PROSIDING SEMINAR NASIONAL PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII Memperkukuh Karakter dan Nilai Kejuangan Bangsa di Tengah Pergaulan Global melalui Reksa Bahasa - Sastra Indonesia dan Pembelajarannya Sukoharjo, 2-3 November 2016
UNIVET PRESS
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
i
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII Memperkukuh Karakter dan Nilai Kejuangan Bangsa di Tengah Pergaulan Global melalui Reksa Bahasa - Sastra Indonesia dan Pembelajarannya Copyright © PBSI Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo Penerbit:
UNIVET PRESS
Agenda Tahunan Pemrakarsa Forum Prodi/Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia pada Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta (PTN/PTS) se- Provinsi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta, sejak 1987 Koordinator Makalah: Drs. Benedictus Sudiyana, M.Pd. Tim Editor: Dr. Farida Nugrahani, M.Hum. Dr. Mukti Widayati, M.Hum. Adi Des Wijaya, S.S., M.Hum. *Naskah tidak disunting
Tata Letak dan Sampul: Abimanyu Eko Susilo Gambar Sampul: Google Image Search (Montase) PROSIDING SEMINAR NASIONAL PIBSI XXXVIII Sukoharjo Veteran Bangun Nusantara University Press, 2016 xxxi + 810 hlm; 21 x 29 cm ISBN: 978-602-74444-1-6
ii
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
KATA PENGANTAR Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (populer dengan nama PIBSI) memasuki usia yang ke-38. Forum yang diprakarsai oleh Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta di wilayah Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta sekitar bulan Oktober tiap tahunnya mengadakan pertemuan ilmiah rutin dalam rangka memperingati bulan bahasa secara bergilir sebagai ajang asah-asih-asuh berbagi ilmu dan pengalaman baik antaranggota senior maupun yunior, serta terbuka bagi semua akademisi, peneliti, dan praktisi yang peduli terhadap kemajuan dan pengembangan bahasa dan sastra Indonesia tanpa dibatasi oleh wilayah provinsial/teritorial. PIBSI XXXVIII di Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo 2-3 November 2016 ini dikemas dalam Seminar Nasional bertema “Memperkukuh Karakter dan Nilai Kejuangan Bangsa di Tengah Pergaulan Global melalui Reksa Bahasa-Sastra Indonesia dan Pembelajarannya”. Tema ini dipandang sangat urgen dalam menghadapi dinamika dan gejolak berperikehidupan sebagai dampak pergaulan global. Hal ini karena bahasa dan sastra Indonesia dengan segala tata nilainya harus mampu menjadi instrumen dan indikator pemerkukuhan karakter dan nilai kejuangan tersebut. Prosiding yang dihasilkan pada seminar nasional PIBSI XXXVIII ini mencakupi makalah/artikel utama dan makalah/artikel komisi paralel berupa hasil penelitian dan gagasan. Makalah utama dipresentasikan secara pleno menampilkan lima pemakalah, yaitu: (1) Prof, Dr. Dadang Sunendar, Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (keynote speaker), berjudul “Memperkukuh Peran Bahasa Negara sebagai Jati Diri Bangsa”, (2) Prof. Riris K. Toha Sarumpaet, Ph.D., (Universitas Indonesia), berjudul “Sastra dan Pembentukan Karakter: antara Perkara “Yang Mulia” dan Tak Cerita”, (3) Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, dari Universitas Sebelas Maret Surakarta berjudul “Menyelaraskan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Perguruan Tinggi dengan Kebutuhan Zaman: Perspektif Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), (4) Prof. Dr. Anang Santoso, Universitas Negeri Malang, berjudul ”Analisis Teks (Kritis) dalam Pembelajaran Bahasa-Sastra Indonesia Kekinian, dan (5) Mohamad Sobary, Budayawan dan Kolomnis, berjudul “Politik dalam Bahasa Sehari-Hari Kita”. Adapun makalah/artikel komisi paralel yang disajikan ada 127 artikel. Kami berharap, semoga makalah-makalah dalam prosiding ini dapat menjadi acuan atau membuka inspirasi untuk lebih menunjukkan karakter bagi pengembangan bahasa dan sastra Indonesia baik dalam kegiatan pembinaan, pendidikan, pembelajaran, maupun penggunaannya di masyarakat yang lebih luas. Kepada para pemakalah utama dan komisi dan khusus kepada seluruh panitia acara seminar nasional ini, baik pengarah maupun pelaksana, kami ucapkan terima kasih.
Sukoharjo, 20 November 2016 Editor
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
iii
LAPORAN KETUA PANITIA Assalamualaikum warrahmatullaahi wabarakatuh Salam siang dan salam sejahtera bagi kita semua Yang terhormat: Bapak Prof. Dr. Dadang Sunendar, M.Hum., Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI), Yang kami hormati: Bapak Drs. Pardi, M. Hum., Kepala Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah, Bapak Dr. Tirto Suwondo, M.Hum., Kepala Balai Bahasa Provinsi DI Yogyakarta, Bapak Drs. Amir Mahmud, M.Pd., Kepala Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur. Yang kami hormati: Bapak Drs. Bambang Margono, M.M., Ketua YPPP Veteran Sukoharjo, Bapak Prof. Dr. Ali Mursyid Wahyu Mulyono, M.P., Rektor Univet Bantara Sukoharjo juga beserta Bapak Ibu Pembantu Rektor I, II, dan III, Dekan FKIP Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo (Bapak Drs. Agus Sudargono, M. Si), beserta Pembantu Dekan I, II, III FKIP, Direktur Pascasarjana Univet Bantara Sukoharjo (Ibu Dr. Farida Nugrahani, M. Hum.), esepuh PIBSI sekaligus Pembina ADOBSI (Dr. Sudaryanto), Ketua ADOBSI (Dr. Rohmadi, M. Hum.), Bapak/Ibu pembicara utama, dan Bapak/Ibu pemakalah dan peserta seminar PIBSI yang tidak dapat kami sebut satu per satu. Perkenankanlah kami memohon bersama-sama guna memanjatkan syukur kepada Allah SWT, atas karunia-Nyalah pada hari ini Seminar Nasional PIBSI XXXVIII dapat dilaksanakan. Seminar ini merupakan seminar rutin tahunan yang diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi (Negeri/Swasta) se Jawa Tengah dan DIY setiap tahun dengan bergilir.Tahun ini merupakan pertemuan yang ke-38 sejak didirikannya PIBSI. Seminar ini terselenggara atas kerjasama dengan ADOBSI, Pascasarjana, dan FKIP Univet Bantara Sukoharjo, yang kali ini mengangkat tema “Memperkukuh Karakter dan Nilai Kejuangan Bangsa di Tengah Pergaulan Global melalui Reksa Bahasa dan Sastra Indonesia serta Pembelajarannya”. Perlu kami sampaikan bahwa peserta seminar ini diikuti tidak hanya terbatas dari Jawa Tengah dan DIY, tetapi juga dari Banjarmasin, Makasar, Bengkulu, Padang, Bali, Jawa Barat, dan Jawa Timur sehingga persebarannya benar-benar menasional. Kami segenap panitia mengucapkan selamat datang dan terima kasih kepada para peserta atas segala kontribusi dan kerjasama yang baik hingga Seminar Nasional PIBSI ke-38 ini dapat dilaksanakan dengan baik. Terima kasih juga kami sampaikan kepada Perguruan Tinggi baik Swasta maupun Negeri yang telah mengirimkan sejumlah peserta sesuai dengan kesepakatan bahkan melebihi kesepakatan pada pertemuan Ketua Prodi se Jateng dan DIY bulan April yang lalu di gedung YPPP Veteran Sukoharjo. Seminar ini juga terselenggara atas kerjasama dengan beberapa sponsorship.Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih kepada Bank Jateng yang menjadi sponsor kami,BTN, Yumma Perkasa,para alumni yang juga telah memberikan kontribusi atas terselenggaranya acara ini. Tidak lupa kami sampaikan terima kasih kepada Bapak Ibu pemakalah Utama: (1) Keynote speaker, yth. Prof. Dr. Dadang Sunendar (Kepala Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Republik Indonesia); (2) Prof. Dr. Riris K. Toha Sarumpaet, M. Sc. Ph. D (UI, dan sesepuh HISKI); (3) Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M. Pd. (Universitas Sebelas Maret, IKAPROBSI), (4) Dr. Mohammad Sobary (Budayawan, kolomnis), (5) Prof. Dr. Anang Santoso (Universitas Negeri Malang) Terima kasih juga kami sampaikan atas dukungannya kepada: Dewan Pakar ADOBSI dan sesepuh PIBSI Dr. Sudaryanto. Terima kasih kami sampaikan juga kepada Ketua ADOBSI Dr. Mohammad Rohmadi, M. Hum beserta pengurus dan anggota yang berkenan memberikan sumbangan dana dan masukan yang sangat berharga dalam penyelenggaraan seminar ini. Terima kasih yang tak terhingga juga kami sampaikan kepada: Rektor beserta Pembantu Rektor Univet Bantara Sukoharjo, Dekan dan Para Pembantu Dekan FKIP Univet Bantara Sukoharjo, Direktur Pascasarjana, dan seluruh Panitia yang sudah bekerja semaksimal mungkin untuk menyajikan iv
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
pelaksanaan seminar ini dengan baik; serta berbagai pihak yang tidak dapat kami sebut satu per satu. Selanjutnya, yang terhormat Rektor Univet Bantara Sukoharjo berkenan memberikan sambutan dan membuka secara resmi seminar nasional PIBSI XXXVIII. Demikian seminar ini kami sajikan. Ada kekurangan dalam pelaksanaan seminar ini meskipun telah dipersiapkan sedemikian rupa, maka kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Terimakasih. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Sukoharjo, 2 November 2016
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
v
SAMBUTAN REKTOR . Assalamualaikum Wr Wb. Yang terhormat Bapak Prof Dr. Dadang Sunendar, Kepala Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Yang kami hormati: 1. Kepala Balai Bahasa Provinsi Jawa Tengah, Bapak Drs. Pardi Suratno, M.Hum. 2. Kepala Balai Bahasa Provinsi DI Yogyakarta, Bapak Dr. Tirto Suwondo, M.Hum. 3. Kepala Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur, Bapak Drs. Amir Mahmud, M.Hum. Yang kami hormati: Ketua Yayasan Pembina Perguruan Pendidikan Veteran Sukoharjo, Bapak Bambang Margono Yang Yang kami hormati para pembicara pleno: 1. Prof. Riris K. Toha Sarumpaet, M.Sc., Ph.D. (Universitas Indonesia, HISKI/Himpunan Sarjana Kesusasteraan Indonesia) 2. Prof. Sarwiji Suwandi (Universitas Sebelas Maret Surakarta, IKAPROBSI/Ikatan Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia) 3. Prof. Dr. Anang Santoso (Universitas Negeri Malang) 4. Dr. Mohammad Sobary (Kolomnis, Budayawan) 5. Dr. Sudaryanto (Sesepuh PIBSI, dan Pembina ADOBSI/Asosiasi/Afiliasi Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia) 6. Dr. Mohammad Rohmadi, M.Hum (Ketua ADOBSI) Yamg kami hormati para peserta PIBSI dari seluruh penjuru tanah air, dan Tamu Undangan yang tidak dapat kami sebut satu per satu. Selamat siang dan salam sejahtera bagi kita semua Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, karena atas izin-Nya, pada hari ini kita dapat berkumpul di sini untuk bersama-sama mengikuti acara Seminar Nasional PIBSI dengan tema: “Memperkukuh Karakter dan Nilai Kejuangan Bangsa di Tengah Pergaulan Global melalui Reksa Bahasa dan Sastra Indonesia” Selanjutnya, kami mengucapkan selamat datang di Sukoharjo, selamat menikmati kuliner sekaligus berseminar. Para hadirin yang saya hormati, Tahun 2016, negara-negara anggota ASEAN tengah menghadapi satu agenda besar bersama dalam mewujudkan apa yang kita kenal dengan istilah ASEAN Economic Community atau Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Sebagai sebuah komitmen bersama, rumusan mengenai Masyarakat Ekonomi ASEAN sudah dicanangkan oleh para pemimpin ASEAN pertama kalinya sejak tahun 2007, serta disepakati untuk efektif diterapkan mulai akhir tahun 2015 sehingga tahun 2016 ini merupakan momentum penting bagi setiap negara anggota ASEAN karena saat ini ASEAN sudah menjadi satu kestuan masyarakat ekonomi bersama. ASEAN yang memiliki luas wilayah 4.47 juta km persegi dengan pasar bagi lebih dari 600 juta jiwa, merupakan potensi ekonomi yang sangat besar yang diharapkan dapat meningkatkan daya saing ekonomi ASEAN. Lebih dari pada itu, dengan sudah terikat dalam satu identitas ekonomi, ASEAN dapat menjadi aktor ekonomi strategis dalam perekonomian global. Bahkan beberapa ekonom memproyeksikan Masyarakat Ekonomi ASEAN akanmenjadi kekuatan ekonomi global keempat pada 2030 mendatang, setelah Amerika, China, dan Jepang. Ini sebuah realita, tantangan, peluang, kaligus harapan yang tidak bisa terlepas dari aspek bahasa dan sastra Indonesia sebagai sarana, wadah, sekaligus penghela dalam dinamika bermasyarakat, berkomunikasi, bahkan berperi keadaban dalam pergaulan global.
vi
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
Para hadirin yang saya hormati, Guna mencapai tujuan sasaran tersebut, pengkajian bahasa dan sastra Indonesia, deseminasi, dan juga pembinaan, serta pengembangan bahasa dan sastra Indonesia manjadi hal krusial untuk terus dibangun melalui berbagai even dan berbagai jejaring yang memungkinkan seluruh komponen yang terlibat memperoleh kebermanfaatan. Salah satu upaya itu adalah penyelenggaraan Seminar Nasional PIBSI sebagaimana diprakarsai oleh PTN-PTS Jawa Tengah dan DIY dan kegiatan lain sejenis yang diselnggarakan oleh PTN/PTS, himpunan/asosiasi secara mandiri. Kami menyambut baik dan mendukung terselenggaranya PIBSI, yang di sini Univet Bantara Sukoharjo menjadi tuan rumah. Sepanjang perjalanan PIBSI yang ke-38 ini Univet sudah tiga kali menjadi tuan rumah, dengan putaran 15-16 tahunan. Para hadirin yang saya hormati, Jika kita simak, tema besar seminar kali ini berfokus pada karakter, seiring dengan arah pembangunan bangsa dewasa ini bahwa ranah karakter sangat krusial bagi kelangsungan berbangsa dan bernegara.Univet yang mengedepankan nilai-nilai kejuangan memiliki visi yang sejalan dengan pemerintah dalam pengembangan pendidikan karakter utamanya melalui bahasa dan sastra Indonesia demi kejayaan Negara Kesatuan Repuiblik Indonesia.Indonesia sebagai negara terbesar di Asia Tenggara memiliki potensi keuntungan sekaligus resiko yang tinggi. Kompetisi yang semakin ketat sebagai konsekuensi dari MEA harus dihadapi secara profesional dan terarah serta penanaman fondasi karakter yang kuat. Para hadirin yang saya hormati, Dengan adanya kegiatan Seminar Nasional PIBSI ini, kami harapkan dapat menjadi upaya aktif perguruan tinggi untuk mendukung Indonesia dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN. Selain dapat meningkatkan awareness tentang MEA di lingkungan perguruan tinggi, kegiatan ini semoga dapat memberikan masukan yang konstruktif bagi para pemangku kebijakan di Indonesia dalam bidang pendidikan, pembinaan, dan pengembangan bahasa dan sastra Indonesia. Akhir kata, selamat mengikuti seminar nasional PIBSI dan rangkaian kegiatan pendukungnya. Semoga apa yang kita lakukan hari ini bermanfaat bagi kemajuan Indonesia dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN, masyarakat global dengan tetap berpijak pada keunggulan karakter dan budaya. Selamat berdiskusi, Wassalamualaikum Wr.Wb. Sukoharjo, 2 November 2016 Rektor Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo, Ttd. Prof. Dr. Ir. Ali Mursyid Wahyu Mulyono, M.P.
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
vii
SUSUNAN KEPANITIAAN PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII UNIVERSITAS VETERAN BANGUN NUSANTARA SUKOHARJO 2016 Sukoharjo, 2-3 November 2016 PIBSI Didirikan Tahun 1978. Dirintis oleh: Dr. Sudaryanto (FIB, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta); Drs. Sudjati* (FIB, Universitas Diponegoro, Semarang); Drs. R.I. Moelyanto* (FS, Universitas Sebelas Maret Surakarta); Drs. Syaf. Sulaeman* (FBS, Universitas Negeri Yogyakarta)
A. PANITIA PENGARAH (STEERING COMMITEE) 1. Pelindung : 1. Prof. Dr. Ir. Ali Mursyid Wahyu Mulyono, M. P. (Rektor) 2. Dr. Herry Agususanto, M. Pd. (PR I) 3. Dra. Dewi Susilowati, M. Pd. (PR II) 4. Sodikin, S.T., M.T. ( PR III) 2. Penasihat : 1. Dr. Sudaryanto (Pendiri PIBSI, Sesepuh ADOBSI) 2. Dr. Muhammad Rohmadi, M. Hum., Ketua Umum Asosiasi Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia (ADOBSI) 3. Drs. Agus Sudargono, M. Si. (Dekan FKIP) 4. Drs. Ismail, M. Pd. (PD I FKIP) 5. Drs Agus Purwanto, M. Pd. (PD II FKIP) 6. Drs. Afif Afgohani, M. Kom. (PD III FKIP) 3. Penanggung jawab : 1. Drs. Benedictus Sudiyana, M. Pd. (Kaprodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia) 2. Dr. Farida Nugraheni, M. Hum. (Kaprodi Magister Pendidikan Bahasa Indonesia) B. PANITIA PELAKSANA (OPERATIONAL COMMITEE) 1. Ketua : Dr. Mukti Widayati, M.Hum. 2. Wakil Ketua : Drs. Benedictus Sudiyana, M.Pd. 3. Sekretaris : Drs. Sukarno, M.Hum. 4. Bendahara 1 : Dra. Sri Muryati, M.Pd. 5. Bendahara 2 : Dra. Tutik Wahyuni, M.Hum. 6. Seksi-seksi : a. Acara/Sidang : 1. Drs. Suparmin, M. Hum. (Koord); 2. Drs. Y. Sugiyanto, M.Pd.; 3. Harsono, S.S., M.Hum.; 4. Drs. Djiwandhana W. U., M. Pd. b. Sekretariat : 1. R Adi Deswijaya, S.S., M. Hum. (Koord.); 2. Arif Basuki, S. Pd. c. IT dan dokumentasi : 1. Ir. Abimanyu (Koord); 2. Eko Susilo, S. Pd.; 3. Haryanto, S.Sos., M.Kom. d. Humas, Publikasi, 1. Dewi Kusumaningsih, S.S., M. Hum. (Koord.); Sponsorship 2. Drs. Sri Wahono Saptomo, M. Hum. e. Konsumsi 1. Dra. Wiwik Darmini, M. Hum. (Koord.); 2. Dra. Titik Sudiatmi, M. Pd.; 3. Wahyu Dini Septiari, M. Pd. f. Sarpras dan : 1. Drs. Toni Harsan (Koord.); 2. Supardi Bidiharso; Transportasi 3. Subakat g. Seni, Hiburan dan : 1. Agus Efendi, S.Sn, M.Sn; Rekreasi 2. Pardyatmoko, S.Pd. h. Umum Tim Mahasiswa PIBSI
viii
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
ix
19.00 – 22.40
17.30 - 19.00
15.30 –15.45 15.45 --16.00 16.00 - 17.30
13.50 -- 14.00 14.00 – 14.05 14.05 – 14.10 14.10 --15.30
13.00-14.00 13.00 - 13.10 13.15 - 13.20 13.20 – 13.30 13.30 – 13.40 13.40 -- 13.50
WAKTU 11.30 - 13.00
KEGIATAN/ACARA
Ruang: sidang utama
MC: Harsono, S.S., M.Hum. Co.MC: 1. Galuh 2. Hesti 3. Dini
Ruang: sidang utama
KETERANGAN Registrasi ulang Distribusi seminar kit Pameran buku/bazar, jamu, dll.MAKAN SIANG
SIDANG PARALEL 1. Paralel I (19.00 – 19.50) 2. Paralel II (19.50 – 20-40)
Tempat: Terbagi 8 komisi Rincian Jadwal (tersendiri)
Moderator: Drs. Pardi Suratno, M.Hum (Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah) Penambat: PANITIA: HARSONO, Dini-Hesti Mc: Dini-Hesti-Galuh Penandatanganan MOU Kerja sama/jejaring ADOBSI Rehat Panitia SIDANG PLENO II Moderator: Dr. Farida Nugrahani, M.Hum 1. Prof..Riris K. Toha Sarumpaet, M.Sc. Ph.D. (Guru Besar Universitas Indonesia, HISKI) (Univet bantara Sukoharjo) Topik: “Sastra dan Pembentukan Karakter: antara Perkara yang Mulia dan Tak Cerita” Penambat: PANITIA 2. Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. (Guru Besar UNS, IKAPROBSI) MC: Harsono, M.Hum. Topik: “Menyelaraskan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di Perguruan Tinggi dengan Co.Mc: Dini-Hesti-Galuh Kebutuhan Zaman: Perspektik Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia” SHOIMA
Upacara Pembukaan 1. Rektor, Dekan, Pembicara Utama, dan tamu undangan memasuki tempat kegiatan 2. Menyanyikan Lagu Indonesia Raya 3. Laporan Ketua Panitia (Dr. Mukti Widayati, M.Hum) 4. Sambutan Sesepuh PIBSI/Pembina Adobsi (Dr. Sudaryanto) 5. Sambutan Rektor Sekaligus Membuka Kegiatan Seminar Nasional dalam Rangka PIBSI XXXVIII 2016 (Prof.Dr. Ali Mursyid, W.M.,M.P.) 6. Selingan 7. Cendera mata 8. Doa Penutup Acara dan Permbukaan Sidang SIDANG PLENO I Kepala Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Kemendikbud RI: Prof. Dr. Dadang Sunendar. M.Hum. Topik: “Bahasa dan Sastra Indonesia Mengatasi Tantangan Global: Aspek Kebijakan dan Aplikasi”*) *isu masih dikonfirmasikan
Persiapan dan Presensi
RABU, 2 NOVEMBER 2016
JADWAL SIDANG
x
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
Ruang Musyawarah:
Sukoharjo, 31 Oktober 2016-10-31 Panitia
KAMIS, 3 NOVEMBER 2016 06.00 -07.00 Sarapan Pagi Resto Hotel 07.00-07.30 Persiapan daN Presensi 07.30 – 09.30 SIDANG PLENO III Moderator: Dr. Tirto Suwondo, M.Hum 1. Prof. Dr. Anang Santoso (Guru Besar Universitas Negeri Malang, kajian Wacana Kritis) (Kepala Balai Bahasa DI Yogyakarta) Topik: Analisis Wacana Kritis: Sasaran, Metode, dan pemanfaatannya dalam Pembelajaran Penambat: PANITIA bahasa Berbasis Teks*) MC: Harsono, M.Hum. 2. Dr. Mohamad Sobary (Kolomnis di hampir semua Surat Kabar Nasional, Budayawan) Co.Mc: Dini-Hesti-Galuh Topik: “Politik dalam Bahasa Sehari-Hari Kita” 09.30 -10.00 Rehat + Pentas Seni 10.00 -11.30 Pembacaan Hasil dan Ulasan, Musayawarah Prodi/Adobsi. Moderator: Drs. Zainal Arifin, M.Hum 1. Dr. Sudaryanto (refleksi PIBSI) 2. Dr. Mohammad Rohmadi,M.Hum (Refleksi Adobsi) 11.30-12.00 Penutupan kegiatan Seminar Nasional PIBSI XXXVIII Panitia: MC: Harsono, M.Hum. Co.Mc: Dini-Hesti-Galuh
23.00
21.00 –selesai
3. Paralel III (21.00—21.50) 4. Paralel IV (21.50 – 22.40) Musyawarah Kaprodi/Delegasi Prodi Pemrakarsa PIBSI dan ADOBSI. Pengarah: Dr. Sudaryanto, Dr. Moh. Rohmadi. Rehat
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
xi
KODE
PENYAJI
Bambang Lelono, Erwita Nurdiyanto, Gita Anggria Resticka
Brigita Yuni
2
3
RUANG KOMISI 1 Bahrudin Adi Nugroho, Markhamah, 1 Abdul Ngalim, dan Muhammad Muinuddinilah B
NO.
JUDUL MAKALAH PERSAMAAN SATUAN LINGUAL BERPRONOMINA PERSONA PERTAMA DAN KEDUA PADA TEKS TERJEMAHAN AL-QUR’AN DAN TEKS TERJEMAHAN HADIS SAHIH BUCHORI MUSLIM DILIHAT DARI FUNGSI DAN PERAN YANG MENDUDUKINYA PENDAYAGUNAAN PADANAN ISTILAH BAHASA INDONESIA SEBAGAI PENGGANTI KOSAKATA SERAPAN BAHASA ASING GUNA MEMPERKOKOH KARAKTER BANGSA INDONESIA BENTUK PEMERTAHANAN BAHASA DALAM BAHAN AJAR BERBASIS KURIKULUM 2013:KAJIAN EKOLINGUISTIK
SIDANG PARALEL I: RABU, 2 NOVEMBER 2016 (19.00-19.50)
MODERATOR: M. Suryadi
PENANGGUNG JAWAB RUANG:: Dewi Kusumaningsih, M.Hum
PENANGGUNG JAWAB RUANG:
Setiap ruang ada penanggung jawab ruang, tenaga pencatat/notulen diskusi dan pencatat berita acara. Instruksi untuk moderator dalam memimpin penyajian lisan: 1. Penyajian dan diskusi dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia. 2. Pengumpulan bahan penyajian dalam PPT atau PPTX ke komputer/laptop dilakukan ,elalui email melalui panitia sebelum hari H. Khususnya bagi penyaji yang belum mengirim PPT melalui email, minimal 15 menit sebelum sesi parallel perlu dihubungi bagian penanggung jawab ruang atau kru ruangan. 3. Sesi penyajian lisan dilaksanakan secara paralel dengan waktu 50 menit. 4. Setiap subsesi sidang paralel menggunakan waktu maksimal 50 menit untuk penyajian lisan sebanyak 3-4 presenter (tetapi dalam kondisi terpaksa atas pertimbangan substansi bisa jumlah 5). 5. Alokasi waktu setiap penyaji maksimal 8 menit sehingga waktu yang digunakan untuk penyajian lisan secara akumulasi setiap subsesi paralel berkisar antara 24 – 32/40 menit (dengan asumsi masing-masing menggunakan waktu secara maksimal, yakni 8 menit). Sisa waktu (16 – 18 menit terakhir) digunakan untuk diskusi secara parallel. Catatan: Khusus paralel III/IV waktu sangat fleksibel menyesuaikan kebutuhan urgensi isu diskusi. .
Memperkukuh Karakter dan Nilai Kejuangan Bangsa di Tengah Pergaulan Global Bangsa melalui Reksa Bahasa Sastra Indonesia dan Pembelajarannya Sukoharjo, 2 – 3 November 2016
JADWAL SIDANG PARALEL (I, II, III, IV)
xii
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
Cicilia Nian Erika
Deby Luriawati N
4
Didin Widyartono
Dwi Hanti Rahayu
3
4
Armini Arbain, Ronidin, dan Herry Nur Hidayat Bagus Kurniawan dan Ahmad Taufiq
3.
RUANG KOMISI 5 Mukti Widayati 1
4
Ariesma Setyarum
2
RUANG KOMISI 4 Afsun Aulia Nirmala 1
Ayu Wulandari
2
RUANG KOMISI 3 Asri Wijayanti 1
Budhi Setiawan
Asrofah, Festy K. Larasati
3
2
RUANG KOMISI 2 Aida Azizah 1
4
SASTRA RAKYAT SUMBER KEARIFAN LOKALDAN PENGIMPLEMENTASIANNYA DALAM PENDIDIKAN KARAKTER
PERBANDINGAN TEMA, ALUR DAN PENOKOHAN DALAM DRAMA ROMEO-JULIET DAN SAMPEK-ENGTAY SISTEM SOSIAL DALAM NOVEL ORANG MISKIN DILARANG SEKOLAH KARYA WIWID PRASETYO IDEOLOGI MASYARAKAT MINANGKABAU DALAM SASTRA SEBAGAI ALAT PENDIDIKAN KARAKTER SISWA KONSEP AJARAN JIHAD DALAM TEKS SYAIR RAJA SIAK
PERMAINAN BAHASA PADA MEME TULISAN DI INSTAGRAM @DAGELAN PENERAPAN TEKNIK PORPE DALAM PEMBELAJARAN MEMBACA PADA MATA KULIAH KEMAMPUAN MEMBACA KEBUTUHAN MAHASISWA TERHADAP MATERI PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI PERGURUAN TINGGI PENANAMAN KARAKTER BANGSA PADA MAHASISWA MELALUI PENGGUNAAN MEDIA VIDEO SERI INDONESIA BAGUS PRODUKSI NET. TV DALAM PERKULIAHAN MENYIMAK APRESIATIF DAN KREATIF
PEMBELAJARAN APRESIASI DONGENG BERMUATAN NILAI PEDIDIKAN KARAKTERDALAM ERA GLOBALISASI FETISME BAHASA DALAM LAGU POPULER INDONESIA DAN PENGARUHNYA PADA PERILAKU REMAJA MASA KINI MEMAKSIMALKAN PERAN PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA SEBAGAI PIRANTIPEMBENTUKAN KARAKTER LULUSANDALAM MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA) MENGIMPLEMENTASIKAN PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN MENYIMAK UNTUK MENINGKATKAN DAYA SAING MAHASISWADI TENGAH PERGAULAN GLOBAL
KETIDAKEFEKTIFAN KALIMAT DALAM MAKALAH MAHASISWA PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA SEMESTER IV KELAS A UNIVERSITAS SANATA DHARMA TAHUN AJARAN 2015/2016
Penanggung Jawab ruang:: Sri Muryati, M.pd.
MODERATOR: Albertus Prasojo
Penanggung Jawab ruang:: Tutik Wahyuni, M.Hum.
MODERATOR: Galih Kusumo
Pennanggung jawab: Djiwandono S.U., M.Hum.
MODERATOR: Joko Purwanto
Penanggung Jawab ruang:; Sri Wahono Saptomo, M.Hum.
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
xiii
Nanik Setyawati
Nurhadi dan Kusmarwanti
3
4
Yakobus Didit Setiawan
3
Ermawati, Muhammad Rohmadi, Sumarwati
4
Sri Waljinah, Indah Tri Winarni, dan Nora Lufitasari Sudaryanto
3
4
Sofylia Melati
2
RUANG KOMISI 8 Siti Faridah 1
3
Atikah Anindyarini, Sumarwati, Muhammad Rizqi Romadlon Dini Restiyanti Pratiwi
2
RUANG KOMISI 7 1 Desy Rufaidah dan Purwanti Zisca
Laili Etika Rahmawati, Sarwiji Suwandi, Kundharu Saddhono, dan Budhi Setiawan
2
RUANG KOMISI 6 Agung Siswanto 1
Murtini
2
PENGGUNAAN BAHASA DAERAH DALAM KONTEKS PENAMAAN TEMPAT DI INDONESIA SEBAGAI UPAYA PEMERTAHANAN BAHASA DAERAH DAN PEMERKUKUHAN BAHASA INDONESIA DI ERA GLOBALISASI:KAJIAN EKOLINGUISTIK REGISTER FORENSIK BAHASA KEPOLISIAN:BENTUK DAN KARAKTERISTIK KOMUNIKASIDENGAN HANDY TALKY DARI SABEB, DL, BAPER, HINGGA MAACIH,RAGAM BAHASA GAUL REMAJA INDONESIA MASA KINI:TINJAUAN LEKSIKO-MORFOLOGI
STRUKTUR WACANA HUMOR SASTRA LISAN MADIHIN BANJAR
TEKNIK ANALYTIC TEAMS DALAM PEMBELAJARAN MEMBACA UNTUK MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN DIRI DAN SOSIAL ANALISIS SOAL CERITA MATEMATIKA BUATAN GURU SD DI KAWASAN PEDESAAN PEMANFAATAN MEDIA NUSANTARA BERTUTUR SEBAGAI PEMBANGUN KONTEKS DALAM PEMBELAJARAN TEKS NARATIF PENERAPAN STARTEGI KNOW-WANT TO KNOW-LEARN ED-AFFECT (KWLA) DALAM KURIKULUM 2013 UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN MEMBACACERPENSISWA KELAS VII I SMP NEGERI 1 BANTUL
STANDARDISASI KURIKULUM DAN KOMPETENSI PENGAJAR BIPA: TINDAK LANJUT PROGRAM INTERNASIONALISASI BAHASA INDONESIA
MENGANGKAT CITRA DAN JATI DIRI BANGSA MELALUI PENGAJARAN BAHASA INDONESIA BAGI PENUTUR ASING BIPA PROFIL TES KOMPETENSI BERBAHASA INDONESIA UNTUK MAHASISWA ASING
NARASI KEINDONESIAAN DAN NASIONALISME DALAM ALLAH YANG PALSU KARYA KWEE TEK HOAY: Kajian Pascakolonial KASUS PENANGKAPAN RATNA SARUMPAET DI KAWASAN PASAR IKAN, PENJARINGAN, JAKARTA UTARA: ANALISIS WACANA KRITIS MODEL THEO VAN LEEUWEN RESEPSI MEDIA TERHADAP PEMENTASAN GUNDALA GAWAT OLEH TEATER GANDRIK
MODERATOR: Imam Baehaqie
Penanggung Jawab ruang:: Suparmin, M.Hum.
MODERATOR:HR. Utami
Penanggung Jawab ruang::Y. Sugiyanto, M.Pd.
MODERATOR: Ani Yuliati
Penanggung Jawab ruang:: Sukarno, M.Hum
MODERATOR: Yakobus Didit Setiawan
xiv
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
KODE
PENYAJI
Irsyadi Shalima
M. Suryadi
3
4
M. Riyanton, Dyah Wijayawati, dan Etin Pujihastuti
Ety Syarifah
3
4
Haryadi
Wisnu Nugroho Aji
2
3
RUANG KOMISI 3 Elyusra dan St. Asiyah 1
Leli Nisfi Setiana
2
RUANG KOMISI 2 Joko Purwanto 1
Erwan Kustriyono dan Tri Hartantyo
2
RUANG KOMISI 1 Dwi Purnanto, Bakdal Ginanjar, 1 Chattri Sigit W., dan Hesti Widyastuti
NO.
JUDUL MAKALAH
FASE
MODEL PEMBELAJARAN SASTRA BERBASIS MEANINGFUL LEARNING DAN BRAIN- BASED LEARNINGUNTUK MEWUJUDKAN KEMAMPUAN MENULIS KREATIF MAHASISWA BUKU AJAR MEMBACA BERMUATAN PENDIDIKAN KARAKTER BAGI MAHASISWA PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA METODE INSTRUKSI SENDIRI DENGAN PROGRAMA (PROGRAMMED SELFINSTRUCTIONAL METHODS) DALAM PENGAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
PENGEMBANGAN MODEL WACANA CERITA ANAK-ANAK OPERASIONAL KONKRET
PERAN DAN FUNGSI SASTRA INDONESIADALAM MEWUJUDKAN KARAKTER DAN NILAI KEJUANGAN BANGSA DI TENGAH PERGAULAN GLOBAL INTERNALISASI BudAI PADA PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA DI TENGAH DOMINASI PENDIDIKAN KARAKTER BERPERSPEKTIF GLOBAL FUNGSI CERITA RAKYAT DI KABUPATEN BANYUMAS BAGI MASYARAKAT PEMILIKNYA
KAJIAN SEMANTIK DALAM SLOGAN DI BAK TRUK DI JALAN PANTURA (BATANG – PEKALONGAN) PRINSIP KERJA SAMA GRICE DALAM ACARA HOT REQUEST DI RADIO GERONIMO YOGYAKARTA BENTUK BASA KRAMA SEMARANGAN SEBAGAI POTRET KETIDAKPAHAMANKEMEROSATAN DALAM BERTUTUR JAWA KRAMA
STRUKTUR WACANA TEKS SURAT DAKWAAN TINDAK HUUKUM PIDANA
SIDANG PARALEL II: RABU, 2 NOVEMBER 2016 (19.50-20.40)
MODERATOR: Widyartono
Didin
Penanggung jawab: Djiwandono S.U., M.Hum.
MODERATOR: Aida Azizah
Penanggung Jawab ruang:; Sri Wahono Saptomo, M.Hum.
MODERATOR: Bambang Lelono
PENANGGUNG JAWAB RUANG:: Dewi Kusumaningsih, M.Hum
PENANGGUNG JAWAB RUANG:
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
xv
Albertus Prasojo Puji Rahayu
Iis Suwartini, M.Pd.
Isriani Hardini
2
3
Farida Nugrahani 5 RUANG KOMISI 7 HR. Utami 1
RUANG KOMISI 6 Ani Rakhmawati, Kundharu 1 Saddhono, Nugraheni Eko Wardani, Rio Devilito Sarwiji Suwandi, Ahmad Yunus, 2 Laili Etika Rahmawati Asep Yudha Wirajaya, Sholeh 3 Dasuki, Ahmad Taufik, dan Istadiyantha Jumanto Jumanto 4
Sri Muryati 5 RUANG KOMISI 5 Ririen Wardiani’ Sarwiji Suwandi, 1. Andayani, Budiyono Vita Ika Sari dan Afsun Aulia 2 Nirmala Ariesty Fujiastuti 3.
3 4
RUANG KOMISI 4 B. Widharyanto 1 Nurul Setyorini dan Bagya 2
KAJIAN PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DALAM PERSPEKTIF GLOBAL BERBASIS KURIKULUM 2013 CERITA RAKYAT JAWA TENGAH SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN NILAINILAI PATRIOTISME PADA MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SMA KELAS X MODEL PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA MELALUI SITUS ELECTRONIC LEARNING (E-LEARNING) GRATIS QUIPPER SCHOOL INDONESIA
KE ARAH REKAYASA SOSIAL VERBAL ATAS PENGGUNAAN BAHASA INDONESIA: SEBUAH PROPOSAL PEMIKIRAN UNTUK BANGSA, MUNGKINKAH? MANFAAT FILM DALAM MEMBANTU SISWA BELAJAR SASTRA
STRATEGI PENYUSUNAN DAN PUBLIKASI ARTIKEL JURNAL ILMIAH UNTUK MENINGKATKAN ROFESIONALISMEGURU DI KABUPATENMAGELANG KELAYAKAN ISI BUKU TEKS BAHASA INDONESIA BERBASIS KECERDASAN EKOLOGI PRESERVASI DAN KONSERVASI NASKAH-NASKAH NUSANTARA DI SURAKARTA SEBAGAI UPAYA PENYELAMATAN INTANGIBLE ASSET BANGSA
PENGEMBANGAN MEDIA VCD INTERAKTIF UNTUK PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA ASPEK MENDENGARKAN DI SD KELAS V Pendidikan Bermutu dan Berdaya Saing Melalui pengembangan Modul Membaca Kritis dan Kreatif berbasis ARCS
PEMBELAJARAN MENULIS NARASI SISWA SD DI KABUPATENPONOROGO
ANALISIS TEKS DALAM PEMBELAJARAN BAHASABERBASIS GENRE
FENOMENA PERSPEKTIF DI DALAM WACANA BERITA WACANA GLOBAL DALAM FILIM DOKUMENTER “THE NEW RULERS OF THE WORLD ” KARYA JOHN PLIGER SENI TEATER YANG HIDUP DAN BERDAYA PEREMPUAN TEMANGGUNG DAN LOKALITAS DALAM ERA YANG BERGERAK: KAJIAN FEMINISME PADA NOVEL GENDUK KARYA SUNDARI MARDJUKI
Agung
MODERATOR: Ahmad Syaifudin
Penanggung Jawab ruang:: Y. Sugiyanto, M.Pd.
MODERATOR: Siswanto
Penanggung Jawab ruang:: Sukarno, M.Hum
MODERATOR: Nurhadi
Penanggung Jawab ruang:: B.Sudiyana, M.pd.
MODERATOR: Ariesty Fujiastuti
Penanggung Jawab ruang:: Tutik Wahyuni, M.Hum.
xvi
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
Marta Susanti
Zainal Arifin, Agus Budi Wahyudi, Muhammad Rois Hakim, Hirnowo Jati F.X. Sawardi
KODE
PENYAJI
Prembayun Miji Lestari
Yunus Sulistyono
4
5
Raheni Suhita, Djoko Sulaksono, Ken Fitria Diah W Wiekandini Dyah Pandanwangi
3
4
Purwati Zisca Diana dan Desy Rufaidah
2
RUANG KOMISI 2 Oktaviani Windra Puspita, M.Pd 1
Nike Widya Kusumastuti
3
RUANG KOMISI 1 Miftah Nugroho 1 Naimul Faizah, Markhamah, Abdul 2 Ngalim, Muhammad Muinuddinilah B
NO.
NILAI FALSAFAH JAWA DALAM LIRIK TEMBANG DOLANAN ANAK SEBAGAI PEMBENTUK KARAKTER ANAK YANG BERBUDI PEKERTI
PUISI SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN UNTUK PENANAMAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DI LINGKUNGAN MAHASISWA TERAMPIL MENULIS KARYA ILMIAH DENGAN TEKNIK COLLABORATIVE WRITING SEBAGAI UPAYA PENGUATAN PENDIDIKAN KARAKTER LAKU DALAM BUDAYA MASYARAKAT JAWA
PRAGMATIK DAN PERKEMBANGAN BAHASA ANAK PERSAMAAN SATUAN LINGUAL BERPRONOMINA PERSONA KETIGA PADA TEKS TERJEMAHAN AL-QUR’AN DAN HADIS DILIHAT DARI FUNGSI DAN PERAN YANG MENDUDUKINYA KESANTUNAN BERBAHASA PADA KALIMAT PERINTAH DALAM 10 CERITA/NOVEL REMAJA PALING POPULER DARI TAHUN 2014-2016 KESANTUNAN TUTURAN EKSPRESIF BAHASA WANITA JAWA PEDESAAN DALAM INTERAKSI SOSIAL KEMUNCULAN UJARAN KEBENCIAN DAN PERANAN HUMOR SEBAGAI PENGALIH UJARAN KEBENCIAN (STUDI KASUS FORUM ONLINETOPIX.COM)
JUDUL MAKALAH
PEMANFAATAN ASPEK-ASPEK KEBAHASAAN SEBAGAI BENTUK LANGUAGE GAMES DALAM CERAMAH K.H. DURI AZHARI PENYIMPANGAN KAIDAH KEBAHASAAN DALAM BERBAGAI TEKS PADA MAJALAH AKSI Progdi PBSI,FKIP,Univet Bantara Sukoharjo STRATEGI PENERJEMAHAN DAN KESEPADANAN, KETERBACAAN DAN KEBERTERIMAAN TERJEMAHAN PENDANDA KOHESI KONJUNGSI DALAM BUKU TEKS MANAGEMENT ACCOUNTING PELESAPAN PREPOSISI DALAM GRAMATIKA BAHASA INDONESI
PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS TEKS DALAM KURIKULUM 2013
SIDANG PARALEL III: RABU, 2 NOVEMBER 2016 (21.00-21.50)
4
3
RUANG KOMISI 8 Imam Baehaqie, Deti Tri Meliana, 1 Nadhirul Adib, dan Tiratia Septi Wiwik Darmini 2
4
MODERATOR:Suryo Daru Santoso
PENANGGUNG JAWAB RUANG:: Dewi Kusumaningsih, M.Hum
MODERATOR: Rangga Asmara
Penanggung Jawab ruang:: Sri Muryati, M.pd.
PENANGGUNG JAWAB RUANG:
MODERATOR: Sudaryanto
Penanggung Jawab ruang:: Suparmin, M.Hum.
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
xvii
Molas Warsi Nugraheni
Else Liliani dan Dwi Budiyanto
Susilawati Endah Peni Adji
3
Doni Uji Windiatmoko dan Asih Andriyati Mardliyah
Dwi Bambang Putut Setiyadi
2
3
RUANG KOMISI 6 Dina Eka Pratiwi 1
Benedictus Sudiyana
2
RUANG KOMISI 5 Sumartini 1
3
RUANG KOMISI 4 Dwi Budiyanto, Kusmarwanti, dan Else 1 Liliani Edy Suryanto dan Budi Waluyo 2
3
RUANG KOMISI 3 Ida Bagus Artha Adnyana, Kadek Dwi 1 Cahaya Putra Indrya Mulyaningsih 2
REVITALISASI BERBAGAI BAHASA DAERAH DI INDONESIA SEBAGAI UPAYA PELESTARIAN KEKAYAAN BANGSA:UPAYA MEMPERKUKUH BAHASA INDONESIA PERAN MATA KULIAH BUDAYA NUSANTARA DALAM MENINGKATKAN DAYA SAING BAHASA INDONESIA DI TINGKAT GLOBAL PENANAMAN PEMAHAMAN FUNGSI BAHASA INDONESIA KEPADA SISWA DALAM MEWUJUDKAN KARAKTER BANGSA INDONESIA YANG KOKOH DI TENGAH PERGAULAN GLOBAL
PERJUANGAN TOKOH PEREMPUAN MEMPERTAHANKAN EKSISTENSINYADALAM NOVEL RONGGENG DUKUH PARUK KARYA AHMAD TOHARI PERANGKAT PENGUNGKAP KEBERPIHAKANDALAM TEKS BERITA MELALUI TEORI APRAISAL:KASUS PEMBERITAAN SEPUTAR ISU PENGESAHAN RUU SISDIKNAS 2003 ANTARA MEDIA SURAT KABAR KOMPAS DAN MEDIA REPUBLIKA SASTRA DIASPORA INDONESIA KONTEMPORER:STUDI TENTANG SASTRA, SASTRAWAN, DAN PEMETAAN SASTRA DIASPORA INDONESIA
KONSTRUKSI EKOLITERASI DALAM NOVEL KELOMANG KARYA QIZINK LA AZIVA SEBAGAI PENYADARAN AKANKRISISEKOLOGI GLOBAL ANALISIS STRUKTUR DAN DRAMATIK NASKAH DRAMA PANEMBAHAN RESO KARYA W.S. RENDRA SAJAK-SAJAKRENDRAUNTUKPEMBELAJARANEKOLOGIS DI ERA GLOBAL
PENGARUH METODE METODE QUANTUM WRITING TERHADAP KETERAMPILAN MENULIS AKADEMIK PEMBELAJARAN BERBASIS RISET PADA MATA KULIAH‘TEORI BELAJAR BAHASA’DI JURUSAN TADRISBAHASA INDONESIA, IAIN SYEKH NURJATI STRATEGI THINK-TALK-WRITE BERBASIS SCIENTIFIC APPROACH SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN KEMAMPUAN MENULIS KARYA ILMIAH MAHASISWA
Jawab Sugiyanto,
Tri
MODERATOR:Munirah
Penanggung Jawab ruang:: Tutik Wahyuni, M.Hum.
MODERATOR: Mulyono
Penanggung jawab: Djiwandono S.U., M.Hum.
MODERATOR: Irfai Fathurohman
Penanggung Jawab ruang:; Sri Wahono Saptomo, M.Hum.
