggunaan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi secara luar biasa hendaknya jangan mengurangi indepensi hakim dalam menjalankan tugasnya, memeriksa, mengadili dan menjatuhkan

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

keputusan. Hakim tidak bisa di salahkan ketika telah melaksanakan tugasnya secara objektif dan professional kemudian menjatuhkan putusan bebas kepada terdakwa korupsi, sebaliknya kalau putusan bebas tersebut terjadi karena adanya kesengajaan melemahkan dakwaan oleh jaksa penuntut umum maupun karena ada ketidak profesionalan hakim maka hal ini patut dicurigai sebagai upaya pelemahan pemberantasan tindak pidana korupsi. Daftar Pustaka Serikat putra Jaya, Nyoman. Beberapa Pemikiran ke arah Pengembangan Hukum Pidana, 2008, Citra Aditya Bakti; Junus Aditjondro, George. Korupsi Kepresidenan di Masa Orde Baru, dalam Mencuri Uang Rakyat 16 Kajian Korupsi di Indonesia, Buku I di terbitkan oleh Yayasan Aksara untuk Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan, 2002; Asshiddiqie, Jimly. Judicial Review Kajian atas putusan Permohonan Hak Uji Materiil terhadap PP No. 19 Tahun 2000 tentang TGTPK dalam jurnal kajian putusan pengadilan DICTUM, L e l P 1; Soetarto, Soerjono. Hukum Acara Pidana, 1995, Badan Penerbit Universitas Diponegoro; Samosir, C. Djisman, Hukum Acara Pidana dalam Perbandingan, 1986, Bina Cipta; Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Makelar Kasus dan Upaya Penanggulangannya Dalam Sistem Peradilan Indonesia __________________________________________________________________ Budi Rizki Husin

I. Pendahuluan Pada akhir-akhir ini wajah penegakan hukum sangat carut marut, gambaran demikian ini mengilustrasikan bahwa penegakan hukum sangat sulit untuk diwujudkan sebagaimana yang dicita-citakan oleh masyarakat. Carut marutnya penegakan hukum menggambarkan betapa para aparat penegak hukum (law enforcement officials) disetiap subsistem peradilan dan mereka yang berada di luar subsistem tersebut terlibat di dalamnya dalam jual beli keadilan (hukum). Menurut hukum mereka yang ikut dalam kegiatan jual beli dikenal dan bahkan diakui dan dilindungi keberadaanya sesuai dengan kaidah hukum dagang yang berlaku di Indonesia yaitu sebagai makelar atau komisioner. Tetapi mengenai perantara (makelar) yang melakukan jual beli keadilan (hukum) yang selanjutnya dikenal sebagai markus (makelar kasus) dalam proses penegakan hukum dianggap sebagai perbuatan melanggar hukum. Melakukan kegiatan jual beli hukum oleh penegak hukum termasuk perantaranya (makelar) pada akhir-akhir ini menjadi marak diperbincangkan dan terbuka secara umum diawali kasus “cicak versus buaya” kemudian mangkin menghangat dengan timbulnya kasus “S j versus S D” yang mengilustrasikan betapa keterlibatan institusi dan aparat penegak hukum dalam proses penegakan hukum baik Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Pengacara/advokad bahkan subjek hukum yang berada di luar sistem peradilan pidana. Makelar kasus (markus) pada hakikatnya mencerminkan pengertian intervensi terhadap suatu proses administrasi peradilan, dalam hal ini proses penegakan hukum. Berbeda dengan proses intervensi lainnya yang mungkin bertujuan positif, markus berkonotasi negative, yaitu dengan cara “memenangkan klien dengan segala cara” demi mencapai kepentingan dan tujuan dari orang yang diperantarainya. Perlu digaris bawahi bahwa target markus tidak selalu harus berupa tindakan yang menyimpang dari hukum, tetapi juga, seperti dalam dunia perdagangan, tampil sebagai makelar yang profesional, dengan menjembatani kepentingan pihak-pihak terkait. Walau dalam prakteknya sudah telanjur dipersepsikan jelek, markus tidak selalu membela yang salah, tetapi juga membela yang benar (korban). Uraian ini agar lebih fokus, maka dibatasi pada pembahasan markus dalam arti yang negatif, yang berupaya melakukan intervensi untuk menghasilkan tindakan dari penegak hukum dalam membuat keputusan, atau perlakuan pejabat penegak hukum yang menyimpang dari ketentuan hukum yang berlaku (rekayasa hukum). Tindakan penegak hukum di sini mencakup seluruh rangkaian kegiatan, dari penyidikan termasuk penangkapan, penahanan sampai penjatuhan putusan pengadilan. Proses tersebut melibatkan seluruh tahapan roses peradilan, dan pejabat pada lembagalembaga publik yang menyelesaikan sengketa. Pemahaman atas markus juga harus dibedakan dari sikap dan perbuatan pejabat penegak hukum yang menginisiasi penyimpangan. Secara moral, tindakan mereka menuntut pertanggungjawaban yang lebih berat karena mengkhianati profesi, sehingga dapat dikenakan dua bentuk tindakan hukum, yaitu pelanggaran pidana dan kode etik.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Kerja sama antara markus dan pejabat yang diintervensi dibangun dengan menggunakan instrumen barang dan/atau jasa, baik dalam bentuk tunai (uang/materi lain) maupun janji, seperti promosi, mutasi ke tempat/jabatan “basah”, pendidikan dan jabatan, bahkan jabatan sambilan pada dan/atau pemberian saham perusahaan. Pelaku markus umumnya merupakan predikat untuk mereka yang biasa atau mencari nafkah dengan pekerjaan memakelari kasus. Peranan tersebut umumnya dimainkan oleh pengacara-pengacara namun dapat juga tidak selamanya sebagai pengacara, tetapi yang penting memiliki kedudukan atau akses kepada pihak-pihak yang memiliki wewenang untuk menyelesaikan kasus tersebut. Peranan markus dimainkan oleh pengacara, pengusaha, dan orang biasa yang menjalin hubungan akrab dengan petinggi hukum, kerja sama mereka dilakukan dengan modus-modus antara lain mengurangi, mengatur, dan merekayasa berkas berita acara sehingga seolah-olah dipersalahkan tetapi karena pembuktian lemah dapat dipastikan akan dibebaskan oleh hakim, meringankan atau menghilangkan pasal yang dituduhkan, menerbitkan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan) surat ketetapan penghentian penuntutan SKPP), dan mem-peti-es-kan perkara. Pada tahap terakhir, target yang dituju adalah hukuman bebas atau ringan, memenangkan perkara yang salah, penuntut umum tidak melakukan upaya hukum, dan lain-lain. Dalam hal menyangkut imbalan (uang), kasus yang biasanya di-“makelar”-kan adalah perkara dengan kerugian materi yang besar. Semakin besar nilai materinya, semakin tinggi pejabat yang dilibatkan. Oleh karena itu dalam praktik kasus yang dimarkuskan biasanya perkara yang yang memiliki “multi dimensi”. Misalnya perkara yang dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan penyalahgunaan kekuasaan (korupsi) berdemensi money laundering, organized crime ataupun corporate crime dimana pelaku dan perbuatanya digolongkan white collar crime (WCC). Perkara demikian ini memang sulit dan tidak mudah penegakan hukumnya sebagaimana yang dikatakan oleh Muladi (1993) disebabkan beberapa hal yaitu; low visibility, complexity, diffusion of responsibility, diffusion of victimized. Constrain detection and prosecution, ambigos laws, ambiguos offender. Kasus atau perkara yang secara substansial dan formal sangat sulit untuk diidentifikasi, sehingga memasuki daerah kelabu (grey area) dan akibatnya memberi kesempatan bagi markus serta aparat penegak hukum untuk bermain atau merekayasa didalamnya. Menyangkut perkara tertentu, tidak semua pejabat penegak hukum terlibat dalam pergulatan markus, baik karena peluang menangani perkara tertentu (yang menjadi obyek markus) tidak dimiliki setiap personel (tergantung distribusi oleh pimpinan) maupun karena keengganan personel tertentu yang ingin memuliakan profesinya (kendali moral). Hanya sebagian kecil dari mereka, tetapi biasanya terpelihara dengan baik dalam posisinya karena berhasil menjadi kaya dan dengan kekayaannya berhasil membangun kolusi dengan atasan/petinggi, termasuk pejabat pada manajemen personalia. Ihwal karakter demikian, dapat dikatakan bahwa praktik markus lebih banyak terjadi dalam kehidupan di kota daripada di pedalaman yang mencerminkan pola hidup komunitarian.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Selain itu, orang luar yang ditengarai dekat dengan aparat juga menjadi bagian dari makelar kasus. Masyarakat yang mengharapkan keadilan dan kepastian hukum dapat terwujud dalam proses peradilan akan kecewa dan marah bahkan dapat menimbulkan ketidak percayaan baik kepada lembaga maupun pada aparatur, karena aparat penjaga keadilan (oknum) yang tergabung dalam lembaga negara pemegang amanat penegakan hukum ini justru menodai rasa keadilan itu sendiri dengan merekayasa apa itu kesalahan dan kebenaran. Siapa yang benar dan salah bisa diatur sesuai pesanan, asalkan ada uang Berkas Acara Pemeriksaan (BAP) , takaran tuntutan bahkan putusan, bisa dibeli. Makelar kasus yang termasuk dalam kelompok mafia peradilan ada sejak lama di Indonesia. Kemunculannya marak di zaman orde baru. Hanya saja selama ini keberadaannya seolah tersembunyi. Masyarakat yang sebenarnya sudah tahu rahasia umum ini terkesan harus memendam dalam amarah dan melupakan masalah besar penegakan hukum ini karena kesulitan untuk membuktikan fakta kejahatan luar biasa ini dilapangan, apalagi untuk menyelesaikan. Masyarakat dibungkam dan didustai dengan rekayasa dan percaloan keadilan oleh penguasa domain hukum. Beberapa waktu yang lalu, melalui penyiaran rekaman penyadapan pembicaraan Anggodo Widjadja oleh Mahkamah Konstitusi dalam persidangan Uji Materi UU KPK masyarakat kembali ditunjukkan dengan fakta vulgar yang kembali mengingatkan bahwa makelar kasus dalam penegakan hukum kita semakin kronis. Bahkan metode yang dilakukan sudah sangat berkelas dan sistematis dengan melibatkan pejabat penegak hukum pula. Kalau dibiarkan dan tidak segara diberantas, kita tidak tahu akan apa jadinya pada negara ini. II. Permasalahan Bagaimanakah upaya penanggulangan dan penegakan hukum terhadap makelar kasus dalam sistem peradilan di Indonesia? III. Pembahasan Sebagaimana telah dikemukakan di atas pengertian makelar sendiri berarti merupakan perantara antara pembeli dengan penjual. Makelar yang sudah mengenal baik si pembeli dan si penjual, maka keberhasilan akan sebuah transaksi akan semakin besar. Dengan pengertian makelar di atas, maka untuk pengertian makelar kasus, atau markus dapat di artikan sebagai seorang perantara yang mengenal penjahat sekaligus memiliki hubungan dengan penegak keadilan, dan biasanya makelar kasus memberikan informasi yang ia dapat tentang pelaku, dan kemudian makelar kasus akan memberitahukan informasi tersebut kepada para penegak hukum atas keterdekatanya dengan penegak hukum tersebut. Makelar kasus adalah kejahatan luar biasa yang tentunya membutuhkan upaya penyelesaian yang luar biasa pula. Friedman (1984; 4), mengungkapkan bahwa bagaimanapun penegakan hukum sebuah bangsa mutlak ditentukan oleh substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum negara setempat. Adapun upaya yang seharusnya dilakukan adalah sebagai berikut.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

1. Diperlukan upaya hukum luar biasa untuk memberantas kejahatan luar biasa, makelar kasus dan mafia peradilan. Penyadapan oleh KPK perlu didukung tidak hanya untuk mengungkap kasus korupsi an sich namun juga praktek makelar kasus dan mafia peradilan. 2. Reformasi aturan hukum yang ada, Harus disusun aturan mengenai peberantasan mafia peradilan, khususnya mengenai pembuktian dan alat bukti yang berkenaan dengan praktek makelar kasus dan mafia peradilan. Pembuktian terbalik dapat digunakan sebagai alternatif pembuktian pelaku mafia kasus. 3. Bersihkan semua lembaga penegak Hukum mulai dari Kepolisian, Komisi Pemberantasan Korupsi, Kejaksanaan, Pengadilan dari seluruh tingkatan, demikian pula lembaga pofesi advokat yang mencoba bermain dalam makelar kasus maupun mafia peradilan. Berikan sanksi pidana berat bahkan ancaman hukuman mati bagi aparat penegak hukum yang melakukan praktek makelar kasus maupun mafia peradilan. Pembenahan Lembaga pengawasan penegakan hukum seperti komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan agar lebih independent, efektif dan akuntable. Hal ini sebagai upaya memberantas makelar kasus dan mafia peradilan guna mewujudkan mimpi bangsa untuk penegakan hukum yang adil dan berwibawa. 4. Benahi budaya hukum masyarakat melalui pendidikan hukum. Mengingat makelar kasus terjadi tidak hanya bermula dari penegak hukum melainkan juga lemahnya kesadaran hukum yang berakibat pada penyimpangan perilaku masyarakat ketika berhadapan dengan kasus hukum. 5. Peran pers yang merdeka untuk memberikan pencerahan dan keterbukaan informasi terkait dengan penegakan hukum akan sangat bermanfaat dalam rangka pemberantasan makelar kasus dan mafia peradilan. Tentunya langkah-langkah luar biasa diatas akan mampu memberantas makelar kasus di Indonesia dengan catatan terdapat komitmen kuat dari seluruh komponen bangsa untuk terus berikhtiar dan tentunya harus diawali dengan semangat political will dari pemerintah selaku pemegang amanat kedaulatan rakyat. Akhir-akhir ini penistaan terhadap institusi peradilan, antara lain kasus hakim TUN Medan, (Kompas 18 April 2011), karena hakim dianggap sebagai benteng terakhir dalam mendapatkan keadilan menyebabkan dimungkinkan masyarakat pesimis terhadap kemampuan peradilan dalam menjalankan fungsi dan tugasnya dalam penegakan hukum. Penyakit ketidakadilan yang mengidap pengadilan di Indonesia membuat masyarakat menjadi tidak percaya terhadap putusan pengadilan. Pengadilan adalah sebuah institusi yang penting dan terhormat dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Oleh karena itu institusi ini harus diisi oleh orang – orang yang terpercaya dan dapat menjamin tegaknya hukum.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Mengingat masih kuatnya suap yang berjaya di lingkungan peradilan kita, seperti jual beli keputusan pengadilan yang dilakukan oleh Markus dan mengingat perilaku-perilaku oknum-oknum peradilan yang sering menyelewengkan hukum dan rasa keadilan masyarakat, maka diharapkan agar dalam mengisi institusi peradilan ini, orang-orangnya perlu diuji kompetensi dan kualitas moralnya sebagai penegak hukum. Slogan ganyang mafia peradilan oleh Presiden SBY dengan membentuk Satgas di bawah unit kerja Presiden untuk beraksi dalam dua tahun semoga bukan hanya slogan. Memberantas makelar berdasi ini akan memiliki efek domino, karena makelar adalah anak kandung dari menguatnya wacana pasar. Merebaknya fenomena makelar adalah salah satu ciri menguatnya wacana pasar, di mana ideologi kapitalisme menjadi panglima (Kadri Husin: 17) . Makelar selalu mencari keuntungan materi di dalam menjual jasanya. Logika untung rugi secara materi menjadi orientasi utama aktifitas makelar. Kalaulah Presiden ingin mengganyang makelar itu artinya wacana negara siap berbenturan melawan wacana pasar. Di dalam ranah wacana pasar, bagi kaum kapitalis pemupukan modal dan penumpukan keuntungan yang sebesar-besarnya adalah hal yang jamak. Proses pencapaiannya seringkali melanggar nilai keadilan, kesopanan maupun melanggar nilai hukum negara. Hal itu dianggap wajar saja karena pencapaian keuntungan sebesar-besarnya bisa dilakukan dengan semua cara. Suap, komisi, hadiah, atau setoran adalah mekanisme yang biasa dalam wacana pasar. Dalam wacana itu, negara seringkali diistilahkan sebagai setan jelek yang tetap dibutuhkan keberadaannya. Negara dianggap memasung aktivitas bisnis melalui aparatur birokrasi serta peraturan dan perundangan yang berlaku. Semakin panjang birokrasi maka semakin banyak meja yang harus dilewati, artinya semakin banyak biaya suap, komisi, hadiah, atau setoran yang harus dikeluarkan. Akan tetapi negara tetap dibutuhkan karena menjadi payung pelindung kepastian hukum secara legal aktivitas bisnis. Fenomena yang kemudian terjadi adalah merebaknya korupsi dan kolusi antara aparatur negara dan agen kapitalis, yang menjadi pangkal persoalan terpuruknya bangsa Indonesia. Supremasi hukum dan pemberantasan mafia hukum adalah agenda kerja Pemerintah yang selayaknya didukung oleh segenap komponen bangsa. Itu artinya adalah genderang perang melawan wacana global yang berorientasi pasar yang telah meminggirkan wacana negara maupun wacana masyarakat. Negara Indonesia tidak boleh dijadikan sebagai instrumen kapitalis untuk mengeruk keuntungan atas sumber daya Indonesia. Indonesia tidak boleh diacak-acak oleh mafia hukum atau makelar kasus yang hanya mencari keuntungan pribadi di atas keterpurukan bangsa. Wacana negara dan masyarakat harus diperkuat agar Indonesia terlepas dari keterpurukan. Satjipto Rahardjo (2008; 6), guru besar emiritus sosiologi hukum Diponegoro, Semarang, menyebutkan, salah satu peluang terciptanya mafia peradilan adalah banyaknya telinga di sekitar pengambil putusan dan proses pengambilan putusan. Misalnya, saat munculnya advis, yang bisa menunjukkan arah putusan, sesudah majelis hakim berunding tentang putusan. Para pemilik telinga, antara lain asisten,

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

juru tulis, termasuk hakim sendiri, dapat menawarkan advis itu ke pihak yang berkepentingan. Kepolisiaan Daerah (Polda) metro jaya Kombes Pol Rikwanto (republika,senin hari 4 juni 2012) Telah meringkus dua pelaku makelar kasus yang telah memperoleh uang hasil kejahatan hingga mencapai Rp 1,4 Milyiar, dengan melakukan penyelidikan dan pengembangan kasus yang ahirnya diketahui melibatkan beberapa orang dalam melakukan aksinya, bahkan sampai sekarang tersangka masih menjalani pemeriksaan oleh penyidik. Tidak bisa dibantah kalau praktik mafia peradilan di Tanah Air sudah merasuk hingga ke semua lini dalam struktur aparat peradilan itu sendiri. Pengawasan internal, baik pengawasan oleh atasan langsung maupun pengawasan fungsional, termasuk pengawasan eksternal dari lembaga-lembaga lain, masih dirasakan lemah dan kurang efektif. Sistem internal memiliki “perspektif” yang bisa diharapkan berperan optimal, terutama dalam kaitan dengan solidaritas internal yang begitu kental, khususnya dalam jajaran kepolisian. Sementara itu, pengawasan masyarakat belum mendapat tempat yang layak dalam sistem pengawasan lembaga-lembaga penegak hukum, terutama belum terbukanya akses publik yang memadai. Masalah anggaran merupakan faktor internal yang paling dominan menerangkan fenomena markus. Aspek pertama dari faktor ini menyangkut dukungan anggaran operasional, terutama yang dialokasikan pada unitunit lapangan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Diakui bahwa telah terjadi peningkatan yang berarti atas alokasi anggaran badan-badan penegak hukum, tetapi cenderung diprioritaskan untuk kepentingan satuan-satuan organisasi yang dipimpin langsung pejabat-pejabat tinggi terutama pada manajemen puncak. Akibatnya, petugas unit-unit operasional ”terpaksa” harus ”membebani” atau mengharap kontribusi warga guna menjamin tetap berjalannya roda organisasi dalam melayani masyarakat. Aspek anggaran kedua menyangkut pemenuhan kebutuhan penghasilan personel. Faktor ini menjadi paling dominan di antara semua variabel, karena juga memberi pengaruh melalui faktor-faktor yang disebut terdahulu. Faktor pengawasan organisatoris dan pengendalian diri yang lemah serta faktor lingkungan sosial (daya tarik) tidak lepas dari pengaruh penghasilan personel. Faktor ini pula bahkan yang mendorong terjadinya penyalahgunaan anggaran operasional. Walau demikian, tidak berarti semua personel penegak hukum mengatasi kekurangan penghasilannya dengan menyalahgunakan kekuasaan. Dalam kondisi dunia ”abu-abu” semacam inilah, mustahil penanggulangan markus dan semua jenis korupsi dalam tubuh penegak hukum, terutama Polri, kejaksaan dan pengadilan dapat berjalan efektif dan membawa perubahan yang mendasar. Apalagi sekadar melalui mekanisme Satgas, bahkan melalui pekerjaan KPK sekalipun, sepanjang mereka hanya berperan sebagai pemadam kebakaran atau obat ”naspro”. IV. Kesimpulan Mafia peradilan menjadi gambaran carut-marutnya dunia hukum di Indonesia yang terjadi di semua tempat dan berbagai tingkatan. Mulai pola yang sederhana hingga rumit, melibatkan uang recehan hingga miliaran rupiah. Tujuannya, keuntungan bagi

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

pemain di dalamnya, bahkan pemerasan menjadi umum dilakukan oleh aparat untuk mengubah status tersangka menjadi saksi. V. Saran Markus ataupun mafia peradilan harus diberantas secara structural tidak hanya ditekankan pada institusi/lembaga hukumnya saja tetapi juga aparaturnya dari sistem peradilan pidana dengan mendapat pengawasan atau melibatkan masyarakat sebagai wasmas, dan kemudian diijatuhi hukuman yang berat sehingga menimbulkan efek penjeraan Wasmas. Serta tidak lupa untuk membentuk aparatur yang profesional beriman dan taqwa dalam menjalankan profesinya. Daftar Pustaka Husin, Kadri. 2010. Diktat Materi Kuliah Tindak Pidana Ekonomi di Bidang Perbankan. Universitas Lampung. Bandar Lampung. L.M. Friedman. 1984. The Legal System; A Social Science Perspective. New York, Russel Sage Foundation. Muladi. 1993. Fungsionalisasi Hukum Pidana dalam Penanggulangan White Collar Crime. Makalah, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang. Rahardjo, Satjipto. 2008. Membedah Hukum Progresif. Kompas. Jakarta. Republika, 2012 edisi 4 juni, Jakarta. Kompas, 2012 edisi April, Jakarta.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Upaya Percepatan Proses Penyidikan Dalam Rangka Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Oleh Kejaksaan Negeri Bandar Lampung __________________________________________________________________ Priyanto, Tisnanta dan Eko Raharjo I. Latar Belakang Korupsi merupakan permasalahan yang banyak menyita perhatian masyarakat akhir-akhir ini. Seiring dengan adanya semangat pemberantasan korupsi yang semakin digalakkan, masyarakat pun semakin antusias untuk mendalami dan memahami makna dari korupsi itu sendiri, yang pada akhirnya memacu masyarakat untuk selalu menganalisa setiap kasus yang berkaitan dengan korupsi. Banyak para ahli yang mengemukakan pendapatnya terkait berbagai kasus korupsi yang terjadi. Ada yang pro dan ada yang kontra terhadap suatu kasus yang terjadi, akan tetapi dari sekian pendapat yang ada, satu pemahaman yang tidak dapat dielakkan, yang tertanam pada pemikiran setiap orang, bahwa bagaimanapun juga tindak pidana korupsi merupakan perbuatan yang merugikan Negara dan dapat merusak sendisendi kebersamaan Negara. Korupsi pada dasarnya masih merupakan permasalahan yang sulit untuk ditanggulangi, bukan hanya di Indonesia, akan tetapi juga di Negara-Negara lain, baik di Negara maju maupun di Negara yang sedang berkembang. Indonesia telah berulangkali menduduki peringkat tertinggi dalam menuai prestasi korupsi. Hal ini dapat terbukti dari Transparency International yang berbasis di Berlin Jerman meletakkan Indonesia pada peringkat empat negara terkorupsi di dunia. Pada hakekatnya korupsi menjadi penghambat utama terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan. Dalam prakteknya korupsi sangat sukar bahkan hampir tidak mungkin dapat di berantas, karena sangat sulit memberikan pembuktian-pembuktian yang eksak. Di samping sangat sulit mendeteksinya dengan dasar-dasar hukum yang pasti. Namun akses perbuatan korupsi merupakan bahaya latent yang harus di waspadai baik pemerintah maupun oleh masyarakat itu sendiri. Korupsi adalah produk dari sikap hidup satu kelompok masyarakat yang memakai uang sebagai standar kebenaran dan kekuasaan mutlak, sebagai akibatnya koruptor yang kaya raya dan para politisi korup yang berkelebihan uang bisa masuk ke dalam golongan elit yang berkuasa dan sangat dihormati. Mereka inilah yang akan menduduki status sosial yang tinggi di mata masyarakat. Korupsi pada dasarnya dimulai dengan semakin meningkatnya usaha-usaha pembangunan yang menyebabkan sejumlah orang ingin dengan cepat menikmati hasil dari pembangunan dan kemakmuran yang diharapkan. Sayangnya, peningkatan pembangunan tersebut tidak diimbangi dengan pengawasan yang baik dari pemerintah, yang menyebabkan terjadi penyimpangan-penyimpangan dalam penggunaan sejumlah dana yang dipergunakan dalam rencana pembangunan tertentu. Dengan adanya pengawasan yang tidak mumpuni tersebut, sejumlah oknum dapat dengan mudah menggelapkan uang dengan cara tidak mematuhi prosedur pengerjaan yang telah ditetapkan, dan yang lebih menyedihkan praktik tersebut dilakukan secara terorganisir yang bekerja sama dengan oknum-oknum lainnya. Hal itulah yang menyebabkan perkembangan praktik korupsi yang ada semakin meningkat dan berkembang melalui cara-cara yang bervariasi.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Tindak pidana korupsi tidak harus mengandung secara langsung unsur merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, misalnya suap menyuap. Yang merupakan perbuatan tercela adalah penyalahgunaan kekuasaan, perilaku diskriminatif dengan memberikan keuntungan finansial, pelanggaran kepercayaan, rusaknya mental pejabat, ketidakjujuran dalam berkompetisi dan lain-lain. Menyadari kompleksnya permasalahan korupsi di tengah-tengah krisis multidimensional serta ancaman nyata yang pasti terjadi, yaitu dampak dari kejahatan ini. Maka tindak pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai permasalahan nasional yang harus dihadapi secara sungguh-sungguh melalui langkah-langkah yang tegas dan jelas dengan melibatkan semua potensi yang ada dalam masyarakat khususnya pemerintah dan aparat penegak hukum. Pemberantasan korupsi secara hukum adalah dengan mengandalkan diperlakukannya secara konsisten Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan berbagai ketentuan terkait yang bersifat repressif. UndangUndang yang dimaksud adalah Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah menjadi UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001. Bila kita cermati dari awal sampai akhir tujuan khusus yang hendak dicapai adalah bersifat umum, yaitu penegakan keadilan hukum secara tegas bagi siapa saja yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Penegakan hukum pada dasarnya melibatkan seluruh warga negara Indonesia, dimana dalam pelaksanaannya dilakukan oleh penegak hukum. Penegakan hukum tersebut dilakukan oleh aparat yang berwenang. Aparat negara yang berwenang dalam pemeriksaan perkara pidana adalah aparat Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. Polisi, Jaksa dan Hakim merupakan tiga unsur penegak hukum yang masing-masing mempunyai tugas, wewenang dan kewajiban yang sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Dalam menjalankan tugasnya unsur aparat penegak hukum tersebut merupakan sub sistem dari sistem peradilan pidana. Di dalam rangka penegakan hukum ini masing-masing sub sistem tersebut mempunyai peranan yang berbeda-beda sesuai dengan bidangnya serta sesuai dengan ketentuan Perundang-Undangan yang berlaku, akan tetapi secara bersama-sama mempunyai kesamaan dalam tujuan pokoknya yaitu pemasyarakatan kembali para nara pidana. Pada penanganan tindak pidana korupsi Jaksa berperan sebagai penyidik dan juga sebagai penuntut umum. Maka peranannya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi secara penal sangat dominan, artinya secara penal adalah pemberantasan tindak pidana yang menggunakan sarana hukum pidana dalam penanganannya. Selain penanganan tindak pidana secara penal dikenal juga penanganan non penal yaitu digunakan sarana non hukum pidana, misalnya dengan hukum administrasi. Keahlian yang profesional harus dimiliki oleh aparat Kejaksaan, baik mengenai pemahaman dan pengertian serta penguasaan Peraturan Perundang- Undangan dan juga terhadap perkembangan teknologi. Hal ini agar pemberantasan tindak pidana korupsi dapat berhasil. Penguasaan tersebut sangat penting sifatnya karena pelaku tindak pidana korupsi itu mempunyai ciri-ciri tersendiri. Ciri pada pelaku tindak pidana korupsi kebanyakan dilakukan oleh orang-orang yang berpendidikan tinggi dan punya jabatan. Sulitnya pemberantasan tindak pidana korupsi adalah dalam hal melaporkannya. Diibaratkan sebagai “lingkaran setan”, maksud dari lingkaran setan

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

tersebut adalah dalam hal terjadi tindak pidana korupsi dimana ada yang mengetahui telah terjadi korupsi tetapi tidak melaporkan pihak yang berwajib, ada yang mengetahui tapi tidak merasa tahu, ada yang mau melaporkan tapi dilarang, ada yang boleh tapi tidak berani, ada yang berani tapi tidak punya kuasa, ada yang punya kuasa tapi tidak mau, sebaliknya ada pula yang punya kuasa, punya keberanian tetapi tidak mau untuk melapor pada yang berwajib. Tindak pidana korupsi yang merupakan tindak pidana khusus dalam penangananya diperlukan suatu kerja sama dengan pihak lain, untuk dapat diselesaikan perkaranya oleh jaksa. Jaksa sebagai penyidik merangkap sebagai penuntut umum dalam penanganan tindak pidana korupsi. Maka untuk menyelesaikan kewajibannya tersebut Jaksa harus bekerja sama dengan pihak lain yang terkait. Kerja sama dengan pihak lain ini disebut dengan hubungan hukum, karena dalam melakukan kerja sama dalam suatu aturan atau hukum yang sifatnya pasti. Hubungan hukum dengan pihak lain itu dapat berupa perseorangan, badan hukum dan instansi pemerintahan. Hubungan hukum dengan perseorangan misalnya dengan seseorang saksi, seorang tersangka, seorang penasehat hukum. Hubungan hukum dengan badan hukum misalnya dengan Perusahaan Terorganisasi dimana tersangka melakukan tindakan korupsi. Sedangkan hubungan hukum dengan instansi pemerintahan lain dapat dengan sesama penegak hukum yaitu Kepolisian, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Adapun Instansi lain yang bukan penegak hukum yaitu Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Bank, Kantor Pos dan lain-lain. Kejaksaan dalam melaksanakan tugas pemberantasan korupsi tidak bisa bekerja sendiri dengan mengandalkan kemampuan aparat kejaksaan tanpa kerja sama dengan instansi lain. Menurut peraturan yang berlaku, penyidik tindak pidana korupsi adalah Jaksa dan Polisi, sehingga dibutuhkan kerja sama antara kedua penegak hukum ini yang harus saling mendukung dan saling membantu untuk berhasilnya penyidikan tindak pidana korupsi. Dalam kerja sama sering menjadi kelemahan dalam pemberantasan tindak pidana. Maka dari itu peran Jaksa sangat diperlukan dalam menangani tindak pidana korupsi. Diharapkan jaksa bisa membuat inisiatif agar korupsi tidak terjadi. Seiring dengan kinerja kejaksaan dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, hal tersebut pada praktiknya tidak dapat berjalan dengan baik. Beberapa media massa menilai Kejaksaan masih lamban dalam menangani perkara-perkara tindak pidana korupsi. Hal tersebut tentu saja membuat geram para aktifis pemberantasan korupsi yang tergabung dalam berbagai organisasi kemasyarakatan (LSM). Berbagai kritik dan kecaman terhadap kinerja Kejaksaan pun mulai bermunculan. Seperti halnya pada penyidikan kasus dugaan korupsi proyek pembangunan jalan lintas timur Tahun 2009 dan tindak pidana korupsi pada pengadaan pembelian solar di lingkungan PDAM Tahun 2010-2011 oleh Kejaksaan Negeri Bandar Lampung di Kota Bandar Lampung yang dilakukan oleh Kejaksaan Tinggi Lampung sampai saat ini belum terselesaikan. Pada kasus tersebut, masyarakat menilai bahwa Kejaksaan di nilai lamban dalam mengusut kasus tersebut karena terlalu lama membuang waktu untuk melakukan penyidikan. Tidak sigapnya Kejaksaan selaku penyidik tindak pidana korupsi dalam menangani kasus dugaan korupsi pada Proyek Pembangunan Jalan Lintas Timur tersebut tentu saja menuai kontroversi dan kritikan dikalangan para aktifis dan LSM

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

yang mendukung adanya upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang ada di Indonesia. Kontoversi ini muncul akibat adanya perbandingan penyelesaian kasus yang ditangani oleh Kejaksaan Tinggi Lampung, yakni antara kasus dugaan proyek pembangunan jalan lintas timur Tahun 2009 dengan kasus korupsi pada pengadaan pembelian solar di lingkungan PDAM Tahun 2010-2011 oleh Kejaksaan Negeri Bandar Lampung di Kota Bandar Lampung. Pada dasarnya kasus tersebut hampir serupa, akan tetapi pada kenyataannya penanganan yang dilakukan oleh Kejaksaan Tinggi Lampung lebih cepat pada kasus korupsi pengadaan pembelian solar di lingkungan PDAM dari pada kasus pembangunan jalan lintas timur Tahun 2009. Hal tersebut dapat dilihat dengan telah diselesaikannya berkas penyidikan dan telah dilimpahkannya perkara korupsi pembelian solar di lingkungan PDAM ke pengadilan pada bulan September 2012, padahal kasus tindak pidana korupsi proyek pembangunan jalan lintas timur tersebut di mulai sejak Tahun 2009. Perbedaan yang timpang dalam penyelesaian kedua kasus korupsi tersebut membuat Kejaksaan seakan tidak serius dalam menangani setiap kasus korupsi yang masuk ke tubuh instansi Kejaksaan, khususnya Kejaksaan Tinggi Lampung, sehingga menyebabkan berlarutnya penyelesaian kasus korupsi yang ada. Hal tersebut tentu saja menyebabkan adanya penumpukan kasus, yang pada akhirnya berujung pada di “peti es”kannya sebagian kasus yang tidak dapat diselesaikan secara maksimal. Seharusnya, dengan adanya Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, hal tersebut dapat di minimalisir. Pada Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selaku Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan Negara Republik Indonesia menginstruksikan kepada jajaran dibawahnya, termasuk Instansi Kejaksaan, agar mempercepat penanganan perkara-perkara korupsi yang terjadi di Indonesia dengan membangun kerjasama yang terkait dengan seluruh instansi yang tergabung dalam Kabinet Indonesia Bersatu dalam penanganan dan penyelesaian kasus korupsi yang terjadi. Selain itu Pasal 25 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 juga mengamanatkan bahwa penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan sidang pegadilan terhadap tindak pidana korupsi harus didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya, hal ini seharusnya menjadi dasar yang kuat bagi Kejaksaan untuk segera menangani perkara korupsi yang masuk ke Kejaksaan. Kedua dasar hukum tersebut merupakan landasan yang kuat bagi Kejaksaan untuk mengoptimalkan kinerjanya demi menegakkan hukum yang ada di Indonesia. Berdasarkan uraian tersebut di atas, pertanyaan penelitian yang akan dikaji adalah: (1) Apa kendala dalam penyelesaian proses penyidikan pemberantasan tindak pidana korupsi pada proyek pembangunan jalan lintas timur Tahun 2009 dan tindak pidana korupsi pada pengadaan pembelian solar di lingkungan PDAM Tahun 20102011 oleh Kejaksaan Negeri Bandar Lampung; (2) Bagaimana upaya percepatan proses penyidikan pemberantasan tindak pidana korupsi pada proyek pembangunan jalan lintas timur Tahun 2009 dan tindak pidana korupsi pada pengadaan pembelian solar di lingkungan PDAM Tahun 2010-2011 oleh Kejaksaan Negeri Bandar Lampung.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

II. Pembahasan A. Gambaran Umum Kasus Korupsi 1. Kasus Dugaan Korupsi Pengadaan Pembelian Solar di Lingkungan PDAM Tahun 2010-2011 Kasus dugaan korupsi pengadaan pembelian solar di lingkungan PDAM Tahun 2010-2011 ini bermula dari temuan Kejaksaan Tinggi Lampung yang dilaporkan pada tanggal 10 Mei 2012 oleh Ferly Sarkowi, S.H., selaku Kasi Intelijen Kejaksaan Negeri Bandar Lampung. Atas adanya laporan tersebut, Kejaksaan Negeri Lampung mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: PRINT- DIK-01/N.8.10/Fd.1/05/2012 yang memerintahkan kepada Teguh Hariyanto, S.H, Elis Mustika, S.H., Eka Aftarini, S.H. M.H, M. Fachrudin Syuralaga, S.H. M.H, Anton Salahudin, S.H., Taufiq Ibnugroho, S.H., Z.M. Yeni, S.H, dan Irfansyah, S.H selaku penyidik pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung untuk melaksanakan penyidikan terhadap adanya dugaan Tindak Pidana Korupsi dalam pengadaan pembelian solar di lingkungan PDAM Tahun Anggaran 2010 dan 2011. Adapun mekanisme pembelian solar berdasarkan Peraturan direksi Nomor KU/1580/PDAM/1/VI 2007 dan Perubahan Kedua Peraturan Direksi Nomor KU/2418/ PDAM /03/VIII/2010 tanggal 23 Agustus 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang / Jasa di Lingkungan PDAM Way Rilau Kota Bandar Lampung sebagai berikut: a. Bagian yang membutuhkan (Bagian Produksi) membuat Permintaan Pembelian (PP) ditujukan ke Bagian Umum. b. Bagian Umum membuat Daftar Permintaan Barang (DPB) untuk selanjutnya diserahkan kepada Direksi untuk mendapatkan persetujuan pembelian dari Direksi selanjutnya dikembalikan lagi kebagian Kabag Pembelian c. Bagian pembelian membuatkan order pembelian dalam blanko Order pembelian yang ditujukan kepada ; pertama kebagian keuangan lalu pada bagian keuangan diberikan informasi anggaran apakah dana tersebut ada atau tidak berdasarkan pengumuman yang diperoleh dari Pertamina berapa jumlahnya, biasa nya bagian pembelian melampirkan harga solar dari Pertamina, karena harga solar selalu berubah-ubah maka bagian keuangan minta dilampirkan harga solar dari pertamina. d. Kepala Bagian umum membuat permintaan UMK (uang Muka Kerja) dengan persetujuan Direksi Umum dan Direktur Utama dengan melampirkan: PP (Permintaan Pembelian). DPB (Daftar Permintaan Barang). Informasi Anggaran. Harga jual dari Pertamina untuk harga solar. e. Setelah UMK (Uang Muka Kerja) ditanda tangani oleh Direksi lalu diserahkan kebagian Pembelian selanjutnya bagian pembelian mengambil uang ke Bendahara dan bendahara mengeluarkan cek atau uang tunai untuk pembelian solar kepada Bagian Pembelian. f. Selanjutnya Blanko order beserta infomasi anggaran yang telah diparaf oleh Kabag Keuangan dibawa oleh bagian keuangan ke Direksi (direktur umum dan

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

direktur Utama) lalu oleh Direktur Umum diberikan paraf di blangko Order dan menyetujui Direktur Utama dengan ditandatangani olehnya g. Setelah dilakukan pembelian solar bagian umum membuat pertanggungjawaban berupa pembuatan voucher pembayaran atas solar dengan melengkapi: Order pembelian. Laporan penerimaan barang. Tanda terima barang dan dilengkapi dengan syarat-syarat sebelumya. h. Setelah lengkap semua berkas dibukukan kebagian akuntansi kemudian bagian akutansi memberikan paraf lalu berkas diserahkan kepada Kabag Keuangan dan dengan ditandatangani Voucher tersebut sebagai mengetahui bahwa kelengkapan voucher sudah cukup, lalu setelah ditandatangani dan disetujui oleh Direksi kemudian berkas diberikan ke bendahara untuk pertanggungjawaban. Bahwa tugas dan wewenang terdakwa selaku Kasubag pembelian dilingkungan PDAM Way Rilau Kota Bandar Lampung berdasarkan Peraturan Walikota Bandar Lampung No.76 tahun 2008 tentang struktur organisasi PDAM Way Rilau Kota Bandar Lampung antara lain: 1) Membantu Kepala Bagian Umum pada Bidangnya. 2) Melaksanakan pembelian kebutuhan oprasional Perusahaan sesuai permintaan bagian di lingkungan PDAM Way Rilau. 3) Menyerahkan barang barang yang diminta kepada unit pemakai. 4) Menerima/ membuat tanda terima barang. 5) Membuat Laporan bulanan. 6) Melaksanakan tugas tugas yang diberikan oleh Kabag Umum Berdasarkan hasil penyidikan yang dilakukan oleh Tim Penyidik Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, ditemukan penyimpangan dalam proyek Kasus dugaan korupsi pengadaan pembelian solar di lingkungan PDAM tersebut, baik pada tahun 2010 dan tahun 2011 dengan membuat pertanggungjawaban fiktif pembelian solar di kantor PDAM Way Rilau Kota Bandar Lampung dengan menggunakan harga industri dengan data sebagai berikut: Tabel 1. Pembelian Solar Tahun 2010 Berdasarkan Tanda Terima Voucer. No Urut

No. Voucer Pembelian

Tanggal Voucer

Jumlah Liter

Harga Beli

Ongkos Angkut

Jumlah Pembayaran

2 291

No. Voucer Ongkos Angkut 3 292

1 1

4 12/04/2010

5 15.000

6 97,277,895

7 1,350.000

8 = 6+7 98,627,895

2

439

440

27/05/2010

10.000

70,390.000

900.000

71.290.000

3

664

665

23/07/2010

10.000

65.030.000

900.000

65.930.000

4

800

801

30/08/2010

20.000

130.620.000

1.800.000

132.420.000

5

1161

1162

29/11/2010

15.000

102.540.000

1.350.000

103.890.000

70.000

465.857.895

6.300.000

472.157.895

Sumber: Kejaksaan Negeri Bandar Lampung

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Tabel 2. Pembelian Solar Tahun 2011 Berdasarkan Tanda Terima Voucer. No Urut

No. Voucer

Tanggal Voucer

Jumlah Liter

Harga Beli

Ongkos Angkut

Jumlah Pembayaran

2 69

No. Voucer Ongkos Angkut 3 70

1 1

4 1/2/2011

5 15.000

6 119.685.000

7 1.350.000

8 = 6+7 121.035.000

2

217

218

16/3/2011

15.000

128.385.000

1.350.000

129.735.000

3

424

425

30/05/2011

15.000

146.730.000

1.350.000

148.080.000

4

592

593

19/07/2011

10.000

89.200.000

900.000

90.100.000

5

763

764

24/08/2011

10.000

89.930.000

900.000

89.830.000

6

943

944

28/10/2011

12.000

107.232.000

1.080.000

108.312.000

7

957

958

1/11/2011

43.000

384.248.000

3.870.000

388.118.000

8

1179

1180

23/12/2011

10.000

80.600.000

900.000

81.500.000

130.000

1.145.010.000

11.700.000

1.156.710.000

Sumber: Kejaksaan Negeri Bandar Lampung Total pembelian solar pada tahun 2010 s/d 2011 yaitu Rp 472.157.895 + Rp 1.156.710.000 = Rp 1.628.867.895,00 (satu milyar enam ratus dua puluh delapan juta delapan ratus enam puluh tujuh ribu delapan ratus Sembilan puluh lima rupiah). Padahal terdakwa dalam melakukan pembelian solar pada tahun 2010 s/d 2011 sebanyak 200.000 liter tersebut menggunakan harga subsidi sebesar Rp 1.020.000.000,00 (satu milyar dua puluh juta rupiah) bukan dengan harga industri sebesar Rp 1.628.867.895,00 (satu milyar enam ratus dua puluh delapan juta delapan ratus enam puluh tujuh ribu delapan ratus Sembilan puluh lima rupiah). Bahwa terdakwa disamping telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan melakukan pembelian solar yang seharusnya menggunakan harga industri tetapi menggunakan harga subsidi, juga tidak diperbolehkan melakukan pembelian di SPBU Lempasing sesuai Peraturan Presiden RI No. 9 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2005 tentang harga Jual eceran bahan bakar minyak dalam negeri, lampiran II terkait Penetapan Titik serah dan tata cara pembayaran BBM. Titik serah (custody transfer point) bensin, premium dan minyak solar (gas oil) untuk industri, pertambangan, pembangkit listrik dan konsumen lainnya dilakukan melalui terminal transit/instalasi/depot. Mengingat PDAM Way RILAU Kota Bandar Lampung termasuk kedalam Rumah tangga produksi sehingga pembelian solar harus dilakukan di pertamina atau perusahaan yang ditunjuk bukan SPBU. Bahwa perbuatan terdakwa yang dilakukan secara melawan hukum tersebut di atas telah memperkaya diri terdakwa dari hasil selisih harga pembayaran solar sebesar Rp. 608.867.895,-- ( enam ratus delapan juta delapan ratus enam puluh tujuh ribu delapan ratus sembilan lima rupiah) yang antara lain uang tersebut dipergunakan oleh terdakwa untuk kepentingan pribadi. Akibat perbuatan terdakwa tersebut Negara mengalami kerugian sebesar Rp. 608.867.895,-- ( enam ratus delapan juta delapan ratus enam puluh tujuh ribu delapan ratus sembilan lima rupiah) sesuai dengan Laporan Hasil Audit Perhitungan Kerugian

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Keuangan Negara oleh BPKP Propinsi Lampung Nomor : SR-2591/PW08/5/2012 tanggal 24 Agustus 2012 atau sekitar jumlah tersebut. Berdasarkan Surat Perintah Penyidikan tersebut, Penyidik dari Kejaksaan Negeri Bandar Lampung melakukan penyidikan dengan memeriksa saksi dan ahli sebanyak 15 orang dengan kesimpulan bahwa tersangka telah memenuhi unsur melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana tercantum didalam Pasal 2 Ayat (1) Jo Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-undang No.31 tahun 1999 sebagaimana yang telah dirubah dengan Undangundang No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 64 ayat (1) KUHP. 2. Kasus Dugaan Korupsi Proyek Proyek Pembangunan Jalan Lintas Timur Tahun 2009 Di Kota Bandar Lampung Dugaan korupsi pada Proyek Pembangunan Jalan Lintas Timur Tahun 2009 ini bermula dari laporan hasil audit investigasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Perwakilan (BPKP) Propinsi Lampung menemukan adanya penyimpangan dalam pengerjaan Proyek Pembangunan Jalan Lintas Timur Tahun 2009 sampai saat ini belum dapat diselesaikan. B. Kendala-Kendala Yang Dihadapi Kejari Bandar Lampung Dalam Penanganan Kasus Korupsi Kejaksaan bukanlah sebuah lembaga yang menjalankan segala sesuatunya tanpa hambatan dan permasalahan, seringkali pada praktiknya, permasalahan yang dihadapi Kejaksaan dalam penanganan perkara, khususnya perkara – perkara tindak pidana khusus terlalu komplek dan meluas, yang seringkali berdampak pada berlarut – larutnya penangan kasus yang masuk ke tubuh Kejaksaan itu sendiri. Permasalahan – permasalahan tersebut tidak hanya timbul dari dalam instansi Kejaksaan sendiri, akan tetapi seringkali permasalahan – permasalahan dan hambatan – hambatan dalam penanganan perkara juga timbul dari luar instansi Kejaksaan dalam hubungannya dengan kerjasama antar instansi pemerintah lainnya. Penanganan kasus dugaan korupsi Proyek pembangunan jalan lintas timur, yang dilakukan penyidik Kejati Lampung, termasuk pada golongan kasus yang penanganannya lambat,karena untuk menyelesaikan penyidikan kasus tersebut, penyidik dari Kejaksaan Tinggi Lampung memerlukan waktu hingga sekitar 3 tahun, waktu yang tidak sebentar yang berkesan berlarut-larut. Dalam perjalanan penanganan kasus tersebut, ternyata Kejaksaan Tinggi Lampung mengalami beberapa hambatan yang menyebabkan berlarutnya penangangan kasus tersebut, hal tersebut lebih banyak disebabkan oleh faktor internal yang ada di dalam Kejaksaan itu sendiri maupun faktor eksternal: 1. Faktor Internal a. Kemampuan penyidik yang tidak memahami bagaimana cara menangani kasus Tindak Pidana Korupsi yang tepat dan tuntas; b. Adanya mutasi Penyidik yang menangani perkara tersebut; c. Kesibukan penyidik dalam menangani perkara lain, yang pada saat itu, penyidik yang sama juga bertindak sebagai penyidik dan penuntut umum dalam perkara tindak pidana umum; d. Tersangka tidak dilakukan penahanan, sehingga menyebabkan penyidik tidak terikat dengan waktu penahanan yang menyebabkan penyidik lalai dalam menyelesaikan berkas perkara.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Pada dasarnya penahanan tersangka pada proses penyidikan berpengaruh besar pada terselesaikannya penyidikan kasus yang sedang ditangani, karena dengan adanya penahanan tersebut, penyidik terikat untuk segera melesaikan berkas perkara sebelum masa penahanan berakhir. Jika masa penahanan sudah habis dan berkas penyidikan belum selesai, maka jaksa penyidik tersebut akan dikenakan sanksi administrasi seperti dipindah tugaskan ke daerah lain ataupun sanksi administrasi lainnya, akan tetapi bukan berarti seluruh tersangka yang sedang dilakukan penyidikan harus ditahan, karena penyidik juga dibatasi oleh unsur objektif dan subjektif penahanan yang harus dipenuhi sesuai peraturan perundang – undangan yang berlaku agar penyidik tidak dinilai sewenang – wenang dalam menjalankan tugasnya. Perbedaan penyelesaian penyidikan yang berkaitan dengan penahanan tersangka ini akan terlihat pada perbandingan kasus dugaan korupsi Proyek Pembangunan Jalan Lintas Timur ini dengan kasus dugaan korupsi Pengadaan pembelian solar. Pada kasus dugaan korupsi Pengadaan pembelian solar ini, tersangka Haris Munandar ditahan oleh penyidik selama 20 hari dengan perpanjangan selama 40 hari, dan penyelesaian berkas perkara pun tepat pada saat masa penahanan tersangka tersebut selesai. 2. Faktor Eksternal: a. Masih ketergantungan instansi lain dalam menentukan perhitungan kerugian Negara atau jumlah kerugian Negara yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) maupun Badan Pemeriksa Keuangan dan Pengawas Pembangunan (BPKP). b. Adanya beberapa peraturan perundang-undangan yang mewajibkan penyidik memerlukan ijin dari instansi lain seperti dari Bank Indonesia untuk mengetahui keadaan keuangan atau simpanan tersangka, maupun pemeriksaan terhadap anggota DPRRI / DPDRI dan DPRD. Ijin penyitaan dari Pengadilan yang terlalu lama sehingga menghambat penyidikan yang sedang ditangani, sehingga tidak dapat diselesaikan dengan cepat. C. Upaya Percepatan Proses Penyidikan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Oleh Kejari Bandar Lampung Upaya untuk memecahkan persoalan hukum atau penyelesaian hukum yang berkaitan dengan korupsi antara lain adalah: 1. Berdasarkan sisi struktur yang meliputi perbaikan segala kelembagaan atau organorgan yang menyelenggarakan sehingga dapat meminimalisasikan terjadinya korupsi. 2. Substansi yang menyangkut pembaharuan terhadap berbagai perangkat peraturan dan ketentuan normatif, pola dan kehendak perilaku masyarakat yang ada dalam sistem hukum tersebut. 3. Budaya hukum, yaitu merupakan aspek signifikan yang melihat bagaimana masyarakat menganggap ketentuan sebagai aturan hukum, sehingga masyarakat akan selalu taat dan sadar pentingnya hukum sebagai regulasi umum. Persoalan hukum adalah budaya hukum yang berkaitan erat dengan etika dan moral masyarakat dan pejabat penegak hukum dalam menyikapi korupsi.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

4. Perlunya suatu terobosan hukum untuk melakukan penghitungan kerugian Negara tanpa melibatkan BPK maupun BPKP seperti mengambil dari Universitas dan auditor Swasta. 5. Perlu dibentuk satuan khusus Jaksa Penyidik di setiap Kejaksaan Negeri untuk menangani kasus-kasus Tindak Pidana Korupsi Penanganan perkara korupsi berbeda dengan penanganan perkara pidana biasa, hal ini dikarenakan tindak perkara korupsi memiliki dimensi perekonomian, oleh karena itu proses perkara korupsi tidak saja ditujukan untuk menghukum pelakunya, tetapi yang paling penting justru mengembalikan kerugian negara akibat korupsi tersebut, walaupun pengembalian keuangan negara merupakan bentuk penghukuman tambahan juga. Dengan demikian penindakan korupsi yang diawali dengan penyelidikan, penyidikan harus sedini mungkin melakukan identifikasi dan pencarian aset tersangka, guna dilakukan penyitaan dalam upaya untuk mendapat jaminan dikembalikannya kerugian negara. Kejaksaan sebagai sentral penegakan hukum yang diberikan kewenangan penyidikan, penuntutan atau eksekusi atas tindak pidana korupsi, telah diperintahkan melalui Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Percepatan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Inpres tersebut diinstruksikan secara khusus kepada Jaksa Agung, untuk: 1. Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi untuk menghukum pelaku dan menyelamatkan uang negara. 2. Mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Jaksa (penuntut umum) dalam rangka penegakan hukum. 3. Meningkatkan kerjasama dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia, selain dengan BPKP, PPATK dan Institusi negara yang terkait dengan upaya penegakan hukum dan pengembalian kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi. Untuk mencapai kesamaan persepsi, kesamaan tujuan dan kesamaan rencana tindak (action plan) dalam memberantas korupsi, selanjutnya Inpres tersebut ditindak lanjuti dengan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RANPK) tahun 2004 sampai dengan tahun 2009, khususnya dalam bidang penindakan. Dalam rangka mengoptimalkan pemberantasan tindak pidana korupsi Pemerintah telah mengeluarkan Inpres No. 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi namun tidak secara tegas bagaimana upaya upaya mengoptimalkan tersebut, mengingat tidak ada satupun aturan sebagai payung hukum untuk melakukan terobosan hukum guna mempercepat proses Penyidikan maupun Penuntutan dalam mengoptimalkan penanganan perkara tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Jaksa Agung sesuai dengan Inpres No. 5 tahun 2004 tersebut. Meskipun Inpres No.5 tahun 2004 telah diberikan secara khusus kepada Jaksa Agung tetapi kendala-kendala yang dihadapi untuk melaksanakan Inpres tersebut masih sangat tinggi, mengingat masih adanya beberapa peraturan dalam tahap Penyidikan masih terlebih dahulu harus ada ijin dari instansi lain seperti untuk memeriksa Simpanan tersangka harus ada ijin dari Gubernur Bank Indonesia, demikian juga untuk memeriksa anggota Dewan baik ditingkat Kabupaten/Kota, Propinsi maupun Pusat harus memerlukan ijin terlebih dahulu. Belum halnya dalam hal melakukan penghitungan kerugian keuangan Negara harus memerlukan

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

perhgitungan Ahli dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan. Untuk mengoptimalkan dalam penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Pembatasan Waktu Penyelesaian Berkas Perkara Tahap Penyidikan. Dalam proses penyidikan perkara tindak pidana korupsi secara tegas tidak diatur dalam suatu peraturan perundang-undangan berapa lama penyidikan harus selesai dilaksanakan, namun sebaiknya dapat dilakukan secara cepat dengan mengacu kepada Azas yang mengatur perlindungan terhadap seluruh harkat dan martabat manusia yang tercantum didalam Hukum Acara Pidana antara lain yaitu harus dilakukan dengan Cepat, Sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur. Namun sebaiknya didalam penyelesaian dapat mengacu kepada waktu penahanan tersangka dalam tahap Penyidikan harus sudah dapat diselesaikan paling lambat selama 120 (seratus dua puluh) hari sebagaimana yang tercantum dalam pasal 24 KUHAPdan Pasal 29 KUHAP. 2. Tersangka Tindak Pidana Korupsi harus dilakukan Penahanan. Salah satu langkah yang harus dilakukan untuk mempercepat penanganan perkara tindak pidana kurupsi tentunya tersangka harus dilakukan penahanan, karena dengan dilakukan penahanan terhadap tersangka maka Penyidik terikat dengan batas waktu Penahanan seperti yang tercantum didalam pasal 24 dan 29 KUHAP selama paling lama 120 (seratus dua puluh hari) apabila tidak maka tersangka akan lepas demi hukum dan konsekuensinya Penyidik akan mendapat sanksi secara administratif dan akan mempengaruhi kariernya. Apabila dalam proses Penyidikan tersangka tidak dilakukan penahanan maka Penyidik secara moral tidak di batasi waktu, sehingga penyelesaiannya akan berlarut-larut. 3. Penghitungan Kerugian Keuangan Negara. Salah satu unsur dalam perkara tindak pidana korupsi adalah “Merugikan Keuangan Negara“ maka untuk dapat menentukan apakah perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau tidak masih tergantung instansi lain yaitu dari hasil Auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Pelaksanaan dari hasil audit BPK maupun BPKP tersebut memerlukan waktu yang lama sehingga sangat mempengaruhi penyelesaian penanganan tindak pidana koropsi dalam tahap penyidikan. Disisi lain untuk mempercepat penanganannya Penyidik melakukan penghitungan sendiri jumlah kerugian keuangan negara akibat perbuatan tersebut, hal tersebut dilakukan karena dianggap perkara tersebut mudah pembuktiannya dari segi kerugian keuangan negara dan tidak perlu penghitungan dari Audit BPK maupun BPKP, tetapi apabila ditinjau dari segi pembuktian maka dapat mengurangi satu alat Bukti dalam pembuktian di persidangan yaitu alat bukti beryupa AHLI karena penghitungan kerugian Negara yang dilakukan oleh Penyidik tidak termasuk alat bukti keterangan Ahli. Untuk itu dalam rangka mengoptimalkan upaya penyidikan perkara tindak pidana korupsi sesuai dengan Inpres No.5 tahun 2004 tersebut sangat diperlukan koordinasi antara penyidik dengan Auditor dalam hal ini BPK maupun BPKP untuk melakukan penghitungan kerugian keuangan atau dengan melakukan suatu terobosan birokrasi dengan membuat satuan tugas yg merupakan satu atap.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

4. Kesulitan pencarian alat Bukti. Pencarian alat bukti berupa Surat maupun Petunjuk berupa Dukumen sebagai Barang Bukti sering terdapat kendala mengingat Subyek Hukum “setiap orang“ dalam perkara tidak pidana korupsi adalah orang yang mempunyai pengaruh atau Jabatan dan orang intelektual sehingga bagaimanapun orang yang disangka melakukan perbuatan tersebut berusaha untuk menghilangkan barang bukti atau menggagalkan penyidik untuk mendapatkan Barang bukti yg ada hunbungannya dengan tindak pidana korupsi. Untuk menyikapi hal tersebut penyidik dalam pencarian alat bukti agar bergerak lebih cepat dengan koordinasi dengan instansi yang terkait dengan dokumen yang diperlukan. III. Simpulan Berdasarkan uraian yang telah penulis jelaskan sebelumnya, penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Penanganan kasus dugaan korupsi yang dilakukan penyidik Kejaksaan Negeri Bandar Lampung mengalami beberapa hambatan yang menyebabkan berlarutnya penangangan kasus tersebut, hal tersebut lebih banyak disebabkan oleh faktor internal maupun faktor eksternal sebagai berikut: a.Faktor Internal: 1) Kemampuan penyidik pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung yang tidak memahami bagaimana cara menangani kasus Tindak Pidana Korupsi yang tepat dan tuntas. 2) Adanya mutasi Penyidik pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung yang menangani perkara tersebut. 3) Kesibukan penyidik pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dalam menangani perkara lain, yang pada saat itu, penyidik yang sama juga bertindak sebagai penyidik dan penuntut umum dalam perkara tindak pidana umum. 4) Tersangka tidak dilakukan penahanan, sehingga menyebabkan penyidik tidak terikat dengan waktu penahanan yang menyebabkan penyidik lalai dalam menyelesaikan berkas perkara. b. Faktor Eksternal: 1) Masih ketergantungan terhadap instansi lain dalam menentukan perhitungan kerugian Negara atau jumlah kerugian Negara yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) maupun Badan Pemeriksa Keuangan dan Pengawas Pembangunan (BPKP). 2) Adanya beberapa peraturan perundang-undangan yang mewajibkan penyidik memerlukan ijin dari instansi lain seperti dari Bank Indonesia untuk mengetahui keadaan keuangan atau simpanan tersangka, maupun pemeriksaan terhadap anggota DPRRI/DPDRI dan DPRD. 3) Izin penyitaan dari Pengadilan yang terlalu lama sehingga menghambat penyidikan yang sedang ditangani, sehingga tidak dapat diselesaikan dengan cepat. 2. Upaya untuk memecahkan persoalan hukum yang berkaitan dengan percepatan penyidikan tindak pidana korupsi di Kejaksaan Negeri Bandar Lampung dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

a. Pembaharuan terhadap berbagai perangkat peraturan dan ketentuan normatif sebagai landasan untuk mempercepat penyidikan tindak pidana korupsi tersebut perlu diperkuat didalam sistem hukum di Indonesia. b. Perlunya suatu terobosan hukum untuk melakukan penghitungan kerugian Negara tanpa melibatkan BPK maupun BPKP seperti mengambil dari Universitas atau auditor swasta. c. Perlunya dibentuk satuan khusus Jaksa Penyidik pada Kejaksaan Negeri Bandar Lampung untuk menangani kasus-kasus Tindak Pidana Korupsi. d. Perlunya Pembatasan Waktu Penyelesaian Berkas Perkara Tahap Penyidikan, karena dalam proses penyidikan perkara tindak pidana korupsi secara tegas tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan berapa lama penyidikan harus selesai dilaksanakan. e. Melakukan Penahanan Terhadap Tersangka Tindak Pidana Korupsi. Salah satu langkah yang harus dilakukan untuk mempercepat penanganan perkara tindak pidana kurupsi tentunya tersangka harus dilakukan penahanan. Dalam pencarian alat bukti, penyidik harus bergerak lebih cepat dan berkoordinasi dengan instansi yang terkait dengan dokumen yang diperlukan. Daftar Pustaka Buku Alam, Wawan Tunggul. 2004. Memahami Profesi Hukum. Milenia Populer: Jakarta. Anwary. 2005. Quo Vadis Pemberantasan Korupsi. Amra: Jakarta. Atmasasmita, Romli. 2002. Korupsi, Good Governance Dan Komisi Anti Korupsi Di Indonesia. Penerbit Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI: Jakarta. ----------. 2010. Teori dan Kapita Selekta Kriminologi. Refika Aditama: Bandung. Hamzah, Andi. 2005. Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional. Raja Grafindo Persada: Jakarta. ----------. 2004. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta: Jakarta. Hartanti, Evi. 2006. Tindak Pidana Korupsi. Sinar Grafika: Jakarta. Hasibuan, H. P. Malayu. 2001. Manajeman: Dasar Pengertian dan Masalah. Bumi Aksara: Jakarta. K, Soekarno. 1968. Dasar – Dasar Management. Miswar: Jakarta. Krisnawati, Dani, et all. 2006. Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus. Pena: Jakarta. Lopa, Baharudin. 2001. Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum. Kompas: Jakarta. Marpaung, Leden. 2004. Tindak Pidana Korupsi Pemberantasan dan Pencegahan. Djambatan: Jakarta. Mertokusumo, Sudikno. 2005. Mengenal Hukum. Liberty: Yogyakarta Moelyatno. 2008. Asas-Asas Hukum Pidana edisi Revisi. Rineka cipta: Jakarta. Moeljatno, L.1982. Kriminologi. Bina Aksara: Jakarta. Rachman, T.A. Doktrin Kejaksaan. Buku Pedoman Pendidikan Pembentukan Jaksa. Remmelink, Jan. 2003. Hukum Pidana Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana Indonesia. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta. Sarwoto. 1981. Dasar – Dasar Organisasi dan Manajemen. Ghalia Indonesia: Jakarta. Siagian. 1970. Filsafat Administrasi. Gunung Agung: Jakarta. Sujamto. 1986. Beberapa Pengertian di Bidang Pengawasan. Ghalia Indonesia: Jakarta.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Winardi, J. 2005. Pemikiran Sistemik Dalam Bidang Organisasi dan Manajemen, Raja Grafindo: Jakarta. Makalah Chanifuddin. “ Lemahnya Pemberantasan Korupsi di Indonesia”. Karya Tulis Diklat Kejaksaan Agung Republik Indonesia. Jakarta. Hiariej, Eddy O.S. 2008. Nuansa “korupsi” Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006, dalam buku Menyelamatkan Uang Rakyat (Kajian Akademik Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006). Pukat Korupsi FH UGM: Yogyakarta. Internet Adhani, Rachmat. “Survey Internasional: Indonesia Masih Paling Korup”. Global Future Institude. www.theglobal-review.com. 18 November 2010. Alamsyah, Holid. “Kejahatan dan Pelanggaran dalam KUHP”. Blogspot. www. Holidemkaen.blogspot.com. 10 Desember 2011. Nusantaraku. “Memalukan.. Indonesia Negara Terkorup Asia Tenggara”. Nusantara News. www. nusantaranews.wordpress.com. 18 November 2010. Saleh, Abdul Rahman. “Penegakan Hukum Sebagai Komponen Integral Pembangunan Nasional”. Komisi Hukum Nasional. www. Komisihukum.go.id. 14 Januari 2011.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Pengawasan dan Pembatalan Perda Mengenai Pajak Daerah Kabupaten/Kota Sebagai Bentuk Penegakan Hukum Preventif oleh Pemerintah __________________________________________________________________ Nurmayani A. Pendahuluan Penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas daerah-daerah kabupaten dan kota. Tiap-tiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Untuk menyelenggarakan pemerintahan tersebut, Daerah berhak mengenakan pungutan kepada masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kenegaraan, ditegaskan bahwa penempatan beban kepada rakyat, seperti pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa diatur dengan Undang-Undang. Dengan demikian, pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah harus didasarkan pada Undang-Undang.27 Pada dasarnya kecenderungan Daerah untuk menciptakan berbagai pungutan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan bertentangan dengan kepentingan umum dapat diatasi oleh Pemerintah dengan melakukan pengawasan terhadap setiap Peraturan Daerah yang mengatur Pajak dan Retribusi tersebut. Undang-undang memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk membatalkan setiap Peraturan Daerah yang bertentangan dengan Undang-Undang dan kepentingan umum. Peraturan Daerah yang mengatur Pajak dan Retribusi dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari kerja sejak ditetapkan harus disampaikan kepada Pemerintah. Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja Pemerintah dapat membatalkan Peraturan Daerah yang mengatur Pajak dan Retribusi. Dalam kenyataannya, pengawasan terhadap Peraturan Daerah tersebut tidak dapat berjalan secara efektif. Banyak Daerah yang tidak menyampaikan Peraturan Daerah kepada Pemerintah dan beberapa Daerah masih tetap memberlakukan Peraturan Daerah yang telah dibatalkan oleh Pemerintah. Tidak efektifnya pengawasan tersebut karena Undang-Undang yang ada tidak mengatur sanksi terhadap Daerah yang melanggar ketentuan tersebut dan sistem pengawasan yang bersifat represif. Peraturan Daerah dapat langsung dilaksanakan oleh Daerah tanpa mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Pemerintah.28 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah telah mengantisipasi tidak efektifnya pengawasan perda tersebut. Berdasarkan 27 28

Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Ibid.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Pasal 159 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2009, daerah dapat dikenai sanksi berupa penundaan atau pemotongan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil atau restitusi jika tidak menaati mekanisme pengawasan perda pajak daerah yang telah diatur dalam UU No 28 Tahun 2009. Pengawasan terhadap perda pajak daerah kabupaten/kota yang dilakukan oleh pemerintah daerah pada dasarnya merupakan bentuk dari penegakan hukum yang sifatnya preventif dalam penaatan peraturan perundang-undangan dibidang pajak daerah. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, akan dibahas lebih lanjut mengenai pengawasan dan pembatalan perda mengenai pajak daerah sebagai bentuk penegakan hukum preventif yang dilakukan pemerintah. B. Pengaturan Pajak Daerah Dalam Peraturan Daerah Menurut P.J.A Adriani, Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturanperaturan, dengan tidak mendapat prestasi-kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan,29 sedangkan menurut Rochmat Soemitro, Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara herdasarkan undang undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa-jasa timbal (kontra-prestasi), yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”, dengan penjelasan sebagai berikut: “Dapat dipaksakan” artinya: bila utang pajak tidak dibayar, utang itu dapat ditagih dengan menggunakan kekerasan, seperti surat paksa dan sita, dan juga penyanderaan; terhadap pembayaran pajak, tidak dapat ditunjukkan jasa timbalbalik tertentu, seperti halnya dengan retribusi.30 Mardiasmo memberikan definisi pajak beserta persyaratan pemungutannya. Pajak merupakan iuran masyarakat yang sifatnya dipaksakan, maka agar dalam pemungutannya tidak mengalami hambatan atau perlawanan dari masyarakat maka harus memenuhi syarat sebagai berikut:31 1. Pemungutan pajak harus adil. 2. Pemungutan pajak harus bersarkan hukum. 3. Pemungutan pajak harus tidak mengganggu perekonomian. 4. Pemungutan pajak harus efisien. 5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana. Berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, pajak terbagi menjadi pajak yang di pungut oleh pemerintah dan pajak yang dipungut oleh

29

R. Santoso Brotodihardjo, SH. Pengantar Ilmu Hukum Pajak , PT. Refika Aditama, Bandung. Cet Pertama Edisi Keempat, 2003, hlm 2. 30 Ibid, Santoso Brotodihardjo, hlm 6. 31 Mardiasmo. Perpajakan. Penerbit Andi Offiset. Yogyakarta. 2003. hlm 21.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

pemerintah daerah. Dari segi kewenangan pemungutan pajak atas objek pajak daerah, pajak daerah dibagi menjadi 2 (dua) yakni: 1. Pajak Daerah yang dipungut oleh provinsi. 2. Pajak Daerah yang dipungut oleh kabupaten /kota. Pajak daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana yang didefinisikan Pasal 1 angka 10 UU No. 28 Tahun 2002. Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah. Secara lebih spesifik perpajakan daerah diartikan oleh K. J. Davey, yaitu:32 1. Pajak yang dipungut oleh Pemerintahan Daerah dengan pengaturan dari daerah sendiri. 2. Pajak yang dipungut berdasarkan peraturan nasional tetapi penetapan tarifnya dlakukan oleh Pemerintahan Daerah. 3. Pajak yang ditetapkan dan atau dipungut oleh Pemerintah Daerah. 4. Pajak yang dipungut dan diadministrasikan oleh pemerintah pusat tetapi hasil pungutannya diberikan kepada, dibagihasilkan dengan, atau dibebani pungutan tambahan (opsen) oleh Pemerintahan Daerah. Berdasarkan Pasal 2 UU No. 28 Tahun 2009, dibedakan jenis pajak daerah yang dipungut oleh provinsi dan kabupaten/kota. Pembedaan itu adalah sebagai berikut: 1. Jenis Pajak provinsi terdiri atas: a. Pajak Kendaraan Bermotor; b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor; c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; d. Pajak Air Permukaan; dan e. Pajak Rokok. 2. Jenis Pajak kabupaten/kota terdiri atas: a. Pajak Hotel; b. Pajak Restoran; c. Pajak Hiburan; d. Pajak Reklame; e. Pajak Penerangan Jalan; f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan; g. Pajak Parkir; 32

Davey, K.J. Pembiayaan Pemerintah Daerah. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. 1988, hlm 39.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

h. i. j. k.

Pajak Air Tanah; Pajak Sarang Burung Walet; Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan;dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Pajak daerah merupakan pajak yang ditetapkan oleh pemerintah daerah dengan peraturan daerah (Perda), yang wewenang pemungutannya dilaksanakan oleh pemerintah daerah dan hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah daerah dalam melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah.33 Pemungutan pajak daerah terhadap masyarakat wajib memiliki dasar hukum yang kuat berupa peraturan daerah. Peraturan daerah merupakan salah satu bentuk peraturan perundangundangan34 yang ada di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. UU No. 12 Tahun 2011 merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011, hierarki Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku di Indonesia yaitu:35 a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Kewenangan pembentukan Peraturan Daerah berada pada Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dasar kewenangan pembentukan Peraturan Daerah diatur dalam:36 a. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik indonesia Tahun 1945 yang isinya: “Pemerintahan Daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”.

33

Marihot P. Siahaan, Pajak Daerah dan Retrebusi Daerah. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2005, hlm 10. 34 Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. Pasal 1 angka 2 UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan. 35 Ibid, Pasal 7 Ayat (1). 36 Kementerian Hukum dan HAM RI, Panduan Praktis Memahami Perancangan Peraturan Daerah, 2011, hlm 12.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

b. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah [Pasal 25 huruf c, Pasal 42 ayat (1) huruf a, dan Pasal 136 ayat (1)] yang masing-masing ketentuannya sebagai berikut: 1) Pasal 25 huruf c: ”Kepala Daerah mempunyai tugas dan wewenang menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD”. 2) Pasal 42 ayat (1) huruf a: ” DPRD mempunyai tugas dan wewenang membentuk Perda yang dibahas dengan Kepala Daerah untuk mendapatkan persetujuan bersama”. 3) Pasal 136 ayat (1): ”Perda ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD”. Pajak daerah wajib diatur dengan peraturan daerah agar memperoleh legitimasi hukum dalam pemungutannya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 95 UU No. 28 Tahun 2009 yang menegaskan bahwa pajak ditetapkan dengan Peraturan Daerah dan tidak berlaku surut. Peraturan Daerah tentang Pajak paling sedikit mengatur ketentuan mengenai: 1. nama, objek, dan Subjek Pajak; 2. dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan pajak; 3. wilayah pemungutan; 4. masa Pajak; 5. penetapan; 6. tata cara pembayaran dan penagihan; 7. kedaluwarsa; 8. sanksi administratif; dan 9. tanggal mulai berlakunya. Peraturan Daerah tentang Pajak dapat juga mengatur ketentuan mengenai: 1. pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu atas pokok pajak dan/atau sanksinya; 2. tata cara penghapusan piutang pajak yang kedaluwarsa; dan/atau 3. asas timbal balik, berupa pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan pajak kepada kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing sesuai dengan kelaziman internasional. C. Pengawasan dan Pembatalan Perda Mengenai Pajak Daerah Sebagai Bentuk Penegakan Hukum Preventif Yang Dilakukan Pemerintah Secara substantif, pembentukan perda pajak daerah dan retribusi daerah tidak lepas dari aspek pengawasan. Pengawasan (toezicht, supervision) Perda merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dari kebebasan otonomi. Antara kebebasan dan kemandirian berotonomi di satu pihak dan pengawasan di pihak lain, merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan dalam negara kesatuan dengan sistem otonomi (desentralisasi). Pengawasan ini merupakan kendali terhadap desentralisasi yang berlebihan. Tidak ada otonomi tanpa pengawasan. Selain itu pengawasan adalah

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

suatu bentuk hubungan dengan sebuah legal entity yang mandiri, bukan hubungan internal dari intitas yang sama. Bentuk dan isi pengawasan dilakukan semata-mata menurut atau berdasarkan ketentuan undang-undang. Hubungan pengawasan hanya dilakukan terhadap hal yang secara tegas ditentukan dalam undang-undang. Pengawasan tidak berlaku atau tidak diterapkan terhadap hal yang tidak ditentukan atau berdasarkan undang-undang.37 Ada dua jenis pengawasan baku terhadap satuan pemerintahan otonom yaitu pengawasan preventif (preventief toezicht) dan pengawasan represif (repressief toezicht). Pengawasan ini berkaitan dengan produk hukum dan tindakan tertentu organ pemerintahan daerah. Pengawasan preventif dikaitkan dengan wewenang mengesahkan (goedkeuring), sedangkan pengawasan represif adalah wewenang pembatalan (vernietiging) atau penangguhan (schorsing).38 Konteks pengawasan kaitannya dengan perda pajak daerah juga terbagi menjadi preventif dan represif. Pengawasan yang sifatnya preventif berkenaan dengan pengawasan rancangan peraturan daerah tentang pajak daerah, sedangkan pengawasan yang sifatnya represif berkaitan dengan pengawasan peraturan daerah mengenai pajak daerah setelah ditetapkan oleh pejabat yang berwenang dan berlaku bagi masyarakat. Pengawasan terhadap perda pajak yang telah berlaku oleh pemerintah merupakan bentuk penegakan hukum yang bersifat preventif. Menurut Jimly,39 Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen system hukum. Sistem hukum dalam pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni komponen struktur hukum (legal structure), komponen substansi hukum (legal substance) dan komponen budaya hukum (legal culture). Struktur hukum (legal structure) merupakan batang tubuh, kerangka, bentuk abadi dari suatu sistem. Substansi hukum (legal substance) aturan-aturan dan norma-norma actual yang dipergunakan oleh lembaga-lembaga, kenyataan, bentuk perilaku dari para pelaku yang diamati di dalam sistem. Adapun kultur atau budaya hu-kum (legal culture) merupakan gagasan-gagasan, sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, harapan-harapan dan pendapat tentang hukum. Dalam perkembangan-nya, Friedman menambahkan pula komponen yang keempat, yang disebutnya komponen dampak hukum (legal impact). Dengan komponen dampak hukum ini yang dimaksudkan adalah dampak dari suatu keputusan hukum yang 37

Yuswanto dkk, Laporan Penelitian Eksistensi dan Posisi UU PDRD Terhadap UU Otonomi Daerah, 2005, hlm 28. 38 Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII. Jogjakarta. 2001. 39 Jimly Asshiddiqie, Penegakan Hukum, Makalah, hlm 1.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

menjadi objek kajian peneliti.40 Dengan demikian pada gilirannya, proses penegakan hukum itu memuncak pada pelaksanaannya oleh para pejabat penegak hukum itu sendiri. Dari keadaan ini, dengan nada ekstrim dapat dikatakan bahwa keberhasilan ataupun kegagalan para penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan hukum yang harus dijalankan itu dibuat. 41 Pada dasarnya, penegakan hukum dapat dilakukan secara preventif dalam upaya pemenuhan peraturan (compliance) dan secara represif melalui pemberian sanksi atau proses pengadilan dalam hal terjadi perbuatan melanggar peraturan.42 Upaya pemenuhan peraturan dan pemberian sanksi tersebut pada dasarnya merupakan esensi dari penegakan hukum. Upaya preventif dalam rangka pemenuhan peraturan dapat dilakukan melalui pengawasan dan pembinaan oleh pejabat administrasi negara (aspek hukum administrasi), sedangkan upaya represif dilakukan melalui pemberian sanksi atau jalur pengadilan. Pada pengawasan pajak daerah, pemerintah melakukan penegakan hukum yang sifatnya preventif untuk pemenuhan peraturan, dalam hal ini ketentuan UU No. 28 Tahun 2009 yang mengatur mengenai pajak daerah. Pengaturan pengawasan terhadap perda pajak daerah diatur dalam UU No. 28 Tahun 2009. Pengawasan terhadap perda pajak daerah memiliki dua bentuk, yaitu preventif dan represif. Pengawasan preventif dilakukan terhadap rancangan perda pajak daerah yang mekanismenya diatur dalam Pasal 157 UU No. 28 Tahun 2009 yang berupa kewajiban dari pemerintah daerah kabupaten/kota untuk menyampaikan Raperda kepada Gubernur dan Menteri Keuangan untuk dievaluasi apakah sesuai dengan ketentuan UU No. 28 Tahun 2009, kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi, sebelum ditetapkan menjadi Perda. Pengawasan represif dilakukan terhadap perda yang telah ditetapkan dan dalam bentuk pembatalan Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang mekanismenya diatur dalam diatur dalam Pasal 158 UU No. 28 Tahun 2009. Baik pengawasan terhadap perda yang sifatnya preventif maupun represif merupakan bentuk dari penegakan hukum preventif sepanjang tidak berlanjut ke badan peradilan. Pengawasan represif terhadap Perda pajak daerah kabupaten/kota (dapat dilihat pada ragaan 1) dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut:43 1. Peraturan Daerah yang telah ditetapkan oleh bupati/walikota disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah ditetapkan. 40

Lawrence M, Friedman, 1977, Law and Society An Introduction, New Jersey: Prentice Hall Inc, hal. 6-7. Dalam Turiman Fachturahman Nur, Memahami Konsep Penegakan Hukum Sebuah Catatan, Makalah, hlm 2. 41 Ibid, hlm 1. 42 Muhammad Akib, Penegakan Hukum Lingkungan Dalam Perspektif Holistik Ekologis, Penerbit Unila, 2011, hlm 34. 43 Pasal 158 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

2. Dalam hal Peraturan Daerah bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Menteri Keuangan merekomendasikan pembatalan Peraturan Daerah dimaksud kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri. 3. Penyampaian rekomendasi pembatalan oleh Menteri Keuangan kepada Menteri Dalam Negeri dilakukan paling lambat 20 (dua puluh) hari kerja sejak tanggal diterimanya Peraturan Daerah. 4. Berdasarkan rekomendasi pembatalan yang disampaikan oleh Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri mengajukan permohonan pembatalan Peraturan Daerah dimaksud kepada Presiden. 5. Keputusan pembatalan Peraturan Daerah ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak diterimanya Peraturan Daerah.44 6. Paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah keputusan pembatalan, Kepala Daerah harus memberhentikan pelaksanaan Peraturan Daerah dan selanjutnya DPRD bersama Kepala Daerah mencabut Peraturan Daerah dimaksud. 7. Prosedur lanjutan dari ragaan di atas, jika kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Peraturan Daerah dengan alasan-alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, Kepala Daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. Jika keberatan dikabulkan sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Ragaan 1. Mekanisme Pengawasan Represif Terhadap Perda Pajak Daerah Kabupaten/Kota Berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009. Presiden Perpres Dibatalkan Mendagri Bupati/Walikota

Menkeu

Diterima

Perda Pajak

44

Jika Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Peraturan Daerah, Peraturan Daerah dimaksud dinyatakan berlaku, Ibid.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

8. Dari mekanisme pembentukan dan pengawasan represif terhadap perda pajak daerah yang telah dijelaskan sebelumnya, terdapat sanksi berupa penundaan atau pemotongan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana Bagi Hasil atau restitusi terhadap daerah,45 apabila daerah melanggar ketentuan sebagai berikut: a. Tidak menyampaikan Rancangan Peraturan Daerah kabupaten/kota tentang Pajak dan Retribusi yang telah disetujui bersama oleh bupati/walikota dan DPRD kabupaten/kota sebelum ditetapkan, kepada gubernur dan Menteri Keuangan paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan. b. Tidak menyampaikan Peraturan Daerah yang telah ditetapkan oleh bupati/walikota disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah ditetapkan. c. Tidak memberhentikan pelaksanaan Peraturan Daerah PDRD paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah keputusan pembatalan perda PDRD dikeluarkan dan selanjutnya tidak mencabut perda dimaksud. D. Penutup Pengawasan terhadap perda pajak daerah memiliki dua bentuk, yaitu preventif dan represif. Pengawasan preventif dilakukan terhadap rancangan perda pajak daerah yang berupa kewajiban dari pemerintah daerah kabupaten/kota untuk menyampaikan Raperda kepada Gubernur dan Menteri Keuangan untuk dievaluasi apakah sesuai dengan ketentuan UU No. 28 Tahun 2009, kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi, sebelum ditetapkan menjadi Perda. Pengawasan represif dilakukan terhadap perda yang telah ditetapkan dan dalam bentuk pembatalan Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pengawasan dan pembatalan terhadap perda pajak daerah kabupaten/kota yang diatur dalam UU No. 28 Tahun 2009 merupakan bentuk penegakan hukum preventif oleh pemerintah sepanjang tidak berlanjut ke badan peradilan, karena jika pemerintah daerah menggunakan haknya untuk mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung atas peraturan presiden yang menetapkan pembatalan perda maka hal itu masuk kedalam penegakan hukum yang sifatnya represif. E. Daftar Pustaka Akib, Muhammad. Penegakan Hukum Lingkungan Dalam Perspektif Holistik Ekologis, Penerbit Unila, 2011. Asshiddiqie, Jimly, Penegakan Hukum, Makalah. Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII. Jogjakarta. 2001. Brotodihardjo, R. Santoso SH. Pengantar Ilmu Hukum Pajak , PT. Refika Aditama, Bandung. Cet Pertama Edisi Keempat, 2003. Davey, K.J. Pembiayaan Pemerintah Daerah. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. 1988. Kementerian Hukum dan HAM RI, Panduan Praktis Memahami Perancangan Peraturan Daerah, 2011. 45

Ibid, Pasal 159.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Lawrence M, Friedman, Law and Society An Introduction, New Jersey: Prentice Hall Inc. 1977. Mardiasmo. Perpajakan. Penerbit Andi Offiset. Yogyakarta. 2003. Marihot P. Siahaan, Pajak Daerah dan Retrebusi Daerah. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2005. Nur, Turiman Fachturahman, Memahami Konsep Penegakan Hukum Sebuah Catatan, Makalah. Yuswanto dkk, Laporan Penelitian Eksistensi dan Posisi UU PDRD Terhadap UU Otonomi Daerah, 2005. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Status Hak Atas Tanah Sebagai Persyaratan Mendirikan Bangunan Gedung Kaitannya Dengan Upaya Penegakan Hukum __________________________________________________________________ Upik Hamidah

A. Pendahuluan Bangunan gedung sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, mempunyai peranan yang sangat strategis dalam pembentukan watak, perwujudan produktivitas, dan jati diri manusia. Oleh karena itu, penyelenggaraan bangunan gedung perlu diatur dan dibina demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan serta penghidupan masyarakat, sekaligus untuk mewujudkan bangunan gedung yang fungsional, andal, berjati diri, serta seimbang, serasi, dan selaras dengan lingkungannya.46 Bangunan gedung merupakan salah satu wujud fisik pemanfaatan ruang. Oleh karena itu dalam pengaturan bangunan gedung tetap mengacu pada pengaturan penataan ruang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum dalam penyelenggaraan bangunan gedung, setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan teknis bangunan gedung, serta harus diselenggarakan secara tertib.47 Setiap orang mendambakan bangunan gedung sebagai tempat tinggal/tempat usaha yang aman, tidak terganggu atau rusak oleh oleh peristiwa alam seperti banjir, gempa bumi, bahaya kebakaran, sehat dan nyaman untuk dihuni serta memenuhi fungsi sebagai tempat kegiatan. Demikian juga mempunyai hak kepemilikan/penggunaan yang sah dari aspek kepastian hukumnya. Dimana bangunan gedung merupakan bagian dari lingkungan maka diharapkan keberadaannya tidak merusak lingkungannya, lokasinya sesuai dengan tata ruang yang ditetapkan, tertib, teratur serta memberikan kontribusi keindahan dan harmonis terhadap lingkungannya. Untuk mendukung pemenuhan fungsi bangunan gedung tersebut, pendirian bangunan gedung harus dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung. Persyaratan administratif bangunan gedung meliputi: a. persyaratan status hak atas tanah, b. status kepemilikan bangunan gedung, dan c. izin mendirikan bangunan. Persyaratan teknis bangunan gedung meliputi: 46 47

Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Ibid.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

a. persyaratan tata bangunan, dan b. persyaratan keandalan bangunan gedung. Penetapan status hak atas tanah sebagai persyaratan administratif dalam pendirian bangunan gedung merupakan sebuah upaya penegakan hukum yang bersifat preventif dan bertujuan penting untuk mencegah timbulnya persoalan hukum dikemudian hari setelah bangunan gedung tersebut didirikan. Status hak atas tanah yang diwujudkan dalam bentuk sertifikat sebagai tanda bukti penguasaan/kepemilikan tanah merupakan bentuk kepastian hukum atas kepemilikan tanah yang akan dimanfaatkan untuk mendirikan bangunan gedung. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, akan dibahas lebih lanjut mengenai Status Hak Atas Tanah Sebagai Persyaratan Pendirian Bangunan Gedung Kaitannya Dengan Upaya Penegakan Hukum. B. Hak Atas Tanah dan Bangunan Gedung Hak atas tanah merupakan hak penguasaan atas tanah yang berisikan serangkaian wewenang, kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolak pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam hukum tanah.48 Dengan adanya hak atas tanah maka pemilik hak atas tanah memiliki wewenang yang sekaligus dibebani kewajiban dan/atau larangan dalam kepemilikan tanah tersebut. Hak atas tanah tersebut diatur dalam UU No. 5 Tahun 1960. Konstruksi hukum tanah nasional mengenal ada bermacam-macam hak penguasaan atas tanah yang dapat disusun dalam jenjang tata susunan atau hierarki sebagai berikut:49 a. Hak Bangsa Indonesia (Pasal 1 UUPA); b. Hak Menguasai dari Negara (Pasal 2 UUPA); c. Hak Ulayat masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada (Pasal 3 UUPA); d. Hak-hak Individual; 1) Hak-hak atas tanah (Pasal 4 UUPA): a) Primer: Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, yang diberikan oleh Negara dan Hak Pakai yang diberikan oleh Negara (Pasal 16 UUPA); b) Sekunder: Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, yang diberikan oleh pemilik tanah, Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, Hak Sewa dan lain-lainnya (Pasal 37, 41 dan 55 UUPA). 2) Wakaf (Pasal 49 UUPA); 48

Boedi Harsono (a), Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya), Jakarta: Djambatan, 2003, hlm 24. 49 Ibid, hlm 267.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

3) Hak Jaminan Atas Tanah: Hak Tanggungan (Pasal 23, 33, 39, 51 UUPA dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan). Hak-hak atas tanah individu yang terdiri dari hak atas tanah primer dan hak atas tanah sekunder yang telah dipetakan di atas dapat menjadi pemenuhan syarat dalam mendirikan bangunan gedung. Penjelasan macam-macam hak tersebut adalah sebagai berikut: a. Hak Milik50 Hak Milik adalah hak turun menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atau badan hukum atas tanah dengan mengingat fungsi sosial. Berdasarkan penjelasan Pasal 20 UUPA disebutkan bahwa sifat-sifat dari Hak Milik yang membedakannya dengan hak-hak lainnya. Hak Milik merupakan hak yang terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Katakata “terkuat dan terpenuh” mempunyai maksud untuk membedakannya dengan hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan lainnya yaitu untuk menunjukkan bahwa diantara hak-hak atas tanah yang dapat dimiliki, hak miliklah yang terkuat dan terpenuh. b. Hak Guna Usaha51 Hak guna usaha merupakan hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu tertentu guna perusahaan pertanian, perikanan atau perkebunan. Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. Hak guna usaha diberikan untuk jangka waktu 35 tahun dan dapat diperpanjang 25 tahun atas permintaan pemegang hak dengan mengingat keadaan perusahaannya. c. Hak Guna Bangunan52 Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu tertentu. Hak Guna Bangunan diatur dalam Pasal 19 s/d Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996. Jangka waktu untuk HGB adalah 30 tahun dan dapat diperpanjang dengan jangka waktu paling lama 20 tahun atas permintaan

50

Berasal dari bahasa Belanda Eigendom recht yang berarti hak atas benda, untuk menikmati benda itu secara bebas dan menguasainya secara mutlak. Hak milik dibatasi oleh Undang-undang dan hak kebendaan orang lain. Algra et all, Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda-Indonesia, Binacipta, Bandung, 1983, hlm 114. 51 Berasal dari bahasa Belanda Erfpacht yang berarti hak kebendaan untuk selama waktu yang ditentukan atau yang tidak ditentukan menikmati sepenuhnya akan kegunaan suatu barang tidak bergerak milik orang lain dengan kewajiban akan membayar sewa tahunan, bunga hak usaha baik berupa uang maupun berupa hasil atau pendapatan. Ibid, hlm 122. 52 Berasal dari bahasa Belanda Opstal yang berarti hak kebendaan untuk mengerjakan atau mempunyai gedung, bangunan atau tanaman di atas pekarangan orang lain, biasanya dengan pembayaran tahunan. Ibid, hlm 369.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

pemegang haknya dengan mengingat keadaan keperluan dan keadaan bangunannya. d. Hak Pakai Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan undang-undang. Hak Pakai diatur dalam Pasal 39 s/d Pasal 58 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996. e. Hak Sewa Hak sewa adalah hak yang memberi wewenang untuk mempergunakan tanah milik orang lain dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewanya. f. Hak Gadai Tanah Hak gadai tanah adalah menyerahkan tanah dengan pembayaran sejumlah uang dengan ketentuan bahwa orang yang menyerahkan tanah mempunyai hak untuk meminta kembalinya tanah tersebut dengan memberikan uang yang besarnya sama. g. Hak Usaha Bagi Hasil Hak usaha bagi hasil merupakan hak seseorang atau badan hukum untuk menggarap di atas tanah pertanian orang lain dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi diantara kedua belah pihak menurut perjanjian yang telah disetujui sebelumnya. h. Hak Sewa Tanah Pertanian Hak sewa tanah pertanian adalah penyerahan tanah pertanian kepada orang lain yang memberi sejumlah uang kepada pemilik tanah dengan perjanjian bahwa setelah pihak yang memberi uang menguasai tanah selama waktu tertentu, tanahnya akan dikembalikan kepada pemiliknya. i. Hak Menumpang Hak menumpang adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang untuk mendirikan dan menempati rumah di atas pekarangan orang lain. Pemegang hak menumpang tidak wajib membayar sesuatu kepada pemilik tanah, hubungan hukum dengan tanah tersebut bersifat sangat lemah artinya sewaktu-waktu dapat diputuskan oleh pemilik tanah jika yang bersangkutan memerlukan sendiri tanah tersebut. Hak menumpang dilakukan hanya terhadap tanah pekarangan dan tidak terhadap tanah pertanian. Hak-hak atas tanah individu yang terdiri dari hak atas tanah primer dan hak atas tanah sekunder yang telah dipetakan di atas berfungsi sebagai persyaratan dalam mendirikan bangunan gedung. Artinya, dalam mendirikan bangunan gedung,

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

seseorang harus dapat membuktikan kepemilikan tanah yang akan menjadi lokasi didirikannya bangunan gedung adalah miliknya atau yang bersangkutan telah mendapat izin pemanfaatan tanah oleh pemilik tanah yang sah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bangunan gedung menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 28 Tahun 2002 adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya maupun kegiatan khusus lainnya. Fungsi bangunan gedung meliputi fungsi hunian, keagamaan, usaha, sosial dan budaya, serta fungsi khusus. Penjelasan dari masing-masing fungsi tersebut berdasarkan Pasal 5 UU No. 28 Tahun 2002 adalah sebagai berikut: a. Bangunan gedung fungsi hunian meliputi bangunan untuk rumah tinggal tunggal, rumah tinggal deret, rumah susun, dan rumah tinggal sementara. b. Bangunan gedung fungsi keagamaan meliputi masjid, gereja, pura, wihara, dan kelenteng. c. Bangunan gedung fungsi usaha meliputi bangunan gedung untuk perkantoran, perdagangan, perindustrian, perhotelan, wisata dan rekreasi, terminal, dan penyimpanan. d. Bangunan gedung fungsi sosial dan budaya meliputi bangunan gedung untuk pendidikan, kebudayaan, pelayanan kesehatan, laboratorium, dan pelayanan umum. e. Bangunan gedung fungsi khusus meliputi bangunan gedung untuk reaktor nuklir, instalasi pertahanan dan keamanan, dan bangunan sejenis yang diputuskan oleh menteri. Bangunan gedung harus diselenggarakan dengan berlandaskan pada asas kemanfaatan, keselamatan, keseimbangan, serta keserasian bangunan gedung dengan lingkungannya. Asas kemanfaatan dipergunakan sebagai landasan agar bangunan gedung dapat diwujudkan dan diselenggarakan sesuai fungsi yang ditetapkan, serta sebagai wadah kegiatan manusia yang memenuhi nilai-nilai kemanusiaan yang berkeadilan, termasuk aspek kepatutan dan kepantasan. Asas keselamatan dipergunakan sebagai landasan agar bangunan gedung memenuhi persyaratan bangunan gedung, yaitu persyaratan keandalan teknis untuk menjamin keselamatan pemilik dan pengguna bangunan gedung, serta masyarakat dan lingkungan di sekitarnya, di samping persyaratan yang bersifat administratif. Asas keseimbangan dipergunakan sebagai landasan agar keberadaan bangunan gedung berkelanjutan tidak mengganggu keseimbangan ekosistem dan lingkungan di sekitar bangunan gedung. Asas keserasian dipergunakan sebagai landasan agar penyelenggaraan bangunan gedung dapat mewujudkan keserasian dan keselarasan bangunan gedung

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

dengan lingkungan di sekitarnya sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Penjelasan Umum UU No. 28 Tahun 2002. C. Status Hak Atas Tanah Sebagai Persyaratan Pendirian Bangunan Gedung Kaitannya Dengan Upaya Penegakan Hukum Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya bahwa UU No. 28 Tahun 2002 mensyaratkan bahwa setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung. Berdasarkan Pasal 8 UU No. 28 Tahun 2002, setiap pendirian bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif yang meliputi: 53 a. status hak atas tanah, dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah, b. status kepemilikan bangunan gedung, dan c. izin mendirikan bangunan gedung, sesuai ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Penjelasan dari ketentuan di atas adalah sebagai berikut:54 a. Hak atas tanah adalah penguasaan atas tanah yang diwujudkan dalam bentuk sertifikat sebagai tanda bukti penguasaan/kepemilikan tanah, seperti hak milik, hak guna bangunan (HGB), hak guna usaha (HGU), hak pengelolaan, dan hak pakai. Status kepemilikan atas tanah dapat berupa sertifikat, girik, pethuk, akte jual beli, dan akte/bukti kepemilikan lainnya. Izin pemanfaatan pada prinsipnya merupakan persetujuan yang dinyatakan dalam perjanjian tertulis antara pemegang hak atas tanah atau pemilik tanah dan pemilik bangunan gedung. b. Status kepemilikan bangunan gedung merupakan surat bukti kepemilikan bangunan gedung yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan hasil kegiatan pendataan bangunan gedung. Dalam hal terdapat pengalihan hak kepemilikan bangunan gedung, pemilik yang baru wajib memenuhi ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini. c. Izin mendirikan bangunan (IMB) adalah surat bukti dari Pemerintah Daerah bahwa pemilik bangunan gedung dapat mendirikan bangunan sesuai fungsi yang telah ditetapkan dan berdasarkan rencana teknis bangunan gedung yang telah disetujui oleh Pemerintah Daerah. Dari ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa tanah yang dapat didirikan bangunan gedung adalah yang dilandasi alas hak sebagai berikut: a. hak milik, b. hak guna bangunan (HGB), c. hak guna usaha (HGU), d. hak pengelolaan, dan e. hak pakai. 53

Persyaratan ini diatur juga dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. 54 Penjelasan Pasal 8 UU No. 28 Tahun 2002.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Hak-hak tersebut harus dibuktikan dengan status kepemilikan atas tanah yang berupa sertifikat, girik, pethuk, akte jual beli, dan akte/bukti kepemilikan lainnya. Bangunan gedung juga dapat didirikan dengan Izin pemanfaatan yang pada prinsipnya merupakan persetujuan yang dinyatakan dalam perjanjian tertulis antara pemegang hak atas tanah atau pemilik tanah dan pemilik bangunan gedung. Penempatan status hak atas tanah sebagai persyaratan dalam mendirikan bangunan gedung pada dasarnya merupakan salah satu bentuk upaya penegakan hukum preventif yang bertujuan untuk mencegah terjadinya persoalan hukum dikemudian hari.55 Jimly berpendapat bahwa,56 Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.57 Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan ‘law enforcement’ ke dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan ‘penegakan hukum’ dalam arti luas dan dapat pula digunakan istilah ‘penegakan peraturan’ dalam arti sempit.58 Pembedaan antara formalitas aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa Inggeris sendiri 55

Pada dasarnya, penegakan hukum dapat dilakukan secara preventif dalam upaya pemenuhan peraturan (compliance) dan secara represif melalui pemberian sanksi atau proses pengadilan dalam hal terjadi perbuatan melanggar peraturan. Lihat Muhammad Akib, Penegakan Hukum Lingkungan Dalam Perspektif Holistik Ekologis, Penerbit Unila, 2011, hlm 34. 56 Jimly Asshiddiqie, Penegakan Hukum, Makalah, hlm 1. 57 Ibid. 58 Ibid.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

dengan dikembangkannya istilah ‘the rule of law’ versus ‘the rule of just law’ atau dalam istilah ‘the rule of law and not of man’ versus istilah ‘the rule by law’ yang berarti ‘the rule of man by law’. Dalam istilah ‘the rule of law’ terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah ‘the rule of just law’. Dalam istilah ‘the rule of law and not of man’ dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah ‘the rule by law’ yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka.59 Menurut Satjipto Rahardjo, Penegakan hukum merupakan suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum yang dimaksudkan di sini yaitu yang merupakan pikiran-pikiran badan pembentuk undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu. Perumusan pikiran pembuat hukum yang dituangkan dalam peraturan hukum, turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan. Dengan demikian pada gilirannya, proses penegakan hukum itu memuncak pada pelaksanaannya oleh para pejabat penegak hukum itu sendiri. Dari keadaan ini, dengan nada ekstrim dapat dikatakan bahwa keberhasilan ataupun kegagalan para penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya sebetulnya sudah dimulai sejak peraturan hukum yang harus dijalankan itu dibuat. 60 Kaitannya dengan pendirian bangunan gedung, pembentuk UU No. 28 Tahun 2002 menginginkan bangunan gedung dapat diselenggarakan dengan baik sesuai dengan syarat administratif dan teknisnya agar dapat memberikan kepastian, kenyamanan, keselamatan sesuai dengan fungsinya. Proses penegakan hukum, dalam pandangan Soerjono Soekanto, dipengaruhi oleh lima faktor. Pertama, faktor hukum atau peraturan perundang-undangan. Kedua, faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam peroses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum. Keempat, faktor masyara-kat, yakni lingkungan social di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum yang merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.61 Sementara itu Satjipto Rahardjo, membedakan berbagai unsur yang berpengaruh dalam proses penegakan hukum berdasarkan derajat kedekatannya pada proses. Berdasarkan kriteria kedekatan tersebut, terdapat tiga unsur utama yang terlibat dalam 59

Ibid. Satjipto Rahardjo, 1983, Masalah Penegakan Hukum, Bandung: Sinar Baru, hlm. 24-25. Dalam Turiman Fachturahman Nur, Memahami Konsep Penegakan Hukum Sebuah Catatan, Makalah, hlm 3. 61 Soerjono Soekanto, 1983, Penegakan Hukum, Jakarta: BPHN & Binacipta, hal. 15; Soerjono Soekanto, 1983, Faktor-Faktor yang Mem-pengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Rajawali, hlm.: 4-5. 60

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

proses penegakan hukum. Pertama, unsur pembuatan undang-undang cq. lembaga legislatif. Kedua, unsur penegakan hukum cq. polisi, jaksa dan hakim. Ketiga, unsur lingkungan yang meliputi pribadi warga negara dan sosial.62 Penegakan hukum preventif berupa ketentuan persyaratan hak atas tanah dalam mendirikan bangunan gedung juga dapat terpengaruh oleh faktor-faktor yang telah dijelaskan tersebut, apabila dalam pelaksanaanya aparat hukum (pemda) dan/atau masyarakat melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan. D. Penutup Penempatan status hak atas tanah sebagai persyaratan dalam mendirikan bangunan gedung sebagaimana diatur dalam UU No. 28 Tahun 2002 pada dasarnya merupakan salah satu bentuk upaya penegakan hukum preventif yang bertujuan untuk mencegah terjadinya persoalan hukum dikemudian hari. Tidak semua alas hak atas tanah dapat dijadikan dasar dalam mendirikan bangunan gedung, hanya tanah yang dilandasi alas hak tertentu sebagai berikut: hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pengelolaan, dan hak pakai yang dapat didirikan bangunan gedung diatasnya. Alas hak tersebut harus dibuktikan dengan status kepemilikan atas tanah yang berupa sertifikat, girik, pethuk, akte jual beli, dan akte/bukti kepemilikan lainnya. Bangunan gedung juga dapat didirikan dengan Izin pemanfaatan yang pada prinsipnya merupakan persetujuan yang dinyatakan dalam perjanjian tertulis antara pemegang hak atas tanah atau pemilik tanah dan pemilik bangunan gedung. F. Daftar Pustaka Akib, Muhammad. Penegakan Hukum Lingkungan Dalam Perspektif Holistik Ekologis, Penerbit Unila, 2011. Asshiddiqie, Jimly, Penegakan Hukum, Makalah. Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya), Jakarta: Djambatan, 2003. Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda-Indonesia, Binacipta, Bandung, 1983. Nur, Turiman Fachturahman, Memahami Konsep Penegakan Hukum Sebuah Catatan, Makalah. Rahardjo, Satjipto. Masalah Penegakan Hukum, Bandung: Sinar Baru, 1983. Soekanto, Soerjono. Penegakan Hukum, Jakarta: BPHN & Binacipta, 1983. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2034. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247.

62

Op cit, Satjipto Rahardjo, hlm 23.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan UndangUndang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4532.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Diversi dan Keadilan Restoratif Sebagai Upaya Penanggulangan Delinkuensi Anak Di Indonesia ________________________________________________________________________ Nikmah Rosidah 1. Latar Belakang Anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Jumlah Anak Berhadapan Hukum (ABH) sangat banyak di Indonesia. Data Ditjen Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM, menyebutkan, ada 78 ribu lebih anak laki-laki dan perempuan yang tersebar menurut kasus dan wilayah propinsi. Umumnya terjadi di wilayah dengan jumlah penduduk padat seperti Jawa dan Sumatera. Menurut Dirjen Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM selama 2008 terdapat 4.301 narapidana dan tahanan anak, dengan rincian narapidana anak (2.282 anak) dan tahanan anak (2.019 anak).63 Anak memiliki peran strategis yang secara tegas dinyatakan dalam konstitusi Indonesia bahwa negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Oleh sebab itu, kepentingan terbaik bagi anak patut dihayati sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup umat manusia. Konsekuensi dari ketentuan Pasal 28B UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu ditindaklanjuti dengan kebijakan pemerintah yang bertujuan melindungi anak, bahwa anak perlu mendapat perlindungan dari dampak negatif perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua yang telah membawa perubahan sosial dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan prilaku anak. Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukun oleh anak antara lain, disebabkan oleh faktor di luar Anak tersebut. Prinsip perlindungan hukum terhadap anak harus sesuai dengan Konvensi Hak-Hak anak (Convention on the Rights of the Child). Perkembangan masyarakat yang bermula dari kehidupan agraris menuju kehidupan industrial disertai gejala globalisasi, tampaknya berdampak terhadap timbulnya gejala perilaku delinkuensi anak. Penyelesaian delinkuensi merupakan hal yang rumit, berbeda bila tindak pidana yang sama dilakukan oleh orang dewasa karena penegakan hukumnya tidak akan menimbulkan reaksi keras dari publik, sepanjang dilaksanakan sesuai hukum acaranya. Kurang lebih dari 4.000 anak Indonesia diajukan ke pengadilan setiap tahunnya atas kejahatan ringan, seperti pencurian. Pada umumnya mereka tidak mendapatkan dukungan, baik dari pengacara maupun dinas sosial. Dengan demikian, tidak mengejutkan jika sembilan dari sepuluh anak yang melakukan tindak pidana dijebloskan ke penjara atau rumah tahanan. Sebagai contoh sepanjang tahun 2000 tercatat dalam statistik kriminal Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) terdapat lebih dari 11.344 anak yang disangka sebagai pelaku tindak pidana. Hal ini dapat dilihat dari jumlah anak didik daritahun ke tahun cenderung bertambah. Pada tahun 2005 anak didik yang ditangani oleh Ditjenpas berjumlah 63

http://ditjenpas.go.id/pas2/article/article.php?id=152;

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

1.645 anak, pada tahun 2006 berjumlah 1.814 anak, padatahun 2007 berjumlah 2.149 anak, pada tahun 2008 berjumlah 2.726 anak, pada tahun 2009 berjumlah 2.536 anak yang menjadi tahanan anak di rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan di seluruh Indonesia.64 Kemudian pada tahun 2008 di provinsi Jawa Timur tercatat anak yang berstatus anak didik (anak sipil, anak Negara, dan anak pidana) tersebar di seluruh Rumah tahanan dan Lembaga Pemasyarakatan untuk orang dewasa sebanyak 2.026.65 Kondisi ini sangat memprihatinkan karena banyak anak yang harus berhadapan dengan sistem peradilan dan mereka ditempatkan di tempat penahanan dan pemenjaraan bersama orang dewasa sehingga mereka rawan mengalami tindak kekerasan. Seorang anak yang melakukan tindak pidana wajib disidangkan dipengadilan khusus anak yang berada di lingkungan peradilan umum, dengan proses khusus serta pejabat khusus yang memahami masalah anak, mulai dari penangkapan, penahanan, proses mengadili dan pembinaan. Sementara itu dari perspektif ilmu pemidanaan, meyakini bahwa penjatuhan pidana terhadap anak nakal (delinkuen) cenderung merugikan perkembangan jiwa anak di masa mendatang. Kecenderungan merugikan ini akibat dari efek penjatuhan pidana terutama pidana penjara, yang berupa stigma (cap jahat). Dikemukakan juga oleh Barda Nawawi Arief,66 bahwa hukum perlindungan sosial mensyaratkan penghapusan pertanggungjawaban pidana (kesalahan) dan digantikan tempatnya oleh pandangan tentang perbuatan anti sosial. Berdasarkan hasil studi perbandingan efektivitas pidana dari Komite Hak Anak PBB, angka perbandingan rata-rata pengulangan atau penghukuman kembali (reconviction rate) orang yang pertama kali melakukan kejahatan berbanding terbalik dengan usia pelaku. Reconviction rate yang tertinggi, terlihat pada anak-anak, yaitu mencapai 50 (lima puluh) persen. Angka itu lebih tinggi lagi setelah orang dijatuhi pidana penjara dari pada pidana bukan penjara, hal ini dikarenakan tingginya jumlah anak yang dipenjara kerena kejahatan ringan, dicampurnya tahanan anak bersama orang dewasa dan batas yang terdapat dalam Undang-Undang Peradilan Anak sangatlah rendah 8 (delapan) tahun, karena itu harus dinaikkan agar lebih rasional menjadi 12 (dua belas) tahun sesuai dengan Beijing Rules.67 Pada tanggal 30 Juli 2012 Presiden Republik Indonesia mensahkan UndangUndang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak sebagai perubahan Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (selanjutnya disingkat UU SPPA). UU SPPA tersebut memuat ketentuan mengenai diversi dan restorative justice, dimana tindak pidana yang ancamannya dibawah 7 (tujuh) tahun bisa didiversi atau diselesaikan diluar proses peradilan pidana serta mewajibkan pendekatan keadilan restoratif dimana melibatkan pelaku (Anak yang Berhadapan 64

http://www.Ditjenpas.go.id/index.php ? Option = com_content & task = view&id =34&Itemid =45>, diakses pada hari selasa tanggal 22 Desember 2009 pukul 20.00wib; 65 http://www.menegpp.go.id/, diakses pada hari kamis tanggal 10 Februari 2011 pukul 10.00 wib; 66 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, CV Ananta, Semarang, 1994 hal.20; 67 Lihat Pasal 1 angka (3). Ketentuan mengenai batas usia anak tersebut telah berganti yakni anak yang telah mencapai umur 12 (dua belas) tahun sampai dengan 18 (delapan belas) tahun dapat dijatuhi tindakan dan pidana, seiring dengan dikeluarkannya Undang-Undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

dengan Hukum), keluarga korban, orang tua pelaku dan pihak lain yang terkait dengan motivasi untuk mengutamakan penyelesaian masalah secara bersama-sama tanpa mengedepankan pembalasan. Diversi juga wajib diupayakan disetiap proses hukum oleh penegak hukum dengan dituangkan didalam kesepakatan diversi dan pelaksanaannya diawasi oleh penegak hukum. Melihat prinsip tentang perlindungan anak terutama prinsip nondiskriminasi yang mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak dan hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan tumbuh kembang anak sehingga diperlukan penghargaan terhadap anak, termasuk terhadap anak yang melakukan tindak pidana. Oleh karena itu diperlukan suatu sistem peradilan pidana anak yang di dalamnya terdapat proses penyelesaian perkara anak di luar mekanisme pidana konvensional. Muncul suatu pemikiran atau gagasan untuk hal tersebut dengan cara pengalihan atau biasa disebut ide diversi, karena lembaga pemasyarakatan bukanlah jalan untuk menyelesaikan permasalahan anak dan justru dalam Lembaga Pemasyarakatan rawan terjadi pelanggaran-pelanggaran terhadap hak anak. Hal inilah yang mendorong ide diversi khususnya melalui konsep Restorative Justice menjadi suatu solusi yang sangat penting dalam menyelesaikan perkara pidana yang dilakukan oleh anak. Oleh karenanya, penulis akan membahas ketentuan diversi dan restorative justice yang dimuat dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka diperoleh rumusan masalah yakni: Bagaimana ketentuan diversi dan keadilan restoratif sebagai upaya penanggulangan delinkuensi anak di Indonesia ? 3. Pembahasan a. Diversi dalam Penanganan Anak Delinkuen Masalah delinkuensi anak ini merupakan masalah yang semakin kompleks dan perlu segera diatasi baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Terdapat dua kategori perilaku anak yang dapat membuat seorang anak berhadapan dengan hukum yakni status offences dan criminal offences. Status offences adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan orang dewasa tidak termasuk kejahatan atau anak yang melakukan perbuatan terlarang bagi seorang anak. Misalnya, tidak menurut, membolos sekolah, kabur dari rumah. Sedangkan criminal offences adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan orang dewasa termasuk kategori kejahatan atau anak yang melakukan tindak pidana. Menurut Sudarto dalam Paulus Hadi Suprapto, penanggulangan delinkuensi anak erat kaitannya dengan kebijakan kriminal (criminal policy). Kebijakan kriminal sebagai usaha rasional masyarakat untuk menanggulangi kejahatan, di dalam gerak operasionalnya terarah pada dua jalur, yaitu kebijakan penal dan kebijakan non penal.68 Lebih lanjut, menurut Paulus Hadisuprapto penggunaan sarana penal atau jalur hukum pidana cenderung merugikan masa depan anak karena membekaskan stigma pada anak. Melalui sarana penal, seorang anak terpaksa harus berhadapan dengan proses hukum yang panjang, mulai pada proses penyidikan oleh kepolisian, proses penuntutan oleh jaksa, proses persidangan di pengadilan oleh hakim, dan 68