MODERATOR:Tutik Wahyuni
Penanggung ruang::Y. M.Pd.
xviii
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
Hanindya Restu Aulia
Ngatmini, Larasati, Agus Wismanto, dan Latif Anshori Kurniawan
4
Suparmin Suyanto
3 4
KODE
2
Satriya Bayu A.
RUANG KOMISI 1 Rangga Asmara 1
NO.
PENYAJI
REALISASI TINDAK TUTUR MELARANG DALAM MENGUNGKAP KEARIFAN LOKAL DI KALANGAN PENUTUR BAHASA JAWA DIALEK STANDAR KAJIAN STRUKTUR DAN POLA PENGEMBANGAN TEMA KLAUSA YANG MEMPROYEKSIKAN DAN TERLETAK DI BELAKANG KLAUSA YANG DIPROYEKSIKAN DALAM ARTIKEL TERJEMAHAN BERSERI KELUAR DARI NIRWANA MAJALAH NATIONAL GEOGRAPHIC PERIODE 2013-2016
JUDUL MAKALAH
STUDI PEMBANDING EFEKTIVITAS RUMUS THE KING BAHASA INDONESIA LBB GANESHA OPERATION PADA KURIKULUM KTSP DENGAN KURIKULUM 2013 REPRESENTASI OPERASI HITUNG DALAM BAHASA INDONESIA PADA SOAL CERITA MATEMATIKA BUATAN GURU DI SEKOLAH DASAR PEDESAAN: ANALISIS STRUKTUR SEMANTIK PEMAKAIAN BAHASA INDONESIA DI ERA GLOBALMENUJU INDONESIA BARU DINAMIKA JUMLAH PENUTUR BAHASA INDONESIA : STUDI DATA SENSUS PENDUDUK 1980
PEMODELAN PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA MENGGUNAKAN CERITA TEMAN SEBAYA UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN BERBICARA SISWA SEKOLAH DASAR PENGEMBANGAN BUKU PENGAYAAN KETERAMPILAN BERBAHASA INDONESIA YANG BERMUATAN KEARIFAN BUDAYA LOKAL UNTUK MENINGKATKAN PEMEROLEHAN SINTAKSIS PESERTA DIDIK SD KELAS RENDAH KEEFEKTIFAN PENGGUNAAN MEDIA BONEKA LAYAR DAN MEDIA KASET DALAM KEMAMPUAN PEMAHAMAN MENYIMAK DONGENG UNTUK MEWUJUDKANNILAI KARAKTER BANGSA ANALISIS KEMAMPUAN GURU BAHASA INDONESIA DALAM MENGAPLIKASIKAN KETERAMPILAN DASAR MENGAJAR DI SLTP DAN SLTA KOTA SEMARANG
GABI (GAME ANDROID BAHASA INDONESIA) SEBAGAIREKSA BAHASA INDONESIA
SIDANG PARALEL IV: RABU, 2 NOVEMBER 2016 (21.50-22.40)
Sumarwati, Budiyono, Mila Anggarwati
2
RUANG KOMISI 8 Sugeng Riyanto dan Hengkang Bara 1 Saputo
Muhammad Noor Ahsin
Mimi Mulyani
3
2
RUANG KOMISI 7 M. Fakhrur Saifudin 1
4
Jawab Suparmin,
MODERATOR:Miftah Nugroho
Penanggung Jawab ruang:: Sri Muryati, M.pd.
PENANGGUNG JAWAB RUANG:
MODERATOR:Teguh Trianton
Penanggung Jawab ruang:: Sukarno, M.Hum
MODERATOR:Petrus Hariyanto
Penanggung ruang:: M.Hum.
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
xix
Dewi Kusumaningsih
4
Suryo Daru Santoso
Septina Sulistyaningrum
Tutik Wahyuni
3
4
M. Riyanton, Dyah Wijayawati, dan Etin Pujihastuti Mudjahirin Thohir Nila Mega Marahayu, Roch Widjatini, Sri Nani Hari Yanti, dan Imam Suhardi
3
4 5
Irfai Fathurohman
2
RUANG KOMISI 4 Chafit Ullya 1
Septina Krismawati
2
Sugihastuti 3 Mulyo Hadi Purnomo 4 RUANG KOMISI 3 Nia Ulfa Martha, Lalita Melasarianti, 1 dan Vera Krisnawati
2
RUANG KOMISI 2 Rianna Wati 1
Sholeh Dasuki, Asep Yudha Wirajaya, dan Miftah Nugroho
3
POTRET ANGELINA SONDAKH DALAM PUISI ANTIKORUPSI KARYA PENYAIR WANITA INDONESIA TEMA KRITIK PUISI DAN NILAI KEJUANGAN PENYAIR INDONESIA DALAM PUISI MBELING KARYA REMY SYLADO FUNGSI CERITA RAKYAT DI KABUPATEN BANYUMAS BAGI MASYARAKAT PEMILIKNYA MENELITI NASKAH SEBAGAI ARTEFAK KEBUDAYAAN CERPEN “RUSMI INGIN PULANG” KARYA AHMAD TOHARI: KAJIAN KRITIK SASTRA FEMINIS
METODE DISKUSI DALAM PEMBELAJARAN TEORI SASTRA SEBAGAI SALAH SATU METODE UNTUK MENGEMBANGKAN SIKAP TANGGUNG JAWAB DAN KERJA SAMA PADA MAHASISWA DESAIN PEMBELAJARAN ANALISIS KESALAHAN BERBAHASA INDONESIA BIDANG MORFOLOGI MELALUI MODEL INVESTIGASI KELOMPOK SEBAGAI UPAYA MENGEMBANGKAN KARAKTER BANGSA PENERAPAN BUKU AJAR KALIMAT DALAM WACANA KRITIS UNTUK MAHASISWA PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIABERBASIS KONTEKSTUAL
Penanggung ruang:: Y. M.Pd.
IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM MODEL PEMBELAJARAN EXAMPLES NON EXAMPLES PADA MATA KULIAH BERBICARA
MODERATOR: Hari Bakti Mardikantoro
Penanggung Jawab ruang:; Sri Wahono Saptomo, M.Hum.
MODERATOR: Ida Bagus Artha Adnyana
Jawab Sugiyanto,
PENANGGUNG JAWAB RUANG:: Dewi Kusumaningsih, M.Hum MODERATOR:Oktaviani Windra
MEMBENTUK KARAKTER ANAK MELALUI CERPEN DALAM MAJALAH ANAK CILUKBA MEMPERKUKUH KARAKTER DAN NILAI KEJUANGAN BANGSA MELALUI PEMBELAJARAN PERIBAHASA, “KEDAULATAN” DALAM SASTRA ANAK IDEOLOGI GENDER DALAM TEKS SASTRA
PEMAKAIAN BAHASA INDONESIA DALAM KARYA ILMIAH MAHASISWA: STUDI KASUS PADA PENULISAN SKRIPSI SASTRA INDONESIA UNIVERSITAS SEBELAS MARET ANALISIS WACANA KRITIS MODEL FAIRCLOUGHPADA WACANA IKLAN PENJUALAN MOBIL BEKASMERK HONDA JENIS FREEDWILAYAH SURAKARTA DI OLX
xx
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
Dedi Wijayanti dan Denik Wirawati
Agus Riyanto
Muhammad Abdullah
Farida Nuryantiningsih
3
4
Petrus Hariyanto Qurrota Ayu Neina,
Sri Budiyono
Wagiran
2
3
4
Sri Suciati, Ika Septiana, Mei Fita Asri Untari RUANG KOMISI 8 Teguh Trianton 1
2 3
RUANG KOMISI 7 Oktarina Puspita Wardani 1
Melyda Agustini R.
2
RUANG KOMISI 6 Kundharu Saddhono, Yusuf M. Raharjo 1
4
3
RUANG KOMISI 5 Tri Mulyono 1 Subyantoro 2
PENULISAN ESAI KRITIK SASTRA DALAM PERSPEKTIF KAJIAN BUDAYA SEBAGAI REKSA BAHASA DAN SASTRA INDONESIA SANTUN BERBAHASA WUJUD KONKRET INSAN CENDEKIA YANG BERKARAKTER MULIA REKONSTRUKSI SISTEM EVALUASI HASIL BELAJAR BAHASA INDONESIA
IMPLEMENTASI APLIKASI MOODLE PADA EVALUASI PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA BERBASIS BUDAI ABSTRAK PEMENTASAN DRAMA DI KELAS PENINGKATAN KEMAMPUAN LITERASI MELALUI KETERAMPILAN MENULIS CERITA ANAK BERWAWASAN KONSERVASI BUDAYA BERDASARKAN CONTENT AND LANGUAGE INTEGRATED LEARNING (CLIL) PADA SISWA SEKOLAH DASAR KELAS TINGGI MONOSA: ANTARA PEMBELAJARAN DAN PERMAINAN
MENUJU JURNAL BEREPUTASI: KAJIAN KAIDAH KEBAHASAAN ILMIAH BIDANG SOSIAL, HUMANIORA, DAN PENDIDIKAN DI JAWA TENGAH DAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PEMERTAHANAN BAHASA INDONESIA SEBAGAI PEMERTAHANAN PERAN DAN FUNGSI BAHASA DALAM PERGAULAN DI ERA GLOBAL REVITALISASI SKRIPTORIUM NASKAH PESANTREN SEBAGAI MODEL PENGEMBANGAN DESTINASI WISATA DAERAH PESISIR JAWA UPACARA-UPACARA TRADISI DALAM PENANGGALAN JAWASEBAGAI KEARIFAN LOKAL (STUDI KASUS DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA)
NILAI ESTETIKA PADA PUISI ANAK-ANAK INDONESIA BUKU PENGAYAAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA BERMUATAN NILAI BUDAYA UNTUK SISWA PENDIDIKAN DASAR BERDASARKAN KURIKULUM 2013 BUKU PENGAYAAN KETERAMPILAN MEMBACA BAHASA INDONESIA YANG BERMUATAN NILAI KEWIRAUSAHAAN SEBAGAI SARANA MENANAMKAN JIWA KEWIRAUSAHAAN PADA SISWA SMP ANALISIS TINDAK TUTUR NOVEL:SEBUAH ALTERNATIF MODEL PENDIDIKAN KARAKTER
Suseno
Jawab Suparmin,
MODERATOR: Suyanto
Penanggung Jawab ruang:: Sukarno, M.Hum
MODERATOR: M. Fakhrur Saifudin
Penanggung ruang:: M.Hum.
MODERATOR: Dina Eka Pratiwi
Penanggung Jawab ruang:: Tutik Wahyuni, M.Hum.
MODERATOR: WS
Penanggung jawab: Djiwandono S.U., M.Hum.
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
xxi
PENINGKATAN PERASAAN MAHASISWA PPGT MELALUI REFLEKSI PADA MATA KULIAH TERKAIT BAHASA INDONESIA KEMAMPUAN MENULIS KALIMAT MAHASISWA DITINJAU DARI ASPEK LITERASI SAINS MAHASISWA PGSD UNIVERSITAS MURIA KUDUS UJARAN KEBENCIAN DAN PEMBELAJARAN MENULIS KRITIS
Galih Kusumo
Mila Roysa, Fina Fakhriyah, Siti Masfuah
Ristiyani
4
5
6
DAFTAR ISI JUDUL KATA PENGANTAR LAPORAN KETUA PANITIA SAMBUTAN REKTOR SUSUNAN KEPANITIAAN JADWAL KEGIATAN JADWAL SIDANG-SIDANG KOMISI PARALEL DAFTAR ISI MAKALAH MAKALAH-MAKALAH UTAMA MAKALAH-MAKALAH SIDANG KOMISI PARALEL No 1
i iii iv vi viii ix xi xxiii 1 43
MAKALAH-MAKALAH UTAMA Hal Dadang Sunendar (Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia)..................... 1 Memperkukuh Peran Bahasa Negara sebagai Jati Diri Bangsa
2
Riris K. Toha Sarumpaet (Universitas Indonesia)............................................ Sastra dan Pembentukan Karakter: antara Perkara “yang Mulia” dan Tak Cerita
11
3
Sarwiji Suwandi (Universitas Sebelas Maret Surakarta).................................. Menyelaraskan Pembelajaran Bahasa dan Sastraindonesia di Perguruan Tinggi Dengan Kebutuhan Zaman: Perspektif Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI)
19
4
Anang Santoso (Universitas Negeri Malang)................................................... Analisis Teks (Kritis) dalam Pembelajaran Bahasa-Sastra Indonesia Kekinian
29
5
Mohamad Sobary (Budayawan, Kolomnis)..................................................... Politik dalam Bahasa Sehari-Hari Kita
40
MAKALAH-MAKALAH SIDANG KOMISI PARALEL BIDANG I: PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA INDONESIA: REKSA KEBAHASAAN
1
xxii
Persamaan Fungsi dan Peran Satuan Lingual Berpronomina Persona I dan II pada Teks Terjemahan Alqur’an dan Teks Terjemahan Hadis Bahrudin Adi Nugroho, Markhamah, Abdul Ngalim, Muhammad Muinuddinilah B (Universitas Muhammadiyah Surakarta)…………………….........................................................................
43
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Pendayagunaan Padanan Istilah Bahasa Indonesia sebagai Pengganti Kosakata Serapan Bahasa Asing guna Memperkokoh Karakter Bangsa Indonesia Bambang Lelono, Erwita Nurdiyanto, Gita Anggria Resticka (Universitas Jenderal Soedirman)..........................................................................................
48
Bentuk Pemertahanan Bahasa dalam Bahan Ajar Berbasis Kurikulum 2013: Kajian Ekolinguistik Brigita Yuni (Universitas Sanata Dharma).......................................................
52
Ketidakefektifan Kalimat dalam Makalah Mahasiswa Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia Semester IV Kelas A Universitas Sanata Dharma Tahun Ajaran 2015/2016 Cicilia Nian Erika (Universitas Sanata Dharma) .............................................
58
Struktur Wacana Teks Surat Dakwaan Tindak Hukum Pidana Dwi Purnanto, Bakdal Ginanjar, Chattri Sigit Widyastuti, Hesti Widyastuti, dan Miftah Nugroho (Univetsitas Sebelas Maret Surakarta)............................
64
Kajian Semantik dalam Slogan di Bak Truk di Jalan Pantura (Batang – Pekalongan) Erwan Kustriyono dan Tri Hartantyo (Universitas Pekalongan) .....................
68
Pelesapan Preposisi dalam Gramatika Bahasa Indonesia F.X. Sawardi (Universitas Sebelas Maret Surakarta) ......................................
73
Pemanfaatan Aspek-Aspek Kebahasaan sebagai Bentuk Language Games dalam Ceramah K.H. Duri Azhari Imam Baehaqie, Deti Tri Meliana Nadhirul Adib, dan Tiratia Septi (Universitas Negeri Semarang) ……………………………………………….
78
Prinsip Kerja Sama Grice dalam Acara Hot Request di Radio Geronimo Yogyakarta Irsyadi Shalima (Universitas Tidar) ………………………………………….
83
Bentuk Basa Krama Semarangan sebagai Potret KetidakpahamanKemerosotan dalam Bertutur Jawa Krama M. Suryadi (Universitas Diponegoro) ………………………………………..
89
Pragmatik dan Perkembangan Bahasa Anak Miftah Nugroho (Universitas Sebelas Maret Surakarta) ……………………..
94
Persamaan Peran Satuan Lingual Berpronomina Persona Ketiga pada Teks Terjemahan Al-Qur’an dan Hadis Naimul Faizah, Markhamah, Abdul Ngalim, Muhammad Muinuddinilah B (Universitas Muhammadiyah Surakarta) ……………………………………..
101
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
xxiii
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
xxiv
Kesantunan Berbahasa pada Kalimat Perintah dalam 10 Cerita/Novel Remaja Paling Populer dari Tahun 2014-2016 Nike Widya Kusumastuti (Universitas Negeri Semarang) …………………..
106
Kesantunan Tuturan Ekspresif Wanita Jawa Perdesaan dalam Interaksi Sosial Prembayun Miji Lestari (Universitas Negeri Semarang) ……..……………..
115
Realisasi Tindak Tutur Melarang dalam Mengungkap Kearifan Lokal di Kalangan Penutur Bahasa Jawa Dialek Standar Rangga Asmara (Universitas Tidar) ………………………………………….
120
Kajian Struktur dan Pola Pengembangan Tema Klausa yang Memproyeksikan dan Terletak di Belakang Klausa yang Diproyeksikan dalam Artikel Terjemahan Berseri Keluar dari Nirwana Majalah National Geographic Periode 2013-2016 Satriya Bayu A. (Universitas Sebelas Maret Surakarta) ……………………..
127
Pemakaian Bahasa Indonesia dalam Karya Ilmiah Mahasiswa: Studi Kasus pada Penulisan Skripsi Sastra Indonesia Universitas Sebelas Maret Sholeh Dasuki, Asep Yudha Wirajaya, dan Miftah Nugroho (Universitas Sebelas Maret) .................................................................................................
133
Struktur Wacana Humor Sastra Lisan Madihin Banjar Siti Faridah (Universitas Achmad Yani Banjarmasin)......................................
141
Register Forensik Bahasa Kepolisian: Bentuk dan Karakteristik Komunikasi dengan Handy Talky Sri Waljinah, Indah Tri Winarni, dan Nora Lufitasari (Universitas Muhammadiyah Surakarta) ………………………………………………….
145
Penggunaan Bahasa Daerah dalam Kontekspenamaan Tempat di Indonesia Sebagai Upaya Pemertahanan Bahasa daerah dan Pemerkukuhan Bahasa Indonesia di Era Globalisasi: Kajian Ekolinguistik Sofylia Melati (Universitas Sanata Dharma) ………………………………….
149
Dari Sabeb, DL, Baper, hingga Maacih, Ragam Bahasa Gaul Remaja Indonesia Masa Kini: Tinjauan Leksiko-Morfologi Sudaryanto (Universitas Ahmad Dahlan) ……………………………………
154
Kemunculan Ujaran Kebencian dan Peranan Humor sebagai Pengalih Ujaran Kebencian (Studi Kasus Forum Onlinetopix.Com) Yunus Sulistyono (Universitas Muhammadiyah Surakarta) …………………
157
Penyimpangan Kaidah Kebahasaan dalam Berbagai Teks pada Majalah Aksi Progdi PBSI, FKIP, Univet Bantara Sukoharjo Wiwik Darmini (Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo) ………
165
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
24
Strategi Penerjemahan dan Kesepadanan, Keterbacaan dan Keberterimaan Terjemahan Pendanda Kohesi Konjungsi dalam Buku Teks Management Accounting Zainal Arifin, Agus Budi Wahyudi, Muhammad Rois Hakim, Hirnowo Jati (Universitas Muhammadiyah Surakarta) …………………………………….
169
BIDANG II: PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA-SASTRA INDONESIA: PENDIDIKAN NILAI KARAKTER DAN KEJUANGAN 1
2
3
4
5
6
7
8
Pembelajaran Apresiasi Dongeng Bermuatan Nilai Pedidikan Karakter dalam Era Globalisasi Aida Azizah, Joko Nurkamto, Sarwiji Suwandi, Muhammad Rohmadi (Universitas Islam Sultan Agung Semarang) …………………………………
175
Fetisme Bahasa dalam Lagu Populer Indonesia dan Pengaruhnya pada Perilaku Remaja Masa Kini Asrofah, Festy K. Larasati (Universitas PGRI Semarang)…………………….
180
Memaksimalkan Peran Pembelajaran Bahasa Indonesia sebagai Piranti Pembentukan Karakter Lulusan dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) Budhi Setiawan (Universitas Sebelas Maret Surakarta) ……………………..
186
Mengimplementasikan Pendidikan Karakterdalam Pembelajaran Menyimakuntuk Meningkatkan Daya Saing Mahasiswa di Tengah Pergaulan Global Deby Luriawati N. (Universitas Negeri Semarang) …………………………..
192
Peran dan Fungsi Sastra Indonesia dalam Mewujudkan Karakter dan Nilai Kejuangan Bangsa di Tengah Pergaulan Global Joko Purwanto (Universitas Muhammadiyah Purworejo) ...............................
197
Internalisasi Budai pada Pembelajaran Bahasa dan Sastra di Tengah Dominasi Pendidikan Karakter Berperspektif Global Leli Nisfi Setiana (Universitas Islam Sultan Agung Semarang) ......................
201
Fungsi Cerita Rakyat di Kabupaten Banyumas bagi Masyarakat Pemiliknya M. Riyanton, Dyah Wijayawati, dan Etin Pujihastuti (Universitas Jenderal Soedirman) …………………………………………………………………… Puisi sebagai Media Pembelajaran untuk Penanaman Nilai Pendidikan Karakter di Lingkungan Mahasiswa Oktaviani Windra Puspita (Universitas Ma’arif Nahdlatul Ulama Kebumen) ..
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
206
213
xxv
9
10
11
12
13
14
Terampil Menulis Karya Ilmiah dengan Teknik Collaborative Writing sebagai Upaya Penguatan Pendidikan Karakter Purwati Zisca Diana dan Desy Rufaidah (Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta) …………………………………………………….
217
Laku dalam Budaya Masyarakat Jawa Raheni Suhita, Djoko Sulaksono, Ken Fitria Diah W (Universitas Sebelas Maret Surakarta) ……………………………………………………………….........
221
Membentuk Karakter Anak melalui Cerpen dalam Majalah Anak Cilukba Rianna Wati (Universitas Sebelas Maret Surakarta) …………………………
226
Memperkukuh Karakter dan Nilai Kejuangan Bangsa melalui Pembelajaran Peribahasa Suryo Daru Santoso (Universitas Muhammadiyah Purworejo) ……………
232
“Kedaulatan” dalam Sastra Anak Sugihastuti (Universitas Gadjah Mada Yogyakarta) ………………………….
237
Nilai Falsafah Jawa dalam Lirik Tembang Dolanan Anak sebagai Pembentuk Karakter Anak yang Berbudi Pekerti Wiekandini Dyah Pandanwangi (Universitas Jenderal Soedirman) .................
243
BIDANG III: PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN BAHASA-SASTRA INDONESIA DI PERGURUAN TINGGI 1
2
3
4
5
xxvi
Permainan Bahasa pada Meme Tulisan di Instagram @Dagelan Asri Wijayanti (Universitas Tidar) ………………………………................... Penerapan Teknik Porpe dalam Pembelajaran Membaca pada Mata Kuliah Kemampuan Membaca Ayu Wulandari (Universitas Tidar) ……………………………….................. Analisis Tindak Tutur Novel: Sebuah Alternatif Model Pendidikan Karakter Dedi Wijayanti dan Denik Wirawati (Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta) Kebutuhan Mahasiswa terhadap Materi Pembelajaran Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi Didin Widyartono (Universitas Negeri Malang) ………………….................. Penanaman Karakter Bangsa pada Mahasiswa melalui Penggunaan Media Video Seri Indonesia Bagus Produksi Net. TV dalam Perkuliahan Menyimak Apresiatif dan Kreatif Dwi Hanti Rahayu (Universitas Negeri Yogyakarta) ………………...............
251
257
262
266
271
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Model Pembelajaran Sastra Berbasis Meaningful Learning dan BrainBased Learning untuk Mewujudkan Kemampuan Menulis Kreatif Mahasiswa Elyusra dan St. Asiyah (Universitas Muhammadiyah Bengkulu)………......... Peningkatan Perasaan Mahasiswa PPGT melalui Refleksi pada Mata Kuliah Terkait Bahasa Indonesia Galih Kusumo (Universitas Sanata Dharma) ……………………................... Buku Ajar Membaca Bermuatan Pendidikan Karakter bagi Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Haryadi (Universitas Negeri Semarang) ……………………………….......... Pengaruh Metode Quantum Writing terhadap Keterampilan Menulis Akademik Ida Bagus Artha Adnyana, Kadek Dwi Cahaya Putra (Politeknik Negeri Bali) Pembelajaran Berbasis Riset pada Mata Kuliah‘Teori Belajar Bahasa di Jurusan Tadris Bahasa Indonesia, IAIN Syekh Nurjati Indrya Mulyaningsih (IAIN Syekh Nurjati, Cirebon) ……………….............. Kemampuan Menulis Kalimat Mahasiswa Ditinjau dari Aspek Literasi Sains Mahasiswa PGSD Universitas Muria Kudus Mila Roysa, Fina Fakhriyah, Siti Masfuah (Universitas Muria Kudus)........... Strategi Think-Talk-Write Berbasis Scientific Approach sebagai Upaya Meningkatkan Kemampuan Menulis Karya Ilmiah Mahasiswa Molas Warsi Nugraheni (Universitas Tidar) …………………………............. Implementasi Pendidikan Karakter dalam Model Pembelajaran Examples Non Examples pada Mata Kuliah Berbicara Nia Ulfa Martha, Lalita Melasarianti, dan Vera Krisnawati (Universitas Jenderal Soedirman) ……………………………………………..................... Metode Diskusi dalam Pembelajaran Teori Sastra sebagai Salah Satu Metode untuk Mengembangkan Sikap Tanggung Jawab dan Kerja Sama pada Mahasiswa Septina Krismawati (Universitas Sanata Dharma) ……………....................... Desain Pembelajaran Analisis Kesalahan Berbahasa Indonesia Bidang Morfologi melalui Model Investigasi Kelompok sebagai Upaya Mengembangkan Karakter Bangsa Septina Sulistyaningrum (Universitas Negeri Semarang) ……………............ Penerapan Buku Ajar Kalimat dalam Wacana Kritis untuk Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Berbasis Kontekstual Tutik Wahyuni (Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo) ..............
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
274
279
284
293
299
304
310
314
318
323
329
xxvii
17
18
Rekonstruksi Sistem Evaluasi Hasil Belajar Bahasa Indonesia Wagiran (Universitas Negeri Semarang) .........................................................
335
Metode Instruksi Sendiri dengan Programa (Programmed SelfInstructional Methods) dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Wisnu Nugroho Aji ..........................................................................................
345
BIDANG IV: PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA-SASTRA INDONESIA: ANALISIS TEKS 1 2 3
4
5 6 7
8
9
10
xxviii
Perbandingan Tema, Alur dan Penokohan dalam Drama Romeo-Juliet dan Sampek-Engtay Afsun Aulia Nirmala (Universitas Pancasakti Tegal) ………………………..
351
Seni Teater yang Hidup dan Berdaya Albertus Prasojo (Universitas Sebelas Maret Surakarta)………………..........
361
Sistem Sosial dalam Novel Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya Wiwid Prasetyo Ariesma Setyarum (Universitas Pekalongan) ………………………….........
365
Pendidikan Bermutu dan Berdaya Saing Melalui pengembangan Modul Membaca Kritis dan Kreatif berbasis ARCS Ariesty Fujiastuti (Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta) ...........................
370
Ideologi Masyarakat Minangkabau dalam Sastra sebagai Alat Pendidikan Karakter Siswa Armini Arbain, Ronidin, dan Herry Nur Hidayat ...........................................
376
Fenomena Perspektif di dalam Wacana Berita B. Widharyanto (Universitas Sanata Dharma) ................................................
384
Konsep Ajaran Jihad dalam Teks Syair Raja Siak Bagus Kurniawan dan Ahmad Taufiq (Universitas Sebelas Maret Surakarta) ........................................................................................................
398
Piranti Bahasa Pengungkap Keberpihakan dalam Teks Berita melalui Teori Apraisal: Kasus Pemberitaan Seputar Isu Pengesahan RUU Sisdiknas 2003 antara Media Surat Kabar Kompas dan Media Republika
Benedictus Sudiyana (Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo) …
406
Potret Angelina Sondakh dalam Puisi Antikorupsi Karya Penyair Wanita Indonesia Chafit Ulya, Nugraheni Eko W., dan Yant Mujiyanto (Universitas Sebelas Maret Surakarta) ……………………………………………………………..
413
Analisis Wacana Kritis Model Fairclough pada Wacana Iklan Penjualan Mobil Bekas Merk Honda Jenis Freed Wilayah Surakarta di OLX Dewi Kusumaningsih (Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo) ...
417
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
11
12 13 14
15
16 17 18 19
20
21
22
23
Konstruksi Ekoliterasi dalam Novel Kelomang Karya Qizink La Aziva sebagai Penyadaran Akankrisi Sekologi Global Dwi Budiyanto, Kusmarwanti, dan Else Liliani (Universitas Negeri Yogyakarta) .....................................................................................................
423
Analisis Struktur dan Dramatik Naskah Drama Panembahan Reso Karya W.S. Rendra Edy Suryanto dan Budi Waluyo (Universitas Sebelas Maret Surakarta) ........
432
Sajak-Sajak Rendra untuk Pembelajaran Ekologis di Era Global Else Liliani dan Dwi Budiyanto ......................................................................
438
Tema Kritik Puisi dan Nilai Kejuangan Penyair Indonesia dalam Puisi Mbeling Karya Remy Sylado Irfai Fathurohman (Universitas Muria Kudus) ...............................................
443
Fungsi Cerita Rakyat di Kabupaten Banyumas bagi Masyarakat Pemiliknya M. Riyanton, Dyah Wijayawati, dan Etin Pujihastuti ..................................... (Universitas Jenderal Soedirman) Meneliti Naskah sebagai Artefak Kebudayaan Mudjahirin Thohir (Universitas Diponegoro) ................................................. Sastra Rakyat Sumber Kearifan Lokal dan Pengimplementasiannya dalam Pendidikan Karakter
Mukti Widayati (Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo) ............
448
455
463
Ideologi Gender dalam Teks Sastra Mulyo Hadi Purnomo (Universitas Diponegoro) ...........................................
467
Narasi Keindonesiaan dan Nasionalisme dalam Allah Yang Palsu Karya Kwee Tek Hoay: Kajian Pascakolonial Murtini (Universitas Sebelas Maret Surakarta) ..............................................
475
Kasus Penangkapan Ratna Sarumpaet di Kawasan Pasar Ikan, Penjaringan, Jakarta Utara: Analisis Wacana Kritis Model Theo Van Leeuwen Nanik Setyawati (Universitas PGRI Semarang) .............................................
479
Cerpen “Rusmi Ingin Pulang” Karya Ahmad Tohari: Kajian Kritik Sastra Feminis Nila Mega Marahayu, Roch Widjatini, Sri Nani Hari Yanti, dan Imam Suhardi (Universitas Jenderal Soedirman) ...................................................................
490
Resepsi Media terhadap Pementasan Gundala Gawat oleh Teater Gandrik Nurhadi dan Kusmarwanti (Universitas Negeri Yogyakarta) ........................
495
Wacana Global dalam Film Dokumenter “the New Rulers of the World ” Karya John Pliger Nurul Setyorini dan Bagya (Universitas Muhammadiyah Purworejo) ...........
501
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
xxix
24 25 26
27 28
Perempuan Temanggung dan Lokalitas dalam Era yang Bergerak: Kajian Feminisme pada Novel Genduk Karya Sundari Mardjuki Puji Rahayu (Universitas Sebelas Maret Surakarta)........................................
507
Analisis Teks dalam Pembelajaran Bahasa Berbasis Genre Sri Muryati (Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo) ...................
512
Perjuangan Tokoh Perempuan Mempertahankan Eksistensinya dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari Sumartini (Universitas Negeri Semarang) ………………………………….. Sastra Diaspora-Indonesia Karya Imigran Indonesia di Amerika Tahun 2010-an Susilawati Endah Peni Adji (Universitas Sanata Dharma) …………………. Nilai Estetika pada Puisi Anak-Anak Indonesia Tri Mulyono (Universitas Pancasakti Tegal) ………………..........................
522
527
540
BIDANG V: PEMBELAJARAN BIPA (BAHASA INDONESIA UNTUK PENUTUR ASING) 1
2
3
Mengangkat Citra dan Jati Diri Bangsa melalui Pengajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing BIPA Agung Siswanto (Universitas Sanata Dharma) ................................................
545
Profil Tes Kompetensi Berbahasa Indonesia untuk Mahasiswa Asing Laili Etika Rahmawati, Sarwiji Suwandi, Kundharu Saddhono, Budhi Setiawan (Universitas Muhammadiyah Surakarta) ..........................................
551
Standardisasi Kurikulum dan Kompetensi Pengajar BIPA: Tindak Lanjut Program Internasionalisasi Bahasa Indonesia Yakobus Didit Setiawan (Universitas Sanata Dharma .....................................
556
BIDANG VI: PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI SEKOLAH 1
2
xxx
Buku Pengayaan Keterampilan Membaca Bahasa Indonesia yang Bermuatan Nilai Kewirausahaan sebagai Sarana Menanamkan Jiwa Kewirausahaan pada Siswa SMP Agus Riyanto (Universitas Pancasakti Tegal) ..................................................
563
Analisis Soal Cerita Matematika Buatan Guru SD di Kawasan Perdesaan Atikah Anindyarini, Sumarwati, Muhammad Rizqi Romadlon (Universitas Sebelas Maret Surakarta) ..................................................................................
570
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Teknik Analytic Teams dalam Pembelajaran Membaca untuk Mengembangkan Kemampuan Diri dan Sosial Desy Rufaidah dan Purwati Zisca Diana (Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta) ..................................................................................
576
Pemanfaatan Media Nusantara Bertutur sebagai Pembangun Konteks dalam Pembelajaran Teks Naratif Dini Restiyanti Pratiwi (Universitas Muhammadiyah Surakarta) ....................
580
Penerapan Startegi Know-Want To Know-Learn Ed-Affect (KWLA) dalam Kurikulum 2013 untuk Meningkatkan Keterampilan Membaca Cerpen Siswa Kelas VII I SMP Negeri 1 Bantul Ermawati, Muhammad Rohmadi, Sumarwati (Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta ...................................................................................
585
Pengembangan Model Wacana Cerita Anak-anak Fase Operasional Konkret Ety Syarifah (Universitas Negeri Semarang) ................................................... . Manfaat Film dalam Membantu Siswa Belajar Sastra Farida Nugrahani (Universitas Veteran Bangun Nusantara) ............................
591 597
Kajian Pembelajaran Bahasa Indonesia dalam Perspektif Global Berbasis Kurikulum 2013 HR. Utami (Universitas PGRI Semarang) .......................................................
603
Cerita Rakyat Jawa Tengah sebagai Media Pembelajaran Nilai-Nilai Patriotisme pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia di SMA Kelas X Iis Suwartini (Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta) ...................................
607
Model Pembelajaran Bahasa Indonesia melalui Situs Electronic Learning (E-Learning) Gratis Quipper School Indonesia Isriani Hardini (IAIN Pekalongan) ...................................................................
612
Pembelajaran Bahasa Indonesia Berbasis Teks Dalam Kurikulum 2013 Marta Susanti (Universitas Sanata Dharma) ....................................................
619
Pemodelan Pembelajaran Bahasa Indonesia Menggunakan Cerita Teman Sebaya untuk Meningkatkan Keterampilan Berbicara Siswa Sekolah Dasar M. Fakhrur Saifudin (Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta) ....................... Pengembangan Buku Pengayaan Keterampilan Berbahasa Indonesia yang Bermuatan Kearifan Budaya Lokal untuk Meningkatkan Pemerolehan Sintaksis Peserta Didik SD Kelas Rendah Mimi Mulyani (Universitas Negeri Semarang) ................................................
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
623
627
xxxi
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
xxxii
Keefektifan Penggunaan Media Boneka Layar dan Media Kaset dalam Kemampuan Pemahaman Menyimak Dongeng untuk Mewujudkan Nilai Karakter Bangsa Muhammad Noor Ahsin (Universitas Muria Kudus) .......................................
633
Analisis Kemampuan Guru Bahasa Indonesia Dalam Mengaplikasikan Keterampilan Dasar Mengajar di SLTP dan SLTA Kota Semarang Ngatmini,Larasati, Agus Wismanto, dan Latif Anshori Kurniawan (Universitas PGRI Semarang) …………………………………..........................................
646
Implementasi Aplikasi Moodle pada Evaluasi Pembelajaran Bahasa Indonesia Berbasis BudaI Oktarina Puspita Wardani (Universitas Islam Sultan Agung Semarang) ….....
650
Pementasan Drama di Kelas Petrus Hariyanto (Universitas Sanata Dharma) ……………............................
653
Peningkatan Kemampuan Literasi melalui Keterampilan Menulis Cerita Anak Berwawasan Konservasi Budaya Berdasarkan Content And Language Integrated Learning (CLIL) pada Siswa Sekolah Dasar Kelas Tinggi Qurrota Ayu Neina (Universitas Negeri Semarang) ………….........................
658
Pembelajaran Menulis Narasi Siswa SD Di Kabupaten Ponorogo Ririen Wardiani’ Sarwiji Suwandi, Andayani, Budiyono (STKIP PGRI Ponorogo) …………………………………………………………................ Kelayakan Isi Buku Teks Bahasa Indonesia Berbasis Kecerdasan Ekologi Sarwiji Suwandi, Ahmad Yunus, Laili Etika Rahmawati (Universitas Sebelas Maret Surakarta) ……………………………………………........................... Monosa: antara Pembelajaran dan Permainan Sri Suciati, Ika Septiana, Mei Fita Asri Untari (Universitas PGRI Semarang) Buku Pengayaan Bahasa dan Sastra Indonesia Bermuatan Nilai Budaya untuk Siswa Pendidikan Dasar Berdasarkan Kurikulum 2013 Subyantoro (Universitas Negeri Semarang) ………………............................. Studi Pembanding Efektivitas Rumus the King Bahasa Indonesia LBB Ganesha Operation Pada Kurikulum KTSP dengan Kurikulum 2013 Sugeng Riyanto dan Hengkang Bara Saputo (Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta) ………………………………………………………................... Representasi Operasi Hitung dalam Bahasa Indonesia pada Soal Cerita Matematika di Sekolah Dasar Perdesaan: Analisis Struktur Semantik Sumarwati, Budiyono, Mila Anggarwati (Universitas Sebelas Maret Surakarta) .............................................................
666
671
677
683
691
700
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
25
Pengembangan Media VCD Interaktif untuk Pembelajaran Bahasa Indonesia Aspek Mendengarkan di SD Kelas V Vita Ika Sari dan Afsun Aulia Nirmala (Universitas Pancasakti Tegal) ….......
710
BIDANG VII: BAHASA-SASTRA INDONESIA UPAYA PENGUATAN LOKALITAS DAN TANTANGAN GLOBAL
1
2
3
4
5
Strategi Penyusunan dan Publikasi Artikel Jurnal Ilmiah untuk Meningkatkan Profesionalisme Guru di Kebupatian Magelang Ani Rakhmawati, Kundharu Saddhono, dan Nugraheni Eko Wardani (Universitas Sebelas Maret Surakarta) ………………………………………… Preservasi dan Konservasi Naskah-Naskah Nusantara di Surakarta sebagai Upaya Penyelamatan Intangible Asset Bangsa Asep Yudha Wirajaya, Sholeh Dasuki, Ahmad Taufik, dan Istadiyantha (Universitas Sebelas Maret Surakarta) ………………………………………… Revitalisasi Berbagai Bahasa Daerah di Indonesia sebagai Upaya Pelestarian Kekayaan Bangsa:Upaya Memperkukuh Bahasa Indonesia Dina Eka Pratiwi (Universitas Sanata Dharma) ............................................... Peran Mata Kuliah Budaya Nusantara dalam Meningkatkan Daya Saing Bahasa Indonesia di Tingkat Global Doni Uji Windiatmoko dan Asih Andriyati Mardliyah (UNIM) ...................... Penanaman Pemahaman Fungsi Bahasa Indonesia kepada Siswa dalam Mewujudkan Karakter Bangsa Indonesia yang Kokoh di Tengah Pergaulan Global Dwi Bambang Putut Setiyadi (Universitas Widya Dharma Klaten) ................
6
Upacara-Upacara Tradisi dalam Penanggalan Jawa sebagai Kearifan Lokal (Studi Kasus di Daerah Istimewa Yogyakarta) Farida Nuryantiningsih...................................................................................................
7
Gabi (Game Android Bahasa Indonesia) sebagai Reksa Bahasa Indonesia Hanindya Restu Aulia (Universitas Pekalongan) ……………………………..
8
9
Ke Arah Rekayasa Sosial Verbal atas Penggunaan Bahasa Indonesia: Sebuah Proposal Pemikiran untuk Bangsa, Mungkinkah? Jumanto Jumanto (Universitas Dian Nuswantoro Semarang) …………………. Menuju Jurnal Bereputasi: Kajian Kaidah Kebahasaan Ilmiah Bidang Sosial, Humaniora, dan Pendidikan di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta Kundharu Saddhono dan Sri Hastuti (Universitas Sebelas Maret Surakarta)
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
717
722
729
734
738
743
750
755
762
xxxiii
10
11
Pemertahanan Bahasa Indonesia sebagai Pemertahanan Peran dan Fungsi Bahasa dalam Pergaulan di Era Global Melyda Agustini R. (Universitas Sanata Dharma) ………………………….... Revitalisasi Skriptorium Naskah Pesantren sebagai Model Pengembangan Destinasi Wisata Daerah Pesisir Jawa Muhammad Abdullah (Universitas Diponegoro) …………………………….
769
774
12
Berbahasa Santun Menunjukkan Pribadi yang Berpekerti Mulia Sri Budiyono (Universitas Widya Dharma Klaten) …………………………..
781
13
Pemakaian Bahasa Indonesia di Era Global menuju Indonesia Baru Suparmin (Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo) …....................
789
Dinamika Jumlah Penutur Bahasa Indonesia: Studi Data Sensus Penduduk 1980 Suyanto (Universitas Diponegoro) …………………………………………..
797
Penulisan Esai Kritik Sastra dalam Perspektif Kajian Budaya sebagai Reksa Bahasa dan Sastra Indonesia Teguh Trianton (Universitas Muhammadiyah Purwokerto) …………………
805
Ujaran Kebencian dan Pembelajaran Menulis Kritis Ristiyani (Universitas Muria Kudus) ……………..................................……
810
14
15
16
xxxiv
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
MAKALAH UTAMA
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
1
2
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
3
4
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
5
6
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
7
8
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
9
10
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
SASTRA DAN PEMBENTUKAN KARAKTER: ANTARA PERKARA YANG MULIA DAN TAK CERITA Riris K. Toha Sarumpaet Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
[email protected] “Tujuan pencerita terdiri dari membantu perkembangan pada anak, apa pun taruhannya, rasa kasih dan kepedulian, kemampuan menakjubkan manusia untuk terusik karena kemalangan orang lain, merasakan sukacita karena kebahagiaan orang lain, mengalami nasib orang lain bagai miliknya.” (Chukovsky 1963) Abstrak Hubungan antara sastra dan pembentukan karakter –apalagi akhir-akhir ini—sangat banyak dibicarakan. Masyarakat memercayai bahwa karya sastra adalah sarana terbaik untuk membentuk karakter. Dengan karakter yang kuat masyarakat percaya anak bangsa akan terhindar dari kesesatan dalam dunia yang mengglobal dewasa ini. Tulisan ini mencoba menelisik ranah sastra anak yang khas (dan) yangmemusat pada cerita. Tulisan ini berargumen bahwa hanya cerita yang baik yang dapat meninggalkan kesan mendalam pada pembaca dan dapat membentuknya. Lewat sejumlah telaah atas karya sastra anak Indonesia, dibahas bagaimana karakter ―yang mulia‖ dioperasikan dalam cerita. Kesimpulan akhir yang diajukan adalah diperlukan upaya keras untuk meniadakan cerita-cerita yang ―tak cerita‖ dan menggantikannya dengan cerita yang memusat, peduli, dan mempertimbangkan (kepentingan) anak. Kata kunci: karakter, watak, pembentukan karakter, pesan moral, cerita, sastra anak Indonesia. PENDAHULUAN Kita semua sepakat bahwa globalisasi telah menghubungkan, menyatukan, bahkan mengubah manusia di seluruh dunia. Demikian juga teknologi informasi yang menyediakan segala yang mungkin bagi manusia. Tidak bisa dipungkiri, teknologi informasi bahkan mengubah cara berpikir, bertindak, dan berfungsi manusia. Dengan kapitalisme, industrialisme, konsumerisme, bagaimana pun, kita telah berubah. Sambil menjadi modern, dalam dunia yang berubah, kita menerima dan masuk dalam ―dunia yang tunggang langgang‖ (Giddens 2000). Catatan awal ini mengingatkan saya pada tahun 2007 ketikaIndonesia mendapat penghargaan sebagai negara yang memiliki mall terbanyak di dunia (di Jakarta, 130 buah). Mallmall menjadi tempat favorit bukan hanya bagi pemilikuang tetapi juga anak-anak, remaja, dan kaum muda yang ―masih numpang orangtua‖ atau bahkan tak berpunya. Masyarakat Indonesia dikenal mudah dan kreatif dalam hal meniru, 1 konsumen Indonesia juga dikenal mudah terpengaruh iklan.Hal ini mengatakan bagaimana konsumerisme –sebagai proses kebudayaan yang menjadi ideologi dunia baru yang kita kenal sebagai globalisasi2sesungguhnya telah mewujud dalam hidup dan keindonesiaan kita. Dalam kancah penuh tantangan serupa inilah wacana pentingnya karakter yang kuat dan―berkesadaran nasional dan berdaya saing‖ mengemuka dan bahkan menguat. Kondisi masyarakat dalam dunia ―yang tunggang-langgang‖mendadak menakutkan bagi masyarakat dan ingin mengalihkan pengobatan dan pengelolaannya pada karya sastra.Masyarakat menyadari pentingnya pembekalan dan pembelajaran dan perubahan karakter pada anak-anak agar mereka 1
Ingat juga bagaimana murid-murid gemar mencontek dan bahwa plagiarisme mewabah di universitas ternama sekalipun. 2 Periksa uraian bagus tentang identitas, status, dan kenikmatan oleh Alan Tomlinson dalam Consumption, Identity, and Style: Marketing, Meanings, and Packaging of Pleasure (London: Routledge, 1990).