Paulus Hadisuprapto. 2006. Pidato Pengukuhan Guru Besar, Peradilan Restoratif : Model Peradilan Anak Indonesia Masa Datang. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Hlm. 4;

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

mengalami proses penahanan dalam rumah tahanan. Kondisi tersebut dapat memberikan tekanan baik fisik maupun mental bagi anak yang berhadapan dengan hukum. Menurut Santi Kusumaningrum, berhadapan dengan hukum dan sistem peradilan memiliki konsekuensi merugikan bagi anak dan masyarakat, diantaranya adalah: pengalaman kekerasan dan perlakuan salah selama proses peradilan (pelaku, korban atau saksi), stigmatisasi dan kemungkinan mengulangi perbuatan kriminalnya tersebut.69 Pemerintah telah memiliki beberapa instrumen hukum yang mengatur masalah delinkuensi anak, diantaranya adalah Undang-Undang No 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang telah diganti oleh Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dan Keputusan Presiden No 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak. UU SPPA ini mengatur ketentuan tentang keadilan restoratif dan diversi yang berfungsi agar anak yang berhadapan dengan hukum tidak terstigmatisasi akibat proses peradilan yang harus dijalaninya. Hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam Resolusi PBB tentang UN Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice, (Beijing Rule) Rule 11: “Diversion, involving removal from criminal justice processing, and frequently redirection to community support services, is commonly practiced on a formal and informal basis in many legal system. This practice serves to hinder the negative effects of subsequent proceedings in juvenile justice administration (for example the stigma of conviction and sentence). In many cases, non intervention would be the best response. This diversion at the out set and without referral to alternative (social) services may be the optimal response. This is especially the case where the offence is of a non-serious nature and where the family, the school r other informal social control institutions have already reacted, or are likely to react, in an appropriate and constructive manner”.70 Menurut UU SPPA, pengertian anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi, dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.71 Pengertian diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Penerapan ketentuan diversi merupakan penting untuk dilaksanakan, karena dengan diversi hak-hak asasi anak dapat lebih terjamin dan menghindarkan anak dari stigma sebagai “anak nakal”, karena tindak pidana yang diduga melibatkan seorang anak sebagai pelaku dapat ditangani tanpa perlu melalui proses hukum. Tujuan dari diversi yaitu; a. mencapai perdamaian antara korban dan Anak; 69

Santi Kusumaningrum. Keadilan bagi Anak dan Reformasi Hukum : Dalam Kerangka Protective Environment, http://www.unicef.org/indonesia/uni-jjs1_2final.pdf 70 Paulus Hadisuprapto,2008. Delinkuensi Anak, Pemahaman dan Penanggulangannya. Malang : Bayumedia Publishing. Hal 208; 71 Lihat Pasal 1 angka (2) dan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No. 11 Tahun 2012;

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

b. menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan; c. menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan; d. mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan e. menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak. Namun sekali lagi diversi yang dapat dilakukan dalam kerangka UU SPPA bertujuan untuk mencapai perdamaian antara korban dan Anak; menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan; menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan; mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak. Oleh karena itu basis diversi dalam UU SPPA ini bukanlah kepentingan terbaik bagi anak namun kesepakatan antara korban dan atau keluarga korban dengan anak yang berkonflik dengan hukum tersebut. Dan kesepakatan diversi hanya bisa dilakukan jika perbuatan anak yang berkonflik dengan hukum tersebut diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana. Beberapa alasan dasar pemikiran tentang perlunya diversi bagi pelaku anak, antara lain sebagai berikut: 72 a. membantu anak-anak belajar dari kesalahannya melalui intervensi selekas mungkin; b. memperbaiki luka-luka karena kejadia tersebut, kepada keluarga, korban dan masyarakat; c. kerjasama dengan pihak orangtua, pengasuh dan diberi nasehat hidup seharihari; d. melengkapi dan membangkitkan anak-anak untuk membuat keputusan untuk bertanggungjawab; e. berusaha untuk mengumpulkan dana untuk restitusi kepada korban; f. memberikan tanggungjaab anak atas perbuatannya, dan memberikan pelajaran tentang kesempatan untuk mengamati akiba-akibat dan efek kasus tersebut; g. memberikan pilihan bagi pelaku untuk berkesempatan untuk menjaga agar tetap bersih atas cacatan kejahatan; h. mengurangi beban pada pengadilan dan lembaga penjara; i. pengendalian kejahaan anak/remaja. Tidak perlunya kesepakatan dengan korban pada diversi hanya bisa dilakukan untuk tindak pidana yang berupa pelanggaran; tindak pidana ringan; tindak pidana

72

1. Help juvenils lern from their mistake through early intervention; 2. Repairs the harm caused to familes, victims and community; 3. Incorporates parents, guardians and lessons from everyday life; 4. Equips and encourages juveniles to make responsible decisions; 5. Creates a mechanism to collect restitution for victims; 6. Hold youth accountable for the opportunity to keep their record clean;7. Allows eligible offenders the opportunity to keep their record clean; 8. Reduces burden on court sistem and jails; 9. Curbs juvenile crime http://www.co.stearn.mn.us/1220.htm22-12-20017

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

tanpa korban; atau nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat.73 Hasil kesepakatan Diversi dapat berbentuk, antara lain: a. perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian; b. penyerahan kembali kepada orang tua/Wali; c. keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau d. pelayanan masyarakat. b. Keadilan Restoratif bagi Anak yang Berhadapan degan Hukum Keadilan restoratif (restoratif justice) memiliki cara pandang yang berbeda dalam menyikapi masalah delinkuensi anak. Menurut Fruin J.A., dalam Paulus Hadisuprapto, peradilan anak restoratif berangkat dari asumsi bahwa tanggapan atau reaksi terhadap pelaku delinkuensi anak tidak akan efektif tanpa adanya kerjasama dan keterlibatan dari korban, pelaku dan masyarakat. Prinsip yang menjadi dasar adalah bahwa diperolehnya keadilan, apabila setiap pihak menerima perhatian secara adil dan seimbang, aktif dilibatkan dalam proses peradilan dan memperoleh keuntungan secara memadai dari interaksi mereka dengan sistem peradilan anak.74 Menurut Tony F. Marshall restorative justice adalah : “ Restorative Justice is a process whereby parties with a stake in a specific offence collectively resolve how to deal with the aftermath of the offence and its implications for the future.” Keadilan restoratif adalah suatu proses dimana semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah bagaimana menangani akibat di masa yang akan datang.75 Menurut Pasal 1 angka 6 UU SPPA pengertian mengenai Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.76 Penanganan dalam hal anak yang bermasalah dengan hukum, konsep pendekatan Restorative Justice System menjadi sangat penting karena menghormati dan tidak melanggar hak anak. Restorative Justice System setidak-tidaknya bertujuan untuk memperbaiki/memulihkan (to restore) perbuatan kriminal yang dilakukan anak dengan tindakan yang bermanfaat bagi anak, korban dan lingkungannya. Anak yang melakukan tindak pidana dihindarkan dari proses hukum formal karena dianggap belum matang secara fisik dan psikis, serta belum mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum, seperti yang disebutkan dalam Konvensi Hak-Hak Anak pasal 40 ayat 3 huruf (a): 6 " Bilamana perlu dan dikehendaki, langkah-langkah

73

Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang No.11 Tahun 2012 yakni Kesepakatan Diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga Anak Korban serta kesediaan Anak dan keluarganya, kecuali untuk: (a) tindak pidana yang berupa pelanggaran; (b) tindak pidana ringan; (c) tindak pidana tanpa korban; atau (d) nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat. 74 Paulus Hadisuprapto. 2008. Delinkuensi Anak, Pemahaman dan Penanggulangannya. Malang: Bayumedia Publishing. Hal 225; 75 Tony F. Marshall. 1999. Retorative Justice an Overview. London : Home Office, Information & Publications Group; 76 Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak;

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

untuk menangani anak-anak seperti itu tanpa menggunakan proses peradilan, asalkan hak-hak asasi dan kaidahkaidah hukum tetap diharmonisasi sepenuhnya.” Menangani masalah anak yang berhadapan dengan hukum hendaknya dilakukan dengan pendekatan secara kekeluargaan dan sedapat mungkin menghindarkan anak dari lembaga peradilan. Pengadilan bagi anak yang berhadapan dengan hukum menjadi upaya terakhir setelah berbagai upaya yang dilakukan dengan pendekatan kekeluargaan telah ditempuh. Secara umum, prinsip-prinsip keadilan restoratif adalah : 1. Membuat pelanggar bertangung jawab untuk memperbaiki kerugian yang ditimbulkan oleh kesalahannya; 2. Memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk membuktikan kapasitas dan kualitasnya disamping mengatasi rasa bersalahnya secara konstruktif; 3. Melibatkan para korban, orangtua, keluarga besar, sekolah, dan teman sebaya; 4. Menciptakan forum untuk bekerjasama dalam menyelesaikan masalah;menetapkan hubungan langsung dan nyata antara kesalahan dengan reaksi sosial yang formal. 77 Metode yang dipakai dalam restorative justice adalah musyawarah pemulihan dengan melibatkan korban dan pelaku beserta keluarga masing-masing, ditambah wakil masyarakat yang diharapkan dapat mewakili lingkungan dimana tindak pidana dengan pelaku anak tersebut terjadi.78 Dengan adanya dukungan dari lingkungan setempat untuk menyelesaikan masalah di luar sistem peradilan anak diharapkan dapat menghasilkan putusan yang tidak bersifat punitif, namun tetap mengedepankan kepentingan dan tanggung jawab dari anak pelaku tindak pidana, korban dan masyarakat. Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari keadilan restoratif ini adalah anak sebagai pelaku, korban dan saksi akan dilindungi oleh sistem peradilan anak yang ramah anak dan peka gender dan oleh masyarakat. 79 Apabila dilihat dari posisi terdakwa dan korban, maka restorative justice tidak lain dari suatu bentuk mediasi yang bertujuan mencapai ”win-win solution” seperti dalam perkara keperdataan.80 Konsep Keadilan Restoratif (Restorative Justice) sebenarnya telah lama dipraktekkan masyarakat adat Indonesia, seperti di Papua, Bali, Toraja, Minangkabau dan komunitas tradisional lain yang masih kuat memegang kebudayaannya. Apabila terjadi suatu tindak pidana oleh seseorang (termasuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan anak), penyelesaian sengketa diselesaikan di komunitas adat secara internal tanpa melibatkan aparat negara di dalamnya. Ukuran keadilan bukan berdasarkan

77

Unicef. 2004. Perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum, Manual Pelatihan untuk Polisi. Jakarta. hal 357; 78 Lihat Pasal 8 (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 bahwa: Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan orang tua/Walinya, korban dan/atau orang tua/Walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif. 79 Santi Kusumaningrum. Keadilan bagi Anak dan Reformasi Hukum : Dalam Kerangka Protective Environment, http://www.unicef.org/indonesia/uni-jjs1_2final.pdf. 80 Bagir Manan. 2008, Restoratif Justice (Suatu perkenalan) Dalam Refleksi Dinamika Hukum, Perum Percetakan Negara RI, Jakarta. Hal 8;

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

keadilan retributif berupa balas dendam atau hukuman penjara, namun berdasarkan keinsyafan dan pemaafan. Pelaksanaan mediasi penal sebagai instrumen hukum Restorative Justice (Keadilan Restoratif) adalah diskursus baru dalam sistem hukum Indonesia yang menawarkan solusi yang komprehensif dan efektif dalam menangani permasalahan anak yang bermasalah dengan hukum, walaupun mediasi sebenarnya bukanlah metode penyelesaian sengketa yang baru dalam sistem hukum Indonesia. Hukum acara perdata kita sudah mengenal adanya suatu Lembaga Damai untuk menyelesaikan sengketa perdata lebih dari seratus tahun lalu.81 Sifat dasar dari mediasi juga sama dengan mekanisme musyawarah. Karena itu penggunaan mediasi penal diharapkan bisa diterima kalangan professional hukum dan masyarakat umum dengan baik dan berjalan secara efektif. Dengan demikian apabila hakim berkeyakinan perkara anak yang diperiksanya telah memenuhi syarat-syarat/kriteria Restorative Justice dapat dilakukan mediasi penal dengan cara pendekatan Restorative Justice di ruang mediasi yang dihadiri pihak-pihak terkait (Pelaku/Orang Tua, Korban/Orang Tua, PK BAPAS, Pembimbing Kemasyarakatan. Jaksa Anak, Hakim Anak, Perwakilan Komunitas Masyarakat/RT/RW/Kepala Desa/Guru/ Tokoh Agama). Adapun syarat-syarat/kriteria Restorative Justice sebagai berikut: 1. Pengakuan atau pernyataan bersalah dari pelaku. 2. Persetujuan dari pihak korban/keluarga dan adanya keinginan untuk memaafkan pelaku. 3. Dukungan komunitas setempat untuk melaksanakan penyelesaian secara musyawarah dan mufakat. 4. Kwalifikasi tindak pidana ringan 5. Pelaku belum pernah dihukum. Proses restorative justice pada dasarnya merupakan upaya pengalihan dari proses peradilan pidana menuju penyelesaian secara musyawarah, yang pada dasarnya merupakan jiwa dari bangsa Indonesia, untuk menyelesaikan permasalahan dengan cara kekeluargaan untuk mencapai mufakat. Berdasarkan perundang-undangan yang diuraikan dan situasi kondisi (fakta) yang terjadi selama ini, maka upaya penyelesaian masalah anak yang berkonflik dengan hukum melalui upaya diversi dan keadilan restoratif (restorative justice) merupakan salah satu langkah yang tepat bagi penyelesaian kasus-kasus anak yang berkonflik dengan hukum. Untuk mengefektifkan restorative justice dalam rangka pemenuhan hak anak yang berhadapan dengan hukum, perlu sosialisasi dan koordinasi dari berbagai pihak, yaitu aparat penegak hukum, keluarga, maupun tokoh masyarakat. Tanpa sosialisasi tersebut maka penerapan restorative justice menjadi sulit diwujudkan sebagai alternatif penyelesaian masalah anak yang berhadapan dengan hukum. 5. Kesimpulan Dicantumkannya ketentuan mengenai diversi dan keadilan restoratif dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak merupakan suatu pencerahan terhadap penanggulangan delinkuensi anak. Penerapan ketentuan diversi dan keadilan restoratif ini adalah hal yang penting untuk dipertimbangkan, karena tindak pidana yang diduga melibatkan seorang anak sebagai 81

Lihat Pasal 130 HIR dan 154 RBg;

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

pelaku dapat ditangani tanpa perlu melalui proses hukum sehingga menghindarkan anak dari stigma sebagai “anak nakal”. Metode diversi dan restorative justice menjadi solusi yang tepat untuk menyelesaikan perkara pidana yang dilakukan oleh anak, karena didalamnya terdapat konsep yang mulia yaitu menempatkan kepentingan terbaik bagi anak dan tidak mengabaikan hak-hak anak, perlindungan anak dan kesejahteraan anak. 6. Saran Berdasarkan uraian pembahasan diversi dan keadilan restoratif dapat menjadi salah satu upaya untuk penyelesaian masalah anak yang berhadapan dengan hukum, namun dalam pelaksanaannya perlu koordinasi dengan aparat penegak hukum, keluarga, lingkungan sekolah maupun tokoh masyarakat disamping itu perlu adanya sosialisasi terutama Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sisten Peradilan Pidana Anak bagi penegak hukum agar pelaksanaan diversi dan keadilan restoratif menjadi lebih efektif. Daftar Pustaka Bagir Manan. 2008, Restoratif Justice (Suatu perkenalan) Dalam Refleksi Dinamika Hukum, Perum Percetakan Negara RI, Jakarta; F. Marshall, Tony. 1999. Retorative Justice an Overview. London : Home Office, Information & Publications Group; Hadisuprapto, Paulus. 2006. Pidato Pengukuhan Guru Besar, Peradilan Restoratif : Model Peradilan Anak Indonesia Masa Datang. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro; ----------, Paulus. 2008. Delinkuensi Anak, Pemahaman dan Penanggulangannya. Malang : Bayumedia Publishing; Marlina, 2007, Peradilan Anak Di Indonesia, Pustaka Abadi, Bandung. Nawawi Arief, Barda. 1994. Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, CV Ananta, Semarang; Reksodiputro, Mardjono. 1993, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat pada Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi), Pidato Pengukuhan Penerimaan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum pada FH UI, Jakarta; Riyanto, Agus, 2006, Keadilan Untuk Anak Perlindungan Terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum Kompilasi Instrumen Internasional, UNICEF, Jakarta. Unicef. 2004. Perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum, Manual Pelatihan untuk POLISI. Jakarta; http://www.Ditjenpas.go.id/index.php ? Option = com_content & task = view&id =34&Itemid =45>, diakses pada hari selasa tanggal 22 Desember 2009 pukul 20.00wib; http://www.menegpp.go.id/, diakses pada hari kamis tanggal 10 Februari 2011 pukul 10.00 wib; http://www.unicef.org/indonesia/uni-jjs1_2final.pdf.Santi Kusumaningrum. Keadilan bagi Anak dan Reformasi Hukum : Dalam Kerangka Protective Environment; http://www.co.stearn.mn.us/1220.htm22-12-20017 ;

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; Undang-Undang No 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak; Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak; Keputusan Presiden No 36 Tahun 1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Kriminalisasi di Luar KUHP dan Implikasinya Terhadap Hukum Acara Pidana ________________________________________________________________________ Maroni I. Pendahuluan Pengertian hukum acara pidana (HAP) adalah keseluruhan ketentuan hukum pidana yang mengatur cara bagaimana aparat penegak hukum pidana menjalankan fungsinya sehubungan adanya dugaan pelanggaran terhadap hukum pidana materiil/substantif. Ketentuan tersebut mengatur mulai tahap penyelidikan dan penyidikan, penuntutan, persidangan, sampai pelaksanaan dan pengawasan putusan pengadilan.82 Berdasarkan pengertian tersebut dapat diketahui bahwa betapa pentingnya keberadaan HAP dan keterkaitannya dengan hukum pidana materiel. Hukum pidana materiel tidak dapat ditegakkan tanpa adanya hukum pidana formil, sebaliknya tidak ada artinya hukum pidana formil kalau tidak ada hukum pidana materiel. Sedangkan adanya penentuan secara limitatif pelaksanaan penegakan hukum pidana oleh penegak hukum atau pejabat yang berwenang berdasarkan ketentuan hukum acara pidana tersebut, hal ini mengingat hukum acara pidana dimaksudkan untuk kontrol para penegak hukum, bukan para pelaku tindak pidana, sebagaimana pendapat Jerome H. Skolnick bahwa The substantive law of crimes is intended to control the behavior of people who wilfully injure persons or property, or who engage in behaviors eventually having such a consequence, as the use of narcotics. Criminal procedure, by contrast is intended to control authorities, not criminals.83 Tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran material yaitu kebenaran yang selengkaplengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang di dakwa itu dapat dipersalahkan.84 Berkaitan dengan tujuan hukum acara pidana tersebut, Van Bemmelen mengemukakan tiga fungsi hukum acara pidana yaitu: (1) mencari dan menemukan kebenaran; (2) pemberian keputusan oleh hakim; (3) pelaksanaan keputusan.85 Atas kepentingan itulah maka hukum acara pidana mengatur secara limitatif siapa saja aparat penegak hukum yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara pidana serta 82

Penyelesaian perkara pidana dapat dibagi dalam tiga tahapan yaitu tahap pra-ajudikasi meliputi penyidikan dan penuntutan, tahap ajudikasi yakni pemeriksaan perkara di persidangan, dan tahap pascaajudikasi yaitu eksekusi dan pengawasan putusan pengadilan. 83 Lawrence M. Friedman dan Stewart Macaulay (ed), Law And The Behavioral Sciences, The BobbsMerril Company, New York. 1966. Hlm. 903 84 Pedoman Pelaksanaan KUHAP. Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01.PW.07.03 Tahun 1982. 85 J.M. van Bemmelen, 1950. Strafvordering, Leerboek van het Ned. Strafprocesrecht. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff. Hlm. 2. Lihat juga Andi Hamzah. 1985. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Ghalia Indonesia. Jakarta. Hlm.19.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

bagaimana tata cara pemeriksaan perkara pidana mulai tahap penyidikan sampai pelaksanaan putusan pengadilan. Ketentuan hukum acara pidana tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan dalam berbagai undang-undang khusus seperti antara lain, Undang-Undang Nomor 7/Drt/1955 tentang Pengusutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Pada prinsipnya substansi hukum acara pidana baik yang diatur dalam KUHAP, maupun yang tersebar dalam berbagai perundang-undangan tersebut berkaitan dengan penegakan hukum pidana pada tahap aplikasi86 atau proses peradilan pidana yang dapat dibagi dalam tiga tahapan87 yakni tahap pra-ajudikasi (pre-adjudication), tahap ajudikasi (adjudication), dan terakhir tahap pasca-ajudikasi (post-adjudication). Tahap ajudikasi (persidangan) menempati posisi yang penting karena pada tahap tersebut adanya proses pembuktian menurut hukum oleh hakim untuk menentukan apakah terdakwa bersalah dan dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum kepadanya. Adanya HAP khusus yang diatur dalam berbagai undang-undang di luar KUHAP tersebut disebabkan beberapa asas dan tata cara pemeriksaan perkara pidana berdasarkan KUHAP dirasakan tidak mampu lagi untuk dijadikan sarana untuk memberantas tindak pidana khusus. Sebagai contoh mengingat KUHAP menganut asas oral debat yaitu pemeriksaan perkara harus dihadiri oleh terdakwa, maka asas ini tidak bisa digunakan untuk memeriksa perkara yang terdakwanya tidak ditemukan atau tidak diketahui keberadaanny pada tindak pidana ekonomi atau tindak pidana korupsi. Oleh karena itu untuk mengatasi kondisi ini maka baik Undang-Undang Nomor 7/Drt/1955 tentang Pengusutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, maupun undang-undang tindak pidana khusus lainnya mengatur tentang peradilan inabsensi yaitu peradilan yang digelar tanpa dihadiri oleh terdakwanya. Namun demikian keterkaitan antara KUHAP dengan undang-undang HAP khusus tersebut bersifat lex specialis derogate lex ganaralis yaitu sepanjang HAP khusus tidak mengatur sendiri maka ketentuan KUHAP tetap digunakan. Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa keberadaan hukum acara pidana adalah untuk mempertahankan hukum pidana materiel. Agar HAP dapat 86

Penegakan hukum pidana dapat diartikan dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas penegakan hukum pidana dimulai dari tahap formulasi, tahap aplikasi, dan tahap eksekusi. Tahap formulasi sering disebut tahap pemberian pidana in abstracto, sedangkan tahap aplikasi disebut tahap pemberian pidana in concreto. Muladi, 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Undip. Semarang. Hlm. 13. 87 Tahap pra-ajudikasi (pre-adjudication) yaitu pemeriksaan perkara pidana dalam rangka penyidikan yang dilaksanakan oleh lembaga Kepolisian dan penuntutan oleh lembaga Kejaksaan. Selanjutnya pada tahap ajudikasi (adjudication) yakni pemeriksaan yang berkaitan pembuktian aspek hukumnya dilaksanakan oleh lembaga Peradilan, dan terakhir tahap pasca-ajudikasi (post-adjudication) yakni pembinaan terhadap terpidana yang dilaksanakan oleh lembaga koreksional seperti Lembaga Pemasyarakatan untuk pidana hilang kemerdekaan.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

berfungsi mempertahankan hukum pidana materiel, maka HAP harus mampu memberantas semua modus operandi suatu kejahatan yang telah dijadikan tindak pidana umum maupun khusus dalam hukum pidana materiel. Oleh karena itu substansi HAP harus memperhatikan karakteristik setiap tindak pidana. Permasalahan dalam tulisan ini adalah bagaimanakah implikasi adanya kriminalisasi di luar KUHP terhadap Hukum Acara Pidana? II. Implikasi Kriminalisasi di Luar KUHP Terhadap HAP Substansi hukum acara pidana pada dasarnya berkiatan dengan proses penegakan hukum pidana pada tahap aplikasi88 atau proses peradilan pidana yang dapat dibagi dalam tiga tahapan yakni tahap pra-ajudikasi (pre-adjudication), tahap ajudikasi (adjudication), dan terakhir tahap pasca-ajudikasi (post-adjudication). Tahap pra-ajudikasi (pre-adjudication) yaitu pemeriksaan perkara pidana dalam rangka penyidikan yang dilaksanakan oleh lembaga Kepolisian dan penuntutan oleh lembaga Kejaksaan. Selanjutnya pada tahap ajudikasi (adjudication) yakni pemeriksaan yang berkaitan pembuktian aspek hukumnya dilaksanakan oleh lembaga Peradilan, dan terakhir tahap pasca-ajudikasi (post-adjudication) yakni pembinaan terhadap terpidana yang dilaksanakan oleh lembaga koreksional seperti Lembaga Pemasyarakatan untuk pidana hilang kemerdekaan. Tahap ajudikasi (persidangan) menempati posisi yang penting karena pada tahap tersebut adanya proses pembuktian menurut hukum oleh hakim untuk menentukan apakah terdakwa bersalah dan dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum kepadanya. Keputusan hakim harus berdasarkan fakta dan keadaan serta alat pembuktian yang diperoleh dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan. Alasan tersebut sesuai dengan pendapat Mardjono Reksodiputro, bahwa melalui penafsiran dari ayat (1) Pasal 191 dan Pasal 197 haruslah ditafsirkan bahwa tahap ajudikasi (sidang pengadilan) yang harus “dominan” dalam seluruh proses, karena baik dalam hal putusan bebas maupun putusan bersalah, hal ini harus didasarkan pada “fakta dan keadaan serta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang”. Selain itu alasan pentingnya pemeriksaan perkara pidana oleh hakim sejalan dengan pendapat Sudarto, bahwa hakim memberikan keputusannya mengenai hal-hal sebagai berikut: (1) keputusan mengenai peristiwanya, ialah apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya, dan kemudian (2) keputusan mengenai hukumnya, ialah apakah perbutan yang dilakukan terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah dan dapat dipidana, dan akhirnya (3) keputusan mengenai pidananya, apabila terdakwa memang dapat dipidana.89 Namun demikian untuk menanggulangi tindak pidana khusus (extra ordinary crime) tahap pra-ajudikasi juga penting karena mengingat pengertian penyidikan merupakan serangkaian kegiatan penyidik untukmencari dan mendapatkan bukti-bukti 88

Penegakan hukum pidana dapat diartikan dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas penegakan hukum pidana dimulai dari tahap formulasi, tahap aplikasi, dan tahap eksekusi. Tahap formulasi sering disebut tahap pemberian pidana in abstracto, sedangkan tahap aplikasi disebut tahap pemberian pidana in concreto. Muladi, 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Undip. Semarang. Hlm. 13. 89 Mardjono Reksodiputro, 1994. Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) UI. Jakarta. Hlm. 34. Bandingkan pendapat Sudarto, 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni Bandung. Hlm. 74.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

yang dengan bukti tersebut dapat membuat terang suatu tindakpidana dan menemukan pelakunya. Untuk membuat terang dan menemukan pelakunya pada tindak pidana khusus, dirasakan betapa sulitnya untuk mencari dan mendapatkan bukti-bukti sehubungan dengan karakteristik dan modus operandi kejahatan luar biasa tersebut, seperti bersifat terselubung (white color crime), menggunakan teknologi, profesionalitas pelaku, terorganisasi dan bersifat transnasional. Sejak kemerdekaan Republik Indonesia, hukum acara pidana sebagai landasan bekerjanya peradilan pidana telah mengalami perubahan yaitu semula berdasarkan ‘Herzien Inlandsch Reglement’ disingkat HIR atau ‘Reglemen Bumiputra (Indonesia) Yang Dibaharui’ Staatsblad 1941 Nomor 44 yang berlakunya sampai tahun 1981. HIR tersebut dipandang sudah tidak sesuai dengan alam Indonesia merdeka, maka undang-undang tersebut lalu digantikan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. KUHAP merupakan ketentuan umum (lex ganeralis) acara pidana dan diorientasikan sebagai sarana untuk menanggulangi tindak pidana (kejahatan biasa/warungan) yang terdapat di dalam KUHP. Sedangkan terhadap tindak pidana di luar KUHP, efektivitas KUHAP dirasakan sudah tidak mampu menanggulanginya. Hal ini sesuai dengan alasan adanya kriminalisasi di luar KUHP yaitu: (a) sistem KUHP tidak mampu menanggulangi bentuk-bentuk kejahatan kerah putih (white collar crime) dan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime); (b) adanya kondisi yang mendesak untuk menanggulangi bentuk-bentuk kejahatan baru; (c) sifat kejahatan baru tersebut harus ditanggulangi secara khusus tidak bisa mengikuti pola KUHP. Bahkan saat ini untuk memberantas tindak pidana yang terdapat di dalam KUHP pun, KUHAP dirasakan sudah tidak mampu. Oleh karena itu sudah sepatutnya Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia agar segera membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHAP Baru yang masuk sebagai salah satu program legislasi nasional (prolegnas) untuk disahkan menjadi undang-undang. Untuk memberantas modus operandi dari kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) tersebut, membutuhkan model hukum acara pidana khusus yang dibangun berdasarkan prinsip praduga bersalah (presumption of guilt). Hal ini mengingat adanya ketidakmampuan prinsip praduga tidak bersalah (presumption of innocence) sebagaimana yang dianut KUHAP dalam memberantas modus kejahatan tersebut. Prinsip praduga bersalah itu secara operasional seperti yang dipraktikkan oleh model proses peradilan pidana yang dikemukakan oleh Herbert L. Packer yakni Crime Control Model (CCM). Dalam CCM kewajiban untuk bekerja seefisien mungkin menjadi syarat utama, sehingga ditolerir adanya kesalahan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum sampai tingkat tertentu dalam menentukan apakah seseorang bersalah. Ini disebabkan CCM memiliki asumsi bahwa setiap orang yang terlibat dalam proses peradilan pidana ada kemungkinan bersalah dan karenanya penggunaan kekuasaan pada tangan aparat penegak hukum harus semaksimal mungkin. Oleh sebab itu pada model ini ada kekhawatiran bahwa para petugas yang dituntut bekerja secara efisien tersebut akan mengabaikan hak asasi manusia. Penggunan model CCM ini tentunya diikuti adanya tuntutan terhadap aparat penegak hukum untuk bekerja secara professional dan bertanggung jawab karena beresiko dapat dipidananya bagi aparat yang dengan sengaja melakukan perbuatan pelanggaran terhadap hak asasi orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) juncto Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Kehakiman. Hal ini mengingat menurut Muladi bahwa CCM tidak cocok diterapkan karena model ini memandang penjahat sebagai musuh masyarakat yang harus dibasmi atau diasingkan, ketertiban umum berada di atas segala-galanya dan tujuan pemidanaan adalah pengasingan. Untuk itu model sistem peradilan pidana yang cocok bagi Indonesia adalah model yang mengacu kepada “daad dader strafrecht” yang disebut model keseimbangan kepentingan. Model ini adalah model yang realistik yaitu yang memperhatikan kepentingan negara, kepentingan umum, kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana, dan kepentingan korban kejahatan.90 Walaupun model CCM dipandang kurang cocok, namun berkaca pada kurang maksimalnya cara-cara pemberantasan kejahatan yang bersifat luar biasa maka penggunaan model CCM tersebut dapat ditolerir sepanjang bertujuan untuk melindungi kepentingan masyarakat. Hal ini sesuai dengan Deklarasi Hak Asasi Manusia Universal Perserikatan Bangsa Bangsa yang menegaskan bahwa pembatasan hak-hak asasi individu dapat dibenarkan sepanjang bertujuan untuk melindungi hakhak asasi yang lebih luas asal diatur dalam bentuk undang-undang. Namun demikian agar penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana tidak menimbulkan dampak negatif, maka harus memperhatikan 3 (tiga) kebijakan dasar dalam penegakan hukum pidana yaitu: (1) kebijakan tentang perbuatan-perbuatan terlarang apa yang akan ditanggulangi karena dipandang membahayakan atau merugikan; (2) kebijakan tentang sanksi apa yang dapat dikenakan terhadap pelaku perbuatan terlarang dan sistem penerapannya; (3) kebijakan tentang prosedur/mekanisme sistem peradilan pidana dalam rangka proses penegakan hukum pidana. Kebijakan pertama dan kedua masuk dalam lingkup hukum pidana materiil, sedangkan kebijakan ketiga masuk dalam bidang hukum pidana formil.91 Oleh karena itu adanya kebijakan kriminalisasi dalam hukum pidana materiel juga harus diikuti adanya kebijakan dalam bidang hukum pidana formil sebagai dasar prosedur/mekanisme sistem peradilan pidana dalam rangka proses penegakan hukum pidana. Berkaitan dengan alasan di atas dan berkaca dari kurang maksimalnya caracara penegakan hukum pidana konvensional terutama dalam menghadapi modus operandi tindak pidana saat ini yang bersifat sistemik dan meluas serta cenderung merupakan extra ordinary crimes92, sekaligus untuk menjawab adanya kekhawatiran pelanggaran terhadap HAM yang tidak terkendali, maka diperlukan adanya model baru penegakan hukum pidana yang berbasis pada prinsip-prinsip hukum progresif yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara atau hak-hak ekonomi dan sosial rakyat di atas kepentingan dan hak-hak individu tersangka atau terdakwa.93

90

Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbit Undip. Semarang. Hlm. 5. Ibid. Hlm. 198 92 Sistem peradilan pidana dapat bersifat kriminogen manakala terjadi kriminalisasi yang tidak terkendali, tujuan pidana yang tidak jelas, effektivitasnya terbatas dan adanya disparitas pidana, Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995. Hlm. 24-25. 93 Menurut perspektif hukum progresif bahwa hukum bertujuan membahagiakan manusia. Bandingkan dengan pendapat Barda Nawawi Arief bahwa konsep pemidanaan yang berorientai pada orang (“konsep pemidanaan individual/personal) lebih mengutamakan filsafat pembinaan/perawatan si pelaku kejahatan (“The treatment of offenders”) yang melahirkan pendektan humanistik, ide individualisasi pidana dan tujuan pemidanaan yang berorientasi pada perbaikan si pembuat. Barda Nawawi Arief. Beberapa Aspek 91

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Keberhasilan pendekatan tersebut tidaklah semata-mata diukur dengan keberhasilan produk legislasi melainkan juga harus disertai langkah penegakan hukum yang konsisten baik yang bersifat preventif moralistic maupun yang bersifat represif proaktif.94 Dipilihnya pendekatan hukum progresif, mengingat ide penegakan hukum progresif tidak sekedar menjalankan peraturan perundang-undangan, melainkan menangkap kehendak hukum masyarakat. Oleh sebab itu ketika suatu peraturan dianggap membelenggu penegakan hukum, maka dituntut kreativitas dari penegak hukum itu sendiri agar mampu menciptakan produk hukum yang mengakomodasi kehendak masyarakat yang bertumpu pada nilai-nilai yang hidup di masyarakat.95 Sejalan dengan pendapat di atas, menurut Mahfud MD bahwa upaya menegakkan hukum di Indonesia memerlukan operasi caesar alias cara-cara yang tidak konvensional, bahkan untuk tahap tertentu dan dalam waktu yang sangat sementara mengabaikan prosedur-prosedur formal.96 Gagasan hukum progresif yang dikampanyekan oleh Prof Tjip panggilan akrab murid-murid Satjipto Rahardjo di Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH) Universitas Diponegoro Semarang, pada prinsipnya bertolak dari dua komponen basis dalam hukum, yaitu peraturan dan perilaku (rules and behavior). Hukum progresif yang bertumpu pada peraturan, membawa konsekuensi bahwa setiap peraturan yang akan dibuat dan diberlakukan tersebut harus sesuai dengan nilai-nilai, kehendak, situasi dan kondisi masyarakatnya. Dalam kaitannya dengan pokok permasalahan dalam tulisan ini berarti HAP yang akan dibuat selain harus sesuai dengan nilai-nilai, kehendak, situasi dan kondisi masyarakatnya, juga harus memperhatikan karakteristik kejahatan yang dijadikan dasar untuk menentukan suatu tindak pidana. Sedangkan hukum progresif yang bertumpu pada manusia, membawa konsekuensi pentingnya kreativitas. Kreativitas dalam konteks penegakan hukum selain untuk mengatasi ketertinggalan hukum, mengatasi ketimpangan hukum, juga dimaksudkan untuk membuat terobosan-terobosan hukum. Terobosan-terobosan hukum inilah yang diharapkan dapat mewujudkan tujuan kemanusiaan melalui bekerjanya hukum, yang menurut Satjipto Rahardjo diistilahkan dengan hukum yang membuat bahagia.97 menurut Satjipto Rahardjo, bahwa untuk menguji (memverifikasi) kualitas dari hukum, tolak ukur yang dapat dijadikan pedoman antara lain keadilan, kesejahteraan dan keberpihakan kepada rakyat. Dengan demikian, ketika hukum masuk dalam ranah penegakan hukum misalnya, seluruh proses bekerjanya instrumen penegak hukum harus dapat dikembalikan pada

Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana.PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 1998. Hlm.49. 94 .Romli Atmasasmita. 2004. Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Internasional, Mandar Maju, Bandung. Hlm. 13. 95 Yudi Kristiana, 2009. Menuju Kejaksaan Progresif: Studi Tentang Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan Tindak Pidana. LSHP Yogyakarta. Hlm 55. 96 Moh. Mahfud MD. 2007. Hukum Tak Kunjung Tegak. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. Hlm 146. 97 Yudi Kristiana, 2009. Op.cit. Hlm. 35.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

pertanyaan apakah sudah mewujudkan keadilan?, apakah sudah mencerminkan kesejahteraan? Apakah sudah berorientasi kepada kepentingan rakyat?.98 Selain itu mengingat undang-undang dalam pelaksanaannya harus ditafsirkan oleh para penegak hukum, maka gaya bahasa yang digunakan oleh pembentuk undang-undang harus mendapat perhatian khusus. Pada pertengahan abad ke 18 Montesquieu dalam bukunya “L’Esprit des Lois” sebagaimana dikutip oleh Sudarto telah mengemukakan prinsip-prinsip gaya bahasa dalam pembentukan undangundang yaitu: 1) Gaya bahasanya singkat dan sederhana: kalimat muluk-muluk hanyalah membingungkan belaka; 2) Istilah-istilah yang digunakan, sedapat-dapatnya harus absolute dan tidak relative, sehingga memberi sedikit kemungkinan untuk perbedaan pandangan; 3) Undang-undang harus membatasi diri pada hal-hal yang nyata dan menghindarkan kiasan-kiasan dan hal-hal hipotesis; 4) Undang-undang tidak boleh jlimet, sebab ia diperuntukkan orang-orang yang daya tangkapnya biasa, ia harus bisa difahami oleh orang pada umumnya; 5) Ia tidak boleh mengaburkan masalah pokoknya dengan adanya pengecualian, pembatasan, atau perubahan, kecuali apabila hal itu memang benar-benar diperlukan; 6) Ia tidak boleh terlalu banyak memberi alasan; adalah berbahaya untuk memberi alasan-alasan yang panjang lebar untuk undang-undang, karena hl ini hanya membuka pintu untuk pertentangan; 7) Yang paling penting ialah bahwa ia harus dipertimbangkan secara matang dan mempunyai kegunaan praktis, dan ia tidak boleh menggoncangkan akal sehat dan keadilan dan “la nature des choses” (apa yang sewajarnya); sebab undangundang yang lemah, tidak bermanfaat dan tidak adil akan merusak seluruh sistem perundang-undangan dan melemahkan kewibawaan Negara.99 Dalam rangka efektivitas penanggulangan kejahatan extra ordinary crimes, tentunya substansi hukum acara pidana khusus yang dimaksud juga harus dibangun berdasarkan asas-asas peradilan kontemporer yang meliputi antara: (1) adanya ketentuan tentang transparansi proses penyelenggaraan peradilan pidana; (2) adanya akuntabilitas terhadap setiap tindakan yang diambil oleh aparat penegak hukum pada proses penyelenggaraan peradilan pidana; (3) memperhatikan kondisional setiap kasus, seperti bagi perkara yang apabila disidangkan pada pengadilan negeri yang berwenang dikhawatirkan akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, maka perkara tersebut dapat disidangkan pada pengadilan negeri lain yang ditunjuk Mahkamah Agung; (4) adanya partisipatif masyarakat (LSM) untuk melakukan pengawasan dan penilaian terhadap kinerja pengadilan seperti melakukan eksaminasi perkara; (5) penggunaan sarana teknologi informatika dalam proses pemeriksaan perkara pidana; (6) adanya kesamaan dan keseimbangan hak dan kewajiban semua pihak yang 98 99

Ibid. Hlm. 33. Sudarto, 1983. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana. Penerbit Sinar Baru, Bandung, Hlm. 22

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

terlibat dalam suatu perkara, dan lain sebagainya. Selain itu ketentuan hukum acara pidana khusus tersebut juga harus diorientasikan secara khusus untuk memberantas semua modus operandi kejahatan extra ordinary crimes, seperti: (1) badan hukum dapat diadili; (2) orang yang turut melakukan (turut serta) di luar negeri dapat diadili di Indonesia; (3) adanya kewenangan penegak hukum untuk merampas barang bergerak yang tidak berwujud; (4) adanya kewenangan penegak hukum untuk merampas barang2 bukti bagi tersangka yang telah meninggal dunia; (5) dapatnya dihukum orang yang tidak dikenal dengan peradilan in absentia; (6) dapatnya dirampas barang2 bukan milik terdakwa, dan lain sebagainya. Begitu juga apabila dilihat dari aspek strukturnya, maka terhadap lembaga penegak hukum sebagai penyelenggara HAP khusus tersebut pembentukannya harus diorientasikan sesuai dengan karakteristik kejahatan tertentu, sehingga baik status, tugas dan wewenangnya juga disesuaikan dengan kejahatan yang kan diberantasnya. Sebagai contoh terhadap tindak pidana korupsi idealnya sistem peradilan pidananya bersifat khusus, sehingga penyidikan, penuntutan, dan persidangan bahkan lembaga eksekusinya pun dibedakan dengan lembaga penegak hukum pada umumnya. Artinya pemberantasan tindak pidana korupsi (Tipikor) hanya dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan penyidikan dan penuntutannya, sedangkan persidangannya dilakukan oleh hakim pengadilan tipikor, serta lembaga pemasyarakatan khusus tipikor. Selain itu HAP khusus tersebut harus juga dapat mengoptimalkan peran serta ahli (pakar) berbagai bidang ilmu dan masyarakat pada umumnya untuk membantu aparat penegak hukum dalam memberantas kejahatan tertentu. Untuk itu perlu adanya ketentuan HAP yang mewajibkan aparat penegak hukum pada tiap tingkatan pemeriksaan untuk meminta pendapat ahli bidang tertentu sebelum mengambil keputusannya dan adanya ketentuan yang melindungi kepentingan hukum masyarakat yang telah berperanserta dalam mengungkap kejahatan khusus tersebut. Perwujudan HAP khusus untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan yaitu untuk proses penyidikan berupa antara lain penggunaan upaya paksa harus bersifat imperatif atau wajib, sedangkan bentuk-bentuk upaya paksanya diperbanyak jika dibandingkan dengan bentuk upaya paksa yang ada dalam KUHAP. Apabila dalam KUHAP bentuk upaya paksanya berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan penyitaan dan pemeriksaan surat, maka pada HAP khusus bentuk upaya paksanya selain seperti yang terdapat di dalam KUHAP, juga ditambah seperti penyadapan, pemblokiran rekening bank tanpa melalui prosedur birokrasi, penutupan sementara kegiatan suatu perusahaan, dan lain sebagainya. Sedangkan pelaksanaannya dilakukan oleh aparat penegak hukum dari lembaga yang dibentuk khusus untuk kepentingan tertentu seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, dengan asumsi aparat penegak hukum tersebut memiliki pengetahuan khusus (ahli) terhadap jenis kejahatan yang menjadi domainnya. Untuk kepentingan persidangan, proses pembuktiannya selain memperbanyak jenis alat bukti seperti yang terdapat di dalam KUHAP yaitu: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa, juga menerima alat bukti yang menggunakan sarana teknologi seperti rekaman hasil penyadapan, rekaman CCTV, dan lain sebagainya termasuk menggunakan sistem pembuktian terbalik.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Fungsi surat dakwaan dan tuntutan jaksa hanya sebagai dasar awal untuk mengadili terdakwa, sedangkan hakim dengan kewajibannya untuk mempelajari dan menggali nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat sebagaimana yang diamanatkan Pasal 5 UU Kekuasaan Kehakiman, bebas untuk membuktikan terdakwa bersalah walaupun pasal-pasal sebagai dasar menyatakan kesalahan terdakwa tidak dirumuskan secara limitatif di dalam surat dakwaan. Sedangkan lembaga pelaksananya adalah pengadilan khusus seperti Pengadilan Tipikor, Pengadilan HAM, Pengadilan Ekonomi dan sebagainya. Berkaitan dengan alasan di atas, maka sudah sewajarnya adanya hukum acara pidana khusus yang terdapat di dalam berbagai undang-undang khusus saat ini, seperti antara lain pada Undang-Undang Nomor 7 tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme, dan lain sebagainya. III. Simpulan Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik simpulan sebagai berikut: 1. KUHAP lebih ditujukan untuk menanggulangi kejahatan (tindak pidana) yang bersifat umum sebagaimana yang diatur dalam KUHP; 2. Adanya kriminalisasi di luar KUHP berimplikasi perlu adanya hukum acara pidana khusus yang hubungannya dengan KUHAP berifat lex specialis, sedangkan kedudukan KUHAP bersifat lex ganeralis; 3. Perlu adanya ketentuan di dalam KUHAP sebagai dasar hukum keberlakuan KUHAP terhadap HAP Khusus di luar KUHP; 4. Tidak semua tindak pidana di luar KUHP penanggulangannya menggunakan HAP Khusus; HAP Khusus hanya untuk tindak pidana khusus; 5. HAP khusus, tidak bersifat kodifikasi terhadap semua tindak pidana di luar KUHP, melainkan tersebar di dalam masing-masing undang-undang yang mengatur tindak pidana khusus; 6. HAP khusus tersebut hanya diorientasikan untuk pemberantasan tindak pidana khusus tertentu; Daftar Pustaka Arief, Barda Nawawi. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana.PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 1998. Atmasasmita, Romli. Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek Internasional, Mandar Maju, Bandung. 2004. Bemmelen, J.M. van, Strafvordering, Leerboek van het Ned. Strafprocesrecht. ‘sGravenhage: Martinus Nijhoff. 1950. Friedman, Lawrence M. dan Macaulay, Stewart (ed), Law And The Behavioral Sciences, The Bobbs-Merril Company, New York. 1966. Hamzah, Andi. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Ghalia Indonesia. Jakarta. 1985. Kristiana, Yudi. Menuju Kejaksaan Progresif: Studi Tentang Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan Tindak Pidana. LSHP Yogyakarta. 2009. Mahfud MD, Moh.. Hukum Tak Kunjung Tegak. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2007. Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Undip. 1995.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Reksodiputro, Mardjono. Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) UI. Jakarta. 1994. Sudarto, 1983. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana. Penerbit Sinar Baru, Bandung. ----------, 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni Bandung.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Pemikiran Integratif Sistem Penegakan Hukum Pidana Dalam Menghadapi Kejahatan Mayantara (Cyber Crime) _______________________________________________________________________ Heni Siswanto A. Latar Belakang Dewasa ini kehidupan dunia modern tidak dapat dilepaskan, bahkan sangat bergantung pada kemajuan teknologi canggih/maju (“hitech” atau “advanced technology”) di bidang informasi dan elektronik melalui jaringan internasional (internet).100 Dampak dari perkembangan komputer/internet sebagai basis dari ”cyberspace” (tindak pidana di ruang siber)101 dan ”cyberlaw” menjangkau hampir semua segi kehidupan, seperti di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya.102 Berkembangnya jenis kejahatan yang berbasis komputer dewasa ini (cybercrime/computer crime/computer misuse/computer abuse/computer related crime) bukan melulu persoalan yuridis belaka, sebab di dalamnya terkait unsur-unsur seperti, kultur tidak bertanggung jawab si pelaku, kecongkakan intelektual si pelaku, ”anomie of success”, sikap tertutup si korban, di samping lemahnya hukum dan pengawasan. Cyber crime103 pada hakekatnya merupakan ”sisi negatif” dari teknologi komputer, dalam arti bahwa ternyata ia juga rentan terhadap perilaku kriminal. Cyber crime bisa berupa tindakan sengaja merusak properti, masuk tanpa ijin, pencurian hak milik intelektual, perbuatan cabul, pemalsuan, pornografi anak, pencurian, dan beberapa tindak pidana lainnya.104 Di satu sisi, kemajuan teknologi canggih itu membawa dampak positif di berbagai kehidupan, seperti adanya e-mail, e-commerce, e-learning, “EFTS” (Electronic Funds Transfer System atau “Sistem Transfer Dana Elektronik”), “internet banking”, “cyber bank”, “on-line business” dan sebagainya. Namun di sisi lain, juga membawa dampak negatif, yaitu dengan munculnya berbagai jenis “hitech crime“105 dan “cyber crime”, sehingga cyber crime dinyatakan “cyber crime is the 100

Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana dalam Menghadapi Perkembangan Delik Kesusilaan di Bidang Cyber (Cyber Sex), Ceramah Umum di Fakultas Hukum Muhammadiyah Yogyakarta, 15 Maret 2006, hlm. 1. Bahan ceramah/makalah ini juga pernah disampaikan pada Seminar “Kejahatan Seks melalui Cyber Crime dalam Perspektif Agama, Hukum, dan Perlindungan Korban”, FH UNSWAGATI, di Hotel Zamrud Cirebon, 20 Agustus 2005, hlm. 1. 101 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hlm. 253 dan Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 237. 102 Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, editor Taftazani, The Habibie Center, Jakarta, 2002, hlm. 201. 103 Cyber crime merupakan salah satu bentuk atau dimensi baru dari kejahatan masa kini yang mendapat perhatian luas di dunia internasional. Cyber crime merupakan salah satu sisi gelap dari kemajuan teknologi yang mempunyai dampak negatif sangat luas bagi seluruh bidang kehidupan modern saat ini, dalam Barda Nawawi Arief, Tindak Pidana Mayantara: Perkembangan Kajian Cyber Crime di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 1. 104 Muladi,…..op. cit., hlm. 203. 105 Australian High Tech Crime Center tahun 2003 membagi “hitech crime” secara kasar dalam dua kategori, yaitu (a) crimes committed with or against computers or communication systems; (b) traditional

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

most recent type of crime”106 dan “cyber crime is part of the seamy side of the Information Society” (cyber crime merupakan bagian sisi paling buruk dari Masyarakat Informasi”)107. Semakin berkembangnya cyber crime terlihat pula dari munculnya berbagai istilah seperti economic cyber crime, EFT (Electronic Funds Transfer) crime, cybank crime, internet banking crime, on-line business crime, cyber/electronic money laundering, hitech WWC (white collar crime), internet fraud (antara lain bank fraud, credit card fraud, on-line fraud), cyber terrorism, cyber stalking, cyber sex, cyber pornography, cyber defamation, cyber-criminals, dan sebagainya. Dengan semakin berkembangnya cyber crime, sangatlah wajar masalah ini sering dibahas di berbagai forum nasional dan internasional. Kongres PBB mengenai “The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders”108 (yang diselenggarakan tiap 5 tahun) telah pula membahas masalah ini sampai tiga kali, yaitu pada Kongres VIII/1990 di Havana, Kongres X/2000 di Wina, dan terakhir pada Kongres XI/2005 di Bangkok (tanggal 18-25 April 2005). Dalam “background paper” lokakarya “Measures to Combat Computer-related Crime” Kongres XI PBB dinyatakan, bahwa “teknologi baru yang mendunia di bidang komunikasi dan informasi memberikan “bayangan gelap” (a dark shadow) karena memungkinkan terjadinya bentuk-bentuk eksploitasi baru, kesempatan baru untuk aktivitas kejahatan, dan bahkan bentukbentuk baru dari kejahatan”.109 Salah satu masalah cyber crime yang juga sangat meresahkan dan mendapat perhatian berbagai kalangan, adalah masalah cyber crime di bidang kesusilaan110 yang terjadi di ruang maya (cyber space), terutama yang berkaitan dengan masalah pornografi, mucikari/calo, dan pelanggaran kesusilaan/ percabulan/perbuatan tidak senonoh/zina. Semakin maraknya pelanggaran kesusilaan di dunia cyber ini, terlihat dengan munculnya berbagai istilah seperti: cyber pornography (khususnya child pornography), on-line pornography, cyber sex, cyber sexer, cyber lover, cyber romance, cyber affair, on-line romance, sex on-line, cybersex addicts, cyber sex offender. Khususnya masalah ”cyber child pornography”, dalam Konvensi Cybercrime Dewan Eropa 2001 di Budapest (yang juga ikut ditandatangani oleh negara-negara di luar Eropa, antara lain: Jepang, Kanada, USA, dan Afrika Selatan) sudah disepakati untuk dikriminalisasi. crimes which are largely facilitated by technology, dalam Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana: Dalam Perspektif Kajian Perbandingan, Citra Aditya Bakti, 2005, hlm. 126. 106 V.D. Dudeja, Cyber Crimes and Law, Volume 2, 2002, p. v, dalam Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana.....op. cit., hlm. 1. 107 Data Protection Working Party, Council of Europe, “Opinion 4/2001 On the Council of Europe’s Draft Convention on Cyber-crime”, adopted on 22 March 2001, 5001/01/EN/Final WP 41, p. 2, dalam Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana.....ibid., hlm. 1. 108 Dalam Kongres XI, judul kongres berubah menjadi Congress on Crime Prevention and Criminal Justice, dalam Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana.....ibid., hlm. 2. 109 Dokumen United Nations A/CONF.203/14, Eleventh United Nations Congress on Crime Prevention and Criminal Justice, Bangkok, 18-25 April 2005, Background paper, Workshop 6: Measures to Combat Computer-related Crime: “The worldwide multiplication of new information and communication technologies also casts a dark shadow: it has made possible new forms of exploitation, new opportunities for criminal activity and indeed new forms of crime”, dalam Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana.....ibid., hlm. 2. 110 Barda Nawawi Arief, Pornografi: Pornoaksi .....op. cit., hlm. 11.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Dunia maya (cyber/virtual world) atau internet dan World Wide Web (WWW) saat ini sudah sangat penuh (berlimpah) dengan bahan-bahan pornografi atau yang berkaitan dengan masalah seksual. Menurut perkiraan, 40 % dari berbagai situs di WWW menyediakan bahan-bahan seperti itu.111 Bahkan dinyatakan Peter David Goldberg,112 bahwa sex merupakan topik paling populer di internet (the most popular topic on the internet).113 Pernyataan ini mirip dengan pendapat Mark Griffiths,114 bahwa sex merupakan topik yang paling banyak dicari di internet (“sex is the most frequently searched-for topic on the Internet”).115 Selanjutnya, Goldberg mengemukakan pula, bahwa perdagangan bahan-bahan porno melalui internet sudah mencapai milyaran dollar US per tahun, sekitar 25 % pengguna internet mengunjungi lebih dari 60.000 situs sex tiap bulan, dan sekitar 30 juta orang memasuki situs sex tiap hari.116 Gambaran singkat di atas tentunya cukup meresahkan/ memprihatinkan, karena tidak mustahil bisa juga terjadi di Indonesia. Beredarnya foto hubungan seksual seorang siswi di Sampit, Jember atau kasus video mesum mirip Ariel dan Luna Maya beberapa waktu yang lalu, yang direkam dengan kamera digital dan disebarkan melalui MMS (multy media message) merupakan salah satu contoh penyalahgunaan teknologi maju. Rekaman dan beredarnya perbuatan mesum ini tentunya sangat meresahkan, karena kemajuan teknologi ternyata tidak digunakan sebagai sarana positif untuk meningkatkan kualitas kehidupan, tetapi justru digunakan sebagai sarana negatif yang dapat membawa dampak negatif. Keprihatinan terhadap dampak negatif dari teknologi maju ini, pernah diungkapkan pula oleh Arthur Bowker, seorang ahli computer crime dari Amerika yang menyatakan antara lain, bahwa teknologi maju telah meningkat menjadi “way of life” masyarakat kita, namun sangat disayangkan, teknologi maju ini menjadi alat/sarana pilihan bagi para pelaku cybersex (“cybersex offender”)117. Donna Hughes mengaitkan keprihatinannya dengan krisis hak asasi manusia (HAM), bahwa eksploitasi sex terhadap wanita dan anak-anak merupakan krisis hak-hak asasi/kemanusiaan global (a global human rights crisis) yang semakin meningkat dengan penggunaan teknologi baru. Teknologi informasi dan komunikasi

Lihat Gloria G. Brame, “Boot Up and Turn On”, 1996, gloria-brame.com/glory/journ7. htm, dalam Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 12. 112 Nua Internet Surveys 2001, Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 12. 113 Peter David Goldberg, An Exploratory Study About the Impacts that Cybersex (The Use of the Internet for Sexual Purposes) is Having on Families and The Practices of Marriage and Family Therapists, 2004, ([email protected]), dalam Barda Nawawi Arief, ....., ibid., hlm. 12. 114 Freeman-Longo&Blanchard, 1998, dalam Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 12. 115 Mark Griffiths, Sex on the Internet: observations and implications for Internet sex addiction, Journal of Sex Research, Nov, 2001, [email protected], dalam Barda Nawawi Arief, .....ibid, hlm. 12. 116 Peter David Goldberg, dalam Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 12. 117 Art Bowker and Michael Gray, An Introduction to the Supervision of the Cybersex Offender, www.uscourts.gov Publishing Information: Advanced Technologies are increasingly becoming a way of life for our society. Computers are found in every home, school, and business, with more and more individuals going "online" every day. Unfortunately, these advanced technologies (computers, scanners, digital cameras, the Internet, etc.) are becoming the tool of choice for the "cybersex offender.", dalam Barda Nawawi Arief,.....ibid., hlm. 14. 111

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

telah digunakan sebagai fasilitator untuk perdagangan dan eksploitasi seksual para wanita dan anak-anak dengan berbagai cara.118 Mengingat cyber crime sudah sangat meresahkan/memprihatinkan itu, maka sudah seharusnya Pemerintah RI perlu segera membangun suatu sistem penegakan hukum pidana yang integral dalam menghadapi kejahatan mayantara (cyber crime) di Indonesia. B. Pembahasan Menurut Peter David Goldberg, cybersex adalah “penggunaan internet untuk tujuan-tujuan seksual” (“the use of the Internet for sexual purposes”)119. Senada dengan ini, David Greenfield mengemukakan, bahwa cybersex adalah “menggunakan komputer untuk setiap bentuk ekspresi atau kepuasan seksual” ("using the computer for any form of sexual expression or gratification"). Dikemukakan juga olehnya, bahwa cybersex dapat dipandang sebagai “kepuasan/ kegembiraan maya” ("virtual gratification”), dan suatu “bentuk baru dari keintiman” (“a new type of intimacy")120. Patut dicatat, bahwa hubungan intim atau keintiman (“intimacy”) itu dapat juga mengandung arti “hubungan seksual atau perzinahan”.121 Ini berarti, cybersex merupakan bentuk baru dari perzinahan. Dalam ensiklopedia bebas Wikipedia dinyatakan, bahwa “cybersex” atau “computersex” adalah “pertemuan sex secara virtual/maya antara dua orang atau lebih yang terhubung melalui jaringan internet dengan mengirimkan pesan-pesan seksual yang menggambarkan suatu pengalaman seksual”. Cybersex/computersex merupakan bentuk permainan-peran (role-playing) antara para partisipan yang berpura-pura atau menganggap dirinya melakukan hubungan seksual secara nyata, dengan menggambarkan sesuatu untuk mendorong perasaan/fantasi seksual mereka. Cybersex ini terkadang disebut juga dengan istilah “cybering”.122 Menurut Greenfield dan Orzack, cybering ini dimasukkan dalam penggolongan cybersex yang berupa Online Sexual Activity (OSA) karena dengan cybering itu, salah seorang atau kedua orang yang saling berfantasi itu dapat melakukan masturbasi (onani).123 Bahkan menurut Lihat Bela Bonita Chatterjee, Human Rights and the Cyber Sex Trade, antara lain: “the sexual exploitation of women and children is a global human rights crisis that is being escalated by the use of new technologies…ICTs (information and communication technologies) are being used as facilitators for the trafficking and sexual exploitation of women and children in various ways”, sumber internet, dalam Barda Nawawi Arief, Kebijakan Hukum Pidana.....op. cit., hlm. 8. 119 Peter David Goldberg, [email protected], dalam Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 8. 120 Gloria G. Brame, gloria-brame.com/glory/journ7.htm, dalam Barda Nawawi Arief, ibid., hlm. 9. 121 Lihat John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, 2000, halaman 328. Dalam kamus Hornby, 1963, halaman 517, disebut dengan istilah “illicit sexual relations”, dalam Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 9. 122 Wikipedia, the free encyclopedia, (en.wikipedia.org/wiki/Cybersex): “Cybersex or computer sex is a virtual sex encounter in which two or more persons connected remotely via a computer network send one another sexually explicit messages describing a sexual experience, by describing their actions and responding to their chat partners in a mostly written form designed to stimulate their own sexual feelings and fantasies.…It is a form of role-playing in which the participants pretend they are having actual sexual intercourse,….Cybersex is sometimes colloquially called "cybering", d dalam Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 9. 123 Lihat dalam Peter D. Goldberg; Greenfield dan Orzack mendefinisikan “cybering” sebagai “direct use by two people who share the same fantasy while one or both masturbate”, dalam Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 9. 118

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Kenneth Allen, “An important and major element of cybersexual activity is masturbation”124. Pengertian “Cybering" atau “sex on the Internet” dikemukakan pula oleh Michael G. Conner, Psy.D. sebagai “diskusi seksual secara “on-line” dengan tujuan mencapai orgasme (puncak syahwat)”125. Meningkatnya cybersex mengundang minat orang untuk melakukan berbagai penelitian. Penelitian yang telah dilakukan di Amerika, antara lain: (1) Cooper dkk., 2000, meneliti tentang “ciri-ciri dan pola kebiasaan para pecandu cybersex (cybersex addicts)”; (2) Schneider, 2000, meneliti tentang “pengaruh/ akibat penggunaan cybersex terhadap pasangan mereka sendiri (suami/istri)”; dan (3) Peter David Goldberg, 2004, meneliti tentang “pengalaman para terapis keluarga dan perkawinan terhadap klien yang mengalami konflik akibat penggunaan cybersex”. Berdasarkan penelitian tersebut, banyak dijumpai akibat-akibat negatif dari penggunaan cybersex terhadap diri si pelaku maupun terhadap hubungan perkawinan, terhadap keseluruhan hubungan/sistem kekeluargaan, dan terhadap anak-anak mereka. Akibat terhadap diri pelaku, antara lain, merubah pola tidur, mengisolasi diri dari keluarga, mengabaikan tanggung jawab, berdusta, berubahnya kepribadian, kehilangan daya tarik terhadap partnernya (istri/suaminya), bersifat ambigius/mendua, timbul perasaan malu dan bersalah, hilangnya rangsangan nafsu dan adanya gangguan ereksi (erectile disfunction). Akibat terhadap partnernya (istri/suami) dan anak-anak, antara lain: timbul perasaan dikhianati, dilukai, dikesampingkan, dihancurkan, ditelantarkan, kesepian, malu, cemburu, kehilangan harga diri, perasaan dihina, anak-anak merasa kehilangan perhatian orang tua, depresi (karena pertengkaran orang tua).126 Menurut hasil penelitian Mitchell, Finkelhor, and Wolak (2003), anak-anak mengalami gejala stres (stress symptoms) sebagai akibat penayangan pornografi di internet. Mereka selalu gelisah, lekas/mudah marah, sulit tidur, kehilangan minat di dalam beraktivitas, menjauhi internet, dan tidak dapat berhenti memikirkan apa yang terjadi.127 Pengaruh pornografi melalui internet yang demikian dalam terhadap anak, sangat bersesuaian dengan yang dikemukakan oleh Arthur Bowker dan Michael Gray dalam tulisannya berjudul “The cybersex offender and children”, bahwa gambargambar pornografi digital mempunyai pengaruh yang lebih lama (lebih kuat) daripada materi-materi non-elektronik.128

124

Kenneth Allen, Cyber-Sex A Review and Implications of the Situation, (home.earthlink. net), dalam Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 10. 125 Michael G. Conner, Psy.D, Internet Addiction & Cyber Sex, (www.CrisisCounseling. org): “Cybering", or sex on the Internet, is defined as the consensual sexual discussion on-line for the purpose of achieving arousal or an orgasm, dalam Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 10. 126 Lihat antara lain Peter David Goldberg disebutnya dengan istilah “feelings of betrayal, hurt, rejection, devastation, abandonment, loneliness, shame, jealousy, loss of self-esteem, humiliation”; isolate themselves from their partners or parents; affect the family’s sense of mutuality; dalam Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 11. 127 Peter David Goldberg menyatakan, bahwa children reported stress symptoms as a result of exposure to pornography on the Internet. They reported feeling jumpy, irritable, having difficulty going to sleep, losing interest in activities, staying away from the Internet, unable to stop thinking about what happened (Mitchell, Finkelhor, and Wolak (2003), dalam Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 11. 128 Arthur Bowker, Michael Gray , “The cybersex offender and children”, FBI Law Enforcement Bulletin,The, March, 2005 : “digital pornographic images have a longer duration of harm for victims than nonelectronic materials”, www.findarticles.com, dalam Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 11.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Adanya akibat-akibat demikian, maka sering timbul pertengkaran keluarga yang berakibat pada perceraian. Menurut Carl Salisbury (pengacara di Hanover, New York), gugatan perkara yang berkaitan dengan cybersex menunjukkan peningkatan di pengadilan-pengadilan Amerika. Dikatakan pula olehnya: “Tidak dapat dihindari bahwa kita sedang menyaksikan semakin banyaknya kasus-kasus perceraian yang disebabkan oleh cybersex”.129 Cukup banyaknya akibat negatif dari cyber crime di bidang kesusilaan dan berbagai bidang lainnya, tentunya memerlukan kajian serius terhadap kebijakan pencegahan, penanggulangan dan penegakan hukum pidananya. Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan penegakan hukum pidana terhadap delik-delik kesusilaan terkesan kurang mendapat prioritas dibandingkan upaya pemberantasan tindak pidana lainnya seperti korupsi, narkoba dan terorisme. Kondisi demikian patut dievaluasi karena tidak mustahil hal itu berdampak pada semakin meningkat dan merebaknya kasus-kasus delik kesusilaan di bidang cyber dan semakin bermunculan situs porno di Indonesia. Menurut informasi sudah lebih dari 1.000 situs porno lokal di Indonesia saat ini.130 Lemahnya penegakan hukum pidana terhadap delik kesusilaan di bidang cyber ini mungkin berkaitan erat pula dengan lemahnya kebijakan perundangundangan yang ada seperti dikemukakan di atas. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian evaluatif dan reformatif/inovatif/rekonstruktif untuk mengefektifkan penegakan hukum pidana terhadap delik kesusilaan.131 Sarana penal pada umumnya di atur dalam KUHP dan khususnya dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP, seperti Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Ketentuan-ketentuan ini masih mengandung beberapa kelemahan, namun seyogyanya dapat diefektifkan penerapannya terhadap cybersex dan cyberporn. Terlebih para pakar di internet menyatakan bahwa cybersex dan cyberporn pada hakikatnya sama dengan delik kesusilaan yang sesungguhnya (zina dan pelanggaran kesusilaan lainnya).132 Kemampuan sarana “penal” (hukum pidana) dalam menanggulangi kejahatan sangatlah terbatas, terlebih menghadapi cyber crime yang perkembangannya sebagai hitechcrime sangat cepat dan canggih. Dilihat dari sudut “criminal policy”, upaya penanggulangan cyber crime tidak dapat dilakukan secara parsial dengan hukum pidana, tetapi harus ditempuh pula dengan pendekatan integral/sistemik. Sebagai salah satu bentuk dari “hitech crime” adalah wajar upaya penanggulangan cyber crime juga harus ditempuh dengan pendekatan teknologi (techno prevention), pendekatan budaya/kultural, pendekatan edukatif/ moral/religius terlebih untuk delik kesusilaan, pendekatan regulasi administratif dan bahkan pendekatan global (kerja sama

129

Gloria G. Brame, op. cit. dalam Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 12. Barda Nawawi Arief, Pornografi: Pornoaksi.....op. cit., hlm. 63. 131 Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 64. 132 Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 64. 130

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

internasional) karena cyber crime dapat melampaui batas-batas negara (bersifat “transnasional/transborder).133 Menyadari bahwa penanggulangan cyber crime harus ditempuh melalui pendekatan/kebijakan integral, maka seyogyanya penegakan hukumnya pun harus dilakukan melalui sistem penegakan hukum pidana (SPHP) yang integral dalam menghadapi cyber crime. Sistem penegakan hukum (SPH) yang integral dalam menghadapi cyber crime, yaitu adanya keterjalinan erat (keterpaduan/integralitas) atau satu kesatuan dari berbagai sub-sistem (komponen) yang terdiri dari substansi hukum (legal substance), stuktur hukum (legal structure), dan budaya hukum (legal culture). Sebagai suatu SPH, proses penegakan hukum cyber crime terkait erat dengan ketiga komponen itu, yaitu norma hukum/peraturan perundang-undangan (komponen substantif/normatif), lembaga/struktur aparat penegak hukum (komponen struktural/institusional beserta mekanisme prosedural/ administrasinya), dan nilai-nilai budaya hukum (komponen kultural), yaitu:134 a. Dilihat dari aspek/komponen substansi hukum (legal substance), sistem penegakan hukum pada hakikatnya merupakan suatu sistem penegakan substansi hukum di bidang hukum pidana cyber crime meliputi hukum pidana materiel, hukum pidana formal, dan hukum pelaksanaan pidana. Dengan demikian, dilihat dari sudut substansi hukum, sistem penegakan hukum pidana cyber crime pada hakikatnya merupakan “integrated legal system” atau “integrated legal substance”. b. Dilihat dari aspek/komponen struktural (legal structure), sistem penegakan hukum pada dasarnya merupakan sistem bekerjanya/berfungsinya badanbadan/lembaga/aparat penegak hukum dalam menjalankan fungsi/ kewenangannya masing-masing di bidang penegakan hukum pidana cyber crime. Dengan demikian, dilihat secara struktural, sistem penegakan hukum pidana juga merupakan “sistem administrasi/penyelenggaraan“ atau “sistem fungsional/operasional” dari berbagai struktur/profesi penegak hukum. Dilihat dari sudut struktural/administrasi/fungsional inilah, di bidang sistem penegakan hukum pidana atau sistem peradilan pidana (SPP) cyber crime, muncul istilah “integrated criminal justice system” atau “the administration of criminal justice”. Dengan demikian, apabila SPP dilihat sebagai “sistem kekuasaan menegakkan hukum pidana”, maka SPP merupakan serangkaian perwujudan dari kekuasaan menegakkan hukum pidana cyber crime yang terdiri dari 4 (empat) subsistem, yaitu: (1) kekuasaan “penyidikan” (oleh badan/lembaga penyidik); (2) kekuasaan "penuntutan" (oleh badan/lembaga penuntut umum); (3) kekuasaan “mengadili dan menjatuhkan putusan/pidana” (oleh badan pengadilan); dan (4) kekuasaan “pelaksanaan putusan/pidana” (oleh badan/ aparat pelaksana/eksekusi). Keempat tahap/subsistem itu merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang integral, dan sering disebut dengan istilah “SPP Terpadu” (“integrated criminal justice system”).

133

Barda Nawawi Arief, .....ibid., hlm. 41. Barda Nawawi Arief, Reformasi Sistem Peradilan (Sistem Penegakan Hukum) di Indonesia, artikel untuk penerbitan buku Bunga Rampai “Potret Penegakan Hukum di Indonesia”, edisi keempat, 2009, Komisi Judisial, Jakarta, hlm. 3.

134

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

c. Dilihat dari aspek/komponen budaya hukum (legal culture),135 sistem penegakan hukum pada dasarnya merupakan perwujudan dari sistem “nilai-nilai budaya hukum” (yang dapat mencakup nilai-nilai filosofi/filsafat hukum, asas-asas hukum, teori hukum, ilmu hukum (pendidikan hukum dan ilmu hukum pidana, atau persoalan edukasi), nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dan kesadaran/sikap perilaku hukum/perilaku sosialnya. Dengan demikian, dilihat dari sudut budaya hukum, sistem penegakan hukum pidana cyber crime dapat dikatakan merupakan “integrated legal culture” atau “integrated cultural legal system”. Menurut sistem penegakan norma/substansi hukum di bidang hukum pidana atau sistem penegakan hukum pidana (SPHP) yang integral dapat dilihat dari dua sisi/aspek, yaitu aspek kelengkapan bidang/jenis hukum pidana cyber crime dalam satu kesatuan sistem substansi hukum pidana yang integral dan aspek substansi nilai/ide-dasar/pokok pemikiran dalam satu kesatuan sistem substansi hukum pidana cyber crime yang integral yang didasarkan pada ”pendekatan keilmuan” dan ”ide keseimbangan” secara integral menurut keseimbangan ide dasar Pancasila sebagai landasan sistem hukum nasional dan keseimbangan tujuan pembangunan nasional yang berorientasi pada kebijakan pembangunan nasional (bangnas) dan pembangunan hukum136 nasional (bangkumnas) atau sistem hukum nasional (siskumnas/SHN) berPancasila. Oleh karena itu, SPHP yang integral dalam menghadapi cyber crime dilakukan dengan memperhatikan konteks ke-Indonesia-an, khususnya kondisi lingkungan hukum Indonesia, yaitu sistem hukum nasional/siskumnas. Sistem norma/substansi(al) hukum pidana merupakan salah satu aspek SPHP yang paling strategis. Kesalahan pada aspek ini akan mempengaruhi keberhasilan SPHP dalam menghadapi masalah cyber crime di masa yang akan datang. Sistem norma/ substansi hukum pidana yang integral dapat dilihat dari dua sisi/aspek, yaitu: a. Aspek kelengkapan bidang/jenis hukum pidana Aspek kelengkapan bidang/jenis hukum pidana cyber crime dalam satu kesatuan sistem substansi hukum pidana yang integral, meski dapat dikatakan kondisi substansi hukum pidana cyber crime saat ini sebenarnya sudah cukup lengkap, karena ketiga bidang substansi hukum pidana (hukum pidana materiel, hukum pidana formal, dan hukum pelaksanaan pidana) sudah ada, akan tetapi masih mengandung berbagai 135

136

Pengertian/ruang lingkup “budaya hukum” didasarkan pada Renstra (Rencana Strategik) pembangunan hukum nasional Repelita VI (1994-1999) yang pernah merinci Pembangunan ”budaya hukum nasional” dalam 5 sektor : (1) Pembinaan Filsafat Hukum dan Ilmu Hukum Nasional; (2) Pembinaan Kesadaran hukum & perilaku taat hukum; (3) Pengembangan/ pembinaan perpustakaan, penerbitan dan informatika hukum; (4) Pengembangan dan pembinaan profesi hukum; (5) Pengembangan dan pembinaan pendidikan hukum, dalam Barda Nawawi Arief, Pembangunan Sistem Hukum Nasional Indonesia, Kuliah Umum pada Program Magister Ilmu Hukum, Pascasarjana UBH, Padang, 16 Mei 2009, hlm. 6. Pembaharuan/pembangunan hukum merupakan suatu “kegiatan berlanjut (sustainable activity) atau merupakan “konsep berlanjut (sustainable concept/idea). ”Pembaharuan/ pembangunan hukum” pada hakikatnya merupakan ”pembaharuan/pembangunan yang berkelanjutan” (sustainable reform/sustainable development). Di dalam pembaharuan/ pembangunan hukum selalu terkait dengan ”perkembangan/pembangunan masyarakat yang berkelanjutan” maupun ”perkembangam yang berkelanjutan dari kegiatan/aktivitas ilmiah dan perkembangan pemikiran filosofi/ide-ide dasar/konsepsi intelektual”. Jadi ”law reform” terkait erat dengan ”sustainable society/development”, ”sustainable intellectual activity”,”sustainable intellectual phylosophy”,“sustainable intellectual conceptions/basic ideas”, dalam Barda Nawawi Arief, Pembangunan Sistem Hukum…..ibid., hlm. 10.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

masalah yang harus dibenahi atau di “reform”.137 Bertolak dari pengertian sistem yang integral, maka pengertian SPHP dilihat dari aspek/komponen substansi hukum (legal substance) merupakan suatu sistem penegakan substansi hukum pidana. Sistem penegakan hukum pidana (SPHP) yang integral dalam menghadapi cyber crime dilihat dari bidang substansi hukum pidana meliputi substansi hukum pidana materiel (materielle strafrecht), yaitu KUHP dan peraturan perundangundangan khusus lainnya, seperti Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, UndangUndang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Substansi hukum pidana formel (strafverfahrensrecht/ strafprozessrecht), yaitu KUHAP dan substansi hukum pelaksanaan pidana (strafvollstreckungsrecht) terkait cyber crime. Ketiga sub-sistem itu merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan, karena tidak mungkin hukum pidana dioperasionalkan/ditegakkan secara konkret hanya dengan mengandalkan salah satu subsistem itu. b. Aspek “substansi nilai/ide-dasar/pokok pemikiran” Sisi/aspek “substansi nilai/ide-dasar/pokok pemikiran” cyber crime dalam satu kesatuan sistem substansi hukum pidana yang integral, yang didasarkan pada ”ide keseimbangan” dan ”pendekatan keilmuan”138 secara integral. Ide keseimbangan disusun/diformulasikan dengan berorientasi pada berbagai pokok pemikiran dan ide dasar secara garis besar dapat disebut “ide keseimbangan”, antara lain mencakup: a. Ide keseimbangan monodualistik antara kepentingan umum/masyarakat dan kepentingan individu/perorangan. b. Ide keseimbangan antara unsur/faktor “objektif” (perbuatan/lahiriah) dan “subjektif” (orang/batiniah/sikap batin). Ide daad-dader strafrecht. c. Ide keseimbangan antara kriteria formal dan materiel. d. Ide keseimbangan antara kepastian hukum, kelenturan/elastisitas/ fleksibilitas, dan keadilan. e. Ide keseimbangan nilai-nilai nasional dan nilai-nilai global/internasional/ universal. f. Ide kesimbangan antara ”social welfare” dengan ”social defence”. g. Ide keseimbangan antara pidana yang berorientasi pada pelaku tindak pidana/”offender” (ide individualisasi pidana) dan korban tindak pidana (”victim”). h. Ide penggunaan ”double track system” (antara pidana/punishment dengan tindakan/treatment/measures). i. Ide mengefektifkan ”non custodial measures” (alternatives to imprisonment). j. Ide elastisitas/fleksibilitas pemidanaan (elasticity/flexibility of sentencing). 137 138

Barda Nawawi Arief, Pembangunan Sistem Hukum…..ibid., hlm. 12. Pendekatan keilmuan (hukum) dapat diartikan sebagai suatu metode/cara mendekati atau memahami sesuatu (objek/fenomena) berdasar logika berpikir/konstruksi pikir, konsep/ kerangka/dasar pemikiran (wawasan/pandangan/orientasi) tertentu. Karena sudut pandang/ konstruksi/orientasi berpikir tentang hukum bisa bermacam-macam, maka dalam penulisan ini digunakan pendekatan sistemik/integral, dalam Barda Nawawi Arief, Optimalisasi Kinerja Aparat Hukum Dalam Penegakan Hukum Indonesia Melalui Pemanfaatan Pendekatan Keilmuan, makalah disajikan dalam Seminar Nasional “Strategi Peningkatan Kinerja Kejaksaan RI”, di Gedung Program Pasca Sarjana UNDIP, 29 Nopember 2008, Semarang, hlm. 1.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

k. Ide modifikasi/perubahan/penyesuaian pidana (modification of sanction; the alternation/annulment/revocation of sanction; redetermining of punishment). l. Ide subsidiaritas di dalam memilih jenis pidana. m. Ide permaafan hakim (rechterlijk pardon/judicial pardon). n. Ide mendahulukan/mengutamakan keadilan dari kepastian hukum. Ide dasar “keseimbangan” itu diwujudkan dalam ketiga permasalahan pokok hukum pidana terkait cyber crime, yaitu:139 a. Tindak pidana (strafbaarfeit/criminal act/actus reus). b. Kesalahan (schuld/guilt/mens rea). c. Pidana (straf/punishment/poena). Sisi/aspek “substansi nilai/ide-dasar/pokok pemikiran” dalam satu kesatuan sistem substansi hukum pidana yang integral, yang didasarkan pada ”ide keseimbangan” dan ”pendekatan keilmuan”140 secara integral meliputi:141 1. Pendekatan Juridis-Ilmiah-Religius Pendekatan yang berorientasi/berpedoman pada “ilmu” (hukum pidana) dan “tuntunan Tuhan” dalam menegakkan hukum pidana positif sebagai prasyarat utama dalam penegakan hukum. Dalam praktek sudah dilakukan, namun perlu dioptimalkan karena lebih terkesan pada penguasaan “hukum positif”nya, sedangkan “ilmu”nya terkadang “dilupakan” atau “kurang dikuasai” dengan sering bertanya pada saksi ahli, atau menggunakan “ilmu lama/kuno”, yaitu ilmu WvS/KUHP di zaman Belanda. Bahkan, pendekatan ilmu hukum tergeser oleh “pendekatan/orientasi lain” terkait materi/amplop/kekuasaan dan lain-lain yang terkesan melupakan tuntunan Tuhan. Meningkatnya kasus-kasus “mafia peradilan” atau “permainan kotor” di seluruh tahap/proses penegakan hukum pidana merupakan indikator penegakan hukum selama ini ada mengabaikan keterkaitan ilmu hukum dengan ilmu ketuhanan. Berarti ada pendekatan parsial dan sekuler. Banyak aparat penegakan hukum yang sangat tahu “tuntunan UU”, tetapi tidak tahu (atau “tidak mau tahu”) akan adanya “tuntunan Tuhan” dalam menegakkan hukum/keadilan, padahal asas “keadilan berdasarkan (tuntunan) Ketuhanan YME” merupakan asas juridis-religius yang tercantum secara tegas dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 48/2009 yang menyatakan: “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti, seharusnya penegakan hukum dan keadilan tidak hanya didasarkan pada tuntunan undang-undang, tetapi juga harus berdasar “tuntunan Tuhan”.142 Sauer menyebutnya sebagai “trias hukum pidana” (berupa “sifat melawan hukum”, “kesalahan”, dan “pidana”) dan H.L. Packer (1968: 17) menyebutnya sebagai “the three concept” atau “the three basic problems” (berupa “offence”, “guilt”, dan “punishment”), dalam Barda Nawawi Arief, ”Optimalisasi Kinerja Aparat……ibid., hlm. 14. 140 Pendekatan keilmuan (hukum) dapat diartikan sebagai suatu metode/cara mendekati atau memahami sesuatu (objek/fenomena) berdasar logika berpikir/konstruksi pikir, konsep/ kerangka/dasar pemikiran (wawasan/pandangan/orientasi) tertentu. Karena sudut pandang/ konstruksi/orientasi berpikir tentang hukum bisa bermacam-macam, maka dalam penulisan ini digunakan pendekatan sistemik/integral, dalam Barda Nawawi Arief, Optimalisasi Kinerja Aparat …..ibid., hlm. 1. 141 Barda Nawawi Arief, Reformasi Sistem Peradilan (Sistem Penegakan Hukum) di Indonesia, Artikel untuk penerbitan buku Bunga Rampai “Potret Penegakan Hukum di Indonesia”, edisi keempat, 2009, Komisi Judisial, Jakarta, hlm. 26. 142 Tuntunan Tuhan dalam menegakkan keadilan, antara lain Al-Qur’an, An-Nisaa’:58 (apabila kamu menghukum di antara manusia, maka hukumlah dengan adil); An-Nisaa’:135 (jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri, ibu 139

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

2.

Pendekatan Juridis-Kontekstual Pendekatan yang berorientasi dalam melakukan penegakan hukum pidana berlandaskan hukum positif (KUHP/WvS dan sebagainya), tetapi dalam konteks bangnas/bangkumnas/siskumnas. Pendekatan ini perlu dilakukan mengingat dalam kenyataan sering dipisahkan antara masalah penegakan hukum (law enforcement) dengan masalah pembaharuan/pembangunan hukum (law reform and development). Padahal penegakan hukum pidana merupakan bagian (sub-sistem) dari keseluruhan sistem/kebijakan penegakan hukum nasional, yang pada dasarnya juga merupakan bagian dari sistem/kebijakan pembangunan nasional. Pada hakikatnya kebijakan hukum pidana (penal policy), baik dalam arti penegakan in abstracto dan in concreto merupakan bagian dari keseluruhan kebijakan sistem (penegakan) hukum nasional dan merupakan bagian dari upaya menunjang kebijakan pembangunan nasional (national development policy). Ini berarti, penegakan hukum pidana in abstracto (pembuatan/perubahan UU; law making/law reform) dan penegakan hukum pidana in concreto (law enforcement) seharusnya bertujuan menunjang tercapainya tujuan, visi dan misi pembangunan nasional (bangnas)143 dan menunjang terwujudnya sistem (penegakan) hukum nasional. Walaupun hukum pidana positif di Indonesia saat ini bersumber/berinduk pada KUHP buatan Belanda (WvS), tetapi dalam penegakan hukum harusnya berbeda dengan penegakan hukum pidana seperti di zaman Belanda karena kondisi lingkungan atau kerangka besar hukum nasional (national legal framework) sebagai tempat dioperasionalisasikannya WvS sudah berubah. Menjalankan WvS di Belanda atau di zaman penjajahan Belanda, tentunya berbeda dengan di zaman RI.144 Ini berarti, penegakan hukum pidana positif saat ini (terlebih KUHP warisan Belanda) tentunya harus memperhatikan juga rambu-rambu umum proses penegakan hukum dan keadilan dalam sistem hukum nasional. Penegakan hukum pidana positif harus berada dalam konteks ke-Indonesia-an (dalam konteks sistem hukum nasional/national legal framework), dan bahkan dalam konteks bangnas dan bangkumnas. Inilah baru dapat dikatakan ”penegakan hukum di Indonesia”. 3. Pendekatan juridis (berwawasan) global/komparatif Pendekatan pemikiran hukum yang berorientasi pada wawasan global/ komparatif memang pada umumnya diperlukan dalam masalah “pembaharuan hukum” (law reform), khususnya dalam “pembuatan UU” (kebijakan legislatif/ formulasi). Namun tidak mustahil untuk dimanfaatkan dalam masalah “penegakan hukum” (kebijakan judikatif/judisial), mengingat :

bapakmu dan kaum kerabatmu; janganlah kamu mengikuti hawa nafsumu karena ingin menyimpang dari kebenaran/keadilan); Al-Maidah:8 (janganlah kebencianmu kepada suatu kaum/golongan, mendorong kamu berlaku tidak adil); Asy-Syuura:15 (perlakuan adil wajib ditegakkan terhadap siapa saja, kendati terhadap orang yang tidak seagama), dalam Barda Nawawi Arief, Reformasi Sistem Peradilan.....ibid., hlm. 22. 143 Setiap kebijakan di bidang apapun (bidang politik, sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, hukum, dan sebagainya) pada hakikatnya merupakan bagian integral dari kebijakan pembangunan nasional, dalam Barda Nawawi Arief, Reformasi Sistem Peradilan.....ibid., hlm. 23. 144 Identik dengan “tidak sama menjalankan mobil di Semarang dengan di Jakarta”. Walaupun punya SIM, bisa kena “tilang” kalau orang Semarang tidak menguasai kondisi lingkungan dan rambu-rambu di Jakarta, dalam Barda Nawawi Arief, Reformasi Sistem Peradilan.....ibid., hlm. 24.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

a. Adanya asas nasional aktif dalam KUHP, yaitu Pasal 5 ayat 1 ke-2, bahwa ”aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi warga negara yang di luar Indonesia melakukan salah-satu perbuatan yang oleh suatu aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundang-undangan negara di mana perbuatan dilakukan, diancam dengan pidana.” b. Adanya beberapa ketentuan dalam UU di luar KUHP yang memperluas jurisdiksi teritorial ke luar wilayah Indonesia. c. Banyaknya UU yang berasal dari meratifikasi berbagai ketentuan/dokumen internasional. d. Adanya berbagai UU tentang perjanjian bilateral; dan perjanjian timbal balik dalam masalah pidana atau Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters (antara lain UU No. 1 Tahun 2006 dan UU No. 8 Tahun 2006); e. Adanya perkembangan cybercrime yang merupakan “transborder/ transnational crime”. Kondisi perundang-undangan di atas dan perkembangan hitech crime/cybercrime, mengisyaratkan perlunya pendekatan pemikiran hukum yang berorientasi pada wawasan global/komparatif. Di samping itu, ada pendapat Soedarto145 bahwa pendekatan global/komparatif juga dapat membawa sikap kritis terhadap sistem hukum sendiri dan pendapat Soerjono Soekanto146 dapat juga untuk pemecahan masalah-masalah hukum secara adil dan tepat. C. Simpulan 1. Sistem penegakan hukum pidana cyber crime pada hakikatnya merupakan suatu sistem penegakan substansi hukum di bidang hukum pidana cyber crime meliputi hukum pidana materiel, hukum pidana formal, dan hukum pelaksanaan pidana. 2. Sistem penegakan hukum pidana yang integral dalam menghadapi kejahatan mayantara (cyber crime) di Indonesia, yaitu adanya keterjalinan erat (keterpaduan/integralitas) atau satu kesatuan dari berbagai sub-sistem (komponen) yang terdiri dari substansi hukum (legal substance), stuktur hukum (legal structure), dan budaya hukum (legal culture). Sebagai suatu sistem penegakan hukum, proses penegakan hukum cyber crime terkait erat dengan ketiga komponen itu, yaitu norma hukum/peraturan perundang-undangan (komponen substantif/normatif), lembaga/struktur aparat penegak hukum (komponen struktural/institusional beserta mekanisme prosedural/ administrasinya), dan nilai-nilai budaya hukum (komponen kultural). 3. Sistem penegakan hukum pidana yang integral dalam menghadapi cyber crime dilihat dari bidang substansi hukum pidana meliputi substansi hukum pidana materiel (materielle strafrecht), yaitu (a) KUHP dan peraturan perundang-undangan khusus lainnya, seperti Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1992 tentang Perfilman, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi 145

Lihat pendapat Soedarto, dalam Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, RajaGrafindo, ed. 2-7, 2008, hlm. 17. 146 Lihat pendapat Soerjono Soekanto, dalam Barda Nawawi Arief, Reformasi Sistem Peradilan ....., ibid., hlm. 29.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Elektronik, dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi; (b) Substansi hukum pidana formel (strafverfahrensrecht/ strafprozessrecht), yaitu KUHAP; dan (c) substansi hukum pelaksanaan pidana (strafvollstreckungsrecht). 4. Sistem penegakan hukum pidana (SPHP) yang integral dapat dilihat dari dua sisi/aspek, yaitu (a) aspek kelengkapan bidang/jenis hukum pidana cyber crime dalam satu kesatuan sistem substansi hukum pidana yang integral; dan (b) aspek substansi nilai/ide-dasar/pokok pemikiran dalam satu kesatuan sistem substansi hukum pidana cyber crime yang integral yang didasarkan pada ”ide keseimbangan” dan ”pendekatan keilmuan” yang integral meliputi pendekatan juridis-ilmiah-religius, pendekatan juridis-kontekstual dan pendekatan juridis (berwawasan) global/komparatif. Daftar Pustaka Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, editor Taftazani, The Habibie Center, Jakarta, 2002. Arief, Barda Nawawi, Pembaharuan Hukum Pidana: Dalam Perspektif Kajian Perbandingan, Citra Aditya Bakti, 2005. ------------, Kebijakan Hukum Pidana dalam Menghadapi Perkembangan Delik Kesusilaan di Bidang Cyber (Cyber Sex), Ceramah Umum di Fakultas Hukum Muhammadiyah Yogyakarta, 15 Maret 2006, hlm. 1. Bahan ceramah/makalah ini juga pernah disampaikan pada Seminar “Kejahatan Seks melalui Cyber Crime dalam Perspektif Agama, Hukum, dan Perlindungan Korban”, FH UNSWAGATI, di Hotel Zamrud Cirebon, 20 Agustus 2005. ------------, Tindak Pidana Mayantara: Perkembangan Kajian Cyber Crime di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007. ------------, Optimalisasi Kinerja Aparat Hukum Dalam Penegakan Hukum Indonesia Melalui Pemanfaatan Pendekatan Keilmuan, makalah disajikan dalam Seminar Nasional “Strategi Peningkatan Kinerja Kejaksaan RI”, di Gedung Program Pasca Sarjana UNDIP, 29 Nopember 2008, Semarang. ------------, Perbandingan Hukum Pidana, RajaGrafindo, ed. 2-7, 2008. ------------, Kapita Selekta Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hlm. 253 dan Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana, Jakarta, 2008. ------------, Reformasi Sistem Peradilan (Sistem Penegakan Hukum) di Indonesia, Artikel untuk penerbitan buku Bunga Rampai “Potret Penegakan Hukum di Indonesia”, edisi keempat, 2009, Komisi Judisial, Jakarta. ------------, Reformasi Sistem Peradilan (Sistem Penegakan Hukum) di Indonesia, artikel untuk penerbitan buku Bunga Rampai “Potret Penegakan Hukum di Indonesia”, edisi keempat, 2009, Komisi Judisial, Jakarta. ------------, Pembangunan Sistem Hukum Nasional Indonesia, Kuliah Umum pada Program Magister Ilmu Hukum, Pascasarjana UBH, Padang, 16 Mei 2009. Al-Qur’an.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Perlindungan Hukum Terhadap Hak Cipta ________________________________________________________________________ Wahyu Sasongko I. Pendahuluan Harus diakui bahwa hukum kekayaan intelektual (intellectual property law) merupakan bidang hukum yang sangat pesat perkembangannya. Hal ini dapat dimaklumi, karena karya-karya intelektual berkembang dengan pesat, searah dengan kemampuan atau daya intelektual manusia. Karya-karya intelektual yang dihasilkan pun semakin beragam dan berkualitas. Perkembangan daya intelektual itu, selain disebabkan karena faktor manusia sebagai sumber daya yang semakin andal dan juga karena faktor kemajuan teknologi. Salah satu karya intelektual yang dirasakan semakin pesat perkembangannya adalah karya cipta. Semakin beragam karya cipta atau ciptaan manusia, berdampak tehadap peraturan hukum yang mengatur perlindungan hukum, yaitu Undang-Undang Hak Cipta (UUHC) yang cepat berubah. Perubahan yang mencolok adalah bertambahnya karya cipta atau ciptaan yang dilindungi oleh hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.147 Setidaknya, meliputi 12 jenis ciptaan yang dilindungi, di antaranya ada yang tidak diatur dalam UUHC sebelumnya, yaitu: 1. program komputer (computer program); 2. perwajahan (layout) karya tulis yang diterbitkan; 3. kompilasi data (database). Manusia sebagai sumber daya berkualitas cenderung kreatif untuk menghasilkan ciptaan yang bermutu dan bernilai seni tinggi. Teknologi maju (advance technology), seperti komputer merupakan karya intelektual manusia dan dengan menggunakan teknologi, kemampuan manusia semakin meningkat untuk membuat ciptaan baru yang lebih indah dan atraktif. Seperti, karya seni tradisional berupa pertunjukan wayang kulit atau wayang orang menjadi semakin indah dan menarik dengan menggunakan teknologi multi media. Namun sayang, kemajuan teknologi selain berdampak positif, juga berdampak negatif bagi perkembangan karya cipta. Bahkan, dapat mengancam hakhak dan kreativitas para pencipta. Teknologi komputer misalnya, berpotensi menjadi alat atau sarana untuk melakukan pelanggaran hak cipta. Penggandaan dan pembajakan karya cipta seperti lagu, film, dan foto sangat mudah dilakukan dengan menggunakan komputer, tanpa harus meminta izin dari penciptanya. Apalagi dengan internet, semakin terbuka peluang untuk melakukan kejahatan di dunia maya (cyber crime). Kesulitan untuk melindungi hak-hak kekayaan intelektual (intelletual property rights) atau untuk menindak kejahatan di dunia maya tidak hanya dialami oleh Indonesia sebagai negara berkembang. Amerika Serikat (AS) yang notabene merupakan negara maju dalam teknologi komputer pun mengalami kesulitan, sebagaimana dikatakan oleh Gordon M. Snow, Assistant Director, Cyber Division, Federal Bureau of Investigation: 147

Lembaran Negara RI Tahun 2002 Nomor 85.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

The increasing accessibility of the Internet and improvements in manufacturing and transportation have led to the expansion of the global market. With increasing competition, innovation, and divisions of labor, more digital content is instantaneously distributed to the global market than ever before. Businesses now have extraordinary opportunities to market and distribute their goods and services all around the world. Unfortunately, the expansion in worldwide trade has led to growth in the number of criminals and organizations that seek to exploit and misappropriate the intellectual property of others for profit. These criminals have developed complex and diverse methods of committing IPR crime.148 Teknologi komputer diakui sebagai karya intelektual dan diberikan perlindungan hukum. Komputer dalam hal ini dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu perangkat lunak (software computer) dan perangkat keras (hardware computer). Perlindungan hukum bagi keduanya dapat dilakukan melalui dua rezim hak kekayaan intelektual (HKI), yaitu: 1. hak cipta untuk melindugi perangkat lunak yang berupa program komputer. 2. paten untuk melindungi perangkat keras berupa produk komputer.149 Meski kedua macam teknologi komputer itu sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun dalam praktiknya masih terjadi pelanggaran hak. Tidak mudah melakukan penegakan hukum di bidang hak cipta, yang karyanya sangat beragam. Misal, pelanggaran seni rupa berupa lukisan yang dipalsukan, aparat penegakan hukum mengalami kesulitan dalam pembuktian. Apalagi, para aparat penegak hukum itu selain tidak memahami tentang hak cipta dan juga awam dengan seni lukis atau karya-karya cipta lainnya, sehingga semakin sulit untuk mengungkapkan di persidangan. II. Pengaturan Hak Cipta Pada hakikatnya, perlindungan hukum adalah perlindungan oleh hukum (protection by law), yaitu perlindungan dengan menggunakan sarana dan pranata hukum.150 Perlindungan hukum dapat dilakukan dengan cara tertentu. Diawali dengan pembuatan peraturan hukum, untuk memberikan hak-hak dan menjamin kepentingan subjek hukum. Setelah itu, peraturan hukum ditegakkan terhadap pihak yang melakukan pelanggaran hak-hak subjek hukum,151 yaitu hak-hak pencipta sebagaimana diatur dalam UUHC. Peraturan hak cipta di Indonesia diawali tahun 1912, ketika Pemerintah Hindia Belanda memberlakukan undang-undang tentang Auteurswet 1912 (Wet van 23 September 1912), S. 1912 No. 600.152 Setelah Indonesia merdeka diterbitkan Gordon M. Snow, “Testimony,” , diakses tanggal 15 November 2011. 149 Jeremy Phillips dan Alison Firth, Introduction to Intellectual Property Law, Fourth Edition, London: Butterworths LexisNexix, 2001, hlm. 344 et seq. 150 Wahyu Sasongko, Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen, Bandar Lampung: Penerbit Universitas Lampung, 2007, hlm. 31. 151 Ibid. 152 W.A. Engelbrecht dan E.M.L. Engelbrecht, De Wetboeken Wetten en Verordeningen Benevens de Grondwet van 1945 van de Republiek Indonesië, atau Kitab Undang-Undang, Undang-Undang dan 148

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

undang-undang nasional tentang hak cipta. Dalam kurun waktu yang relatif pendek, Pemerintah Indonesia telah melakukan empat kali perubahan UUHC, yaitu: 1. Tahun 1982 diterbitkan UUHC Nomor 6 Tahun 1982. 2. Tahun 1987 diterbitkan UUHC Nomor 7 Tahun 1987. 3. Tahun 1997 diterbitkan UUHC Nomor 12 Tahun 1997. 4. Tahun 2002 diterbitkan UUHC Nomor 19 Tahun 2002. Istilah hak cipta sesungguhnya tidak berasal dari terjemahan bahasa Belanda auteursrecht yang berarti hak pengarang atau bahasa Inggris copyrights yang berarti hak menyalin atau hak memperbanyak. Istilah hak cipta sengaja dipilih agar tidak hanya para pengarang tetapi juga pelukis dan lain-lain.153 Dengan demikian, istilah pencipta untuk memperluas cakupannya. Arti pencipta menurut UUHC 2002 adalah seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi. Konsep ini memiliki cakupan sangat luas, baik subjek maupun objeknya. Pencipta sebagai subjek hukum dalam UUHC 2002 dapat bersifat individual atau kelompok, termasuk yang membentuk suatu badan usaha. Begitu pun, objek hukum yang menurut UUHC 2002 disebut dengan ciptaan ialah hasil setiap karya dari pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra. Cakupan dari ciptaan ini pun sangat luas dan beragam jenisnya. Tidak semua karya intelektual seseorang merupakan ciptaan yang dapat memperoleh hak cipta. Menurut UUHC ada kriteria tertentu yang harus dipenuhi agar suatu karya cipta dapat menjadi objek hak cipta, yaitu: 1. karya cipta itu bukan berupa ide atau inspirasi (idea; inspiration); 2. berbentuk nyata (fixation; real), dapat dilihat, dibaca, didengar, dan diraba; 3. bersifat khas (unique), karena berbentuk khusus atau spesial; 4. merupakan kesatuan atau padu (compact) atau berupa karya yang utuh; 5. bersifat pribadi (personal) yang melekat pada penciptanya; 6. bersifat asli (original) dari pencipta atau derivatif atau turunan dari karya yang asli. Karya cipta yang masih berupa ide atau gagasan yang belum dapat dilihat, dibaca, dan didengar (idea: picture in the mind; inspiration: influence arousing creative activity in literature, music, art) belum dapat dikategorikan sebagai ciptaan, sehingga tidak diberikan perlindungan hukum menurut UUHC. Karya cipta semacam itu, harus dijaga kerahasiaannya, agar pihak lain tidak menggunakannya secara sepihak. Nanti, setelah seluruh proses penciptaan selesai, baru dipublikasikan atau diumumkan sehingga orang lain mengetahuinya. Hak cipta pada hakikatnya adalah seperangkat hak yang dimiliki oleh pencipta. Menurut UUHC 2002, hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan Peraturan-Peraturan dan Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indonesia, Leiden: A.W. Sijthoff’s Uitgeversmaatshappij N.V. dan PT Gunung Agung, 1960, hlm. 2793. 153 J.C.T. Simorangkir, Undang-Undang Hak Cipta 1982 (UHC 1982), Jakarta: Penerbit Djambatan, 1982, hlm. 5-7.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Karya cipta bersifat pribadi karena berkaitan erat dengan pribadi penciptanya. Bahkan, merupakan ekspresi diri (self expression) atau refleksi dari penciptanya. Oleh sebab itu, karya cipta diakui memiliki sifat eksklusif (exclusive) karena tiada duanya. Maka, dalam UUHC 2002 ditegaskan bahwa hak eksklusif hanya diperuntukkan bagi pencipta atau pemegang hak cipta, sehingga tidak ada pihak lain yang boleh memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pemegangnya, bagaikan hak monopoli. Pengaturan hak cipta Indonesia dipengaruhi oleh sistem Eropa kontinental yang diwarisi dari hukum Belanda. Menurut Jill McKeough dan Andrew Stewart: European system, which have typically protected not only the economic interests of authors, but also their ‘moral rights’.154 Hak cipta dalam UUHC 2002 diakui merupakan hak eksklusif yang mencakup dua macam hak, yaitu: 1. Hak ekonomi (economic rights): hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan, yang terdiri atas: a. hak untuk memperbanyak; b. hak untuk mengumumkan; c. hak untuk mempertunjukkan.155 2. Hak moral (moral rights): hak pencipta yang tidak dapat dihilangkan atau dihapus tanpa alasan apa pun, meski telah dialihkan, yang terdiri atas: a. hak-hak untuk mencantumkan nama pencipta, b. hak untuk mencegah agar ciptaannya tidak dikurangi atau diubah.156 UUHC 2002 memuat ketentuan-ketentuan tentang sistem perlindungan hukum terhadap kedua macam hak cipta tersebut. III. Perlindungan Hak Cipta Setidaknya, ada tiga alasan utama mengapa karya-karya intelektual diberikan perlindungan hukum. Pertama, didasarkan pada argumentasi moral, bahwa karya intelektual dihasilkan dari usaha keras dan melalui proses yang rumit. Apabila seseorang mengambil atau menggunakan karya intelektual tanpa izin adalah tindakan yang tidak bermoral dan dianggap sama dengan pencurian. Kedua, didasarkan pada argumentasi ekonomi, bahwa karya intelektual yang dihasilkan memiliki nilai ekonomi (economic value) yang tinggi dan layak menjadi komoditas. Ketiga, didasarkan pada argumentasi inovasi, bahwa karya intelektual merupakan inovasi (innovation), yaitu ciptaan atau penemuan baru yang sangat berguna bagi masyarakat sehingga perlu diberikan imbalan atau ganjaran (reward) sebagai perangsang (incentive) agar semakin giat menghasilkan karya intelektual yang lebih baik.157 Perlindungan hak terhadap karya intelektual diawali sejak munculnya hak. Dalam konteks ini, menurut Pasal 2 UUHC 2002 ditentukan bahwa muncul atau lahirnya hak cipta secara otomatis atau tanpa memerlukan pendaftaran, setelah karya cipta selesai dibuat, dan tentunya sudah memenuhi kriteria dalam UUHC. Karakteristik hak cipta ini berbeda dengan hak-hak kekayaan intelektual lain seperti 154

Jill McKeough dan Andrew Stewart, Intellectual Property in Australia, Second Edition, Sydney: Butterworths, 1997, hlm. 119. 155 Ibid., hlm. 123. 156 Paul Torremans dan Jon Holyoak, Intellectual Property Law, Second Edition, London: Butterworths, 1998, hlm. 212. 157 McKeough dan Stewart, Intellectual, hlm. 16-19.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

hak merek dan paten yang muncul setelah didaftarkan. Menurut Pasal 5 UUHC 2002 ada dua kategori pencipta. Pertama, pencipta adalah orang yang namanya terdaftar dalam daftar umum ciptaan pada kantor direktorat jenderal HKI. Kedua, pencipta adalah orang yang namanya disebut dalam ciptaannya atau diumumkan. Meski pendaftaran hak bukan merupakan syarat keberadaan hak cipta, namun pendaftaran hak diperlukan. Melalui pendaftaran dapat memudahkan untuk membuktikan bahwa pencipta adalah orang yang memiliki hak cipta. Apabila terjadi sengketa, sertifikat hak cipta yang diperoleh dapat digunakan sebagai alat bukti sehingga ada kejelasan dan kepastian tentang saat munculnya hak cipta. Sering kali, para seniman pencipta lagu tidak mempedulikan tentang saat munculnya hak cipta pada lagu ciptaannya. Biasanya, sengketa hak cipta baru muncul setelah lagu yang mirip dengan ciptaannya dibawakan atau dinyanyikan oleh orang lain dalam suatu acara. Munculnya hak cipta merupakan momentum untuk menentukan awal atau dimulainya masa perlindungan hukum bagi hak cipta. Masa perlindungan atau jangka waktu perlindungan hak cipta dalam UUHC 2002 ditentukan berdasarkan subjek dan objek. Ditinjau dari subjek hak cipta, dibedakan antara orang sebagai pencipta dan badan hukum sebagai pemilik atau pemegang hak cipta. Ditinjau dari objek hak cipta, dibedakan antara ciptaan yang bersifat asli (original) dan turunannya atau derivatif (derivative). Berdasarkan kategori tersebut, maka jangka waktu perlindungan hak cipta menurut UUHC 2002, yaitu: 1. Ciptaan yang asli, antara lain seperti karya sastra (literary), drama (dramatic), musik (musical), dan karya artistik (artistic work)158 yang dimiliki oleh orang, masa perlindungan berlangsung selama hidup dan 50 tahun setelah meninggal dunia. 2. Ciptaan yang derivatif, antara lain seperti program komputer (computer program), sinematografi (film), rekaman suara (sound recordings), penyiaran (broadcasting), perwajahan (layout)159 berlaku selama 50 tahun sejak diumumkan atau diterbitkan. Begitu pun, apabila dimiliki oleh suatu badan hukum berlaku 50 tahun sejak diumumkan. Jangka waktu perlindungan yang terlalu lama untuk beberapa jenis karya cipta sesungguhnya tidak efektif. Program komputer misalnya, masa perlindungan selama 50 tahun terlalu lama, karena penciptaan program-program komputer baru sangat cepat, seperti program Windows yang dikembangkan oleh Microsoft. Alih-alih jangka waktu 50 tahun, masa lima tahun saja usia program komputer sudah terhitung kuno. Masyarakat pengguna program komputer cenderung menyesuaikan atau mengikuti program yang baru tentunya. Perlindungan hukum dilakukan untuk mencegah dan mengatasi pelanggaran hak cipta yang umumnya dapat berupa: 1. perbuatan yang melanggar hak moral pencipta dengan memanfaatkan hak cipta milik orang lain secara tanpa izin, seperti mengutip, mencontek, atau plagiarime;

158 159

Phillips dan Firth, Introduction, hlm. 140. Catherine Colston, Principles of Intellectual Property Law, London: Cavendish Publishing Limited, 199, hlm. 185-188.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

2. perbuatan yang melanggar hak ekonomi pencipta dengan mengambil keuntungan tanpa izin, seperti pembajakan, reproduksi, perbanyakan, atau pelipatgandaan (multiply). Bentuk-bentuk pelanggaran yang terjadi dapat bermacam-macam ragamnya, namun pada hakikatnya melanggar hak moral dan hak ekonomi pencipta atau pemegang hak cipta. Ketentuan-ketentuan tentang perlindungan hukum yang diuraikan di atas bersifat pencegahan. UUHC 2002 selain mengatur tentang pencegahan juga memuat ketentuan perlindungan hukum yang bersifat penanggulangan, yaitu berkenaan dengan persengketaan hak cipta atau pelanggaran sanksi berupa ketentuan pidana. Perlindungan hukum berkenaan dengan hal itu, oleh UUHC 2002 diberikan fasilitas dan kemudahan. Pertama, penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui forum pengadilan niaga atau forum penyelesaian sengketa alternatif (alternative dispute resolution), seperti mediasi dan arbitrase. Pengadilan niaga memiliki wewenang untuk memeriksa sengketa hak cipta. Ada beberapa prosedur yang berbeda dalam memeriksa sengketa hak cipta dalam persidangan di pengadilan niaga. Selain itu, majelis hakim yang memeriksa pun bersifat khusus karena ahli (expert) di bidang HKI. Penyelesaian sengketa melalui mediasi dan arbitrase merupakan pilihan yang dibolehkan dalam UUHC. Kedua, pencantuman sanksi dalam UUHC berupa ketentuan pidana yang dapat ditegakkan terhadap pelanggaran hak cipta. Satu hal yang membedakan perlindungan hak cipta dengan rezim HKI yang lain adalah pelanggaran terhadap hak cipta dikualifikasi atau berstatus sebagai tindak pidana atau delik (delict) biasa atau bukan tindak pidana aduan. Dengan demikian, setiap pelanggaran hak cipta tidak diperlukan adanya pengaduan dari pencipta atau pemegang hak cipta yang menjadi korban tindak pidana. Sesungguhnya, status delik biasa sudah diterapkan sebelum UUHC 2002, namun dipertahankan hingga saat ini. Setidaknya, ada tiga alasan utama status delik biasa pada hak cipta tetap dipertahankan: 1. Hak cipta lahir tidak melalui pendaftaran; 2. Karya cipta rentan terhadap pelanggaran, seperti pembajakan lagu dan film dengan menggunakan alat rekam yang berteknologi canggih. 3. Pencipta dan para pelaku di bidang hak cipta menghendaki agar dikenakan hukuman berat.160 Padahal, efektivitas sanksi pidana dengan status delik biasa diragukan. Hal ini dapat diamati dari penjualan karya cipta lagu dan film bajakan secara terbuka dan terang-terangan para penjual itu mengakui bahwa VCD dan DVD yang dijualnya berstatus barang-barang bajakan alias barang-barang ilegal. Namun, kepolisian sebagai penegak hukum tidak melakukan tindakan perlindungan hukum. Dengan demikian, pencantuman sanksi pidana yang berat tanpa diikuti dengan tindakan hukum (legal action) yang tetap atau konsisten, justru dapat menimbulkan sikap apatis.