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
11
secara mandiri dan berprinsip dapat hidup dalam dunia yang makin berubah. Bagaimanakah ini mungkin? Di sinilah problematika dunia sastra anak kembali kita hadapi. Berpikir mengenai pembentukan karakter niscaya kita mempertimbangkan anak-anak yang sedang bertumbuh, yang kita harapkan menjadi penerus bangsa. Anak-anak yang mau tidak mau masih berada di bawah bimbingan orang dewasa ini (Sarumpaet 1976) memerlukan cerita terbaik untuk bisa berkembang baik. Melalui bacaan yang baik, dia mendapatkan perasyikan, pelarian dari situasi tertentu, masuk dalam dunia imajinasi dan fantasi, memahami diri dan orang lain, mengenali orang lain yang berbeda darinya, belajar berempati, mengenali pentingnya pertimbangan moral, mengenali kenikmatan literer dan artistik, juga nilai akademik seperti membaca, menulis, dan apresiasi seni.Menurut saya, sepanjang anak-anak diberi bacaan yang baik, dia akan mendapatkan bukan hanya perasyikan tetapi juga pendidkan, termasuk di dalamnya karakter. Persoalannya, yang seperti apakah bacaan anak yang baik? Namanya karya sastra, singkatnya hanya memberikan sesuatu yang menarik,menyentak, dan mengesankan. Sesuatu yang mengesan biasanya ―orisinal dengan penggunaan bahasa yang imajinatif serta keindahan gaya literer dan artistik sehingga tetap segar dan menarik dan bermakna untuk masa yang lama. Biasanya karya serupa ini memiliki nilai yang permanen‖(Tomlinson dan Brown 1996: 3). Rahmah Asa seorang penulis dan Kepala Bagian Sastra Anakdalam sebuah penerbitan yang berperhatian besar pada kesendirian anak, pada tahun 1994 menulis buku bacaan bergambar mengenai seorang anak bernama Siti. Kisah yang sangat psikologis ini menceritakan tentang ―Siti seorang anak yatim piatu yang hidup sendirian.‖ Ia hanya memiliki sepasang sendal dan kain kebaya. Anak yang miskin ini tidak suka mengeluh bahkan ketika gubuknya digusur, ia berkata: ―Sudah sepantasnya keindahan menggantikan keburukan‖. Ia lalu berjalan ke mana saja, bermain dengan bola yang ditemuinya, mengajak main burung kecil, memberikan bolanya pada seorang gadis kecil, menyerahkan sendalnya dipakai anak laki-laki yang terluka kakinya: ―Sandalku, sandalku,/Sandal butut abu-abu/Maukah kamu ikut dia/Menjaga kakinya dari bahaya?‖ Karena iba pada anak gadis yang kedinginan, Siti memberikan kebayanya. Menurutnya, semua miliknya itu menemukan ―tempat yang mulia!‖ Ketika angin menyerang, kain Siti pun lepas dan dibawa angin. Dan ketika malam tiba dan hujan deras menghantam tubuhnya, ia merasa takut, dan menangis rindu pada orang tuanya. Kemudian dalam gelap ia mengadu ke langit:‖Di sini gelap sekali, Tuhan/Dan aku sendirian/Hujan deras sekali, Tuhan/Dan aku kedinginan//Beri aku cahaya/Beri aku cinta/Dan kehangatan/Hati ibunda/Amin.‖ Siti terjatuh, wajahnya tenggelam dalam air. Tetapi ia melihat langit mendadak benderang, dan hujan yang turun berubah menjadi hujan sinar. Suara badai yang mengguntur berubah menjadi suara musik yang mengalun merdu, sangat lembut dan syahdu, menaburkan aroma bahagia ke mana-mana. Bola-bola kecil gemerlap berjatuhan ringan dan anggun. Cahaya warna-warni muncul, mengiringi pakaian serba indah yang melayang-layang turun, lalu membungkus tubuh Siti. Sepasang selop yang berkilat-kilat terpasang di kakinya. Siti tampak cantik gemilang. Tiba-tiba ia melihat ayah dan ibunya yang berseri-seri memandangnya. Lalu tangan-tangan lembut mengangkatnya, menyelimutinya dengan selimut kemilau, dan membawanya melayang dalam pelukan. Siti tersenyum. Ia tidak lagi sendirian. Ia tidak lagi kedinginan. (Asa, 1994: 22) Dengan sangat imajinatif Asa melukiskan kesendirian namun keceriaandan kemandirian Siti yang bahkan mengorbankan segala yang dimilikinya dan akhirnya berjumpa dengan orang tua yang dirindukannya. Cerita ini membuktikan bagaimana kisah kematian sekalipun dapat diberikan kepada anak sepanjang pelukisannya baik jika tidak istimewa dan mempertimbangkan kebutuhan mereka. Inilah teladan kisah yang mengesankan, cerita yang bagaimana pun akan mengusik perasaan pembacanya, dengan demikian meninggalkan kesan, tanya, bahkan penghayatan atas kehidupan. Madonna (2016) menulis tentang ―Yakov dan Tujuh Pencuri‖, yang dipersembahkannya ―untuk anak-anak nakal di mana pun mereka berada‖. Yakov si tukang sepatu memiliki anak lelaki bernama Mikhail yang sakit keras tak tersembuhkan. Bersama istrinya Yakov merawat Mikhail dan berduka atas sakitnya yang tak kunjung sembuh. Lalu istrinya, Olga, meminta Yakov pergi meminta nasihat pada orang tua di ujung jalan yang ―katanya dia bisa berbicara pada malaikat dan melakukan mukjizat‖. Perbincangan dan usaha Yakov sangatlah berat dan mengharukan. Orang tua
12
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
itu membantu tetapi tidak langsung berhasil. Ia harus berbicara dulu dengan malaikat. Ketika Yakov menawarkan uangnya yang tidak seberapa, lelaki tua itu menolak dan mengatakan kalau dia berhasil membantu, cucunya boleh dibuatkan sepatu. Esoknya Yakov kembali, makin sedih dan merasa bahwa maut telah hampir, dia terpukul sekali. Lelaki tua itu menyesal sekali karena katanya, pintu surga tidak bisa dibukakan. Akan tetapi karena menyaksikan kekecewaan dan duka Yakov, ―aku merasakan kepedihannya. Mana mungkin aku menyerah?‖ dia mau mencoba lagi. Lalu lelaki tua itu meminta cucunya, Pavel, pergi ke kota dan mencari semua pencuri, pencopet, dan kriminal yang ada, membawa ke rumah mereka. Walau heran atas permintaan kakeknya, Pavel membawa para pencuri. Setelah memperkenalkan diri panjang lebar, mereka diminta berdoa bersama lelaki tua itu untuk keselamatan Mikhail. Benar, esoknya Yakov datang mengabarkan bahwa Mikhail sudah sembuh dan dia memberikan sepatu hijau untuk Pavel. Pavel keheranan dan bertanya kepada kakeknya, kenapa dia mengajak para maling untuk berdoa. Jawab lelaki tua itu. Tahukah kau, para pencuri mewakili segala sesuatu di dalam diri kita yang buruk atau salah atau egois – bagian-bagian yang harus kita ubah agar kita bahagia. Jika kita ingin mukjizat terjadi, kita harus menyadari dan mengakui karakter buruk kita. Dan kalau kita berpaling dari perilaku kita yang nakal dan melakukan perbuatan baik, seperti yang dilakukan para pencuri dengan doa mereka, kita memutar kunci dan membuka Gerbang Surga. Kemudian kita bisa menerima berkat dan keberuntungan.‖ (Madonna, 2016: 137) Cerita ini melukiskan kehidupan penuh cinta kasih manusia dan perjuangannya untuk tetap memilikinya. Dengan tulus kisah ini menggambarkan kebaikan dan pergumulan manusia serta pertanyaan-pertanyaan yang lahir pada tokoh anaknya, ―mana mungkin bisa bergaul dengan para maling‖? Dengan cara yang sangat imajinatif bahkan fantastik, Madonna dapat menjelaskan pada pembaca bagaimana orang nakal sekalipun perlu diperhatikan dan memiliki harapan untuk ―menerima berkat dan keberuntungan‖. Ini adalah kisah yang serta merta bisa menjadikan Pavel bahkan Mikhail sebagai tokoh identifikasi. Kedua kisah ini pada dirinya menghimpun cerita yang sedemikian rupa dipercaya pembaca dan mungkin menjadi pengalaman yang bisa membekaskan sesuatu pada dirinya. Ilustrasinya direncanakan secara hati-hati sehingga tercipta permainan yang memuaskan antara teks dan gambar. Inilah contoh cerita yang baik, manusia yang memiliki masalah, konflik, dan emosi dan (yang) menggerakkan kisahnya pada akhir yang memuaskan pembaca. Pembaca mendapat sesuatu, sesuatu yang tidak (sengaja) dicarinya seperti mencari ajaran, karakter, kemuliaan, atau kebenaran lainnya. Ia mendapat sesuatu yang hidup, yang mungkin, dan yang mengesankan atau mengharukan bahkan menggelikan sekalipun. Ia bahkan menemukan dirinya dalam cerita. Ia berkaca. Ia menjadi kaya. KEHENDAK NEGARA MENJADI “YANG MULIA” MELAHIRKAN YANG “TAK CERITA” DALAM SASTRA ANAK INDONESIA Di Indonesia, umumnya sastra anak hadir seiring dan hampir selalu berkaitan dengan persekolahan. Secara langsung maupun tidak, negara melihat dari atas dan mengatur. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II Pasal 3 mengatakan: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Undang Undang ini menghendaki anak-anak yang ―berwatak, beriman, berakhlak mulia, demokratis, dan bertanggung jawab.‖ Kehidupan dan perkembangan sastra anak Indonesia bermuara pada Undang Undang tersebut dan Undang Undang ini pulalah yang menyuburkan wacana yang meyakini sastra anak sebagai sumber nilai-nilai moral dan sarana pembelajaran yang ideal. Ini dan di sini pulalah jagat klasik problematika sastra anak dengan adanya seteru ulang alik antara tiang pengajaran dan tiang penghiburan dalam penulisan dan fungsinya. Saya bersama semua orang yang mendahulukan anak mengutamakan perasyikan dan hiburan dalam cerita PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
13
mereka. Mereka yang lainnya memilih mengutamakan pengajaran supaya jelas dan pasti lahir manusia yang benar, yang mulia, dan bertakwa. Tidaklah mengherankan bila umumnya karya sastra anak yang beredar lebih menghamba padakehendak negara. Dengan demikian lahirlah cerita-cerita seperti Di Bawah Kibaran Merah Putih (Fakhrunnas 1996), Berjuang Melestarikan Lingkungan (Suparno 1995), Tukino Anak Transmigran (Tartusi 1993), Kusambut Gerakan Disiplin Nasional (Alfian 1996), Akibat Gemar Membaca (Alfian, 1996), dan Pak Saleh Orang Tua Asuhku (Alfian 1996), ―judul-judul yang mengemban pesan moral dengan isi yang sangat menggurui, kisah-kisah yang tidak menggelitik imajinasi pembaca karena tema yang klise, logika fiksi yang tidak meyakinkan dan gampang ditebak, pertanggungjawaban psikologis yang lemah, pola bercerita dan pola pikir yang seragam, dialog yang tidak mendukung dramatisasi cerita, cerita yang digunakan hanya untuk membawa pesan tertentu, sulit dipercaya kesempurnaannya karena protagonis yang di-idealisasi, penggunaan bahasa yang serampangan penuh kesalahan, dan banyaknya informasi yang keliru‖ (Sarumpaet 2003). Tambahan lagi, menggarisbawahi keteguhan negara untuk mencetak bangsa yang beriman dan bertakwa, Purbani (2009: ii) menemukan bahwa Sayembara Penulisan Naskah Fiksi Anak Depdiknas dan Penerima Penghargaan Buku Bacaan Anak Nasional 1996-2001 ―yang diselenggarakan dengan tatanan yang ketat merupakan kepanjangan tangan dari institusi ideologis Orba untuk mencetak anak didik sebagai manusia yang utuh sesuai cita-cita pemerintah‖. Karyakarya itu menjadikan anak obyek belaka, tidak memberdayakannya, bahkan secara serius mengerdilkannya, mengguruinya, dan dalam ideologi yang eksplisit gamblang,merayakan, dan menjejalkan ideologi paternalistik, ideologi patriarki, dan ―merefleksikan relasi kuasa yang timpang.‖ Saya percaya, ketaatan pada aturan mengakibatkan para penulis cerita untuk anak berusaha keras menggodok tokoh ciptaannya sedemikian rupa menjadi alat atau motor untuk menjalankan fungsi didaktis teks dan dijadikan teladan, seperti saya katakan, menjadi tokoh identifikasi. Terlebih dalam sastra tradisional, dongeng-dongeng lama dari berbagai daerah di Indonesia dapat dengan mudah dan murah menjadi sasaran penemuan nilai adiluhung melalui tokoh yang selalu sangat heroik. Tokoh dalam cerita tradisional serupa ini menjadi corong penyampai pemikiran dan pendapat pengarang (Nikolajeva 2003). Ratusan buku dongeng beredar di pasaran mendaur ulang mengunyah-ngunyah kisah-kisah lama, alhasil memberikan pada anak kisah-kisah dari yang buruk, suam-suam kuku, membosankan, menggelikan, hingga (bisa) membuka cakrawala baru mengasyikkan.3 Pada 18 Agustus 2015 diluncurkan pula Gerakan Literasi Sekolah ―Bahasa Penumbuh Budi Pekerti‖ (lagi-lagi ketentuan dan keputusan negara melakukannya untuk menyelamatkan generasi muda yang tidak biasa membaca) dengan mewajibkan siswa membaca sekian menit setiap hari sebelum pelajaran sekolah dimulai.4 Gerakan ini juga ikut mendongkrak semangat menulis para orang dewasa. Sayangnya, dan tragisnya, kisah-kisah yang berambisi mengubah manusia menjadi berkarakter kuat dan ksatria ini tak lebih dari cerita tanpa cerita. Cerita yang kosong itu diberati nafsu mendidik, menggurui, dan memaksakan kehendak. Dalam kenyataan yang ditemukan, kisah realistik ataupun fantasi (seperti dongeng) atau campuran kisah realistik dan fantastik sepenuhnya digunakan hanyalah sebagai alat untuk menjejalkan kehendak orang dewasa. Seperti kata Nikolajeva, tokoh dalam cerita dipinjam sebagai corong untuk menggemakan pemikiran pengarang. Kisah direkayasa sedemikian rupa untuk secara cepat menjadi resep atau petunjuk teknis bagaimana berperilaku. Periksa misalnyadalam ―Pesan Mama‖. Seorang ibu berpesan pada anaknya untuk menutup jendela pada saatnya, mengambil jemuran, memanaskan makanan namun anak yang asyik ―bermain game‖ itu tidak melakukannya. Ibu marah dan ayah yang lapar pulang kantor menemui sayur yang basi. 3
Harus diakui, dewasa ini toko buku dipenuhi buku-buku baru oleh pengarang baru maupun pemain lama, berbagai genre, bermacam kualitas, dan hadirnya dongeng yang direkayasa ulang menjadi keistimewaan tersendiri dan perlu ditelaah lebih lanjut keunggulan atau kekurangannya. 4 Gerakan yang penting ini mudah-mudahan berdampak dan sinambung serta dapat ,mengubah kebiasaan masyarakat yang malas membaca. Upaya ini sangat perlu dilaksanakan secara benar dengan hanya mempertimbangkankepentingan anak.
14
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
Ria hanya bisa tertunduk. Dia merasa malu sekali kepada Mama. Masa, hanya diberi tugas menjaga rumah saja dia tak bisa. Ria tambah merasa bersalah saat melirik Ayah. Setelah pulang bekerja, Ayah pasti sangat lapar. Akan tetapi, sayurnya terlanjur basi karena dia lupa menghangatkannya. Malam itu, mereka makan malam hanya dengan lauk telur dadar. Ria memakan makan malamnya dengan perasaan sedih. Bukan karena lauknya sederhana, tapi karena Ria menyesali sikapnya yang tak mau mendengarkan pesan dengan baik. (Widiyarti, 2015: 9) Dalam kisah yang tak punya cerita serupa ini pesan disampaikan secara eksplisit. Pembaca tidak melihat alih-alih merasakan penyesalan tokoh. Gaya buku petunjuk juga ditemukan pada Cerita Terbaik Pembentuk Budi Pekerti: Seri Pendidikan Karakter (Anisah 2016). Pengarang memberi kata pengantar serupa ini. Cerita merupakan salah satu media yang menarik yang bisa digunakan untuk menanamkan karakter yang baik bagi anak.Lewat hikmah atau pesan dalam cerita, anak akan memperolah pelajaran yang sangat berharga yang bisa membangun karakter mereka. Sifat cerita yang menarik dan menghibur akan membuat anak tidak merasa bahwa sebenarnya mereka sedang mempelajari hal-hal yang sangat penting bagi perkembangan karakter mereka. … sehingga anak bisa menjadi generasi yang berkarakter dan berkepribadian luhur.‖ (Kata Pengantar, penekanan saya, RKS) Pada kisah ―Katakan ‗Tidak‘ pada Sahabat‖ kita temukan Nana yang selalu diganggu sahabatnya yang doyan jalan-jalan dan berbelanja. Nana lalu menceritakan kesulitannya pada Mama. Seperti diduga, Nana berkata: ―Kata-kata Mama memang benar. Sebagai sahabat seharusnya Nana menasihati sahabat Nana jika berbuat salah‖ (28). Secara kilat tanpa penjelasan logis psikologis, kita baca dialog titipan orang dewasa berikut ini. Walau menokohkan anak, pengarang sesungguhnya hanya berpikir tentang dirinya, yang penting baginya adaah memaksakan kehendaknya. ―Eh, ngomong-ngomong, sekarang kok kamu berani menolak ajakanku, Na? Biasanya kan kamu selalu menurut kalau kuajak ke sana-sini kapan saja?‖ tanya Dian heran. ―Ya, sekarang aku tahu. Kita harus berani mengatakan ―tidak‖ saat sahabat kita mengajak melakukan hal yang kurang baik. Bukankah hal itu bisa merugikan kita dan juga merugikan sahabat kita sendiri?‖ kata Nana. … ―Oke, bukankah itu gunanya bersahabat?‖ kata Dian. (Anisah 2016: 30) Ada satu buku lagi yang tak kalah ngotot mengajarkan pekerti ―peduli‖ pada pembaca. Pada Indahnya Berbagi Bersama Teman(Elsiva dan El Khansa 2016) ditemukan bagaimana semangat tinggi menanamkan nilai luhur dapat menghilangkan selera baca pada anak. Buku tipis bertajuk ―Pendidikan Karakter Peduli‖ ini dengan singkat dapat menyelesaikan tugas penanaman rasa kepedulian seperti tampak pada alir kisah ini. ―Kenapa kemarin tidak datang, ibuku sakit tidak punya uang untuk berobat, baik Ra, besok kami beri kabar ke Ibu Guru, sabar ya, Ra, semoga ibumu cepat sembuh, pamit pulang, kasihan Ibu Rara sakit, tidak jadi beli sepatu baru, uang beli sepatu untuk beli obat Ibu Rara, ini ada sedikit uang untuk ibumu berobat, terima kasih ibuku sudah berobat, pulang sekolah bersama Rara, dan Ibu Rara mulai berjualan nasi lagi.‖ Tidak ditemukan konflik dalam cerita ini. Yang ada hanya montase kehendak pencerita. Tokoh dipinjam hanya untuk menyampaikan pesan moral bagaimana supaya peduli. Manakah mungkin seseorang dapat mengidentifikasi diri pada kisah yang hanya merupakan tempelan kehendak serupa ini? Hilangnya kemampuan bercerita, itulah soalnya. Sesungguhnya rasa kasihan, sedih, peduli, gembira tidaklah mungkin bisa dirasakan hanya dalam jalinan ringkas kata dan kalimat. Sebuah cerita selalu menyangkut manusia yang merasa, menjadi, dan bergumul dan kalau mungkin berhasil. Itulah persoalannya. Cerita pada hakikatnya adalah manusia dalam peristiwa, momentum, yang mengajuk emosi dan dengan demikian mengundang keterlibatan pembaca kedalamnya. Buku ini juga menjadi sangat kurang nilainya justru karena pernyataan di sampul belakang tentang keunggulannya: PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
15
1. 2. 3.
Mengenalkan 18 nilai Pendidikan Karakter Bangsa dan 9 Nilai Anti Korupsi. Bahasa yang mudah dipahami anak dan menggunakan ilustrasi yang menarik. Terdapat hikmah cerita yang merupakan pesan moral dalam buku ini.
Ternyata ke-18 nilai pendidikan karakter yang dimaksud –seperti terbaca di halaman kedua buku ini-- adalah: ―Religius, Jujur, Toleransi, Disiplin, Kerja Keras, Kreatif, Mandiri, Demokratis, Rasa Ingin Tahu, Semangat Kebangsaan, Cinta Tanah Air, Menghargai Prestasi, Bersahabat/Komunikatif, Cinta Damai, Gemar Membaca, Peduli Lingkungan, Peduli Sosial, dan Tanggung Jawab‖. Saya belum tahu bagaimana dan kenapa sebanyak itu nilai yang harus ditanamkan pada anak. Sedemikian kukuhnya upaya penanaman karakter ini sehingga buku ini ditaja oleh beberapa kelompok seperti: Indonesia Membumi: KPK-IKAPI, 18 Nilai Pendidikan Karakter Bangsa, dan Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca. Banyak buku untuk anak yang --jika ditilik dari sisi kualitas substansi apalagi penyampaiannya—tidak memadai sebagai cerita. Dongeng Anak Dunia: Kumpulan Dongeng Anak Pembentuk Karakter & Inspiratif (Syaff Banta 2016) secara tegas menganggap cerita sebagai ―pelajaran‖. Setiap judul ceritanya beranak judul ―Pelajaran‖, seperti: ―Menjadi Anak Cerdik‖: Pelajaran dari Cerita Kancil dan Buaya (Indonesia). Seperti dapat dikutip dari halaman 3, Hikmah cerita ini adalah: ―Ketika menghadapi bahaya, tetaplah tenang. Berpikirlah dengan cerdik untuk menemukan cara melepaskan diri dari bahaya itu. Lalu, perkuat dengan doa.‖ Saya tidak menemukan apa hubungan cerita ini dengan ―perkuat dengan doa‖. Serupa dengannya, pada ―Tikus Penolong‖ (40 Dongeng Paling Menakjubkan: Kumpulan Kisah Teladan Pembangun Karakter Anak, Rusyana, 2011: 39) yang mengisahkan tikus muda menolong tikus yang tua, pesan teladannya adalah: ―tolong-menolong merupakan kewajiban semua makhluk Allah SWT. Allah selalu menolong hamba-Nya yang memberikan pertolongan juga kepada saudaranya.‖ Dalam Dongeng, Legenda, & Cerita Rakyat Nusantara.Plus!! Pesan Moral. Full Color Full Picture. Lengkap dengan VCD Dongeng. Bonus Video Online. Dongeng Adalah Cara yang Paling Menyenangkan untuk Membentuk Sikap dan Kepribadian Positif Sang Anak (Kak Lina & Kak Dhilah. 2016) bahkan pesan moral yang ditampilkan dengan format khusus rentan membingungkan pembaca. Pesan moral yang tidak tegas dan gamblang ditemukan dalam Kumpulan Dongeng Pembentuk Karakter Kesatria (Patappa 2016: 78). Sejalan dengan nafsu membangun karakter baik pada anak, kita juga harus bertanya, apakah kita inginkan anak masa depan menjadi anak yang menerima saja nasibnya dalam simpulan kisah seperti berikut ini? ―Rakyat pun merasa bahagia karena mendapatkan harta yang tak terduga. Mereka pun mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan atas rezeki tersebut.‖ (Dongeng Pembangun Karakter Anak: Inti Cerita dari Kisah Rakyat Indonesia, Mustari 2013: 17). PENUTUP Riuh rendah ―dunia yang tunggang langgang‖ karena globalisasi memperkokoh niat pemerintah dan masyarakat untuk menanamkan budi pekerti luhur pada anak-anak bangsa. Sesuai dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II Pasal 3,adalah kewajiban kita untuk membangun anak yang ―berwatak, beriman, berakhlak mulia, demokratis, dan bertanggung jawab‖. Segala yang mulia, itulah yang kita dambakan bagi anak-anak Indonesia. Untuk itu, kita percaya bahwa karya sastra adalah sumber ideal dari ajaran adiluhung yang kita perlukan. Akan tetapi, hal yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa sastra untuk anak yang masih bertumbuh itu selalu diharapkan menyenangkan dan menghibur dan justru karena kekhasan pertumbuhannya, tulisan untuk mereka selalu memuat informasi atau tambahan ajaran penting yang disampaikan secara halus bahkan indah dalam cerita. Pilar perasyikan dan pilar pengajaran selalu menjadi soal dalam sastra anak. Pengarang yang membela kepentingan dan kaca mata anak akan mementingkan perasyikan dan sebaliknya pengarang yang mengutamakan dirinya beserta segala atribut kekuasaannya akan mementingkan pengajaran. Dalam hal pertentangan ini, bagaimanapun, ceritalah yang utama menjadi tolok ukur, karena ceritalah yang menggerakkan pembacanya, mengusik, dan pada gilirannya mengubahnya. Tokoh identifikasi menjadi sangat penting dalam sastra anak. Imajinasi dan fantasi mereka tidak bisa dilupakan. Kebebasan dan daya kritis mereka tidak mungkin dianggap remeh.
16
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
Jika kita percaya bahwa anak yang masih bertumbuh menjadi manusia mandiri dan berakhlak itu perlu dibimbing orang dewasa, akankah kita biarkan buku-buku yang dibacanya dipenuhi perintah, ajaran, petuah, dan paksaan? Lagi pula, bagaimana dengan cerita yang tidak logis, tokoh datar yang tak bernyawa, cerita yang ―tak cerita‖? Relakah kita membesarkan anak yang melulu membaca petunjuk teknis bagaimana berperilaku dan membiarkannya terlelap karena kebosanan membaca kisah-kisah yang tak beralasan tak berdasar bahkan tak berpenjelasan? Seperti apa yang dicontohkan tulisan Asa dan Madonna, saya percaya, hanya cerita yang bagus, yang halus, yang peduli pada anaklah yang dapat meninggalkan kesan, dan hanya yang serupa itulah yang dapat membangun watak manusia. Karena anak hidup dalam perasyikan. Karena anak memiliki dunianya yang khas. Karena anak memerlukan bimbingan. Saya menganggap, adalah niscaya meninggalkan cerita-cerita yang ―tak cerita‖. Jakarta, 1 November 2016 DAFTAR PUSTAKA Alfian. 1996. Akibat Gemar Membaca. Jakarta: CV Sarana Grafika. Alfian. 1996. Pak Saleh Orang Tua Asuhku. Medan: Firma Maju. Alfian. 1996. Kusambut Gerakan Disiplin Nasional. Medan: CV Karya Pribumi. Anisah, Siti. 2016. Cerita Terbaik Pembentuk Budi Pekerti: Seri Pendidikan Karakter. Surakarta: Visi Mandiri. Arkana, Rucita. 2013. Dongeng Pembangun Karakter Anak: Inti Cerita dari Kisah Rakyat Indonesia. Jakarta: Lintas Kata. Asa, Rahmah. 1994. Siti. Ilustrasi Nugroho Anggoro. Jakarta: Lazuardi. Banta, Syaff. 2016. Dongeng Anak Dunia: Kumpulan Dongeng Anak Pembentuk Karakter & Inspiratif. Cetakan Keenam. Jakarta: Wahyu Media. Chukovsky, Kornei. 1963. From Two to Five. Diterjemahkan oleh Miriam Morton. Berkeley, CA: University of California Press, hal. 138. Dian K. 2014. 100 Cerita Rakyat Nusantara. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer. Elsiva, Eviliana dan El Khansa, Tsabita. 2016. Indahnya Berbagi Bersama Teman. Jakarta: Bee Media Pustaka. Giddens, Anthony. 2000. Runaway World: How Globalization is Reshaping Our Lives. New York, NY: Routledge. Kak Lina & Kak Dhilah. 2016. Dongeng, Legenda, & Cerita Rakyat Nusantara.Plus!! Pesan Moral. Full Color Full Picture. Lengkap dengan VCD Dongeng. Bonus Video Online. Dongeng Adalah Cara yang Paling Menyenangkan untuk Membentuk Sikap dan Kepribadian Positif Sang Anak. Jakarta: Dua Media. Kak Thifa. 2016. Dongeng Anak Terlengkap: Seri Binatang. Fabel Seru & Mendidik Sebelum Bobok. Jogjakarta: Laksana Kidz. Madonna. 2016. The English Roses: Too Good To Be True. Persahabatan Paling Indah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Majabar, Fakhrunnas. 1996. Di Bawah Kibaran Merah Putih. Jakarta: Bina Rena Pariwara. Mustari, Aminah. 2013. Dongeng Pembangun Karakter Anak: Inti Certita dari Kisah Rakyat Indonesia. Jakarta: LIntas Kata. Nikolajeva, Maria. 2003. The Rethoric of Character in Children’s Literature. Oxford: The Scarecrow Press. Patappa, Rae Sita. 2016. Kumpulan Dongeng Pembentuk Karakter Kesatria. Solo: Tiga Ananda. Purbani, Widyastuti. 2009. Ideologi Anak Ideal dalam Lima Fiksi Anak Unggulan Indonesia Akhir Masa Orde Baru. Disertasi tidak diterbitkan. Universitas Indonesia. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Program Studi Susastra. Rusyana, Ade. 2011. 40 Dongeng Paling Menakjubkan: Kumpulan Kisah Teladan Pembangun Karakter Anak. Jakarta: Cultum Media. Sarumpaet, Riris K. 1976. Bacaan Anak-anak. Jakarta: Pustaka Jaya. Sarumpaet, Riris K. Toha. 2003. ―Bacaan Anak sebagai Kehendak Orang Dewasa yang Mematikan Selera.‖ Laporan dan Pertanggungjawaban Juri Penghargaan Adikarya IKAPI 2003. Jakarta. Suparno. 1995. Berjuang Melestarikan Lingkungan. Jakarta: Adicita Karya Nusa. PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
17
Tartusi, Tartila. 1993. Tukino Anak Transmigran. Jakarta: Bina Rena Pariwara. Tomlinson, Alan. 1990. Consumption, Identity, and Style: Marketing, Meanings, and Packaging of Pleasure. London: Routledge. Tomlinson, Carl M. and Brown, Carol Lynch. 1996. Essentials of Children’s Literature. Edisi Kedua. Needham Heights, MA: Allyn and Bacon. Widiyarti, Anisa. 2015. Kumpulan Cerita Pengubah Kebiasaan Buruk. Solo: Tiga Ananda.
18
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
MENYELARASKAN PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRAINDONESIA DI PERGURUAN TINGGI DENGAN KEBUTUHAN ZAMAN: Perspektif Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) Sarwiji Suwandi Guru Besar pada FKIP dan Kepala Program Doktor Pendidikan Bahasa Indonesia Pascasarjana Universitas Sebelas Maret email:
[email protected] Abstrak Komitmen mewujudkan pendidikan dan pembelajaran bermutu tentulah menjadi kehendak seluruh pemangku kepentingan. Untuk itu, perlu dilakukan peninjauan atau penyempurnaan kurikulum secara berkala dan berkesinambungan dalam upaya mencapai tujuan yang telah ditetapkan.Penyempurnaan/pemutakhiran kurikulum merupakan sebuah keniscayaan.Esensi penyempurnaan kurikulum, termasuk kurikulum Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia, adalah menyesuaikan kurikulum dengan kebutuhan pengguna dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (perkembangan zaman). Makalah ini akan menjelaskan konsep keunggulan, konsep pemutakhiran kurikulum dan analisis kebutuhan, porsi pembelajaran bahasa dan sastra dalam perspektif KKNI, dan perlunya mengembangan standar minimal Capaian Pembelajaran dan Standar Isi Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia. PENDAHULUAN Bukan tanpa bersebab jika saya sengaja menjuduli makalah saya ―mirip‖ dengan topik yang diminta panitia Seminar Nasional (Semnas).Konstruksi dan redaksinya hampir sama, kecuali pemakaian satu kata paling depan. Saya gunakan kata menyelaraskan untuk menyulih kata menyinergikan.Kata sinergi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1999) mengacu pada pengertian ‗kerja sama antara orang atau organisasiyang hasil keseluruhannya lebih besar daripada jumlah hasil yang dicapai jika masing-masng bekerja sendiri‘.Sementara itu, menyelaraskan berarti menyesuaikan. Ketika panitia seminar menyodorkan topik di atas, ingatan saya segera melayang pada peristiwa dua tahun silam, tepatnya tanggal 13—15 November 2014 di Hotel Accacia Jakarta. Menindaklanjuti Musyawarah dan Seminar Nasional yang diselenggarakan di UNS pada 24—25 Oktober, Asosiasi Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia atau APROBSI—yang dalam perkembangannya berubah menjadi Ikatan Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia atau IKAPROBSI (dan secara legal formal bernama Perkumpulan Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia)—bersepakat dan berkomitmen untuk segera memiliki Capaian Pembelajaran Program Studi Studi (Program Learning Outcome) atau Capaian Pembelajaran Lulusan. Seturut dengan kehendak itulah, digelar lokakarya oleh Asosiasi untuk merumuskan Capaian Pembelajaran Lulusan Prodi. Capaian Pembelajaran (SP), yang merupakan standar minimal tersebut, selanjutnya diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia di berbagai perguruan tinggi di Indonesia dalam kegiatan pengembangan kurikulum. Kegiatan lokakarya tersebut dihadiri tokoh-tokoh pengembang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia(KKNI) dan pengembang kurikulum dari Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemenristekdikti, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), sejumlah Kepala Sekolah, Pengawas, dan Kepala Dinas Pendidikan sebagai pengguna lulusan Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, dan sejumlah ―tokoh‖ yang sekaligus dosen PBSI dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Ada hal menarik yang mematik diskusi hangat dan bahkan ―panas‖ tatkala dilontarkan pemikiran tentang perlu tidaknya (atau penting tidaknya) kita bertaat azas pada Permendikbud No.154 tahun 2014 tentang Rumpun Ilmu Pengetahuan dan Teknologi atau yang populer dikenal dengan nomenklatur Program Studi. Terjadi polarisasi pandangan, ada pihak yang bersetuju dan ada pihak yang sebaliknya, yang tentu masing-masing memiliki argumentasi. PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
19
Bagi yang setuju atau yang ―patuh‖ pada ketentuan yang ada, konsekuensiya perlu menyesuaikan nama program studi, yakni Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia menjadi Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia.Ada sejumlah alasan yang dikemukakan kelompok ini. Menurut penjelasan dari Dirbelmawa, tujuan pengaturan nomenklatur yang diterbitkan pemerintah memiliki tujuan (1) meningkatkan pengakuan yang setara dari masyarakat ilmiah internasional terhadap hasil pendidikan Indonesia dengan melalui peningkatan akuntabilitas penyelengaraan program studi sesuai dengan bidang keilmuannya dan nama program studi, serta jenjang dan jenis pendidikannya agar lulusan program studi di Indonesia dapat memperoleh pengakuan program studi yang setara oleh masyarakat internasional; (2) terdapat berbagai kasus lulusan PT Indonesia tidak diakui karena nama program studi tidak dikenal atau dilaksanakanpada jenjang yang berbeda; (3) meningkatkan mobilitas mahasiswa dan lulusan oleh pemangku kepentingan nasional daninternasional melalui sosialisasi nama program studi yang diselenggarakan oleh PT besertaCP yang sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikan sehingga lebih dikenal oleh pengguna; dan (4) meningkatkan kerja sama dengan PT luar negeri dalam hal mobilisasi mahasiswa dalamprogram pertukaran mahasiswa dan penyelenggaraan program gelar bersama atau gelar ganda,dst.yang membutuhkan kejelasan capaian pembelajaran lulusan dan standar isi program studi. Sementara itu, bagi pihak yang tidak bersetuju, dengan dihilangkan atau ditanggalkannya kata Sastra dalam nama Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dikhawatirkan akan berdampak tidak baik, menjadikan kajian sastra dan pembelajaran sastra menjadi tereduksi, terpinggir, atau makin asing. Hal itu tampak beralasan, terlebih jika menganalogikan dengan kurikulum yang ada di jenjang pendidikan dasar dan menengah, khususnya pada Kurikulum 2013 mata pelajaran Bahasa Indonesia.Dalam kurikulum tersebut, terlebih di sekolah dasar, sastra cenderung terpinggirkan.―Di perguruan tinggi pun keadaannya tidak jauh berbeda‖, demikian tukas teman-teman ini.―Label sastramasih tersemat dalam nama program studi saja, muatan sastra kurang mendapat perhatian proporsional, bagaimana kalau tidak.‖Kecemasan, kegalauan, dan keresahan para penjaga gawang sastra, para sastrawan, dan tokoh pengajaran sastra tentu saja tidak bisa dinafikkan. Perdebatan mengenai perlu tidaknya perubahan nama Program Studi makin ―seru‖ dan tampak masing-masing yang berseberangan pandangan makin bersemangat. Bukan karena tidak penting ketika saya—yang didhapuksebagai pemandu diskusi dan sekaligus Ketua Tim dalam pengembangan kurikulum Prodi PBSI—harus menghentikan perdebatan itu.Ada limitasi waktu.Sementara itu, ada agenda besar yang harus segera dimulai, yakni menyusun draf Capaian Pembelajaran (CP) dan Standar Nasional Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (SNPBSI).Teman-teman pun mahfum dengan keputusan itu.Saya mengajak mereka bisa bersepakat untuk tidak bersepakat. Urusan nama Prodi biarlah menjadi bahan perenungan dan kajian masingmasing institusi. Jika ketidaksepakatan itu adalah satu sisi, ada sisi lain dari pertemuan itu yang kami—kata ini yang harus saya gunakan karena saya bukan sekadar memandu, tapi juga menjadi bahagian dari perdebatan itu—bisa bersepakat (bahkan bersepakat bulat) bahwa kompetensi berbahasa dan bersastra harus menjadi muatan kurikulum Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia yang harus direncanakan secara proporsional dan diimplemetasikan dengan baik. Inilah relevansi suasana batin yang menyelimuti para ―pejuang‖ pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia dalam konteks penyelenggaraan Prodi PBSI dan makna pertemuan tersebut dengan judul di atas. Mereka tidak mendikotomikan antara bahasa dan sastra dalam konteks pendidikan atau pembelajaran yang harus ditunaikan oleh Prodi PBI dalam upaya mewujudkan profil lulusan yang mumpuni dalam bidang pendidikan bahasa dan sastra Indonesia. Cara pandang yang tidak dikotomis itulah yang menyediakan ruang untuk menyelaraskan pembelajaran bahasa dan sastra.Keduanya tidak bisa dipisahkan, keduanya tidak saling mengecualikan (non mutually exclusive), dan keduanya isimengisi. Upaya menyelaraskan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di perguruan tinggi dengan kebutuhan zaman merupakan suatu keniscayaan.Ini sebuah keyakinan dan sekaligus praksis yang harus ditunaikan.Pembelajaran bahasa dan sastra haruslah bermuatan kebutuhan kekinian (aktual) dan kemasadepanan (futuristik). Jika tidak, lulusan Prodi PBI akan dijauhi dan ditinggalkan penggunanya.
20
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
KOMITMEN PADA KEUNGGULAN Pembelajaran bahasa dan sastra yang memenuhi tuntutan zaman sejatinya merupakan pembelajaran yang bermuara pada upaya mewujudkan mutu. Mutu mengacu pada sejumlah konsep, yang antara lain (1) keunggulan(quality as excellence, the highest level standard), baik keunggulan baik komparatif maupun kualitatif; (2) pencapaian atau pewujudan tujuan (quality as fitness of and for purpose); (3) ambang minimalharus dicapai (quality as a threshold), yang standarnya sering tidak jelas; (4) penambahan nilai (quality as added value), baik pada mahasiswa, luaran pembelajaran, penelitian, dan sebagainya; (5) nilai uang (quality as value for money); dan (6) kepuasan pelanggan (satisfaction of the client). Pendidikan yang bermutu dan unggul tersebut akan sangat menentukan maju dan unggulnya suatu bangsa.Jika kita bersetuju dengan tesis tersebut, maka tidak ada pilihan lain kecuali kita harus secara bersungguh-sungguh berikhtiar untuk secara terus-menerus meningkatkan mutu pendidikan kita, termasuk pendidikan bahasa dan sastra Indonesia. Pendidikan yang kita selenggarakan hendaknya mampu menghasilkan lulusan yang benar-benar memiliki kompetensiyang dibutuhkan masyarakat (Suwandi, 2012: 1, 2013: 1).Hal ini hendaknya menjadi kesadaran kolektif, kesadaran seluruh pemangku kepentingan pendidikan. Pendidikan dan pembelajaran yang kita implementasikan harus mampu menyiapkan anak didik kita menjadi manusia yang memiliki perilaku dan nilai yang berlaku serta mempersiapkan mereka dalam menghadapi tantangan hidup yang berubah-ubah. Proses pendidikan harus mampu memfasilitasi peserta didik untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan serta terbentuknya sikap positif. Proses pendidikan harus memberi peluang yang besar bagi peserta didik untuk mengembangkan kepercayaan diri dan mengaktualisasikan kemampuan dirinya(Suwandi, 2012: 1). Demikian pula yang harus dilakukan dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Dengan mengacu pada Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Peraturan Presiden No. 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), Permendikbud No.73 Tahun 2013 tentang Penerapan KKNI di Perguruan Tinggi, dan Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi, Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 44 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendididikan Tinggi, serta Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 81 Tahun 2014 tentang Ijazah, Sertifikat Kompetensi dan Sertifikat Profesi Pendidikan Tinggi sebagai landasan yuridis, perlu penataan ulang seluruh sistem pendidikan tinggi termasuk Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Pendidikan Bahasa (dan Sastra) Indonesia—selanjutnya saya sebut Pendidikan Bahasa Indonesia (PBI) dituntut mampu memformulasikan tujuan pendidikan secara benar berdasarkan visidan misiyang jelas. Dengan perkataan lain, Program Studi PBI perlu merumuskan secara tepat capaian pembelajaran lulusan. Lulusan Program Studi PBI dituntut bukan saja memiliki pengetahuan bahasa dan sastra yang luas, tetapi yang lebih penting memiliki kecakapan berbahasa yang andal, kemampuaan apresiasi sastra yang baik, dan tentu perilaku benar dan berbudaya sebagai hasil dari internalisasi dan aktualisasi nilai dan norma yang tercermin dalam kehidupan spiritual dan sosial. Tujuan prodi akan dapat diformulasikan secara baik tatkala prodi mengetahui gambaran mengenai kinerja dan keadaan dirinya melalui pengkajian dan analisis yang dilakukan oleh program studi sendiri berkenaan dengan kekuatan, kelemahan, peluang, tantangan, kendala, bahkan ancaman. Dengan demikian, ukuran mutu antarlembaga bisa berbeda-beda. PEMUTAKHIRAN KURIKULUM Untuk menghasilkan lulusan yang sesuai dengan kebutuhan pengguna dengan standar baik atau unggul, program studi wajib melakukan peninjauan kurikulum secara berkala.Kurikulum— yang oleh Oliva (2009: 7) dinyatakan ―… as a plan or program for all the experiences that the learnerencounters under the directiob of the school.‖ memiliki peran yang sangat strategis dan menentukan dalam pelaksanaan dan keberhasilan pendidikan sebagaimana dinyatakan oleh Richard (2002: 2), ―curriculum development is more comprehensive than syllabus design. It includes the processes that are used to determine the needs of a group of learners, to develop aim and objectives for a program to address those needs, to determine an appropriate syllabus, course PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
21
structure, teachings methods, and materials, and to carry out an evaluation of the language program that results from the processes. Karena pentingnya kurikulum dalam pendidikan, dapatlah dipahami jika kurikulum merupakan salah satu komponen dalam sistem pendidikan yang paling rentan terhadap perubahan. Paling tidak ada tiga faktor yang membuat kurikulum harus selalu diubah atau diperbaharui. Pertama, karena adanya perubahan filosofi tentang manusia dan pendidikan, khususnya mengenai hakikat kebutuhan peserta didik terhadap pendidikan/pembelajaran. Kedua, karena cepatnya perkembangan ilmu dan teknologi sehingga subject matter yang harus disampaikan kepada peserta didik pun makin banyak dan berragam. Ketiga, adanya perubahan masyarakat, baik secara sosial, politik, ekonomi, maupun daya dukung lingkungan alam, baik pada tingkat lokal maupun global. Kurikulum haruslah dinamis dan terus berkembang untuk menyesuaikan berbagai perkembangan yang terjadi pada masyarakat, dan perkembangan dunia serta haruslah menetapkan hasilnya sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini ditandai dengan adanya faktor kecanggihan teknologi yang berpengaruh pada seluruh perangkat kurikulum. Termasuk perkembangan dalam rancangan pembelajaran yang biasa disebut dengan silabus. Sejalan dengan faktor-faktor tersebut, salah satu kriteria baik buruknya sebuah kurikulum bisa dilihat pada fleksibilitas dan adaptabilitasnya terhadap perubahan. Selain itu juga dilihat dari segi kemampuan mengakomodasikan isu-isu atau muatan lokal dan isu-isu global. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa pendidikan harus mampu mengantarkan peserta didikuntuk hidup pada zaman mereka, serta memiliki wawasan global dan mampuberbuat sesuai dengan kebutuhan lokal. Dengan demikian, pengoragisasian kurikulum menuntut kerja sistemik dan sistematik. Selain indikator fleksibilitas dan adaptabilitas, penting pula diperhatikan pendapat McNeill (1996: 139) yang menegaskan bahwa pengorganisasian kurikulum merupakan upaya untuk mengatasi kekacauan dan fragmentasi yang ditemukan di banyak program instruksional. Abs (2004: 223-224), mengacu pada pendapat Hopmann dan Kunzli (1998), menyatakan sejumlah ranah/tingkatan yang perlu diperhaikan dalam pengembangan kurikulum.Menurut mereka pengembangan kurikulum meliputi tingkatan politis, program, dan pelaksanaan.Selanjutnya mereka menambahkan satu tingkatan, yaitu pembelajaran.Dengan memperhatikan cakupan bidang tersebut nyata seali bahwa pengembangan kurikulum merupakan kegiatan yang kompleks. Salah satu asumsi dasar pengembangan kurikulum adalah bahwa program pendidikan bahasa harus didasarkan pada analisis kebutuhan pembelajar. Analisis kebutuhan, menurut Richard (2001: 51), adalah prosedur yang digunakan untuk mengumpulkan informasi mengenai kebutuhan peserta didik.Melalui analisis kebutuhan dapat diidentifikasi faktor-faktor pendukung dan penghambat (kesenjangan) proses pembelajaran guna memilih dan menentukan media yang tepat dan relevan mencapai tujuan pembelajaran (goals and objectives) yang mengarah pada peningkatan mutu pendidikan. Sementara itu, menurut Brown (1995: 36), analisis kebutuhan, secara umum, dapat didefiniskan sebagai suatu pengumpulan dan analisis informasi secara sistematis yang dibutuhkan guna menentukan dan memvalidasi tujuan-tujuan kurikulum yang dapat memenuhi persyaratan belajar yang diharapkan atau dibutuhkan pembelajar dalam lingkup kehidupan atau tugasnya. Analisis kebutuhan dalam pembelajaran bahasa, menurut Richards (2001: 52), dapat digunakan untuk beberapa tujuan yang berbeda, yang antara lain (1) untuk mengetahui keterampilan bahasa apa yang diperlukan peserta didik dalam rangka melakukan peran tertentu; (2) untuk menentukan siswa dari kelompok yang paling membutuhkan keterampilan bahasa tertentu; (3) untuk mengidentifikasi kesenjangan antara apa yang siswa dapat lakukan dan apa yang mereka butuhkan untuk dapat melakukan; dan (4) untuk mengumpulkan informasi tentang masalah yang dialami oleh peserta didik. Institusi perguruan tinggi atau program studi, memurut Linse (dalam Richards, 2001: 53) memiliki tanggung jawab untuk mempertimbangkan karakteristik budaya, politik, dan pribadi siswa dalam kurikulum yang dikembangkan dalam rangka merencanakan kegiatan dan tujuan yang realistis dan tujuan dengan maksud tertentu. Ini bukan tanggung jawab institusi untuk bertindak atas masalah politik, tetapi tanggung jawab institusi untuk menyediakan akses yang sama terhadap kesempatan institusi dan untuk memvalidasi pengalaman semua mahaiswa, terlepas dari latar belakang politik dan/atau budaya.