160

Achmad Zen Umar Purba, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, Bandung: PT Alumni, 2005, hlm. 135.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Apabila situasi dan kondisi semacam itu terus dibiarkan oleh aparat penegak hukum, yang mangalami kerugian bukan hanya para pencipta atau pemegang hak cipta tetapi juga pemerintah dan masyarakat. Karena, para pencipta enggan membuat karya cipta yang indah, bermutu dan bernilai seni tinggi. Pada akhirnya, sikap dan perbuatan semacam itu dapat menciptakan iklim yang tidak sehat atau terjadi degradasi moral. Karena, pembajakan dan plagiat sesungguhynya merupakan tindakan atau perbuatan yang melanggar etika dan moral. IV. Penutup Perkembangan daya intelektual manusia cenderung meningkat, karena faktor manusia dan teknologi yang didorong oleh tingkat persaingan yang tinggi pula. Karya-karya intelektual pada masa mendatang akan semakin banyak bermunculan dengan beragam jenis atau macam. Namun sayang, perkembangan yang positif itu terancam dengan lemahnya tindakan hukum untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak cipta. Ditinjau dari aspek pengaturan hukum untuk memberikan pedoman atau panduan dalam memberikan perlindungan hukum, dipandang sudah memadai. Namun, tindakan hukum yang nyata yang belum optimal atau tidak efektif. Akankah, kita menunggu pihak asing untuk meminta atau mendesak Pemerintah Indonesia agar melindungi karya-karya cipta mereka yang dipasarkan di Indonesia. Daftar Pustaka Colston, Catherine. Principles of Intellectual Property Law. London: Cavendish Publishing Limited, 1999. Engelbrecht, A. dan E.M.L. Engelbrecht, De Wetboeken Wetten en Verordeningen Benevens de Grondwet van 1945 van de Republiek Indonesië, atau Kitab UndangUndang, Undang-Undang dan Peraturan-Peraturan dan Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indonesia. Leiden: A.W. Sijthoff’s Uitgeversmaatshappij N.V. dan PT Gunung Agung, 1960. McKeough, Jill dan Andrew Stewart, Intellectual Property in Australia, Second Edition. Sydney: Butterworths, 1997. Phillips, Jeremy dan Alison Firth, Introduction to Intellectual Property Law, Fourth Edition. London: Butterworths LexisNexix, 2001. Purba, Achmad Zen Umar. Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs. Bandung: PT Alumni, 2005 Sasongko, Wahyu. Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum Perlindungan Konsumen. Bandar Lampung: Penerbit Universitas Lampung, 2007. Simorangkir, J.C.T. Undang-Undang Hak Cipta 1982 (UHC 1982). Jakarta: Penerbit Djambatan, 1982. Snow, Gordon M. “Testimony,” , diakses tanggal 15 November 2011. Torremans, Paul dan Jon Holyoak, Intellectual Property Law, Second Edition. London: Butterworths, 1998.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Hubungan Negara dan Agama Berdasarkan UUD 1945 ________________________________________________________________________ Budiyono A. Latar Belakang Konstitusi menempati posisi yang sangat penting dalam perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Materi muatan konstitusi selalu berkembang seiring dengan perkembangan kehidupan manusia dan organisasi kenegaraan. Konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pedoman penyelenggaraan pemerintahan suatu negara. Konstitusi dapat pula dikatakan sebagai kumpulan prinsipprinsip dasar yang mengatur kekuasaan pemerintahan, hak-hak yang diperintah (rakyat), dan hubungan antara keduanya. Konstitusi merupakan aturan dasar ketatanegaraan yang dibuat oleh masyarakat guna memberikan arah penyelenggaraan hubungan kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak terkecuali persoalan Hak Asasi Manusia (HAM). Konstitusi tidak saja memberikan gambaran dan penjelasan tentang mekanisme hubungana antara lembaga-lembaga negara, lebih dari itu di dalamnya ditemukan letak relasional dan kedudukan dan kewajiban warga negara161, konstutusi juga merupakan realisasi dari demokrasi yang berisi kesepakatan tentang pembatasan kekuasaan negara oleh rakyat. begitu pentingnya kehadiran konstitusi di sebuah negara, secara teoritis dapat disebutkan bahwa semua bangsa bernegara, menuangkan pokok-pokok pandangan, pendirian, prinsip konseptual mengenai pengelolaan kehidupan bernegara dan berbangsa mereka dalam sebuah konstitusi, baik konstitusi tertulis maupun tidak tertulis. Keberadaan konstitusi adalah kesepakatan yang bersifat umum atau perjanjian seluruh rakyat mengenai bangunan negara yang akan diidealkan. Organisasi negara yang dituangkan di dalam konstitusi sangat diperlukan oleh warga masyarakat agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi melalui pembentukan dan pengunaan mekanisme negara. Konstitusi merupakan ketentuan yang memberikan pengaturan dan menentukan fungsi dari lembaga-lembaga negara agar tidak terjadi pelanggaran atas HAM. oleh karena itu, kepentingan yang paling mendasar dari setiap warga negara atau masyarakat adalah perlindungan terhadap hak-haknya sebagai manusia. Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan materi inti dari naskah UUD (Konstitusi tertulis) negara modern. Sebagai wujud perjanjian masyarakat tertinggi, konstitusi memuat cita-cita yang akan dicapai dengan pembentukan negara dengan prinsip-prinsip dasar pencapaian cita-cita tersebut. UUD 1945 sebagai konstitusi bangsa Indonesia yang merupakan dokumen hukum dan dokumen politik yang memuat cita-cita, dasar-dasar, dan prinsip-prinsip penyelenggaraan kehidupan nasional. Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan dapat dikatakan tidak mencantumkan secara tegas mengenai 161

Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2007, Hlm. 8

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

jaminan hak asasi manusia. UUD 1945 hanya berisi tujuh butir ketentuan yang juga tidak sepenuhnya dapat disebut sebagai jaminan hak asasi manusia162. Namun setelah perubahan kedua UUD 1945 tahun 2000, ketentuan mengenai hak asasi manusia dan hak asasi warga negara dalam UUD 1945 telah mengalami banyak perubahan yang sangat mendasar163. Namun jika diperhatikan dengan sungguh-sunguh hanya ada 1 ketentuan saja yang memang benar-benar memberikan jaminan konstitusional atas HAM, yaitu Pasal 29 Ayat (2) yang menyatakan, ‘Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu’. 164 ini berarti bahwa Setiap orang berhak atas kebebasan beragama atau berkepercayaan. Konsekwensinya tidak seorang pun boleh dikenakan pemaksaan yang akan mengganggu kebebasannya untuk menganut atau memeluk suatu agama atau kepercayaan pilihannya sendiri, dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama/ kepercayaannya. Namun, negara (cq. Pemerintah) wajib mengatur kebebasan di dalam melaksanakan/ menjalankan agama atau kepercayaan agar pemerintah dapat menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan HAM dan demi terpeliharanya keamanan, ketertiban, kesehatan atau kesusilaan umum. Pasal 29 UUD 1945 selain merupakan persoalan Hak Asasi Manusia di bidang kebebasan beragama juga merupakan dasar hubungan agama dan negara di dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pertanyaan yang menarik terhadap masalah hubungan agama dan negara adalah mestikah agama mengatur negara dan negara harus mengatur agama? Bagaimana sesunguhnya jarak ideal antara agama dengan negara/ bagaimana pula hubungan agama dengan hak asasi manusia ? B. Hubungan Negara dan Agama Hubungan agama dan negara sebenarnya telah lama terjadi dalam realitas sejarah yang cukup lama. Dalam perkembangan peradaban manusia, agama senantiasaa memilki hubungan dengan negara. Hubungan agama dan negara selalu mengalami pasang surut seiring dengan perkembangan pemahaman sebagaimana dialami Indonesia selalu mengalami pasang surut. Suatu ketika hubungan di antara keduanya berlangsung harmonis sebagaimana terjadi belakangan ini, namun di saat yang lain mengalami ketegangan. Hubungan antar agama dan negara tidak berdiri sendiri, melainkan juga dipengaruhi persoalan politik, ekonomi, dan budaya. Puncak 162

Pasal 27 Ayat (1) (2) , Pasal 28, Pasal 29 Ayat (2), Pasal 30 Ayat (1), Pasal 31 Ayat (1) dan Pasal 34 UUD 1945 163 Pasal 27 Ayat (1) (2), Pasal 28, 28 A, Pasal 28 B Ayat (1) (2), Pasal 28 C Ayat (1) (2), Pasal 28D Ayat (1) (2) (3) (4), Pasal 28 E (1) (2) (3), Pasal 28F, Pasal 28 G (1) (2), Pasal 28 H (1) (2) (3) (4), Pasal 28 I (1) (2) (3) (4) (5), Pasal 29 Ayat (2) 164 Ketentuan-ketentuan dalam Pasal-Pasal UUD 1945 bukanlah rumusan tentang HAM atau human rights, melainkan hanya ketentuan –ketentuan mengenai hak warga Negara atau citizens’rights atau biasa juga disebut the citizens’ constitusional rigts. Hak konstitusional warga Negara hanya berlaku bagi orangorang yang berstatus sebagai warga Negara, sedangkan bagi warga Negara asing tidak dijamin. Satusatunya yang berlaku bagi tiap-tiap penduduk, tanpa membedakan status kewarganegaraanya adalah Pasal 29 Ayat (2). Jimly Assddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, Jakarta, Sekretariat Jenderal dan Kapaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008, hlm 584.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

hubungan antara agama dan negara terjadi ketika konsep Kedaulatan Tuhan (theocracy) dimana pelaksaknaanya diwujudkan dalam diri raja. Kedaultan Tuhan dan Kedaulatan Raja berhimpitan satu sama lain sehingga kekuasaan raja sangat absolut. Kekuasan raja yang sangat absolut tersebut mengungkung peradaban manusia seperti yang terjadi pada abad pertengahan. Kondisi tersebut melahirkan gerakan sekulerisme yang beruasaha memisahkan agama (gereja) dan negara.165 Di Indonesia ada tiga macam pemikiran yang berkembang mengenai hubungan antara agama dan negara, pertama, pemikiran yang menghendaki pemisahan antara agama dengan sistem ketetanegaraan166. Kedua, pemikiran yang melihat hubungan yang saling membutuhkan antara agama dan negara167. Ketiga, pemikiran yang menghendaki agama dan negara adalah satu dengan negara yang tidak dapat dipisahkan168. 1. Tipologi Hubungan Agama dan Negara di Indonesia Sejarah mencatat, bahwa agama dan negara adalah dua institusi yang sangat berpengaruh pada perkembangan kehidupan manusia. Hanya untuk kedua hal tersebut manusia bersedia mengorbangkan dirinya, hanya untuk memperoleh gelar sahid atau syuhada dalam pandangan agama, atau untuk gelar pahlawan atau patriot dalam pandangan negara. Kedudukan agama dan negara yang sama kuat, tidak jarang diantara keduanya, terjadi. Pertama, rivalitas di antara keduanya dalam kurun waktu tertentu, dimana masing-masing saling meniadakan (antogonistik). Kedua, sebaliknya terjadi ”perkoncoan” atau ”kolusi” atau ” hubungan simbiotik antara agama dan negara, dimana antara keduanya saling memanfaatkan dan pada saat tertentu ingin memperalat.169 Hubungan antara agama dan negara dalam kontek ke-Indoneisan dibagi dalam empat tipologi yaitu. 1. tumbuhnnya kerajaan Perelak dan Samudera Pasai di Aceh. Di kerajaan ini hukum negara adalah hukum agama. 2. pertarungan antara hukum adat dan hukum agama (Islam) di Sumatera Barat. Disebabkan tidak adanya kerajaan besar yang bisa memenangkan yang adat atau syari’ah. Perang Paderi merupakan puncak pertarungan antara hukum adat dan hukum agama (Islam). Di sini terjadi permasalahan karena hukum Islam akan dijadikan hukum negara tetapi masyarakat menolak, mengigat mereka 165

Menurut Budhy Munawar-Rahman, sekulerisme lahir dari otoriterisme agama (gereja) yang bersekutu dengan penguasa (negara) sehingga memasung kebebasan beragama. Budhy Munawar-Rahman, sekulerisme, Liberalisme, dan Pluralismne, Islam Progresif dan perkembangan diskursusnya, Grasindo, Jakarta, 2010, hlm, XX1. 166 Jajim Hamidi dan M. Husnu Abadi, Intervensi Negara terhadap Agama hlm, 1 167 Ibid, hlm, 1 168 Ibid, hlm, 1 169 Model pertama terjadi pasca tumbangya Khilafah Utsmaniyah di Turki, sedangkan model kedua terjadi pada masa kerajaan majapahit, dimana secara bergantian terjadi pemberian legitimasi antara agama dan negara. Kerajaan Majapahit lahir lantaran agama memberikan legitimasi kepadanya, sebaliknya agama juga dilindungi oleh negara. Silih berganti pemberian legitimasi juga terjadi pada Kerajaan Mataram, tapatnya ketika Walisanga memegang peran dominan di kerajaan. Ibid, hlm, 45.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

3.

4.

ISBN : 978-602-7509-50-4

sudah mempunyai hukum adat tersendiri. Akhir dari semuanya disepakati bahwa kedua-keduanya diakui . kesepakatan ini terkenal dengan kata-kata ” adat bersendikan syara dan syara bersendikan Kitabullah”, artinya eksistensi hukum adat diakui selama tidak bertentangan dengan hukum Islam. pola dalam Kerajaan Goa, dimana ada kerajaan yang kuat yang menggunakan hukum adat istiadat dan hukum serta tata cara hukum pra–Islam. Kemudian datang hukum Islam melalui pedagang, para ulama yang memasuki keraton secara bertahap melalui perkawinan dan aliansi-aliansi ekonomi. Dari sini timbul kerajaan-kerajaan yang di Islamkan secara berangsur-angsur dengan tidak mematikan unsur-unsur pra–Islam yang sudah ada. pola yang terjadi di Kerajaan Jawa, ketika penembahan Pasopati secara sadar memberikan tempat kepada tradisi pra-Islam dalam bentuk Hindu-Budha yang digabung dengan sistem kepercayaan sebelum hindu datang. Dengan kata lain ada agama bayangan disamping agama formal. Disini masyarakat tidak harus ikut-ikutan. Mereka jadi santri dipersilahkan dan berbeda dengan raja pun bukan persoalan170.

Sementara selain tipologi hubungan agama dan negara sebagaimana yang dipaparkan di atas, ada juga beberapa tipologi hubungan antara agama dan negara. Ada empat tipelogi hubungan antara agama dan negara, yaitu : 1. Tipe negara sekularistik atau ”seperasi mutlak”, yaitu tipe negara yang menghendaki pemisahan mutlak antara agama dan negara. Disini negara tidak mengurus agama, dan agama tidak mengurus negara, agama dipandang tidak berbeda dari perkumpulan dan organisasi swasta lainya yang dibentuk oleh warga masyarakat. Agama tidak ditindas, tidak didukung, dan juga tidak dikut sertakan dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan negara. 2. Tipe negara totaliter atau subordinasi agama oleh negara, dalam negara model ini, posisi agama berada dibawah bayang-bayang negara. Disini negara hampir menjadi mahluk raksasa, yang memiliki kewenangan, kekuatan, dan klaim yang hampir tak terbatas. Dengan keberadaan negara yang kuat, sudah tentu agama menjadi tidak berkembang dan terpasung eksistensinya. Negara model ini bisa disebut negara atheis, dimana agama dipandang sebagai candu masyarakat 3. Tipe negara agama atau subordinasi negara oleh agama, yaitu negara yang mendasarkan pada salah satu agama tertentu, atau negara yang diatur dan diselenggarakan menurut hukum agama tertentu. Dan pula diartikan bahwa agama-agama lain dikucilkan dari pengaruh atas penyelenggaraan agama. 4. Tipe negara sekular yang mementingkan agama atau negara dimana terjadi relasi timbal balik antara agama dan negara. Dalam negara model ini, keberadaan agama tidak saja dipentingkan, dipelihara, tapi juga dikembangkan. Hal ini mengigat negara melihat berkembangnya agama pada tataran tertentu akan semakin memperkuat kedudukan negara. Karenanya negara berkepentingan pada negara agama. Dalam konteks Indonesia, ” negara Pancasila” merupakan bentuk lain dari negara sekuler yang mementingkan agama171. 170 171

Taufik Abdulah yang dikutif oleh Ma’mun Murod Al-Brebesy , Ibid, hlm,47. Ibid hlm, 47. Dalam pemikiran politik islam, ada tiga paradigma hubungan agama dan negara, pertama paradigma bersatunya agama dan negara. Yakni pemerintahan negara diselengarakan atas kedaulatan

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Menurut Dawam Rahardjo, mengenai negara sekuler di negara- negara Barat terdapat tiga varian sekulerisme. Pertama, sekulerisme Perancis. Sekulerisme di negeri ini pada dasarnya mencurigai agama sebagai sumber konflik yang bisa merusak ruang publik. Karena itu sekulerisme diterapkan untuk melindungi dan menjaga ruang publik dari ekspresi-ekspresi keagamaan, walaupun setiap warga negara bisa memilih dan memeluk agama yang mereka percayai. Perlindungan ruang publik itu misalnya, dilakukan dengan melarang pemakian simbol-simbol keagamaan di ruang publik, seperti pemakaian jilbab pada perempuan muslim, memakai tanda salib oleh seseorang atau bahkan memakai kopiah-kopiah Yahudi.172 Sekulerisme model kedua, sekulerisme model negara Kanada yang juga memisahkan agama dan negara walaupun menyebut monoteisme dalam konstitusinya. Sekulerisme model Kanada diperkuat dengan pluralisme karena masyarakat adalah bersifat multietnis dan multiagama. Sebagai negara sekulerisme, negara tidak memfasilitasi kehidupan beragama dan membiarkan aliran-aliran besar keagamaan untuk hidup mandiri terpisah dari negara. namun sebaliknya, negara justru memberikan perlindungan dan bantuan kepada kelompok keagamaan minoritas. Dengan perkataan lain negara Kanada memberikan kebebasan beragama pada tingkat kelompok.173 Sedangkan varian ketiga, sekulerisme Amerika Serikat (AS). Titik tekan sekulerisme AS adalah kebebasan sipil, dimana kebebasan beragama diletakan pada tingkat individu, walaupun demokrasi di AS telah melahirkan sekte-sekte gereja Kristen dalam jumlah yang cukup banyak sekitar 325 denominasi. AS memberikan kebebasan kepada gereja-gereja untuk melakukan wacana publik. Sehingga kegiatan dakwah di gedung-gedung umum atau ruang publik banyak dilakukan. Hanya pendidikan agama tidak diperkenankan di sekolah-sekolah publik, pendidikan agama ditempatkan di gereja-gereja.174 Dalam pemikiran politik Islam kontemporer, khususnya kajian mengenai hubungan agama dengan negara, ditemukan tiga pola pemikiran, yaitu pola sekularis, tradisionalis, dan reformis175. Pola sekularis menyatakan, bahwa Islam adalah agama yang hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, dan didalamnya tidak ditemukan aturan-aturan yang berkaitan dengan masalah Ilahi. Kedua, memandang agama dan negara berhubungan timbal-balik dan saling memerlukan. Agama memerlukan negara agar dapat berkembang. Sebaliknya negara memerlukan agama untuk mendapatkan bimbingan moral dan etika. Ketiga bersifat sekularistik. Paradigma ini menolak baik hubungan integralistik maupun hubungan simbiotik antara agama dan negara. Peradigma sekuleristik mengajukan pemisahan agama dan negara. Dalam konteks islam, paradigma selkuleristik menolak pendasaran negara pada Islam atau menolak determinasi Islam dalam negara. Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah, Doktrin dan Pemikiran Politik Islam, Glora Aksara Pratama, 2008, hlm, 80-89. 172

M. Dawam Rahardjo, Merayakan Kemajemukan Kebebasan dan Kebangsaan, Kencana, Jakarta, 2010, hlm, 129. 173 Ibid, hlm, 130 174 Ibid, hlm, 131 175 Musdah Mulia, Negara Islam, KataKita, Jakarta, 2010, hlm, 21-23

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

kenegaraan. Sebaliknya, pola tradisionalis bahwa Islam adalah agama yang paripurna, yang didalanya ditemukan semua aturan, termasuk aturan yang berkaitan dengan kenegaraan. Karena itu, umat Islam tidak perlu meniru Barat, tetapi harus kembali kepada aturan yang digariskan Islam. Adapun pola reformis menolak kedua pendapat yang ekstrim tersebut. Pola ini menegaskan bahwa Islam bukanlah agama semata-mata mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi bukan pula yang agama serba lengkap dalam arti ajaranya mencakup segala aturan secara rinci termasuk aturan mengenai kenegaraan. Islam cukup memberikan prinsi-prinsip dasar yang dapat menjadi pedoman manusia mengatur prilaku dan hubungannya dengan sesama manusia dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.176 Dari sisi Islam menurut Katerina Dalacaoura relasi agama (Islam) dan politik (negara) tidak dapat dipisahkan177. Dalacaoura menyebutkan dalam bukunya Islam Liberalism & Human Rights bahwa; religion and politics are one.178 Jika memperhatikan sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW, maka tidak dapat dipungkiri jalinan (relasi agama dan politik/negara) tersebut terjadi.179 Bahkan Piagam Madinah oleh beberapa ahli dianggap merupakan sebuah konstitusi dikarenakan memuat kontrak di antara kelompok-kelompok masyarakat di Madinah yang berisi pokok-pokok pedoman kenegaraan dan pemerintahan. Piagam Madinah sering disebut sebagai Konstitusi Madinah, seperti dirumuskan oleh salah seorang ahli terkemuka tentang Islam dari Barat, Montgomery Watt yang menyebut Piagam Madinah sebagai The Constitution of Medina.180 Hal yang sama sesungguhnya terjadi pada negara-negara Barat. Amerika Serikat yang menyatakan memiliki konsep separation of church and state saja sesungguhnya tidak sepenuhnya dapat mengabaikan keberadaan agama. Dalam konteks Amerika, pemisahan agama dan negara tersebut berarti menjauhkan campur tangan negara atas prinsip-prinsip hukum agama tetapi tidak memberikan dinding pemisah (wall) terhadap masuknya prinsip-prinsip agama ke dalam jalannya pemerintahan bernegara. Tentu saja relasi agama dan negara di Amerika memiliki perbedaan dengan pandangan keIndonesiaan. Indonesia memperlihatkan terdapatnya ”jalinan mutualisme” antara agama dan negara. Negara diisi dengan spirit kerohanian agama 176

M. Husein Haikal mengemukan pendapat bahwa di dalam Al-quran dan sunah tidak ditemukan aturanaturan yang lansung dn rinci mengenai persoalan kenegaraan, yang ada hanyalah seperangkat tata nilai etika yang dapat dijadikan pedoman dasar bagi pengaturan tingkah laku menusia dalam kehidupan dan pergaulan dengan sesamanya, yang juga memadai untuk dijadikan landasan pengelolaan hidup bernegara. Nilai-nilai yang dimaksud adalah prinsip tauhid, sunatullah, dan prinsip persamaan.. Ibid , Musdah Mulia, hlm, 21-23 177 Katerina Dalacaoura, Islam Liberalism & Human Rights, I.B. Tauris, London and New York, 2003, hlm. 42 178 Ibid,hlm, 42. 179 Sejarah Kehidupan Nabi Muhammad SAW yang memperlihatkan adanya pengaruh agama dalam membangun negara salah satunya dapat ditelusuri melalui karangan Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, Litera AntarNusa, Bogor dan Jakarta, 2003, hlm. 203. 180 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hlm. 1617. Mengenai materi Piagam Jakarta dapat dibaca antara lain dalam buku Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian Perbandingan tentang Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk yang diterbitkan UI Press, Jakarta, 1995. Buku ini berasal dari disertasi Ahmad Sukardja (Prof, DR)

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

dan agama dilindungi bahkan ditertibkan (diatur) oleh negara. Keberadaan UU Perkawinan dan UU Peradilan Agama memperlihatkan peran negara dalam hukum agama. Namun jika dilihat dalam takaran yang lebih luas dan dalam, keberadaan produk perundang-undangan tersebut juga memperlihatkan bahwa agama mempengaruhi jalannya hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah (masyarakat). Dengan kata lain, agama juga berperan serta dalam pemerintahan. Hubungan negara dan agama yang seperti dijelaskan di atas seringkali menjadi ”rumit”. Agama seringkali dipergunakan untuk bertentangan dengan pemerintahan atau pemerintahan sering dijadikan kekuatan untuk menekan agama. Dalam diskursus politik dan ketatanegaraan serta agama jalinan tersebut masih diperdebatkan dan dikaji baik di (negara) Barat maupun di (negara) Timur. 2. Hubungan Negara dan Agama dalam Pancasila dan UUD 1945 Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia telah menemukan suatu formulasi yang khas tentang hubungan negara dan agama, di tengah-tengah tipe negara yang ada di dunia, yaitu negara sekuler, negara ateis dan negara teokrasi. Para pendiri negara bangsa ini menyadari bahwa ‘kausa materialis’ negara Indonesia adalah pada bangsa Indonesia sendiri. Bangsa Indonesia sejak zaman dahulu adalah bangsa yang religius, yang mengakui adanya ‘Dhzat Yang Maha Kuasa’, yaitu Tuhan, dan hal ini merupakan suatu dasar ontologis bahwa manusia sebagai warga negara adalah sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Berdasarkan konstatasi tersebut maka pemikiran filosofis tentang hubungan negara dengan agama yang tertuang dalam dasar filsafat negara Pancasila, yang sila pertamanya berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa, adalah merupakan pemikiran inovatif para pendiri bangsa ini. Dalam hubungan ini pendiri Republik ini mampu meletakkan konteks hubungan negara dan agama di tengah-tengah model negara sekuler, teokrasi dan ateis, berdasarkan local wisdom bangsa Indonesia sebagai kausa materialis. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam filsafat Pancasila merupakan suatu nilai bahkan esensi nilai (core values), bagi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. Oleh karena itu persoalan yang cukup penting berikutnya adalah bagaimana derivasi nilai-nilai tersebut pada tataran normatif, aktual dan praksis serta aktualisasinya dalam era global dewasa ini yang penuh dengan tantangan. Bilamana dipetakan maka persoalan yang menyangkut hubungan agama (khususnya Islam) dengan Pancasila di negara Republik Indonesia ini dapat dikelompokkan menjadi tiga tahap. Pertama, terjadi ketika kaum ‘Nasionalis’ mengajukan Pancasila sebagai dasar filsafat negara menjelang kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945. Sebagaimana para pendiri negara-negara lain, para pendiri Republik ini menyadari betapa pentingnya dasar filsafat dan ideologi dalam suatu negara. Oleh karena itu tatkala menjelang kemerdekaan 17 Agustus 1945, para tokoh pendiri negara dari kelompok Nasionalis Islam dan Nasionalis, terlibat perdebatan tentang dasar filsafat dan ideologi negara Indonesia yang akan didirikan kemudian. The Founding

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Fathers kita menyadari betapa sulitnya merumuskan dasar filsafat negara Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam etnis, ras, agama serta golongan politik yang ada di Indonesia ini. Perdebatan tentang dasar filsafat negara dimulai tatkala Sidang BPUPKI pertama, yang pada saat itu tampillah tiga pembicara, yaitu Yamin pada tanggal 29 Mei 1945, Soepomo pada tanggal 31 Mei, dan Soekarno pada tanggal 1 Juni, tahun 1945. Berdasarkan pidato dari ketiga tokoh pendiri negara tersebut, persoalan dasar filsafat negara (Pancasila) menjadi pusat perdebatan antara golongan Nasionalis dan Golongan Islam. Pada awalnya golongan Islam menghendaki negara berdasarkan Syari’at Islam, namun golongan nasionalis tidak setuju dengan usulan tersebut. Kemudian terjadilah suatu kese-pakatan dengan ditandatanganinya Piagam Jakarta yang dimaksudkan sebagai rancangan Pembukaan UUD Negara Indonesia pada tanggal 22 Juni 1945.. Dalam membahas hubungan antara Negara dengan Agama Islam tersebut kiranya layak dipertimbangkan berbagai pemikiran dari kalangan intelektual Islam. Teori-teori yang dikembangkan oleh kalangan intelektual Islam modern mengenai hubungan antara agama dengan negara dapat diklasifikasikan ke dalam tiga teori utama. Pemikiran pertama, menyatakan bahwa antara agama dan negara tidak harus dipisahkan, karena Islam sebagai agama yang integral dan komprehensif mengatur baik kehidupan duniawi maupun kehidupan ukhrawi. Menurut pandangan ini, tidak ada aspek dari aktivitas keseharian umat Islam termasuk dalam pengelolaan negara dapat dipisahkan dari agama. Oleh karena itu, konstitusi negara secara resmi harus didasarkan pada syariat Islam. Teori ini antara lain dikemukakan oleh antara lain Abdul A’la Maududi (1903-1979) (Khurshid, 1990), Sayyid Quth (1906-1966) dan para ideolog lain dari Ikhwan al-Muslimin. Baik Jamaat-Islami maupun Ikhwan al-Muslimin dikenal sebagai gerakan fundamentalis. Saudi Arabia, Iran dan Pakistan dapat dilihat sebagai contoh dari negara Islam dalam tipe ini. Mereka mengembangkan ideologi bahwa kesatuan negara dan agama dimanifestasikan dalam qhitoh politiknya bahwa Islam adalah ‘al-din wa al-daulah’ (agama dan negara).181 Pemikiran kedua, negara dan agama harus dipisahkan, dan dalam hal ini agama terbatas pada urusan-urusan pribadi. Dalam hubungan negara harus tidak ada campur tangan agama dalam urusan-urusan politik. Konstitusi negara tidak harus didasarkan pada Islam, namun pada nilai-nilai sekuler. Contoh dari teori ini adalah pada negara Turki Modern di bawah Kemal Attaturk182. Pemikiran ketiga, menghendaki pemisahan resmi antara negara dan agama, sehingga negara tidak didasarkan atas Islam namun negara tetap memberikan perhatian terhadap atau mengurusi persoalan-persoalan agama. Dengan kata lain, 181

182

Kaelan, M.S, Makalah, Relasi Negara dan Agama dalam Perspektif Filsagat Pancasila,2010,hlm, 10 Berkes, The Development of Seculerism in Turkey, Mc. Gill University Press 1964.

sebagaimana dikutip Kaelan, M.S, Makalah, Relasi Negara dan Agama dalam Perspektif Filsagat Pancasila,2010, Ibid. hlm. 10

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

negara terlibat dalam masalah-masalah agama yang ada dalam wilayahnya. Ketiga kemungkinan hubungan agama dengan negara tersebut nampaknya dapat memberikan gambaran atas pilihan-pilihan yang dapat menentukan semua karakteristik struktur sosial dan politik dari negara Muslim dan bagaimana negara harus dijalankan dalam menghadapi tuntutan dan tantangan modernitas. Dalam hubungan ini Ali Abdul al-Raziq (1888-1966), menegaskan bahwa khalifah pada hakikatnya bukan rezim agama, namun rezim keduniaan tanpa landasan agama. Raziq berpendapat bahwa meskipun mempunyai klaim terhadap kekuasaan, para khalifah tidak mungkin menggantikan Nabi, karena menurutnya, Nabi tidak pernah menjadi seorang raja dan tidak pernah berupaya membangun pemerintahan atau negara. Beliau adalah sebagai utusan Tuhan dan tidak pernah menjadi pemimpin politik183. Menurut Raziq bahwa Islam tidak menentukan suatu rezim tertentu dan tidak memaksakan umat Islam untuk mengikuti sistem tertentu dari pemerintahan yang ada, tetapi Islam memberikan kebebasan penuh untuk mengatur negara sesuai dengan kondisi intelektual, sosial dan ekonomi di mana kita berada dengan mempertimbangkan pembangunan sosial kita dan kebutuhan zaman. Formulasi hubungan negara dengan agama Islam dalam proses pendirian negara Indonesia memang tidak secara historis dipengaruhi oleh pemikiranpemikiran teori-teori tersebut. Dalam perkembangan berikutnya ketika bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada Tanggal 17 Agustus 1945, yang diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta, atas nama seluruh bangsa Indonesia, kemudian PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indone-sia) yang diketuai oleh Soekarno dan Hatta sebagai wakil ketuanya memulai tugas-tugasnya. Menjelang pembukaan sidang resmi pertamanya pada tanggal 18 Agustus 1945, Hatta mengusulkan pengubahan rancangan Pembukaan UUD dan isinya, dan hal ini dilakukan oleh karena menerima keberatan dari kalangan rakyat Indonesia timur, tentang rumusan kalimat dalam Piagam Jakarta “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi para pemeluknya”. Pada pertemuan bersejarah tersebut, kemudian disetujui dengan melaui suatu kesepakatan yang luhur menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”. Kedua, Respon umat Islam terhadap Pancasila tatkala pada tahun 1978 Pemerintah Orde Baru mengajukan P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) untuk disahkan. Dalam hubungan ini pada awalnya banyak tokoh-tokoh Islam merasa keberatan, namun kemudian menerimanya. Ketiga, ketika pada tahun 1982 Pemerintah mengajukan Pancasila sebagai asas tunggal bagi semua organisasi politik dan kemasyarakatan di Indonesia. Kebijaksanaan ini banyak mendapatkan tantangan dari umat Islam, bahkan terdapat beberapa ormas yang dibekukan karena menolak asas tersebut. Berdasarkan perkembangan respons umat Islam atas Pancasila sebagai dasar Filsafat negara, yang diaktualisasikan oleh pemerintah saat itu, maka munculah Muhamad Imarah, Al Islam wa Uslul al-Hukm Li Ali Abd al-Raziq, edisi ke 2, al-Mu’assasah alArabiyah li al-Dirasat wa al-Nashr, Beirut, 1998, sebagaimana dikutip, Kaelan, M.S.2010. Ibid, hlm, 10 183

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

berbagai sikap dan penilaian terhadap Pancasila sebagai dasar filsafat serta ideologi bangsa dan negara Indonesia, yang hasilnya menimbulkan kerancuan pemahaman tentang Pancasila sebagai dasar filsafat negara Indonesia. Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” [Pasal 29 ayat (1) UUD 1945] serta penempatan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama dalam Pancasila mempunyai beberapa makna, yaitu: Pertama, Pancasila lahir dalam suasana kebatinan untuk melawan kolonialisme dan imperialisme, sehingga diperlukan persatuan dan persaudaraan di antara komponen bangsa. Sila pertama dalam Pancasila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi faktor penting untuk mempererat persatuan dan persaudaraan, karena sejarah bangsa Indonesia penuh dengan penghormatan terhadap nilai-nilai ”Ketuhanan Yang Maha Esa.” Kerelaan tokoh-tokoh Islam untuk menghapus kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” setelah “Ketuhanan Yang Maha Esa” pada saat pengesahan UUD, 18 Agustus 1945, tidak lepas dari cita-cita bahwa Pancasila harus mampu menjaga dan memelihara persatuan dan persaudaraan antarsemua komponen bangsa. Ini berarti, tokoh-tokoh Islam yang menjadi founding fathers bangsa Indonesia telah menjadikan persatuan dan persaudaraan di antara komponen bangsa sebagai tujuan utama yang harus berada di atas kepentingan primordial lainnya. Kedua, Seminar Pancasila ke-1 Tahun 1959 di Yogyakarta berkesimpulan bahwa sila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah sebab yang pertama atau causa prima dan sila ”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” adalah kekuasaan rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk melaksanakan amanat negara dari rakyat, negara bagi rakyat, dan negara oleh rakyat.184 Ini berarti, ”Ketuhanan Yang Maha Esa” harus menjadi landasan dalam melaksanakan pengelolaan negara dari rakyat, negara bagi rakyat, dan negara oleh rakyat. Ketiga, Seminar Pancasila ke-1 Tahun 1959 di Yogyakarta juga berkesimpulan bahwa sila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” harus dibaca sebagai satu kesatuan dengan sila-sila lain dalam Pancasila secara utuh. Hal ini dipertegas dalam kesimpulan nomor 8 dari seminar tadi bahwa: Pancasila adalah (1) Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia (berkebangsaan) yang berkerakyatan dan yang berkeadilan sosial; (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berpersatuan Indonesia (berkebangsaan), yang berkerakyatan dan yang berkeadilan sosial; (3) Persatuan Indonesia (kebangsaan) yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, berkerakyatan dan berkeadilan sosial; 184

Kesimpulan Seminar Pancasila ke-1 Tahun 1959 di Yogyakarta yang lengkap dapat dilihat dalam Satya Arinanto, ”Proses Perumusan Dasar Negara Pancasila” (Tesis Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum Universitas Indonesia, 1997), Halaman 42-46.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

(4) Kerakyatan, yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia (berkebangsaan) dan berkeadilan sosial; (5) Keadilan sosial, yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, yang bepersatuan Indonesia (berkebangsaan) dan berkerakyatan. Ini berarti bahwa sila-sila lain dalam Pancasila harus bermuatan Ketuhanan Yang Maha Esa dan sebaliknya Ketuhanan Yang Maha Esa harus mampu mengejewantah dalam soal kebangsaan (persatuan), keadilan, kemanusiaan, dan kerakyatan. Keempat, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” juga harus dimaknai bahwa negara melarang ajaran atau paham yang secara terang-terangan menolak Ketuhanan Yang Maha Esa, seperti komunisme dan atheisme. Karena itu, Ketetapan MPRS No. XXV Tahun 1966 tentang Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme Leninisme masih tetap relevan dan kontekstual. Pasal 29 ayat 2 UUD bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing …” bermakna bahwa negara hanya menjamin kemerdekaan untuk beragama. Sebaliknya, negara tidak menjamin kebebasan untuk tidak beragama (atheis). Kata “tidak menjamin” ini sudah sangat dekat dengan pengertian “tidak membolehkan”, terutama jika atheisme itu hanya tidak dianut secara personal, melainkan juga didakwahkan kepada orang lain. Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, sila pertama dan utamanya, yaitu sila Ketuhanan Yang Maha Esa, telah menjadi landasan hukum dalam Pasal 29 ayat (1) UUD Tahun 1945 yang menentukan bahwa Negara Berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, Negara Republik Indonesia berkewajiban melindungi warga negaranya agar dapat menjalankan hukum agamanya yang Berketuhanan Yang Maha Esa, dalam sistem kenegaraan Pancasila adalah makna bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah bukan merupakan Negara Islam, bukan pula Negara Gereja, dan bukan pula Negara Hindu, bukan Negara Buddha, bukan Negara Konghucu, atau bukan Negara Agama apa pun, Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah bukan suatu negara Theokrasi dan bukan pula suatu negara Sekularistis tetapi negara beragama dan negara yang harus melindungi umat yang beragama.Negara Indonesia sebagai negara hukum, dipertegas lagi dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945, bahwa Negara Berdasar atas KeTuhanan Yang Maha Esa Jadi, Negara Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan atas KeTuhanan Yang Maha Esa. Sebagai Negara Pancasila kita tidak menganut paham sekuler, sehingga Negara dan pemerintah sama sekali bersikap tidak memperdulikan perikehidupan beragama kita. Karena itu pemerintah tidak menempatkan usaha dan bagi pembinaan dan pemgembangan kehidupan beragama sebagai masalah masyarakat dan umat beragama semata-mata. Dilain pihak, Negara kita juga bukan Negara Agama dalam arti didasarkan pada salah satu agama. Dalam hubungan ini, maka

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Negara tidak mengatur dan tidak inigin mencampuri urusan syari’ah dan ibadahibadah agama yang umumnya terbentuk dalam aliran agama masing-masing.185 Menyadari arti pentingnya agama dalam pembangunan nasional maka Pemerintah juga menaruh perhatian yang serius dalam pembangunan kehidupan beragama. Pembangunan di bidang kehidupan beragama bertujuan agar kehidupan beragama itu selalu menuju ke arah yang positif dan menghindari serta mengurangi ekses-ekses negatif yang akan muncul dan merusak kesatuan dan ketentraman masyarakat. Kebijaksanaan pemerintah dalam pembangunan kehidupan beragama, terutama difokuskan pada penyiaran agama dan hubungan antar umat beragama, karena disinyalir bahwa penyiaran agama sering memicu ketegangan hubungan antar umat beragama. Sesuai dengan prinsip “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” maka agama-agama di Indonesia merupakan roh atau spirit dari keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam hal ini, kita perlu mendalami apa yang dikatakan Samuel P. Huntington bahwa: ”betapa hebatnya komunisme didedahkan di ruang-ruang publik, diindoktrinasikan di mana-mana, akan tetapi karena ada persoalan ekonomi, tiba-tiba seperti rumah kardus langsung ambruk karena tidak ada kerohanian di dalamnya. Coba lihat Amerika Serikat, masih bertahan hari ini, punya kohesi sosial, punya daya tahan, karena kita punya kerohanian yang dalam, yaitu Etika Protestan”.186 Ketuhanan Yang Maha Esa serta agama-agama di dalamnya merupakan “kerohanian yang dalam” yang menjadi penopang utama keutuhan NKRI, seperti Protestan Ethic bagi Amerika Serikat dan negara Barat lainnya. John Locke menyatakan betapa hubungan negara dan Tuhan tidak dapat dinafikan bahkan dalam konteks kekuasaan legislasi. These are the bounds which the trust that is put in them by the society and the law of God and nature have set to the legislative power of every commonwealth, in all forms of government.187 Oleh karena agama-agama di Indonesia telah memberikan sumbangsih besar kepada negara, yaitu dalam bentuk “kerohanian yang dalam” yang disadari atau tidak telah menjadi tiang utama keutuhan NKRI, maka sudah selayaknya negara juga memberikan sumbangsih yang setara kepada agama-agama, sehingga agamaagama di Indonesia dapat menerapkan nilai-nilai adiluhungnya seperti prinsip

185

Op. cit. Jajim Hamidi dan Husnu Abadi, hlm, 11 Lukman Hakim Saifuddin Ketua Fraksi PPP DPR RI, Makalah,Indonesia adalah Negara Agamis: Merumuskan Relasi Agama dan Negara dalam Perspektif Pancasila 186

187

Ibid

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

mengayomi seluruh umat manusia dan alam (rahmatan lil ‘alamin)188, untuk terus ditebarkan sebagai “kerohanian yang dalam” kepada bangsa Indonesia. Dengan begitu, maka penataan hubungan antara agama dan negara harus dibangun atas dasar simbiosis-mutualistis di mana yang satu dan yang lain saling memberi. Dalam konteks ini, agama memberikan “kerohanian yang dalam” sedangkan negara menjamin kehidupan keagamaan. Penataan hubungan antara agama dan negara juga bisa dibangun atas dasar checks and balances (saling mengontrol dan mengimbangi). Dalam konteks ini, kecenderungan negara untuk hegemonik sehingga mudah terjerumus bertindak represif terhadap warga negaranya, harus dikontrol dan diimbangi oleh nilai ajaran agama-agama yang mengutamakan menebarkan rahmat bagi seluruh penghuni alam semesta dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sementara di sisi lain, terbukanya kemungkinan agama-agama disalahgunakan sebagai sumber dan landasan praktekpraktek otoritarianisme juga harus dikontrol dan diimbangi oleh peraturan dan norma kehidupan kemasyarakatan yang demokratis yang dijamin dan dilindungi negara. Perjalanan sejarah bangsa Indonesia telah menemukan suatu formulasi yang khas tentang hubungan negara dan agama, di tengah-tengah tipe negara yang ada di dunia, yaitu negara sekuler, negara ateis dan negara teokrasi. Para pendiri negara bangsa ini menyadari bahwa ‘kausa materialis’ negara Indonesia adalah pada bangsa Indonesia sendiri. Bangsa Indonesia sejak zaman dahulu adalah bangsa yang religius, yang mengakui adanya ‘Dhzat Yang Maha Kuasa’, yaitu Tuhan, dan hal ini merupakan suatu dasar ontologis bahwa manusia sebagai warga negara adalah sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Adanya ketentuan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa, menunjukan bahwa negara mempunyangi kewajiban dan tanggung jawab untuk membimbing dan mengarahkan kehidupan religius rakyat kepada meyakini, meresapi, serta menghayati adanya Tuhan Yang Maha Esa, ini berarti negara Indonesia adalah negara beragama bukan negara yang berdasarkan agama tertentu dan juga bukan negara sekuler, adalah negara beragama. Negara beragama adalah negara yang menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai landasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hatta menempatkan Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar moral ditempatkan di atas, sebagai Sila Pertama. Dengan demikian, Hatta mencita-citakan negara dan pemerintahan akan mempunyai dasar yang kokoh. Dengan pola pemerintahan yang berpegang pada nilai moral yang tetinggi, maka akan tercapai suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jadi menurut Hatta, dasar keTuhanan Yang Maha Esa, adalah dasar yang memimpin cita-cita kenegaraan kita, yang memberikan jiwa kepada usaha menyelenggarakan segala yang benar, adil dan baik. Sedangkan dasar kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kelanjutan dalam perbuatan dan praktek hidup dari dasar cita-cita dan amal ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Ke- Tuhanan Yang Maha Esa bukan lagi sekedar hormat-menghormati 188

Kitab Suci Al-Quran, Surat Al-Anbiya ayat 107 yang artinya: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Nabi Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

agama masing-masing, melainkan nilai-nilai agama itu menjadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran, persaudaraan, dan lain-lain. Politik negara dengan demikian akan mendapat dasar yang sangat kuat189 Pernyataan Hatta ini dikemudian hari dikuatkan dengan pernyataan Natsir yang menyatakan bahwa bagi Negara Indonesia, meskipun bukan negara agama, tetapi agama telah ditempatkan dalam tempat tertinggi (Pancasila) yang berfungsi sebagai dasar etik, moral dan spiritual agama. Dalam sejarah tercatat, pernyataan Natsir ini disampaikannya dalam sebuah pidato di depan The Pakistan Institut of World Affairs pada tahun 1952, dan Natsir menyatakan : ”… tidak diragukan lagi, bahwa Pakistan adalah sebuah negeri Islam karena penduduknya dan karena pilihan sebab ia menyatakan sebagai agama negara. Begitu juga Indonesia adalah sebuah negeri Islam karena fakta bahwa Islam diakui sebagai agama rakyat Indonesia, sekalipun dalam konstitusi kami tidak dengan tegas dinyatakan sebagai agama negara. Tetapi Indonesia tidak mengeluarkan agama dari sistem kenegaraan. Bahkan ia telah menaruhkan kepercayaan tauhid (monotheistic belief) kepada Tuhan pada tempat teratas dari Pancasila- -Lima Prinsip yang dipegang sebagai dasar etik, moral dan spiritual negara”190 Dari pernyataan Hatta dan Natsir di atas, dapat dipahami bahwa agama (Ketuhanan Yang Maha Esa) membawa pengaruh kuat pada pembentukan tatanan moral setiap orang. Tatanan moral yang tertanam dalam individu-individu yang dibentuk atas dasar kepercayaan kepada Tuhan inilah yang kemudian membentuk wajah dan susunan Negara Indonesia. Seperti telah diuraikan terdahulu, sebelum PPKI mengesahkan UUD 1945, Panitia Sembilan BPUPKI pernah mengesahkan rancangan Pembukaan UUD yang didalamnya terdapat kalimat “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Menurut Abdulkadir Besar, meskipun ada perbedaan mendasar rumusan Piagam Jakarta dengan apa yang tercantum dalam Pembukaan, Pasal 29 dan Penjelasan UUD 1945 seperti yang kita kenal sekarang, tetapi juga tetap mengandung pokok cita yang sama191. Abdulkadir Besar menyatakan, bahwa berdasarkan Pembukaan, Pasal 29 dan Penjelasan UUD 1945 maka tipe hubungan negara dan agama di Indonesia adalah “Negara berdasar atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab Lebih lanjut, menurutnya “Negara berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa” mencerminkan warna “negara agama” dan tidak 189

Moh. Hatta. Pengertian Pancasila seperti dikutip olej Ahmad Zubaidi.Paham Idiologi Pancasila Mengenai Hubungan Antara Negara Dan Agama. Tesis. Program Studi Pengkajian Ketahanan Nasional, Program Pasca Sarjana, Universitas Indonesia. Jakarta. 1993,hlm, 115 190 Ibid 191 Abdulkadir Besar. Cita Negara Persatuan dan Konsep Kekuasaan Serta Konsep Kebebasan Yang Terkandung di Dalamnya. Seperti dikutip oleh Ahmad Zubaidi. Ibid. Hlm. 118

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

menghapus sama sekali ciri negara agama yang dikemukakan oleh kalangan Islam. Rumusan “menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab” mencerminkan warna negara sekuler dari aspirasi pihak kebangsaan yang dimodifikasi dalam bentuk Pancasila192. Lebih lanjut, Abdulkadir Besar menyatakan, ditinjau dari sudut negara agama, Piagam Jakarta memiliki ciri dari negara agama, yaitu bahwa negara ikut bertanggung jawab mengenai pembinanaan kehidupan beragama. Sedangkan ditinjau dari sudut negara sekuler, Piagam Jakarta juga menunjukkan kesekulerannya, yaitu bahwa keikutsertaan negara dalam campur tangan masalah agama, tidak sampai berwatak campur tangan terhadap kesakralan (kesucian) agama193. Dengan demikian, lanjut Abdul Kadir Besar, makna sejarah dari Piagam Jakarta yang dituangkan dalam bentuk Pembukaan UUD 1945 adalah bahwa Piagam Jakarta itu telah menetapkan Negara Republik Indonesia sebagai “Negara berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa”, bukan dalam pengertian negara agama, dan bukan negara sekuler. Dengan demikian tipe “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil da beradab” tetap menghidupkan makna yang terkandung di dalam Piagam Jakarta,yang memadukan tipe negara agama dan tipe negara sekuler194 Dalam hal ini Mantan Presiden Soeharto menegaskan:195 “ Negara yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa itu bukanlah negara Teokrasi, negara kita bukanlah Negara Agama; bukan negara yang berdasarkan diri pada agama tertentu” Ada beberapa bukti bahwa Indonesia merupakan negara beragama, yaitu: Pertama, Dalam konstitusi setidak-tidaknya terdapat tujuh ketentuan yang mempertegas bahwa Indonesia adalah negara agamis atau mencantumkan nilai-nilai agama, yakni: 1. Alinea ketiga Pembukaan UUD yang menyebut ”Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa” sebagai basis pernyataan kemerdekaan Indonesia. 2. Pasal 9 UUD yang mewajibkan Presiden/Wakil Presiden bersumpah menurut agamanya. 3. Pasal 24 ayat (2) UUD yang memungkinkan bagi pembentukan peradilan agama di bawah Mahkamah Agung. 4. Pasal 28J ayat (2) UUD bahwa setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang (UU) untuk menjamin pengakuan serta 192

Ibid Ibid 194 Ibid 195 Ibid, hlm, 11 193

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

penghormatan atas hak orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis. 5. Pasal 29 ayat (1) UUD bahwa ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” 6. Pasal 31 ayat (3) UUD bahwa ”Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia...”. 7. Pasal 31 ayat 5 UUD bahwa ”Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Kedua, secara simbolik Indonesia sebagai negara beragama diakui melalui pernyataan putusan hakim bahwa “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ketiga, nilai-nilai agama sudah built in dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Sejak kemerdekaan, terutama melalui pembentukan UU yang secara eksplisit mengadopsi nilai-nilai keagamaan, seperti UU Perkawinan, UU Peradilan Agama, UU Zakat, UU Penyelenggaraan Haji, UU Perbankan Syariah, UU Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) Keempat, Mahkamah Konstitusi, sebagai lembaga yang berwenang menafsirkan semangat dasar UUD justru mempertegas pernyataan bahwa Indonesia adalah negara agamis. Dalam Putusan No. 19/PUU-VI/2008 tentang Pengujian UU Peradilan Agama terhadap UUD 1945, Mahkamah Konstitusi berpandangan bahwa: ”Indonesia adalah negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa yang melindungi setiap pemeluk agama untuk melaksanakan ajaran agamanya masing-masing.” Kelima, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 1999-2000 memberikan peran pada agama sebagai landasan dalam pembangunan nasional: “ Memantapkan fungsi, peran, dan kedudukan agama sebagai landasan moral, spritual dan etika dalam penyelenggaran negara serta mengupayakan agar segala perundang-undangan tidak bertentangan dengan moral agama-agama” Negara beragama adalah negara yang berupaya mengaplikasikan semangat Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selanjutnya tugas institusi keagamaan adalah menebarkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa ke hati sanubari pemeluknya melalui ritus keagamaan sesuai dengan tata cara yang berlaku pada masing-masing agama, sehingga pemeluk agama tadi dapat menyebarkan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi, antara agama, negara, dan pemeluk agama (yang nota bene juga warga negara Indonesia) merupakan mata rantai yang tidak terpisahkan satu sama lain.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Agama-agama dalam negara beragama harus selalu menjunjung tinggi prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga langkah-langkah yang dilakukan agama-agama itu tidak bertentangan dengan langkah-langkah negara yang juga berlandaskan pada ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Negara beragama yang dianut Indonesia berbeda dengan negara Islam (Arab Saudi, Pakistan, Iran, dan lain-lain), negara Katolik (Vatikan), atau negara Yahudi (Israel) di mana negara bertanggungjawab mempertahankan agama formal yang dianutnya, meskipun dalam kondisi tertentu justru dapat mengabaikan nilai-nilai substansial dari beberapa agama. Negara beragama merupakan kebalikan dari negara sekuler. Kalau negara sekuler menolak segala macam bentuk apapun dari keimanan (prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa), maka negara beragama justru sebaliknya, menjadikan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara. Agama dan negara dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan paradigma negara Indonesia terhadap agama adalah simbiosis mutualisme, keduanya saling membutuhkan. Dalam konteks ini Peraturan perundang- undangan yang berhubungan dengan kehidupan beragama dalam bahasa antropologi merupakan semacam feiten for behavior (pola bagi tindakan) untuk melakukan relasi antar umat beragama melalui peran negara dalam hal ini terutama pemerintah. Regulasi tersebut diperlukan dalam rangka memberikan perlindungan kepada warga negara. Regulasi tersebut berkaitan dengan upaya-upaya melindungi keselamatan masyarakat (public safety), ketertiban masyarakat (public order), etik dan moral masyarakat (moral public), kesehatan masyarakat (public healt) dan melindungi hak dan kebebasan mendasar orang lain (the fundamental right and freedom orders). Dalam hubungan agama dengan negara terdapat wilayah internal dan eksternal agama. Wilayah internal agama adalah bidangnya agama, dan domain publik agama. berkaitan dengan nilai isi ajaran utama atau pokok agama menjadi otoritas dari agama yang bersangkutan, dan sumber utamanya kitab suci agama dan Wilayah ini tidak boleh diganggu oleh siapa pun kecuali oleh agama itu sendiri. Eksternal wilayah agama merupakan pengekspresian pemeluk agama terhadap keyakinannnya; publik agama adalah wilayah publik atau umum yang menjadi domain negara dan pengaturannya sepenuhnya menjadi tanggungjawab Negara. Indonesia adalah negara berdasarkan Pancasila, Pancasila bukan lain merupakan kristalisasi berbagai nilai yang hidup (volkgeist) dalam masyarakat bangsa Indonesia. Jalinan nilai-nilai dasar yang tertuang dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945 dijabarkan ke dalam aturan dasar (hukum dasar) dalam bentuk pasal-pasal UUD yang mencakup berbagai segi kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Artinya, aturan, norma, hukum dasar dalam UUD merupakan manifestasi yang secara substansi memuat dan mencerminkan nilai-nilai dasar tersebut. Dengan kata lain, pasal-pasal UUD semata-mata berisi nilai-nilai sebagai perincian atas nilai-nilai dasar yang terkandung dalam Pancasila.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Pancasila dan UUD 1945 yang menentukan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa haruslah diartikan bahwa negara harus dibangun atas dasar prinsip –prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa. Negara memberikan peran agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. negara Pancasila adalah yang kita anut dan kita berpendapat bahwa Indonesia bukan negara agama dan bukan negara sekuler, tetapi negara yang memberikan tempat terhormat kepada agamaagama yang ada di Indonesia. Secara filosofis negara mempunyai tugas fasif terhadap masalah agama. Negara hanya memberikan jaminan kepada seluruh penduduk untuk secara merdeka menjalankan ajaran agamanya. Negara tidak boleh membuat berbagai larangan dan hambatan bagi setiap penduduk untuk menjalankan ajaran agamanya. Bahkan negara harus memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi setiap penduduk untuk menlaksanakan ajaran agamanya. Posisi agama dalam negara kita sangat spesifik ditinjai dari sosiologis, filosofis,dan historis dari negara kita. Walaupun secara fasif masalah agama adalah menjadi tugas negara, sudah banyak hal yang memang dalam kenyataan secara kehidupan kenegaraan kita mengenai agama diatur juga oleh negara seperti UU tentang Peradilan Agama, UU tentang Perkawinan, UU tentang Sistim Pendidkan Nasional, UU tentang Wakaf. Pancasila sebagai falsafah dan dasar hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, dimana masing-masing silanya merupakan kesatuan yang utuh dan bermuara dari kesadaran dan keyakinan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa Notonegoro menjelasakan: ”Pancasila secara formil sebagai norma hukum dasar positif, objektif dan subjektif adalah mutlak tidak dapat dirubah dengan jalan hukum, demikian pula secara materil Pancasila mutlak tidak dapat dirubah disebabkan kehidupan, kemasyarakatan kebudayaan termasuk kefilsafatan, kesusilaan, keagamaan merupakan sumber hukum positif, yang unsur-unsur intinya telah ada dan hidup sepanjang masa adalah justru sekarang merupakan sila-sila dari Pancasila, sehingga Pancasila disamping sifatnya kenegaraan juga mempunyai sifat adat kebudayaan (kultur) dan sifat keagamaan (religius)196”. UUD 1945 terdapat kata-kata dan kalimat-kalimat yang dapat diartikan secara jelas sebagai kata-kata atau kalimat-kalimat keagamaan seperti: Alinea ketiga Pembukaan UUD yang menyebut ”Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa” sebagai basis pernyataan kemerdekaan Indonesia. Pasal 9 UUD yang mewajibkan Presiden/Wakil Presiden bersumpah menurut agamanya. Pasal 24 ayat (2) UUD yang memungkinkan bagi pembentukan peradilan agama di bawah Mahkamah Agung. Pasal 28J ayat (2) UUD bahwa setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang (UU) untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan 196

Notonegoro, Beberapa Hal Mengenai Pancasila, Universitas Pancasila, Jakarta, 1972 hlm, 24