22
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
Pengembangan kurikulum juga menuntut analisis situasi secata tepat.Tujuan dari analisis situasi adalah mengidentifikasi faktor-faktor kunci yang mungkin berpengaruh—baikpositif maupun negatif—terhadap penerapan kurikulum yang dirancang. Inilah yang sering dikenal dengan analisis SWOT, sebab identifikasi ini mencakup pemeriksaan tentang kekuatan dan kelemahan internal dalam program bahasa, serta peluang dan hambatan eksternal untuk mempraktikan program tersebut secara sukses (Klinghammer, 1997:65). Hasil identifikasi dapat disimpulkan dalam bentuk daftar dan profil yang dikembangkan untuk dibicarakan dalam tim proyek, kementrian, pendanaan, atau lembaga terkait. Rodgers (dalam Richards, 2001: 56) mendeskripsikan lebih banyak rincian yang dapat digunakan untuk memperkirakan kesulitan-kesulitan dalam menerapkan program baru. Cara penanganan faktor negatif juga perlu diidentifikasi. Kalaupun tidak, tujuan perubahan kurikulum itu mungkin perlu modifikasi untuk menampilkan kenyataan-kenyataan atau realitas situasi yang dapat diimplementasikan. Analis situasi yang demikian melayani untuk membantu mengidentifikasi hambatanhambatan yang potensial dalam penerapan kurikulum, serta faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan saat merencanakan parameter keberhasilan program. Langkah berikutnya, dalam merancang kurikulum perlu melibatkan penggunaan informasi kolektif selama melakukan analisis kebutuhan dan analisis situasi sebagai dasar untuk mengembangkan tujuan program.
PROPORSI PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA DALAM PERSPEKTIF KKNI Ditegaskan dalam Pasal 29 UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi bahwa Kerangka Kualifikasi Nasional (KKNI) menjadi acuan pokok dalam penetapan kompetensi lulusan. KKNI merupakan penjenjangan capaian pembelajaran yang menyetarakan luaran bidang pendidikan formal, nonformal, informal, atau pengalaman kerja dalam rangka pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor Rumusan sikap dan keterampilan umum sebagai bagian dari capaian pembelajaran lulusan untuk setiap tingkat program dan jenis pendidikan tinggi mengacu pada Permenristekdikti No. 44 Th. 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi.Sementara itu, rumusan pengetahuan dan keterampilan khusus wajib disusun forum program studi sejenis atau pengelola program studi. Sejalan dengan ketentuan di atas IKAPROBSI merumuskan pengetahuan dan keterampilan khusus Program Pendidikan Bahasa Indonesia, baik untuk program sarjana, magister, maupun doktor. Penguasaan pengetahuan untuk program sarjana mencakupi (1) menguasai konsep-konsep dasar kebahasaan dan kesastraan, keterampilan berbahasa dan bersastra, pembelajaran bahasa dan sastra, penelitian bahasa dan sastra, serta penelitian pendidikan bahasa dan sastra; (2) menguasai prinsip-prinsip pedagogi dan psikologi pendidikan; (3) menguasai konsep teori pengembangan pembelajaran bahasa dan sastra; dan (4) menguasai prinsip dan manajemen kewirausahaan bidang bahasa dan sastra Indonesia, serta pembelajarannya. Penguasaan pengetahuan program magister meliputi (1) menguasai filsafat ilmu serta konsep-konsep teoretis kebahasaan, kesastraan, pembelajaran, dan metodologi penelitian pendidikan bahasa dan sastra; (2) menguasai konsep teoretis keterampilan berbahasa dan bersastra Indonesia; (3) menguasai konsep pengembangan dan pembinaan bahasa dan sastra serta pembelajarannya; dan (4) menguasai konsep pengembangan kurikulum pendidikan bahasa dan sastra Indonesia. Sementara itu, penguasaan pengetahuan program doktor mencakupi (1) menguasai filsafat pendidikan, filsafat bahasa dan sastra, serta teori-teori mutakhir tentang bahasa dan sastra, serta pembelajarannya; (2) menguasai kebijakan dan pengelolaan bidang pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia; (3) menguasai pembinaan dan pengembangan bidang bahasa indonesia untuk kepentingan ilmu pengetahuan, komunikasi dalam level nasional dan internasional; dan (4) menguasai metodologi penelitian dan pengembangan ilmu bahasa dan sastra Indonesia serta pembelajarannya. Penguasaan keterampilan khusus program sarjana Pendidikan Bahasa Indonesia mencakupi (1) mampu berbahasa dan bersastra Indonesia, secara lisan dan tulisan dalam konteks keseharian/umum, akademis, dan pekerjaan; serta mampu menggunakan salah satu bahasa daerah; (2) mampu mengapresiasi, mengekspresi, mengreasi karya sastra Indonesia secara lisan dan tulis; PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
23
(3) mampu menganalisis dan menerapkan teori, konsep, pendekatan dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia; serta menghasilkan desain pembelajaran yang inovatif untuk pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia; (4) mampu merencanakan dan melakukan kajian terhadap implementasi pendidikan bahasa dan sastra Indonesia melalui pendekatan secara terintegrasi; dan (5) mampu menghasilkan layanan jasa dan produk kreatif dalam bidang bahasa dan sastra Indonesia, serta pembelajarannya. Penguasaan keterampilan khusus program magister meliputi (1) terampil berbahasa Indonesia secara lisan dan tulis dalam konteks keseharian/umum, akademis, dan pekerjaan, serta mampu menggunakan salah satu bahasa daerah; (2) mampu mengapresiasi, mengekspresi, mengkreasi sastra Indonesia secara lisan dan tulis, serta mendesiminasikannya; (3) mampu mendalami bahasa dan sastra Indonesia serta pembelajarannya melalui riset pengembangan dan penerapan ilmu pendidikan bahasa dan sastra Indonesia sebagai wujud kemampuan beradaptasi dengan lingkungan untukmenghasilkan karya inovatif dan teruji; (4) mampu memecahkan permasalahan bidang bahasa dan sastra Indonesia serta pembelajarannya melalui pendekatan interdisipliner dalam bentuk laporan penelitian; (5) mampu mengelola dan mengembangkan hasil kegiatan riset yang bermanfaat bagi masyarakat dan perkembangan keilmuan, serta mendapat pengakuan nasional maupun internasional; (6) mampu mengambil keputusan berdasarkan kajian penelitian di bidang bahasa dan sastra Indonesia, serta pembelajarannya serta mengomunikasikan ide secara efektif dalam berbagai media kepada masyarakat seprofesi atau masyarakat umum; dan (7) mampu berkomunikasi dan berpartisipasi secara aktif untuk pengembangan jejaringan seprofesi. Sementara itu keterampilan khusus program dotor mencakupi (1) mahir berbahasa Indonesia lisan dan tulis dengan baik dan benar untuk keperluan umum, akademik, dan pekerjaan/profesi serta mampu menggunakan salah satu bahasa daerah; (2) mampu mengapresiasi, mengekspresi, dan mengreasi sastra Indonesia secara lisan dan tulis serta mendesiminasikan dan mempublikasikannya; (3) mampu menyusun peta jalan penelitian bidang kebahasaan, kesastraan, pendidikan bahasa, dan pendidikan sastra; (4) mampu mengembangkan teori kebahasaan, kesastraan, dan pendidikan/pembelajaran bahasa dan sastra melalui penelitian dengan menerapkan pendekatan transdisiplin; (5) mampu menerapkan pendekatan inter-, multi-, atau transdisipliner untuk memecahkan masalah dalam bidang bahasa, sastra, pendidikan bahasa, dan pendidikan sastra Indonesia; (6) mampu menghasilkan karya kreatif, orisinal, dan teruji dalam bidang pendidikan bahasa dan sastra Indonesia; dan (7) mampu mengembangkan dan memelihara jaringan kerja dengan masyarakat profesi. Mengacu pada capaian pembelajaran lulusan atau standar kompetensi lulusan di atas disusun standar isi pembelajaran sebagai kriteria minimal tingkat kedalaman dan keluasan materi pembelajaran.Dalam Pasal 8 Permenristekdikti No. 44 Th. 2015 antara lain dinyatakan bahwa kedalaman dan keluasan materi pembelajaran pada program profesi, magister, dan doktor wajib memanfaatkan hasil penelitian dan hasil pengabdian kepada masyarakat. Standar isi aspek pengetahuan untuk program sarjana adalah (1) konsep teoretis bidang linguistik (fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, pragmatik, dan analisis wacana, sosiolinguistik, dan psikolinguistik); (2) teori, sejarah, dan kritik sastra; apresiasi, ekspresi, dan kreasi sastra; (3) teori keterampilan berbahasa; (4) metode penelitian kuantitatif dan kualitatif; (5) teori pembelajaran bahasa dan sastra (pendekatan, metode, teknik, strategi, model, media, dan penilaian pembelajaran); (6) prinsip-prinsip pedagogi (teori belajar, interaksi belajar, materi ajar, media pembelajaran, sumber belajar, dan evaluasi); (7) prinsip-prinsip psikologi (perkembangan, pembelajaran, dan sosial); (8) model-model pembelajaran inovatif bahasa dan sastra; (9) konsep pengembangan rancangan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia; (10) konsep pengembangan rancangan penilaian autentik/kelas pembelajaran bahasa dan sastra. Sementara itu, standar isi aspek keterampilan meliputi (1) prinsip dan prosedur berbahasa (menyimak, berbicara, memirsa (viewing), membaca, dan menulis) secara serpihan (discrete) dan integratif dalam konteks keseharian/umum, akademis, dan pekerjaan; (2) prinsip dan prosedur berbahasa daerah; (3) apresiasi, ekspresi, dan berkreasi karya sastra; (4) aplikasi teori, konsep, dan pendekatan dalam pembelajaran bahasa dan sastra; (5) desain atau model pembelajaran baru yang inovatif dan teruji untuk pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia; (6) perencanaan penelitian dalam bidang pendidikan bahasa dan sastra Indonesia bidang bahasa dan sastra indonesia serta
24
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
pembelajarannya melalui pendekatan unidisiplin; (7)prosedur penelitian dalam bidang pendidikan bahasa dan sastra Indonesia, bahasa dan sastra, serta pembelajarannya melalui pendekatan unidisiplini); (8) pelaporan dan pemublikasian penelitian dalam bidang pendidikan bahasa dan sastra Indonesia bidang bahasa dan sastra indonesia serta pembelajarannya melalui pendekatan unidisiplin; (9) perencanaan kajian terhadap implementasi pendidikan bahasa dan sastra Indonesia melalui pendekatan secara terintegrasi; dan (10) kajian terhadap implementasi pendidikan bahasa dan sastra Indonesia melalui pendekatan secara terintegrasi (Suwandi dan Boeriswati dkk, 2016). Standar isi aspek pengetahuan untuk program magister adalah (1) filsafat ilmu (paradigma, anomali, kritis, dan teori); (2) teori bahasa (struktural, transformasi, fungsional); (3) teori sastra (new critism, postcolonial); (4) teori pembelajaran (nativisme, konstruktivisme); (5) eori pemerolehan bahasa; (6) metodologi penelitian; (7) konsep teoretis keterampilan reseptif; (8) konsep teoretis keterampilan produktif; (9) konsep perkembangan sIstem bahasa dan pengembangan kosakata bahasa Indonesia; (1) konsep pengembangan sastra Indonesia (alih wahana dan produksi); (11) konsep pembinaan dan pemasyarakatan bahasa dan sastra Indonesia; (12) konsep pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia; (13) pendekatan-pendekatan dalam pengembangan kurikulum bahasa dan sastra Indonesia; dan (14) konsep evaluasi kurikulum bahasa dan sastra Indonesia. Sementara itu, standar isi aspek keterampilan untuk program magister meliputi (1) prinsip dan prosedur berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, memirsa (viewing) dan menulis) secara serpihan (discrete) dan integratif dalam konteks keseharian/umum, akademis, dan pekerjaan; (2) prinsip dan prosedur berbahasa daerah; (3) apresiasi, ekspresi, dan kreasi sastra; (4) prinsip kajian bahasa dan sastra indonesia, serta pembelajarannya melalui riset sebagai wujud kemampuan beradaptasi dengan lingkungan untuk menghasilkan karya inovatif dan teruji; (5) prosedur pemecahan masalah bidang bahasa dan sastra Indonesia serta pembelajarannya melalui pendekatan interdisipliner dalam bentuk laporan penelitian; (6) prosedur laporan pemecahan masalah bidang bahasa dan sastra Indonesia serta pembelajarannya melalui pendekatan interdisipliner, (7) prosedur me-review artikel penelitian mutakhir dalam bidang pendidikan, bahasa, dan sastra; (8) prosedur melakukan penelitian yang hasilnya dapat dipublikasikan dalam jurnal nasional atau internasional; (9) prosedur kajian riset yang aplikatif dengan menggali masalah yang terdapat dalam kehidupan masyarakat sehingga hasil yang diperoleh mendapat pengakuan nasional dan internasional; (10) meta-analisis dan meta-sintetsis hasil penelitian; (11) penulisan karya ilmiah dalam jurnal ilmiah nasional; (12) pemublikasian karya ilmiah dalam forum ilmiah nasional; dan (13) konsep, prinsip, dan prosedur pengembangan profesi(Suwandi dan Boeriswati dkk, 2016). Standar isi aspek pengetahuan untuk program doktor adalah (1) filsafat pendidikan dan filsafat bahasa; (2) teori-teori mutakhir tentang bahasa dan sastra; (3) kebijakan penyelenggaraan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia; (4) kebijakan pengelolaan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia; (5) strategi pengembangan bahasa Indonesia (sasaran bahasa) untuk kepentingan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; (6) strategi pembinaan bahasa Indonesia (sasaran pengguna/penutur bahasa) untuk kepentingan peningkatan mutu penggunaan bahasa Indonesia dan pemasyarakatan hasil pengembangan pada tingkat nasional ataupun internasional; (6) metode penelitian pengembangan; dan (7) metode penelitian evaluasi. Sementara itu, standar isi aspek keterampilan untuk program doktor meliputi (1) prinsip dan prosedur berbahasa (menyimak, berbicara, memirsa (viewing) membaca, dan menulis) secara serpihan (discrete) dan integratif dalam konteks keseharian/umum, akademis, dan pekerjaan; (2) prinsip dan prosedur berbahasa daerah; (3) apresiasi karya sastra; (4) ekspresi dan kreasi karya sastra; (5) konsep rencana induk dan peta jalan penelitian; (6) penyusunan peta jalan penelitian sesuai dengan rencana induk penelitian; (7) penyusunan rencana penelitian sesuai dengan peta jalan yang telah disusun; (8) pengembang teori kebahasaan, melalui penelitian dengan menerapkan pendekatan transdisiplin; (9) pengembangan teori kesastraan melalui penelitian dengan menerapkan pendekatan transdisiplin (10) pengembangan teori pendidikan/pembelajaran bahasa dan sastra melalui penelitian dengan menerapkan pendekatan transdisiplin; (11) analisis data penelitian dengan pendekatan interdisiplin-, multidisiplin-, atau transdisiplinertransdisiplin dalam memecahkan masalah dalam bidang pendidikan bahasa dan sastra Indonesiabidang bahasa dan sastra Indonesia serta pembelajarannya; (11) pemecahan masalah yang timbul dalam menganalisis data; (13) penerapan konsep, prinsip, dan prosedur penemuan karya kreatif, orisinal, dan teruji PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
25
dalam bidang pendidikan bahasa dan sastra; dan (14) perumusan temuan orisinal melalui penelitian untuk dituangkan dalam karya ilmiah. Jika dicermati rumusan standar kompetensi lulusan atau capaian pembelajaran lulusan dan standar isi pembelajaran di atas nayata sekali bahwa ada proporsi yang seimbang antara pengetahuan yang gayut dengan aspek kebahasaan dan kesastraan Sesuai dengan jenjangnya, lulusan program sarjana dituntut menguasai konsep-konsep dasar kebahasaan dan kesastraan, keterampilan berbahasa dan bersastra, dan pembelajaran bahasa dan sastra; lulusan program magister dituntut menguasai menguasai filsafat ilmu serta konsep-konsep teoretis kebahasaan, kesastraan, pembelajaran, dan metodologi penelitian pendidikan bahasa dan sastra; dan lulusan program doktor dituntut menguasai filsafat pendidikan, filsafat bahasa dan sastra, serta teori-teori mutakhir tentang bahasa dan sastra, serta pembelajarannya. Demikian pula keterampilan yang dituntut pada diri mahasiswa.Mahasiswa dituntut memiliki keterampilan berbahasa dan juga kemampuan apresiasi sastra. PENGEMBANGAN STANDAR MINIMAL Standar minimal yang telah dirumuskan IKAPROSI perlu dikembangkan oleh masingmasing prodi untuk lebih mengembangkan keunggulan dan penciri program studi dan institusi.Sesuai dengan visi, misi, dan tujuan yang dirumuskannya, institusi—selain mengacu pada standar nasional pendidikan—perlu menyusun atau merumuskan standar yang berlaku bagi dirinya. Rumusan standar tersebut tentu didasarkan pada hasil evaluasi diri melalui analisis SWOT. Evaluasi diri merupakan upaya mawas diri untuk mengembangkan dan memperbaiki mutu program studi/institusi perguruan tinggi secara berkesinambungan.Dengan evaluasi diri tersebut program studi atau institusi dapat mengetahui kekuatan-kekuatan (strength) yang dapat didayagunakan demi tumbuh-kembangnya program studi serta memenangi persaingan.Sebaliknya, program studi juga mengatahui kelemahan (weaknesses) kelemahan-kelemahan yang dimiliki yang dapat menjadi kendala dalam mencapai keunggulan. Selain analisis secara internal (kekuatan dan kelemahan), prodi/isntitusi perlu melakukan analysis secara eksternal untuk mengetahui Peluang-peluang(opportunities) yang dapat diraih dan didayagunakan untuk upaya tumbuhkembangan dan menyadari ancaman-ancaman (threats) yang ada untuk segera diatasi atau diantisipasi. Berdasarkan analisis kebutuhan pasar dan pemangku kepentingan, analisis perkembangkan keilmuan dan keahlian, analisis kebutuhan kualifikasi nasional dan atau internasional, serta visi misi institusi dan prodi, profil lulusan adan capaian pembelajaran ditetapkan. Jika dipandang kondisi prodi sudah berada di atas standar yang dirumuskan oleh asosiasi atau forum program studi, maka kewajiban program studi untuk mengembangan capaian pembelajaran dengan cara merumuskan dan menambahkan capaian pembelajaran lain, baik pada aspek penguasaan pengetahuan maupun keterampilan khusus. Pengembangan bisa jadi bukan berupa penambahan butir rumusan capaian pembelajaran lulusan, tapi pada capaian pembelajaran mata kuliah dan pengembangan kemampuan akhir yang hendak dicapai melalui mata kuliah. Dengan mengacu pada kemampuan akhir yang diharapkan, selanjutnya ditetapkan bahasa kajian dengan memperhatikan keluasan dan kemendalamnnya. Rumusan capaian pembelajaran yang baik dan penentuan bahan kajian yang tepat tidak serta merta akan dapat diwujudkan hasil pembelajaran yang baik. Proses pembelajaran yang baik akan lebih menetukan keberhasilan pembelajaran bahasa, termasuk pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Sejumlah aspek penting proses pembelajaran yang diingatkan oleh Brown (2000: 2) perlu diperhatikan. Aspek-aspek penting itu adalah keberlangsungan pembelajaran; penentuan keberhasilan dalam pembelajaran bahasa; proses kognitif yang digunakan dalam pembelajaran bahasa, strategi-strategi yang perlu disediakan dan diterapkan dalam pembelajaran bahasa; kebutuhan akan frekuensi masukan, perhatian pada bentuk dan makna, memori dan proses penyimpanan, dan penggunaannya; serta hubungan timbal balik dalam wilayah kognitif, afektif, dan fisik yang optimal bagi keberhasilan pembelajaran bahasa. Bertalian dengan proses pembelajaran, ada baiknya kita mencermati standar proses yang digariskan dalam Pasal 11 Permenristekdikti No. 44 Th. 2015. Karakteristik proses pembelajaran terdiri atas sifat interaktif, holistik, integratif, saintifik, kontekstual, tematik, efektif, kolaboratif, dan berpusat pada mahasiswa.Interaktif mengacu pada pengertian bahwa capaian pembelajaran
26
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
diraih dengan mengutamakan proses interaksi dua arah antara mahasiswa dan dosen. Holistik memiliki arti bahwa proses pembelajaran mendorong terbentuknya pola pikir yang komprehensif dan luas dengan menginternalisasi keunggulan dan kearifan lokal maupun nasional. Integratif mengacu pada pengertian bahwa capaian pembelajaran diraih melalui proses pembelajaran yang terintegrasi untuk memenuhi capaian pembelajaran lulusan secara keseluruhan dalam satu kesatuan program melalui pendekatan antardisiplin dan multidisiplin. Saintifik memiki arti bahwa capaian pembelajaran diraih melalui proses pembelajaran yang mengutamakan pendekatan ilmiah sehingga tercipta lingkungan akademik yang berdasarkan sistem nilai, norma, dan kaidah ilmu pengetahuan serta menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan kebangsaan. Yang dimaksud kontekstual adalah bahwa capaian pembelajaran diraih melalui proses pembelajaran yang disesuaikan dengan tuntutan kemampuan menyelesaikan masalah dalam ranah keahliannya. Sementara itu, tematik mengacu pada pengertian capaian pembelajaran diraih melalui proses pembelajaran yang disesuaikan dengan karakteristik keilmuan program studi dan dikaitkan dengan permasalahan nyata melalui pendekatan transdisiplin. Efektif menunjuk pada pengertian bahwa capaian pembelajaran diraih secara berhasil guna dengan mementingkan internalisasi materi secara baik dan benar dalam kurun waktu yang optimum. Kolaboratif dimaksudkan bahwa capaian pembelajaran diraih melalui proses pembelajaran bersama yang melibatkan interaksi antarindividu pembelajar untuk menghasilkan kapitalisasi sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Sementara itu, yang dimaksudkan berpusat pada mahasiswa adalah capaian pembelajaran lulusan diraih melalui proses pembelajaran yang mengutamakan pengembangan kreativitas, kapasitas, kepribadian, dan kebutuhan mahasiswa, serta mengembangkan kemandirian dalam mencari dan menemukan pengetahuan. PENUTUP Kurikulum yang baik haruslah dilihat dari dua segi, yaitu kurikulum sebagai (curriculum plan) dan kurikulum yang diimplementasikan (actual curriculum).Untuk itu, tatkala program studi telah berhasil menetapkan capaian pembelajaran, menetapkan bahan kajian, langkah selanjutnya adalah menyusun rancangan pembelajaran dalam bentuk rencana pembelajaran semester dan rancangan tugas. Rancangan pembelajaran yang dibuat haruslah berpusat mahasiswa.Namun demikian, kurikulum yang baik belum menjamin mutu pendidikan atau pembelajaran akan baik pula. Mutu proses dan hasil pendidikan atau pembelajaran lebih banyak bergantung pada pendidik sebagai pihak yang mengimplementasikan kurikulum tersebut dalam praktik pembelajaran. DAFTAR PUSTAKA Abs,Josef Hermann. 2004. CurriculumWorkandInstructionalDesign as Different Perspectives, dalam Seel, Norbert M. dan Dijkstra Sanne (ed.) Curriculum, Plans, And Processes In Instructional Design: International Perspectives. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates, Publishers. Brown, H. Douglas. 2000. Principles of Language Learning and Teaching, Fourth Edition. New York: Addison Wesley Longman, Inc. Brown, J.D. 1995. The Elements of Language Curriculum. Boston: Heinle and Heinle. Klinghammer, S. 1997. The Stategic Planner .In M.A Cristison and F. Stoller (Ed.) A Handbok for Language Program Administrators. Burlingame C.A: ALTA Books. 61-76 McNeil, John D. 2005. Contemporary Curriculum in Thought and Action Sixth Edition. United States of America: John Wiley & Sons, Inc. Oliva, Peter F. 2009. Developing the Curriculum, Seventh Edition.Boston: Pearson Education, Inc. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2013 tentang Penerapan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia Bidang Pendidikan Tinggi. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2014 tentang Ijazah, Sertifikat Kompetensi dan Sertifikat Profesi Pendidikan Tinggi. Peraturan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi.
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
27
Richards, Jack C. 2001. Curriculum Development in Language Teaching. Cambridge: Cambridge University Press. Rodgers, T. 1984. Communicative Syllabus Design and Implementation: Reflectiaon, on a Decade of Experience. In a J Read (ed). Trend in Language Syllabus Design. Singapore: Regional Leanguage Center (RELC). 28-53. Suwandi, Sarwiji.2012. ―Pendidikan Budi Pekerti sebagai Pilar Penting dalam Pencerdasan dan Pembangunan Karakter Bangsa,‖ Suryo Handono (Peny.) Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Peran Bahasa dan Sastra dan Pencerdasan dan Pembentukan Karakter Bangsa. Yogyakarta: Lokus. _______. 2013. ―Peran Guru Bahasa Indonesia yang Inspiratif Untuk Mewujudkan Peserta Didik Berkarakter‖, makalah dipresentasikan dalam Seminar Internasional yang diselenggarakan Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP dan Program Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, 28 – 29 September 2013. Suwandi, Sarwiji, Endry Boeriswati dkk. 2016. Capaian Pembelajaran dan Standar Nasional Pendidikan Bahasa Indonesia. Surakarta: Yuma Pustaka. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
28
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
ANALISIS TEKS (KRITIS) DALAM PEMBELAJARAN BAHASA-SASTRA INDONESIA KEKINIAN Anang Santoso Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang
[email protected] Abstrak Topik ―analisis teks‖ sudah lama dibelajarkan dalam pembelajaran bahasa-sastra Indonesia di Indonesia. Semakin berkembangnya masyarakat berpengaruh terhadap penggunaan bahasa. Hal ini berpengaruh terhadap perspektif yang dipilih dalam pembelajaran bahasa-sastra Indonesia. Teks-teks yang di dalamnya terkandung ungkapan-ungkapan yang tidak menyehatkan, seperti ungkapan ketidakadilan, ketidaksamaan, penyembunyian ideologi, penindasan kepada yang lemah, bias, diskriminasi, dan sebagainya menjadi bahan yang wajib dimunculkan dalam analisis teks. Dengan demikian, pembelajaran bahasa-sastra Indonesia sudah menjalankan misi emansipasinya dalam membentuk kesadaran bahasa kritis. Kata kunci: analisis teks (kritis), kekinian, pembelajaran bahasa-sastra Indonesia 1. PENGANTAR Saya mengucapkan terima kasih kepada panitia Pertemuan Ilmiah Bahasa dan Sastra Indonesia (PIBSI) XXXVIII 2016 PTN/PTS se-Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta atas segala kepercayaan kepada saya untuk dapat berbicara dalam forum yang terhormat ini.Tentu saja, saya berharap bahwa apa yang saya sampaikan memiliki manfaat bagi kita semua serta memberikan perspektif dan nilai tambah bagi siapa saja yang terlibat dalam pembelajaran bahasa-sastra Indonesia.Apalagi, forum ini diikat dalam sebuah tema aktual yang amat dirasakan oleh banyak orang yang peduli, yakni keprihatinan kita semua terhadap belum kukuhnya karakter bangsa dan nilai kejuangan. Rumusan tema untuk pertemuan linguistik ini, menurut saya, berangkat dari keprihatinan para pemikir dan perancang PIBSI bahwa karakter bangsa Indonesia masih belum sepenuhnya kukuh dan harus ada usaha untuk memperkukuhnya. Saya menerjemahkan tema tersebut dengan dua rumusan berikut. Pada tataran keilmuan, pertanyaan yang harus dijawab adalah ―bagaimanakah studi teks/wacana (kritis) berkontribusi dalam membentuk manusia dan masyarakat Indonesia yang memiliki karakter kuat dan nilai kejuangan Indonesia di tengah kehidupan global‖. Pada tataran pedagogis, pertanyaan yang juga harus dijawab adalah ―bagaimana pembelajaran bahasa-sastra Indonesia berkontribusi dalam membentuk manusia dan masyarakat Indonesia yang memiliki karakter kuat dan nilai kejuangan Indonesia di tengah kehidupan global‖.Menurut saya, pembelajaran bahasa-sastra Indonesia memiliki kedudukan yang amat strategis dalam memperkukuh karakter dan nilai kejuangan bangsa Indonesia. Topik tentang analisis atau studi wacana yang dimunculkan dalam seminar, konferensi, atau pertemuan linguistik adalah hal biasa. Topik ini akan berdampingan dengan fonologi, morfologi, sintaksis, dan sebagainya. Akan tetapi, topik studi wacana yang dimunculkan dalam pertemuan yang diikat oleh tema tertentu, tentu saja, tidak mudah bagi kita untuk menjabarkannya. Secara singkat dapat dirumuskan bahwa analisis (studi) teks/wacana kritis seharusnya memiliki peran konkret dalam memperkukuh karakter dan nilai kejuangan bangsa Indonesia, terutama pada era modernitas akhir. Dalam pelbagai kesempatan, saya mengemukakan bahwa pembelajaran bahasa-sastra Indonesia seharusnya mengambil posisi atau perspektif ―kritis‖ agar dapat menghasilkan peserta didik—calon warga negara—yang memiliki kesadaran bahasa kritis (Santoso, 2011a; 2011b; 2012b; 2015a; 2015b). Tanpa kesadaran bahasa kritis, warga negara Indonesia tidak memiliki sensitivitas terhadap pelbagai penggunaan bahasa (wacana), khususnya penggunaan bahasa di ruang-ruang publik. Salah satu paradoks linguistik modern adalah bahwa praktisi yang paling dihormati, Noam Chomsky, meskipun terkenal di dunia sebagai aktivis politik dan kampanye, mengaku tidak tertarik profesional dalam ―bahasa dalam penggunaan‖, baik dalam menganalisis pidato, rapat komite, surat, memo dan buku yang ia klaim yang menumbangkan proses demokrasi, maupun dalam merefleksikan sendiri retorikanya yang sangat efektif (Caldas-Coulthard&Coulthard, 1996:xi). Saya sering berandai-andai, seandainya Chomky memiliki semangat emansipasi dalam teori linguistiknya alangkah indahnya perkembangan linguistik yang menyatu dengan persoalan masyarakat yang nyata. Istilah ―kritis‖ yang sering dioposisikan dengan ―deskriptif‖ dalam kajian linguistik adalah persoalan perspektif atau sudut pandang, bukan persoalan aliran seperti banyak diduga orang. Kapan menggunakan kritis dan kapan menggunakan deskriptif adalah masalah kecocokan linguistik sebagai alat atau instrumen
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
29
dalam mengungkap atau memahami sesuatu. Apabila yang kita hadapi adalah teks makalah atau skripsi mahasiswa, perspektif yang cocok untuk dipilih adalah deskriptif. Tugas analis hanya memotret, memerikan, menggambarkan apa isi dan struktur makalah atau skripsi mahasiswa tersebut. Sebaliknya, apabila yang kita hadapi adalah teks kampanye sebuah partai politik atau teks berita di surat kabar atau televisi, perspektif yang cocok adalah kritis. Tugas analis adalah melakukan pemihakan kepada yang terpinggirkan oleh kehadiran teks kampanye politik, teks berita surat kabar dan televisi. Dalam rangka emansipasi tersebut, analisis harus melakukan pemerian, penafsiran, dan penjelasan terhadap keberadaan agenda tersembunyi dalam teks-teks tersebut. Jadi, perspektif kritis dan deskriptif dalam kajian linguistik (termasuk di dalamnya studi teks/wacana) bukanlah segala-galanya. Ini adalah persoalan prinsip parsimoni dalam dunia keilmuan, yakni kecocokan antara ilmu dengan karakteristik realitas yang akan diungkap. 2. KARAKTERISTIK (PENGGUNAAN) BAHASA PADA ERA KEKINIAN
Era kekinian yang muncul dalam judul makalah ini merujuk kepada masyarakat ―komtemporer‖, atau masyarakat pascamodern, atau era yang oleh Giddens (1990) disebut dengan era late modern. Secara umum, masyarakat era kekinian memiliki karakteristik yang amat berbera dengan era sebelumnya. Giddens menyebutnya dengan dunia yang tunggang langgang (runaway world). Santoso (2012b:2) menjabarkan pikiran Giddens dengan ungkapan berikut. Kita sekarang hidup dalam sebuah zaman perubahan sosial yang begitu hebat, sebuah era yang begitu cepat, era ―tunggang langgang‖, era di mana tidak begitu jelas perbedaan antara yang ―putih‖ dan ―hitam‖, era yang tidak begitu jelas antara ―yang kiri‖ dan ―yang kanan‖, era yang mencampuradukkan ―yang tinggi‖ dan ―yang rendah‖, dan seterusnya.
Menurut Fairclough (1995b:3—4) dalam perubahan yang cepat itu semakin tampak adanya pentingnya peran ―bahasa‖ dalam perubahan-perubahan cepat yang sedang berlangsung. Pada abad pascamodern ini bahasa semakin menampakkan peran dan fungsinya sebagai instrumen komunikasi.Bahasa amat berperan dalam cara masyarakat membentuk kekuatan dan melakukan kontrol terhadap masyarakat itu. Akhirnya, banyak orang yang memiliki kepedulian akan peran bahasa dalam kehidupan sosial-politik, sosial-ekonomi, dan sosial-budaya.Dalam masyarakat kontemporer terjadi perubahan yang sangat mencolok dalam praktik-praktik bahasa untuk dunia profesional.Berikut dikemukakan lima karakteristik penggunaan bahasa pada era kekinian. Pertama, kontrol kuasa melalui bahasa. Pada era modern akhir ini semakin disadari peran bahasa dalam mengontrol pikiran masyarakat. Pada pemerintahan era Soeharto, siapa pun warga negara Indonesia jika ingin menjadi bagian dari pemerintah haruslah ―bersih diri‖ dan ―bersih lingkungan‖. Dalam wacana jender, misalnya, singkatan KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) yang terus dinaturalisasikan oleh Kementerian Negera Pemberdayaan Perempuan RI dan para aktivis NGO atau LSM telah mengontrol cara pandang masyarakat—khususnya laki-laki—untuk selalu berhati-hati dalam berinteraksi dengan pasangannya di rumah (Santoso, 2011c). Dalam wacana perang, selalu ada retorika yang diusung. Pada konfrontasi Indonesia—Malaysia pada era mantan Presiden Soekarno pada tahun 1960-an, retorika yang digelorakan adalah ―dwikora‖ (dua komando rakyat). Untuk menguatkan semangat rakyat Indonesia dari mulut Soekarno terlontar frasa yang sangat terkenal sampai sekarang, yakni ―ganyang Malaysia‖. Dalam pandangan Chomsky selalu ada retorika pada setiap aksi militer Amerika Serikat(lihat Mayr, 2008:10). Ketika menyerang Iraq, pemerintah Amerika Serikat dan militernya menggunakan retorika military humanism. Kedua, menonjolnya hibriditas bahasa dan wacana.Hibriditas (hybridity) secara ekstensif digunakan dalam wacana-wacana pascakolonial untuk memaknai apa yang dinamakan crosscultural exchange (Ashcroft et al., 2000:109).Terminologi hibriditas yang sekarang sedang ramai diperbincangkan dalam kajian wacana pascakolonial diasosiasikan dengan karya-karya Homi K. Bhabha. Bhabha banyak menganalisis relasi timbal balik antara colonizer versus colonized dengan menekankan pada sifat kesalingbergantungan dan kesalinguntungan pada pembentukan budaya baru itu (Ashcroft, Griffiths, &Tiffin, 2007:108). Dalam kasus ini, dua fenomena—yakni mimikri&ambivalensi—banyak mewarnai bentuk budaya baru itu. Mimikri terjadi apabila si terjajah meniru penjajah dengan mengadopsi begitu saja adat istiadat, asumsi, keyakinan, institusi, dan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh penjajah.Sementara itu, ambivalensi terjadi apabila si terjajah tidak secara penuh meniru kebudayaan penjajah.Budaya baru pada si terjajah juga sering menampilkan mockery ‗olok-olok‘ terhadap dominasi budaya penjajah tersebut.Bahasa dalam
30
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
masyarakat modern akhir amat diwarnai oleh sifat hibriditas ini. Dalam konteks wacana kritis, hibriditas muncul selain sebagai strategi penolakan (resistance) terhadap sesuatu, juga dapat menjadi strategi dominasi (Chouliaraki & Fairclough, 1999:14). Ketiga, menonjolnya komodifikasi wacana.Istilah komodifikasi (commodification) dilontarkan oleh Fairclough(1992) atas dasar pengamatannya terhadap wacana-wacana media di Inggris. Komodifikasi adalah sebuah proses menjadikan sesuatu yang sebelumnya bukan komoditas sehingga kini menjadi komoditas. Secara rinci Fairclough (1992:207) mengartikan komodifikasi sebagai ―proses-proses tempat domain dan institusi sosial tidak semata-mata menghasilkan komoditas dalam pengertian yang sempit tentang ―barang-barang ekonomis‖ yang hanya untuk dijual, namun barang-barang itu harus diorganisasikan dan dikonseptualisasikan terkait dengan produksi, distribusi, dan konsumsi komoditas itu. Teater dan pengajaran bahasa Inggris, misalnya, dirujuk sebagai industri yang berkenaan dengan produksi, pemasaran, & penjualan ―barang kultural‖ atau ―komoditas pendidikan‖ kepada client dan customers.Pada umumnya keadaan ini memanfaatkan ―teori pasar‖ (market theory), yakni segala bentuk konsumsi sangat bergantung kepada kehendak konsumen. Menurut Fairclough (1992:208) ada sebuah maksim yang diyakini: Give the customers what they want.Dalam wacana pendidikan kontemporer tampak pada penyebutan kursus-kursus dan program studi sebagai ―komoditas‖ atau ―produk‖ yang dipasarkan kepada pelanggan. Keempat, menonjolnya teknologisasi wacana.Istilah ―teknologisasi wacana‖ (technologization of discourse) merujuk kepada analisis Fairclough (1992) terhadap hubungan antara ilmu sosial dan struktur-struktur kekuasaan. Fairclough banyak memanfaatkan teori kuasa dalam masyarakat kapitalis modern Gramciean yang disebut dengan ―hegemoni‖. Asumsi yang dikembangkan: hegemoni dan hegemonic struggle adalah tingkatan yang penting dalam praktik diskursif institusi dan organisasi (Fairclough, 1995a:92).Teknologisasi wacanadiartikan sebagai ―suatu upaya pelembagaan penggunaan bahasa yang terkait dengan perancangan, penelitian, dan pelatihan‖. Dalam teknologisasi wacana terlibat kombinasi tiga hal: (i) penelitian terhadap praktikpraktik diskursif institusi dan organisasi sosial, (ii) perancangan kembali (redesign) praktik-praktik diskursif bagi produsen wacana yang strategis (misalnya manajer dan birokrat) agar sesuai dengan strategi dan tujuan khusus, dan (iii) pelatihan personil institusi dalam praktik-praktik yang sudah dirancang (Fairclough, 1995a:91). Kelima, mengemukanya wacana multimodal. Jika pada era sebelumnya, wacana (hanya dipandang) dibangun oleh unsur-unsur lingual—bunyi, kata, frasa, klausa, kalimat, teks—di kemudian hari unsur-unsur lingual tersebut menyatu dengan unsur-unsur lainnya, seperti gambar, foto, tabel, grafik, dan sebagainya. Jadi, seperti diungkapkan oleh O’Halloran (2011:120), ada kombinasi antara bahasa dengan sumber-sumber lain, seperti citra, simbol-simbol keilmuan, gestur, gerak, musik, dan bunyi atau suara yang membentuk sebuah wacana multimodal.Dalam banyak kasus, visual lebih mampu memberikan informasi yang akurat dibandingkan lingual. Oleh karena itu, Lynch begitu percaya bahwa visual menyajikan sesuatu yang lebih dalam pemenuhan ilustrasiilustrasi bergambar untuk teks-teks keilmuan (Guo, 2004:196). Bahkan, semakin diyakini dalam teks-teks keilmuan tidak semua proses dan produk eksperimen atau observasi dapat dituliskan secara tepat dalam bahasa. Kita bisa saja sering mengalami kesulitan, misalnya, dalam melaporkan atau menggambarkan warna, bentuk, dan garis edar kupu-kupu. 3. KELAS BAHASA-SASTRA INDONESIA SEBAGAISITUS PERTARUNGAN WACANA
Cara pandang terhadap kelas bahasa Indonesia berpengaruh terhadap perian kita terhadap kelas tersebut. Mungkin saja, kita memiliki pandangan berikut tentang kelas: ada seorang guru yang hadir untuk mengajar, ada sejumlah siswa yang sedang belajar, ada buku pelajaran dan lembar kerja siswa yang dipegang siswa, ada sarana dan prasarana yang memudahkan siswa belajar, ada kegiatan belajar-mengajar yang membuat guru dan siswa berinteraksi, ada kepala sekolah dan petugas administrasi yang membantu siswa, ada orang tua murid yang mendampingi siswa, dan seterusnya. Hasilnya adalah perian perspektif positif tentang kelas. Sebaliknya, kelasbahasa-sastra Indonesia dapat disikapi sebagai tempat berkembangnya pelbagai perspektif atau sudut pandang maka kita akan memandang kelas secara lebih dinamis. Pelbagai perspektif itu lahir dari pribadi-pribadi yang hadir di dalam kelas dan bahkan dari pribadi yang tidak hadir di dalam kelas. Pelbagai perspektif itu dapat berbentuk keterusterangan ungkapan PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
31
yang akan mudah kita cerap, sebaliknya perspektif itu dapat tersembunyi yang melekat pada fiturfitur lingual dalam teks yang tengah dan sudah diproduksi. Berbagai-bagai perspektif itu bisa saja saling dukung, dan sebaliknya bisa saja saling bertolak belakang. Menggunakan pandangan Baxter (2002) di dalam kelas akan terjadi perspektif atau wacana yang saling bersaing atau berkompetisi. Dari paparan ini muncullah istilah wacana kelas (classroom discourse). Ada baiknya kita mencermati catatanSadeghiet all. (2012:169) tentang wacana kelas sebagai berikut. Pertama, wacana kelas, seperti semua wacana lain, itu dikonstruksi secara sosial, bermotif politik, dan ditentukan secara historis. Kedua, kelas bahasa kedua bukan sesuatu yang terpencil, bukanlah ―masyarakat mini‖ yang mandiri. Sebaliknya, kelas bahasa kedua lebih merupakan konstituen dari masyarakat yang lebih luas di mana banyak bentuk dominasi dan ketidaksetaraan diproduksi dan direproduksi untuk kepentingan kepentingan pribadi. Ketiga, kelas bahasa kedua juga memanifestasikan, baik terus terang atau tersembunyi, bentuk-bentuk perlawanan, baik diartikulasikan atau tidak diartikulasikan.Keempat, negosiasi makna wacana dan analisisnya yang tidak harus terbatas pada aspek input pemerolehan dan interaksi. Kelima, guru perlu mengembangkan pengetahuan dan keterampilan untuk mengamati, menganalisis, dan mengevaluasi wacana kelas mereka sendiri. Dalam konteks era kekinian, tampaknya catatan Sadeghi dapat menjadi bandingan dalam pelaksanaan pembelajaran bahasa-sastra Indonesia. Kelas bahasa-sastra Indonesia bukan lagi tempat yang steril dari persoalan-persoalan Indonesia secara keseluruhan. Sebaliknya, hiruk pikuk kehidupan sosial politik, sosial ekonomi, dan sosial budaya Indonesia harus dipandang sebagai pembentuk dinamika sosial dalam kelas bahasa-sastra Indonesia. Dengan demikian, Santoso (2015a) mengusulkan perspektif kritis dalam rangka mengatasi kelemahan-kelemahan pembelajaran bahasa-sastra Indonesia selama ini, terutama masih belum terbentuknya kesadaran bahasa kritis. Dalam konteks pendidikan karakter, kelas bahasa-sastra Indonesia menjadi tempat dan sumber gerakan pendidikan yang mendukung perkembangan sosial, emosional, dan etis siswa. Secara lebih spesifik, kelas bahasa-sastra Indonesia menjadi tempat yang subur bagi tumbuhnya karakter-karakter utama: (1) sifat dapat dipercaya, (2) rasa hormat, (3) tanggung jawab, (4) sifat adil, (5) sifat peduli, (6) sifat warga negara yang baik. Terkait dengan karakter sifat dapat dipercaya (trustworthiness), kelas bahasa-sastra Indonesia seharusnya menjadi lahan subur bagi terbentuknya sifat jujur, dapat diandalkan melakukan sesuatu, berani melakukan hal benar meskipun berisiko, selalu membangun reputasi baik, setia, selalu siap dan bersedia menolong sesama warga bangsa. Sebaliknya, kelas bahasasastra Indonesia menghalangi tumbuhnya sifat curang, suka menipu dan mencuri, serta sifat culas. Terkait dengan karakter rasa hormat (respect), kelas bahasa-sastra Indonesia seharusnya menjadi lahan subur bagi terbentuknya sifat-sifat: (i) memperlakukan orang lain dengan rasa hormat, (ii) mengikuti aturan yang sudah disepakati bersama, (iii) toleran terhadap perbedaan, (iv) sopan santun dalam berperilaku dan berbahasa, (v) penuh perhatian terhadap perasaan orang lain, serta (vi)mengedepankan perdamaian dalam menghadapi penghinaan&ketidaksepakatan. Sebaliknya, kelas bahasa-sastra Indonesia tidak memberikan tempat bagi yang suka menggunakan bahasa yang buruk, dan suka mengancam (fisik & psikis) orang lain. Terkait dengan sifat bertanggung jawab (responsibility), kelas bahasa-sastra Indonesia seharusnya juga menjadi lahan subur bagi tumbuhnya sifat-sifat: (i) melakukan apa yang seharusnya dilakukan, (ii) memiliki sifat tekun dan terus berusaha untuk mencapai sesuatu, (iii) selalu melakukan yang terbaik, (iv) memiliki dan menggunakan kontrol diri dalam melakukan sesuatu, (v) memiliki sifat disiplin diri, (vi) selalu berpikir matang sebelum bertindak, serta (vii) bertanggung jawab terhadap pilihan yang dilakukan. Sebaliknya, kelas bahasa-sastra Indonesia akan menghalangi tumbuhnya sifat-sifat malas, asal jadi, gegabah, serta tidak disiplin. Terkait dengan sifat adil (fairness), kelas bahasa-sastra Indonesia seharusnya menjadi lahan subur bagi tumbuhnya sifat-sifat berikut: (i) ―bermain dengan aturan‖ yang sudah disepakati bersama, (ii) mengedepankan prinsip bergiliran dan berbagi ketika sedang memiliki kekuasaan, (iii) berpikiran terbuka, serta (iv) bersedia mendengarkan orang lain meskipun mungkin menyakitkan. Sebaliknya, kelas bahasa-sastra Indonesia tidak menjadi lahan subur bagi orang yang suka mengambil keuntungan dari orang lain, serta suka menyalahkan orang lain untuk setiap kegagalan tanpa alasan yang kuat.