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis. Pasal 29 ayat (1) UUD bahwa ”Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” Pasal 31 ayat (3) UUD bahwa ”Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia...”. Pasal 31 ayat 5 UUD bahwa ”Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. Kata-kata dan kalimat-kalimat tersebut menunjukan ciri-ciri keagamaan dari naskah UUD 1945, sehingga dapat kita artikan bahwa negara Indonesia tidak memisahkan agama dari negara, berbeda dengan negara-negara Eropa dan Amerika yang sekuler yang memisahkan urusan negara dengan agama. Negara USA sebagai negara liberal yang sekuler, dalam hukum negara positifnya tidak mencantumkan agama resmi dan pertimbangan-pertimbangan keagamaan dikesampingkan. diantaranya dapat dilihat di dalam konstitusi (Tahun 1789) yang menyebutkan; “ ..... Ujian agama tidak boleh pernah ada sebagai persyaratan untuk jabatan apapun...”, dan “ Kongres tidak boleh membuat undang-undang yang berkenaan dengan suatu pendirian agama, atau melarang ibadah yang bebas.”197 Negara Indonesia berdasarkan Pancasila, dimana sila Ketuhanan Yang Maha Esa, bukanlah negara yang terpisah dari agama, tetapi juga tidak menyatu dengan agama, tidak terpisah karena negara, seperti dikatakan Roeslan Abdoelgani198 : “Secara aktif dan dinamis membimbing, menyokong, memelihara, dan mengembangkan agama”,khususnya melalui departemen agama. Tidak pula menyatu dengan negara, karena negara tidak didikte atau mewakili agama tertentu, bahkan tidak pula memberikan keistimewaan kepada salah satu agama. Secara lazim dikatakan “Indonesia bukan ‘negara sekuler’ dan juga bukan ‘negara agama”. Selain dalam Pancasila, Penjelasan UUD 1945 juga menegaskan salah satu Pokok Pikiran, khususnya Pokok Pikiran Ke-4, menegaskan : “Pokok pikiran yang keempat yang terkandung dalam pembukaan ialah negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar harus mengandung isi yang mewajibkan kepada pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara untuk memelihara budi perkerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur”. Menurut Abdulkadir Besar, konsekuensi logis dari ketentuan UUD 1945 tersebut adalah bahwa Negara Indonesia ikut bertanggung jawab mengenai ketakwaan setiap warga negaranya terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Misalnya, 197

Pasal 6 Butir 3 Konstitusi USA 1789, Pasal I (Dalam Pasal-Pasal Tambahan) Konstitusi USA 1789, Prajudi Atmosudirjo (ed), Galia Indonesia, 1986 198 Op. Cit, Yudi Latif. Hlm 95

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

negara bertanggung jawab mengenai adanya kesempatan dan kemudahan (fasilitas) beribadah bagi setiap warga negara. Negara dibimbing oleh moral agama dalam menyelenggarakan kehidupan kenegaraan199 Pemisahan formal antara negara dengan agama atau sebaliknya penyatuan negara dengan agama, lebih merupakan pilihan historis, yang ditentukan oleh relasi-relasi kuasa dan kondisi masyarakat. Selain faktor kekuatan politik, faktor kondisi masyarakat (apakah homogen atau masyarakat multikultural-multiagama) akan menentukan apakah suatu negara bisa memilih agama negara atau tidak.200 Indonesia yang memiliki sejarah dimana peran agama sangat besar sekali dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan maka Indonesia memilih tidak menjadi negara agama atau memisahkan agama dengan negara, Indonesia menjadikan agama dengan negara saling mebutuhkan dimana negara berperan dalam memberikan perlindungan serta jaminan bagi perkembangan agama-agama yan ada di Indonesia, sementara agama berperan dalam memberikan landasan moral dan spiritual dalam penyelenggaraan negara. Mohammad Tahir Azhary menyatakan, bahwa Pancasila telah memberikan bentuk pada negara hukum Indonesia yang memiliki ciri khasnya tersendiri. Karena Pancasila harus diangkat sebagai dasar pokok dan sumber hukum, maka negara hukum Indonesia dapat pula dinamakan dengan negara hukum Pancasila. Salah satu ciri pokok dalam negara hukum Pancasila ialah adanya jaminan terhadap freedom of religion atau kebebasan agama201. Tetapi, lanjut Muhammad Tahir Azhary, kebebasan beragama di Negara hukum Pancasila selalu dalam konotasi yang positif, artinya tiada tempat bagi atheism atau propaganda anti agama di bumi Indonesia. Hal ini sangat berbeda dengan misalnya di Amerika Serikat yang memahami konsep freedom of religion baik dalam arti positif maupun negative seperti dirumuskan oleh Sir Alfred Denning, yang dikutip oleh Seno Adji 202 “freedom of religion means that we are free warship or not to warship, to affirm the existence of God or to deny it, to believe in Christian religion or any other religion or in none, as we choose”. Selain itu, konsep Indonesia juga berbeda dengan konsep Uni Soviet dan negara komunis lainnya, yang menurut Mohammad Tahir azhary diidentifikasikan dengan adanya jaminan konstitusional untuk propaganda anti agama.203 Konsekuensinya, menurut Seno Adji, di Indonesia tiada pemisahan yang rigid dan mutlak antara agama dan negara yang berada dalam hubungan yang harmonis204. Untuk memperkuat pendapat ini, Padmo Wahjono menyatakan bahwa asal-usul 199

Abdulkadir Besar. Sejarah Penyusunan Undang-Undang Dasar 194 5Sebagaimana dikutip oleh Agung Ali Fahmi, Implementasi Kebebasan Beragama Menurut UUD, Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, 2010,hlm, 67 200 Op. cit Yudi Latif, hlm, 101 201 Mohammad Tahir Azhary. Negara Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Kencana,Jakarta, 2004, hlm,93 202 Ibid, hlm, 93 203 Ibid, hlm 94 204 Ibid, hlm, 94

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Negara Indonesia bukanlah terbentuk atas perjanjian bermasyarakat dari individuindividu yang bebas atau dari status naturalis ke status civil dengan perlindungan terhadap civil rights. Tetapi, Indonesia terbentuk karena “atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas”. Dengan demikian, yang dimaksud dengan Negara Hukum Pancasila menurut Padmo Wahjono adalah: Suatu kehidupan berkelompok bangsa Indonesia, atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas dalam arti merdeka, berdaulat, bersatu, adil dan makmur. Dengan demikian, dari pendapat tersebut dalam negara Indonesia yang berdasarkan pancasila kerangka jaminan kebebasan beragama itu mempunyai pengertian : a) Kebebasan beragama di Indonesia bermakna yang positif sehingga pengingkaran kepada Tuhan Yang Maha Esa (Atheisme) ataupun sikap yang memusuhi Tuhan Yang Maha Esa tidak dibenarkan, b) Ada hubungan yang erat antara agama dan negara, Negara Republik Indonesia tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara baik secara mutlak maupun nisbi yang bertentangan dengan Undang- Undang Dasar 1945205. C. Kesimpulan Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, dimana sila Ketuhanan Yang Maha Esa, bukanlah negara yang terpisah dari agama, tetapi juga tidak menyatu dengan agama. Negara secara aktif dan dinamis membimbing, menyokong, memelihara, dan mengembangkan agama. Agama tidak pula menyatu dengan negara, karena negara tidak didikte atau mewakili agama tertentu, bahkan tidak pula memberikan keistimewaan kepada salah satu agama. Secara lazim dikatakan “Indonesia bukan ‘negara sekuler’ dan juga bukan ‘negara agama”. Hubungan agama dan negara adalah saling membutuhkan. Daftar Pustaka El-Muhtaj, Majda. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Jakarta, Kencana, 2007 Kartohadiprodjo, Soediman. Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, Bandung, 2009 ----------, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta, PT Bhuana Ilmu Populer, 2008 ----------, Menuju Negara Hukum Yang Demokrasi, Jakarta, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Konstitusi, 2008 ----------, Pemikiran Politik di Negeri Barat, Bandung, Mijan, 1997, 205

Ibid, hlm, 94

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

----------, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, Bandung, Mandar Maju, 1995 A.B. Kusuma, RM. Lahirnya Undang-Undang Dasar, Jakarta, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004, Al Khanif, Hukum dan Kebebasan beragama di Indonesia, Yogyakarta, LaksBang Mediatama, 2010, Al Qaradhawi, Yusuf. Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik, Bantahan Tuntas Terhadap Sekularisme dan Liberalisme, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2008, Alim, Muhammad. Asas-Asas Negara Hukum Modern dalam Islam, Kajian komprehensif Islam dan Ketatanegaraan, YogyakartaLkiS, 2010, Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta, Konstitusi Press, 2006 Azhary, M. Tahir. Negara Hukum, Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Negara Madinah dan Masa Kini, Jakarta, Kencana, 2004 Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Jakarta, FH UII Press, 2003 Barent, J. Ilmu Politik (terjemahan dari De Wetenschap Der Politiek), Jakarta, PT. Pembangunan, 1965 Cranston, Maurice What Are Human Rights, The Bodley Head, London, 1973 Dalacaoura, Katerina. Islam Liberalism & Human Rights, I.B. Tauris, London and New York, 2003 David A.J. Richards, Foudations of American constitutionalism, Oxford University Press, New York, 1989, hlm. 26. Dicey. AV, Introduction to the Study of the Law of the constitution (terjemahan), Bandung, PT Nusamedia, 2007 Hamidi, Jazim dan M. Husnu Abadi, Intervensi Negara Terhadap Agama, Yogyakarta, UII Press, 2001. Hatta, Muhammad . Demokrasi Kita, Jakarta, Pustaka Antara, 1966 Husain Haekal, Muhammad Sejarah Hidup Muhammad, AntarNusa, 2003, Kaelan, M.S. Relasi Negara dan Yogyakarta, 1 Juni 2009

Bogor dan Jakarta, Litera

Agama Dalam Pespektif

Filasafat

Pancasila

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Kholiludin, Tedi. Kuasa Negara Atas Agama, Politik Pengakuan, Diskursus “Agama Resmi” dan Diskriminasi Hak Sipil, Semarang, RaSail, 2009. Lerner, Natan. Sifat dan Standart Minimun Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan, Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Seberapa Jauh?, Yogyakarta, Kanesius, 2010, Mulia, Musdah. Negara Islam, Jakarta, KataKita, 2010, Munawar-Rahman, Budhy. sekulerisme, Liberalisme, dan Pluralismne, Islam Progresif dan perkembangan diskursusnya, Jakarta, Grasindo, 2010, Noer, Deliar. Islam dan Politik, Jakarta : Yayasan Risalah, 2003 Notonegoro, Pancasila Dasar Falsafah Negara, Jakarta, Bina Aksara,1983, Rahardjo, M. Dawam. Merayakan Kemajemukan Kebebasan dan Kebangsaan, Jakarta Kencana, 2010, Ratu Perwiranegara, Alamsyah. Pembinaan Kehidupan Beragama di Indonesia, Jakarta, PT. Karya Unipress, 1982 Roem, Mohammad dan Salim, Agus. Ketuhanan Yang Maha Esa dan Lahirnya Pancasila, Jakarta, Bulan Bintang, 1977 Singka Subekti, Valina. Persada, 2008.

Menyusun Konstitusi Transisi, Jakarta, PT Rajagarafindo

Soemantri, Sri. Tinjauan Terhadap Tiga Undang-Undang Dasar yang berlaku dan Pernah berlaku di Indonesia, dalam Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung, Alumni, 1992, Strong. C.F. Konstitusi-Konstitusi Politik Modern (terjemahan), Nusamedia, 2004

Bandung, PT

Sukardja, Ahmad. Piagam Madinah Dan Undang-Undang Dasar 1945 Kajian Perbandingan Tentang Dasar Hidup Bersama Dalam Masyarakat Yang Majemuk, Jakarta, UI Press, 1995. Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahan-perubahannya

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Hukum Sebagai Sarana Pembaharuan Masyarakat _______________________________________________________________________ Marsudi Utoyo 1. Pendahuluan Menelaah konsep hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat, mengingatkan kita pada pemikiran Roscoe Pound, salah seorang peletak dasar aliran dalam Filsafat Hukum Sociological Jurisprudence.206 Pound menyatakan bahwa hukum dapat berfungsi sebagai alat merekayasa masyarakat law as a tool of social engineering tidak sekedar melestarikan status quo. Jadi berbeda dengan Mazhab sejarah yang mengasumsikan hukum itu tumbuh dan berkembang bersama dengan perkembangan masyarakat, sehingga hukum digerakkan oleh kebiasaan. Sociological Jurisprudence berpendirian sebaliknya. Hukum justru yang menjadi instrumen untuk mengarahkan masyarakat menuju kepada sasaran yang diinginkan, bahkan kalau perlu, menghilangkan kebiasaan masyarakat yang dipandang negatif.207 Sebagaimana telah dipaparkan di atas, bahwa di Indonesia, konsep Pound ini dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja. Menurut Mochtar, hukum (di Indonesia) tidak cukup berperan sebagai alat, melainkan juga sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Sebagaimana diungkapkan oleh Lily Rasjidi, diakui pula oleh Satjipto Rahardjo, bahwa pemikiran ini oleh sejumlah pakar hukum Indonesia disebut-sebut sebagai mazhab tersendiri dalam Filsafat Hukum, yaitu mazhab Filsafat Hukum UNPAD. Pendekatan sosiologis yang disarankan oleh Mochtar tersebut dimaksudkan untuk tujuan praktis, yakni dalam rangka menghadapi permasalahan pembangunan social-ekonomi. Beliau juga melihat urgensi penggunaan pendekatan sosiologis dengan memakai Paradigma Roscoe Pound, lebih-lebih dirasakan oleh negara-negara berkembang daripada negara-negara maju. Hal itu tidak lain karena mekanisme hukum di negara-negara berkembang belum semapan di negara-negara maju itu. Mengingat pembangunan social-ekonomi ini selalu membawa perubahanperubahan, seharusnya hukum ikut mengambil peran, sehingga perubahan-perubahan tersebut dapat dikontrol agar berlangsung tertib dan teratur. Dalam hal ini hukum tidak lagi berdiri di belakang fakta, tetapi justru sebaliknya. 2. Permasalahan yang akan menjadi pembahasan adalah : A. Bagaimana Terbentuknya Hukum dalam Masyarakat ? B. Bagaimana Politik Hukum Sebagai Sarana Pembangunan Masyarakat Nasional dan Internasional ?

206 207

Lily Rasjidi, Filsafat Hukum : Apakah Hukum Itu?, CV. Ramaja Rosdakarya, Bandung, 1991, hlm. 49. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, hlm 170 – 171.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

3. Pembahasan A. Terbentuknya Hukum dalam Masyarakat 3.1. Aliran Sociological Jurisprudence Melalui Optic Critical Legal Study, G.W. Paton,208 melancarkan kritik terhadap penggunaan istilah Sociological dalam aliran Sociological Jurisprudence –yang dipelopori oleh Roscoe Pound (Anglo Amerika) dan Eugen Ehrlich (Eropa Kontinental)— sebagai kurang tepat dan dapat menimbulkan kekacauan. Ia lebih suka menggunakan istilah “Functional School”. Dengan menggunakan istilah tersebut, Paton ingin menghindari kerancuan antara Ilmu Hukum Sosiologis (Sociological Jurisprudence) dan Sosiologi Hukum (Sociology of Law). Perbedaan yang mencolok antara kedua hal tersebut adalah Sosiologi Hukum berusaha menciptakan suatu ilmu mengenai kehidupan social sebagai suatu keseluruhan, dan pembahasannya meliputi bagian terbesar dari sosiologi (secara umum) dan Ilmu Politik. Titik berat penyelidikan Sosiologi Hukum terletak pada masyarakat dan hukum sebagai suatu manifestasi semata, sedangkan Ilmu Hukum Sosiologis memfokuskan kajiannya pada hukum dan memandang masyarakat dalam kaitannya dengan hukum.209 Menurut aliran Sociological Jurisprudence ini, hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat (living llaw of the peoples). Aliran Ilmu Hukum Sosiologis ini memmisahkan secara tegas antara hukum positif (the positive law) dan hukum yang hidup (the living law). Aliran ini timbul sebagai reaksi (dialektika antara –tesis-- Positivisme Hukum) dan –antitesis—dari Mazhab Sejarah. Sebagaimana diketahui, Positivisme hukum memandang tiada hokum kecuali perintah yang diberikan penguasa (law is a command of lawgiver). Sebaliknya mazhab sejarah menyatakan hukum timbul dan berkembang bersama dengan perkembangan masyarakat. Aliran pertama mementingkan akal, sementara aliran yang kedua mementingkan pengalaman, dan Sociological Jurisprudence menganggap keduanya sama pentingnya. Printis atau peletak dasar (pionir) aliran Sociological Jurisprudence ini antara lain adalah Eugen Ehrlich dan Roscoe Pound. Eugen Ehrlich melihat ada perbedaan antara hukum positif di satu pihak dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law). Menurutnya, hukum positif baru akan memiliki daya berlaku yang efektif bila berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.210 Di sini jelas bahwa Eugen Ehrlich berbeda pendapat dengan penganut positivisme hukum. Ehrlich ingin membuktikan kebenaran teorinya bahwa titik sentral perkembangan hukum tidak terletak pada Undang-undang, putusan hakim, atau ilmu hukum, melainkan pada masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, sumber dan bentuk hukum yang utama adalah kebiasaan. Hanya sayangnya, seperti dikatakan oleh

G.W. Paton, A Text-book of Jurisprudence, 2nd.ed., Oxford, University Press, 1951, hlm., 17 – 21. Bandingkan, Purnadi Purbacaraka dan Chidir Ali, Disiplin Hukum, Cetakan ke-4, CV. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hal; Lihat pula, Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, Gramedia, Jakarta, 1995, hlm., 178. 210 Lily Rasjidi., Op.cit, hlm., 55. 208 209

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Friedman211, bahwa Ehrlich sendiri pada akhirnya justru meragukan posisi kebiasaan ini sebagai sumber dan bentuk hukum pada masyarkat modern. Critical Legal Theory dari W. Friedman atas pendirian Ehrlich demikian itu adalah sejalan dengan perkembangan masyarakat internasional kontemporer, yang menganggap bahwa hukum kebiasaan (custom) sebagai sumber utama hukum (internasional) sudah digantikan oleh perjanjian internasional (convention or treaty). Sehubungan dengan itu, ada beberapa faktor yang mempengaruhi peranan kebiasaan sebagai sumber hukum utama212 yakni : (1) Adanya pergeseran sumber hukum internasional yang utama custom menjadi convention atau treaties; (2) Materi yang diatur oleh hukum internasional semakin lama semakin banyak yang menyangkut social ekonomis di samping soal politis; (3) Tendensi hukum internasional dewasa ini lebih berorientasi ke arah mencegah konflik bersenjata daripada mengatur masalah pertikaian bersenjata itu sendiri. Bergesernya pengutamaan sumber hukum (internasional) dari customary menjadi convention, treaty, agreement ataupun contract, cukup beralasan, sebab masyarakat modern yang serba kompleks dewasa ini, di samping tetap menginginkan lebih terjaminnya kepastian hukum karena dibuat dalam bentuk tertulis, juga melalui perjanjian, persetujuan ataupun kontrak (tertulis) yang berfungsi sebagai 213: (a) Merumuskan/menyatakan (declare) atau menguatkan kembali (confirm or restate) aturan hukum internasional yang sudah ada (the existing rules of international law); (b) Mengubah/ menyempurnakan (modifiy) ataupun menghapuskan (abolish) kaidahkaidah hukum internasional yang sudah ada, untuk mengatur tindakan-tindakan yang akan datang (for regulating future conducts); (c) Membentuk kaidah-kaidah hukum internasional yang baru sama sekali yang belum ada sebelumnya. Kembali kepada ajaran Roscoe Pound, sebagaimana dinyatakan oleh Soerjono Soekanto214, bahwa Pound dapat dipandang sebagai pelopor Ilmu Hukum Sosiologis yang memberikan dan mengembangkan konsep-konsep baru dalam mempelajari hukum dalam masyarakat. Perihal apa yang diberikan dan konsep-konsep baru apa yang dikembangkan, dapat ditelusuri pada tulisan Roscoe Pound dalam bukunya “The Scope and Purpose of The Sociological Jurisprudence”. Dalam hubungan ini, Satjipto Rahardjo215, menyebutkan : Salah satu ciri yang menonjol dari hukum pada masyarakat modern adalah penggunaannya secara sadar oleh masyarakatnya. Di sini hukum tidak hanya dipakai untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat dalam masyarakat, melainkan juga untuk mengarahkannya kepada tujuan-tujuan yang dikehendaki, menghapuskan kebiasaan yang dipandangnya tidak sesuai lagi, menciptakan pola-pola kelakuan baru dan sebagainya. Inilah yang disebut sebagai pandangan modern tentang hukum itu yang menjurus kepada penggunaan hukum sebagai suatu instrumen”. 211

W. Friedman, Teori dan Filsafat Hukum dan Masalah-masalah Kontemporer, terjemahan M. Arifin, CV. Rajawali Press, Jakarta, 1990, hlm.104. 212 Baca, Syahmin AK., Hukum Internasional Publik, Jilid 1, penerbit: PT.Binacipta, Bandung, 1992, hlm., 35. 213 Syahmin AK., Ibid., hlm., 78. 214 Soerjono Soekanto., Op.cit., hlm., 30. 215 Satjipto Rahardjo, Op.cit., hlm. 168.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Melalui analisis singkat tentang Sociological Jurisprudence dari Eugen Ehrlich dan Roscoe Pound di atas, dapat disimpulkan bahwa Ilmu Hukum Sosiologis ini melakukan studi terhadap efektivitas hukum, dampak hukum, struktur hukum, identifikasi hukum, serta sejarah hukum dan perbandingan hukum, dengan menggunakan konsep hukum sebagai lembaga dan doktrin, dan terutama bagi Eugen Ehrlich, hukum dipandang sebagai kaidah yang dirumuskan dalam undang-undang. 3. 2. Realisme Amerika Sementara Realisme Amerika (Policy Oriented), sebagaimana dikatakan oleh Oliver Wendel Holmes Jr (1841 – 1935), bahwa asumsi-asumsi tentang apa yang akan diputuskan oleh pengadilan itulah yang disebutnya dengan hukum. Pendepat O.W. Holmes ini menggambarkan secara tepat pandangan Realisme Amerika yang pragmatis.216 Perlu diingat, bahwa pendekatan pragmatis ini tidak percaya pada bekerjanya hukum menurut ketentuan-ketentuan hukum di atas kertas. Hukum bekerja mengikuti peristiwa-peristiwa konkret yang timbul. Oleh karena itu dalil-dalil hukum yang universal harus diganti dengan logika yang fleksibel dan eksperimental sifatnya. Hukum pun tidak mungkin bekerja menurut disiplinnya sendiri. Perlu ada pendekatan yang interdisipliner dengan memanfaatkan ilmu-ilmu lain seperti ekonomi, sosiologi, antropologi dan kriminologi. Melalui penyelidikan terhadap faktor-faktor sosial berdasarkan pendekatan tersebut dapat disinkronkan antara apa yang dikehendaki hukum dan realita kehidupan sosial. Semua ini diarahkan agar hukum dapat bekerja secara lebih efektif. Sumber hukum utama aliran ini adalah putusan hakim (all the law is judgemade-law), semua yang dimaksud hukum adalah putusan hakim. Hakim lebih sebagai penemu dan pembuat hukum daripada mengandalkan hukum-undang-undang buatan lembaga pembuat undang-undang. Pada pokoknya pendekatan kaum realis yang di Eropa Kontinental antara lain dipelopori oleh Karl N. Llewellyn (1893-1962), dan di Amerika dipelopori oleh Mc Dougal, sebagaimana dikutif oleh Satjipto Rahardjo217 antara lain dinyatakan : 1. Hukum adalah alat untuk mencapai tujuan-tujuan sosial. 2. Hendaknya konsepsi harus menyinggung hukum yang berubah-ubah dan hukum yang diciptakan oleh pengadilan. 3. Masyarakat berubah lebih cepat dari hukum, dan oleh karenanya selalu ada kebutuhan untuk menyelidiki bagaimana hukum itu menghadapi problemaproblema sosial yang ada. 4. Hendaknya hukum itu dinilai dari efektivitasnya dan kemanfaatannya. 5. Guna keperluan studi, sementara harus ada pemisahan antara is dengan ought. Pendekatan pokok aliran realis Amerika seperti telah diutarakan di atas yang diperlukan terhadap hukum internasional menimbulkan gerakan apa yang disebut dengan “The Policy Oriented” yang dipelopori oleh Mc Dougal. Menurut pendekatan Policy Oriented ini, bahwa hokum adalah sebagai sarana untuk mencapai tujuan akhir, 216

Teo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintas Sejarah, Cetakan ke-5, Penerbit: Kanisius, Yogyakarta, 1988, hlm., 175. 217 Satjipto Rahardjo, Op.cit., hlm. 269.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

jadi sebagai sarana untuk menggerakkan masyarakat ke arah tujuan yang telah ditentukan. Dengan perkataan lain, bahwa pendekatan secara policy oriented ini lebih menekankan pada hukum internasional yang ada (is). Ketimbang seharusnya ada (ought). Hal lain yang menonjol dari pendekatan policy oriented ialah penekanannya pada proses pembentukan hukum (internasional). Dalam hukum internasional ini harus diperhatikan seluruh proses penguasa dalam menentukan keputusan pada percaturan dunia, dan proses di mana penguasa dan pengawas bersatu untuk penerapannya. Dengan demikian, penekanannya tidak hanya pada peraturannya sendiri atau penerapannya sendiri, melainkan kedua-keduanya. Demikian juga bukan pada penguasa (authority) sendiri atau pada pengawasan (control) sendiri, tetapi baik pada penguasa maupun pada pengawas. Meskipun demikian, sayangnya bila kita mengkaji secara seksama mengenai penerapan Policy Oriented ini dalam bidang hukum internasional --tentunya melalui Optic Critical Legal Study—maka kita akan menemukan kelemahannya, yaitu pada prinsipnya pendekatan Policy Oriented membahas terlalu jauh dan berakhir dengan menyamakan hukum internasional dengan keseluruhan proses sosial dan politik dunia. B. Hukum Nasional Sebagai Sarana Pembangunan Masyarakat Nasional Mochtar Kusumaatmadja,218 dalam tulisannya “Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional”, menyatakan bahwa: “Pembangunan di sini tentunya yang dimaksudkan adalah pembangun an dalam arti luas yang meliputi segala bidang kehidupan masyarakat. Masyarakat yang sedang membangun bercirikan perubahan dan peranan hukum dalam pembangunan adalah untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan teratur. Karena baik perubahan maupun ketertiban (atau keteraturan) merupakan tujuan kembar daripada masyarakat yang sedang membangun, maka hukum menjadi alat yang tidak dapat diabaikan dalam proses pembangunan. Dalam proses pembangunan itu peranan hukum adalah sebagai sarana pembangun an masyarakat”.

Pendekatan positivisme atas hukum sebagai sarana pembangunan masyarakat, dalam proses pembangunan di mana hukum sebagai sarana penting untuk memelihara ketertiban, maka hukum harus dibina dan dikembangkan. Dalam proses pembaharuan hukum di Indonesia lebih ditonjolkan perundang-undangan, walaupun yurisprudensi juga memegang peranan.219 Dari kenyataan di atas jelaslah bahwa dalam pembaharuan hukum di Indonesia, lebih ditekankan pada bentuk yang tertulis. Ini jelas merupakan pengaruh dari aliran positivisme. Sejalan dengan pendirian penulis seperti telah diutarakan di atas Sri Setianingsih Suwardi220, menegaskan bahwa hukum dalam bentuknya yang tertulis ini memberikan keuntungan-keuntungan sebagai berikut: 1. Lebih ada kepastian akan adanya stabilitas dan ketertiban; 2. Dengan tertulis maka akan lebih tegas apa yang dimaksudkan; 3. Walaupun dalam bentuk tertulis maka harus mencerminkan hukum yang sesuai dengan nilai (rasa keadilan) dalam masyarakat. Pembaharuan masyarakat dengan cara pembaharuan hukum terutama melalui perundang-undangan dan dipakai sebagai pedoman penentuan prioritas adalah perundang-undangan yang menunjang usaha pembangunan. Proses pembentukan 218

Mochtar Kusumaatmadja., Op.cit., hlm., 3. Mochtar Kusumaatmadja, Ibid, hlm.9. 220 Sri Setianingsih Suwardi, “Hukum Internasional sebagai Sarana Pembangunan Masyarakat Internasional” , dalam Hukum dan Pembangunan No. 4 Thn xxvi, Edisi:Agustus 1996, hlm., 287. 219

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

undang-undang harus dapat menampung semua yang erat hubungannya dengan masalah yang diatur dalam undang-undang itu merupakan hukum yang efektif. Jadi, jelaslah bahwa pembuat peraturan dan perundang-undangan pada masyarakat yang sedang membangun harus mengetahui interaksi antara hukum dan faktor-faktor lain dalam perkembangan masyarakat, misalnya faktor ekonomi dan sosial. Dengan demikian harus diadakan analisis fungsional dari sistem hukum sebagai keseluruhannya. Akan tetapi Mochtar Kusumaatmadja sangat menyayangkan bahwa ada banyak kesulitan yang dihadapi dalam perkembangan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat yang dijalankan secara berencana221 : (1) Sukarnya menentukan tujuan dari perkembangan hukum (pembaharuan); (2) Sedikitnya data empirik yang dapat digunakan untuk mengadakan suatu analisis secara deskriptif dan prediktif; (3) Sukarnya mengadakan/mencari tolok ukur yang obyektif untuk mengukur berhasil-tidaknya usaha pembaharuan hukum. Dengan kesulitan-kesulitan tersebut, menyebabkan pemilihan kebijakan perkembangan hukum dilakukan bukan atas alas an rasional. Meskipun adanya kesukaran-kesukaran demikian itu, tetapi pembangunan harus dan –kadang-kadang— perubahan tersebut merupakan perubahan yang mendasar, tetapi dalam gerakan yang harus tetap terpeliharanya ketertiban. Oleh karena itu, hukum sebagai sarana yang penting dalam memelihara ketertiban harus dibina dan dikembangkan, sehingga dapat memberikan gerak bagi perubahan tadi. Bagi Indonesia, konsepsi hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat haruslah merupakan landasan kebijaksanaan hukum, dan harus dirumuskan secara resmi, dan perumusan resmi ini harus pula merupakan pengalaman masyarakat dan bangsa Indonesia. Menurut Mochtar Kusuma- atmadja222, fungsi hukum dalam pembangunan nasional yang berfungsi sebagai sarana pembaharuan atau sarana pembangunan dapat diketemukan pokok-pokok pikirannya sebagai berikut: “… hukum merupakan sarana pembangunan masyarakat didasarkan atas anggapan bahwa keteraturan atau ketertiban dalam usaha pembangunan atau pembaharuan itu merupakan suatu yang diinginkan atau bahkan dipandang (mutlak) perlu. Anggapan lain yang terkandung dalam konsepsi hukum sebagai sarana pembaharuan adalah bahwa hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaharuan. Kedua fungsi tersebut diharapkan dapat dilakukan oleh hukum di samping fungsinya yang tradisional, yakni menjamin adanya kepastian dan ketertiban”. Dengan demikian, perubahan yang teratur melalui prosedur hukum, baik ia berwujud perundang-undangan atau keputusan badan peradilan lebih baik daripada perubahan yang tak teratur yang menggunakan kekerasan semata-mata. Oleh karena itu dalam mengidentifikasi permasalahan hukum yang perlu mendapatkan prioritas perundang-undangan adalah:

221 222

Mochtar Kusumaatmadja, Op.cit., hlm. 4-5. Mochtar Kusumaatmadja, Ibid, hlm., 13.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

1. Masalah-masalah yang langsung menyangkut kehidupan pribadi seseorang dan erat kaitannya dengan kehidupan budaya dan spiritual masyarakat; 2. Masalah-masalah yang bertalian erat dengan masyarakat dan kemajuan pada umumnya bersifat “netral” -–bidang-bidang netral yang dimaksudkan disini, misalnya: hukum perseroan, hukum kontrak (perikatan), dan hukum lalu lintas (darat, air dan udara) lebih mudah ditangani— dilihat dari sudut kebudayaan. Sehubungan dengan di atas, ternyata pengaruh Mazhab Sejarah pada pemikiran hukum dalam pembangunan adalah bahwa hukum sebagai sarana pembangunan haruslah tidak perlu adanya pertentangan antara maksud mengadakan pembaharuan hukum melalui perundang-undangan dengan penyaluran nilai-nilai atau aspirasi yang hidup dalam masyarakat, dianut oleh pemerintah Indonesia. Sikap demikian dapat dilihat dalam menjalankan kebijaksanaannya di bidang hukum sebagaimana tercantum dalam GBHN. Dasar pokok hukum nasional Republik Indonesia ialah Pancasila. Hal ini sampai sekarang dianut dan dianggap tepat, karena merupakan pencerminan jiwa, pandangan hidup dan cara berpikir bangsa. Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa Indonesia sejak dulu. Pengaruh Mazhab Sejarah ini sangat besar di Indonesia, terutama dalam mempertahankan Hukum Adat sebagai pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan (asli) Indonesia. Hukum Adat sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia yang berakar pada Pancasila, karena itu ia mampu bertahan selama masa kolonial Belanda.223 Pluralisme dalam konsep modernisasi juga mempengaruhi pola pikir dalam kehidupan beragama, organisasi dan sosial masyarakat, kebijakan negara juga mempengaruhi pola kehidupan beragama, hak asasi manusia, persatuan dan kesatuan, organisasi serta kesejahteraan masyarakat. Politik hukum adalah bagian dari ilmu hukum, yang membahas perubahan hukum hukum yang berlaku (ius constitutum) menjadi hukum yang seharusnya (ius constituendum) untuk memenuhi perubahan kehidupan dalam masyarakat, adapun politik hukum sebagai teknik adalah memilih dan menentukan cara dan sarana untuk mencapai tujuan kehidupan masyarakat yang telah dipilih dan ditentukan oleh politik sebagai etik tersebut224. Pluralisme agama, kebudayaan dan suku mewarnai Indonesia secara keseluruhan, hal ini juga tidak lepas dari peran Pancasila sebagai pemersatu dengan asas Kebhineka Tunggal Ika antara masyarakat Indonesia dalam kehidupan seharihari. Pemerintah dengan produk hukumnya melalui politik hukum Dengan pemberlakuan Inpres No. 14/ 1967 pada masa itu diskriminatif terhadap Etnis Tiong Hoa sangat jelas, dengan membatasi kebebasan beragama, melarang bebas semua kegiatan keagamaan yang berhubungan dengan Konghucu, merubah tempat ibadah Klenteng dengan merubah ke Vihara (sebenarnya adalah tempat ibadah umat Budha). Pembatasan kegiatan kegamaan juga diantisipasi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 156a dan Pasal 169, serta Undang-Undang No.1 PNPS/1965 223

Soebekti, Beberapa Pemikiran Mengenai Sistem Hukum Nasional Yang Akan Datang, Hukum dan Pembangunan No.4, Thn ke-ix, Edisi: Juli 1979, hlm., 358. 224 Abdul Latif dan Hasbi Ali, Politik Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm 8-9

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Berakhirnya larangan terhadap pembatasan ruang gerak umat Khonghucu berakhir pada tahun 2000 silam dengan dikeluarkannya Keppres Nomor: 6 Tahun 2000 tentang pengakuan Khonghucu sebagai agama oleh negara melalui presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Antara agamawan dan politis seharusnya membuat garis perbedaan yang besar antara memberikan toleransi225 dan mengakui kebenaran suatu agama. Jika seorang penguasa yakin bahwa terdapat kebolehan untuk menjalankan banyak agama di negaranya, maka agama tersebut perlulah untuk memperkuat toleransi di antara agama itu sendiri. Itulah prinsip toleransi kehidupan beragama. Dengan demikian hukum perlu memberikan tuntutan dan aturan terhadap berbagai agama, bukan hanya agar agama tidak turut campur dengan kehidupan bernegara melainkan juga hubungan toleransi agar agama-agama itu tidak menimbulkan kekacauan dan gangguan di antara mereka sendiri. Indonesia adalah negara yang relegius. Religiusitas bangsa Indonesia ini, secara filosofis merupakan nilai fundamental yang meneguhkan eksistensi negara sebagai sebuah negara yang berketuhanan Yang Maha Esa. Prinsip kebebasan yang beradab dan berperikemanusian merupakan wujud Ketuhanan Yang Maha Esa adalah dasar kerohanian bangsa dan menjadi penopang utama bagi persatuan dan kesatuan bangsa dalam rangka menjamin keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang pluralis226 terdiri dari berbagai etnis, suku, ras, bahasa, profesi, kultur dan agama. Era globalisasi ini negara-negara yang sedang mengembangkan proses demokratisasi akan mendapat tantangan yang sangat hebat, terutama acaman terorisme yang menyalahgunakan kesucian agama, pengembangan demokrasi harus diperhatikan tentang bagaimana kondisi ekonomi dalam suatu negara. Negara modern yang melakukan pembaharuan dalam menegakkan demokrasi niscaya mengembangkan prinsip konstitusionalisme, pengembangan prinsip ini adalah yang sangat efektif, terutama dalam rangka mengatur dan membatasi pemerintahan negara melalui undang-undang. Basis pokok adalah kesempatan umum atau persetujuan (consensus) diantara mayoritas rakyat, mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara227. Dengan demikian, jelaslah bahwa untuk mengadakan pembaharuan hukum dalam rangka pembangunan tidak perlu ada pertentangan antara maksud untuk mengadakan pembaharuan hukum melalui perundang-undangan dan penyaluran nilainilai atau aspirasi yang hidup dalam masyarakat Indonesia. 225

Lihat Montesquieu,The Spirit of Laws, dasar-dasar ilmu hukum dan ilmu politik, Nusa Media, Bandung. Diterjemahkan dari karya Montesquieu, University of California Pres 1977.Karena yang sering kali terjadi adalah penzaliman atas agama-agama yang memiliki semangat besar untuk disebarkan ditempat tertentu (karena agama yang dapat memberikan toleranasi pada agama lainnya tidak terlalu memikirkan tentang penyebaran agamanya sendiri), maka harus ada hukum sipil yang baik, jika negara sudah cukup puas dengan agama yang tidak menghalangi pendirian agama lainnya. Maka, inilah prinsip pokok undang-undang politik suatu agama : jika negara memiliki kebebasan untuk menerima dan menolak agama baru, sebaiknya agama baru tersebut di tolak. Kalaupun diterima sebaiknya diberikan toleransi. hlm 332. 226 Liza Wahyunita dan Abd. Qadir Muslim, 2010. Memburu Akar Pluralisme Agama. Malang UINMALIKI PRESS. hlm 29 227 Jimly Asshiddiqie, 2005. Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia, Jakarta. Penerbit: Konstitusi Press. hlm 25.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

C. Politik Hukum Sebagai Sarana Pembangunan Masyarakat Nasional dan Internasional Sebagaimana telah diutarakan di muka, bahwa pengertian hukum dalam ‘hukum sebagai sarana pembangunan masyarakat’, termasuk di dalamnya hukum internasional. Oleh karenanya hukum internasional berfungsi sebagai social engineering bagi pembangunan masyarakat internasional tidak perlu diragukan lagi. Dalam Kata Pengantar buku penulis: Hukum Internasional Publik,228 dikatakan : 1. Pendekatan hukum internasional modern melihat permasalahannya dari dua sudut pandangan yang berbeda, yaitu pendekatan static dan pendekatan dinamic. Pendekatan static, melihat dari segi teoritik-doktrina serta interpretasi yang diciptakan dari sejarah pembentukannya, dan segala perangkat yang berkaitan dengan permasalahan tersebut. Sedangkan pendekatan dinamik, melihat permasalahan dari segi bagaimana suatu konsep berkembang dari bentuk asalnya menjadi bentuk masa kini, yang sesuai dengan dinamika perkembangan dan kebutuhan masyarakat internasional kontemporer. Karenanya pendekatan dinamik ini memberi ciri dan bentuk baru terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat internasional masa kini dalam perkembangannya menuju suatu perangkat kaidah hukum internasional ke depan. 2. Berbagai hal tentunya erat hubungannya dengan perkembangan demikian, terutama yang menonjol pada masa kini, baik perkembangan Iptek maupun perkembangan aspirasi nasional, regional maupun internasional. Kesemua itu menuju kepada suatu kaidah yang akan meliputi kepentingan masyarakat intedrnasional ke depan. Dalam pada itu, masalahnya adalah dapatkah hukum internasional berperan sebagai sarana pembangunan masyarakat internasional? Menurut data yang ada pada penulis, kini tercatat 193229 negara yang telah menjadi anggota masyarakat interfnasional (anggota PBB). Permasalahan yang dihadapi oleh bagian terbesar negara-negara itu dalam hubungannya dengan anggota masyarakat internasional lainnya adalah mereka dihadapkan pada kenyataan yang sulit, bahwa hukum internasional yang mengatur hubungan antar mereka itu adalah kalau tidak hukum yang bersifat European Centries, tentulah hukum yang berwarnai kapitalis-Amerika. Untuk masa kini kenyataan itu tidak mudah untuk mereka terima begitu saja. Meskipun di lain pihak mereka tidak bermaksud untuk menolak hukum internasional konvensional itu seluruhnya, tetapi mereka lebih cenderung menolak hukum internasional yang tidak sesuai dengan kedudukannya sebagai negara merdeka, berdaulat dan sama derajat. Perubahan-perubahan yang mendasar dan mengakibatkan terjadinya perombakan struktur hukum internasional itu sudah amat mendesak adanya pengaturan-pengaturan internasional yang merupakan harmonisasi pelbagai 228

Syahmin AK., Hukum Internasional Publik (Dalam Kerangka Studi Analitis), Jilid 1, Penerbit: PT. Binacipta, Bandung, 1992, hlm. 1. 229 Hingga Juli 2011, telah bergabung 193 negara ke dalam lembaga internasional Perserikatan Bangsabangsa (PBB), diakses pada tanggal 8 Desember 2012.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

kepentingan dalam masyarakat internasional. Penataan aturan-aturan internasional demikian dapat dituangkan dalam bentuk persetujuan, kontrak atau perjanjianperjanjian internasional, baik secara bilateral maupun multilateral, bahkan dapat bersifat regional dan universal melalui jalur “law making treaty”. Terhadap perkembangan-perkembangan baru dalam masyarakat internasional demikian, mendorong perumusan-perumusan hukum yang dituangkan dalam bentuk konvensi-konvensi internasional, sehingga ter-bentuklah hukum internasional yang mengatur masalah-masalah yang bersifat progressive development. Konsep hukum ini adalah sesuai dengan apa yang telah dikemukakan oleh Mazhab Sejarah, yang menitik-beratkan pada hukum yang tumbuh dan berkembang selaras dengan perkembangan sejarah masyarakat. Jika perkembangan dalam hukum internasional ini kita tinjau dari sudut pandangan Roscoe Pound (social engineering), maka jelas bahwa perkembanganperkembangan dalam hukum internasional dengan progressive development-nya merupakan hukum yang diperlukan oleh masyarakat internasional. Umpamanya Deklarasi Universal tentang HAM,dan Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982, di mana konsep Wawasan Nusantara yang telah diperjuangkan melalui konferensi hukum laut ke-III itu telah diterima sebagai kaidah hukum internasional. Juga termasuk GATS, GATT ataupun WTO. Melalui organisasi-organisasi internasional baik yang bersifat universal (seperti PBB) maupun melalui organisasi regional (seperti ASEAN, OKI, OPEC, dll.), negara-negara saling membicarakan permasalahannya, kepentingan-kepentingan mereka yang berbeda-beda, sehingga menghasilkan hukum internasional yang diterima oleh mereka. Hal itu jelas merupakan suatu usaha untuk menjembatani kepentingan anggota masyarakat internasional yang berbeda-beda dalam bidang ekonomi, kemanusiaan dan perdagangan dunia, serta lingkungan hidup. D. Penutup Berangkat dari uraian-uraian dan paparan di atas, akhirnya dapat diraih kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut: Masyarakat internasional yang berfungsi sebagai landasan sosiologis hukum internasional bukanlah merupakan masyarakat yang statis, tetapi bersifat dinamis. Oleh karenanya perkembangan-perkembangan baru masyarakat internasional ini membutuhkan adanya penataan baru dalam bidang hukum internasional. Bentuk baru hukum internasional yang menggeser peranan hukum kebiasaan internasional sebagai sumber utamanya berupa konvensi-konvensi atau perjanjian masyarakat internasional, merupakan penuangan perkembangan-perkembangan baru dalam masyarakat internasionl dalam wadah hukum. Hal ini kita kenal sebagai progressive development, yang sekaligus merupakan indikasi bahwa hukum internasional sebagai the living law of the peoples, bukan merupakan black letter law. Menyadari bahwa masing-masing negara mempunyai hukum nasional sendiri yang sesuai dengan jiwanya, memang tidak ada hukum yang berlaku secara universal, namun setidak-tidaknya ada titik taut yang sama dalam memenuhi kebutuhan untuk

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

saling berhubungan dengan anggota lain dalam masyarakat internasional, maka antar mereka saling mengadakan harmonisasi hukum nasionalnya masing-masing.

Daftar Pustaka Latif, Abdul dan Ali, Hasbi. Politik Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2010. Black, Donald., The Behavior of Law, New York, Academic Press, 1976. G.W. Paton, A Text-book of Jurisprudence, 2nd.ed., Oxford, University Press, 1951. Huijbers, Theo., Filsafat Hukum Dalam Lintas Sejarah, Cetakan ke-5, Yogyakarta: Kanisius, 1988. Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan konstitusionalisme Indonesia, Jakarta. Penerbit: Konstitusi Press. 2005. Rasjidi, Lily. Filsafat Hukum: Apakah Hukum itu ?, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991. Rasjidi, Lily dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993. Montesquieu,The Spirit of Laws, dasar-dasar ilmu hukum dan ilmu politik, Nusa Media, Bandung. Diterjemahkan dari karya Montesquieu, University of California Pres 1977. Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Bandung: PT. Binacipta, 1975. -----------., Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Hukum, Bandung: PT. Binacipta, 1976. Soebekti, Beberapa Pemikiran Mengenai Sistem Hukum Nasional Yang Akan Datang, Hukum dan Pembangunan No.4 Thn ke-IX, Edisi: Juli 1979. Sri Setianingsih, Hukum Internasional dan Hukum Nasional Sebagai Sarana Pembangunan Masyarakat Internasional, Hukum dan Pembangunan No. 4 Thn ke-XXVI, Edisi: Agustus 1996. Syahmin AK., Hukum Internasional Publik, Jilid 1, Bandung: Binacipta, 1992. -----------., Hukum Internasional Publik, Jilid 4, Bandung: PT.Binacipta, 1997. Unger, Roberto Mangabeira, Law in Modern Society, Toward A Criticism of Social Theory, New York, Free Press, 1986. W. Friedman, Teori Filsafat Hukum dan Masalah-masalah Kontemporer, Terjemahan M. Arifin, Jakarta: CV Rajawali Press, 1990.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Ombudsman dan Penegakan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik _______________________________________________________________________ Agus Triono A. Pendahuluan Negara Republik Indonesia merupakan Negara yang bertipe welfare state atau Negara kesejahteraan sebagaimana terlihat dalam tujuan negara yang terdapat dalam alinea ke empat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Salah satu upaya dalam rangka mewujudkan tujuan tersebut adalah melalui penyelenggaraan Negara dan pemerintahan dengan sebaik-baiknya. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) melalui upaya penegakan hukum dan penegakan asas-asas pemerintahan yang baik telah menjadi cita-cita bersama. Salah satu indikator yang dapat menunjukkan bahwa pemerintahan yang baik telah terwujud adalah manakala telah terselenggaranya pelayanan publik kepada masyarakat dengan baik sesuai dengan prinsip good governance. Pelayanan publik disebut telah menerapkan prinsip “good governance” bila telah menganut prinsip pelayanan yang berkualitas sesuai dengan norma, aturan, dan undang-undang yang berlaku. Secara umum bisa dikatakan bahwa pelayanan publik yang baik adalah pelayanan yang menempatkan hukum sebagai penglima, yang diselenggarakan secara terbuka, dimana setiap warga masyarakat mendapatkan perlakuan yang sama atas jenis pelayanan yang sama, yang proses maupun hasil pelayanannya bisa dipertanggungjawabkan.230 Pengaturan mengenai bagaimana pemerintah melaksanakan tugas dan tanggung jawab pemerintahan dengan baik di Indonesia kemudian dituangkan dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Pada BAB III Pasal 3 dinyatakan ada tujuh asas penyelenggaraan negara yaitu: Asas Kepastian Hukum; Asas Tertib Penyelenggaraan Negara; Asas Kepentingan Umum; Asas Keterbukaan; Asas Proporsionalitas; Asas Profesionalitas; dan Asas Akuntabilitas. Regulasi ini dibuat sebagai wujud komitmen pemerintah terhadap tuntutan reformasi yang menghendaki adanya perubahan dan perbaikan dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Hakikat reformasi adalah to make major changes atau to improve, melakukan perubahan-perubahan besar dalam upaya perbaikan. Perubahan yang dicanangkan tersebut mencakup nilai-nilai dan aplikasi nilai dasar keadilan, kesejahteraan, ketertiban, demokrasi, transparansi, penegakan Hak Asasi Manusia.231 Dalam rangka mengawal reformasi terutama dalam penyelenggaraan Negara dan pemerintahan tersebut agar tetap berjalan sesuai dengan peraturan perundang230

Supriyono, Melembagakan Bisnis Beretika, Sebuah Prespektif Empiris, LOS DIY, Yogyakarta, 2008, hlm. 2 231 Antonius Sujata, Reformasi dalam Penegakan Hukum, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2000, hlm. 69

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

undangan yang ada dan menurut asas-asas penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang baik, dibentuklah lembaga pengawasan. Pembentukan lembaga pengawasan Ombudsman pun menjadi sangat penting karena lembaga Ombudsman merupakan lembaga pengawas eksternal dan mandiri yang mempunyai fungsi mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik agar tidak terjadi maladministrasi dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik. Apalagi di era otonomi daerah yang memberikan kewenangan seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan di daerah-nya, ditambah dengan adanya ruang gerak yang semakin bebas melahirkan pemerintahan bebas (vrij bestuur) dengan disertai ruang kebijakan yang longgar berupa freies ermessen232. Oleh karenanya melalui tulisan ini akan dibahas mengenai bagaimana pengaturan dan peran Ombudsman dalam penegakan asas-asas pemerintahan yang baik. Pengkajian permasalahan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif (Dogmatic Research) dengan pendekatan peraundang-undangan (Statue approach). B. Pembahasan 1. Pengaturan Ombudsman di Indonesia Pembentukan Lembaga Ombudsman dilatarbelakangi alasan bahwa fungsi dan tugas penyelenggara negara pada hakekatnya adalah mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat dan masyarakat memiliki hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil oleh penyelenggara negara.233 Lembaga pengawasan Ombudsman sebagai suatu lembaga pengawas eksternal dan mandiri pada awalnya dibentuk melalui Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional dan kemudian baru pada tahun 2008 dikuatkan landasan hukumnya dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Ombudsman. Ombudsman adalah lembaga negara yang mempunyai fungsi mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Penyelenggara negara dan Pemerintahan baik di pusat maupun di daerah termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu.234 Selanjutnya Ombudsman diberi kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.235 Secara normatif, dasar hukum yang melandasi terbentuknya Ombudsman di Indonesia terdapat pada beberapa ketentuan yaitu: Ni’matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi, dan Judicial Review, UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 20 Antonius Sujata, Laporan Tahunan 2009, ORI, Jakarta 2009, hlm. 9 234 UU No 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman RI, Pasal 6 235 Ibid, Pasal 1 angka (1) 232 233

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

a. Undang-Undang No.25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Pada lampiran Program pembangunan Nasional tahun 2000-2004, Pembangunan Hukum BAB III Pembangunan Hukum, terdapat beberapa argumentasi yang mendasar berkaitan dengan kebutuhan untuk mendirikan lembaga Ombudsman Nasional. Pada matrik Program Nasional pembentukan peraturan perundangan secara eksplisit mencantumkan bahwa ditetapkannya Undang-Undang tentang Ombudsman merupakan indikator kerja Kebijakan Program Pembangunan Hukum tahun 1999-2004. b. Ketetapan MPR No: VIII/MPR/2001 Pada Sidang Tahunan tahun 2001 Majelis Permusyawaratan Rakyat telah menetapkan Ketetapan MPR No: VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yakni pada Pasal 2 ayat (6) yang berbunyi: “Membentuk Undang-Undang beserta peraturan pelaksananya untuk pencegahan korupsi yang muatannya meliputi: 1) Komisi Pemberantasan tindak Pidana korupasi; 2) Perlindungan Saksi dan Korban; 3) Kejahatan Terorganisasi; 4) Kebebasan mendapatkan informasi; 5) Etika Pemerintahan; 6) Kejahatan Pencucian Uang; 7) Ombudsman.” c. Keppres No. 44 Tahun 2000 tentang Pembentukan Komisi Ombudsman Nasional Keppres No. 44 Tahun 2000 merupakan dasar hukum pertama bagi operasionalisasi Ombudsman di Indonesia. Meskipun pengaturannya masih bersifat umum dan terbatas kewenangannya, namun berlakunya Keppres ini merupakan titik awal berdirinya pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia. Dalam Keppres No 44 Tahun 2000 BAB II Pasal 4 disebutkan: “Untuk mewujudkan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Ombudsman Nasional mempunyai tugas : 1) Menyebarluaskan pemahaman mengenai lembaga Ombudsman; 2) Melakukan koordinasi dan atau kerjasama dengan Instansi Pemerintah, Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat, Para Ahli, Praktisi, Organisasi Profesi dan lain-lain; 3) Melakukan langkah untuk menindaklanjuti laporan atau informasi mengenai terjadinya penyimpangan oleh penyelenggara negara dalam melaksanakan tugasnya maupun dalam memberikan pelayanan umum; 4) Mempersiapkan konsep Rancangan Undang-undang tentang Ombudsman Nasional. d. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia Pengaturan mengenai Ombudsman dan pelembagaannya di Indonesia selanjutnya dipertegas dan diperkuat lagi dengan dasar hukum berupa undang-undang. Ketentuan ini berimplkasi pada status kelembagaan Ombudsman sebagai lembaga pengawasan pelayanan publik. Ketentuan ini merubah status

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

kelembagaan Ombudsman dari executive Ombudsman menjadi parliamentary Ombudsman, sehingga terpenuhilah unsur sebagai pengawas eksternal yakni keberadaan lembaga pengawasan di luar lembaga yang diawasi, maka independensi lembaga Ombudsman lebih terjamin. e. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Dalam UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik secara umum dinyatakan bahwa penyelenggaraan pelayanan publik diawasi oleh instansi yang bersangkutan dan Ombudsman. Ketentuan ini jelas sekali telah memberikan kewenangan pengawasan kepada lembaga Ombudsman 2. Peran Ombudsman Dalam Penegakan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik Sebagai bagian dari lembaga pengawasan, Ombudsman memiliki beberapa “harapan” dalam mewujudkan good governance: Pertama; Ombudsman Daerah memposisikan masyarakat sebagai aktor dalam tata kelola (governance) pemerintahan daerah. Selama ini masyarakat diposisikan sebagai objek tata kelola pemerintahan daerah. Pola interaksi pemerintah dan masyarakat nyaris tak terbangun dan menghasilkan pola pemerintahan yang tak aspiratif dan sulit dikontrol masyarakat. Ombudsman dapat menembus dinding tersebut dengan membangun partnership (kemitraan) dengan pemerintah. Disinilah akan terbangun checks and balances antara keduanya dalam bentuk yang elegan. Kedua; Ombudsman sebagai lembaga pengawasan ekstern yang menggunakan masyarakat sebagai kekuatan utamanya menjadi harapan paling mutakhir ditengah mandulnya berbagai sistem, mekanisme dan lembaga pengawasan yang ada (khususnya di daerah) saat ini. Kekuatan masyarakat yang otonom sebagai lembaga pengawasan sangat relevan untuk diwujudkan detik ini, seiring dengan semakin menguatnya kekuatan masyarakat sipil pro-demokrasi pasca reformasi.236 Ombudsman menerima laporan dari masyarakat mengenai tindakan maladministrasi yang dilakukan aparat pemerintah melalui proses non administrasi. Akan tetapi laporan pengaduan dan informasi hanya dapat disampaikan kepada Ombudsman, apabila memenuhi syarat-syarat berikut: a. adanya dugaan penyimpangan penyelenggaraan pemerintahan; b. laporan pengaduan hanya berlaku untuk peristiwa, tindakan atau keputusan terlapor dalam tenggang waktu paling lama 5 ( lima) tahun sejak peristiwa, tindakan atau keputusan terjadi atau ditetapkan; c. pelapor harus mencantumkan identitas lengkap yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk atau kartu identitas lainnya yang sah; d. menyampaikan uraian mengenai peristiwa, tindakan, atau keputusan yang dilaporkan, diadukan atau diinformasikan. Dalam hal Ombudsman menolak laporan, hal ini dikarenakan: M.Rifqinizamy Karsayuda, 4 Februari 2008, “KOMISI OMBUDSMAN DAERAH : Sebuah Tawaran Mewujudkan Good Governance di Daerah”, tersedia di website http://rifq1.wordpress.com/2008/02/04/komisi-ombudsman-daerah-sebuah-tawaran-mewujudkan-goodgovernance-di-daerah/, diakses pada tanggal 20 Desember 2012.

236

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

a. b.

c.

d. e. f. g.