32
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
Terkait dengan sifat peduli (caring), kelas bahasa-sastra Indonesia seharusnya menjadi lahan yang subur bagi terbentuknya sifat-sifat berikut: (i) menjadi pribadi yang baik, (ii) menjadi pribadi yang penuh kasih dan menunjukkan kepedulian, (iii) suka mengungkapkan rasa syukur dan berterima kasih, (iv) suka memaafkan orang lain, dan (v) suka membantu orang yang membutuhkan. Sebaliknya, kelas bahasa-sastra Indonesia bukan menjadi lahan yang subur bagi tumbuhnya pribadi yang buruk, serakah, rakus, asosial, dan tidak peduli, serta tidak suka memaafkan orang lain. Terkait dengan sifat yang baik sebagai warga negara, kelas bahasa-sastra Indonesia seharusnya menjadi tempat yang subur bagi tumbuhnya sifat-sifat berikut: (i) suka berbagi yang membuat sekolah dan masyarakat menjadi lebih baik, (ii) suka bekerja sama untuk melakukan hal baik, (iii) suka terlibat dalam urusan masyarakat, (iv) menjadi tetangga yang baik, (v) mematuhi hukum dan aturan, (vi) menghormati autoritas, dan (vii) suka melindungi lingkungan. Sebaliknya, kelas bahasa-sastra Indonesia bukan menjadi lahan yang subur bagi sifat-sifat kikir, egois, usil, tidak mematuhi aturan dan hukum, tidak hormat pada pemimpin, serta suka merusak lingkungan. 4. PERSPEKTIF KRITIS DALAM ANALISIS TEKS Istilah kritis dalam kajian linguistik banyak memanfaatkan semangat sosiologi dan filsafat sosial aliran Frankfurt, yakni semangat emansipasi atau pemberdayaan kepada yang tertindas. Perspktif kritis dalam kajian linguistik dikenal dengan nama linguistik kritis dan analisis (studi) wacana kritis. Beberapa butir penting dari pandangan para pakar terkait dengan makna istilah ―kritis‖ dapat dikemukakan berikut. Pertama, identitas ―kritis‖ adalah hal utama. Istilah ―kritis‖ dalam studi wacana kritis atau analisis wacana kritis diasosiasikan dengan kajian terhadap relasi-relasi kuasa. Pikiran dari tokoh-tokoh kritis, seperti Adorno, Horkeimer, dan Habermas banyak mewarnai pikiran dalam studi wacana kritis. Aplikasi dari pandangan itu, studi wacana kritis bertujuan untuk mengeksplorasi relasi-relasi kuasa tersembunyi antara satuan wacana dan bentuk-bentuk sosio-kultural yang lebih luas, serta tertarik untuk menganalisis uncovering inequality, power relationships, injustices, discriminations, bias, dan sebagainya. Bagi analis wacana kritis, kerja ―kritis‖-nya ditunjukkan melalui pembongkaran relasi-relasi kuasa itu dan menunjukkan ketidakadilan yang melekat atau yang dilekatkan pada masyarakat. Begitu pentingnya makna ―kritis‖ dalam analisis/studi wacana kritis, sampai-sampaiSantoso (2012b) menyarankan untuk tidak menyingkat bidang critical discourse analysis dan analisis wacana kritis tersebut menjadi CDA atau AWK karena dapat membuat orang melupakan hakikat ‗kritis‘ atau ‗emansipasi‘ dalam kajian yang sedang dilaksanakannya.
Kedua, identitas ―kritis‖ mengandung pengertian bahwa studi wacana akan selalu berusaha memerikan, menafsirkan, dan menjelaskansecara simultan hubungan timbal balik antara bentukbentuk dan fungsi bahasa. Tahap ―memerikan‖ berupa analisis teks, tahap ―menafsirkan‖ berupa analisis pemrosesan wacana, tahap ―menjelaskan‖ berupa analisis sosial. Ketiga tahap itu oleh Fairclough (1989, 1995) diberi label dimensions of discourse analysis. Analisis wacana kritis percaya bahwa ada relasi timbal balik antara ―bentuk‖ dan ―fungsi‖ bahasa. Mereka berangkat dengan asumsi bahwa jaringan relasi timbal balik bentuk-fungsi tertentu itu bernilai secara berbeda antara masyarakat satu dengan masyarakat lainnya. Ketiga, identitas ―kritis‖ mengandung pengertian bahwa studi wacana akan selalu terlibat dalam persoalan-persoalan sosial dan akan selalu berusaha memecahkan persoalan itu melalui analisis dan mengiringinya dengan tindak-tindak sosial dan politis (Rogers, 2011:4). Analis wacana tanpa keberpihakan kepada persoalan sosial oleh van Dijk (1985) diberi label ―intelektual macan kertas‖ atau ―intelektual mengambang bebas‖. Menjadi analis wacana (kritis) berarti akan selalu melakukan pemihakan kepada yang tertindas, tersubordinasi, terhegemoni, dan terdeterminasi. Analis wacana harus berangkat dari kesadaran bahwa banyak ketidakberdayaan pada masyarakat di tengah dominasi wacana publik (Santoso, 2011b:23) dan tugas analisis adalah memberdayakan masyarakat yang tidak berdaya itu. Mengikuti pandangan van Dijk (2001:352) analisis wacana kritis adalah jenis penelitian analitis wacana yang terutama mempelajari penyalahgunaan kuasa sosial, dominasi, dan ketidaksetaraan yang berlaku, direproduksi, dan ditolak oleh teks dan tuturan dalam konteks sosial dan politik. Dengan penelitian pembangkangan tersebut, analis wacana kritis mengambil posisi eksplisit, dan dengan demikian ingin memahami, menyingkap, membongkar, dan akhirnya menolak ketimpangan sosial. Para pendukung model linguistik ini menggunakan analisis linguistik untuk memaparkan misrepresentasi dan diskriminasi dalam berbagai modus wacana publik. Mereka menawarkan pembacaan kritis terhadap koran, propaganda politik, dokumen resmi, peraturan, genre-genreresmi, seperti wawancara. Topik yang ditelitimeliputi(i) seksisme, (ii) rasisme,(iii) ketidaksetaraan dalam pendidikan, pekerjaan,
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
33
pengadilan dan sebagainya; (iv) perang, senjata nuklir dan tenaga nuklir; (v) strategi politik; dan (vi) praktik komersial. Sehubungan dengan wacana publik mengenai hal-hal seperti itu, tujuan dari ahli bahasa kritis secara umum defamiliarisasi atau peningkatan kesadaran (Fowler, 1996:5). 5. TEKS-TEKS UNTUK DIANALISIS DALAM PEMBELAJARAN BAHASA-SASTRA INDONESIA Analisis teks dalam pembelajaran bisa saja dimulai dengan menampilkan teks-teks keseharian yang akrab dengan siswa. Pembelajaran bahasa-sastra Indonesia seharusnya dapat memberikan sumbangannya bagi kehidupan siswa sehari-hari. Ungkapan (1) s.d. (4) adalah ucapan orang tua kepada anaknya dalam pelbagai konteks. (1) Wah, kamarmu seperti kapal pecah, Nak. (2) Kak, mendung. (3) Nak, lantainya kotor. (4) Nak, minggu depan ujian, kan? Teks (1) s.d. (4) amat akrab dengan anak-anak Indonesia. Ujaran itu banyak diproduksi oleh orang tua dalam latar keluarga, khususnya keluarga dari kalangan bawah. Teks (1) biasanya diproduksi oleh ibu/ayah dalam keluarga karena melihat kamar anaknya yang berantakan, sementara itu tidak tampak inisiatif anaknya untuk merapikannya. Ibu/ayah tersebut bermaksud untuk menyuruh anaknya untuk merapikan kamarnya. Teks (2) diproduksi oleh orang tua dan bermaksud menyuruh anaknya untuk mengambil jemuran atau melarang anaknya keluar rumah.Teks (3) diproduksi oleh orang tua yang meminta anaknya membersihkan lantai atau melarang bermain karena lantainya kotor. Teks (4) diproduksi oleh orang tua yang meminta anaknya agar segera belajar untuk mempersiapkan ujian. Menurut pandangan saya, sejak awal anak-anak Indonesia dikenalkan pada tindak ujaran yang di dalamnya terkandung tindak lokusi, tindak ilokusi, dan tindak perlokusi. Sejak awal anak-anak Indonesia dikenalkan pada ujaran-ujaran ―ketidaklangsungan‖ yang banyak muncul dalam kehidupan sehari. Dalam konteks keindonesiaan, pemahaman terhadap bentuk-bentuk ungkapan ketidaklangsungan itu dapat menjadi ukuran tingkat peradaban seseorang. Apabila seorang anak usia SD atau SMP memahami ungkapan ―Nak, lantainya kotor‖ dengan tindakan membersihkan lantai dipandang memiliki nilai plus dibandingkan dengan anak yang memahami ungkapan ―Nak, lantainya kotor, sapu, ya‖. Dalam konteks kebudayaan Jawa, misalnya, anak mendapat sebutan Jawa apabila memahami ketidaklangsungan ucapan, dan sebaliknya dikatakan ora Jawa apabila tidak memahami ungkapan ketidaklangsungan. Kartomihardjo (1993:24) mencontohkan beberapa teks pendek sebagai berikut. Teks-teks berikut amat akrab dengan kehidupan sosial masyarakat. (5) Kocok dulu sebelum diminum (6) Shake before use (7) Hati-hati banyak anak (8) Tenang ada ujian (9) Sing ngemek mati (10) Ngamen gratis (11) Fasten sealt belt while seated Teks (5) s.d. (11) amat akrab dengan kehidupan kita. Teks (5) dan (6) terdapat dalam obat berupa sirup. Teks (7) biasanya terdapat dalam gang-gang yang berupa larangan mengendarai kendaraan bermotor secara sembarangan. Teks (8) terdapat di lorong kampus atau sekolah, berupa peringatan kepada siapa pun yang lewat untuk tidak berisik. Teks (9) umumnya menempel pada gardu listrik tegangan tinggi dan berupa larangan memegang barang-barang listrik karena bertegangan tinggi. Teks (10) biasanya ditempelkan di rumah-rumah—biasanya rumah-rumah untuk pemondokan mahasiswa—yang bertujuan melarang para pengamen untuk menjual jasa mengamen. Teks (11) terdapat di kursi pesawat terbang dan bertujuan untuk mengingatkan (bahkan memaksa) penumpang pesawat untuk selalu menggunakan sabuk pengaman selama duduk. Bersamaan itu pula, kelas bahasa-sastra Indonesia perlu mengenalkan wacana multimodal dalam pembelajarannya. Pada era kekinian, teks sehari-hari sering ditampilkan dalam bentuk wacana multimodal. Perhatikan wacana (12) berikut. (12)
34
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
Pada teks (12) terdapat kesatuan lambang bahasa dan gambar dalam sebuah teks kampanye penyelamatan lingkungan. Pada (12) dapat diperoleh informasi sebagai berikut. Pertama, terdapat teks yang berupa kata, frasa, dan klausa yang merepresentasikan atau mengkonstruksikan makna tertentu. Kedua, ada gambar atau citra yang melambangkan ide tertentu. Dalam teks (12) terdapat gambar-gambar berikut: (i) dua tangan yang menyangga kehidupan, (ii) pohon yang terdiri atas batang, dahan, ranting, dan daun, (iii) gambar daun yang dilambangkan dengan rumah, mobil, kupu-kupu, bintang, dan lambang lainnya, (iv) ada warna yang membawa makna tertentu: hijau tua, hijau muda, coklat tua, coklat muda, dan sebagainya. Ketiga, ada bentuk segiempat yang mewadahi teks penyelamatan lingkungan.Keempat, terdapat fenomena hibriditas dalam membangun wacana, yakni penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Seberapa pentingkah multimodal? Kita dapat memahami multimodal melalui proses terbentuknya tulisan. Sebelum mengenal lambang huruf seperti sekarang, manusia lebih dahulu mengenal gambar untuk melambangkan sebuah konsep. Perkembangan bentuk tulisan manusia, mulai dari ‗satu ide dilambangkan dengan satu lambang‘, ‗satu kata dilambangkan dengan satu lambang‘, ‗satu sukukata dilambangkan satu lambang‘, sampai pada ‗satu bunyi dilambangkan satu lambang‘ dapat memberikan penjelasan bahwa lambang dalam bentuk gambar tentu saja bukan hal yang baru. Dalam pembelajaran sastra Indonesia, apakah tidak penting untuk tidak membicarakan sampul novel berikut? Apa yang dapat dianalisis dari teks (13) berikut. (13)
Pada teks (13) kita dapat mengajukan sejumlah pertanya-an: (i) mengapa gambar laki-laki itu lebih rendah daripada gambar perempuan, (ii) mengapa gambar perempuan bertopi lebih tinggi daripada gambar laki-laki di depannya, (iii) mengapa gambar perempuan bertopi diletakkan di depan dalam ukuran lebih besar daripada perempuan berbaju adat Minangkabat, (iv) mengapa gambar rumah gadang (rumah adat Minangkabau) yang menjadi latar
belakang digambarkan kecil? Kita masih dapat mengajukan pertanyaan yang dapat mengungkap keberadaan novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis. Intinya adalah apa yang muncul dalam sampul pada hakikatnya adalah sebuah tanda (sign). Tugas manusia adalah memahami tanda-tanda tersebut karena manusia pada hakikatnya adalah ―makhluk pemakna‖. Seiring dengan perkembangan kognitifnya, siswa mulai dikenalkan dengan pelbagai teks yang bermuatan kekuasaan sesuai dengan tingkat kognitif siswa. Teks/wacana yang bermuatan kekuasaan amat akrab dengan kehidupan kita. Bahkan, menurut van Dijk (1994:24) dalam percakapan sehari-hari pun hampir sebagian besar di Eropa: Belanda, Belgia, Denmark, Swedia, Jerman, Prancis, Italia, Britania Raya, Swiss, Austria), ekspresi ‗ketidakadilan‘ atau ‗ketidaksamaan‘ (khususnya yang terkait dengan etnik atau ethnic talk) banyak muncul, dan itu tentu saja tidak menguntungkan bagi kita semua yang selalu mendambakan keadilan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, wacana adalah fenomena mikro dan rasisme dan ketidaksetaraan yang khas fenomena makro, dan kita harus mengkaji bagaimana tingkat sosial yang berbeda seperti itu terhubung. Berikut dipaparkan contoh teks (14) s.d. (17) yang bermuatan kekuasaan.
(14) Partai wong cilik. (15) APBD untuk rakyat. PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
35
(16) Bersama kita bisa. (17) Perubahan, perubahan, perubahan. Teks (14) s.d. (17) amat akrab dengan kehidupan sosial-politik masyarakat Indonesia. Teks (14) adalah jargon dari partai yang mengklaim prorakyat Indonesia yang miskin. Teks (15) adalah janji yang sering dilontarkan oleh calon bupati, walikota, atau gubernur dalam kampanyenya. Teks (16) adalah semboyan salah satu pasangan presiden dalam pencalonannya menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Teks (17) adalah slogan yang sering dipakai oleh calon bupati, walikota, gubernur, dan bahkan presiden dari kelompok partai oposisi yang tidak sedang memegang kekuasaan. Pada tahap selanjutnya, teks-teks yang seksis juga menjadi bahan analisis teks dalam pembelajaran. Santoso (2013:7—8) mencontohkan teks (18) s.d.(20) sebagai berikut. (18) Laki itu fearless. (19) Fearless, laki-laki pantang pilih lawan. (20) Kurban itu laki. Bagi perancang, pencipta atau pemroduksi iklan, sadarkah bahwa yang mereka hasilkan sebenarnya amat seksis, karena secara bawah sadar memosisikan lak-laki menjadi superordinat. Dalam (18) s.d. (20) terkandung makna bahwa makhluk laki-laki itu tidak pernah punya rasa takut, dalam dalam waktu yang sama terjadi penaturalisasian perspektif bahwa perempuan itu identik dengan rasa takut. Perhatikan juga teks (21) s.d. (24) berikut. (21) Wanita hanya butuh perhatian. (22) Dasar perempuan. (23) Perempuan itu hanya butuh kejelasan. (24) Perempuan itu memang banyak maunya. Pada teks (21) s.d. (24) terkandung pengertian bahwa wanita adalah makhluk kelas dua, tidak punya kekuatan, perlu aturan khusus, dan sebagainya, baik sadar maupun bawah sadar. Dalam rangka membentuk karakter baik bagi bangsa Indonesia, sejumlah ujaran yang mengandung sarkasme perlu menjadi bahan analisis. (25) Anjing menggonggong kafilah berlalu. (26) Jangan membeli kucing dalam karung. (27) kudatuli (28) Gestapu/PKI (29) Anda seperti seorang ustad di kampung maling. Teks (25) adalah salah satu wujud peribahasa Indonesia. Ketika peribahasa itu digunakan dalam wacana politik, makna sarkasme akan muncul pada benak pendengar. Teks (26) adalah kalimat yang sering dilontarkan dalam wacana politik. Ketika kita tidak tahu latar belakang calon yang kita pilih berarti kita telah membeli kuncing dalam karung. Ini mengandung makna kasar. Teks (27) adalah akronim bagi peristiwa kerusuhan yang menyertakan Partai Demokrasi Indonesia pada era Orde Baru. Akronim ―kudatuli‖ mengandung kesan makna kasar. Pertanyaannya adalah apakah akronim yang diciptakan itu sesuai dengan realitas yang ada? Kasus yang sama juga terjadi pada teks (28). Kalau peristiwa berdarah itu terjadi pada subuh dinihari tanggal 30 September 1965, nama apa yang cocok untuk memberikan label terhadap peristiwa tersebut: Gerakan Satu Oktober atau Gerakan 30 September. Teks (29) adalah komentar yang dihasilkan oleh salah seorang anggota DPR yang terhormat terhadap komentar seorang Jaksa Agung dalam acara dengar pendapat. Frasa ―kampung maling‖ yang dimunculkan dalam acara DPR mengandung makna kasar. Teks (30) berikut tidak cocok untuk konteks keindonesiaan. Teks (30) saya ambil dari judul utama surat kabar yang terbit di ibukota Provinsi Kalimantan Tengah, Palangkaraya.
(30)
Saya senang di Palangkaraya ini berdiri Sekolah Polisi Negara. Masak yang jadi polisi hanya orang Jawa dan Batak saja [...]
Apa yang salah dengan orang Jawa dan Batak sampai-sampai disebut dalam sebuah sambutan Gubernur Kalteng (Asmawi Gani) pada pembukaan Sekolah Polisi Negara (SPN) di Palangkaraya (Kalteng) pada sekitar tahun 2003. Menurut saya, klausa kedua dalam teks tersebut tidak perlu muncul atau dimunculkan karena amat rasialis (meskipun banyak orang awam termasuk Pak Asmawi Gani tidak menyadari hal itu). Dalam pidato guru besar di hadapan Senat Universitas Negeri Malangtahun 2012 saya menyarankan kepada pimpinan UM agar salah satu pusat di Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) Universitas Negeri Malang, yakni ―Pusat Studi Wanita‖ yang disingkat dengan PSW untuk diubah namanya menjadi ―Pusat Studi Keseteraan Gender‖ dan disingkat PSKG. Nama PSW menurut saya amat seksis dan tidak memberikan pencerahan bagi komunikasi laki-laki dan perempuan dalam jangka panjang. Dalam pelbagai perkuliahan atau pelatihan pembawa acara saya menyatakan kepada para peserta bahwauntuk pertemuan yang sifatnya umum (pesertanya dari pelbagai golongan) ungkapan salam yang cocok adalah ungkapan (31) berikut.
(31) Assalamualaikum warrahmatullahi wabarokatuh. Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua.
36
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
dipandang lebih baik daripada ungkapan (32) berikut.
(32) Bagi yang beragama Islam saya ucapkan Assalamualaikum warrahmatullahi wabarokatuh, dan bagi yang beragama selain (non) Islam saya ucapkan Selamat pagi dan salam sejahtera Dalam teori wacana, ungkapan (31) dan (32) itu terkait dengan persoalan ―akses terhadap wacana‖. Dalam ungkapan (31), terkandung makna bahwa pertemuan tersebut memiliki akses yang sama bagi siapa saja yang hadir. Sebaliknya, dalam (32) terjadi apa yang oleh Mills (1997:12) dinamakan dengan practices of exclusion. Dengan demikian, dalam (32) telah terjadi ‗pengeluaran‘ seseorang atau kelompok tertentu dari kelompok yang lebih besar dan mengakibatkan adanya ketidaknyamanan bagi seseorang atau kelompok yang dikeluarkan dalam pertemuan untuk tetap ―duduk bersama‖ dalam pertemuan tersebut. Pada taraf lanjut, ungkapan-ungkapan (33) s.d. (34) berikut tidak perlu ada dalam wacana politik Indonesia.
(33) (34) (35)
Jokowi sinting. Jokowi jangan seperti burung unta. Ternyata manusia Indonesia masih keturunan budak.
Teks-teks pada (33) s.d. (35) itu adalah ungkapan yang dikemukakan oleh para elit politik Indonesia dalam pelbagai kesempatan. Ungkapan yang bermakna ‗merendahkan harkat martabat manusia‘ seperti itu tidak boleh muncul lagi dalam wacana publik. Dalam ruang publik banyak aturan yang harus dipenuhi dan banyak pantangan yang harus dihindari. Tentu saja, masih banyak materi teks yang dijadikan bahan analisis dalam pembelajaran bahasa-sastra Indonesia. Judul-judul surat kabar tempat kalimat aktif dan pasif didayagunakan menjadi bahan yang amat menarik dalam analisis teks kritis. Bahan-bahan pidato kampanye, debat televisi, tajuk rencana surat kabar, dan bahkan wacana berita di media massa juga menjadi sumber inspirasi analisis teks kritis. 6. PENUTUP Dari paparan di atas dapat disimpulkan berikut. Pertama, era kekinian dicirikan oleh karakteristik penggunaan bahasa sebagai berikut: kontrol kuasa melalui bahasa, menonjolnya hibriditas wacana/bahasa, menonjolnya komodifikasi wacana/bahasa, menonjolnya teknologisasi wacana, dan mengemukakanya wacana multimodal. Kedua, kelas bahasa-sastra Indonesia adalah potret dari masyarakat Indonesia di dalam kelas. Dalam kelas akan terjadi dominasi dan ketidaksetaraan dalam produksi dan reproduksi yang dapat menghasilkan perspektif tertentu. Ketiga, analisis teks dalam pembelajaran bahasa-sastra Indonesia seharusnya mengambil posisi kritis. Dengan perspektif kritis, penyalahgunaan kuasa sosial, dominasi, dan produksi dan reproduksi ketidaksetaraan dapat diungkap.Keempat, teks-teks yang dimanfaatkan dalam pembelajaran bahasa-sastra Indonesia memiliki kategori berikut: akrab dengan anak, dekat dengan kehidupan sosial anak, wacana multimodal, mengandung kekuasaan, seksis, rasialis, mengandung ungkapan yang kasar dan merendahkan harkat martabat manusia, dan sebagainya. Pembelajaran bahasa-sastra Indonesia era kekinian sudah tidak dapat menghindar cari cara pandang atau perspektif ―kritis‖. Ada label kritis atau tidak, pembelajaran bahasa-sastra Indonesia sudah seharusnya menggunakan perspektif kritis tersebut: mulai dari paradigma, orientasi linguistik, kurikulum bahasa-sastra, teks-teks yang dipilih, sampai pada latihan-latihan yang harus dikerjakan oleh siswa. Dengan perspektif kritis, pembelajaran bahasa-sastra Indonesia dapat menghasilkan calon warga negara Indonesia yang memiliki kesadaran bahasa kritis.
DAFTAR RUJUKAN
Ashcroft, B., Griffiths, G., & Tiffin, H. 2000. Post-Colonial Studies: The Key Concepts. Second edition. London & New York: Routledge Ashcroft, B., Griffiths, G., & Tiffin, H. 2003. Menelanjangi Kuasa Bahasa: Teori dan Praktik Sastra Poskolonial. Terjemahan oleh Fati Soewandi & Agus Mokamat. Yogyakarta: Penerbit Qalam Baxter, J. 2002. Competing Discourses in the Classroom: a Post-structuralist Discourse Analysis of Girls' and Boys' Speech in Public Contexts. Discourse and Society, 13(6): hlm.827— 842 Chouliaraki, Lilie & Fairclough, Norman. 1999. Discourse in Late Modernity: Rethinking Critical Discourse Analysis. Edinburgh: Edinburgh University Press Fairclough, N. 1989. Language and Power. New York: Longman Group UK Limited Fairclough, N. 1992. Discourse and Social Change. Cambridge: Blackwell Publishing Ltd
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
37
Fairclough, N. 1995a. Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language. Harlow-Essex: Longman Group Limited Fairclough, N. 1995b. Pendahuluan. Dalam Fairclough, N. (Ed.), Kesadaran Bahasa Kritis (hlm. 1—34). Terjemahan oleh Hartoyo. Semarang: IKIP Semarang Press Fairclough, N. 1996. Technologisation of Discourse. Dalam Caldas-Coulthard, C. & Coulthard, M. (Eds.), Texts and Practices: Reading in Critical Discourse Analysis. New York: Routledge Fairclough, N. 2012. Critical Discourse Analysis. Dalam Gee, J.P. & Handford, M. (Eds), The Routledge Handbook of Discourse Analysis (hlm. 9—20). London & New York: ROUTLEDGE Fowler, R. 1996. On Critical Linguistics. Dalam Caldas-Coulthard, C.R., & Coulthard, M. (Ed.), Texts and Practices: Reading in Critical Discourses Analysis (1—15). London: Routledge Giddens, A. 1990. The Consequences of Modernity. Cambridge: Polite Press Guo, L. 2004. Multimodality in a Biology Textbook. Dalam O‘Halloran, K.L. (Ed.), Multimodal Discourse Analysis: Systemic Functional Perspective (hlm. 196—219). London: Continuum Kartomihardjo, S. 1993. Analisis Wacana dengan Penerapannya pada Beberapa Wacana. Dalam Kaswanti Purwo, B. (Ed.), PELLBA 6: Analisis Wacana dan Pengajaran Bahasa (hlm. 21—52). Yogyakarta: Penerbit Kanisius Mills, S. 1997. Discourse. London & New York: Routledge Myar, A. 2008. Introduction: Power, Discourse and Institutions. Dalam Mayr, A. (Ed.), Language and Power: An Introduction to Institutional Discourse (hlm. 1—25). London: Continuum International Publishing Group O‘Halloran, K.L. 2011. Multimodal Discourse Analysis. Dalam Hyland, K. & Paltridge, B. (Eds.), Continuum Companion to Discourse Analysis (120—137). London: Continuum International Publishing Group Sadeghi, S., Ketabi, S., Tavakoli, M., & Sadeghi, M. 2012. Application of Critical Classroom Discourse Analysis (CCDA) in Analyzing Classroom Interaction. English Language Teaching, 5(1), January: 166—173 Santoso, A. 2011a. Wacana Media, Ideologi, dan Kesadaran Bahasa Kritis. Dalam Anoegrajekti, N., Nawiyanto, & Kartika, B.A. (Eds.), Retrospeksi: Mengangan-Ulang Keindonesiaan dalam Perspektif Sejarah, Sastra, dan Budaya (hlm. 200—221). Yogyakarta: Penerbit Kepel Press Santoso, A. 2011b. Membaca Wacana Publik secara Kritis. Pidato pengukuhan Guru Besar dalam bidang Ilmu Wacana pada Fakultas Sastra, disampaikan dalam Sidang Terbuka Senat Universitas Negeri Malang (UM), 26 Oktober Santoso, A. 2011c. Bahasa Perempuan Sebuah Potret Ideologi Perjuangan. Edisi ke-2. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara Santoso, A. 2012a. Studi Wacana Kritis, Pengajaran Bahasa, dan Perspektif Emansipasi. Proceeding International Conference on Applied Linguistics 5 (CONAPLIN 5): Language Teacher Development in a Globalized World (hlm. 28—35). Bandung: Jointly Organized by Language Centre and English Education Department, Indonesia University of Education Santoso, A. 2012b. Studi Bahasa Kritis: Menguak Bahasa Membongkar Kuasa. Bandung: Penerbit Mandar Maju Santoso, A. 2013. ―Laki itu Fearless‖: Sexist Language, Power, and Mass Media Responsibility. Dalam Sastra, G., Revita, I., Marnita, R., & Handoko (Eds.), Language and Its Role in Developing National Identity (hlm. 7—14). Proceeding The First International Seminar on Linguistics. Padang: Postgraduate Programe on Linguistics and Linguistics Society of Indonesia, Andalas University Santoso, A. 2015a.Critical Perspective on Language Teaching to Establish Indonesian Society that Have Critical Language Awareness in Late Modern Era. Makalah dibentangkan pada International Conference on Languages(ICL) dengan tema Striving for Excellence:
38
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
Overcoming Challenges in Language Teaching, Learning and Research, Kuala Lumpur, 10—11 Oktober 2015 Santoso, A. 2015b. Perspektif Wacana Multimodal dalam Pengajaran Bahasa pada Era Modernitas Akhir: Sebuah Keniscayaan. Proceedings International Seminar on Enrichment of Career by Knowledge of Language and Literature III (405—428). Surabaya: Dr. Soetomo University in cooperation with Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur van Dijk, T.A. 1985. Introduction: The Role of Discourse Analysis in Society. Dalam van Dijk, T.A. (Ed.), Handbook of Discourse Analysis Volume 4: Discourse Analysis in Society (hlm. 1—12). London: Academic Press van Dijk, T.A. 1994. Discourse and Inequality. Lenguas Modernas, 21: hlm. 19—37 van Dijk,T.A. 2001. Principles of Critical Discourse Analysis. Dalam Wetherell, M., Taylor, S., & Yates, S.J., Discourse Theory and Practice: A Reader (hlm. 300—317). London: SAGE Publications Ltd.
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
39
POLITIK DALAM BAHASA SEHARI-HARI KITA Mohamad Sobary Kolmonis, Budayawan Dalam berbahasa sehar-hari, sesuatu yang bisa disebut ‗biasa‘, terdapat unsur politik yang jelas. Struktur Bahasa kita ditentukan oleh apa yang disebut politik tadi.Tanpa lebih dahulu mendefinisikan makna politik yang kompleks dan boleh jadi berbelit-belit, kita bisa langsung menunjukkan contoh politik dalam struktur dan makna bahasa kita. Di sini bahasa lisan maupun tulisan tidak memerlukan pembedaan. Lisan maupun tulisan sama-sama ungkapan bahasa yang tak terbebas dari politik tadi. Relasi antara bawahan dan atasan di dalam lingkungan birokrasi, swasta maupun pemerintah, merupakan bentuk relasi politik. Di dalamnya kekuasaan terpancar dengan jelas melalui struktur atasan maupun bawahan tadi. Relasi politik seperti ini terpancar pula di dalam cara kita berbahasa. Seorang bawahan yang mengajukan permintaan untuk mengambi cuti, sesuatu yang merupakan hak asasinya, masih harus diatur dengan tertip, dan bahawahan tadi harus meminta haknya dengan apa yang disebut ‗izin‘ atasan. Jika atasan yag memegang kekuasaan regulasi tata kepegawaian sehar-hari tak mengizinkannya, sang bawahan tak bisa bercuti pada hari atau minggu yang diingikannya. Bawahan yang konvensinal cara berpikirnya akan menulis permohonan: saya mohon kiranya Bapak mengizinkan saya bercuti seminggu. Dan atasan yang cara hidupnya konvensional, yang sangat akan akan status, niscaya akan menjawab secara konvensional pula berdasarkan tata krama dan cara berbahasa di dalam pakem birokrasi yang kaku dengan menekankan bahwa dialahyang berkuasa. Kekuasaan, biarpun kecil, selalu dikaitalisasi di dalam birokrasi. Seorang kepala seksi, yang rendah dan sempit wilayah kekuasaannya, tak mudah bermurah hati begitu saja tanpa membuat ruewt bawahan, semata untuk menunjukkan setidaknya secara simbolis bahwa dia berkuasa. Makin panjang deretan staf yang antre dengan merengek agar permohonannya dikabulkan makin berbahagialah sang kepala seksi karena jelas terbukti ada begitu banyak orang yang merunduk-runduk memhon belas kasihannya. Ketua Koperasi kantor mungkin bisa menjadi contoh. Juga bagian keuangan. Di sini bukan hanya direktur keuangan yang agak tinggi statusnya, tetapi kasir yang rendahan pun gemar mengapitalsasi kekuasaanya untuk pamer: akulah yang berkuasa.Kalau bawahan agak mendesak, meskipun dengan Bahasa seorang pemhn ang cemas dan sopan, bsa saja kepala seksi berkata: yang berkuasa di sini kau apa aku? Inilah politik dalam ‗kandungan‘ bahasa kita sehari-hari. Sepandai apapun orang menyembunyikannya, politik itu tak akan pernah tersembuyi secara sempurna. Makna simbolik di balik bahasa itu sangat jelas menggabarkan politik kebahasaan kita.Di dalam suatu alenia teks sejarah, artinya dalam bahasa, cerminan politik di dalamnya mudah kita temukan biarpun kata politik tak terdapat di dalam teks tersebut. ―Baginda Raja akhirnya memutuskan memanggil pemuda pemberontak itu untuk meminta maaf dan berjanji tak akan mengulangi lagi tindakannya. Tetapi sang pemuda menolak kedua-duanya. Dia tak mau menghadap, dan dengan sendirinya tak pernah meminta maaf. Dia mengatakan: Aku tak bersalah. Mengapa harus meminta maaf. Kita mengenal ada Bahasa pemerintah, yang ungkapannya menunjukkan kekuasaan politiknya. Di dalamnya ada pua Bahasa penjiat, yanglanggam berbahasanya merunduk-runduk, selalu membenarkan atasan. Semua kata, ucapan-ucapan dan keputusan dtak pernah salah. Apa saja yang keluar dari atasan serba sudah benar Maka, untuk mengejek sika psi pen jilat itu lalu muncul Bahasa resistensi: Bahkan sebelum atasan berkata, si penjilat sudah membungkuk dalam-dalam sambil berkata: bapak benar. Penjilat ada di pemerintahan, di swasta, di dunia politik maupun di dunia bisnis. Bahkan ada pula di dalam birokrasi lembaga-lembaga rohani. Di dalam politik Bahasa sehari-hari yang kompleksB tadi, ada yang disebut bahasa perlawanan. Ini bisa bisa disebut Bahasa alternatif yang tak menyukai kekuasaan otoriter, maupun watak serba penuh penjilatan tadi. Semangat dan gaya ungkapannya menuntut, mendobrak,melawan segenap kecenderungan Bahasa dan tingkah laku yang anti watak egaliter.
40
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
Perlawanan bsa diungkapkan dengan berbagai cara. Ada pihak yang lugas, terus terang, terbuka dan blak-blakan. Ada bahkan yang segenap artikulasi kebahasaannya cenderung kasar, dengan makian yang tak terkontrol. Di sini perlawanan menjadi sejenis kebencian prib adi. Tapi ini semua merupakan ungkapan jujur seorang warga negara kepada pemimpinnya. Di radio, di televisi, di seminar-seminar atau di berbagai forum pertemuanterbuka, banyak kita jumpai politik Bahasa yang menggambarkan keterbukaan dan sikap terus terang seperti itu. Dalam arti terstentu, politik Bahasa diungkapkan bukan hanya dengan cara kurang sopan, tetapi juga merupakan ungkapan kebencian pribadi tadi. Di media elektronik maupun di dalam media cetak, dan dalam berbagai modus komunkasi sosial, ada kemalasan dan kedangkalan berbahasa. Wartawan yang menilpun untuk meminta waktu melakukan wawancara, dengan mudahnya berkata: terkait isu politik mutakhir bagaimana bapak melihatnya? Terkait. Belum mengatakan apapun sudah mulai ‗terkait yang membosankan itu. Mengapa tak mengatakan: dalam hubungan dengan, atau ada hubungannya dengan, atau ada kaitannya dengan… bagaimana penilaian anda? Terkait adalah cermin kemalasan berpikir dan berbahasa. Bahkan bisa jadi ini cermin kedangkalan pemikiran kita karena kita sudah puas dengan terkait, yang tak selal mencerminkan makna yang dikehendaki. Tetapi semua orang media, bahkan orang birokrasi maupun akademisi secara beramai-ramai menggunakan kata itu tanpa proses koreksi yang cermat untuk mengungkapkan artikulasi kebahasaan yang juga cermat. Sebelumnya, dan saat ini masih berlangsung, ada kata ‗suci‘ yang digunakan secara semena-mena oleh banyak kalangan, terutama media elektronik. Muanya kata itu dipakai di kalangan orang politik: Ya tentunya sebagai orang partai saya…Tentunya? Kata ini mencakup makna tentu saja, dengan sendirinya, sudah barang tentu, tak diragukan lag. Banyak makna lebih bagus, lebih akurat, lebih mencerminkan keadaan, yang harus digunakan dengan cermat, api hanya ‗tentunya‘ yang dipakai dengan cara malas dan dangkal Di media elektronik, di kalangan presenter muda, bahkan diubah menjadi pastinya, yang tak menggambarkan kepastian apapun selalin sekali lagi, kemalasan berpikir dan kedangkalan cara berbahasa. Sayang, orang media tak bisa dikoreksi. Kecenderungan mau mencari mudahnya, dengan cara serampangan seperti ini tidak memerkaya Bahasa. Hanya satu yang mereka dicapai: mendangkalkan dan membikin kita dungu. Orang media sebagai kelompok strategis memang bukan penjaga taman kata-kata, tetapi ereka, dengan kemalasan tadi, bisa memengaruhi kelompok yang sangat luas di dalam masyarakat. Haruskah kita berkata: berbahasalah dengan baik? Atas dasar apa kita berbuat begitu. Ada lagi politik Bahasa yang bersikap menutup mata, tanpa berpikir mengenai lawan bicara. Ini datang dar dunia bisnis, yang seharusnya berbicara manis, diplomatis dan ‗tepat‘ karena bidi Bahasa mereka merupakan iklan dan usaha menarik simpati masyarakat. Ini datang dari Telkomsel. Kita menilpun seseorang yang kita kenal dengan baik nomor hp nya, tapi dia menjawab: nomor yang kamu tujusalah. Salangat sembarangan mengatakansalah terhadap nomor yang kita tahu tidak salah. Kalau ini rekaman, ini harus diubah. Cari kata lain yang taks menggambarkan kebhongan. Kita tahu nomor yang kita putar tidak salah, mengapa dikatakan salah? Malas berpikir tepat dan akurat? Orang tekn lgi kmun ikasi kok membiarkan komuniasinya salah. Lebih menjengkelkan lagi ini: Nomor yang kamu tuju tidak menjawab. Kamu? Apa dikira yang menilpun hanya anak muda yangsebaya dengan orang telkomsel atau Telkom pada umumnya? Di kamu-kamukan dalam suasana sedang ruwet karena yang dililpun tak menjawab, kita kecewa, dan jengkel. Dunia bisnis kok sembarangan dalam berkomuniakasi. Kita yang tahu baha yang kita tilu tak menjawab. Tahu persis, Tapi mengapa dengan agak ‗pekok‘ dia memberi tahu: Nomor yang kamu tuju tidak mau menjawab. Komunikasi bisnis macamapa ini? Olitik Bahasa apa pula yang dipakai orang di dunia bisnis ini? Mengapa taka da koreksi interna? Politik Berbahasa kita sehar-hari terasa genit, dan sok akrap tai ini bukan politik Bahasa yang baik. Apa lagi daam dunia bisnis.
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
41
BIDANG 1:
PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA INDONESIA: REKSA KEBAHASAAN MAKRO–MIKRO
PERSAMAAN FUNGSI DAN PERAN SATUAN LINGUAL BERPRONOMINA PERSONA I DAN II PADA TEKS TERJEMAHAN ALQUR’AN DAN TEKS TERJEMAHAN HADIS Bahrudin Adi Nugroho, Markhamah, Abdul Ngalim, Muhammad Muinuddinilah B Program Studi Magister Pengkajian Bahasa, Pascasarjana, dan Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, FKIP, Universitas Muhammadiyah Surakarta Jalan Ahmad Yani, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia E-mail:
[email protected] No. HP: 085702665165 Abstrak Penelitian ini bertujuan: (1) memaparkan persamaan satuan lingual berpronomina persona pertama dan kedua dilihat dari fungsinya. (2) memaparkan persamaan satuan lingual berpronomina persona pertama dan kedua dilihat dari peran yang didudukinya. Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Subjek penelitian ini adalah teks terjemahan Al-Quran dan teks terjemahan Hadis yang mengandung etika berbahasa. Adapun objek pada penelitian ini ialah satuang lingual ber-PP I dan PP II pada teks terjemahan Al-Quran (TTA) dan teks terjemahan hadis (TTH) yang mengandung etika berbahasa. Data pada penelitian ini berupa klausa yang mengandung satuan lingual ber-PP I dan PP II pada TTA dan TTH. Teknik pengumpulan data menggunakan metode simak dan teknik catat. Teknik analisis data menggunakan metode padan referensial dan metode agih. Hasil penelitian menunjukkan (1) persamaan fungsi satuan lingual ber-PP I dan PP II adalah persamaaan pada fungsi subjek dan fungsi keterangan, dan persamaan satuan lingual berpronomina persona kedua hanya pada fungsi subjek. (2) Adapun persamaan satuan lingual berpronomina persona pertama dilihat dari peran pelaku, peran arah/tujuan, peran pengalam, dan persamaan satuan lingual ber-PP II terdapat pada peran pelaku dan peran pengalam. Kata kunci: satuan lingual berpronomina persona pertama dan kedua, fungsi, peran.
PENDAHULUAN Dalam linguistik terdapat dua tataran yakni tataran fonologi dan tataran tata bahasa gramatikal. Sintaksis dan morfologi merupakan tataran tata bahasa. Fonologi merupakan tataran linguistik yang mempelajari bunyi-bunyi bahasa. Bahasa sebagai satu wujud yang utuh dipenggal-penggal untuk kemudian dianalisis satu pe satu. Penggalan-penggalan itu disebut satuan bahasa atau unit bahasa. Satuan bahasa terkecil disebut fonem, satuan bahasa di atas fonem disebut morfem, satuan bahasa di atas morfem disebut kata, satuan bahasa di atas kata disebut frase, satuan bahasa di atas frase disebut klausa, satuan bahasa di atas klausa disebut kalimat, dan satuan bahasa terbsar disebut wacana. (Parera, 2009:5). Pronomina adalah kategori yang berfungsi untuk menggantikan nomina. Pronomina memiliki ciri tidak berafiks dan hanya pronomina tertentu yang bisa direduplikasikan, misalnya kami-kami, beliau-beliau, mereka-mereka. Pronomina dapat dibentuk menjadi frasa pronomina seperti aku ini, kamu sekalian, mereka semua dan lain-lain (Markhamah, 2010: 133). Penggunaan pronomina persona pada teks terjemahan Al-qur’an dan teks terjemahan hadis menarik untuk dikaji. TTA merupakan salah satu tulisan yang merupakan terjemahan dari Bahasa Arab yang digunakan sebagai pedoman. Dengan TTA seseorang lebih mengetahui serta lebih memahami kandungan-kandungan surat di dalam Al-Qur’an sehingga mampu mengamalkan sesuai pemahaman masing-masing. Dalam KBBI (2011:472) hadis merupakan riwayat yang berhubungan dengan perbuatan dan kehidupan Nabi Muhammad saw yang diceritakan dan diriwayatkan oleh sahabat Nabi sebagai sumber ajaran agama Islam setelah Al-Qur’an dan di dalamnya menjelaskan dan menetapkan hukum agama Islam. Pronomina persona pertama dibagi menjadi dua bentuk yakni tunggal dan jamak. Pronomina pertama tunggal memiliki beberapa wujud yakni aku dan saya. Adapun pronomina pertama jamak memiliki wujud berupa kata kami dan kita. Adapun pronomina kedua memiliki wujud berupa kamu, kau, dikau, engkau, anda, -mu.