ISBN : 978-602-7509-50-4

Pelapor belum pernah menyampaikan keberatan tersebut baik secara lisan maupun secara tertulis kepada pihak yang dilaporkan; Substansi laporan sedang dan telah menjadi objek pemerikaan pengadilan, kecuali laporan tersebut menyangkut tindakan Maladministrasi dalam proses pemeriksaan di pengadilan; Laporan tersebut sedang dalam proses penyelesaian oleh instansi yang dilaporkan dan menurut Ombudsman proses penyelesaiannya masih dalam tenggang waktu yang patut; Pelapor telah memperoleh penyelesaian dari instansi yang dilaporkan; Substansi yang dilaporkan ternyata bukan wewenang Ombudsman; Substansi yang dilaporkan telah diselesaikan dengan cara mediasi dan konsiliaasi oleh Ombudsman berdasarkan kesepakatan para pihak; atau Tidak ditemukan terjadinya Maladministrasi.

Ombudsman akan menindaklanjuti laporan masyarakat apabila laporan tersebut merupakan kewenangannya dan terindikasi maladministrasi. Bentuk-bentuk maladministrasi secara lebih rinci dalam buku Panduan Investigasi untuk Ombudsman Indonesia terdiri dari dua puluh kategori. Dalam hal ini dapat diklafikasikan menjadi enam kelompok berdasarkan kedekatan karakteristik. Kelompok pertama adalah bentuk-bentuk maladministrasi yang terkait dengan ketepatan waktu daam proses pemberian pelayanan umum, terdiri dari tindakan penundaan berlarut, tidak menangani dan melalaikan kewajiban. a. Penundaan Berlarut Dalam proses pemberian pelayananumum kepada masyarkat, seorang pejabat publik secara berkali-kali menunda atau mengulur-ulur waktu tanpa alas an yang jelas dan masuk akal sehingga proses adminstrasi yang sedang dikerjakan menjadi tidak tepat waktu sebagaiana ditentukan (secara patut) mengakibatkan pelayanan umum yang tidak ada kepastian. b. Tidak Menangani Seorang pejabat publik sama sekali tidak melakukan tindakan yang semestinya wajib dilakukan dalam rangka memberikan pelayanan umum kepada masyarakat. c.

Melalaikan Kewajiban Dalam proses pemebrian pelayanan umum, seorang pejabat publik bertindak kurang hati-hati dan tidak mengindahkan apa yang semestinya menjadi kewajiban dan tanggung jawabnya. Kelompok Kedua adalah bentuk-bentuk maladminstrasi yang mencerminkan keberpihakan sehingga menimbulkan rasa ketidakadilan dan diskriminasi. Kelompok ini terdiri dari persekongkolan, kolusi dan neotisme, bertindak tidak adil, dan nyatanyata berpihak. a. Persekongkolan Beberapa pejabat publik yang bersekutu dan turut serta melakukan kejahatan, kecurangan, melawan hukum sehingga masyarkat merasa tidak memperoleh pelayann secara baik. b. Kolusi dan Nepotisme

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Dalam proses pemberian pelayanan umum kepada masyarakat, seorang pejabat publik melakukan tindakan tertentu untuk mengutamakan keluarga/ sanak family, teman dan kolega sendiri tanpa criteria objektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan (tidak akuntabel), baik dalam hal pemberian pelayanan umum maupun untuk dapat duduk di jabatan atau posisi dalam lingkungan pemerintahan. c. Bertindak Tidak Adil Dalam proses pemberian pelayanan umum, seorang pejabat publik melakukan tindakan memihak, melebihi atau mengurangi dari yang sewajarnya sehingga masyarakat memperoleh pelayanan umum tidak sebagaimana mestinya. d. Nyata-nyata Berpihak Dalam proses pemberian pelayanan umum, seorang pejabat publik bertindak berat sebelah dan lebih mementingkan salah satu pihak tanpa memperhatikan ketentuan berlaku sehingga keputusan yang diambil merugikan peihak lainnya. Kelompok ketiga adalah bentuk-bentuk maladministrasi yang lebih mencerminkan sebagai bentuk pelanggaran terhadap hukum dan peraturan perundangan. Kelompok ini terdiri dari pemalsuan, pelanggaran undang-undang, dan perbuatan melawan hukum. a. Pemalsuan Dalam proses pemberian pelayanan umum seorang pejabat publik meniru sesuatu secara tidak sah atau melawan hukum untuk kepentingan menguntungkan diri sendiri, orang laindan/atau kelompok sehingga menyebabkan masyarakat tidak memperoleh pelayanan secara baik. b. Pelanggaran Undang-Undang Dalam proses pemberian pelayanan umum seorang pejabat publik secara sengaja melakukan tindakan menyalahi atau tidak mematuhi ketentuan perundangan yang berlaku sehingga masyarakat tidak memperoleh pelayanan secara baik. c. Perbuatan Melawan Hukum Dalam proses pemberian pelayanan umum, seorang pejabat publik melakukan perbuatan bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dan kepatutan sehingga merugikan masyarakat yang semestinya memperoleh pelayanan umum. Kelompok keempat adalah bentuk-bentuk maladministrasi yang terkait dengan kewenangan/ kompetensi atau ketentuan yang berdampak pada kualitas pelayanan umum pejabat publik kepada masyarakat. Kelompok ini terdiri dari tindakan di luar kompetensi, pejabat yang tidak berkompeten menjalankan tugas, intervensi yang mempengaruhi proses pemberian pelayanan umum, dan tindakan yang menyimpangi prosedur tetap. a. Di luar Kompetensi Dalam proses pemberian pelayanan umum, seorang pejabat publik memutuskan sesuatu yang bukan menjadi wewenangnya sehingga masyarakat tidak memperoleh pelayanan secara baik. b. Tidak Kompeten Dalam proses pemberian pelayanan umum, seorang pejabat publik tidak mampu atau tidak cakap dalam memutuskan sesuatu sehingga pelayanan yang diberikan kepada masyarakat menjadi tidak memadai (tidak cukup baik). c. Intervensi

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Seorang pejabat publikmelakukan campur tangan terhadap kegiatan yang bukan menjadi tugas dan kewenangannya sehingga mempengaruhi proses pemberian pelayanan umum kepada masyarakat. d. Penyimpangan Prosedur Dalam proses pemberian pelayanan umum, seorang pejabat publik tidak mematuhi tahapan kegiatan yang telah ditentukan dan secara patut sehingga masyarakat tidak memperoleh pelayanan umum secara baik. Kelompok kelima adalah bentuk-bentuk maladministrasi yang mencerminkan sikap arogansi seorang pejabat publik dalam proses pemberian pelayanan umum kepada masyarakat. Kelompok ini terdiri dari tindakan sewenang-wenang, penyalahgunaan wewenang, dan tindakan yang tidak layak/tidak patut. a. Bertindak Sewenang-wenang Seorang pejabat publik menggunakan wewenangnya (hak dan kekuasaanuntuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan yang berlaku, menjadikan pelayanan umum tidak dapat diterima secara baik oleh masyarakat. b. Penyalahgunaan Wewenang Seorang pejabat publik menggunkan wewenangnya (hak dan kekuasaan untuk bertindak) untuk keperluan yang tidak sepatutnya sehingga menjadikan pelayanan umum yang diberikan tidak sebagaimana mestinya. c. Bertindak Tidak Layak. Tidak Patut Dalam proses pemberian pelayanan umum, seorang pejabat publik melakukan sesuatau yang tidak wajar, tidak patut dan tidak pantas sehingga masyarakat tidak mendapatkan pelayanan sebagamana mestinya. Kelompok keenam adalah bentuk-bentuk maladminstrasi yang mencerminkan tindakan korupsi secara aktif. Kelompok ini terdiri dari tindakan pemerasan atau permintaan imbalan uang (korupsi), tindakan penguasaan barang orang lain tanpa hak, dan penggelapan barang bukti. a. Permintaan Imbalan Uang/ Korupsi 1) Dalam proses pemberian pelayanan umum, seorang pejabat publik meminta imbalan uang dan sebagainya atas pekerjaan yang sudah semestinya dia lakukan (secara uuma-cuma) karena merupakan tanggung jawabnya. 2) Seorang pejabat publik menggelapkan uang Negara, perusahaan, (Negara), dan sebagainya untuk kepentingan pribadi atau orang lain sehingga menyebakan pelayanan umum tidak dapat diberikan secara baik kepada masyarakat yang memerlukan. b. Penguasaan Tanpa Hak Seorang pejabat publik menguasai sesuatu (yang bukan milik atau kepunyaannya) secara melawan hukum, padahal semestinya sesuatu tersebut menjadi bagian dari kewajiban pelayanan umum yang harus diberikan kepada masyarakat. c. Penggelapan Barang Bukti Seorang pejabat publik terkait dengan proses penegakan hukum telah menggunakan barang, uang dan sebagainya secara tidak sah, yang menjadi bukti suatu perkara. Akibatnya, ketika pihak yang berperkara meminta barang bukti tersebut (misalnya setelah tuduhan tidak terbukti) pejabat publik terkait tidak dapat memenuhi kewajibannya.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Secara umum, penanganan laporan di Ombudsman melewati tahap investigasi, klarifikasi dan/atau mediasi. Beberapa laporan dapat dinyatakan selesai dalam tahap mediasi dimana kedua belah pihak (Pelapor dan Terlapor) bersepakat untuk menyelesaikannya dalam forum mediasi. Sementara penyelesaian beberapa laporan yang lain dapat berujung pada pendapat hukum dan/atau rekomendasi . a. Investigasi Apabila perkara yang dikeluhkan/dilaporkan memiliki keterkaitan yang signifikan dengan perkara lain yang kompleks, maka Ombudsman akan melakukan investigasi. Kegiatan investigasi merupakan upaya untuk mencari dan mengumpulkan data, informasi dan temuan lainnya untuk mengetahui kebenaran, kesalahan atau sebuah fakta. Kasus-kasus yang memerlukan tindakan investigasi biasanya secara garis besar adalah sebagai berikut: 1) Menyangkut masyarakat luas dan ada indikasi kuat tentang adanya pelanggaran asas-asas umum pemerintahan yang baik oleh pihak tertentu yang merugikan masyarakat; 2) Berkaitan dengan penggunaan dana dalam jumlah besar; 3) Menyangkut kebijakan yang tidak adil, tidak transparan dan tidak memihak pada kepentingan masyarakat; 4) Berkaitan dengan peristiwa politik yang menyangkut kepentingan publik; 5) Menimbulkan silang pendapat antar beberapa pihak; 6) Bukti-bukti yang diberikan masyarakat terlalu lemah/minim. b. Klarifikasi. Klarifikasi dilakukan Ombudsman kepada pihak pejabat publik sebagai Terlapor, Pelapor dan pihak lain yang terkait untuk mengetahui kebenaran keluhan dan sekaligus mengetahui tanggapan pihak yang dikeluhkan. Secara umum klarifikasi dilakukan untuk mendapatkan penjelasan yang sebenar-benarnya atas permasalahan yang dikeluhkan. Permintaan klarifikasi Ombudsmandibedakan dalam dua bentuk yakni permitaan klarifikasi secara langung dan permintaan klarifikasi secara tidak langsung. Klarifikasi secara langsung merupakan proses penggalian data dan permintaan penjelasan yang dilakukan secara langsung dengan bertatap muka. Kadangkala permintaan klarifikasi yang dilakukan secara tertulis dari belakang meja masih harus dilengkapi dengan melakukan cross check di lapangan (klarifikasi langsung), demikian juga sebaliknya. Sedangkan klarifikasi secara tidak langsung dilakukan melalui surat resmi. c. Mediasi. Dalam melakukan tindakan untuk menyelesaikan suatu perkara yang di Laporkan masyarakat, dimungkinkan Ombudsman sebagaimana fungsinya dapat melakukan upaya mediasi yaitu dengan mempertemukan Pelapor dengan Terlapor untuk mencari titik temu menyangkut upaya penyelesaian yang terbaik bagi kedua belah pihak. Mediasi ini dilaksanakan sejauh menyangkut penyelesaian perkara yang bisa ditempuh dengan kompromi. d. Rekomendasi.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Produk final dari tindakan Ombudsman secara umum terhadap perbuatan maldaministrasi adalah rekomendasi. Rekomendasi dikeluarkan oleh Ombudsman bertujuan untuk menyelesaikan keluhan masyarakat terhadap penyelenggaraan pelayanan publik dan juga untuk mencegah terjadinya keluhan masyarakat lebih lanjut. Rekomendasi adalah kesimpulan, pendapat, dan saran yang disusun berdasarkan hasil investigasi Ombdusman kepada atasan Terlapor untuk dilaksanakan dan/atau ditindaklanjuti dalam rangka peningkatan mutu penyelenggaraan adminstrasi pemerintahan yang baik.237 Dalam praktek, aplikasi pelaksanaan tugas/fungsi Ombudsman tersebut dituangkan dalam surat yang ditandatangani oleh Ketua Ombudsman kepada instansi terlapor, baik berupa permintaan klarifikasi, pemeriksaan atau penelaahan, disertai saran antara lain untuk mengambil tindakan, dan atau langkah perbaikan maupun permintaan agar menjadi bahan pertimbangan. Semuanya itu pada hakekatnya merupakan rekomendasi. Dengan demikian, rekomendasi tidak lain adalah bagian dari tugas operasional fungsi Ombudsman.238 Ada beberapa jenis rekomendasi yang selama ini lazim dikeluarkan Ombudsman.239 Jenis-jenis tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok. Pertama; rekomendasi yang disusun guna membantu penyelesaian masalah Pelapor, Kedua; rekomendasi yang menyarankan pemberian sanksi guna pembinaan dan efek jera, Ketiga; rekomendasi yang diperuntukkan mencegah agar tidak terjadi tindakan maladminstrasi dan Keempat; rekomendasi untuk mengubah proses atau sistem yang mengakibatkan buruknya kualitas pelayanan umum. 1) Membantu Penyelesaian Masalah Rekomendasi jenis ini memang diformulasikan untuk membantu Pelapor agar masalahnya dapat segera diselesaikan. Materi-materi rekomendasi yang dapat disusun dengan tujuan semata-mata membantu menyelesaikan permasalahan Terlapor adalah sebagai berikut: a) Mempercepat pelayanan; b) Menyampaikan permintaan maaf; c) Mempertimbangkan keputusan; d) Memberikan penjelasan; e) Menjelaskan pertimbangan; f) Memberikan keringanan; g) Memberikan ganti rugi. 2) Rekomendasi Pemberian Sanksi Dalam hal tindakan pejabat publik yang sewenang-wenang, koruptif dan sebagainya, Ombudsman dapat memberikan rekomendasi agar Terlapor diberikan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku, atau diajukan ke Pengadilan. 3) Mencegah Maladministrasi Rekomendasi Ombudsman dapat juga diberikan kepada pimpinan instansi publik tertentu sebagai upaya untuk mencegah terjadinya tindakan maladministrasi. Setidaknya ada dua jenis rekomendasi preventif yang selama ini pernah disusun 237

Lihat pada Pasal 1 angka 7 UU ORI Antonius Sujata dan RM. Surachman, Ombudsman Indonesia di tengah Ombudsman Internasional, KON, Jakarta, 2002, hlm. 192 239 Budhi Masthuri, Mengenal Ombudsman Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 2005, hlm 68-74 238

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Ombudsman yaitu rekomendasi untuk mencegah adanya confict of interest, dan mencegah terjadinya intervensi atau tekanan dari orang-orang tertentu, termasuk dari pejabat yang dilaporkan. 4) Mengubah proses atau sistem Jenis-jenis rekomendasi Ombudsman yang ditujukan untuk perubahan kebijakan atau sistem pelayanan umum antara lain berupa saran untuk mengubah prosedur, saran untuk mengubah kebijakan, mengubah peraturan hukum, dan membuat aturan hukum yang baru. e. Monitoring Rekomendasi Monitoring adalah serangkaian tindakan pengawasan dan pemantauan terhadap dampak atau pengaruh dikeluarkannya sebuah surat rekomendasi, yang berkaitan dengan perubahan perilaku, sistem kebijakan, maupun cara terlapor (pihak yang direkomendasi) dalam memberikan pelayanan yang lebih baik dan etis kepada masyarakat.240 Monitoring rekomendasi dilakukan untuk melihat seberapa jauh rekomendasi Ombudsman dilaksanakan oleh penerima rekomendasi (Terlapor) atau atasan Terlapor. Monitoring dilaksanakan melalui surat yang dilayangkan kepada Terlapor untuk mengetahui seberapa jauh rekomendasi sudah dijalankan. Dalam konteks good governance sumbangan terbesar Ombudsman melalui kewenangannya dalam melakukan peninjauan kebijakan publik mewakili publik, memberi peran langsung dalam upaya memperkuat dan melembagakan partisipasi masyarakat dalam mengontrol pemerintahan agar lebih transparan, akuntabel dan partisipatif. 241 3. Efektifitas Ombudsman dalam Penegakan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik Tidak sedikit kalangan yang pesimis terhadap efektifitas Ombudsman dalam penegakan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Hal ini dapat dimaklumi karena produk hukum baik berupa pendapat hukum maupu rekomendasi-rekomendasi Ombudsman bukan merupakan putusan pengadilan yang mengikat secara hukum (legal binding) sehingga tidak ada kewajiban untuk mematuhinya, akan tetapi lebih merupakan pemberi pengaruh (magistratur of influence). Tentunya hal ini akan sangat berpegaruh pada dijalankan atau tidaknya anjuran Ombudsman oleh aparat penyelenggara negara, jangankan berupa anjuran moral, putusan pengadilan yang sudah berketetapan hukum tetap pun masih sulit untuk dijalankan. Akan tetapi perlu diingat bahwa penegakan hokum yang secara represif saat ini nampaknya juga tidak memberi efek jera pada pelaku dan bahkan belum terbukti keampuhannya. Oleh karenanya Ombudsman dengan model penegakan hukum melalui pendekatan persuasif dan preventif justru merupakan tawaran yang menarik. Cara pendekatan yang dilakukan Ombudsman adalah dengan mendesakkan perbaikan pelayanan penyelenggara negara dengan menyentuh kesadaran individu dan komitmen pribadi dari pejabat publik untuk mau mentaati asas yang berlaku, hukum secara keseluruhan, serta sistem yang dibangun secara baik guna mendukung jalannya 240

Lihat dalam Laporan dua tahunan (Biannual Report) 2005-2007, LOS DIY, Yogyakarta, 2007, hlm. 48 Teten Masduki, Ombudsman Daerah dan Pemberdayaannya, makalah, disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya tentang Pembentukan Lembaga Ombudsman Daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia bekerja sama dengan Partnership for Governance Reform in Indonesia di Yogyakarta, 23 Oktober 2003. 241

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

pemerintahan itu sendiri. Keunikan sekaligus kekuatan Ombudsman lainnya dalam penegakan asas terletak pada kepercayaan semua pihak atas pertimbangan yang menjadi landasan dalam member anjuran yang sifatnya dapat dipertanggung jawabkan dan tidak memihak. Independensi Ombudsman dalam menjalankan wewenangnya tidak seharusnya diragukan karena memang Ombudsman secara filosofis merupakan lembaga yang mandiri (independent). Independensi yang dimaksud adalah menyangkut independensi kelembagaan, personal, maupun fungsional, sehingga keberadaan Ombudsman jauh dari intervensi manapun. C. Penutup Keberadaan Ombudsman yang terlembaga baik di pusat maupun di daerah merupakan sesuatu yang prospektif. Tujuan dari pembentukan Ombudsman tersebut tidak lain adalah dalam rangka memberikan sentuhan baru dalam proses penegakan hukum dan asas-asas pemerintahan yang baik. Ombudsman yang memiliki fungsi dasar sebagai lembaga pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan publik di pusat maupun di daerah diharapkan dapat mewujudkan cita-cita banyak pihak terutama setelah diterapkannya otonomi daerah yang dirasa berjalan tanpa kendali. Melalui pendekatan yang dilakukan, Ombudsman juga diharapkan mampu memecahkam masalah buruknya birokrasi pemerintahan yang nampaknya menjadi cikal bakal terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme pada setiap level. Daftar Pustaka Antonius Sujata, Reformasi dalam Penegakan Hukum, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2000 --------------------- dan RM. Surachman, Ombudsman Indonesia di tengah Ombudsman Internasional, KON, Jakarta, 2002, hlm. 192 --------------------, Laporan Tahunan 2009, ORI, Jakarta 2009 Budhi Masthuri, Mengenal Ombudsman Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 2005 M.Rifqinizamy Karsayuda, 4 Februari 2008, “KOMISI OMBUDSMAN DAERAH : Sebuah Tawaran Mewujudkan Good Governance di Daerah”, tersedia di website http://rifq1.wordpress.com/2008/02/04/komisi-ombudsman-daerahsebuah-tawaran-mewujudkan-good-governance-di-daerah/, diakses pada tanggal 20 Desember 2012. Ni’matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi, dan Judicial Review, UII Press, Yogyakarta, 2005 Supriyono, Melembagakan Bisnis Beretika, Sebuah Prespektif Empiris, LOS DIY, Yogyakarta, 2008 Teten Masduki, Ombudsman Daerah dan Pemberdayaannya, makalah, disampaikan dalam Seminar dan Lokakarya tentang Pembentukan Lembaga Ombudsman Daerah di Daerah Istimewa Yogyakarta yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia bekerja sama dengan Partnership for Governance Reform in Indonesia di Yogyakarta, 23 Oktober 2003. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Perlindungan Hukum Korban Tindak Pidana Perkosaan Dalam Perspektif Hukum Pidana di Indonesia (Suatu Kajian Kebijakan Hukum Pidana Dalam Menanggulangi Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan) Diah Gustiniati Maulani dan Maya Shafira I. PENDAHULUAN Meningkatnya intensitas diskriminasi terhadap perempuan juga terjadi di Indonesia. Keberadaan perempuan yang seringkali digolongkan sebagai second class citizen makin terpuruk akhir-akhir ini dengan adanya berbagai kekacauan, yang menciptakan korban perempuan baru dalam jumlah yang cukup banyak, baik secara fisik (misalnya perkosaan, perbuatan cabul), psikologis (pelecehan, teror) maupun ekonomis (di PHK). Tindak pidana yang sering menimpa pada perempuan adalah perkosaan. Setiap kasus perkosaan tidak terjadi begitu saja, itu tidak dapat dilihat sebagai kasus yang berdiri sendiri. Sebab perkosaan terkait erat dengan kondisi sosiokultural dari sebuah masyarakat. Perkosaan selalu melibatkan dua pihak yaitu pelaku dan korban yang dalam sejarah masyarakat mana pun, pelaku lazimnya adalah lakilaki dan korban adalah perempuan. Berdasarkan data yang di dapat dari Lembaga Advokasi Perempuan Damar Lampung mencatat, ada 206 kasus tindak kekerasan terhadap perempuan di Lampung pada tahun 2008. Kasus tersebut didominasi pemerkosaan, pencabulan, dan penganiayaan. Dari 206 kasus tersebut, terdapat 105 kasus pemerkosaan, 39 kasus pencabulan, dan 32 kasus penganiayaan. Dari pengamatan Damar, kasus pemerkosaan justru lebih banyak dilakukan masyarakat dengan strata sosial dan tingkat intelektual tinggi yang pelakunya masih keluarga atau orang terdekat dari korban. Usia korban yang rentan pemerkosaan antara 6 dan 18 tahun (63%), usia remaja (18,33%) gambaran ini menunjukkan korban pemerkosaan pada saat keadaan lemah, fisik sedang tumbuh, dan psikologis baru berkembang. Cara yang dilakukan oleh pelaku perkosaan biasanya dengan mengancam akan membunuh, menipu, mengiming – imingi korban, dengan uang dan lain-lain, biasanya bila korban merupakan anak-anak. Perkosaan pada usia rentan ini berdampak negatif bagi korban, yaitu trauma sepanjang hidup, merasa minder, dan menyalahkan diri sendiri. Meskipun sudah banyak sekali kasus perkosaan terjadi, namun masih banyak faktor yang menyebabkan sulitnya kasus perkosaan disidang. Munculnya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan korban, di mana korban adalah seseorang yang mengalami Penderitaan fisik, mental, dan / atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu Tindak Pidana, ternyata kurang maksimal dalam memberikan perlindungan terhadap korban. Hal ini terlihat dengan adany kasus-kasus perkosaan tidak dilaporkan oleh korban kepada aparat penegak hukum untuk diproses ke Pengadilan karena beberapa faktor, diantaranya korban merasa malu dan tidak ingin aib yang menimpa dirinya diketahui oleh orang lain, atau korban merasa takut karena telah diancam oleh pelaku bahwa dirinya akan dibunuh jika melaporkan kejadian tersebut kepada polisi. Hal ini tentu saja mempengaruhi perkembangan mental/kejiwaan dari para korban dan juga

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

berpengaruh pada proses penegakan hukum itu sendiri untuk mewujudkan rasa keadilan bagi korban dan masyarakat.242 Berdasarkan hal di atas, maka munculah suatu permasalahan yang akan dibahas berkaitan dengan upaya perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana pemerkosaan dalam Perspektif Hukum Pidana di Indonesia dengan melihat kepada kebijakan-kebijakan regulasi yang ada mampu mengatasi masalah tindak kekerasan (pemerkosaan) terhadap perempuan serta faktor-faktor penghambat upaya perlindungan terhadap korban tindak pidana pemerkosaan. II. Pembahasan A. Perlindungan Hukum terhadap Korban Tindak Pidana Pemerkosaan dalam Perspektif Hukum Pidana di Indonesia Korban merupakan suatu akibat yang timbul karena adanya sebab ( causa ) yang mendahuluinya. Mustahil akan terjadi suatu akibat tanpa adanya sebab yang menjadi dasar timbulnya akibat tersebut. Sebab ( causa ) tersebut berupa peristiwa atau kejadian yang terwujud dalam bentuk keadaan atau perbuatan. Peristiwa yang berwujud keadaan misalnya gempa bumi, banjir, longsor, dan lain sebagainya, sedangkan peristiwa yang berwujud perbuatan misalnya tindak pidana yang dilakukan oleh manusia, meliputi tindak pidana yang dilarang dalam undang-undang maupun perbuatan yang belum dirumuskan dalam undang-undang sebagai suatu tindak pidana namun dirasakan oleh masyarakat telah melanggar nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Setiap tindak pidana dapat menimbulkan korban, korban dari kejadian yang pertama disebut korban alami ( natural victim ) sedangkan korban dari kejadian yang terakhir disebut korban kejahatan ( criminal victim ). Selanjutnya yang disebut korban disini terbatas pada korban kejahatan ( criminal victim ), karena korban alami tidak diliputi hukum pidana. Adapun yang dimaksud korban kejahatan menurut adalah mereka yang menderita jasmani dan rohani, material dan immaterial sebagai akibat dari tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi penderita.243 Konsepsi korban Tindak Pidana terumuskan juga dalam Declaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime, yaitu : 1) Korban Langsung ( Direct Victims ) yaitu korban yang langsung mengalami dan merasakan penderitaan dengan adanya tindak pidana dengan karakteristik sebagai berikut : a) Korban adalah orang baik secara individu atau secara kolektif. b) Menderita kerugian meliputi : luka fisik, luka mental, penderitaan emosional, kehilangan pendapatan dan penindasan hak-hak dasar manusia. c) Disebabkan adanya perbuatan atau kelalaian yang terumuskan dalam hukum pidana. d) Atau disebabkan oleh adanya penyalahgunaan kekuasaan.

242

243

Arif Gosita, 1985. Victimisasi Kriminal Kekerasan hlm 45. Akademika Presindo. Jakarta. Arif Gosita, 1993. Masalah Korban Kejahatan. Akademika Pressindo. Jakarta http: VIVAnews.com,15 Januari 2011 ( di up load tanggal 18 Januari 2011 ).

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

2) Korban Tidak Langsung ( Indirect Victims ) yaitu timbulnya korban akibat dari turut campurnya seseorang dalam membantu korban langsung ( directvictims ) atau turut melakukan pencegahan timbulnya korban, tetapi dia sendiri menjadi korban tindak pidana, atau mereka menggantungkan hidupnya kepada korban langsung seperti isteri / suami, anak-anak dan keluarga terdekat. Selanjutnnya berkaitan dengan tindak pidana pemerkosaan secara yuridis formal definisi perkosaan itu dapat dilihat dalam Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). yaitu : "Barang.siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia karena perkosaan diancam dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun". Suatu perbuatan dapat disebut sebagai perkosaan harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut : a. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan; b. Memaksa seorang perempuan; c. Yang bukan istrinya; d. Untuk bersetubuh. Berdasarkan hal di atas, maka dapat dikemukakan pengertian korban perkosaan adalah: Korban perkosaan harus seorang wanita, tanpa batas umur (obyek). Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasaan, Sedangkan seorang laki-laki yang diperkosa oleh wanita, tidak termasuk dalam kajian Pasal 285 KUHP, sehingga korban pemerkosaan itu harus memenuhi unsur di atas. Tindak pidana pemerkosaan yang korbannya didominasi oleh kaum perempuan selalu berada pada pihak yang lemah dan terkadang merasa dikecewakan. Karena dengan memberikan sanksi yang berat atau setimpal terhadap pelaku dianggap sudah memberikan keadilan yang cukup bagi korban. Padahal lebih dari itu upaya perlindungan terhadap korban pun harus diperhatikan dan menjadi permasalahan yang serius terhadap kajian viktimologi. Tindak pidana di bidang kesusilaan seperti contohnya tindak pidana pemerkosaan memberikan dampak yang buruk terhadap para korban yang biasanya didominasi oleh kaum hawa (perempuan). Oleh karenanya diperlukan upaya yang maksimal dalam rangka memberikan perlindungan terhadap korban tindak pidana pemerkosaan. Berkaitan dengan tindak pidana perkosaan dengan perempuan sebagai korbannya, maka yang dimaksud dengan korban adalah: “mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi yang menderita244 Pengertian korban di atas apabila dikaitkan dengan ketentuan Pasal 285 KUHP, maka pengertian korban perkosaan adalah : Korban perkosaan harus seorang wanita, tanpa batas umur. Mengunakan kekerasan atau ancaman kekerasaan, Sedangkan seorang laki-laki yang diperkosa oleh wanita, tidak termasuk dalam kajian Pasal 285 KUHP, sehingga korban pemerkosaan itu harus memenuhi unsur tersebut.

244

Arif Gosita. Ibid. hlm 41.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Korban tindak pidana pemerkosaan merupakan korban yang langsung (Direct Victims) yaitu korban yang langsung mengalami dan merasakan penderitaan dengan adanya tindak pidana dengan karakteristik korban biasanya individu, menderita luka fisik, luka mental, yang disebabkan adanya perbuatan yang dikualifikasikan sebagai kejahatan dalam hukum pidana (KUHP). Berdasarkan hal di atas sudah sepantasnya korban tindak pidana mendapatkan perlindungan yang khusus berkaitan dengan hak dan kewajiban yang melekat pada diri korban. Apabila kita melihat kepada ketentuan-ketentuan yang ada dalam Undangundang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka dalam pelaksanaannya hanya memberikan ketentuan yang tegas terhadap hak asasi manusia terutama hak-hak tersangka/terdakwa akan tetapi belum menyentuh sepenuhnya terhadap hak korban.245 Kepentingan korban semata-mata diambil alih oleh pegawai Penyidik dan penuntut Umum. Sehingga kedua instansi tersebut yang berwenang sepenuhnya terhadap kepentingan korban. Padahal belum tentu demikian. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Kecenderungan masyarakat hukum di Indonesia bahkan di dunia hanya tertuju pada kepentingan seseorang pelaku tindak pidana seperti halnya di dalam KUHAP. Kepentingan korban dirasakan kurang mendapatkan perhatian dalam KUHAP. Yang semestinya KUHAP adalah merupakan prinsip dalam memberikan perlindungan bagi kepentingan korban. Berkaitan dengan hal tersebut maka pemerintah berupaya semaksimal mungkin dengan membuat berbagai aturan yang berkaitan dengan perlindungan korban tindak pidana. Diantaranya dengan mensahkan undang-undang yang berorintasi kepada perlindungan korban tindak pidana khususnya perlindungan terhadap perempuan, diantaranya: 1. Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. 2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. 3. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. 4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. 5. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. 6. Undang-Undang Nomor Republik Indonesia 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Peraturan perundang-undangan di atas merupakan wujud dari keseriusan pemerintah dalam memperhatikan hak korban khususnya kaum perempuan. Perempuan sebagai korban tindak pidana pemerkosaan tanpa disadari menjadi korban ganda yang berarti bahwa seringkali korban menceritakan kasus-kasus tersebut secara berulangulang dari tingkat penyidikan sampai dengan persidangan. Hal ini membuat korban merasa tertekan.246 Dengan selalu mengatakan kata-kata atau kalimat yang mungkin tidak pantas untuk dikatakan secara berulang kali justru dapat membuat korban sulit

245

Loebby Loqman, 2002. HAM dalam HAP hlm. 9. Datacom. Jakarta. Moerti Hadiati Soeroso, 2011. Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Yuridis – Viktimologis hlm. 123. Sinar Grafika. Jakarta. 246

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

melupakan peristiwa yang dialami olehnya. Tetapi mau tidak mau hal ini mesti dilakukan demi kepentingan korban dan kelancaran dalam proses peradilan pidana. Perlindungan yang diberikan kepada perempuan selaku korban tindak pidana secara umum dapat berupa pemberian hak dan kewajiban yang meliputi:247 1. Hak Korban a. b. c. d. e.

Korban berhak mendapat kompensasi atas penderitaan, sesuai dengan kemampuan si pelaku; Korban berhak menolak kompensasi karena tidak memerlukannya; Korban berhak mendapatkan kompensasinya untuk ahli warisnya bila korban meninggal dunia karena tindakan tersebut; Korban berhak mendapatkan pembinaan dan rehabilitasi; Korban berhak mendapatkan kembali hak miliknya;

f. Korban berhak menolak menjadi saksi bila hal ini akan membahayakan dirinya; g. Korban berhak mendapatkan perlindungan dari ancaman pihak pelaku, bila melapor ke dan menjadi saksi; h. Korban berhak mendapatkan bantuan penasehat hukum; i. Korban berhak mempergunakan upaya hukum. 2. Kewajiban Korban a. Korban tidak main hakim sendiri; b. Berpatisipasi dalam masyarakat mencegah terjadinya/timbulnya korban lebih banyak lagi; c. Korban berkewajiban mencegah kehancuran si pelaku baik oleh diri sendiri, maupun oleh orang lain; d. Korban wajib ikut serta membina sipelaku; e. Bersedia dibina atau membina diri sendiri agar tidak menjadi korban lagi; f. Tidak menuntut kompensasi yang tidak sesuai dengan kemampuan si pelaku; g. Berkewajiban memberi kesempatan kepada pelaku untuk memberi kompensasi secara bertahap atau sesuai dengan kemampuannya; h. Berkewajiban menjadi saksi bila tidak membahayakan diri sendiri dan ada jaminan. Berkaitan dengan hal di atas apabila kita telaah lebih lanjut maka terhadap upaya perlindungan korban dalam bentuk hak-hak korban tindak pidana khususnya sebagai korban tindak pidana pemerkosaan, maka hak-hak tersebut dapat dikatakan cukup sebagai langkah awal perlindungan terhadap korban. Tetapi hak-hak tersebut dapat dikhususkan lagi terutama hak mendapatkan kompensasi yang lebih terhadap penderitaan baik fisik maupun psikis yang sulit untuk diberikan kepada korban pemerkosaan. Sebagai bahan perbandingan di bawah ini diberikan contoh pemberian kompensasi di Inggris yaitu sebagai berikut:248

247

Arif Gosita. Ibid. hlm. 53 Barda Nawawi Arief, 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana hlm. 66. Citra Aditya Bakti. Bandung.

248

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

1. Seorang wanita yang diserang dan diperkosa di sebuah gang yang gelap dan dirawat di rumah sakit selama dua bulan mendapat kompensasi 582 poundstreling; 2. Seorang wanita yang menderita shock karena penyerangan seksual sehingga tidak dapat bekerja lagi mendapat 2.020 pounds; 3. Seorang gadis yang mengalami pelecehan penyerangan seksual mendapat 251 pounds. Pemberian kompensasi tersebut tentunya juga bergantung kepada kemampuan dan kondisi masing-masing negara. Hal ini juga tentunya relevan dengan tersangka/terdakwa yang memperoleh perlindungan dan bantuan dari negara untuk memperoleh rehabilitasi, ganti rugi dan bantuan hukum secara cuma-Cuma walau dalam hal-hal tertentu, maka wajar bila korban juga mendapatkan yang sama akan perlindungan hak-haknya.Terlebih jika dilihat dari tujuan dan tanggung jawab negara untuk mewujudkan pemerataan keadilan sosial dan kesejahteraan umum. Hak korban akan ganti kerugian pada dasarnya merupakan bagian integral dari hak asasi di bidang kesejahteraan/jaminan sosial (social security).249 Selanjutnya terkait dengan kewajiban pihak korban sepertinya diuraikan di atas tidaklah tepat apabila kewajiban tersebut dilakukan oleh seorang perempuan selaku korban tindak pidana pemerkosaan. Mungkin dalam tindak pidana lainnya dapat untuk dilaksanakan. Mengingat bahwa korban tindak pidana perkosaan adalah korban yang menderita baik lahir maupun batin yang pemulihannya tidak semudah pemulihan korban tidak pidana lainnya misalnya seperti korban pencurian yang hanya dilihat dari segi materilnya saja. Sedangkam korban pemerkosaan memerlukan tindakan yang khusus untuk dapat dipulihkan secara maksimal/total. Upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana dapat tercermin dalam ketentuan pasal-pasal yang ada dalam Undangundang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Hak Asasi Manusia. (HAM). Walaupun tidak secara nyata mengatur tentang perlindungan korban tetapi tersirat dalam ketentuan pasal 3, 5, 17, 29, dan 30 undang-undang tersebut, yang diantaranya mengatur tentang:250 1.

Setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh bantuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaannya (Pasal 5 ayat (1)); 2. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan hak miliknya (Pasal 29 ayat (1)); 3. Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu (Pasal 30). Selanjutnya Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM secara khusus lebih mangatur perlindungan korban pada Bab V, Pasal 34 dan dilanjutkan dengan penegasan pemberian kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dalam Pasal 35 Bab VI. Penjelasan Pasal 35 UU Pengadilan HAM dan Peraturan pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 menjabarkan pengertian dari kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. 249 250

Ibid hlm. 67 Bambang Waluyo, 2011. Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi hlm. 64. Sinar Grafika. Jakarta.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

1. Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara, karena pelaku tindak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya. 2. Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian, untuk kehilangan atau penderitaan dan penggantian biaya untuk tindakan tertentu. 3. Rehabilitasi adalah pemulihan pada kedudukan semula misalnya kehormatan, nama baik, jabatan atau hak-hak lainnya. Selanjutnya upaya perlindungan terhadap perempuan selaku korban tindak pidana dapat terlihat dalam ketentuan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dimana dalam Pasal 10 menentukan: Korban berhak mendapatkan: a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial atau pihak lain baik sementara maupun berdasarkan penetapan pemerintah perlindungan dari pengadilan; b. Pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan medis; c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban; d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkatan proses pemeriksaan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; e. Pelayanan bimbingan rohani; Selain dari hal di atas, upaya perlindungan korban tindak pidana khususnya KDRT tidak hanya berasal dari diri si korban saja, tetapi juga ada kewajiban warga masyarakat untuk melindungi korban tersebut sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 UU Penghapusana KDRT: “Setiap orang yang mendegar, melihat atau mengetahui, terjadinya KDRT wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk: a. Mencegah berlangsungnya tindak pidana; b. Memberikan perlindungan kepada korban; c. Memberikan pertolongan darurat; d. Membantu proses mengajukan permohonan penetapan perlindungan. Upaya-upaya perlindungan terhadap perempuan sebagai korban tindak pidana juga dapat terlihat dalam ketentuan Pasal 5 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dimana Pasal 5 menentukan: (1) Seorang saksi dan korban berhak: a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikannya; b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; c. Memberikan keterangan tanpa tekanan; d. Bebas dari pertanyaan yang menjerat; e. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; f. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; g. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

h. i. j. k. l.

Mendapat identitas baru; Mendapat tempat kediaman baru; Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; Mendapatkan penasihat hukum; Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir. (2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada saksi dan/atau korban tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban). Perlindungan terhadap perempuan sebagai korban tindak pidana juga terlihat dalam ketentuan-ketentuan Pasal 43 sampai dengan Pasal 55 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdangan Orang (TPPO). Dimana di dalam undang-undang tersebut menentukan adanya hak korban dan/atau saksi, ketentuan restitusi dan rehabilitasi.251 Undang-undang ini juga berkaitan dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Yang semuanya berorientasi kepada perlindungan terhadap perempuan selaku korban tindak pidana. Berkaitan dengan hak korban dan/atau saksi diberikan juga kepada keluarganya dengan rincian sebagai berikut: a. Memperoleh kerahasiaan identitas; b. Hak di atas diberikan juga kepada keluarga korban dan/atau saksi sampai derajat kedua; c. Korban dan ahli warisnya berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial dari pemerintah apabila yang bersangkutan mengalami penderitaan baik fisik maupun psikis; d. Mendapatkan hak dan perlindungan sesuai dengan ketentuan perundangundangan lain. Selanjutnya berkaitan dengan restitusi dalam undang-undang tersebut adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atau kerugian materiil dan/atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya. Restitusi diantaranya dengan memberikan ganti kerugian atas: a. Kehilangan kekayaan atau penghasilan; b. Penderitaan; c. Biaya untuk tindakan medis dan/ atau psikologis dan lain-lain sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1 butir 13 UU TPPO. Selanjutnya rehabilitasi atau pemulihan dari gangguan terhadap kondisi fisik, psikis dan sosial diberikan agar dapat melaksanakan kembali perannya secara wajar baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat sesuai dengan ketentuan Pasal 1 butir 14 serta penjelasan Pasal 51 dan Pasal 52 UU TPPO. Berpedoman pada beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan di atas seperti undang-undang penghapudan KDRT, undang-undang perlindungan saksi dan korban serta undang-undang tindak pidana perdangan orang yang senyatanya secara 251

Bambang Waluyo. Ibid hlm. 120.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

khusus mengatur tentang perlindungan terhadap korban tindak pidana yang apabila kita cermati perlindungan korban tersebut sepertinya lebih berorientasi kepada perempuan sebagai korban tindak pidana. Hal ini secara khusus dapat mengakomodir ketentuan – ketentuan tentang perlindungan perempuan sebagai korban tindak pidana khususnya pemerkosaan yang secara khusus belum ada pengaturan yang khusus mengatur perlindungan korban tindak pidana pemerkosaan. Tetapi dengan adanya undangundang tersebut setidaknya dapat dijadikan sebagai pedoman dan acuan dalam rangka memberikan perlindungan kepada perempuan sebagai korban tindak pidana pemerkosaan. B. Faktor-faktor yang menjadi penghambat perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana pemerkosaan Menurut Soerjono Soekanto, faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum adalah:252 1. Faktor hukumnya sendiri; 2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum; 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; dan 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang dirasakan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Berkaitan dengan faktor-faktor penghambat dalam upaya pemberian perlindungan hukum terhadap perempuan sebagai korban tindak pidana pemerkosaan diawali dengan melihat kepada faktor hukum. Faktor hukum atau undang-undang bukan merupakan faktor yang dominan karena walaupun ketentuan secara khusus terhadap perlindungan korban tindak pidana perkosaan tidak spesifik tetapi hanya tersebar sacara umum dan dalam penerapannya dapat mengakomodir dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan terhadap perempuan sebagai korban tindak pidana yang tercantum diantaranya dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan Undang-Undang Nomor Republik Indonesia 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Selanjutnya hambatan dalam upaya pemberian perlindungan hukum terhadap perempuan sebagai korban tindak pidana pemerkosaan dapat dilihat dari tingkat penyidikan. Kendala yang dihadapi biasanya dari masyarakat atau orang tua bahkan korban takut dan malu untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib karena ini juga berkaitan dengan aib keluarga. Pada umumnya fenomena kasus KDRT bisa diakomodir terhadap kasus tindak pidana pemerkosaan karena mempunyai spesifikasi sendiri, yaitu:253 252

Soerjono Soekanto, 1993. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum. Raja Grafindo Persada. Jakarta. hlm. 5.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

1. Terjadinya tindak pidana pemerkosaan lebih banyak diketahui oleh pelaku dan korban saja, sehingga kurang aadanya saksi maupun alat bukti lainnya yang memenuhi ketentuan pasal 183 dan Pasal 184 KUHAP; 2. Pihak korban enggan melaporkan kasusnya karena merasa membuka aibnya sendiri terutama terhadap kasus yang berhubungan dengan seksual; 3. Keterlambatan laporan dari korban atas terjadinya kasus pemerkosaan akan berpengaruh terhadap tingkat kesukaran penyidik dalam melakukan proses penyidikan, terutama pengumpulan saksi dan barang bukti. Hambatan dari korban atau keluarga seperti: korban takut akan ancaman dari pelaku, keterlambatan melaporkan baik oleh korban maupun oleh keluarganya karena menyangkut masalah aib keluarga. Hambatan dari masyarakat karena kurangnya rasa kepedulian terhadap korban pemerkosaan sehingga menganggap bahwa ini merupakan aib keluarga dan oleh karena itu cukup diselesaikan dengan para anggota keluarga. Misalkan jika dihubungkan dengan Pasal 15 UU Penghapusan KDRT, maka pendapat ini bertentangan dimana dalam pasal tersebut ditentukan bahwa “Setiap orang yang mendegar, melihat atau mengetahui, terjadinya KDRT wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk: dapat mencegah berlangsungnya tindak pidana; dapat memberikan perlindungan kepada korban; dapat memberikan pertolongan darurat; dan dapat membantu proses mengajukan permohonan penetapan perlindungan. Selanjutnya hambatan berupa sarana dan prasarana terutama berkaitan dengan biaya seperti: ketentuan biaya visum et repertum harus dikeluarkan oleh pihak korban (dalam korban KDRT), sehingga korban yang tidak mampu merupakan suatu hambatan dalam mencari keadilan. III. Penutup A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik simpulan bahwa: 1. Upaya-upaya perlindungan hukum terhadap perempuan sebagai korban tindak pidana perkosaan walaupun tidak secara khusus diatur dalam peraturan tersendiri namun secara umum bentuk perlindungan tersebut dapat berupa kompensasi, restitusi dan rehabilitasi terhadap korban tindak pidana sebagaimana tercermin dan tersurat dalam setiap pasal-pasal yang ada dalam undang-undang yang berorientasi kepada perlindungan korban khususnya terhadap perempuan sebagaimana dapat dilihat dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan Undang-Undang Nomor Republik Indonesia 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. 2. Faktor-faktor penghambat pemberian perlindungan terhadap korban tindak pidana perkosaan secara intern terdapat pada diri korban sendiri bahkan keluarganya, dan 253

Moerti Hadiati Soeroso. Ibid hlm. 135.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

secara ektern dapat berasal dari masyarakat dan negara yang dalam hal ini terkait dengan tidak adanya secara khusus peraturan/undang-undang yang mengatur tentang perlindungan terhadap perempuan sebagai korban tindak pidana pemerkosaan. Yang selama ini secara umum diatur dalam undang-undang yang berorientasi pada perlindungan korban tindak pidana sebagaimana yang diuraikan di atas. B. Saran Adapun saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini adalah: Terhadap upaya-upaya perlindungan korban khususnya perempuan sebagai korban tidak pidana pemerkosaan walaupun tidak secara tegas dan khusus ada peraturan atau undangundang yang mengaturnya, maka diharapkan para aparat penegak hukum, pemerintah, masyarakat serta korban sendiri bisa mengaplikasikan berbagai bentuk upaya-upaya perlindungan yang sudah tersirat dan tersurat dalam beberapa ketentuan undangundang yang sudah mengatur tentang perlindungan korban secara umum. Daftar Pustaka Arief, Barda Nawawi. 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti. Bandung. Gosita, Arif. 1985. Victimisasi Kriminal Kekerasan. Akademika presindo. Jakarta ----------.1993. Masalah Korban Kejahatan. Akademika Pressindo. Jakartahttp: VIVAnews.com,15 Januari 2011 ( di up load tanggal 18 Januari 2011 ) Loqman, Loebby. 2002. HAM dalam HAP. Datacom. Jakarta. Soekanto, Soerjono. 1993. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Soeroso, Moerti Hadiati. 2011. Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Yuridis – Viktimologis. Sinar Grafika. Jakarta. Waluyo, Bambang. 2011. Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi. Sinar Grafika. Jakarta. Damar, Lembaga Advokasi Perempuan Anti Kekerasan. Catatan Akhir Tahun 2008. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Pengaruh Perkembangan Cyber Crime terhadap Penegakan Hukum Pidana

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Erna Dewi I. Pendahuluan Dewasa ini, internet telah membentuk masyarakat dengan dunia baru, yaitu masyarakat dunia yang tidak lagi dihalangi oleh batas-batas territorial antara negara yang dahulu ditetapkan sangat rigid sekali.Internet membawa pada dunia tanpa pembatasan dan menembus batas kedaulatan negara, 254 masyarakat baru dengan kebebasan beraktivitas dan berkreasi yang paling sempurna. Namun dibalik itu semua, internet juga melahirkan keresahan-keresahan baru diantaranya muncul kejahatan yang lebih canggih dalam bentuk cyber crime. Perbuatan ini merupakan salah satu bentuk atau dimensi baru dari kejahatan masa kini yang mendapat perhatian luas di dunia internasional. Bahkan Volodymyr Golubev menyebutnya sebagai “the new form of anti-social behavior”255 Perbuatan yang menyangkut cyber crime harus ditangani secara serius, karena dampak dari perbuatan itu sangat luas dan banyak merugikan perekonomian masyarakat, sehingga apabila tidak ditanggulangi secara dini akan berkembang dan jika tidak terkendali dampaknya akan sangat fatal bagi kehidupan masyarakat. Di Indonesia sampai saat ini belum ada rumusan baku tentang definisi cyber crime, namun demikian bukan berarti sistem hukum nasional tidak mengenal cyber crime. Fenomena cyber crime memang harus diwaspadai karena kejahatan ini berbeda dengan kejahatan pada umumnya. Karena cyber crime dapat terjadi tanpa diperlukan interaksi langsung antara pelaku dengan korban kejahatan. Begitu juga halnya dengan modus kejahatan dalam dunia maya memang agak sulit dimengerti oleh orang-orang yang tidak menguasai pengetahuan teknologi informasi. Sebab salah satu unsur dari cyber crime adalah penggunaan teknologi informasi dalam modus operandinya. Sifat inilah yang membuat cyber crime berbeda dengan tindak pidana lainnya. Namun demikian, kejahatan yang terjadi sebenarnya adalah kejahatan biasa (konvensional) dan masih memungkinkan diselesaikan dengan menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sedangkan menurut Harkristuti Harkrisnowo, dalam masalah cyber crime ada beberapa rumusan pidana tradisional yang dapat digunakan, yaitu: a. Pencurian b. Penggelapan c. Pembukaan Rahasia d. Pemalsuan e. Pengancaman f. Pornografi g. Penghasutan h. Pelecehan Seksual i. Penghinaan j. Penyebaran kabar bohong256 Kejahatan computer/dunia maya (cyber crime) merupakan kejahatan yang potensial di masa akan datang seiring dengan semakin meningkatnya kebutuhan 254

Agus Raharjo, 2003. Cyber crime di Indonesia, jurnal studi kepolisian hlm.17 Volodymyr Golubev dalam Barda NA. 2007. Tindak pidana mayantara perkembangan kajian cyber crime di Indonesia hlm. 1. 256 Harkristuti Harkrisnowo, tt. Cyber crime dalam Perspektif Hukum Pidana. Fakultas Hukum UI. Jakarta 255

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

manusia terhadap teknologi computer. Hal ini terjadi seiring dengan perkembangan teknologi computer, termasuk didalamnya pertukaran informasi antar bank, transaksi bank dengan klien, atau lembaga-lembaga keuangan lainnya.257Kehadiran computer dan internet yang sudah mengglobal mendorong terjadinya universalitas perbuatan dan akibat yang ditimbulkan dari kejahatan ini. Pada kenyataannya dari hari kehari, cyber crime kian meningkat baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya, walaupun masuknya teknologi informasi di Indonesia masih tergolong rendah, namun ternyata nama Indonesia sudah begitu popular dalam kejahatan di dunia maya, bahkan berdasarkan data yang dikeluarkan oleh sebuah perusahaan sekuriti berbasis texas, clear commerce, tahun 2000 lalu, menyebutkan Indonesia menempati urutan kedua setelah Ukraina sebagai negara asal carder terbesar di dunia.Menurut majalah Time edisi 23 september 2002, banyak situs internet yang tidak mudah untuk dibobol. Namun ternyata carder Indonesia memiliki reputasi tinggi dalam praktek pembobolan situs ini.258 Sedangkan dalam survey lain yang dilakukan oleh AC. Nioelsen tahun 2001, mencatat Indonesia berada pada posisi keenam terbesar di dunia dan keempat di Asia dalam cyber crime, karena dicap sebagai sarang teroris dunia maya, banyak alamat IP (internet protocol) Indonesia yang sempat di blokir.259sehingga orang Indonesia yang ingin berbelanja melalui internet tidak dipercaya lagi oleh pemilik-pemilik situs belanja online di luar negeri. Meningkatnya kejahatan dunia maya ini tidak diimbangi dengan perangkat maupun sumberdaya manusia penegak hukum yang propesional dalam menangani kasus atau kejahatan tersebut, keadaan demikian yang sekaligus merupakan salah satu hambatan dalam penegakan hukum di Indonesia. Adapun fokus pada tulisan ini adalah menganalisis pengaruh perkembangan cyber crime terhadap penegakan hukum pidana di Indonesia. Permasalahan dalam tulisan ini terdiri dari: (a)Bagaimanakah perkembangan Cyber Crime saat ini: (b) Bagaimanakah pengaruh perkembangan Cyber Crime terhadap penegakan hukum pidana. II. Pembahasan A. Pengertian Cyber Crime dan Perkembangannya Cyber crime merupakan salah satu bentuk atau dimensi baru dari kejahatan masa kini yang mendapat perhatian luas dai dunia international.Volodymyr Golubev menyebutnya sebagai the new form of anti-social behavior.260Beberapa sebutan lain yang cukup terkenl diberikan kepada jenis kejahatan baru ini di dalam berbagai tulisan, antara lain sebagai kejahatan dunia maya (cyber space/ virtual space offence), dimensi baru dari high tech crime, dimensi baru dari transnational crime, dan dimensi baru dari white collar crime (wcc). .Cyber crime (selanjutnya disingkat cc) merupakan salah satu sisi gelap dari kemajuan teknologi yang mempunyai dampak negative sangat luas bagi 257

Sutanto, Hermawan Sulistyo, dan Tjuk Sugiarso. 2005. Cyber crime motif dan penindakan dalam Arif zahrulyani.hlm. 6. 258 Ibid hlm. 7. 259 Goegle, mengatur duniarimba raya. 2007. Dalam Arif Zahrulyani op cit. hlm. 7. 260 Volodymyr Golubev dalam Barda NA. 2007. Tindak pidana mayantara perkembangan kajian cyber crime di Indonesia Raja Grafindo Persada. Jakarta. hlm. 1.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

seluruh bidang kehidupan modern saat ini.261sampai saat ini belum ada definisi yang baku mengeai cyber crime itu sendiri, akan tetapi akan dipaparkan bebrapa pengertian cyber crime yang sering digunakan. Seperti dalam Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas dinyatakan, bahwa kejahatan dunia maya (Cyber crime) adalah istilah yang mengacu kepada aktivitas kejahatan dengan computer atau jaringan computer menjadi alat, sarana atau tempat terjadinya kejahatan. Termasuk ke dalam kejahatan dunia maya antara lain, penipuan lelang secara online, pemalsuan cek, penipuan kartu kredit, confidence fraud, penipuan identitas, pornogerafi anak, dan lain-lain.262 The oxford reference online mendifinisikan cyber crime as crime committed over the internet.263(cc adalah kejahatan yang dilakukan terhadap internet. Kemudian the encyclopedia Britannica memberikan pengertian cyber crime as any crime that is commited by means of special knowledge or expert use of computer technology.264(cc adalah kejahatan yang dilakukan oleh orang yang memiliki pengetahuan khusus atau keahlian dalam menggunakan teknologi computer. Menurut Roger Leroy Miller dan Gaylord A.Jentz “ a cyber crime is a crime that occurs in the virtual community of the internet, as opposed to the physical world”. Selanjutnya keduanya menyatakan, bahwa “ the location of cyber crime cyberpace – raises new issues in the investigation of crimes and the prosecution of perpetrators.265 Dalam makalah cyber crime yang disampaikan oleh ITAC (Information Tecnology Association of Canada) pada International Information Industry Congress (IIIC) 2000 Millenium Congress di Quebec pada tanggal 19 September 2000, yang menyatakan bahwa, Cyber crime is a real and growing threat to economic and social development around the world. Information technology touches every aspect of human life and so can electronically enabled crime.266 Masalah cyber crime ini sudah dua kali diagendakan yaitu pada onres VIII/1990 di Havana dan pada Kongres X/2000 di Wina.267 Menurut Muladi Cyber crime merupakan suatu istilah umum yang pengertiannya mencakup berbagai tindak pidana yang dapat ditemukan dalam KUHP atau perundang-undangan pidana lainnyayang menggunakan teknologi computer sebagai suatu komponen sentral. Cyber crime ertupa tindakan sengaja merusak property, masuk tanpa ijin, pencurian hak milik atas kekayaan intelektual, perbuatan cabul, pemalsuan, pornografi anak dan pencurian.268 Berdasarkan uraian di atas, maka Cyber crime mempunyai pengertian yang cukup luas yaitu kejahatan komputer dengan jaringan computer sebagai 261