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
43
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pronomina merupakan kata ganti yang menggantikan kata yang dibendakan. Penelitian mengenai penggunaan pronomina persona pertama dan kedua pada TTA dan TTH menarik untuk dikaji karena belum banyak penelitian sejenis yang dilakukan oleh peneliti-peneliti yang lain. Penelitian ini berpijakan dari penelitian sebelumnya yang telah dilaporkan oleh Markhamah, dkk. (2014; 2015). Dalam penelitian ini akan dibahas mengenai bagaimana persamaan penggunaan satuan lingual berpronomina persona pertama dan kedua pada TTA dan TTH dilihat dari fungsi dan peran yang didudukinya. Kajian teori dalam penelitian ini meliputi pengertian pronominal persona yang dikemukakan beberapa ahli. Menurut Rohmadi dkk (2010:191) kata ganti atau pronomina merupakan segala kata yang dipakai untuk menggantikan kata benda atau kata yang dibendakan. Kridalaksana (2005:76) pronomina adalah kategori yang berfungsi untuk menggantikan nomina. Yang digantikan itu disebut antesenden. Kategori pronomina tidak bisa berafiks, tetapi ada beberapa yang dapat diulang dengan makna ‘meremehkan’ atau ‘merendahkan’. Contohnya kamikami, dia-dia, beliau-beliau, mereka-mereka. Jenis Tunggal Jamak Pronomina persona I Saya, aku Kami, kita Pronomina persona II Kamu, engkau, anda Kalian, kamu sekalian, anda sekalian Pronomina persona III Ia, dia, beliau Mereka, mereka semua Murti (2015) meneliti “Satuan Lingual yang Mengandung Pronomina Persona Kedua pada Teks Terjemahan Al-Qur’an”. Penelitian ini memiliki 3 tujuan yakni 1. Untuk menentukan penggunaan kategori satuan lingual yang mengandung pronomina persona kedua pada teks terjemahan Al-Qur’an. 2. Untuk menganalisis fungsi sintaksis yang diisi oleh satuan lingual yang mengandung pronomina persona kedua pada teks terjemahan Al-Qur’an. 3. Untuk menentukan peran yang diduduki satuan lingual yang mengandung pronomina persona kedua pada teks terjemahan Al-Qur’an. Hasil penelitian menyatakan bahwa 1) Dalam teks terjemahan Al-Qur’an pronomina persona kedua termasuk ke dalam kategori nomina, frasa nomina, frasa verba, frasa preposisi, frase atributif, frase numeralia. 2) Pronomina persona kedua pada teks terjemahan AlQur’an menduduki fungsi subjek, objek, predikat, keterangan, dan pelengkap. 3) Pada teks terjemahan Al-Qur’an pronomina persona kedua mengisi peran pelaku, peran tindakan/perbuatan, peran arah/tujuan, peran diterangkan/digolongkan, peran penjelas, peran penerima, peran keberadaan, peran penderita, peran objektif, peran tempat, peran penyebab, peran peruntukkan, peran pengalam, peran milik, peran objektif penerima, peran asal dan peran alat. Erlinawati (2015) meneliti mengenai satuan lingual yang mengandung PP-I pada TTA. Hasil penelitian ini: (1) Hierarki linguistik yang berupa kata dan frasa. Satuan lingual yang berupa kata meliputi nomina. Satuan lingual yang berpronomina persona frasa meliputi FN, F Prep, FV, F Atr (2) Fungsi yang diduduki oleh satuan lingual yang mengandung pronomina persona pertama pada teks terjemahan Al Quran yaitu pengisi fungsi subjek, predikat, objek, pelengkap, keterangan (3) Peran yang diduduki oleh satuan lingual yang mengandung pronomina persona pertama pada teks terjemahan Al Quran meliputi peran pelaku, tindakan/perbuatan, arah/tujuan, diterangkan atau digolongkan, penjelas, penerima, keberadaan, penderita, objektif, pemeroleh, dikenal, peruntukkan, tindakan pasif, waktu, pengalam, penderita. Simpulan penelitian ini yakni satuan lingual yang mengandung PP I pada TTA terdapat berbagai kategori, fungsi dan peran. Prastika (2015) meneliti mengenai satuan lingual ber PP I dan II pada TTH. Hasil penelitian ini ada tiga, yakni Pertama, Hierarki linguistik dan wujud kategori pada satuan lingual PP1 dan PP2 pada TTH berupa kata dan frasa. Satuan lingual berupa kata meliputi kata nomina. Satuan lingual yang berupa frasa meliputi FN, Fprep, Enklitik, Fverb, Fatrib, dan Fadj. Kedua, Tataran fungsi yang diduduki satuan lingual yang mengandung PP1 dan PP2 pada TTH meliputi fungsi Subjek, Predikat, Objek pelengkap, dan Keterangan. Ketiga, Peran yang mengisi satuan lingual yang mengandung PP1 dan PP2 pada TTH meliputi peran pelaku, pengalam, peran tujuan/arah, peran perbuatan, peran cara/sifat, peran waktu, pearan kesertaan dan peran perbandingan METODE PENELITIAN Penelitian ini termasuk pada jenis penelitian kualitatif. Subjek dalam penelitian ini adalah Teks Terjemahan Al-Qur’an (TTA) dan Teks Terjemahan Hadist (TTH). Objek dalam penelitian ini
44
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
adalah penggunaan satuan lingual yang mengandung pronominal persona pertama dan kedua pada TTA dan TTH. Penelitian ini menggunakan metode pengumpulan data yakni metode simak, catat, dan dokumentasi. Teknik analisis data menggunaan metode padan subjenis referensial dan metode agih. Metode padan referensial digunakan untuk menganalisis fungsi, kategori, dan peran sintaksis satuan lingual yang mengandung pronomina persona pertama dan kedua.Metode agih untuk mendeskripsikan menentukan hieraki gramatikal yang terdapat pada teks terjemahan al Quran (TTA) dan TTH. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Persamaan satuan lingual berpronomina persona pertama pada TTA dan TTH 1. Persamaan satuan lingual ber-PP I pada TTA dan TTH yang sama-sama mengisi fungsi subjek dan fungsi keterangan. a. Fungsi Subjek Persamaan penggunaan satuan lingual ber-PP I pada TTA dan TTH berupa fungsi subjek ditandai dengan kata Aku. Hal itu dapat dilihat pada data berikut: Satuan Lingual ber-PP I yang mengisi fungsi subjek ditandai kata “Aku” pada TTA dapat dilihat pada ayat berikut: (26:15) 3 “Aku beriman kepada semua kitab yang diturunkan Allah. Penggunaan satuan lingual aku pada ayat tersebut mengisi fungsi subjek karena Aku dapat berdiri sendiri berupa kata benda yang dibendakan dan memiliki ciri lain sebagai subjek yakni dapat dipertanyakan dengan kata tanya Siapa?.(Markhamah ,2011:81) Adapun pada TTH dapat dilihat pada teks hadist berikut ini: Ke-31 (IV:59) (9) Aku kira demikian dan demikian kalau dia melihat demikian Penggunaan satuan lingual aku pada teks tersebut mengisi fungsi subjek karena Aku dapat berdiri sendiri berupa kata benda yang dibendakan dan memiliki ciri lain sebagai subjek yakni dapat dipertanyakan dengan kata tanya Siapa?.(Markhamah, 2011:81). b. Fungsi Keterangan Persamaan penggunaan satuan lingual ber-PP I pada TTA dan TTH berupa fungsi keterangan ditandai dengan kata Kepada-Ku. Satuan lingual ber-PP I yang mengisi fungsi keterangan ditandai kata “Kepada-Ku” pada TTA dan TTH dapat diihat pada ayat berikut: Pada TTA 1:31-32) 4 "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu. Pada TTH Ke-7 (3) Sulaiman bercerita kepadaku,sayayakin tak seorangpun bertanya hal ini kepadaku.Penggunaan satuan lingual kepada-Ku pada TTA dan TTH tersebut mengisi fungsi keterangan. Pada TTA kepada-Ku merujuk kepada Tuhan sedangkan pada TTH kepadaku merujuk pada seseorang. Salah satu ciri keterangan adalah memungkinkannya untuk dipindahkan ke bagian awal klausa. (Markhamah, 2011: 85). 2. Persamaan satuan lingual ber-PP I pada TTA dan TTH yang menduduki peran peran pelaku, peran arah/tujuan, dan peran pengalam . a. Peran Pelaku Persamaan penggunaan satuan lingual ber-PP1 pada TTA dan TTH yang menduduki peran pelaku ditemukan satuan lingual berupa Aku dan Kami. Hal itu dapat dilihat pada data berikut: Satuan Lingual ber-PP I yang menduduki peran pelaku berupa kata “Aku” pada TTA dan TTH dapat dilihat pada data berikut: Pada TTA (26:15) 3 “Aku beriman kepada semua kitab yang diturunkan Allah Pada TTH Ke-48 (IV:74) (2)Aku pergi dan mencaci maki Hassan bin Sabit di dekat Aisyah. Penggunaan satuan lingual Aku pada TTA dan TTH tersebut menduduki peran pelaku karena unsur Aku merupakan unsur yang melakukan suatu perbuatan/tindakan yakni pada TTA melakukan tindakan beriman kepada kitab dan pada TTH melakukan perbuatan perrgi dan mencaci maki. b. Peran Arah/Tujuan Persamaan penggunaan satuan lingual ber-PP1 pada TTA dan TTH yang menduduki peran arah/tujuan ditemukan satuan lingual kepada-Ku. Hal itu dapat dilihat pada data berikut: PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
45
Pada TTA (27:63) 3 maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah KepadaKu”. Pada TTH Ke-60 (IV:125-126) (1) Ibrahim bin Hamzah bercerita kepadaku. Penggunaan satuan lingual kepada-Ku pada TTA dan TTH tersebut menduduki peran arah/tujuan karena kata kepada merupakan penanda arah/tujuan dengan mempertanyakan kepada siapa? Dan jawabannya pada TTA –Ku merujuk pada Tuhan dan –ku merujuk pada orang. c. Peran Pengalam Persamaan penggunaan satuan lingual ber-PP1 pada TTA dan TTH yang menduduki peran pengalam ditemukan satuan lingual Kami. Hal itu dapat dilihat pada data berikut: Pada TTA (22:31) 7 “kalau tidaklah karena kamu tentulah Kami menjadi orang-orang yang beriman”. Penggunaan satuan lingual kami pada TTA tersebut menduduki peran pengalam karena unsur kami pada kalimat tersebut mengalami keadaan yang disebutkan pada predikat menjadi orang-orang yang beriman. Pada TTH Teks ke-18 (II:168) (3)Kami bersama Rasulullah SAW, suara kami meninggi. Penggunaan satuan lingual kami pada TTH tersebut menduduki peran pengalam karena unsur kami pada kalimat tersebut mengalami keadaan yang disebutkan pada predikat bersama Rasulullah. B. Persamaan satuan lingual berpronomina persona kedua pada TTA dan TTH 1. Persamaan satuan lingual ber-PP II pada TTA dan TTH yang sama-sama mengisi fungsi subjek. Fungsi subjek yang diisi satuan lingual ber-PP II, ditemukan berbagai kesamaan penggunaan satuan lingual. Adapun persamannya sebagai berikut. a. Fungsi Subjek Persamaan penggunaan satuan lingual ber-PP II pada TTA dan TTH berupa satuan lingual Engkau. Pada TTA (1:31-32) 7 ”Maha suci Engkau Pada TTH Ke-14 (II:106) (8) Engkau telah menghancurkan atau memotong punggung orang itu Penggunaan satuan lingual engkau pada TTA dan TTH tersebut mengisi fungsi subjek karena engkau dapat berdiri sendiri berupa kata benda yang dibendakan dan memiliki ciri lain sebagai subjek yakni dapat dipertanyakan dengan kata tanya Siapa?(Markhamah, 2011:81). Namun, keduanya berbeda referensi. 2. Persamaan satuan lingual ber-PP II pada TTA dan TTH yang sama-sama menduduki peran pelaku dan peran pengalam. Berdasarkan peran yang diduduki oleh satuan lingual yang mengandung PP II ditemukan berbagai kesamaan penggunaan satuan lingual. Adapun persamannya sebagai berikut. a. Peran Pelaku Persamaan penggunaan satuan lingual ber-PP II pada TTA dan TTH yang menduduki peran pelaku ditemukan satuan lingual berupa Kamu. Hal itu dapat dilihat pada data berikut: Pada TTA (2:83) 11 Kemudian kamu tidak memenuhi janji itu. Pada TTH Ke-13 (II:106) (7) Celaka kamu, kamu telah memotong leher temanmu. Pengunaan satuan lingual kamu pada TTA dan TTH tersebut menduduki peran pelaku karena unsur kamu merupakan unsur yang melakukan suatu perbuatan/tindakan. Pada TTA merujuk pada perbuatan berbohong (tidak memenuhi janji) dan pada TTH merujuk pada tindakan memotong leher. b. Peran Pengalam Persamaan penggunaan satuan lingual ber-PP II pada TTA dan TTH yang menduduki peran pengalam ditemukan satuan lingual berupa Kamu. Hal itu dapat dilihat pada data berikut: Pada TTA (14:171) 7 Maka berimanlah kamu kepada Allah Penggunaan satuan lingual kamu pada TTA dan TTH tersebut menduduki peran pengalam karena unsur kamu pada kalimat tersebut mengalami keadaan yang disebutkan pada predikat kepada Allah. Pada TTH Ke-13 (II:106) (7) celaka kamu
46
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
Penggunaan satuan lingual kamu pada TTA dan TTH tersebut menduduki peran pengalam karena unsur kamu pada kalimat tersebut mengalami keadaan yang disebutkan pada predikat celaka. SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa persamaan fungsi satuan lingual ber-PP I pada TTA dan TTH adalah persamaan satuan lingual yang menduduki fungsi subjek dan fungsi keterangan. Adapun persamaan peran satuan lingual ber-PP I antara TTA dan TTH yang ditemukan peran pelaku, peran arah/tujuan dan peran pengalam. Adapun persamaan satuan lingual ber-PP II yang ditemukan adalah persamaan fungsi subjek. Adapun persamaan peran yang ditemukan adalah peran pelaku dan peran pengalam. DAFTAR PUSTAKA Erlinawati, Mira. 2014. “Satuan Lingual yang Mengandung Pronomina Persona Pertama pada Teks Terjemahan Al-Qur’an. Tesis. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta. Kridalaksana, Harimurti. 2005. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Markhamah. 2010. Sintaksis 2: Keselarasan Fungsi, Kategori, dan Peran dalam Klausa. Surakarta: Muhammadiyah University Press. __________. 2011. Ragam dan Analisis Kalimat Bahasa Indonesia. Surakarta: Muhammadiyah University Press. Markhamah, Abdul Ngalim, Muinuddinillah Basri. 2014. “Pola Penggunaan Satuan Lingual yang Mengandung Pronomina Persona pada Teks Terjemahan Alquran dan Hadis”. Surakarta: Laporan Penelitian Hibah Pasca tahun I (2014). Markhamah, Abdul Ngalim, Muinuddinillah Basri. 2015. “Pola Penggunaan Satuan Lingual yang Mengandung Pronomina Persona pada Teks Terjemahan Alquran dan Hadis”. Surakarta: Laporan Penelitian Hibah Pasca tahun II (2015). Murti, Arini Dyah Rupa. 2015. “Satuan Lingual yang Mengandung Pronomina Persona Kedua pada Teks Terjemahan Al-Qur’an. Tesis. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta. Parera, JD. 2009. Dasar-Dasar Analisis Sintaksis. Jakarta: Penerbit Erlangga. Prastika, Oktavia Ilham. 2015 “Satuan Lingual Yang Mengandung Pronomina Persona Pertama Dan Kedua Pada Teks Terjemahan Hadis Pada Buku Sahih Buchori Muslim Rohmadi, Muhammad, dkk. 2010. Morfologi: Telaah Morfem dan Kata. Surakarta: Yuma Pustaka.
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
47
PENDAYAGUNAAN PADANAN ISTILAH BAHASA INDONESIA SEBAGAI PENGGANTI KOSAKATA SERAPAN BAHASA ASING GUNA MEMPERKOKOH KARAKTER BANGSA INDONESIA Bambang Lelono, Erwita Nurdiyanto, dan Gita Anggria Resticka Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jenderal Soedirman Abstrak Bahasa Indonesia dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional selain mempunyai fungsi sebagai alat pemersatu berbagai suku bangsa di Indonesia, juga memiliki fungsi sebagai lambang kebangsaan dan juga identitas nasional. Untuk mewujudkan fungsi tersebut, bahasa Indonesia harus memiliki ciri khas tersendiri. Bahasa Indonesia dapat memiliki ciri khas apabila penuturnya membina dan mengembangkan bahasa Indonesia sehingga bersih dari unsur bahasa lain yang memang benar-benar tidak diperlukan. Kenyataannya pemakaian bahasa indonesia saat ini banyak sekali menggunakan kosakata yang berasal dari bahasa asing. Hal ini terjadi karena bahasa Indonesia mewarisi sifat dari bahasa Melayu yaitu reseptif atau mudah menerima masukan dari bahasa lain. Fenomena ini menjadi permasalahan bagi bangsa Indonesia, disatu sisi penyerapan kosakata asing dapat memperkaya khasanah kebahasaan bahasa Indonesia di era globalisasi saat ini, tetapi di sisi lain banyaknya kosakata asing yang diserap dikhawatirkan dapat menghilangkan identitas diri yang dapat mengakibatkan tidak terwujudnya karakter bangsa. Penutur bahasa Indonesia saat ini terlena dengan keberadaan kosakata asing. Mereka tidak menyadari dalam komunikasi sehari-hari cenderung banyak menggunakan kata asing yang telah disesuaikan dalam bahasa Indonesia. Hal tersebut karena faktor ketidaktahuan dari penutur atau bahkan karena faktor prestice sehingga cenderung akan bangga apabila dapat berkomunikasi dengan menggunakan istilah asing. Upaya untuk mengatasi persoalan tersebut sudah dilakukan oleh Badan Bahasa dengan memperkenalkan pandanan kosakata asing dalam bahasa Indonesia diantaranya ‘unduh’ untuk menggantikan istilah download, ‘tetikus’ untuk menggantikan istilah mouse, dan ‘komputer jinjing’ untuk menggantikan istilah laptop. Iistilah-istilah tersebut sampai saat ini belum menjadi pilihan bagi penutur bahasa Indonesia untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Upaya untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan peran dari berbagai pihak. Dalam hal ini media menjadi sarana yang paling efektif untuk mewujudkannya, karena media lebih mudah memberikan informasi keapda masyarakat. Apabila media cenderung menggunakan padanan istilah yang sudah diindonesiakan masyarakat akan lebih mudah untuk mengenalnya. Kata kunci: padanan istilah, kosakata serapan, karakter bangsa.
PENDAHULUAN Perkembangan bahasa Indonesia dipengaruhi oleh bahasa daerah dan bahasa asing yang berkembang di Indonesia. Masuknya unsur-unsur baru dalam perkembangan tersebut sebenarnya untuk memperkaya bahasa Indonesia. Suatu kenyataan bahwa apabila dua bahasa atau lebih digunakan dalam masyarakat yang sama, terjadilah apa yang disebut dengan kontak bahasa. Kontak bahasa adalah peristiwa saling memengaruhi antarbahasa dalam masyarakat. Bahasa merupakan sistem lambang bunyi ujaran yang digunakan untuk berkomunikasi. Sesuai dengan perkembangan budaya manusia, penggunaan bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi ikut berkembang terutama di bidang kosakata. Bahasa yang baik berkembang berdasarkan suatu sistem yaitu seperangkat aturan yang dipatuhi oleh pemakainya. Apabila dalam perkembangannya tidak diatur dengan sistem, penggunaan bahasa tersebut akan kacau, tidak terarah, dan setiap orang akan berbeda-beda dalam menggunakan bahasa baik dalam bentuk lisan maupun tulis. Sistem tersebut mencakup antara lain a) sistem lambang yang bermakna dan dapat dipahami oleh pemakainya, b) sistem lambang tersebut bersifat konvensional yang ditentukan oleh pemakainya berdasarkan kesepakatan, c) lambang-lambang tersebut bersifat arbitrer, d) sistem lambang tersebut bersifat terbatas, tetapi
48
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
produktif, e) sistem lambang bersifat unik, khas dan tidak sama dengan lambang bahasa lain (Kusneni, 2014:10). Bahasa itu bersifat dinamis, maksudnya bahasa itu tidak terlepas dari berbagai kemungkinan perubahan yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Perubahan itu dapat terjadi pada tataran fonologis, morfologis, sintaksis, semantik, dan leksikon. Pada setiap waktu mungkin saja ada kosakata baru yang muncul, tetapi juga ada kosakata lama yang tenggelam tidak digunakan lagi. Sebagai contoh dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mangkus dan sangkil memiliki arti efektif dan efisien yang dahulu digunakan dalam bahasa Indonesia kini tidak digunakan lagi. Sebaliknya, kata-kata seperti offline, Password, Power, dan Silent yang dulu tidak dikenal kini sudah biasa digunakan. Kedinamisan bahasa dalam tataran gramatika juga banyak menyebabkan terjadinya perubahan kaidah. Ada kaidah yang dulu berlaku, kini tidak digunakan lagi (Chaer, 2004:14). Unsur-unsur bahasa asing ini masuk ke Indonesia ketika bangsa Indonesia mengalami kontak budaya dengan bangsa asing. Unsur-unsur asing telah menambah sejumlah besar kata ke dalam bahasa Indonesia. Dengan adanya perkembangan bahasa ini, muncullah masalah-masalah kebahasaan. Mislanya, adanya kosakata yang diserap secara utuh dan dengan penyesuaianpenyesuaian yang ternyata tidak lepas dari permasalahan analogi dan anomali bahasa. Analogi adalah keteraturan bahasa. Satuan bahasa dikatakan analogis bila satuan tersebut sesuai dengan konvensi-konvensi yang berlaku. Perubahan atau penyesuaian yang terjadi dalam kata serapan dapat diketahui dengan membandingkan kata-kata sebelum masuk ke dalam bahasa Indonesia dan setelah masuk ke dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi, kata serapan yang dikaitkan dengan analogi bahasa dilakukan dengan membandingkan unsur-unsur yang ada dalam bahasa penerima. Artinya, untuk mengetahui bahwa kata tersebut benar-benar kata serapan, perlu dilihat aslinya tanpa harus mengetahui proses perubahan / penyesuaian. Misalnya contoh kata aksi – action (Inggris) dan derajat – darrajat (Arab). Dalam sistem fonologi, fonem /kh/ dan /sy/ secara historis bukanlah fonem asli Indonesia. Semua kata yang menggunakan fonem /kh/ dan /sy/ masih bisa dilacak aslinya dari bahasa Arab. Jika fonem ini muncul dalam bahasa Indonesia, dianggap sebagai gejala penyimpangan anomalis. Fonem-fonem lain yang merupakan fonem serapan adalah /f/, /q/, /v/, dan /x/. Analogi juga terlihat dalam sistem ejaan, yaitu yang berhubungan dengan pembakuan. Menurut taraf integrasinya, unsur pinjaman ke dalam bahasa Indonesia dibagi menjadi dua yaitu a) unsur pinjaman yang belum sepenuhnya terserap ke dalam bahasa Indonesia, contoh : reshuffle ; b) unsur pinjaman yang pengucapan dan penulisannya disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia, contoh : sentral – central. Penyesuaian kedua berkaitan dengan perspektif anomali. Anomali adalah penyimpangan atau ketidakteraturan bahasa. Satuan bahasa dikatakan anomalis apabila tidak sesuai / menyimpang dengan konvensi yang berlaku. Untuk menentukan anomali bahasa pada kata–kata serapan dalam bahasa Indonesia, kita bisa menggunakan cara memperbandingkan unsur intern dari bahasa penerima pengaruh, suatu kata yang tampak sebagai kata serapan dibandingkan atau dilihat dengan kaidah yang berlaku dalam bahasa Indonesia. Kata-kata yang anomalis bisa dalam sistem fonologi yang muncul karena adanya kata asing yang diserap secara utuh dalam bahasa Indonesia tanpa mengalami perubahan penulisan dan dibaca seperti aslinya., contoh: export asalnya export. Anomali dalam sistem ejaan juga terlihat pada kata bank – bank (Inggris), jumat - jumat (Arab), kata asing ini secara utuh diserap ke dalam bahasa Indonesia tanpa melalui penyesuaian dengan kaidah di dalam penulisan. Kosakata dalam bahasa Indonesia dapat teridiri dari satu morfem atau lebih. Kata-kata asing yang diserap ke dalam bahasa Indonesia bisa terdiri dari satu morfem atau lebih. Contohnya, kata federalism - federalism (Inggris), bilingual-bilingual (Inggris), eksploitasiexploitation (Inggris). Kata serapan dari bahasa Inggris yang memiliki akhiran “tion” diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi berakhiran “si” karena mengalami penyesuaian. Ternyata hal ini memunculkan masalah kebahasaan yaitu munculnya akhiran “sasi” yang melekat pada kata-kata yang tidak berasal dari bahasa Inggris, seperti islamisasi (Islam + sasi) ; kristenisasi (kristen + sasi). Akhiran “sasi” dalam bahasa Indonesia termasuk gejala anomali bahasa. Hal ini dikarenakan jika dibandingkan dengan gramatikal, khususnya berkaitan dengan struktur morfologi kata, akhiran (sasi) di dalam bahasa Indonesia tidak ada. Hal ini berpotensi memunculkan permasalahan baru, yaitu masalah pengakuan dari para pakar yang memiliki legalitas di dalam bahasa. Akhiran (sasi) merupakan gejala anomali apabila akhiran "sasi" dianggap tidak resmi dalam bahasa Indonesia. Namun, jika akhiran "sasi" bisa diterima sebagai akhiran dalam bahasa Indonesia, ada perubahan PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
49
dari anomali menjadi anologi. Proses penyerapan seperti ini juga terjadi pada bahasa Arab. Contoh: insani - insani; duniawi - dunyawi. Proses penyerapan dalam pengindonesiaan istilah asing dapat ditempuh dengan cara mengambil atau memindahkan istilah asing tersebut ke dalam bahasa Indonesia disertai dengan penyesuaian ejaan atau penyesuaian lafal. Hal ini sudah diatur dalam Pedoman Umum Pembentukan Istilah yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Walaupun kita memiliki Pedoman Pembentukan Istilah yang mengatur tata cara masuknya kata asing dalam bahasa Indonesia, tetapi kita juga jangan melupakan kata-kata asli yang memang berasal dari bahasa Indonesia. Sebagai contoh kata serapan asing yaitu kata laundry sebenarnya tidak diperlukan karena di dalam bahasa Indonesia sudah digunakan kata binatu dan dobi. Perlakuan yang sama dapat dikenakan pada kata tower karena padanan untuk kata itu sudah ada di dalam khasanah bahasa Indonesia yaitu menara atau mercu. Kata supermarket yang maknanya sama dengan kata pasar swalayan juga tidak perlu diserap ke dalam bahasa Indonesia. Dalam tabel berikut diberikan contoh beberapa kata padanan kosakata asing dalam bahasa Indonesia yang kurang populer atau bahkan justru dianggap asing oleh penutur bahasa Indonesia. Account – akun Lipstick - gincu’ Ambiguity - Ketaksaan Lup – suryakanta/kaca pembesar Browser – peramban Mikrofon / microphone – pelantang Banner / backdrop – kain rentang Mouse – tetikus Chat – obrolan Offline – luar jaringan (luring) Contact Person – narahubung Online – dalam jaringan (daring) Copy – salin Part-time – paruh waktu Download – unduh Password – (kata) sandi Debat-Sawala Paste – tempel E-Mail –Surat Elektronik Power – daya Edit – sunting Preview – pratinjau Editor – penyunting Scan – pindai Efektif – mangkus Silent – senyap Efisien – sangkil Slide – salindia Gadget - Gawai Smartphone – ponsel pintar Headset - Pelantang Telinga Software – perangkat lunak History – riwayat Speaker – pengeras suara Home – beranda Sponsor – penaja Install – pasang Stapler - Pengokot Keyboard – papan ketik, papan tombol Social media – media sosial Laundry –binatu Upload – unggah Link – tautan
Contoh di atas menunjukan bahwa dalam perkembangannya, bahasa Indonesia banyak dipengaruhi oleh bahasa asing terutama di bidang kosakata. Kata-kata serapan dari bahasa asing sudah tidak terasa sebagai kata asing di dalam pemakaian bahasa kita sehari-hari. Kita memang tidak perlu untuk antipati terhadap istilah yang diserap dari bahasa asing, karena unsur bahasa asing yang diserap ke dalam bahasa Indonesia harus mempertajam daya ungkap pemakai bahasa Indonesia untuk menyatakan makna konsep atau gagasan secara tepat. PENUTUP Penyerapan unsur bahasa asing itu harus dilakukan secara selektif. Kosakata serapan itu secara khusus digunakan untukmengisi kerumpangan atau kekosongan konsep makna yang tidak ditemukan di dalam khasanah bahasa Indonesia. Di samping bentuk dan makna kata serapan itu memang diperlukan kehadirannya dalam bahasa Indonesia untuk kepentingan pemerkayaan konsep-konsep makna yang dapat menunjang laju pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi Indonesia. Akan tetapi, kita juga jangan sampai melupakan kosakata yang memang asli dari bahasa Indonesia karena alasan kepraktisan saja, karena dengan istilah-
50
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
istilah asli tersebut dapat menjadikan bangsa Indonesia lebih berkarakter dari segi kebahasaannya. Untuk mewujudkannya perlu peran serta berbagai pihak. Terutama pihak media karena medialah baik cetak maupun elektronik yang dianggap paling mangkus untuk memperkenalkan kosakatakosakata tersebut. DAFTAR PUSTAKA Arifin, E.Z dan Farid Hadi. 1991. Seribu Satu Kesalahan Berbahasa. Jakarta: Akademika Presindo Badudu, J.S. 2003. Kamus Kata-Kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Chaer, Abdul dan Leonie A. Sosiolinguistik Sebuah Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta Hadidarsono, Kusneni dan Subandi. 2013. Bahasa Indonesia: sebagai Mata Kuliah Pengembang Kepribadian. Purwokerto: Universitas Jenderal Soedirman Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Pengindonesiaan Kata dan Ungkapan Asing. Jakarta: Pusat Bahasa. Soedjito. 1992. Kosakata Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Sofyan. Aneka Serapan Padanan Asing dalam Bahasa Indonesia. Jurnal.
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
51
BENTUK PEMERTAHANAN BAHASA DALAM BAHAN AJAR BERBASIS KURIKULUM 2013:KAJIAN EKOLINGUISTIK Brigita Yuni MPBSI Universitas Sanata Dharma Mrican Tromolpos 29 Yogyakarta 55002
[email protected] HP. 087839768469 Abstrak Globalisasi secara tidak langsung memberikan pengaruh pada lingkungan. Pengaruh yang besar dapat dilihat dari banyaknya bahasa daerah dan budaya yang mulai hilang hingga mati. Agar bahasa daerah hidup dan budaya tetap terjaga perlu dilakukan pemertahanan bahasa dan budaya. Pemertahanan bahasa dan budaya dapat dilakukan salah satunya dengan menghadirkan hal tersebut dalam bahan-bahan ajar yang ditujukan pada generasi muda. Dalam artikel ini akan dihadirkan bentuk pemertahanan bahasa dan budaya dalam buku cetak SMA kelas 1, 2, dan 3 berbasis kurikulum 2013 dari penerbit Erlangga dan Yudhistira. Kata kunci: pemertahanan bahasa dan budaya, bahan ajar, kurikulum 2013. Abstract Globalization indirect impact on the environment. A big influence can be seen from the many regional languages and culture began to disappear until death. In order for the local language and culture alive we must preserve language and culture. Preservation of language and culture can be done either by presenting it in teaching materials aimed at the younger generation. This article will be presented in the form of preservation of language and culture in the textbook high school grade 1, 2, and 3 based 2013 curriculum Erlangga and Yudhistira publisher. Keywords: preservation of language and culture, teaching materials, curriculum 2013. PENDAHULUAN Bahasa memiliki hubungan yang erat dengan kehidupan. Bahasa tidak hanya digunakan untuk berkomunikasi dan menyampaikan pesan sehari-hari di rumah atau di lingkungan masyarakat tapi dalam setiap bidang yang kita geluti bahasa memiliki peran yang besar. Kajian yang membahas penggunaan bahasa dengan lingkungan adalah ekolinguistik. Ekolinguistik merupakan ilmu bahasa yang melibatkan lingkungan ragawi dan lingkungan sosial. Lingkungan ragawi terdiri dari, lingkungan fisik yaitu topografi suatu negara seperti pesisir, lebah, dataran tinggi, gunung, iklim, intensitas, curah hujan, ekonomis, flora, fauna, dan sumber mineral. Lingkungan sosial terdiri dari masyarakat yang membentuk pikiran, dan kehidupan seperti agama, etika, bentuk organisasi politik, dan seni Saphir (Muhlhausler & Fill, 2003:14). Penggunaan bahasa dalam berbagai bidang ini hadir sebagai simbol dan tanda terhadap apa yang ada di muka bumi. Kemajuan peradaban manusia saat ini telah membuat berbagai benda-benda yang di muka bumi mulai hilang sehingga bahasa sebagai simbol benda yang ada di muka bumi juga mati. Matinya benda yang telah diberi nama menyebabkan banyak bahasa yang hilang dan nyaris punah, hal ini terbukti dari penelitian Ethnologue: language of the world pada tahun 2005 jumlah bahasa daerah yang dulu 742 bahasa daerah indonesia sekarang hanya 737 bahasa daerah yang masih hidup di Indonesia. Pergeseran arah bahasa yang semakin mundur ini menarik berbagai pihak untuk melakukan pemertahanan bahasa. Pemertahanan bahasa adalah upaya yang dilakukan sekelompok orang untuk menjaga agar bahasa yang digunakan sebagai simbol tetap hidup dan tetap bertahan serta digunakan dalam masyarakat. Upaya pemertahanan bahasa seharusnya dilakukan dengan tetap menggunakan bahasa
52
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
tersebut dalam berkomunikasi, tapi terdapat juga cara lain supaya bahasa tersebut tetap bertahan dan digunakan yaitu dengan menghadirkan bahasa yang mulai punah dalam buku pelajaran. Buku pelajaran dipilih karena bahasa tetap hidup jika ada penutur, dengan menghadirkan bahasa daerah dalam buku pelajaran maka bahasa tersebut akan digunakan siswa dimanapun mereka berada. Buku pelajaran yang menghadirkan pemertahanan bahasa daerah adalah buku paket Indonesia SMA kelas 1, 2, dan 3. Dalam makalah ini peneliti akan menyajikan berbagai bentuk pemertahanan bahasa daerah yang terdapat dalam buku Cetakan Erlangga dan Yudhistira. EKOLINGUISTIK Ekolinguistik merupakan paradigma baru dalam kajian bahasa yang melibatkan lingkungan. Lingkungan yang dimaksud meliputi lingkungan ragawi dan lingkungan sosial. Lingkungan ragawi terdiri dari, lingkungan fisik yaitu topografi suatu negara seperti pesisir, lebah, dataran tinggi, gunung, iklim, intensitas, curah hujan, ekonomis, flora, fauna, dan sumber mineral. Lingkungan sosial terdiri dari masyarakat yang membentuk pikiran dan kehidupan seperti agama, etika, bentuk organisasi politik, dan seni Saphir (Muhlhausler & Fill, 2003:14). Kajian ekolinguistik lebih menekankan pada bagaimana ekosistem yang merupakan bagian dari sistem kehidupan manusia dipakai dalam berkomunikasi dengan lingkungannya. Fill (2000:60) ada tiga prinsip utama dalam ekolinguistik yaitu mengakui keragaman, interaksi mutual, dan mengamati keutuhan dan kesatuan dari fragmentasi. Keberagaman berhubungan dengan ide-ide terkait ekologi yang hidup. Interaksi mutual ini berhubungan dengan interaksi antar lingkungan yang menghasilkan bentuk bahasa yang utuh. Pendapat Fill diatas juga sejalan dengan Haugen yang menyatakan menghidupi bahasa dapat dilakukan dengan mengambil semangat dari ilmu ekologi yang merupakan cabang dari biologi yang memiliki keterkaitan antara tanaman, hewan dan lingkungan. BAHAN AJAR KURIKULUM 2013 Bahan ajar merupakan faktor penting yang berpengaruh dalam pendidikan. Bahan ajar diartikan sebagai bahan baik informasi, alat, maupun teks yang disusun secara sistematis yang menampilkan sosok utuh dari kompetensi yang akan dikuasai dalam kegiatan pembelajaran dan digunakan dalam proses pembelajaran Prastowo (2014:138). Jenis-jenis bahan ajar menurut Amri (2013:60) adalah sebagai berikut. (a) fakta: segala hal yang berwujud kenyataan dan kebenaran meliputi nama objek, peristiwa sejarah, lambang, nama tempat, nama orang, nama bagian atau komponen suatu benda. (b) konsep: sesuatu yang berwujud pengertian-pengertian baru yang timbul dari pemikiran meliputi definisi, pengertin, ciri khusus, hakikat, inti/isi. (c) prinsip: hal pokok yang memiliki posisi penting meliputi dalil, rumus, adagium, postulat, paradigma, teorema dan hubungan antar konsep yang menggambarkan implikasi sebab-akibat. (d) prosedur: merupakan langkah-langkah sistematis suatu aktivitas. (e) sikap atau nilai: hasil belajar dari aspek sikap misalnya nilai kejujuran, kasih sayang, dan tolong menolong. Bahan ajar yang akan dibahas dalam makalah ini adalah bahan ajar yang bersifat fakta yang ada dalm buku penerbit erlangga dan yudhistira. PEMERTAHANAN BAHASA DALAM KAJIAN BAHAN AJAR EKOLINGUISTIK Data yang di dapat dari buku paket Erlangga dan Yudhistira kelas 1, 2, dan 3 Erlangga kelas 1,2 dan 3
Yudhistira kelas 1,2,dan 3
Kosasih (2013:79) upacara grebek (sesaji menghadirkan kata ubarampe = barang, udik-udik= sesaji) Kosasih (2014:202) teks yang berisi kata simbok. Kosasih (2014:66) menghadirkan gambar tokoh dengan menggunakan baju adat jawa, jarik, kebaya.
Setiarini & Artini (2013:34) Bekantan dan anggrek. Setriarini & Artini (2013:36) Bunga bangkai. Setriarini & Artini (2013:39) Harimau sumatera, anoa, rangkong Setriarini & Atrini (2013:40) Jalak Bali Setriarini & Atrini (2013:41) Kangguru papua.
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
53
Kosasih (2014:77) menghadirkan gambar Setriarini & Atrini (2013:47): gajah sumatera tokoh dengan menggunakan baju adat betawi Setriarini & Atrini (2013:88) cerita gorila takut singa Kosasih (2014:78) Setriarini & Atrini (2013:106) teks laporan puisi tentang pesindhen: menggunakan kata, Gunung daik timang-timangan tembang=lagu, pepasren=penghias, Tempat kera berulang kali Budi yang baik kenang-kenangan Setriarini & Atrini (2014: 89) Budi yang jahat buang sekali Taman melati di rumah-rumah Ubur-ubur sampingan dua Kalau ada kembang yang baru Kalau mati kita bersama Bunga kenanga dikupas jangan Satu kubur kita berdua Kalau ada sahabat yang baru Sahabat lama dibuang jangan Setriarini & Atrini (2014:102) Kalau keladi sudah ditanam Obat-obatan dijual di perigi Jangan lagi meminta talas Berjual beli harus di kedokteran Kalau budi sudah ditanam Persahabatan biar berjalan abadi Jangan lagi meminta balas Silahturahmi terus kita jalankan Setriarini & Atrini (2014:91) Kosasih (2014:81) Pucuk pauh delima batu Sarang garuda di pohon beringin Anak sembilang di tapak tangan Buah kemuning didalam puan Biar jauh di negri satu Sepucuk surat dilayangkan angin Hilang di mata di hati jangan. Putih kuning sambutlah tuan Setriarini & Atrini (2014:97) Buah kemuning di dalam puan Angsana berpucuk di atas batu Dibawa dari indragiri Pucuk digangsa beribu-ribuan Putih kuning sambutlah tuan Ada bunga di naung batu Sambutlah dengan sitangan kiri Kuntumnya kaca tangkainya embun Bunga enau kembang belukar Bunga malu penuh berduri Setriarini & Atrini (2014:98) Kalau kamu memang pintar Ada sebiji roda pedati Buah apa kulitnya berduri Bentuknya bulat dari pada besi Bila bermain diikat sekuat hati Kosasih (2014:101): Dilempar hidup dipegang mati Buah pinang buah belimbing Ketiga dengan buah mangga Setriarini & Atrini (2015:21) Sungguh senang beristri sumbing Hal teks wayang kulit Biar marah tertawa juga Dalang = orang yang bercerita, pesinden= orang yang menyanyikan lagu Bunga kenanga di atas kubur Pucuk sari pandan jawa Apa guna sombong dan tak kabur Rusak hati badan binasa
Asam kandis asam gelugur Ketiga asam riang-riang Menangis mayat di pintu kubur Teringat badan tidak sembayang Dari mana datangnya lintah Dari sawah turun ke kali Dari mana datangnya cinta
54
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
Dari mata turun ke hati Bunga mawar tangkai berduri Salak markisa dibuatkan cendol Aku tersenyum malu sekali Banyak bicara tapi ulangan nol Kosasih (2015:55) Dalam teks “Hari ini Hari Kemerdekaan” Terdapat kata mas, neagan, saha, kang, aya, teu, jeung, bapana, naon. Kosasih (2015:263) menghadirkan kata datok. Dari data yang diperoleh disimpulkan pemertahanan bahasa yang dilakukan dalam bahan ajar oleh penerbit Erlangga dan penerbit Yudhistira ada dua yaitu bahan ajar yang bersifat fakta dan konsep. Fakta yaitu segala hal yang berwujud kenyataan dan kebenaran meliputi nama hewan dan tumbuhan. Konsep yaitu sesuatu yang berwujud pengertian-pengertian baru yang timbul dari pemikiran meliputi ciri khusus hewan dan tumbuhan. Dari data yang dilihat dalam buku paket Erlangga dan Yudhistira diketahui bahwa buku paket Erlangga cenderung menggunakan pemertahanan bahasa dengan menghadirkan bahasa-bahasa daerah dalam teks sedangkan buku paket Yudhistira cenderung menghadirkan pemertahanan bahasa terhadap hewan dan tumbuhan yang hampir punah dengan gambar-gambar. Data dalam buku paket Erlangga dan Yudhistira dikelompokan menjadi pemertahanan bahasa yang dilakukan dalam bahasa daerah dalam bahan ajar, pemertahanan bahasa indonesia terhadap tumbuhan dan tanaman langka dalam bahan ajar, dan pemertahanan bahasa yang dilakukan dengan memasukan nama makhluk hidup dalam bahan ajar. PEMERTAHANAN BAHASA DAERAH DALAM BAHAN AJAR Indonesia memiliki lima pulau besar yaitu Jawa, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Papua. Lima pulau besar ini menghadirkan bahasa daerah yang berbeda-beda. Dari kelima pulau tersebut bahasa yang memiliki jumlah penutur terbanyak adalah Jawa. Bahasa jawa merupakan bahasa dengan jumlah kata terbanyak. Bahasa yang sampai saat ini masih bertahan pun merupakan bahasa jawa karena masih banyak masyarakat Jawa yang menggunakan bahasa Jawa dalam kegiatan sehari-hari yang dapat juga ditemukan di sekolah maupun pada pelaksanaan upacara khusus di keraton. Penggunaan Bahasa Jawa yang masih banyak ini juga tercermin dari hasil yang ditemukan dalam buku paket yaitu hadirnya kata-kata dalam bahasa Jawa dari teks-teks yang dihadirkan dalam buku Erlangga dan Yudhistira seperti kata simbok dalam bahasa Indonessia berarti ibu, ubarampe dalam bahasa Indonesia berarti barang, udik-udik dalam bahasa Indonesia berarti sesaji, tembang dalam bahasa Indonesia berarti lagu, pepasren dalam bahasa Indonesia berarti penghias, dalang dalam bahasa Indonesia berarti orang yang membawakan cerita, pesinden dalam bahasa Indonesia berarti orang yang menyanyikan lagu, mas dalam bahasa Indonesia berarti saudara laki-laki, saha dalam bahasa Indonesia berarti siapa, kang dalam bahasa Indonesia berarti saudara laki-laki, aya dalam bahasa Indonesia berarti ada, teu dalam bahasa Indonesia berarti tidak, bapana dalam bahasa Indonesia berarti bapaknya, naon dalam bahasa Indonesia berarti apa. Kata-kata yang dicetak miring merupakan kata yang berasal dari teks deskripsi dan cerita. Kata yang dicetak miring menunjukan bahwa pengguna bahasa jawa masih banyak sehingga hadir dalam berbagai teks. Buku paket Erlangga dan Yudhistira menghadirkan bahasa Jawa untuk mempertahankan bahasa Jawa dan mengenalkan budaya Jawa dengan menampilkan pakaian adat Jawa dan menceritakan upacara adat di Jawa.
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
55
PEMERTAHANAN BAHASA INDONESIA TERHADAP TUMBUHAN DAN TANAMAN LANGKA DALAM BAHAN AJAR Kasus penebangan hutan yang telah dibicarkan sejak dulu kurang ditanggapi oleh masyarakat sehingga masih saja opnum-opnum tertentu melakukan penebangan liar. Penebangan liar ini membuat makhluk hidup yang tinggal di hutan tidak memiliki tempat tinggal. Hewan yang tidak memiliki tempat tinggal ini ada yang mati dan ada juga yang di bunuh oleh pemburu untuk dijual. Hal ini membuat hewan tersebut menjadi langka. Hewan dan tumbuhan yang langka tersebut diantaranya adalah bekantan, anoa, rangkong, harimau sumatera, jalak bali, kangguru papua, gajah sumatera, dan bunga bangkai. Hewan dan tumbuhan yang langka ini jika tidak dijaga dengan baik dapat punah. Kepunahan hewan dan tumbuhan ini secara tidak langsung juga berpengaruh pada bahasa. Bahasa dalam kajian linguistik dijadikan simbol atas segala yang ada dimuka bumi. Dengan punahnya tumbuhan atau hewan tertentu maka simbol hewan dan tumbuhan tersebut menjadi jarang digunakan. Ketika bahasa sebagai simbol jarang digunakan maka lama-kelamaan bahasa yang bertugas sebagai simbol dari lingkungan akan menjadi punah. Buku paket Erlangga dan Yudhistira menghadirkan gambargambar hewan dan tumbuhan yang sudah langka, tujuan penghadiran gambar-gambar hewan dan tumbuhan merupakan bentuk mempertahankan bahasa yang ada agar tetap digunakan oleh generasi muda. PEMERTAHANAN BAHASA YANG DILAKUKAN DENGAN MEMASUKAN SIMBOL MAKHLUK HIDUP Dalam kajian ekolinguistik, bahasa digunakan sebagai simbol terhadap berbagai hal yang ada di lingkungan. Lingkungan ada dua yaitu lingkungan fisik dan ragawi. Lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan fisik terkait flora dan fauna. Buku paket Erlangga dan Yudhistira menghadirkan bahan ajar yang memasukan hewan dan tumbuhan pada puisi dan pantun. Sayuti (Miharja, 2012:18) mengatakan puisi merupakan pengucapan bahasa yang memperhitungkan adanya aspek-aspek bunyi di dalamnya yang mengungkapkan pengalaman imajinatif, emosional, dan intelektual penyair yang ditimba dari kehidupan individu dan sosial. Pantun merupakan bentuk puisi Indonesia (Melayu), tiap bait (kuplet) terdiri dari empat baris, bersajak (a-b-a-b), tiap larik terdiri atas empat kata, baris pertama dan baris kedua biasanya tumpuan (sampiran) dan baris ketiga dan keempat merupakan isi (KBBI). Selain menggunakan bahasa nasional, pantun juga biasa dituliskan dengan menggunakan bahasa daerah. Pantun dituliskan dengan dengan beberapa tujuan sehingga pantun terdiri atas beberapa jenis misalnya pantun nasehat, pantun anak, pantun agama, pantun jenaka, pantun adat, bahkan pantun kepahlawanan. Pantun dan puisi cenderung memperhatikan keindahan kata. Sehingga tidak jarang dalam pantun dan puisi ditemukan kata-kata yang berhubungan dengan flora dan fauna. Contoh pantun dan puisis yang menggunakan simpiran tentang lingkungan fisik misalnya ada fauna, flora, dan daratan tinggi menghadirkan kata gunung, kera, kembang, bunga kenanga, garuda, buah kemuning, melati, keladi, delima, bunga enau, asam kandis, dan lintah. Dalam pantun juga ada yang menghadirkan kata angsana, digangsa, pedati, dan puan. Kata angsana, digangsa, pedati, dan puan merupakan kata-kata yang jarang digunakan dalam berkomunikasi sehari-hari. Dengan menggunakan kata-kata tersebut dalam pantun maka penerbit buku Erlangga dan Yudhistira menjaga bahasa Indonesia agar tetap bertahan dan digunakan dalam masyarakat. SIMPULAN Bahasa bertahan jika bahasa tersebut memiliki penutur dan tetap digunakan oleh masyarakat penuturnya. Buku paket Erlangga dan Yudhistira menghadirkan pemertahanan bahasa dengan tujuan mengingatkan kita bahwa ada berbagai kata yang hampir punah. Punahnya bahasa tersebut disebabkan oleh punahnya hewan dan tumbuhan yang langka, jarangnya bahasa digunakan dan masyarakat penuturnya hilang. Sebegai penutur bahasa Indonesia maupun bahasa daerah maka wajiblah kita menjaga dan melestarikan bahasa yang kita miliki kepada generasi selanjutnya dengan menggunakan bahasa daerah dan Indonesia sesuai konteks.
56
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
DAFTAR RUJUKAN Amri, Sofan. 2013. Pengembangan dan Model Pembelajaran dalam Kurikulum 2013. Jakarta: Prestasi Pustaka. Engkos, Kosasih. 2013. Cerdas Berbahasa Indonesia: Untuk SMA/MA Kelas X. Jakarta: Erlangga. Engkos, Kosasih. 2014. Cerdas Berbahasa Indonesia: Untuk SMA/MA Kelas XI. Jakarta: Erlangga. Engkos, Kosasih. 2015. Cerdas Berbahasa Indonesia: Untuk SMA/MA Kelas XII. Jakarta: Erlangga. Haugen, Einer. 1972. The Ecology Of Language. England:Oxford University Press. Muhlhausler, Peter dan Fill, Alwi. 2003. The Ecolinguistics Reader: Language, Ecology, and Environtment. London and Newyork: Continum. Tondo, Fanny Henry. 2009. Kepunahan Bahasa-Bahasa Daerah: Faktor Penyebab dan Implikasi Etnolinguistis. Jurnal Masyarakat & Budaya. Vol 11. No.2. Prastowo, Andi. 2014. Pengembangan Bahan Ajar Tematik: Tinjauan Teoritis dan Praktik. Jakarta: Prenadamedia Group. Setriarini, Indah Wukir, & Artini, MG Santi. 2013.Cakap Berbahasa Indonesia: SMA Kelas X. Bogor: Yudhistira. Setriarini, Indah Wukir, & Artini, MG Santi. 2014.Cakap Berbahasa Indonesia: SMA Kelas XI. Bogor: Yudhistira. Setriarini, Indah Wukir, & Artini, MG Santi. 2015.Cakap Berbahasa Indonesia: SMA Kelas XII. Bogor: Yudhistira.
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
57
KETIDAKEFEKTIFAN KALIMAT DALAM MAKALAH MAHASISWA PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA SEMESTER IV KELAS A UNIVERSITAS SANATA DHARMA TAHUN AJARAN 2015/2016 Cicilia Nian Erika 151232008 Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Abstrak Pembelajaran menulis di era global dalam kelas membutuhkan pemantauan. Hal ini masih tercermin dari adanya kesalahan dalam penulisan makalah mahasiswa, bahkan mahasiswa Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia. Kesalahan yang sering terjadi adalah penulisan yang tidak menggunakan standar Ejaan Yang Disempurnakan. Selain itu, kesalahan yang juga sering terjadi adalah ketidakefektifan penulisan makalah. Ketidakefektifan ini tercermin dari penggunakan kata /dan/ berungkali dalam satu kalimat dan penggunaan kata hubung yang tidak sesuai. Kata Kunci: kesalahan ejaan, ketidakefektifan Abstract The learning to write in an era of global classroom requires monitoring. It is still reflected an error in the paper writing students, even students of Indonesian Literature Language Education. A frequent mistake is writing that does not use the standard spelling Enhanced. Additionally, an error that often occurs is the ineffectiveness of writing paper. This ineffectiveness is reflected in the use of words / dan / berungkali in one sentence and the use of conjunctions that do not fit. Keywords: spelling errors, ineffective PENDAHULUAN Penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam tuturan lisan memang lebih sulit diterapkan karena tuturan lisan lebih mengalir dan fleksibel sesuai dengan situasi tutur. Selain itu, apabila dalam tuturan lisan itu terjadi kesalahan, penutur dapat langsung meralat ucapannya kepada mitra tutur. Namun, ketika tuturan itu dituliskan, penutur (penulis) tulisan itu sudah seharusnya menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam tulisannya sesuai dengan kegunaan tulisan itu. Realita yang terjadi adalah banyak penulis yang kurang memperhatikan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Penulis beberapa masih menulis bahasa lisan mereka dalam bahasa tulis. Penulis tidak jarang yang melupakan kaidah penulisan yang sudah disarikan dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD terbaru tahun 2015). Selain itu, keefektifan dalam kalimat juga sering terlupakan saat menulis. Hal ini juga terjadi pada tulisan makalah mahasiswa Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia semester IV kelas A tahun ajaran 2015/2016. Tiga dari 10 makalah yang dianalisis membuktikan bahwa mahasiswa masih menulis sesuai dengan bahasa lisannya, melakukan kesalahan ejaan (tanda baca dan huruf), dan ketidakefektifan kalimat. Hal ini sangat disayangkan karena mahasiswa ini adalah calon pendidik, terutama pendidik mata pelajaran Bahasa Indonesia. KAJIAN TEORI Bahasa dalam makalah merupakan bahasa yang ilmiah. Terdapat tujuh ciri bahasa ilmiah adalah bernada formal, bernalar, dan objektif; penyampaian gagasan lugas, jelas, ringkas, tepat, dan tidak ambigu; umumnya menggunakan bentuk pasif dan tidak menggunakan kata ganti persona baik tunggal maupun jamak; hemat; berbentuk prosa eksposisi; kalimat dan paragraf tidak terlalu panjang; dan format penulisannya konsisten (Pedoman Penulisan Tesis dan Disertasi, dalam Amir, 451). Adapun menurut Moeliono (1998:161), terdapat lima ciri khas laras bahasa keilmuan, yaiut: cendekia, teliti, dan objektif; hubungan dan fungsi sintaksisnya nyata; paragraf saling berpautan dan kalimat saling bertalian; istilah yang digunakan tidak ambigu; dan diksi yang serasi, cermat,
58
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
dan tepat. Dari ciri-ciri yang telah diuraikan, dapat disimpulkan bahwa ciri bahasa yang ilmiah, yang digunakan dalam penulisan makalah adalah bernada formal, objektif, lugas, tidak ambigu, hemat, kohesi dan koherensi. Kalimat efektif adalah kalimat yang jelas, sesuai kaidah, ringkas, dan mudah dibaca Kalimat efektif pun memiliki ketentuan, yaitu subjek tidak didahului preposisi, tidak terdapat subjek ganda, kada /sedangkan/ dan /sehingga/ tidak digunakan dalam kalimat tunggal, predikat kalimat tidak didahului kata /yang/, unsur rincian sejajar atau paralel, tidak terjadi pengulangan subjek, subjek yang tidak sama dalam induk kalimat dan dalam anak kalimat harus eksplisit, konjungsi penanda anak kalimat dinyatakan secara eksplisit, pemakaian kata hemat, urutan kata tepat, predikat-objek tidak tersisipi, dan tidak menggunakan konjungsi yang bertentangan (Arifin, 1991:85). Moeliono (1998:162) mengungkapkan empat ciri kalimat efektif, yaitu keutuhan ditandai dengan kesatuan logika yang berkaitan; perpautan dengan memperhatikan penggunaan kata ganti, kesejajaran gagasan dan isi kalimat tetap dipertahankan, meskipun sudut pandang berbeda; penempatan fokus; dan kehematan. Alwi (2001:40—48) menambahkan mengenai kalimat efektif disertai pembahasan dengan contohnya masing-masing. Kalimat efektif adalah kalimat yang maksud dan isinya tersampaikan secara lengkap kepada pembaca atau mitra tutur karena adanya kesepahaman antara penulis atau si penutur dan pembawa atau mitra tutur. Ketetapan kalimat efektif memang sudah ditetapkan dalam penulisan karya tulis. Namun menurut Darwin (dalam Amir, 452), sejauh ini masih terlihat dengan nyata bahwa kemampuan menggunakan atau menyusun kalimat efektif dalam karya tulis, terutama penulisan penelitian masih sangat rendah. Hal ini terbukti dari munculnya kalimat yang tidak bernalar, baik karena struktur atau susunanya yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah ketatabahasan maupun karena diksi atau pilihan kata yang tidak tepan, bahkan terdapat pula gejala-gejala kesalahan ejaan. PEMBAHASAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tiga dari sepuluh makalah pendekatan pembelajaran oleh mahasiswa Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia semester IV kelas A Universitas Sanata Dharma, ditemukan beberapa kalimat yang kurang efektif ditinjau dari segi kesejajaran bentuk dan kehematan. Data kesejajaran dan kehematan ditampilkan dalam pembahasan untuk dijadikan gambaran penggunaan kalimat pada beberapa makalah yang membutuhkan perhatian pemerhati bahasa. Data penelitian ini ditinjau kesejajaranya meliputi kesejajaran unsur, kesejajaran pasangan konjungsi, dan kesejajaran penyusunan kalimat. Data penelitian ditinjau kehematannya meliputi penggunaan kata dan kalimat yang berlebihan dan penggunaan konjungsi yang serentak. Data (PAI 1) Selanjutnya, PAIKEM dapat didefinisikan sebagai suatu pendekatan mengajar dengan menggunakan metode pembelajaran dan media pengajaran yang sesuai dan disertai penataan lingkungan sedemikian rupa sehingga proses pembelajaran menjadi aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan. Perbaikan PAIKEM dapat didefinisikan sebagai suatu pendekatan mengajar dengan menggunakan metode pembelajaran dan media pengajaran yang sesuai. Selain itu, pendekatan ini disertai penataan lingkungan sedemikian rupa, sehingga proses pembelajaran menjadi aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Penjelasan Kata /selanjutnya/ dihilangkan karena kata ini merupakan kata penghubung atau konjungsi, padahal kalimat efektif itu tidak memperkenankan di awal kalimat, sebelum subjek. Lalu kalimat PAI 1 terlalu panjang. Hal ini tidak memenuhi ciri kalimat efektif, yaitu hemat. Maka dari itu, kalimat itu saya ubah menjadi dua kalimat dengan memisahkan dengan kata /selain itu, pendekatan ini/. Kesalahan yang sering muncul juga adalah penulisan tanda baca, terutama tanda koma (,). Data (PAI 2) Selain itu, PAIKEM juga memungkinkan siswa melakukan kegiatan beragam untuk mengembangkan karakter dalam bersikap, mengembangkan pemahaman, dan keterampilannya sendiri secara benar dan tanggung jawab.
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
59
Perbaikan Selain itu, PAIKEM memungkinkan siswa melakukan kegiatan beragam untuk mengembangkan karakter dalam bersikap, mengembangkan pemahaman, dan mengembangkan keterampilannya sendiri secara benar dan tanggung jawab. Penjelasan Dalam penulisan pemerian kata dalam satu kalimat harus dibuat sama di setiap kata yang akan diberi imbuhan. Misalnya adalah pemberian imbuhan /me-/, ... menari, menyanyi, dan menulis. Dalam kalimat PAI 2, setelah kata /dan/ langsung dituliskan kata /keterampilannya/, padahal pada di depan kata itu terdapat dua kata yang mendapat awalan /me-/, yaitu mengembangkan. Data (PAI 3) Seiring dengan pengembangan filsafat konstruktivisme dalam pendidikan selama dekade ini, muncul pemikiran kritis merenovasi pembelajaran bagi anak bangsa negeri ini menuju pembelajaran yang berkualitas, humanis, organis, dinamis, dan konstuktif. Perbaikan Seiring dengan pengembangan filsafat konstruktivisme dalam pendidikan selama dekade ini, pemikiran kritis muncul untuk merenovasi pembelajaran bagi anak bangsa negeri ini menuju pembelajaran yang memiliki kualitas, humanis, organis, dinamis, dan konstuktif. Penjelasan Dalam kalimat PAI 3 seharusnya kata keterangan mendahului subjek, tetapi setelah kata keterangan tidak diikuti dengan subjek, tetapi kata /muncul/ yang merupakan kata kerja. Maka dari itu, kata /muncul/ diletakkan setelah subjek dan menduduki predikat. Lalu, penulisan pemerian kata dalam satu kalimat harus dibuat sama di setiap kata. Apabila hanya kata dasar saja, tuliskan semua dengan kata dasar. Oleh sebab itu, kata berkualitas diubah menjadi memiliki kualitas. Data (PAI 4) Aktif, pembelajaran harus menumbuhkan suasana sedemikian rupa sehingga peserta didik aktif bertanya, mempertanyakan, dan mengemukakan gagasan. Perbaikan Aktif, pembelajaran harus menumbuhkan suasana sedemikian rupa, sehingga peserta didik aktif bertanya. Selain itu, peserta didik juga aktif mempertanyakan dan mengemukakan gagasan. Penjelasan Kalimat PAI 4 dijadikan dua kalimat karena ketika pemerian itu dijadikan satu atau disamakan imbuhannya akan mengecohkan maksud dari kalimat dan kata /bertanya/ memiliki makna yang berbeda dengan /mempertanyakan/. Bertanya itu berarti memberikan pertanyaan, sedangkan mempertanyakan itu berarti saling bertanya. Lalu, tanda koma setelah kata mempertanyakan dihapus karena hanya terdiri dari dua kata pemerian saja. Data (PAI 5) Teknik ini merupakan teknik yang mudah untuk dilakukan dan dapat dipakai untuk mengetahui kebutuhan dan harapan siswa. Perbaikan Teknik ini merupakan teknik yang mudah dilakukan. Selain itu, teknik ini dapat dipakai untuk mengetahui kebutuhan dan harapan siswa. Penjelasan Penambahan frasa /selain itu, teknik ini/ digunakan untuk menghindari pengulangan kata /dan/ dalam kalimat. Data (KOM 1) Berdasarkan teori tersebut, maka tujuan pembelajaran bahasa dirumuskan sebagai ikhtisar untuk mengembangkan kemampuan yang oleh Hymes (1972) disebut kompetensi komunikatif. Perbaikan Berdasarkan teori tersebut, tujuan pembelajaran bahasa dirumuskan sebagai ikhtisar untuk mengembangkan kemampuan yang oleh Hymes (1972) disebut kompetensi komunikatif. Penjelasan Penghilangan konjungsi /maka/ dikarenakan munculnya kata /maka/ setelah kata rujukan /tersebut/ tidak efektif.
60
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
Data (KOM 2) Ini melibatkan aspek kognitif maupun behavioral. Perbaikan Teori ini melibatkan beberapa aspek, baik kaspek kognitif maupun behavioral. Penjelasan Penambahan kata /teori/ ini dimaksudkan untuk menegaskan lagi kata rujukan /ini/ agar tidak rancu. Selain itu, penggunakan konjungsi pasangan /baik ... maupun/ yang tepat adalah seperti perbaikan di atas. Data (KOM 3) Dengan demikian siswa akan mampu bercerita, menanggapi masalah, dan mengungkapkan pendapatnya secara lisan dengan bahasa yang runtut dan mudah dipahami. Perbaikan Dengan demikian, siswa akan mampu menceritakan, menanggapi masalah, dan mengungkapkan pendapatnya secara lisan dengan bahasa yang runtut dan mudah dipahami. Penjelasan Dalam penulisan pemerian kata dalam satu kalimat harus dibuat sama di setiap kata yang akan diberi imbuhan. Dalam kalimat KOM 3 penulisan /bercerita/ diubah menjadi /menceritakan/ dengan tujuan menyamakan imbuhan dalam pemerian kata dalam kalimat. Data (KOM 4) Hal ini terutama menyebabkan orang melihat bahwa bahasa tidak terbatas pada tata bahasa dan kosataka, tetapi juga pada fungsi komunikasi bahasa. Perbaikan Hal ini terutama menyebabkan orang melihat bahwa bahasa tidak hanya terbatas pada tata bahasa dan kosataka, tetapi juga pada fungsi komunikasi bahasa. Penjelasan Penggunaan konjungsi berpasangan yang tepat adalah sesuai dengan perbaikan kalimat KOM 4. Jika menggunakan konjungsi pasangan /tetapi juga/, pasangan konjungsi ini adalah /tidak hanya/. Data (KOM 5) Tampak bahwa bahasa tidak hanya dipandang sebagai seperangkat kaidah, tetapi sebagai sarana untuk berkomunikasi. Perbaikan Tampak bahwa bahasa tidak hanya dipandang sebagai seperangkat kaidah, tetapi juga sebagai sarana untuk berkomunikasi. Penjelasan Penggunaan konjungsi berpasangan yang tepat adalah sesuai dengan perbaikan kalimat KOM 4. Jika menggunakan konjungsi pasangan /tidak hanya/, pasangan konjungsi ini adalah /tetapi juga/. Data (KOM 6) Penyampaian gambaran umum mengenai dapat dilakukan dengan menyajikan foto-foto, gambar dalam majalah, maupun ilustrasi lain yang terkait dengan topik teks. Perbaikan Penyampaian gambaran umum dapat dilakukan baik dengan menyajikan foto-foto, gambar dalam majalah, maupun ilustrasi lain yang terkait dengan topik teks. Penjelasan Penghipusan kata /mengenai/ dilakukan karena kehadiran kata itu merusak atau mengganggu pemahaman pembaca atau mitra tutur. Selain itu, penggunakan konjungsi pasangan /baik ... maupun/ yang tepat adalah seperti perbaikan di atas. Data (KOM 7) Tahap ini bertujuan untuk mengaktifkan skemata siswa, yakni latar belakang pengetahuan dan pengalamannya, dan kemudian menghubungkannya dengan topik dalam teks. Perbaikan Tahap ini bertujuan mengaktifkan skemata siswa, yakni latar belakang pengetahuan dan pengalamannya. Selain itu, bertujuan menghubungkannya dengan topik dalam teks. PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
61
Penjelasan Kata /untuk/ setelah kata /bertujuan/ dihapus karena sama saja mengulang maksud kata /bertujuan/. Lalu, kalimat KOM 7 dijadikan dua kalimat untuk menghindari kesalahan penulisan pemerian dengan imbuhan. Data (KOM 8) Pada tahap ini, guru akan mampu untuk mendeteksi jenis-jenis skema siswa yang akan belum dimiliki atau yang sudah dimiliki atau yang sudah dimiliki, namun masih terbatas. Perbaikan Pada tahap ini, guru akan mampu mendeteksi jenis-jenis skema siswa yang belum dimiliki atau yang sudah dimiliki, tetapi masih terbatas. Penjelasan Penghapusan kata /untuk/ setelah kata /mampu/ karena hanya menegaskan kata /mampu/. Penghapusan kata /akan/ sebelum frasa /belum dimiliki/ karena menghindari kerancuan. Selain itu, penghapusan frasa /yang sudah dimiliki/ karena ini hanya mengulang kata yang tidak efektif. Lalu, pengubahan konjungsi antarkalimat bermakna pertentangan /namun/ menjadi konjungsi intrakalimat bermakna pertangan /tetapi/ dilakukan karena kegunaan konjungsi pertentangan di atas untuk intrakalimat, bukan antarkalimat. Data (KOM 9) Selanjutnya, ada tiga tipe aktivitas membaca yang dilakukan, yakni skemming, scening, dan membaca intensif. Perbaikan Selanjutnya, ada tiga tipe aktivitas membaca yang dilakukan, yakni membaca skemming, membaca scening, dan membaca intensif. Penjelasan Dalam penulisan pemerian kata dalam satu kalimat harus dibuat sama di setiap kata. Data (AUD 1) Metode Audiolingual adalah suatu metode yang banyak melakukan praktek-praktek dan latihanlatihan dalam berbahasa baik dalam bentuk dialog, kotbah, dan lain sebagainya yang diharapkan para siswa bisa berbicara seperti pemilik bahasa itu sendiri. Perbaikan Metode audiolingual adalah suatu metode yang banyak melakukan praktik-praktik dan latihanlatihan dalam berbahasa baik dalam bentuk dialog maupun kotbah yang mengharapkan para siswa bisa berbicara seperti pemilik bahasa itu sendiri. Penjelasan Huruf kapital pada kata /audiolingual/ itu tidak tepat karena tidak diunakan menuliskan judul. Kata /praktek/ yang benar penulisannya adalah /praktik/. Selain itu, penggunakan konjungsi pasangan /baik ... maupun/ yang tepat adalah seperti perbaikan di atas. PENUTUP Kesalahan dalam penulisan, terutama dalam penulisan karya tulis ilmiah, tentunya membutuhkan kejelian dalam proses penulisannya. Selain itu, kompetensi berkaitan dengan tulis-menulis juga sangat penting dimiliki oleh penulis dan calon penulis. Kompetensi itu dapat dipelajari secara mandiri dan kelompok. Penulis atau calon penulis dapat membaca berbagai referensi mengenai teknik penulisan karya tulis, terutama Ejaan Yang Disempurnakan Terbaru. Banyak hal yang dapat dipelajari untuk memantapkan pemahaman mengenai kompetensi tulis-menulis yang ada dalam berbagai referensi. Selain itu, penggunaan konjungsi juga harus lebih dipelajari agar hasil tulisannya dapat menggambarkan penggunaan yang baik dan benar sesuai dengan kaidah kebahasaan yang ada dalam bahasa Indonesia. Daftar Rujukan Alwi, Hasan. 2001. Kalimat. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Amir, Amriani. “Keefektifan Kalimat dalam Makalah Mahasiswa Nonreguler Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UNTAN”. Jurnal Visi Ilmu Pendidikan. Hlm. 445—478. Arifin, Zaenal. 1991. 1001 Kesalahan Berbahasa. Jakarta: Akademika Pressindo.
62
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
Moeliono, M. A. 1998. Bahasa Indonesia Menjelang Tahun 2000: Risalah Kongres Bahasa Indonesia VI. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
63
STRUKTUR WACANA TEKS SURAT DAKWAAN TINDAK HUKUM PIDANA Dwi Purnanto, Bakdal Ginanjar, Chattri Sigit Widyastuti, Hesti Widyastuti, dan Miftah Nugroho Prodi Sastra Indonesia, Universitas Sebelas Maret Jl. Ir. Sutami 36 A, Kentingan, Jebres, Surakarta
[email protected] HP. 085728052474
Abstrak Penelitian ini membahas permasalahan tentang bagaimana struktur wacana teks surat dakwaan tindak hukum pidana. Hal ini berpijak dari salah satu konsep wacana yang diambil dari asumsi kamus formalis, yakni sebagai “bahasa di atas kalimat atau klausa” (Language above the sentence or above the clause). Definisi tersebut mempunyai hubungan dengan analisis bahasa secara struktural: memfokuskan penempatan unit-unit yang berbeda sehingga unit-unit tersebut mempunyai fungsi secara fungsional dengan konteks yang mewadahi wacana tersebut. Data diperoleh dari persidangan tindak pidana di pengadilan negeri wilayah Surakarta. Pengumpulan data dilakukan dengan metode simak dan dilanjutkan dengan teknik catat. Data penelitian berbentuk teks dakwaaan hukum pidana. Analisis dilakukan dengan metode agih. Kata kunci: analisis wacana, struktur wacana, teks hukum pidana PENDAHULUAN Djatmika (2012:1) menyatakan bahwa teks hukum memiliki karakteristik yang berbeda dengan jenis teks yang lain. Dari aspek leksikal, hal tersebut dapat dicermati melalui penggunaan istilah teknis hukum yang khas dan tidak dipergunakan dalam jenis teks lain. Dalam aspek kalimat, teks hukum ditandai dengan penggunaan kalimat kompleks yang khas pula dan tidak ditemukan pada jenis teks lainnya. Karakteristik ini mengakibatkan anggapan banyak orang yang menengarai bahwa bahasa hukum berbeda dengan bahasa keseharian, baik lisan maupun tulisan. Sebuah teks memiliki fungsi dan tujuan tertentu. Fungsi dan tujuan yang dimaksud dipengaruhi oleh konteks yang melingkupi dalam penulisan teks. Untuk mewujudkan fungsi dan tujuannya, sebuah teks dibangun melalui tatanan struktur teks yang khas pula. Struktur teks dibangun dari unit-unit wacana yang lebih kecil dalam sebuah bangunan teks. Unit-unit dalam struktur teks hukum akan menjadi menarik untuk dikaji dan dianalisis dalam penelitian ini ketika dikaitkan dengan fungsi dan tujuan yang ingin dicapai melalui teks. Kecermatan dan kelengkapan dari unit-unit yang harus dihadirkan oleh pembuat teks hukum tindak pidana akan berpengaruh pada tercapai atau tidaknya fungsi dan tujuan teks. Berdasarkan hal-hal tersebut, rumusan masalah dalam tulisan ini adalah bagaimana struktur wacana teks surat dakwaan tindak pidana? Dari kajian dan analisis ini, akan dapat dideskripsikan struktur teks surat dakwaan tindak pidana sekaligus unit-unit yang membangunnya untuk menuju tercapainya fungsi dan tujuan yang diinginkan. LANDASAN TEORI Wacana dapat dipandang dari sisi formal. Berpijak pada pendekatan formal, wacana berwujud kalimat-kalimat yang runtut dan utuh. Schiffrin (1997: 23) mendefinisikan wacana yang diambil dari asumsi kaum formalis, yakni sebagai bahasa di atas kalimat atau klausa. Definisi ini berhubungan erat dengan analisis bahasa secara struktural. Dalam analisis ini, fokus penempatan unit-unit yang berbeda dan saling berkaitan sehingga unit-unit tersebut memiliki fungsi secara fungsional sesuai dengan konteks yang mewadahi wacana tersebut. Pandangan di atas membawa konsekuensi pada metode analisis yang dilakukan. Hatch (1992: 291) menyatakan bahwa metode analisis wacana dapat dibagi atas tiga bagian: (1) mendeskripsikan struktur teks, (2) menunjukkan struktur teks sebagai akibat dari tujuan dan maksud penutur maupun penulisnya, dan (3) menunjukkan struktur sebagai pengembangan dari komunikasi yang terbentuk secara sosial dan kooperatif. Surat dakwaan merupakan satu bentuk jenis teks hukum yang memiliki karakteristik kebahasaan yang khas. Menurut Hamid dan Husein (1992) surat dakwaan adalah surat/akta yang diberi tanggal dan ditandatangani oleh penuntut umum, berisi uraian lengkap tentang identitas terdakwa, tindak pidana yang didakwakan yang dirumuskan secara cermat, jelas, dan lengkap, dengan cara mengaitkan perbuatan terdakwa dengan unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan, serta dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana dilakukan, yang disimpulkan dari penyidikan, untuk kemudian dijadikan dasar pemeriksaan sidang pengadilan.
64
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
METODE PENELITIAN Penelitian ini tergolong penelitian kualitatif deskriptif dalam linguistik. Data penelitian berbentuk teks surat dakwaan tindak hukum pidana. Data penelitian disediakan dengan metode simak melalui teknik catat. Metode agih digunakan untuk menganalisis data (Sudaryanto, 2015:31). Cara yang dilakukan adalah satuan wacana diperinci atau dikelompok-kelompokkan berdasarkan unit-unit wacana yang membangunnya sehingga menjadi satuan-satuan lingual yang lebih kecil. TEMUAN Berdasarkan analisis data, ditemukan bahwa secara urut teks surat dakwaan terstruktur dari unit-unit (1) judul dan nomor surat, (2) identitas terdakwa, (3) penahanan, (4) uraian tindak pidana, (5) penutup.
SURAT – DAKWAAN No.Reg.per, 36/SRKTA/Ep.1/02/2005
A. Terdakwa: Nama lengkap Tempat lahir Umur/tgl.lahir Jenis kelamin Kebangsaan Tempat tinggal
Agama Pekerjaan Pendidikan B. Penahanan: Penyidik
: SUPARNO als WIDODO. : Karanganyar. : 26 th / 15 Januari 1978. : Laki-laki. : Indonesia. : Kp. Sanggrahan Rt.3/3, Suruhkalang, Jaten, Karanganyar. : Islam. : Pengangguran. : SD.
: Rutan, 14-12-2004 s/d 0201-2005. Diperpanjang oleh Kajari : Rutan, 03-01-2005 s/d 1102-2005. Penuntut umum : Rutan, 03-02-2005 s/d 2202-2005. C. Dakwaan Bahwa ia terdakwa Suparno als. Widodo pada hari Senin tanggal 13 Desember 2004 + jam 02.00 WIB bertempat dipersewaan Play Station Heri Jl. Dr. rajiman No.378 Laweyan Surakarta atau ditempat lain masih Daerah Hukum Pengadilan Negeri Surakarta, mengambil barang berupa 7 (tujuh) yang seluruhnya atau sebagian adalah milik Heri Darma Setiawan atau orang lain milik terdakwa dengan maksud untuk memiliki dengan melawan hukum, dengan cara yaitu : Terdakwa mula-mula nongkrong di Jl. Slamet Riyadi Surakarta, setelah itu terdakwa berjalan sampai dipersewaan Play Station Heri di Baron melihat tempat persewaan Play Station Heri tersebut dalam keadaan sepi, terdakwa berhenti, terdakwa mendekati pintu persewaan Play Station lalu mencongkel pintu dengan tatah yang sudah dibawanya sehingga grendelnya rusak, setelah pintu dapat dibuka terdakwa masuk lalu mengambil dan (tujuh) buah Play Station yang berada di dalam rak TV, kemudian diangkut keluar lalu dimasukan ke dalam becak selanjutnya dibawa ke Gilingan untuk
Unit Wacana
Fungsi
No.
JUDUL DAN NOMOR SURAT IDENTITA S TERDAK WA
Menunjukkan jenis surat
1
Menunjukkan identitas pribadi terdakwa
2
PENAHAN AN
Memaparkan waktu, lama, dan tempat penahanan dalam bentuk tanggal, bulan, dan tahun serta menunjukkan pihak-pihak yang melakukan penahanan terhadap terdakwa
3
URAIAN TINDAK PIDANA
Menjabarkan tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana dilakukan, posisi para terdakwa apakah sebagai pelaku, bersama-sama, atau pembantu, jenis tindak pidana yang dilakukan terdakwa, cara melakukan tindak pidana, rumusan unsur-unsur pasal yang dilanggar/didak-wakan, unsur-unsur pasal yang dilanggar diformulasikan dengan perbuatan yang telah dilakukan
4
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
65
dijual di toko Sentral Game, sampai di depan toko Sentral Game, Play Station diturunkan, saat terdakwa menunggu toko tersebut buka, terdakwa ditangkap Polisi, barang berupa 7 (tujuh) Play Station disita sebagai barang bukti. Bahwa terdakwa untuk mengambil barang-barang tersebut tanpa izin dari pemiliknya. Perbuatan terdakwa melanggar pasal 363 (1) ke-3,5 KUHP. Surakarta, 17 Februari 2005. JAKSA PENUNTUT UMUM SRI TOMO JAKSA PRATAMA NIP. 230 011 150
PENUTUP
Menyatakan tempat, dan waktu pembuatan surat beserta kedudukan, nama, dan pangkat pembuat surat
5
Teks surat dakwaan hukum pidana di atas secara pokok terdiri atas lima unit wacana. Kelimanya bersifat wajib hadir. Kelima unit wacana meliputi JUDUL DAN NOMOR SURAT, IDENTITAS TERDAKWA, PENAHANAN, URAIAN TINDAK PIDANA, dan PENUTUP. Setiap unit wacana yang membangun teks dakwaan hukum pidana mempunyai kandungan makna fungsi yang berbeda sehingga tiaptiap unit diberi nama yang berbeda. Unit wacana yang pertama adalah judul dan nomor surat. Dengan membaca judul ini, pembaca atau pengguna teks ini kurang lebih akan mengetahui bahwa isi pokok teks ini berupa uraian dakwaan terhadap seseorang yang melakukan tindak hukum, khususnya hukum pidana. Dengan kata lain, unit wacana pertama memiliki fungsi menunjukkan jenis surat.Unit wacana yang kedua adalah identitas terdakwa. Unit ini diisi berbagai informasi tentang terdakwa yang meliputi nama lengkap, tempat lahir, umur/tangal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, pekerjaan, dan pendidikan. Unit ini difungsikan untuk menunjukkan identitas pribadi secara lengkap dari terdakwa. Unit wacana ketiga adalah penahanan. Unit ini berfungsi untuk memaparkan waktu, tempat, dan pihak-pihak yang melakukan penahanan atas terdakwa. Penyidikan ini digunakan sebagai dasar penyusunan surat dakwaan. Unit keempat merupakan tuangan atas rangkaian peristiwa tindak pidana yang terjadi. Oleh karena itu, unit ini disebut uraian tindak pidana. Fungsi unit ini adalah menjabarkan secara rinci tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana dilakukan, posisi para terdakwa apakah sebagai pelaku, bersama-sama, atau pembantu, jenis tindak pidana yang dilakukan terdakwa, cara melakukan tindak pidana, rumusan unsur-unsur pasal yang dilanggar/didakwakan, unsur-unsur pasal yang dilanggar diformulasikan dengan perbuatan yang telah dilakukan Uraian tindak pidana dinyatakan secara cermat, jelas, dan lengkap. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, cermat berarti ‘penuh minat (perhatian), seksama, teliti’; jelas berarti ‘terang, nyata, gamblang’; dan kata lengkap berarti ‘genap (tak ada kurangnya), komplit’. Ketiganya berkait dengan tindak pidana yang didakwakan Jaksa. Cermat dan tidaknya di dalam surat dakwaan akan berkait dengan adanya syarat formal dari tindak pidana yang didakwakan, tindak pidana yang diajukan sudah atau belum pernah diadili (pasal 76 KUHP), surat yang didakwakan belum kadaluwarsa (pasal 78 KUHP), apakah terdakwa dapat atau tidak dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini berkaitan dengan apakah perkara tersebut perlu atau tidak dilimpahakan ke pengadilan. Konsep jelas berkaitan dengan rumusan dalam dakwaan. Dalam arti, apakah semua unsur-unsur yang didakwakan dan perbuatan materiil yang dilakukan terdakwa sudah nyata (rumusan unsur-unsur delik sudah dipadukan dengan fakta (perbuatan materiil) (Marpaung, 1992: 325). Uraian secara lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan berkaitan dengan terpenuhinya semua unsur tindak pidana maupun perbuatan materiil yang didakwakan kepada terdakwa. Ketidaklengkapan salah satu unsur bisa mengakibatkan si terdakwa bisa bebas dari tuntutan. Butir 5 pasal 143 ayat (2) KUHAP yang menyangkut waktu dan tempat tindak pidana yang didakwakan merupakan unsur wajib dalam unit wacana surat dakwaan ini. Tidak adanya kedua hal itu dapat menyebabkan batalnya surat dakwaan. Waktu itu penting dalam kaitannya dengan pasal 1 KUHP yang berisi apakah telah ada aturan pidana yang dimaksud atau ada perubahan-perubahannya, berkaitan dengan dengan daluwarsa (pasal 78-82 KUHP) yang menunjukkan apakah surat dakwaan yang dibuat telah daluwarsa atau belum, berhubungan dengan keadaan yang meringankan atau memberatkan, misalnya, meringankan kalau masih di bawah umur (pasal 45 KUHP).Masalah tempat dilakukan tindak pidana dalam surat dakwaan akan
66
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
berkaitan dengan ruang lingkup berlakunya KUHP sebagaimana diatur pada pasal; 2 – 9 KUHP, kompetensi relatif dari PN sebagaimana diatur dalam pasal 84, 137, 148, dan 149 KUHP), dan unsur yang disyaratkan oleh delik, misalnya “di muka umum” sebagaimana tercantum pada pasal 154, 156, 160 KUHP. Unit wacana terakhir dinamakan unit penutup. Fungsi unit ini adalah menyatakani tempat dan waktu pembuatan surat, kedudukan, nama, dan pangkat pembuat surat yang disertai tanda tangan. PENUTUP Setiap teks memiliki tujuan dan fungsi tertentu. Hal itu bergantung pada bidang pekerjaan tententu dan para partisipan yang terlibat di dalamnya. Fungsi dan tujuan teks yang diinginkan akan tersusun dengan sistem, struktur, konstruksi kebahasaan, dan pemilihan leksis yang menjadi ciri khas dari pemakaian bahasa pada bidang pekerjaan yang bersangkutan. Sehubungan dengan hal tersebut, struktur teks surat dakwaan hukum pidana secara formal dibangun atas lima unit wacana. Tiap-tiap unit memiliki fungsi yang berbeda. DAFTAR PUSTAKA Djatmika. 2012. Perilaku Bahasa Indonesia di dalam Teks Kontrak dari Kaca Mata Linguistik Sistemik Fungsional. Surakarta: UNS Press. Hatch, Evelyn. 1992. Discourse and Language Education. Cambridge: Cambridge University Press. Marpaung, Leden. 1995. Proses Penanganan Perkara Pidana. Jakarta: Sinar Grafika. Schiffrin, Deborah. 1997. Approaches to Discourse. Oxford: Blackwell. Sudaryanto. 2015. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Tim Penyusun Kamus. 2010. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia. http//:googleweblight.com/?lite. Pengertian Surat Dakwaan. Diakses tanggal 2 Agustus 2016 pukul 09.00.
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
67
KAJIAN SEMANTIK DALAM SLOGANDI BAK TRUK DI JALAN PANTURA (BATANG – PEKALONGAN) Erwan Kustriyono dan Tri Hartantyo Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Pekalongan
[email protected] Abstrak Bahasa tulis dapat memunculkan banyak makna. Makna muncul karena adanya persepsi pembaca. Makna muncul dari gaya bahasa yang ada di bahasa tulis, salah satunya ada di slogan di bak truk di jalan Pantura. Artikel ini memiliki tujuan mengidentifikasi gaya bahasa pada slogan yang tertulis di bak truk, serta mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi munculnya gaya bahasa pada slogan di bak truk. Metode yang digunakan dalam artikel ini menggunakan deskriptif kualitatif dengan kajian semantik, sedangkan data diambil dari slogan di bak truk yang melintasi wilayah Kabupaten Batang dan Kota Pekalongan. Hasil analisis dalam artikel ini terdapat empat jenis gaya bahasa yang digunakan dalam slogan yang tertulis di bak truk, yaitu gaya bahasa pertentangan, perbandingan, penegasan dan sindiran. Sedangkan faktor yang mempengaruhinya adalah faktor penghasilan yang tidak besar, faktor lingkungan, faktor wilayah, faktor situasi dan kondisi kehidupan di jalan raya, faktor pendidikan, serta faktor kerinduan terhadap keluarga. Kata Kunci : semantik, gaya bahasa, dan slogan
PENDAHULUAN Lalu lintas di sepanjang Pantai Utara (Pantura) Pulau Jawa sangat padat dengan kendaraan yang beraneka ragam. Salah satu moda transportasi yang selalu mewarnai dan mengisi jalan sepanjang Pantura adalah truk. Kendaraan truk memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri, terutama truk memiliki bak di bagian belakang untuk memuat barang. Tempat untuk memuat barang (bak) yang ada di truk menjadi perhatian banyak pengguna jalan lain, serta menjadi hiburan tersendiri di tengah kepenatan di jalur Pantura karena ada tulisan yang unik dan menarik di bak tersebut. Berbagai slogan dan tulisan tersebut dapat dianalisis melalui kajian semantik. Kajian semantik dalam slogan yang ada di bak truk akan mendekati bahasa dengan pendekatan makna yang lebih mendalam. Dengan kajian tersebut diharapkan dapat membuka pandangan pembaca bahwa di bak truk tidak hanya tulisan slogan tanpa makna, namun memiliki makna yang lebih luas dan dalam yang ingin disampaikan seseorang kepada orang lain yang membaca slogan di bak truk tersebut. Bahasa tidak hanya mebahas tentang bahasa lisan saja, namun pemanfaatan dan penyampaian makna menggunakan bahasa tulis dalam kehidupan sehari-hari untuk mempengaruhi orang lain. Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbriter yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri. Bahasa lisan merupakan bentuk bahasa yang diungkapkan secara langsung menggunakan tutur kata secara lisan. Sedangkan bahasa bahasa tulis adalah bentuk bahasa yang memakai teks tertulis sebagai media perantaranya. Bahasa tulis biasanya mempunyai gaya bahasa yang menarik dan bervariasi dalam penggunaannya. Makna kata tersebut dapat dikaji melalui kajian semantik. Untuk memperkuat pengertian tentang makna atau semantik menurut Aminudin (dalam Suwandi 2011: 1) menjelaskan bahwa semantik yang semula berasal dari bahasa Yunani mempunyai makna ‘to signify’ (‘memaknai’). Makna merupakan istilah yang paling ambigu dan paling kontroversial dalam teori tentang bahasa. Di dalam ilmu semantik, satuan-satuan kebahasaan memiliki hubungan bentuk dan makna dengan satuan kebahasaan yang lain. Kajian tentang bahasa, dapat berwujud bahasa tulis dan bahasa lisan. Pada bahasa tulis muncul gaya bahasa dalam setiap penulisannya. Gaya bahasa tersebut juga terdapat dalam bak truk di jalur Pantura. Gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa yang memungkinkan kita dapat menilai pribadi, watak, dan kemampuan seseorang yang mempergunakan bahasa itu. Gaya bahasa digunakan dalam penulisan slogan karena slogan membutuhkan gaya bahasa yang menarik untuk dibaca. Slogan merupakan perkataan atau kalimat pendek yang menarik dan mudah diingat untuk menyampaikan sesuatu atau sebagai ekspresi sebuah ide atau tujuan. Slogan yang tertulis di bak truk merupakan salah satu contoh penulisan slogan yang menggunakan gaya bahasa menarik dan penuh dengan makna. Gaya bahasa yang ditampilkan dalam slogan tersebut sangat bervariasi dan menarik karena menyampaikan sesuatu yang berupa ekspresi diri penulisnya. Oleh karena itu, gaya bahasa dapat dibatasi sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas
68
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian pemakai bahasa seperti yang muncul pada slogan di bak truk. Slogan di bak truk menggunakan gaya bahasa yang beragam dan berisi ungkapan pikiran penulis atau bahkan sopir truk itu sendiri. Selain itu, gaya bahasa yang muncul dalam slogan yang tertulis di bak trukmempunyai perbedaan dengan slogan yang tertulis di papan reklame atau tempat umum lainnya. Bahasa dalam slogan di bak truk adalah bahasa-bahasa yang muncul secara spontan dari penulisnya, sehingga gaya bahasanya bisa baik dan tidak. Gaya bahasa yang digunakan bisa bersifat bahasa resmi, bahasa tak resmi, dan bahasa percakapan. Artikel ini akan difokuskan pada analisis gaya bahasa tulis dalam slogan di bak truk. Gaya bahasa yang unik dan menarik tersebut mempunyai makna yang beragam, baik itu makna yang bersifat baik dan makna yang tidak baik untuk dimengerti oleh khalayak umum dan lingkungan pendidikan pada khususnya. Contoh slogan sebagai berikut: Pulang Malu, Gak Pulang Rindu (1) Biar Hidupku di Atas Roda, Nyong Tetep Demen (2)
Slogan-slogan tersebut memiliki gaya bahasa yang menarik dan memiliki makna semantik. Terdapat tuturan “hidup di atas roda”. Kalimat tersebut hanya di pakai oleh sopir. Contoh lain,Biar Hidupku di Atas Roda, Nyong Tetep demen. Kalimat tersebut menggunakan gaya bahasa yang menarik dan pemilihan kata dari segi gaya bahasa tidak resmi. Slogan tersebut memiliki makna semantik yang dalambagiseorang pengemudi, walaupun mereka hidup di sepanjang jalan yang panas dan bertumpukan pada roda truk mereka, akan tetapi mereka merasa bangga dan menikmati pekerjaan itu. Analisis pada artikel ini membahas analisis semantik untuk mengetahui makna dan faktor apa saja yang mempengaruhi munculnya gaya bahasa dalam slogan yang tertulis di baktruk. Gaya bahasa slogan di bak truk yang menarik dan mempunyai makna tersirat menjadi bahan pertimbangan sebagai latar belakang penelitian yang akan dilaksanakan. KAJIAN PUSTAKA 1. Semantik
Kata semantik diturunkan dari kata Yunani semainein (‘bermakna’ atau ‘berarti’). Selain itu, satuan-satuan kebahasaan dimungkinkan memiliki berbagai makna. Kata putih memiliki hubungan dengan kata suci (Rohmadi, 2011: 19).Sejalan dengan Rohmadi, Ullmann (2011: 13) mengatakan bahwa bahasa dalam keadaannya yang abstrak (karena berada di dalam benak) tidak bisa langsung dicapai oleh pengamat tanpa melalui medium buatan seperti kamus dan buku tata bahasa. Sedangkan Chaer (2007: 287) berpendapat bahwa hakikat semantik digambarkan dalam bentuk segitiga makna yang mengacu pada bentuk, konsep, dan referen. Pada ilmu semantik, bahasa atau kata merupakan suatu unsur gramatikal yang dapat berdiri sendiri atau tidak. Maksudnya berdiri sendiri dengan mempunyai makna secara langsung tanpa diikuti kata lain seperti kata “pohon, meja, kursi”. Struktur semantik suatu bahasa bisa sangat kompleks dan rumit tergantung pada budaya yang melatarinya (Moeliono 2002:241). Hal ini dapat dipecahkan dengan adanya seperangkat sturktur semantik yang bersifat universal. Semantik mempunyai peran yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat pada umumnya. Objek semantik adalah bahasa dengan berbagai komponen dan tatarannya. Komponen bahasa adalah leksikon atau kosa kata dari bahasa tersebut, sedangkan tataran bahasa adalah fonologi dan gramatika atau tata bahasa yang mencakup tataran morfologi dan sintaksis. Dalam pembicaraan sintaksis lazim juga dibicarakan adanya tataran bawahan dari sintaksis, yaitu fungsi, kategori, dan peran (Suwandi, 2011: 10). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ruang lingkup studi semantik meliputi seluruh komponen dan tataran analisis bahasa. Dari beberapa pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa semantik merupakan sebuah cabang ilmu linguistik yang kajiannya berpusat pada sebuah kata atau bahasa untuk menemukan makna yang terkandung di dalamnya. 2. Gaya Bahasa Gaya bahasa dalam kajian semantik memiliki arti ciri khas, atau kekhasan dalam bahasa. Menurut Keraf (2007:112) gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style. Kata style diturunkan dari kata Latin slilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Keahlian menggunakan alat tersebut akan mempengaruhi jelas tidaknya tulisan pada lempengan tadi dan membuat tulisan menjadi indah, maka style berubah menjadi kemampuan PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
69
dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata secara indah. Dengan demikian, gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa. Gaya bahasa terbagi menjadi dua, yaitu gaya bahasa resmi dan gaya bahasa tidak resmi. Sedangkan pendapat lainnya mengungkapkan salah satu jenis gaya bahasa yaitu bahasa figuratif. Bahasa figuratif disebut juga makna kiasan. Berkaitan dengan penggunaan bahasa figuratif,Rahardi (2006: 87) mengungkapkan bahwa kata-kata tertentu, bentukbentuk kebahasaan tertentu, sering kali penuh dengan muatan arti atau makna, atau setidaknya bermakna penuh ketika didekatkan dengan kata dan bentuk lainnya. Dengan kata lain bahasa figuratif juga merupakan bahasa yang penuh dengan muatan arti ketika digunakan dengan kata lain. Pendapat lain diungkapkan oleh Chaer(2007: 33) bahasa dapat dikatakan juga sebagai sistem, artinya bahasa membentuk sebuah pola yang memiliki makna atau fungsi. Pemakaian gaya bahasa yang beragam dan bervariasi tentu memiliki keterkaitan dengan budaya masyarakat pemakainya (Rohmadi, 2011:36). Dengan demikian, maka gaya bahasa atau style dapat dibatasi sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). Gaya bahasa mempunyai hakikat sendiri yang perlu diperhatikan dalam penggunaannya, yaitu dengan memperhatikan sendi gaya bahasa, jenis-jenis gaya bahasa, gaya bahasa berdasarkan pilihan kata, gaya bahasa berdasarkan nada, berdasarkan strukturkalimat, dan berdasarkan makna langsung dan tidak langsung. Dengan demikian, gaya bahasa memungkinkan kita dapat menilai pribadi, watak, dan kemampuan seseorang yang mempergunakan bahasa itu. Sejalan dengan Rohmadi berkaitan dengan gaya bahasa atau style, Subroto (2011: 115) mengungkapkan bahwa gaya bahasa didalamnya juga akan mengandung unsur permajasan. Dari beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa sangat bervariasi sesuai dengan kreativitas penggunanya dan dalam gaya bahasa tersebut mempunyai ungkapan makna yang ingin disampaikan oleh penggunanya serta mengandung permajasan. 3. Slogan Slogan dapat diartikan sebagai sebuah kata-kata atau kalimat yang relatif pendek yang umumnya begitu menarik dan mudah untuk diingat yang digunakan untuk memberitahukan atau menyampaikan suatu informasi. Slogan juga memiliki pengertian sebagai sebuah moto atau frasa yang dipakai dalam berbagai macam konteks seperti politik, sosial, agama, komersial, dan lainnya sebagai ekpresi sebuah ide atau tujuan.Menurut Haryanta (2012:253) Slogan memiliki pengertian sebagai kata/kalimat pendek yang mempunyai arti yang menarik dan sering dengan bunyi yang menarik dan mudah diingat.Selain itu menurut Setyorini (2008:105) slogan adalah perkataan atau kalimat pendek yang menarik atau mencolok dan mudah diingat untuk memberitahukan sesuatu.Pada hakekatnya slogan bertujuan untuk mempengaruhi para pembaca. Dari pendapatpendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa slogan merupakan perkataan pendek yang mengandung arti dan mudah diingat juga menarik.Slogan digunakan untuk mempengaruhi pembaca, dan berfungsi sebagai kalimat yang digunakan untuk mempromosikan sesuatu. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif-kualitatif. Dengan kajian semantik. Dengan menggunakan metode deskriptif-kualitatif, berarti data-data yang dikumpulkan bukan angka, tetapi dapat berupa kata-kata atau gambar.