Ibid hlm. 2. Goegle tentang kejahatan dunia maya 263 www.crimr-research.org/library/cybercriminal.html. 264 ibid 265 Roger Leroy dan Gayloid A.Jentz. Law for E-commerce, Thompsonj Learning, United States. 2002. (dalam Arif zahrulyani).2009. hlm.99. 266 ITAC, IIIC Common View Paper on:Cyber Crime, IIIC 2000 Millenium Congress (dalam Barda NA. opcit hlm. 2.). 267 ibid 268 Agus raharjo,ibid. Hlm. 228. 262

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

unsur utamanya yang dapat juga digunakan untuk kegiatan kejahatan tradisional dimana computer atau jaringan komputer digunakan untuk mempermudah atau memungkinkan kejahatan itu terjadi. Pada perkembangannya cyber crime (tindak pidana mayantara)269 sering dibahas di berbagai forum internasional, yaitu pada Konres PBB mengenai “The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders” yang telah membahas masalah ini sampai tiga kali, yaitu pada Kongres VIII/1990 di Havana, Kongres X /2000 di Wina, dan terakhir pada Kongres XI /2005 di Bangkok (tanggal 18-25 April). Di samping itu telah ada pula Konvensi Cyber Crime Dewan Eropa (Council of Europe Cyber Crime Convention) yang ditanda tangani di Budapest pada tanggal 23 November 2001 oleh berbagai negara, termasuk Kanada, Jepang, Amerika, dan Afrika Selatan.270 Kongres dan Konvensi Internasional tersebut, didahului atau diikuti dengan berbagai pertemuan dan kajian ilmiah lainnya di berbagai negara yang sulit untuk dihitung, dari berbagai kajian itu ada yang meresahkan perkembangan cyber crime terutama dibidang kesusilaan dan eksploitasi seksual, antara lain dengan diadakannya The First World Congress Against Commercial Sexual Exploitation of Children di Stockholm, 27-31 Agustus 1996, dan International Conference on “ Combatting Child Pornography on the Internet”, Vienna, Hofburg, 29 September- 1 Oktober 1999. Perhatian terhadap masalah cyber crime ini juga berkembang di Indonesia terutama dengan diadakan berbagai seminar nasional, sebagaimana yang ditulis oleh Barda NA. dalam Buku Tindak Pidana Mayantara yang merupakan himpunan dari makalah yang disampaikan pada delapan seminar nasional yang diadakan sejak tahun 2001 sampai tahun 2005 B. Pengertian Penegakan Hukum Menurut G. Radbruch, pada hakekatnya hukum mengandung ide atau konsep-konsep abstrak, yaitu ide tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial termasuk dalam kelompok yang abstrak. Bertolak dari hakekat (nilai dasar) hukum tersebut, penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide yang bersifat abstarak menjadi kenyataan. Proses perwujudan ide-ide inilah yang merupakan hakekat penegakan hukum.271Agar ide-ide tersebut dapat diwujudkan, tentu saja dibutuhkan suatu organisasi, dalam hal ini peranan negaralah yang diperlukan untuk membentuk lembaga-lembaga seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan sebagainya. Walaupun lembagalembaga tersebut mempunyai fungsi yang berbeda namun tujuannya sama yaitu menegakkan hukum dalam masyarakat. Karena tanpa lembaga-lembaga tersebut hukum yang dibuat oleh pemerintah tidak dapat dijalankan sebagai mana mestinya. Sistem penegakan hukum dibagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu sistem penegakan hukum perdata, sistem penegakan hukum pidana dan sistem penegakan hukum administrasi negara. Masing-masing sistem penegakan hukum tersebut didukung dan dilaksanakan oleh alat perlengkapan negara atau biasa disebut alat 269

Barda NA. 2007. Tindak Pidana Mayantara Perkembangan Kajian Cyber Crime di Indonesia, PT. Raja Grapindo Persada. Jakarta. 270 Barda NA. ibid 271 Satjipto Rahardjo, 1983. Masalah Penegakan Hukum. Sinar Baru Bandung. Hlm..16.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

penegak hukum (aparatur) yang mempunyai aturan sendiri-sendiri. Hal ini berarti ada sekian banyak aktivitas yang dilakukan oleh alat perlengkapan negara dalam penegakan hukum. Biasanya yang dimaksud dengan “alat penegak hukum” hanyalah kepolisian dan kejaksaan, akan tetapi kalau penegak hukum itu diartikan secara luas, maka penegakan hukum itu juga menjadi tugas dari pembentuk undang-undang, Hakim dan instansi Pemerintah272, bahkan masyarakat, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 30 Undang-Undang Dasar 1945, bahwa setiap warganegara wajib bela negara. Sedangkan menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi suatu kenyataan. Yang disebut sebagai keinginan hukum disini tidak lain adalah pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan hukum itu.273 Inti dan arti penegakan hukum dari sisi lain terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terkandung di dalam kaidah yang mantap dan mengejawantahkan sikap dan tindakan sebagai rangkaian penyatuan nilai tahap akhir untuk menciptakan (sebagai social engineering) memelihara dan memantapkan (sebagai social control) kedamaian pergaulan hidup.274 Dengan demikian penegakan hukum merupakan suatu proses pelaksanaan hukum oleh aparatur penegak hukum, yang mencakup usaha-usaha pencegahan hingga tindakan penjatuhan sanksi. Penegakan hukum pidana erat sekali hubungannya dengan hukum acara pidana, dimana pada hakekatnya hukum acara pidana termasuk dalam bagian sistem peradilan pidana yang merupakan jaringan kerja yang melibatkan hukum pidana materil (substantive), hukum acara pidana (hukum pidana formal) dan hukum pelaksanaan pidana dalam rangka mencapai suatu tujuan, baik tujuan jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang yaitu ingin mewujudkan kesejahteraan sosial. Penegakan hukum (law enforcement) telah mempunyai kekuatan (force) yang diperlukan dalam menegakan hukum. Bila perlu dapat digunakan kekerasan untuk memaksa seseorang agar mematuhi hukum sehingga tercipta suatu keserasian hidup antara ketertiban dan ketentraman, sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi.Sedangkan penegakan hukum pidana adalah upaya untuk menerjemahkan dan mewujudkan keinginan-keinginan hukum pidana menjadi kenyataan, yaitu hukum pidana, yang menurut Van Hamel adalah keseluruhan dasar dan aturan yang dianut oleh negara dalam kewajibannya untuk menegakkan hukum, yakni dengan melarang apa yang bertentangan dengan hukum (on recht) dan mengenakan nestapa (penderitaan) kepada yang melanggar larangan tersebut.275 272

Sudarto, 1986. kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni, Bandung. menurut beliau penegakan hukum tidak lain adalah proses sdiskresi (discretion process) yaitu proses penyesuaian antara harapan dan kenyataan. Hlm. 16. 273 Rahardjo. Op cit. hlm. 24. 274 Soerjona Soekanto, 1983, Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, Rajawali hal 2. dari faktor-faktor tersebut dapat dikaji factor-faktor penghambat penegakan hukum pada umunya dan penegakan hukum terhadap narkoba khususnya sesuai dengan focus dari tulisan ini. 275 Sudarto, 1986. Kapita selekta hukum pidana Alumni. Bandung. hlm. 60.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Membicarakan penegakan hukum pidana sebenarnya tidak hanya dilihat dari bagaimana cara membuat hukum itu sendiri, melainkan juga mengenai apa yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum dalam mengantisipasi dan mengatasi masalah-masalah dalam penegakan hukum. Oleh karena itu, dlam menangani masalah dalam penegakan hukum pidana yang terjadi dalam masyarakat dapat dilakukan secara penal (hukum pidana) dan non-penal (tanpa menggunakan hukum pidana). Upaya penal merupakan salah satu upaya penegakan hukum atau segala tindakan yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum yang lebih menitik beratkan pada pemberantasan setelah terjadinya tindak pidana (tindakan represif) yang dilakukan dengan menggunakan hukum pidana yaitu sanksi pidana yang merupakan ancaman bagi pelakunya, yang dilakukan melalui tahapan penyidikan, penuntutan sampai pada putusan pengadilan yang merupakan bagian dari politik kriminal.276 Sedangkan upaya non penal (upaya preventif) adalah upaya yang lebih menitik beratkan pada pencegahan sebelum terjadinya kejahatan dan secara tidak langsung dilakukan tanpa menggunakan sarana pidana atau hukum pidana, misalnya: mengurangi atau menghilangkan kesempatan berbuat kejahatan dengan perbaikan lingukungan, siskamling (system keamanan lingkungan), penyuluhan hukum atau sosialisasi undang-undang. Menurut Barda NA.277, menegakkan hukum pidana dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu: 1. Tahap Formulaasi (kebijakan legislatif) Tahap menegakkan hukum pidana in abstracto oleh badan pembuat undangundang yang melakukan kegiatan memilih yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan yang akan dating, kemudian merumuskannya dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. 2. Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif) Tahap ini merupakan tahap penegakan hukum pidana poleh aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian sampai ke pengadilan. Dengan demikian aparat penegak hukum bertugas menegakkan serta menerapkan peraturan perundangundangan pidana yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang dalam melaksanakan tugasnya aparat penegak hukum harus perpegang teguh pada nilai-nilai keadilan dan daya guna. 3. Tahap Eksekusi (kebijakan eksekutif) Tahap ini merupakan tahap pelaksanaan hukum secara konkret oleh aparat pelaksana pidana, pada tahan ini aparat pelaksana pidana bertugas menegakkan peraturan perundang-undangan yang telah dibuat oleh pembuat undang-undang melalui penerapan pidana yang telah diterapkan dalam putusan pengadilan. Dengan demikian proses pelaksanaan pemidanaan yang telah diputus oleh pengadilan yang dilaksanakan oleh aparatur pelaksana pidana harus berpedoman pada ketentuan atau peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah tersebut agar dapat berdaya guna. Ketiga tahap penegakan hukum pidana tersebut dilihat sebagai suatu usaha rasional yang sengaja 276 277

Ibid, hlm. 113 Muladi dan Barda NA., 1992. Bunga rampai hukum pidana, Alumni, Bandung hlm. 159.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

direncanakan untuk mencapai suatu tujuan tertentu, dengan demikian harus merupakan jalinan atau mata rantai aktivitas yang tidak terputus yang bersumber dari nilai-nilai dan bermuara pada pidana dan pemidanaan. C. Pengaruh Perkembangan Cyber Crime terhadap Penegakan Hukum Pidana Untuk membahas pengaruh perkembangan cyber crime terhadap penegakan hukum pidana, penulis mencoba mengkaji dari pendapat Soerjono Soekanto tentang faktor yang mempengahruhi penegakan hukum pidana, yang terdiri dari: 1. Faktor hukum (undang-undang); 2. Faktor penegak hukum; 3. Faktor sarana dan fasilitas; 4. Faktor masyarakat; 5. Faktor kebudayaan.278 Ad 1. Faktor hukum (undang-undang) Praktek penyelenggaraan penegakan hukum di lapangan sringkali terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini terjadi dikarenakan konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan kepastian hukum sudah ditentukan secara normative. Tindakan atau kebijakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum atau undang-undang nerupakan suatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan tersebut tidak bertentangan dengan hukum. Oleh karenanya penegakan hukum merupakan proses penyerasian antara nilai-nilai dan akidah-kaidah serta pada perilaku nyata yang bertujuan untuk mencapai kedamaian. Secara normative aturan yang mengatur tentang tindak pidana mayantara (cyber crime) sampai saat ini belum ada yang khusus, walaupun sudah ada eberapa peraturan yang mengatur tentang perbuatan yang ada hubungannya dengan cyber crime seperti UU ITE, UU penyiaran, UU Pornografi, tetapi maih banyak juga perbuatan yang diatur dalam KUHP (tindak pidana konvensional) yang modus operandinya maupun obyeknya menyangkut cyber crime oleh karenanya terhadap perbuatan yang unsurunsurnya terdapat dalam KUHP, maka digunakan pasal-pasal yang ada dalam KUHP, untuk perbuatan yang tidak di atur dalam KUHP menggunakan ketentuan lain misalnya money loundring, tindak pidana perbankan, pornografi, tindak pidana dibidang IT dan sebagainya. Ad.2 Faktor Penegak Hukum Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam kerangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebejatan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegakan hukum, keadilan dan

278

Soerjono Soekanto, 1986. Pengantar penelitian Hukum UI Press. Jakarta hlm. 8.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

kebenaran harus dinyatakan, harus terasa dan terlihat serta harus diaktualisasikan. Pada kenyataannya di Indonesia saat ini kualitas dari penegak hukum masih diragukan terlebih dengan terungkap banyaknya penegak hukum yang terkena kasus korupsi, penyuapan bahkan ada juga oknum penegak hukum yang menjadi dalang dari pengedaran gelap narkoba atau juga sebagai pengguna dari obat - obat terlarang tersebut. Hal demikian menandakan kurangnya kejujuran, etika dan moral dari aparat penegak hukum, khusus terhadap tindak pidana mayantara dilihat dari kuantitas maupun kualitas penegak hukum di Indonesia belum mendukung terlebih dari sisi profesionalisasinya, karena jumlah penegak hukum yang memiliki keahlian di bidang tersebut masih terbatas. Ad 3. Faktor sarana dan fasilitas Sarana dan fasilitas yang kurang mendukung, baik dari kuantitas maupun kualitas dari sarana maupun fasilitas yang dimiliki oleh masingmasing petugas penegak hukum belum sesuai dengan beban tugas yang mereka jalankan. Karena untuk menangkap atau membuktikan pelaku kejahatan sarananya harus lebih canggih dari sarana atau alat yang digunakan oleh penjahat. Tentunya untuk peningkatan kualitas dan kuantitas dari sarana ini akan menambah anggaran bagi negara untuk menyiapkannya. Ad 4. Faktor masyarakat Partisipasi masyarakat sangat dipelukan terhadap pelaksanaan penegakan hukum, karena bagian yang terpenting dalam penegakan hukum adalah kesadaran hukum masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik dan semakin rendah tingkat kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan penegakan hukum yang baik.Demikian juga halnya dengan tindak pidana mayantara (cyber crime). Tetapi yang menjadi hambatan di kalangan masyarakat adanya rasa takut untuk dijadikan saksi walaupun sudah ada ketentuan mengenai perlindungan saksi dan korban.Termasuk juga karena kurangnya pengetahuan hukum dari masyarakat. Ad 5. Faktor kebudayaan Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat. Berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan) harus mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar hukum adat. Dalam penegakan hukum, semakin banyak penyesuaian antara peraturan perundang-undangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin mudah dalam menegakkannya. Tetapi sebaliknya, apabila peraturan perundang-undangan tidak sesuai atau bertentangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin sukar untuk melaksanakan dan menegakkan peraturan hukum tersebut. Untuk di Indonesia dapat dipahami bahwa hukum atau peraturan yang ada kurang memperhatikan kearifan lokal atau kebudayaan, karena kebanyakan peraturan di buat tanpa memperhatikan situasi dan kondisi dari masyarakat yang akan dikenakan aturan, sehingga banyak aturan

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

perundang-undangan yang tidak efektif. Terlebih terhadap tindak pidana mayantara (cyber crime) yang lingkup perbuatannya tidak mengenal batas atau global, diharapkan ketentuannya juga menyesuaikan situasi atau keadaan budaya masyarakat yang akan menghadapi globalisasi tersebut karena dengan adanya cyber crime ini sudah barang tentu akan sangat berpengaruh kepada kebudayaan (culture), baik budaya local, nasional maupun masyarakat international. III. Penutup A. Simpulan Berdasarkan uraian pada pembahasan di atas dapat disimpulkan, bahwa: 1. Perkembangan cyber crime saat ini sangat pesat, hal ini dimulai dengan ditemukannya komputer pada tahun 80-an hingga sekarang banyak sekali kejahatan yang terjadi baik menggunakan computer seagai alat dalam melakukan kejahatan maupun sebagai obyek dari kejahatan, demikian juga kejahatannya baik yang bersifat konvensional maupun yang luar biasa (extra ordinary crime). Masalah ini sudah beberapa kali di bahas pada konres PBB yang dimulai pada tahun 2001 hingga sekarang, demikian juga di Indonesia sendiri sudah paling sedikitnya delapan kali seminar nasional yang juga membicarakan tentang masalah cyber crime terutama kaitannya dengan upaya penanggulangannya. 2. Pengaruh perkembangan cyber crime terhadap penegakan hukum pidana di Indonesia, dapat dilihat dari berbagai faktor, yaitu faktor hukum, yaitu dengan munculnya cyber crime tentunya dibutuhkan aturan hukum pidana substantive yang mengatur tentang cyber crime, dari factor penegak hukum, dalam hal ini diperlukan sumberdaya manusia penegak hukum yang berkualitas yang memahami dan mampu mengikuti perkembangan dan kemajuan teknologi terutama dibidang cyber crime. Faktor sarana dan prasarana juga diperlukan biaya atau anggaran yang cukup banyak guna memenuhi kebutuhan akan sarana yang mempu untuk mendeteksi dan membuktikan adanya cyber crime. sedangkan faktor masyarakat perlu ditingkatkan pengetahuan masyarakat tentang masalah cyber crime, dengan harapan masyarakat dapat ikut berpartisipasi dalam upaya penanggulangan terhadap cyber crime.kemudian dengan adanya cyber crime sudah barang tentu akan berpengaruh kepada kebudayaan, baik budaya lokal, nasional dan internasional. B. Saran Dari kesimpulan di atas, penulis mencoba menyarankan: 1. Agar segera dibuat undang-undang khusus yang mengatur tentang cyber crime; yang merupakan masalah dasar dalam penegakan hukum pidana. 2. Agar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang baru segera di sahkan dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana segera di revisi terutama hubungannya dengan alat bukti yang ada dalam Pasal 183 dan Pasal 184 KUHAP ditambah dengan alat-alat bukti yang menggunakan alat elektronik.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

3. Diharapkan pengetahuan sumber daya manusia penegak hukum,serta sarana dan prasarananya agar ditingkat, sehingga mampu mengatasi permasalahan yang berhubungan dengan cyber crime. Daftar Pustaka Arief, Barda Nawawi. 2007. Tindak Pidana Mayantara Perkembangan Kajian Cyber Crime di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Muladi dan Barda NA., 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni. Bandung Rahardjo, Satjipto. 1983. Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru, Bandung. Soekanto, Soerjono, 1983. Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum Rajawali. Jakarta. ----------, 1986. Pengantar Penelitian Hukum, UI Press. Jakarta., Sudarto. 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni. Bandung. Zahrulyani, Arif. 2009. Persfektif Penegakan Hukum terhadap Kejahatan Komputer (Cyber Crime) dalam Hukum Pidana Indonesia Tesis, Magister Hukum. Unila. Bandar Lampung. Raharja, Agus. 2003. Cyer Crime di Indonesia, Jurnal Studi Kepolisian. www.crime-research.org. library criminal.html goegle tentang Dunia maya.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Pemlsuan Mata Uang __________________________________________________________________ Donna A.Pendahuluan Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur serta merata baik material maupun spiritual berdasrkan pancasila dan UUD 1945 dalam wadah Negara kesatuan Republik Indonesia.Dalam pelaksanaan pembagunan nasional khususnya dibidang ekonomi diperlukan upaya-upaya anatar lain untuk terus meningkatkan,memperluas, memantapkan dan mengamankan perekonomian. Motif ekonomi seringkali mendorong munculnya berbagai Kejahatan yang baru dan inovatif. Misalnya munculnya cyber crime,money laundering,kejahatan perbankan dan lain sebagainya. Manusia cenderung mencari celah-celah hukum dengan kecanggihan teknologi dan ilmu pengetahuan. Sepanjang ada niat dari manusia untuk memperkaya diri sendiri,sepanjang ada sarana yang dapat digunakan dan sepanjang ada tujuan maka kesempatan untuk munculnya kejahatan jenis baru akan selalu ada. Kejahatan pemalsuan uang merupakan salah satu kejahatan dibidang mata uang yang sangat merugikan masyarakat sebagai pelaku ekonomi dan konsumen.Bentuk kejahatan ini memiliki implikasi yang sangat luas baik bagi pelaku ekonomi secara langsung maupun perekonomian secara nasional.Keberadaan uang palsu ditengahtengah masyarakat akan membawa dampak dan pengaruh yang sangat besar.Masayarakat kita yang mayoritas adalah ekonomi menengah kebawah akan sangat terpengaruh dengan keberadaan uang palsu ini. Uang adalah sesuatu yang secara umum diterima di dalam pembayaran yang sah untuk pembelian barang-barang dan jasa serta untuk pembayaran utang. Uang dalam ilmu ekonomi tradisional didefinisikan sebagai setiap alat tukar yang dapat diterima secara umum. Alat tukar itu dapat berupa benda apapun yang dapat diterima oleh setiap orang di masyarakat dalam proses pertukaran barang dan jasa Dalam ilmu ekonomi modern, uang didefinisikan sebagai sesuatu yang tersedia dan secara umum diterima sebagai alat pembayaran bagi pembelian barang-barang dan jasa-jasa dan kekayaan berharga lainnya serta untuk pembayaran utang279. Kejahatan pemalsuan uang mengalami perkembangan yang cukup kompleks karena memiliki dimensi yang luas dan saling berkaiatan, di antaranya adalah pelaku pemalsuan uang yang melibatkan para pelaku yang lebih dari satu orang, modus pemalsuan uang, motivasi dan faktor pendukung pemalsuan uang dan wilayah pemalsuan dan peredaran uang palsu yang luas. Selain itu, karena objek yang dipalsukan adalah uang sebagai alat pembayaran sah pada suatu negara maka akan berdampak negatif pada perekonomian suatu negara Maraknya Kejahatan pemalsuan uang didukung oleh beberapa faktor, di antaranya adalah perkembangan teknologi komputer, alat pemindai (scanner) dan alat pencetak (printer) yang makin canggih dan dapat diperoleh dengan mudah di tokotoko komputer, sehingga semakin membuka peluang bagi para pelaku untuk melaksanakan kejahatannya. Selain itu faktor motivasi seseorang atau sekelompok 279

Boediono,1990.Ekonomi Moneter.BPFE.Yogyakarta. Hlm. 14.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

orang (sindikat) untuk mendapatkan keuntungan pribadi dengan jalan pintas meskipun perbuatan tersebut termasuk dalam kategori kejahatan menjadi pemicu maraknya Kejahatan pemalsuan uang. Mengingat pentingnya fungsi dan kedudukan mata uang, setiap negara mempunyai kebijakan berkaitan dengan peredaran mata uang. Tujuan kebijakan pengedaran mata uang adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan uang dalam jumlah yang cukup, menjaga kualitas uang layak edar dan menanggulangi pemalsuan uang. Pemalsuan uang akan terus berkembang selama uang masih masih dipakai sebagai alat transaksi. Adapun sanksi bagi pelaku Kejahatan pemalsuan uang dinyatakan dalam Pasal 244 KUHP yang menyatakan bahwa barang siapa meniru atau memalsu mata uang atau kertas yang dikeluarkan oleh Negara atau Bank, dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan mata uang atau uang kertas itu sebagai asli dan tidak dipalsu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Selanjutnya Pasal 245 menyatakan bahwa barang siapa dengan sengaja mengedarkan mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh Negara atau Bank sebagai mata uang atau uang kertas asli dan tidak dipalsu, padahal ditiru atau dipalsu olehnya sendiri, atau waktu diterima diketahuinya bahwa tidak asli atau dipalsu, ataupun barang siapa menyimpan atau memasukkan ke Indonesia mata uang dan uang kertas yang demikian, dengan maksud untuk mengedarkan atau menyuruh mengedarkan sebagai uang asli dan tidak dipalsu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun280. Salah satu kasus terkait pemalsuan uang yaitu kasus setra sari, yaitu kasus pemalsuan uang yang diperkirakan sebesar 4 miliar rupiah dalam bentuk 50.000-an rupiah, dilakukan dengan cara-cara yang sangat canggih dan menghasilkan uang palsu yang nyaris sempurna,dapat dijadikan betapa berbahayanya kejahatan pemalsuan uang. Dalam kasus yang diperiksa oleh PN Jakarta Pusat, para pelakunya adalah oknum anggota Badan Intelijen Negara, sebuah lembaga yang mempunyai otoritas tinggi dalam mengungkap kejahatan besar yang terjadi di Indonesia. Dalam kasusu tersebut dibuktikan bahwa pelaku bukan dari kalangan ekonomi lemah atau kelas bawah,tetapi dilakukan oleh berpendidikan. Kasus tersebut membuktikan bahwa kejahatan pemalsuan uang terjadi secara terorganisir. Penegakan hukum terhadap kasus pemalsuan uang juga dinilai masih belum berjalan baik.Hal ini dibuktikan dengan rendahnya sanksi yang dijatuhkan oleh pengadilan.Contoh dalam kasus setra sari tersebut, terdakwanyan hanya dihukum satu tahun.Penjatuhan sanksi yang sangat rendah sesungguhnya tidak sesuai dengan kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh ketentuan-ketentuan dalam KUHP.Oleh karenanyan dianggap perlu upaya penggulangan untuk memberantas kejahatan yang dianggap banyak merugikan perekonomian Negara tersebut. Permasalahan yang akan diangkat adalah “Bagaimanakah penanggulangan Kejahatan terhadap pemalsuan uang sebagai upaya penegakan hukum pidana? A. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan

280

F.AGYYA..2010. KUHP. Asa Mandiri. Jakarta.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Kebijakan Kriminal yang dalam kepustakaan asing sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain penal policy, criminal policy, atau strafrechtspolitiek adalah suatu usaha untuk menanggulangi kejahatan melalui penegakan hukum pidana, yang rasional yaitu memenuhi rasa keadilan dan daya guna. Dalam rangka menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana maupun non hukum pidana, yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya. Apabila sarana pidana dipanggil untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang281. Menurut E Utrecht dan M. Saleh Djinjang282, pelaksanaan dari politik hukum pidana harus melalui beberapa tahap kebijakan yaitu: 1. Tahap Formulasi Yaitu tahap penegakan hukum pidana in abstracto oleh badan pembuat UndangUndang. Dalam tahap ini pembuat undang-undang melakukan kegiatan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan situasi masa kini dan yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam bentuk peraturan perundang-undangan pidana untuk mencapai hasil Perundang-undangan yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Tahap ini disebut Tahap Kebijakan Legislatif.

281

2.

Tahap Aplikasi Yaitu tahap penegakan Hukum Pidana (tahap penerapan hukum pidana) Oleh aparat-aparat penegak hukum mulai dari Kepolisian sampai Pengadilan. Dalam tahap ini aparat penegak hukum bertugas menegakkan serta menerapkan peraturan Perundang-undangan Pidana yang telah dibuat oleh pembuat Undang-Undang. Dalam melaksanakan tugas ini, aparat penegak hukum harus berpegang teguh pada nilai-nilai keadilan dan daya guna tahap ini dapat dapat disebut sebagai tahap yudikatif.

3.

Tahap Eksekusi Yaitu tahap penegakan (pelaksanaan) Hukum secara konkret oleh aparat-aparat pelaksana pidana. Dalam tahap ini aparat-aparat pelaksana pidana bertugas menegakkan peraturan Perundang-undangan Pidana yang telah dibuat oleh pembuat Undang-Undang melalui Penerapan Pidana yang telah ditetapkan dalam putusan Pengadilan. Dalam melaksanakan pemidanaan yang telah ditetapkan dalam Putusan Pengadilan, aparat-aparat pelaksana pidana itu dalam melaksanakan tugasnya harus berpedoman kepada Peraturan Perundang-undangan Pidana yang dibuat oleh pembuat Undang-Undang dan nilai-nilai keadilan suatu daya guna.

Sudarto, 1983. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Kajian terhadap Pembaharuan Hukum Pidana. Sinar Baru. Bandung. Hlm.109. 282 Utrecht, E. dan M. Saleh Djinjang, 1982. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Pradya Paramitha. Jakarta.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Ketiga tahap Penegakan Hukum Pidana tersebut, dilihat sebagai usaha atau proses rasional yang sengaja direncanakan untuk mencapai tujuan tertentu, jelas harus merupakan suatu jalinan mata rantai aktivitas yang tidak termasuk yang bersumber dari nilai-nilai dan bermuara pada pidana dan pemidanaan. Menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana pidana (penal) maupun non hukum pidana (nonpenal), yang dapat diintegrasikan satu dengan yang lainnya. Apabila sarana pidana dipanggil untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundangundangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang283. Usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan (politik kriminal) menggunakan dua sarana, yaitu: 1. Kebijakan Pidana Dengan Sarana Penal. Sarana penal adalah penggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana yang didalamnya terdapat dua masalah sentral, yaitu : (a) Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana; (b) sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada pelanggar. 2. Kebijakan Pidana Dengan Sarana Non Penal Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sarana non penal hanya meliputi penggunaan sarana sosial untuk memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempengaruhi upaya pencegahan terjadinya kejahatan284. B.Ketentuan Hukum terhadap Kejahatan Pemalsuan Uang Kertas Rupiah dan Pengedarannya Menurut sistem hukum pidana, kejahatan terhadap mata uang dan uang kertas adalah berupa kejahatan berat285. Setidak-tidaknya ada 2 (dua) alasan yang mendukung pernyataan itu, yakni: 1. Ancaman pidana maksimum pada kejahatan ini rata-rata berat. Ada 7 bentuk rumusan kejahatan mata uang dan uang kertas dalam Bab X buku II KUHP, dua diantaranya diancam dengan pidana penjara maksimum 15 tahun (Pasal 244 dan 245), dua dengan pidana penjara maksimum 12 tahun (Pasal 246 dan 247), satu dengan pidana penjara maksimum 6 tahun (Pasal 250). Selebihnya, diancam dengan pidana penjara maksimum 1 (satu) tahun (Pasal 250bis) dan maksimum pidana penjara 4 bulan dua minggu (Pasal 249). 2. Untuk kejahatan mengenai mata uang dan uang kertas berlaku asas universaliteit, artinya hukum pidana Indonesia berlaku bagi setiap orang 283

Sudarto, 1983. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Kajian terhadap Pembaharuan Hukum Pidana. Sinar Baru. Bandung. Hlm.109. 284 Arief, Barda Nawawi, 1996. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bhakti. Bandung. Hlm. 158. 285 Adami Chazawi, 2005. Kejahatan Mengenai Pemalsuan. Rajawali Pers. Bandung. Hlm. 21-22.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

yang melakukan kejahatan ini di luar wilayah Indonesia di manapun. (Pasal 4 sub 2 KUHP). Kejahatan pemalsuan mata uang dan uang kertas diatur dalam Pasal 244 s.d. 252 KUHP, ditambah Pasal 250bis. Pasal 248 telah dihapus melalui Stb Tahun 1938 Nomor 593. Di antara pasal-pasal itu ada 7 pasal yang merumuskan tentang kejahatan, yakni: 244, 245, 246, 247, 249, 250, 251 286. B.Upaya Penanggulangan Kejahatan Terhadap Pemalsuan Uang 1. Upaya Nonpenal Penanggulangan Kejahatan Pemalsuan Uang dan Peredaran Uang Palsu Upaya pencegahan Kejahatan pemalsuan uang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan cara penggantian desain uang Rupiah secara berkala dengan menggunakan teknologi pengaman uang (security features) yang mutakhir dan terkini pada desain barunya. Upaya ini dilakukan untuk membatasi potensi pemalsuan uang, karena penggantian desain uang Rupiah secara berkala tersebut menggunakan teknologi pengaman uang yang tinggi sehingga mempersulit para pelaku untuk memalsukan uang tersebut. Bank Indonesia, sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan dan mengedarkan, mencabut, menarik, serta memusnahkan uang Rupiah dari peredaran, berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan uang Rupiah di masyarakat dalam jumlah nominal yang cukup, jenis pecahan yang sesuai, tepat waktu dan dalam kondisi yang layak edar. Dalam implementasinya, pelaksanaan kewenangan dimaksud menghadapi berbagai tantangan, yang salah satunya adalah terdapatnya risiko peredaran uang Rupiah palsu di masyarakat. Peredaran uang Rupiah palsu yang tinggi, selain berpotensi mengurangi psikologis kepercayaan masyarakat dalam menggunakan uang Rupiah juga merugikan masyarakat yang memilikinya, mengingat tidak adanya penggantian terhadap uang palsu yang dimiliki287. Upaya pencegahan yang dilakukan oleh Bank Indonesia ini sesuai dengan amanat Pasal 19, 20, 22 dan 23 Undang-Undang BI mengatur mengenai kewenangan BI untuk menetapkan macam, harga, ciri, bahan, dan tanggal mulai berlakunya; mengeluarkan, mengedarkan, mencabut, menarik, dan memusnahkan uang; tidak memberikan penggantian atas uang yang hilang/musnah dan memberikan penggantian dengan nilai yang sama terhadap uang yang dicabut dari peredaran dalam batas waktu tertentu. Selain itu upaya non penal pencegahan Kejahatan peredaran uang palsu merupakan langkah preventif yang ditempuh Bank Indonesia dalam mengantisipasi maraknya peredaran uang palsu. Upaya ini ditempuh dengan cara menyosialisasikan keaslian uang kertas dengan slogan 3D (dilihat, diraba, dan diterawang), secara intensif dengan menggunakan berbagai media, baik media cetak maupun media elektronik288. Keaslian uang Rupiah dapat dikenali melalui ciri-ciri yang terdapat baik pada bahan yang digunakan untuk membuat uang (kertas, plastik, atau logam), desain dan 286

Ibid. Hlm. 22-28. Peraturan BI NO 6/14/PBI/2004 ttg pengeluaran, pengedaran, pencabutan dan penarikan serta pemusnahan uang rupiah. 288 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004. 287

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

warna masing-masing pecahan uang, maupun pada teknik pencetakannya. Sebagian ciri-ciri yang terdapat pada uang Rupiah tersebut, selain berfungsi sebagai ciri untuk membedakan antara satu pecahan dengan pecahan lainnya, dapat berfungsi juga sebagai alat pengaman dari ancaman Kejahatan pemalsuan uang. Alat pengaman tersebut terdiri dari alat pengaman yang kasat mata, kasat raba, dan pengaman yang baru terlihat dengan menggunakan alat bantu berupa sinar ultra violet (UV lights), sinar infra merah (infra red lights), kaca pembesar (loupe), dan alat plastik tertentu untuk melihat scramble image. a. Ciri-Ciri Pada Bahan Uang289 Bahan uang kertas dapat dibedakan dalam 2 jenis, yaitu bahan kertas dan bahan plastik (polymer) 1) Bahan Kertas Uang, ciri-cirinya adalah: a) Bahan kertas uang, adalah kertas yang terbuat dari serat kapas atau campuran dengan bahan lainnya, yang diproses secara khusus sehingga tidak memendar di bawah sinar ultra violet (UV lights). b) Tanda Air (Water Mark), adalah gambar berupa kepala pahlawan nasional yang dibuat dengan cara menipiskan serat kapas sehingga terlihat jelas apabila diterawangkan ke arah cahaya, baik dari bagian muka maupun belakang. c) Benang Pengaman, adalah bahan dari plastik yang ditanam pada kertas uang dan akan terlihat sebagai garis melintang dari atas ke bawah apabila diterawangkan ke arah cahaya. Benang pengaman tersebut dapat dibuat tidak memendar (nonfluorescent) maupun memendar (fluorescent) di bawah sinar ultra violet dengan penempatan satu warna (single colour fluorescent) atau beberapa warna (multi colour/rainbow fluorescent) d) Electrotype, adalah gambar berbentuk hiasan yang dibentuk dengan cara seperti pembuatan tanda air (water mark), namun lebih tipis sehingga akan terlihat lebih terang dari penampakan tanda air apabila diterawangkan ke arah cahaya. e) Serat-Serat (Vibres), adalah serat berwarna yang disebarkan secara acak di atas kertas uang sehingga penempatannya tidak pernah sama pada setiap lembar uang. Serat tersebut terdiri dari serat yang kasat mata dan serat yang baru terlihat apabila disinari dengan ultra violet. 2) Bahan Plastik, ciri-ciri yang terdapat pada bahan plastik (polymer) adalah: a) Bahan Plastik (Polymer) terbuat dari bijih plastik yang diproses secara khusus dengan diberi lapisan (coating), sehingga tidak memendar di bawah sinar ultra violet (UV Lights). b) Bayangan Gambar (Translucent Shadow Image), adalah bayangan gambar yang dapat dilihat di bawah cahaya dari sisi tertentu. c) Jendela Transparan (Transparent Security Window), adalah jendela transparaan yang memuat gambar hologram (Optically Variable Devices/OVD) yang terlihat dari sisi muka dan belakang serta akan menampakkan perubahan warna bila dilihat dari sudut berbeda.

289

Brosur uang kertas rupiah. Bank Indonesia. 2001.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

d) Jendela berwarna (Colour Security Window), adalah jendela transparan yang berwarna dan memuat filter untuk melihat gambar (metameric print) di sisi tertentu yang berfungsi sebagai penguji keaslian uang (self-authentication). b. Ciri Pada Desain dan Warna Uang290 Desain dan warna dari setiap pecahan uang Rupiah telah dibuat sedemikian rupa sehingga dapat memberikan ciri-ciri tertentu, baik untuk keperluan keindahan maupun untuk pengamanan terhadap ancaman Kejahatan pemalsuan uang, yang meliputi: 1) Gambar utama bagian muka dan bagian belakang. 2) Gambar dan ornamen pendukung lainnya. 3) Warna dominan uang. 4) Ukuran uang. c. Ciri -Ciri pada Teknik Cetak Uang291 Teknik cetak Rupaih terdiri dari: 1) Cetak Intaglio, adalah hasil cetak timbul berbentuk relief yang terasa kasar apabila diraba. 2) Rectoverso (See Through Register), adalah hasil cetak yang beradu tepat atau saling mengisi antara bagian muka dan belakang sehingga penampakannya waktu diterawangkan ke arah cahaya tidak boleh bergeser sedikitpun. 3) Nomor seri yang memendar, adalah hasil cetak berupa nomor seri yang selain kasat mata juga akan memendar di bawah sinar ultra violet 4) Latent Image/Multilayer Latent Image, adalah hasil cetak lebih dari satu obyek dalam satu tempat yang akan tampak jelas apabila dilihat dari sudut pandang yang berbeda. 5) Huruf/angka mikro, adalah hasil cetak yang berupa huruf/angka dengan ukuran yang sangat kecil sehingga baru dapat dibaca jelas apabila dilihat dengan menggunakan kaca pembesar. 6) Hasil cetak yang tidak kasat mata Adalah hasil cetak dengan menggunakan tinta khusus sehingga tidak kasat mata dan baru akan terlihat jelas apabila disinari dengan ultra violet 7) Tinta berubah warna (Optical Variable Ink/OVI), adalah hasil cetak yang mengkilat (glittering) yang warnanya akan berubah apabila dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Teknik cetak ini dilakukan untuk menghindari ancaman pemalsuan dengan mesin fotocopi warna. 8) Latar (Screen), adalah hasil cetak berupa garis yang sangat halus dengan satu atau beberapa warna yang memberikan kesan warna dominan dari suatu pecahan uang. 9) Guilloche, adalah hasil cetak berupa garis-garis sangat halus yang tidak terputus dan membentuk alur seperti rajut Sementara itu ciri-ciri uang palsu di antaranya adalah sebagai berikut: a) Cetak Intaglio : tidak terasa kasar bila diraba b) Huruf Mikro : tidak jelas terbaca dengan alat kaca pembesar c) Nomor Seri : tidak berubah warna apabila disinari ultraviolet 290 291

Materi penataran cirri-ciri keaslian uang rupiah. BI, 2004. Ibid.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

d) Ovtical Variable ink : tidak berubah warna bila dillihat dari sudut pandang tertentu e) Rectoverso : jika diterawang kearah cahaya tidak beradu tepat menjadi logo Bank Indonesia f) Bahan uang : terasa licin dan memendar dibawah sinar ultraviolet d. Sosialiasi keaslian mata uang rupiah tersebut bertujuan untuk lebih mengenalkan mata uang rupiah yang asli kepada masyarakat, serta meningkatkan kewaspadaan masyarakat terhadap kemungkinan menjadi korban pemalsuan uang dan peredaran uang palsu. Bagi masyarakat, khususnya pedagang atau orang-orang yang bekerja dengan kegaiatan transaksi uang secara langsung dapat bisa membeli alat khusus yang bermanfaat untuk mendeteksi keaslian uang292. Upaya preventif lain yang dilakukan adalah dengan melakukan kegiatan tatap muka dengan berbagai lapisan masyarakat dan instansi berwenang dalam rangkaian acara sosialisasi keaslian uang rupiah dan membangun pusat database uang Rupiah Palsu yang dinamakan Bank Indonesia Counterfeit Analysis Center (BI-CAC). Namun demikian Bank Indonesia tetap harus bekerja sama dengan berbagai instansi untuk pencegahan dan penanggulangan uang palsu seperti Botasupal, Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan serta masyarakat secara luas, sesuai dengan tetap berpedoman kepada fungsi dan peran masing-masing instansi penegak hukum tersebut. 2. Upaya Penal Penanggulangan Kejahatan Pemalsuan Uang dan Peredaran Uang Palsu Upaya penal penanggulangan Kejahatan pemalsuan uang dan peredaran uang palsu yang dilakukan oleh kepolisian adalah dengan melaksanakan penyelidikan untuk mendapatkan bukti-bukti yang kuat dalam menentukan apakah suatu perbuatan termasuk sebagai Kejahatan atau bukan. Dalam penyelidikan ini, rangkaian tindakan penyelidik bertujuan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai Kejahatan, tidak untuk mencari/menemukan tersangka. Ketika pihak kepolisian sudah mendapat cukup bukti bahwa suatu perbuatan termasuk dalam Kejahatan maka dilakukan penyidikan. Penyelidikan merupakan serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana menurut cara yang diatur di dalam undang-undang293. Penyelidikan dalam hukum acara pidana yang mengatur tindakan dan cara-cara mengungkap bukti-bukti agar dari suatu peristiwa pidana dapat diketahuhi tersangkanya dan juga bagaimana agar orang yang disangka telah melanggar hukum pidana materil tersebut dapat dikenakan sanksi pidana. Setiap melakukan penyidikan sesungguhnya penyidik membuat hipotesa yang merupakan interpretasi dari data dan fakta yang siperoleh selanjutnya disusun dan dirangkai hingga dapat disimpulkan pelakunya. Pada waktu melakukan penyidikan, pihak kepolisian dituntut untuk bekerja secara obyektif dan jujur, menafsirkan temuan fakta 292 293

Ibid. F.AGYYA..2010. KUHAP. Asa Mandiri. Jakarta.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

secara obyektif untuk kemudian disusun secara sistematis, sehingga secara obyektif pula dapat ditentukan terbukti atau tidak. Bagian-bagian penyidikan yang berkaitan dengan acara pidana meliputi berbagai ketentuan tentang data penyidikan, diketahuinya terjadinya delik, pemeriksaan di tempat kejadian, pemanggilan tersangka atau terdakwa, penahanan sementara, penggeledahan, pemeriksaan atau investegasi, berita acara (penggeledahan, interogasi, dan pemeriksaan di tempat), penyitaan dan pelimpahan perkara. Pemeriksaan penyidikan adalah pemeriksaan dimuka pejabat penyidik dengan menghadirkan tersangka, saksi atau ahli. Pemeriksaan berarti, petugas penyidikan berhadapan langsung dengan tersangka, para saksi, atau ahli. Penyidikan merupakan rangkaian tindakan penyidik dalam hal dan dengan cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti294. Dengan bukti yang dikumpulkan, Kejahatan yang terjadi akan menjadi terang dan jelas dapat menemukan tersangka yang menjadi pelaku Kejahatan yang sedang disidik. Kejahatan pemalsuan uang merupakan Kejahatan khusus, sehingga penyidik perlu menghadirkan seorang atau lebih saksi ahli untuk turut membantu kelancaran proses penyidikan. Oleh karena itu pihak kepolisian meminta bantuan saksi ahli dari Kepala Bank Indonesia Cabang Lampung untuk menunjuk stafnya, guna dimintai keterangan sebagai saksi ahli Kejahatan pemalsuan uang. Hal ini dilaksanakan sesuai dengan tujuan pokok penyidikan yaitu untuk menemukan kebenaran dan menegakkan keadilan. Penyidik harus bekerja secara obyektif, tidak sewenang-wenang dengan tetap menghormati Hak Azasi Manusia dan asas praduga tidak bersalah. Beberapa tahapan penyidikan yang dilakukan untuk mengungkap kasus Kejahatan pemalsuan uang, yaitu: a) Pemeriksaan di tempat kejadian, yaitu memeriksa tempat kejadian perkara terjadinya Kejahatan pemalsuan uang b) Pemanggilan atau penangkapan tersangka, setelah jelas dan cukup bukti awal maka pihak kepolisian melakukan pemanggilan atau penangkapan terhadap tersangka pelaku Kejahatan pemalsuan uang c) Penahanan sementara, setelah dilakukan penangkapan terhadap tersangka maka dilakukan penahanan terhadap pelaku Kejahatan pemalsuan uang d) Penyitaan, melakukan kegiatan penyitaan berbagai barang bukti yang akan memperkuat pemberkasan atau berita acara . e) Pemeriksaan, dilakukan untuk menambah atau memperkuat bukti-bukti bahwa telah terjadi Kejahatan pemalsuan uang. Pemeriksaan penyidikan adalah pemeriksaan di muka pejabat penyidik dengan jalan menghadirkan tersangka, saksi atau ahli. Pemeriksaan berarti, petugas penyidikan berhadapan langsung dengan tersangka, para saksi, atau ahli. f) Pemeriksaan di muka penyidik baru dapat dilaksanakan penyidik, setelah dapat mengumpulkan bukti permulaan serta telah menemukan orang yang diduga sebagai tersangka. Penyidik yang mengetahui sendiri terjadinya peristiwa pidana atau oleh karena berdasar laporan ataupun berdasar pengaduan dan menduga peristiwa itu 294

Ibid.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

merupakan Kejahatan, penyidik wajib segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan dan rangkaian akhir tindakan yang diperlukan itu adalah pemeriksaan langsung tersangka dan saksi-aksi maupun saksi ahli. g) Pembuatan Berita Acara, yang meliputi berita acara penggeledahan, interogasi, dan pemeriksaan di tempat. h) Pelimpahan perkara kepada penuntut umum untuk dilakukan tindakan hukum lebih lanjut sesuai dengan hukum yang berlaku295. Setelah proses penanggulangan Kejahatan pemalsuan uang selesai dilaksanakan oleh kepolisian, yaitu dengan pelimpahan perkara oleh pihak kepolisian kepada kejaksaan maka selanjutnya kejaksaaan akan menindak lanjuti perkara tersebut sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum yang berlaku, yaitu dengan melaksanakan penuntutan. Jaksa Penuntut Umum memiliki wewenang untuk melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu Kejahatan dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili (Pasal 137 KUHAP). Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, maka penuntut umum menentukan apakah berkas perkara tersebut sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dapat dilimpahkan ke pangadilan (Pasal 139 KUHAP). Jaksa Penuntut Umum menentukan surat dakwaan dan melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut. Surat dakwaan diberi tanggal dan ditanda tangani serta berisi nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka. Selain itu terdapat pula uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai Kejahatan yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat Kejahatan itu dilakukan. Setelah berkas perkara Kejahatan pemalsuan uang dilimpahkan oleh penuntut umum ke pengadilan maka, sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan maka dilaksanakanlah proses pengadilan terhadap terdakwa pelaku Kejahatan pemalsuan uang. Pengadilan semaksimal mungkin menegakkan keadilan melalui proses pengadilan, di mana berdasarkan bukti-bukti secara sah dan meyakinkan, hakim menjatuhkan hukuman kepada terdakwa Kejahatan pemalsuan uang. Penjatuhkan pidana kepada terdakwa seorang hakim tidak boleh menjatuhkan pidana tersebut kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu Kejahatan benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya (Pasal 183 KUHAP). Alat bukti sah yang dimaksud adalah: (a). Keterangan Saksi; (b). Keterangan Ahli; (c). Surat; (d). Petunjuk; (e). Keterangan Terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan296. Pasal 185 Ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya, sedangkan dalam ayat 3 dikatakan ketentuan tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya (unus testis nullus testis). Saksi korban juga berkualitas sebagai saksi, sehingga apabila terdapat alat 295 296

Ibid. Ibid.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

bukti yang lain sebagaimana dimaksud dalam Ayat 3, maka hal itu cukup untuk menuntut pelaku Kejahatan pemalsuan uang. Selain itu Hakim Pengadilan dalam mengambil suatu keputusan dalam sidang pengadilan, melihat dari beberapa aspek, yaitu: a) Kesalahan pelaku Kejahatan Hal tersebut merupakan syarat utama untuk dapat dipidananya seseorang. Kesalahan di sini mempunyai arti seluas-luasnya, yaitu dapat dicelanya pelaku Kejahatan tersebut. Kesengajaan dan niat pelaku Kejahatan harus ditentukan secara normatif dan tidak secara fisik. Untuk menentukan adanya kesengajaan dan niat harus dilihat dari peristiwa demi peristiwa, yang harus memegang ukuran normatif dari kesengajaan dan niat itu adalah hakim. Hakimlah yang harus menilai suatu perbuatan in concreto dengan ukuran norma penghati-hati atau penduga-duga, seraya memperhitungkan di dalamnya segala keadaan dan juga keadaan pribadi pelaku Kejahatan. Jadi segala keadaan yang objektif dan yang menyangkut pelaku sendiri harus diteliti dengan seksama. Untuk menentukan niat dari pelaku Kejahatan dapat digunakan ukuran apakah ia ada kewajiban untuk berbuat lain. Kewajiban ini dapat diambil dari ketentuan Undang-Undang atau dari luar UndangUndang, yaitu dengan memperhatikan segala keadaan apakah yang seharusnya dilakukan maka hal tersebut menjadi dasar untuk dapat mengatakan bahwa terdapat unsur sengaja. Misalnya di dalam KUHP ada ketentuan bahwa dalam Kejahatan harus ada niat. Di luar Undang-Undang pun ada aturan-aturan yaitu berupa kebiasaan atau dalam pergaulan hidup masyarakat yang harus diindahkan oleh seseorang. Dalam kasus tersebut bahwa perbuatan yang dilakukan oleh pelaku harus berdasarkan atas bukti pemeriksaan perkara dan keterangan saksi-saksi bahwa pelaku melakukan Kejahatan dan sebagaimana diatur di dalam KUHP. b) Motif dan tujuan dilakukannya suatu Kejahatan Dalam kasus Kejahatan diketahui bahwa perbuatan tersebut mempunyai motif dan tujuan untuk dengan sengaja melawan hukum c) Cara melakukan Kejahatan Bahwa pelaku melakukan perbuatan tersebut ada unsur yang direncanakan terlebih dahulu untuk melakukan Kejahatan tersebut. Memang terapat unsur niat di dalamnya yaitu keinginan si pelaku untuk melawan hukum. d) Sikap batin pelaku Kejahatan Bahwa sikap batin itu tidak dapat diukur dan dilihat. Tidaklah mungkin diketahui bagaimana sikap batin seseorang yang sesungguh-sungguhnya, maka haruslah ditetapkan dari luar bagaimana seharusnya ia berbuat dengan mengambil ukuran sikap batin orang pada umumnya, apabila ada dalam situasi yang sama dengan pelaku tersebut. Hal ini dapat diidentifikasikan dengan melihat pada rasa bersalah dan rasa penyesalan atas perbuatannya, serta berjanji tidak akan mengulangi perbuatan tersebut. Pelaku juga memberikan ganti rugi atau uang santunan pada keluarga korban dan melakukan perdamaian secara kekeluargaan yang baik. Hal tersebut juga menjadi faktor pertimbangan hakim dalam hal penjatuhan pidana.

e)

Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku Kejahatan juga sangat mempengaruhi putusan hakim yaitu dan memperingan hukuman bagi pelaku, misalnya belum pernah melakukan perbuatan tidak pidana apa pun, berasal dari keluarga baik-baik, tergolong dari masyarakat yang berpenghasilan sedang-sedang saja (kalangan kelas bawah). f) Sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan Kejahatan Pelaku dalam dimintai keterangan atas kejadian tersebut, ia menjelaskan dengan tidak berbelit-belit, ia menerima dan mengakui kesalahannya.Maka hal yang di atas juga menjadi pertimbangan bagi hakim untuk memberikan keringanan pidana bagi pelaku. Karena hakim melihat pelaku berlaku sopan dan mau bertanggung jawab, juga mengakui semua perbuatannya dengan cara berterus terang dan berkata jujur. Karena akan mempermudah jalannya persidangan. g) Pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku Pidana juga mempunyai tujuan yaitu selain membuat jera kepada pelaku Kejahatan, juga untuk mempengaruhi pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya tersebut, membebaskan rasa bersalah pada pelaku, memasyarakatkan pelaku dengan mengadakan pembinaan, sehingga menjadikannya orang yang lebih baik dan berguna. Penjatuhan pidana terhadap pelaku dilakukan untuk memperbaiki kesalahan yang diperbuat. h) Pandangan masyarakat terhadap Kejahatan yang dilakukan oleh pelaku Dalam kasus ini masyarakat menilai bahwa tindakaan pelaku adalah suatu perbuatan tercela, jadi wajar saja kepada pelaku untuk dijatuhi hukuman, agar pelaku mendapatkan ganjarannya dan menjadikan pelajaran untuk tidak melakukan perbuatan yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Hal tersebut dinyatakan bahwa ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran dan keadilan juga kepastian hukum bagi seseorang. Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa pelaksanaan penanggulangan Kejahatan pemalsuan uang dilakukan secara preventif dan represif. Upaya preventif dilakukan oleh Bank Indonesia dengan melakukan sosialisasi keaslian uang, penggantian desain uang secara berkala dengan menggunakan teknologi pengaman uang (security features) mutakhir, kegiatan tatap muka dengan berbagai lapisan masyarakat dan instansi berwenang dalam rangkaian acara sosialisasi keaslian uang rupiah dan membangun pusat database uang Rupiah Palsu yang dinamakan Bank Indonesia Counterfeit Analysis Center (BI-CAC). Sementara itu upaya represif penanggulangan Kejahatan pemalsuan uang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksanaan dan pengadilan, sesuai dengan sistem peradilan pidana di Indonesia yang melibatkan berbagai institusi atau badan hukum yang masing-masing memiliki fungsi sendirisendiri. Dalam kerangka kerja sitematik ini tindakan badan yang satu akan berpengaruh pada badan yang lainnya. Sistem peradilan pidana dilaksanakan untuk menanggulangi kejahatan, dengan tujuan mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat merasa puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana dan mengusahakan pelaku yang melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya atau dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku Kejahatan pemalsuan uang dan peredaran uang palsu.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4

C. Kesimpulan Kesimpulan dalam penelitian ini yaitu penanggulangan kejahatan pemalsuan uang dilakukan secara nonpenal dan penal. Upaya nonpenal dilakukan oleh Bank Indonesia dengan melakukan sosialisasi keaslian uang, penggantian desain uang secara berkala dengan menggunakan teknologi pengaman uang (security features) mutakhir, kegiatan tatap muka dengan berbagai lapisan masyarakat dan instansi berwenang dalam rangkaian acara sosialisasi keaslian uang rupiah dan membangun pusat database uang Rupiah Palsu yang dinamakan Bank Indonesia Counterfeit Analysis Center (BI-CAC). Sementara itu upaya penal dilaksanakan oleh aparat penegak hukum mulai dari kepolisian, kejaksanaan dan pengadilan dalam tahapan sistem peradilan pidana di Indoensia yang bertujuan menjatuhkan pidana terhadap pelaku Kejahatan pemalsuan uang dan mencegah serta menanggulangi masyarakat menjadi korban pemalsuan uang, menyelesaikan kasus kejahatan dan menimbulkan efek jera bagi pelaku Kejahatan pemalsuan uang dan peredaran uang palsu. Daftar Pustaka Arief, Barda Nawawi. 1996. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung ----------. 2001. Kebijakan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung Adami Chazawi, 2005. Kejahatan Mengenai Pemalsuan. Rajawali Pers. Bandung. Boediono. 1990. Ekonomi Moneter. BPFE. Yogyakarta. Sudarto. 1983. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Kajian terhadap Pembaharuan Hukum Pidana. Sinar Baru. Bandung. Utrecht, E. dan M. Saleh Djinjang. 1982. Pengantar Dalam Hukum Indonesia Pradya Paramitha. Jakarta. F.Agyya..2010. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.Asa Mandiri.Jakarta ----------. 2010. . Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.Asa Mandiri.Jakarta Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/14/PBI/2004 tentang Pengeluaran, Pengedaran, Pencabutan dan Penarikan, serta Pemusnahan Uang Rupiah. Sumber Lain Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan. Volume 3 No. 1. April 2005 Direktorat Pengedaran Uang. Perlunya Pengaturan Mata Uang dalam Undang-Undang Tersendiri. Volume 3. No. 1 April 2005. Tim Perundang-Undangan dan Pengkajian Hukum. 2005. Paradigma Baru dalam Menghadapi Kejahatan Mata Uang (Pola Pikir, Pengaturan, dan Penegakan Hukum). Direktorat Hukum Bank Indonesia. Jakarta. Brosur Uang Kertas Rupiah. Bank Indonesia Tahun 2001. Materi Penataran Ciri-Ciri Keaslian Uang Rupiah. Bank Indonesia Tahun 2004.

Studi Penegakan Dan Pengembangan Hukum

ISBN : 978-602-7509-50-4