PEMBAHASAN Gaya bahasa slogan yang ada di bak truk mendapatkan hasil empat gaya bahasa. 1. Gaya Bahasa Pertentangan Gaya bahasa pertentangan adalah kata-kata kias yang menyatakan pertentangan yang dimaksud oleh penulis atau pembicara dalam memberikan pengaruh atau kesan kepada pembaca dan pendengar. Artikel ini mengambil contoh analisis satu slogan di bak truk yang menggunakan gaya bahasa pertentangan, berikut adalah pembahasannya.
BERSATU DI PANGKALAN BERSAING DI JALANAN (3)
Slogan pada data tersebut (3) menggunakan gaya bahasa pertentangan yaitu pada jenis majas paradoks. Pada slogan bersatu di pangkalan bersaing di jalanan menggunakan gaya bahasa pertentangan yang ditandai dengan kata bersatu dan bersaing. Kata bersatu berarti menjadi satu
70
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
atau menjadi satu, sedangkan bersaing berarti saling beradu atau saling memperebutkan suatu hal. Kedua kata tersebut merujuk pada persaingandijalanan, padahal faktanya belum tentu benar karena objek yang dimaksud adalah truk bukan kendaraan angkutan umum yang memang butuh mencari penumpang di jalan. Hal ini muncul karena kenyataan kerasnya hidup di jalanan. Makna yang ingin disampaikan adalah mereka tetap menjaga hubungan kekerabatan sebagai satu profesi, akan tetapi tetap profesional dalam bersaing di jalan untuk dapat mengantarkan barang yang dibawa dengan selamat dan tepat waktu. 2. Gaya Bahasa Perbandingan
Gaya bahasa perbandingan adalah kata kiasan yang menyatakan perbandingan dalam menciptakan kesan dan pengaruh kepada pembaca dan pendengar. Dalam artikel ini mengambil contoh analisi gaya bahasa perbandingan, berikut adalah pembahasannya. PUTUS CINTA SOAL BIASA, PUTUS REM MATI KITA (4) Slogan pada data di atas (4) menggunakan gaya bahasa perbandingan yaitu pada jenis majas metafora yang membandingkan dua benda secara singkat yang mempunyai sifat dan keadaan yang sama. Kata putus yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti tidak berhubungan atau tidak bersambung lagi karena terpotong menjadi pembanding pada kalimat tersebut. Penggunaan kata putus menjadi menarik karena disandingkan dengan kata cinta yang berarti sayang sekali atau sayang benar dan rem yang berarti salah satu alat yang dalam kendaraan yang berfungsi untuk menghentikan kendaraan tersebut. Slogan tersebut terlihat jelas membandingkan ketika putus cinta menjadi hal yang biasa saja, tetapi ketika putus rem maka akan dianggap sangat membahayakan bagi mereka karena tidak bisa menghentikan kendaraannya. Katakata putus cinta dan putus rem ini digunakan karena ingin mengungkapkan bahwa apabila mengalami putus cinta mereka merupakan hal biasa dan bukan suatu hal penting yang sangat mengecewakan. Berbanding terbalik dengan kata putus cinta, kalimat putus rem mati kita memang mempunyai makna yang sangat besar bagi sopir truk, karena hal tersebut memang merupakan kejadian yang bisa membahayakan bagi mereka apabila rem truk tidak berfungsi dengan baik. 3. Gaya Bahasa Penegasan
Gaya bahasa penegasan adalah kata-kata kias yang menyatakan penegasan untuk meningkatkan kesan dan pengaruh kepada pendengar dan pembaca. Berikut adalah pembahasannya. PERGI KARENA TUGAS, PULANG KARENA JANJI (5) Slogan pada data di atas (5) menggunakan gaya bahasa penegasan yaitu pada jenis majas repetisi. Kalimat slogan pergi karena tugas, pulang karena janji menunjukan gaya bahasa penegasan yang ditandai dengan pengulangan kata karena. Kata karena menegaskan sesuatu hal yang memang harus dilakukan. Faktor yang mempengaruhi munculnya gaya bahasa tersebut ialah tanggungjawab terhadap perkataan yang disampaikan. Makna yang ingin disampaikan adalah kewajiban harus diselesaikan dengan baik sesuai dengan tanggungjawab yang dimiliki. 4. Gaya Bahasa Sindiran Gaya bahasa sindiran merupakan kelompok majas yang mengungkapkan maksud atau gagasan dengan cara menyindir guna meningkatkan kesan dan makna kata terhadap pembaca. Pada artikel ini berikut ini salah satu analisis dan pembahasannya DEKAT KU SAYANG, JAUH KU TENDANG (6)
Slogan pada data tersebut (6) menggunakan gaya bahasa sindiran yaitu pada jenis majas sinisme. Slogan dekat ku sayang, jauh kutendang ini mempunyai maksud sindiran ketidakikhlasan hati yang menyindir secara langsung dimana apabila dekat ku sayang maka apabila jauh ku tendang. Kalimat tersebut muncul karena ingin menegaskan bahwa betapa pentingnya sebuah kata sayang yang tidak bisa diucapkan saja tetapi harus ada perwujudan yang nyata. Makna dari dekat ku sayang, jauh ku tendang apabila hubungan semakin dekat maka akan semakin menumbuhkan rasa sayang, tetapi jika semakin jauh maka hubungan tersebut akan diakhiri. PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
71
Berdasarkan analisis dan pembahasan terdapat enam faktor yang mempengaruhi munculnya gaya bahasa yang ada di bak truk yang dalam artikel ini, dengan menggunakan data truk yang menempuh jalan Pantura (Batang – Pekalongan).Faktor yang mempengaruhiperubahangaya bahasa yang ada di bak truk bervariasi. Gaya bahasadigunakansesuaidengankeperluannya.Gaya bahasa memang banyak ragamnya. Hal ini karena bahasa Indonesia sangat luas pemakaiannya dan bermacam-macam ragam penuturnya. Pada analisis di artikel ini ada enam faktor yang mempengaruhi munculnyagayabahasadalam slogan yang tertulis di baktrukyang dianalisis, yaitufaktor penghasilan yang tidak besar, penghasilan para sopir truk tidak begitu besar. Pada umumnya sopir truk banyak menghabiskan gaji atau penghasilannya untuk pengeluaran selama dalam perjalanan. Hal ini terjadi karena sepanjang perjalanan tidak dapat di prediksi, bisa jadi yang rusak kendaraan, atau terjadi sesuatu di sepanjang perjalanan. Kenyataan tersebut yang merupakan bagian penentu dari gaya bahasa yang ada di slogan bak truk. Faktor lingkungan akan mempengaruhi slogan yang ada di bak truk, lingkungan sopir dan pergaulan antar sopir, akan memberikan warna dan jenis slogan yang ada di tulisan bak truk. Faktor wilayah, akan memberikan jenis slogan yang beragam, semakin luas dan jauh jarak tempuh truk, maka akan lebih kreatif pula tulisan slogan yang ada di bak truk tersebut, karena pengalaman dan pergaulan dari sopir truk dan pembuat slogan di bak truk. Faktor situasi dan kondisi kehidupan di jalan raya, faktor ini akan memberikan gambaran yang nyata bagaimana situasi dan kondisi sosial para sopir yang menghabiskan kehidupannya di jalan raya. Situsi dan kondisi ini akan memberikan warna dan gaya bahasa yang ada di slogan bak truk. Faktor pendidikan yang dimiliki oleh sopir juga akan menentukan gaya bahasa yang tertulis di bak truk. Serta faktor kerinduan terhadap keluarga, faktor ini akan terwujud dalam tulisan yang ada di bak truk berkaitan dengan keluarga, dapat berupa kerinduan terhadap istri, anak, ibu serta keluarga yang lain yang diwujudkan dalam bentuk tulisan di bak truk.
SIMPULAN Simpulan dalam artikel ini terdapat empat jenis gaya bahasa yang digunakan dalam slogan yang tertulis di bak truk di yang lewat di jalan Pantura (Batang – Pekalongan), yaitu gaya bahasa pertentangan, perbandingan, penegasan dan sindiran. Melalui empat jenis gaya bahasa tersebut, slogan dalam artikel ini mempunyai makna yang berbeda-beda. Gaya bahasa yang digunakan dalam slogan yang tertulis di bak truk di pengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor penghasilan yang tidak besar, faktor lingkungan, faktor wilayah, faktor situasi dan kondisi kehidupan di jalan raya, faktor pendidikan, serta faktor kerinduan terhadap keluarga.
DAFTAR PUSTAKA Chaer, Abdul. 2007. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Haryanta, Agung Tri. 2012. Kamus Kebahasaan dan Kesusastraan. Surakarta: Aksara Sinergi Media. Keraf, Gorys. 2007. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Moeliono, Anton. 2002. Kajian Serba Linguistik. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia. Rahardi, Kunjana. 2006. Dimensi-Dimensi Kebahasaan (Aneka Masalah Bahasa Indonesia Terkini). Jakarta: Erlangga. Rohmadi, Muhammad. 2011. Belajar Bahasa Indonesia. Surakarta: Cakrawala Media. Setyorini, Yulianti dan Wahono. 2008. Bahasa Indonesia: SMPMTs Kelas VIII. Ebook, Pusat Perbukuan Diknas: http://smpn3maja.wordpress.com/ktsp/. (diunduh pada 8 Agustus 2016 pukul 20.30 WIB). Subroto, Edi. 2011. Pengantar Study Semantik dan Pragmatik. Surakarta: Cakrawala Media. Suwandi, Sarwiji. 2011. SEMANTIK (Pengantar Kajian Makna). Yogyakarta: Media Perkasa. Ullmann, Stephen. 2011. Pengantar Semantik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
72
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
PELESAPAN PREPOSISI DALAM GRAMATIKA BAHASA INDONESIA F.X. Sawardi FIB Universitas Sebelas Maret
[email protected] Abstrak Makalah ini dilatarbelakangi penggunaan aturan pembuatan kalimat efektif dalam pengajaran bahasa Indonesia yang berbunyi : subjek dan objek tidak boleh diberi preposisi. Kalimat yang subjeknya didahului dengan preposisi dinyatakan tidak efektif/ tidak gramatikal. Pada posisiposisi lain, preposisi secara wajib digunakan untuk menyatakan peran lokatif, instrumen, komitatif dan yang lain. Pada kondisi tertentu preposisi itu berisifat opsional. Misalnya, pada kalimat Anjing itu dipukul (oleh) Ali. Problem yang akan dijawab dalam paper ini adalah (i) apa sesungguhnya fungsi preposisi dalam gramatika bahasa Indonesia? (ii) pada posisi seperti apa preposisi dapat dilesapkan? (iii) mengapa presposisi-preposisi itu dapat dilesapkan? Untuk menjawab masalah tersebut, klausa akan dianalisis dari dasar predikat dan argumen. Argumen dibedakan dengan nonargumen. Preposisi dalam bahasa Indonesia digunakan untuk membedakan argumen dan bukan argumen, dan menentukan peran semantis konstituen klausa. Preposisi dapat dilesapkan pada (i) posisi di belakang verba langsung, dan (ii) peran semantis sudah jelas. Alasan peran semantis yang jelas ini yang membuat preposisi dapat dilesapkan. Kata kunci : pelesapan, preposisi, bahasa Indonesia. PENDAHULUAN
Dalam teori sintaksis/ pengajaran bahasa disebutkan bahwa subjek dan objek gramatikal tidak boleh didahului dengan preposisi/ kata depan. Kalimat-kalimat yang subjeknya didahului dengan presposisi dinyatakan tidak baku/tidak gramatikal/tidak efektif. Salah satu contoh kalimat yang dinyatakan tidak baku adalah (1a) dan yang baku (1b) berikut. (1) a. Dari peristiwa itu perlu mendapat perhatian dari perbagai pihak sehingga, sehingga pada masa yang akan datang tidak seorangpun menuntut ganti rugi. b. Peristiwa itu mendapat perhatian berbagai pihak agar pada masa yang akan datang tidak ada seorangpun menuntut ganti rugi. (Sugono, 2011: 89) Kalimat yang objeknya didahului dengan preposisi juga dinyatakan sebagai kalimat yang tidak baku/tidak gramatikal/tidak efektif. Kalimat (2a) berikut dianggap tidak baku, dan kalimat (2b) dianggap baku. (2) a. Hari ini, kita tidak bicarakan tentang soal harga, melainkan tentang mutu barang itu. b. Hari ini kita tidak membicarakan soal harga, tetapi soal mutu barang. Di pihak lain Verhaar (1982: 78) menyatakan “bahasa Indonesia memungkinkan penafsiran fungsional “obyek berkata depan” menjadi “subyek berkata depan” dalam kalimat-kalimat tertentu. Dicontohkan oleh Verhaar kalimat yang menggunakan “obyek berkata depan” dan “subyek berkata depan” seperti berikut. (3) a. Mengenai masalah ini akan kami uraikan nanti. b. Kami akan menguraikan mengenai masaalah itu nanti. Walaupun kalimat dengan objek dan subjek berpreposisi dinyatakan tidak baku, Muslim (2016) mengamati kalimat semacam itu digunakan oleh penutur bahasa Indonesia. Muslim (2016) menyebut bahwa subjek dan objek yang tidak menggunakan preposisi sebagai subjek objek yang kanonis, sedang subjek dan objek yang menggunakan preposisi sebagai subjek dan objek nonkanonis. Secara semantis dan pragmatis, subjek dan objek kanonis memiliki fungsi tersendiri. Lepas dari kaitan subjek dan objek, ditemui prespoisi yang munculnya manasuka (opsional). Perhatikan contoh kalimat berikut. PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
73
(4) Anjing itu dipukul (oleh) Ali (5) Dia masuk (ke) kamar jam tujuh. (6) Setiap hari anak itu mandi (dengan) air hangat. (7) Ia membelikan sepatu (untuk) Ali. Presposisi-preposisi pada kalimat (4)-(7) boleh tidak digunakan diberi tanda kurung. Pembicaraan kalimat (1) sampai dengan (7) semua berkaitan dengan preposisi. Kehadiran dan ketidakhadiran preposisi pada kalimat (1) dan (2) penting karena menjadi penentuan baku/tidak baku dalam kalimat. Pada kalimat (3) kehadiran preposisi pada subjek dan objek diakomodasi boleh digunakan. Pada kalimat (4)-(7) kehadiran atau ketidakhadiran preposisi tidak menentukan apa-apa. Problem yang muncul adalah (i) apa sesungguhnya fungsi preposisi dalam gramatika bahasa Indonesia? (ii) pada posisi seperti apa preposisi dapat dilesapkan? (iii) mengapa presposisipreposisi itu dapat dilesapkan? KAJIAN PUSTAKA
Ada tiga hal yang berkaitan dengan kajian yang perlu disebutkan. Pertama berkaitan dengan preposisi, berkaitan dengan subjek dan objek, dan tiga tentang subjek dan objek nonkanonis. Pertama, berkaitan dengan penelitian preposisi dalam bahasa Indonesia, penelitian Ramlan (1980) yang dibukukan menjadi Kata depan atau Preposisi merupakan hasil penelitian yang sudah lama ada. Penelitian ini mendokumentasikan semua preposisi yang ada dalam bahasa Indonesai dan penggunaannya. Penggunaan ini dirumuskan secara semantis. Kedua, sudah lama diajarkan dalam buku-buku pengajaran bahasa, sintaksis bahasa Indonesia bahasa subjek dan objek tidak boleh diberi preposisi (lihat misalnya Arifin, 1991, Sugono, 2011). Alasan mengapa tidak boleh antara membuat tidak efektif. Mengapa tidak efektif? Karena sering membuat bingung. Verhaar (1982: 78) adalah orang pertama yang menyebutkan ada subjek berkata depan dan objek berkata depan (dalam paper ini disebut subjek berpeposisi, dan objek berpreposisi) dalam bahasa Indonesia. Muslim (2016) menyebut sebagai subjek dan objek nonkanonis. Ketiga, Muslim (2016) menyebutkan bahwa subjek dan objek nonkanonis dalam bahasa Indonesia memiliki fungsi tersendiri. Tiga hal penting yang perlu dibahas oleh beliau. Pertama berkaitan dengan konstruksi, kedua berkaitan dengan perilaku sintaksis, dan ketiga berkaian dengan motivasi penggunaan subjek objek nonkanonis. Konstruksi subjek dan objek nonkanonis berkaitan dengan jenis verba. Jenis verba yang menggunakan subjek dan objek nonkanonis umumnya terjadi pada: (i) verba jenis komunikasi (seperti membicarakan, membahas, mendiskusikan); (ii) verba persepsi (seperti memikirkan, merenungkan, mengetahui); (iii) verba direktif (seperti mempersilakan, menghimbau, meminta); (iv) verba keberadaan (seperti memiliki, mempunyai, mengandung); dan adjektiva (seperti mudah). Berkaitan dengan perilaku sintaksis, subjek dan objek nonkanonis secara sintaksis memiliki perilaku yang sama dengan subjek dan subjek dan objek kanonis dalam hal pemasifan dan penggantian. Berkaitan dengan motivasi, Ada beberapa faktor yang menyebabkan adanya konstruksi nonkanonis. Faktor-faktor itu adalah kontaminasi, pengurangan derajat ketransitifan, dan pemudahan pemahaman. Berkaitan dengan perubahan, konstruksi nonkanonis sebenarnya sudah ada sejak sebelum abad XX seperti terlihat pada Malay Concordance Project (http://mcp.anu.edu.au) (Muslim, 2016: 525). METODOLOGI
Artikel ini merupakan hasil penelitian kecil-kecilan, terhadap fenomena kebahasaan yang berupa pelesapan preposisi pada klausa bahasa Indonesia. Data penelitian ini berupa kalimatkalimat yang muncul (sebagai problem) dalam pengajaran sintaksis, pengajaran bahasa Indonesia, ditambah dengan kalimat dalam pengamatan penulis. Objek penelitian adalah preposisi dan pelesapannya pada klausa. Klausa dianalisis atas predikat dan argumen. Argumen dikelompokan dalam argumen inti (subjek dan objek) dan unsur yang lain (oblik dan adjunct). Argumen diamati penggunaan pemarkah preposisinya. Hasil analisis disajikan dengan kata-kata / metode formal. HASIL DAN PEMBAHASAN
Umum diketahui bahasa bahasa Indonesia memiliki urutan SPO (subjek predikat objek). Urutan tersebut adalah urutan yang ketat (Sudaryanto, 1983) sekaligus sebagai pemarkah konstituen gramatikal bahasa. Dalam paper ini, klausa dianalisis atas predikat dan argumen. Seperti
74
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
dalam teori sintaksis pada umumnya, klausa yang dianalisis terutama adalah klausa verbal. Bahasa Indonesia memperlakukan verba dan adjektiva sama dalam pengertian dapat menduduki predikat sehingga istilah verbal dalam hal ini juga mencakup adjektiva. Kedua kelompok kata itu diberi istilah kata verbal oleh Ramlan (1986). Kata sifat dapat menduduki fungsi predikat seperti halnya verba tanpa tambahan copula. Analisis klausa yang digunakan adalah predikat dan argumen. Predikat biasanya verba, dan argumen adalah nomina/ frase nomina. Argumen adalah partisipan yang kehadirannya diisyaratkan oleh verba. Unsur lain yang sama sekali tidak diisyaratkan oleh verba disebut adjuncts. Untuk jelasnya perhatikan kalimat di bawah ini. (8) a. Ali memukul anjing di atas kandang dengan koran. Ada satu predikat (memukul) dan empat nomina (Ali, anjing, kebun, dan koran). Ali merupakan subjek kalimat dan ajing merupakan objek kalimat. Kehadiran Ali dan anjing diisyaratkan oleh verba memukul. Kata memukul mengisyaratkan adanya orang yang memukul dan sesuatu yang dipukul. Kata memukul tidak mengisyaratkan tempat, dan alat tertentu. Karena itu, selain Ali dan anjing pada kalimat (8) bukan argumen/ adjunct. Seperti terlihat pada kalimat (8) nomina selain, Ali dan anjing diberi preposisi. Di depan kata kandang ada preposisi di atas, dan di depan kata koran ada preposisi dengan. Dalam hal ini preposisi dipandang sebagai alat gramatikal untuk (i) membedakan argumen (Ali dan anjing) dan bukan argumen (kandang, koran), (ii) menyatakan peran nomina. Dengan preposisi di atas nomina kandang menjadi lokatif, dan dengan preposisi dengan nomina koran menjadi instrumental. Bila preposisi itu ditukar tempatnya, di atas ditukar dengan dengan, peran-peran itu juga menjadi terbalik. Perhatikan kalimat (8b) berikut. (8) b. Ali memukul anjing di atas koran dengan kandang. Pada kalimat (8b), koran tidak lagi instrumental tetapi menjadi lokatif, sebaliknya kandang tidak lagi berperan sebagai lokatif tetapi sebagi instrumental. Secara fungsional Ali dan anjing tetap sebagai subjek dan objek; dan koran dan kandang tetap sebagai adjunct. Di antara argumen (subjek, dan objek) dengan adjunt ada satu fungsi lagi yang disebut oblik (oblique). Diisyaratkan oleh verba tetapi ditandai dengan preposisi. Misalnya kata meja pada kalimat (9) berikut. (9) Ali meletakkan buku di atas meja. Ada tiga nomina pada kalimat (9) yaitu, Ali, buku, dan meja. Ketiga nomina tersebut kehadirannya diisyaratkan oleh verba meletakkan. Ali sebagai subjek, buku sebagai objek tidak ditandai dengan preposisi sedang meja ditandai dengan preposisi di atas. Beda nomina berpreposisi di atas meja pada kalimat (9) dengan nomina berpreposisi di atas kandang, dengan koran pada kalimat (8a), di atas koran, dengan kandang pada kalimat (8b) adalah kehadiaran nomina tersebut diisyaratkan oleh predikat verba dan tidak. Nomina berpreposisi pada kalimat (9) diisyaratkan oleh verba meletakkan, sedang nomina berpreposisi pada kalimat (8a) dan (8b) tidak diisyaratkan oleh verba memukul. Akibatnya, bila nomina berpreposisi pada kalimat (8a) dan (8b) dilesapkan klausa tetap dianggap utuh, sebaliknya bila nomina berpeposisi pada kalimat (9) dilesapkan klausa dianggap tidak utuh lagi/ ada yang kurang. Dengan demikian ada istilah argumen (core/ term) (subjek, dan objek), bukan argumen (andjunct), di antara itu ada oblik. Oblik termasuk argumen atau bukan argumen menjadi issu yang menarik dalam teori linguistik sehingga ada satu jurnal yang dalam satu edisi mengangkat issu tersebut (lihat Linguistic Discovery 12.2 http://journals.dartmouth.edu/cgibin/WebObjects/Journals.woa/xmlpage/1/issue) tetapi Kroeger (2005) memasukan oblik sebagai argumen. Diagram yang dibuat oleh Kroeger seperti berikut.
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
75
(10) a
Clausal Dependent
Arguments
Terms
oblique args.
SUBJ OBJ OBJ2
OBL
adjunct
Dalam berbagi literatur, fungsi-fungsi itu dibuat hierarkhi menjadi (10b) berikut. (10) b. SUBJ>OBJ>OBJ >OBL>ADJ Subjek menjadi fungsi paling tinggi diikuti fungsi-fungsi yang lain. Herarkhi seperti itu banyak digunakan untuk menerangkan berbagai fenomena kebahasan, seperti pengikatan, perelatifan. Berkaitan dengan pemakaian preposisi bahasa Indonesia, pemakaian preposisi pada subjek dan objek dipermasalahkan (dianggap tidak gramatikal, tidak baku) tetapi semakin ke bawah tuntutan penggunaan preposisi semakin tinggi. Untuk kalimat (8)-(9) pernyataan itu benar, tetapi bagaimana menjelaskan opsionalitas preposisi pada kalimat (4), (5), (6), dan (7). Penggunan preposisi oleh, ke, dengan, untuk sifatnya opsional. Kehadiran nomina tersebut ada yang diisyaratkan oleh verba. Kedekatan letak dengan verba menjadi salah satu faktor penentu pelesapan verba. Perhatikan kalimat (4) yang dihadirkan lagi menjadi kalimat (11) dengan berbagai perubahannya. (11) a. Anjing itu dipukul (oleh) Ali. b. Anjing itu dipukul (oleh) Ali dengan sapu. c. Anjing itu dipukul dengan sapu oleh Ali. d. * Anjing itu dipukul dengan sapu Ali. e. Anjing itu dipukul sapu oleh Ali. f. * Anjing itu dipukul sapu Ali. g. *Anjing itu dipukul (oleh) Ali sapu Pada kalimat (11a) preposisi oleh digunakan untuk menandai argumen Ali secara opsional. Bila argumen Ali tidak berada di belakang verba secara langsung preposisi oleh wajib digunakan. Pelesapan preposisi oleh yang tidak berada di belakang verba langsung seperti kalimat (11d) tidak dimungkinkan. Demikian juga dengan preposisi dengan yang digunakan sebagai pemarkah instrumental. Bila nomina yang ditandai dengan preposisi dengan berada langsung di belakang verba dipukul, preposisi oleh dapat dilesapkan seperti terlihat pada kalimat (11e). Bila nomina sapu tidak berada langsung di belakang verba dipukul preposisi dengan wajib digunakan seperti pada kalimat (11b). Bila preposisi dengan pada kalimat (11b) dilesapkan, kalimat menjadi tidak gramatikal (lihat kalimat (11g)). Kedekatan letak dengan predikat verba menjadi penentu opsionalitas preposisi. Ternyata tidak semua preposisi di belakang verba dapat dilesapkan seperti kasus kalimat (11). Hubungan asosiatif ternyata juga menentukan. Verba seperti masuk pada kalimat (5) sangat erat dengan lokatif dibandingkan dengan instrumen. Verba mandi pada kalimat (6) lebih erat dengan instrumen dibandingkan dengan lokasi. Kalimat (5) dan (6) dihadirkan lagi pada kalimat (12) dan (13) berikut. (12) a. Dia masuk (ke) kamar jam tujuh. b. Dia masuk (ke) kamar dengan kursi roda. c. Dia masuk dengan kursi roda ke kamar. d. *Dia masuk kursi roda ke kamar
76
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
(13) a. Setiap hari anak itu mandi (dengan) air hangat. b. Setiap hari anak itu mandi dengan sabun cair. c. *Setiap hari anak itu mandi sabun cair. Verba masuk pada kalimat (12) lebih erat dengan lokasi. Semua nomina yang berkonasi lokatif dapat mengikuti verba tersebut tanpa preposisi. Nomina yang tidak memiliki konotasi lokatif tidak diterima. Kalimat (12d) tidak diterima karena kursi roda tidak lebih berkonotasi sebagai instrument daripada lokatif (meskipun diterima juga kalimat Dia duduk di kursi roda). Verba membelikan memiliki argumen orang yang membeli, sesuatu yang dibeli, dan orang yang dibelikan. Yang menjadi masalah adalah dua nomina di belakang verba sesuatu yang dibeli, dan orang yang dibelikan. Dua konstituen itu dibedakan atas bernyawa dan tidak bernyawa. Yang bernyawa akan berperan sebagai benefaktif, dan yang tidak bernyawa sebagai theme atau pasien . Perhatikan kalimat di (14) berikut. (14) a. Dia membelikan sepatu (untuk) Ali. b. Dia membelikan Ali sepatu. c. ? Dia membelikan perpustakaan buku. d. ? Dia membelikan ayam harimau. e. ? Dia membelikan harimau ayam. Preposisi dapat dilesapkan pada kalimat (14a) karena hubungan asosiatifnya jelas. Kalimat (14c), (14d), (14e) hubungan asosiatifnya tidak jelas karena kedua nomina yang mengikuti verba tidak bernyawa/ keduanya bernyawa tetapi tidak ada penanda preposisi. SIMPULAN
Simpulan yang dapat ditarik adalah (i) preposisi dalam bahasa Indonesia digunakan untuk: pertama, membedakan argumen dan bukan argumen; kedua, untuk memarkahi peran semantik dalam dalam struktur klausa; (ii) dalam kaitan fungsi gramatikal, prepsosisi digunakan pada fungsifungsi adjunct dan oblik; dan preposisi dapat dapat dilesapkan pada pemarkah nomina yang letaknya dibelakang langsung verba dan memiliki asosiasi peran yang jelas dengan verbanya; (iii) karena hubungan asosiasi yang sudah jelas tersebut preposisi dapat dilesapkan. UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Kepala Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret yang telah memberi kesempatan dan memberi dukungan kepada penulis untuk terlibat pada PIBSI XXXVIII. DAFTAR PUSTAKA
Arifin, E. Z. & Tasai, 1991. Cermat Berbahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Mediyatama Sarana Perkasa. Dixon, R.M.W..2010. Basic Linguistic Theory Volume 1. Oxford: Oxford University Press. Kroeger, P..2005. Analyzing Grammar: An Introduction. Cambridge: Cambridge University Press. Muslim, M. Umar. 2016. “Subjek Objek Nonkanonis dalam Bahasa Indonesia”, Proceeding Konferensi Internasional Masyarakat Linguistik Indonesia, Denpasar: Universitas Udayana. Ramlan, M. 1980. Kata Depan atau Preposisi dalam Bahasa Indonesia. Yogyakarta: UP Karyono. Ramlan, M. 1986. Tata Bahasa Indonesia Penggolongan Kata. Yogyakarta: Andi Offset. Sudaryanto. 1983. Predikat Objek dalam bahasa Indonesia: Keselarasan Pola-urutan. Jakarta: Djambatan Sugono, D. (ed).2011. Buku Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Verhaar, J.W.M. . l986. Pengantar Lingguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
77
PEMANFAATAN ASPEK-ASPEK KEBAHASAAN SEBAGAI BENTUK LANGUAGE GAMES DALAM CERAMAH K.H. DURI AZHARI Imam Baehaqie, Deti Tri Meliana, Nadhirul Adib, dan Tiratia Septi Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang
[email protected] HP: 081390597179 Abstrak Bahasa memiiliki banyak fungsi, tetapi fungsinya yang paling mendasar adalah sebagai alat komunikasi. Salah satu bentuk komunikasi yang menarik dan penting untuk dikaji adalah ceramah keagamaan K.H. Duri Azhari. Ceramah tersebut menarik dan penting untuk diteliti karena memiliki kekhasan tertentu antara lain bahwa ceramah tersebut disampaikan secara santai dan diwarnai dengan lelucon-lelucon. Dengan perkataan lain, di dalam ceramah tersebut terdapat permainan bahasa, yang menyebabkan para audiens merasa terhibur dan pada akhirnya sanggup untuk berkonsentrasi berjam-jam tanpa sedikit pun merasa jenuh atau pun bosan mendengarkannya. Permainan bahasa adalah eksploitasi unsur (elemen) bahasa seperti bunyi, kata, frasa, kalimat, dan wacana sebagai pembawa makna atau amanat (maksud) tuturan sedemikian rupa sehingga elemen itu secara fonologis, gramatis, semantis, maupun pragmatis hadir secara tidak semestinya. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui wujud pemanfaatan aspek-aspek kebahasaan sebagai bentuk permainan bahasa dalam ceramah K.H. Duri Azhari. Metode pengumpulan data yang diterapkan adalah metode simak. Dari hasil penyimakan diketahui bahwa dalam ceramah K.H. Duri Azhari terdapat pemanfaatan unsur-unsur kebahasaan sebagai bentuk permainan bahasa yang berupa kesamaan bunyi akhir kata-kata, penggunaan singkatan, dan pengguaan oposisi. Adanya permainan bahasa yang merupakan wujud kreativitas berbahasa ini dapat dimanfaatkan untuk berkomunikasi dalam saluran tutur yang lain dan diharapkan dapat menginspirasi munculnya permainan bahasa yang lain pula. Kata kunci: aspek-aspek kebahasaan, permainan bahasa, K.H. Duri Azhari.
PENDAHULUAN Bahasa memiiliki banyak fungsi, namun dalam fungsinya yang paling mendasar adalah sebagai alat komunikasi verbal. Selanjutnya, terkait dengan hal tersebut, Jakobson (dalam Baryadi, 2015: 47) menyatakan bahwa proses komunikasi verbal terjadi bila komunikator mengirimkan pesan kapada komunikan. Agar dapat tersampaikan secara efektif, pengiriman pesan memerlukan konteks yang diacu, yang menyebabkan pesan tersebut dapat ditangkap oleh penerima pesan. Dengan konteks tersebut, pesan verbal maupun sesuatu yang dapat diverbalkan, baik berupa kode yang sepenuhnya atau yang setidak-tidaknya sebagiannya dikenal oleh pengirim dan penerima, kontak psikologis penerimaan pesan akan terjadi. Hal yang dikomunikasikan dalam peristiwa tutur dapat menjangkau bermacam-macam domain atau ranah kehidupan, mulai dari ranah sosial-kekeluargaan, politik-kekuasaan, ranah ekonomi dan sarana kehidupan, seni-budaya, perselisahan dan peradilan, perkelahian dan pedamaian, ilmu dan teknologi, pendidikan, sampai dengan renah agama dan kepercayaan (Poedjosoedarmo, 2003: 171-172). Menurut Devito (1997:30—33), ada empat tujuan atau motif orang berkomunikasi, yaitu untuk menyerap informasi dari orang lain, untuk memelihara hubungan sosial dengan orang lain, untuk mempersuasi orang lain, dan untuk bermain dan menghibur diri dan orang lain. Tujuantujuan tersebut dapat berlaku secara spesifik dan dapat pula berjalan secara saling berkaitan. Salah satu bentuk komunikasi yang menarik dan penting untuk dikaji adalah ceramah, dalam hal ini adalah ceramah keagamaan yang disampaikan oleh K.H. Duri Azhari. Ceramah tersebut menarik dan penting untuk diteliti karena memiliki kekhasan tertentu antara lain bahwa ceramah tersebut disampaikan secara santai dan diwarnai dengan lelucon-lelucon. Dengan
78
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
perkataan lain, di dalam ceramah tersebut terdapat permainan bahasa, yang menyebabkan para audiens merasa terhibur dan pada akhirnya sanggup untuk berkonsentrasi berjam-jam tanpa sedikit pun merasa jenuh atau pun bosan mendengarkannya Permainan bahasa adalah eksploitasi unsur (elemen) bahasa seperti bunyi, suku kata, bagian kata, kata, frasa, kalimat, dan wacana sebagai pembawa makna atau amanat (maksud) tuturan sedemikian rupa sehingga elemen itu secara gramatis, semantis, maupun pragmatis hadir secara tidak semestinya. Sebagai seorang mubalig yang identik dengan penggunaan bahasa Jawanya, ketokohan K.H. Duri Azhari tidak diragukan lagi. Kiai yang beralamat di Tanah Putih, Semarang Selatan, Telepon (024) 8313512 ini telah cukup dikenal di masyarakat dan namanya telah menghiasi media massa dan media sosial dan telah menjadi pembicara dalam pengajian-pengajian akbar minimal di tujuh provinsi (Majlis Dzikir & Sholawat Asadul Qoryah Karangmulyo, 2012). Berdasarkan latar belakang tersebut, makalah ini dirumuskan masalah penelitian, yaitu aspek-aspek kebahasaan yang manakah yang dapat dimanfaatkan sebagai bentuk permainan bahasa (language games) dalam wacana ceramah K.H. Duri Azhari. Dengan penelitian language games dalam ceramah K.H. Duri Azhari ini diharapkan hasilnya secara teoretis dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi para pembaca pada umumnya dan para pemerhati bahasa pada khususnya. Adapun secara praktis hasil penelitian ini nantinya dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan dalam penentuan gaya bertutur atau beretorika di hadapan khalayak agar pesan yang disampaikan berkesan ringan dengan tanpa mengurangi keefektifan proses komunikasi dan audiens tidak merasa digurui karena disampaikan dalam suasana kegembiraan. KAJIAN PUSTAKA Permainan bahasa adalah eksploitasi unsur (elemen) bahasa seperti bunyi, suku kata, bagian kata, kata, frasa, kalimat, dan wacana sebagai pembawa makna atau amanat (maksud) tuturan sedemikian rupa sehingga elemen itu secara gramatis, semantis, maupun pragmatis hadir secara tidak semestinya. Pada dasarnya eksploitasi itu digunakan untuk bersenda gurau, melucu, atu mengejek, serta menertawakan sesuatu yang dianggap lucu atau ironis. Akan tetapi tidak dimungkiri bahwa eksploitasi tersebut dapat pula muncul dalam modus tuturan yang lebih serius meskipun di sana masih dapat ditangkap nuansa jenakanya. Permainan bahasa dapat ditemukan dengan mudah dalam konteks masyarakat multilingual karena banyak kata yang bunyinya sama, tetapi dalam dua bahasa yang berbeda kata tersebut memiliki makna yang berbeda (Wijana dan Rohmadi (2006: 58-59). Sebuah sumber anonim (2011) dalam artikel di jurnal internasionalnya yang berjudul Language Games, Paranoia, and Psychosis menyatakan bahwa languge games ‘permainan bahasa’ dapat mengurangi tingkat ketertekanan orang-orang yang baru saja mengalami kesembuhan dari penyakit gila baik karena kekecewaan maupun karena ketakutan.
METODE Data penelitian ini dikumpulkan dari ceramah-ceramah K.H. Duri Azhari pada tahun 20152016. Metode pengumpulan data yang diterapkan di sini adalah metode simak. Ceramah keagamaan yang disimak oleh peneliti adalah ceramah-ceramah K.H Duri Azhari yang dilaksanakan pada tahun 2015 s.d. 2016. HASIL DAN PEMBHASAN Di antara ceramah yang disimak oleh peneliti adalah (2) ceramah K.H. Duri Azhari pada pengajian akbar dalam rangka peringatan isra mikraj Nabi Muhammad saw. yang merupakan kegiatan rutin MWC NU tiga kecamatan yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Salafiyah Darussalam, Desa Kahuripan Jaya, Kecamatan Banjarbaru, Kebupaten Tulangbawang, Provinsi Lampung pada 16 Mei 2015 dan (2) ceramah K.H. Duri Azhari dalam pengajian halal bihalal Universitas Negeri Semarang pada 16 Juni 2016 di auditorium kampus tersebut.
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
79
Berdasarkan hasil penyimakan dikethui bahwa terdapat pemanfaatan aspek-aspek kebahasaan sebagai bentuk permainan bahasa yang berupa kesamaan bunyi kata, penggunaan singkatan, dan penggunaan oposisi. 1. Kesamaan Bunyi Akhir Kata Permainan bahasa yang diwujudkan dengan adanya rima pada akhir kata-kata dapat dicontohkan sebagai berikut. Nek masyarakat dha rak ngerti syariat mesti dha nindakke maksiat. Nek ana tumindak maksiat cepat atau lambat kampungmu kena laknat. Nah, supaya kampung ora kena laknat aja dha nindakke maksiat ning dha nindakke taat, ngeten nggih?. Supaya Njenengan isa taat kudu kenal karo Kanjeng Nabi Muhammad Njenengan ora bisa dadi wong taat yen durung kenal Nabi Muhammad Mula nek masyarakat ngerti syariat Dha kenal nabi Muhammad Terus dha ngelakoni salat Mesti kan ora wani ngelakoni maksiat, ya Ri? Iya ne’e. ‘Kalau masyarakat tidak mengenal syariat tentu cenderung mudah melakukan maksiat Kalau ada perilaku maksiat Cepat atau lembat kampungmu kena laknat Nah, agar kampong tidak kena laknat Warganya jangan melakukan maksiat,kan taat namun pada melaksanakan taat Begitu, kan? Supaya Njenengan bisa taat Harus kenal dengan Kanjeng Nabi Muhammad Njenengan tidak bisa jadi orang taat kalau belum mengenal Nabi Muhammad Oleh karena itu, jika masyarakat mengerti syariat juga kenal Nabi Muhammad terus pada melaksanakan salat salat tentu kan tidak berani menjalankan maksiat, ya Ri? Iya, mungkin. Dalam kutipan ceramah tersebut terdapat penggunaan kata-kata yang bunyi akhirnya memiliki kesamaan, seperti syariat, maksiat, laknat, taat, Muhammad, dan salat. a. Sing sapa wange urip mung mikir isine weteng aning dunya rekasa, aning kubur nelangsa, matine kuwi mesti melebu neraka, aku iki ora lila. ‘Barangsiapa yang hidupnya hanya untuk memikirkan isi perut di dunia akan berat, di kubur menderita,
80
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
dan meninggalnya itu tentu masuk neraka aku ini tidak rela.’ Dalam kutipan tersebut terdapat pemanfaatan aspek fonologis berupa kesamaan bunyi vokal dalam suku akhir kata-kata pada setiap barisnya, yaitu adanya vokal /a/ pada suku-suku akhir kata tersebut: rekasa, nelangsa, neraka, dan lila.
2, Penggunaan Singkatan Adanya penggunaan singkatan dicontohkan dengan kutipan berikut ini. “Tua itu T-U-.A. Tau untuk Apa Apa sisa usia maksudnya aku T-U- A. Tau untuk Apa, berbakti sama yang Mahakuasa Apa sisa usia Mudamu banyak dosa Tuanya diganti takwa Matinya biar masuk surga” 3. Pengunaan Oposisi Adanya pemakaian oposisi tertentu dapat dilihat pada kutipan berikut. a. “Nek pengajian mesti omong-omong. Ning nek omong-omong durung mesti pengajian, Saya perlu klarifikasi. Njenengan nimbali kula niki ngajak pengajian apa ngajak pindhah omong-omong? Lha ini diselesaikan dulu masalahnya (K.H. Duri Azhari tertawa)” ““Kalau pengajian sudah tentu omong-omong. Akan tetapi, kalau omong-omong belum tentu pengajian, Saya perlu klarifikasi. Njenengan memanggil saya ini mengajak pengajian ataukah mengajak pindah omong-omong? Lha ini diselesaikan dulu masalahnya (K.H. Duri Azhari tertawa)” b. “Nek makanan jasmani beda karo makanan rohani Rosane raga merga mangan sega Tapi rosane nyawa iki merga mangan dunga Tuwa ra mudheng Rosane raga merga mangan sega Tapi rosane nyawa ki merga mangan donga Nek raga panganane seka bumi Nek nyawa panganane seka langit ta”. “Kalau makanan jasmani berbeda dengan makanan rohani Kuatnya raga karena mangan sega Tapi kuatnya nyawa inii karena makan doa Tua tidak paham Kuatnya raga karena mangan sega Tapi kuatnya nyawa inii karena makan doa Kalau raga makanannyadari bumi, sedangkan nyawa makanannya dari langit, kan?”. Dalam kutipan tersebut tampak adanya pembuatan oposisi tertentu, yaitu antara pengajian dan omong-omong, yang dilanjutkan dengan penggunaan kata klarifikasi pada kalimat Saya perlu klarifikasi dan Lha ini diselesaikan dulu masalahnya, seolah-olah ada masalah tertentu. Padahal, di di sana tidak ada masalah apa-apa. Ini merupakan kreativitas K.H. Duri Azhari untuk bermain dengan kata-kata supaya para audiens melempar tawa. Adapun dalam kutipan berikutnya, Kiai membuat oposisi dengan menghadirkan kata-kata jasmani rohani dan raga nyawa.
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
81
PENUTUP Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa permainan bahasa yang dikembangkan dalam ceramah K.H. Duri Azhari adalah kesamaan bunyi akhir kata-kata, penggunaan singkatan, dan pengguaan oposisi. Dengan adanya pembatasan jumlah halaman, artikel penelitian ini hadir secara cukup singkat. Keterangan lebih lanjut dapat dilihat dalam laporan penelitian. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada Dr. Hari Bakti Mardikantoro dan Dr. Eva Banowati, reviewer Penelitian Payung Mahasiswa Lembaga Penelitian dan Pengabdian (LP2M) Univeritas Negeri Semarang (Unnes) yang telah memberi masukan kepada penulis terkait instrumen penelitian ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada ketua LP2M Unnes beserta segenap pengelaola LP2M yang telah memberikan bantuan demi kelancaran penyelesaian penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Baryadi, I Praptomo. 2015. Teori-Teori Linguistik Pascastruktural Memasuki Abad ke21.Yogyakarta: Kanisius. Devito, Joseph A. 1997. Komunikasi Antarmanusia. Jakarta: Profesional Books. Poedjosoedarmo, Soepomo. 2003. Filsafat Bahasa. Surakarta: Muhammadiyah University Press. Wijana, I Dewa Putu dan Muhammaad Rohmadi. 2006. Sosiolinguistik: Kajian Tori dan Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. PUSTAKA LAMAN Anonim. 2011. Language Games, Paranoia, and Psychosis. Schizophrenia Bulletin vol. 37 no. 6 pp. 1099–1100, 2011 doi:10.1093/schbul/sbq160. http:// schizophre nia.bulletin.oxfordjournals.org/content/37/6/1099.full.pdf+html?maxtoshow=&hits=10&RE SULTFORMAT=&fulltext=language+games&searchid=1&FIRSTINDEX=10&resourcetyp e=HWCIT [diunduh pada 11 Maret 2016]. Iskandar, Shierly dan Siti Maslakhah. 2013. Permainan Bahasa Dalam Buku Plesetan Republik Indonesia 2004-2009 Karya Kelik Pelipur Lara. http://journal.student. uny. ac.id/ jurnal/artikel/2177/36/293 [diunduh pada 10 Maret 2016]. Majlis Dzikir & Sholawat Asadul Qoryah Karangmulyo. 2012. https://www.facebook. com/MDSAQK/posts/375026975916747 [diunduh pada 11 Maret 2016].
82
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
PRINSIP KERJA SAMA GRICE DALAM ACARA HOT REQUEST DI RADIO GERONIMO YOGYAKARTA Irsyadi Shalima Universitas Tidar
[email protected] Abstrak Percakapan telepon di radio menarik dikaji secara Pragmatik. Penyiar dan penelepon merupakan partisipan yang tidak saling bertatap muka secara visual, tetapi keduanya dapat saling memahami. Kesepahaman tersebut terjadi karena keduanya saling bekerja sama secara verbal. Penelitian ini ingin menyelidiki percakapan telepon di radio, khususnya acara Hot Request di stasiun radio Geronimo Yogyakarta. Data percakapan dianalisis berdasarkan pematuhan dan pelanggaran prinsip kerja sama Grice. Berdasarkan kajian ini diketahui bahwa pematuhan dan pelanggaran terhadap prinsip kerja sama Grice terjadi karena faktor-faktor tertentu. PENDAHULUAN
Menurut Grice, partisipan dalam percakapan seharusnya mematuhi beberapa maksim agar mereka dapat bekerja sama dengan baik(Cutting, 2008). Jika kerja sama dapat berlangsung secara lancar, arus informasi atau pesan yang disampaikan oleh para partisipan akan mengalir dengan mudah. Partisipan pun dapat dengan baik memahami informasi atau pesan. Pemahaman terssebut didukung dengan kemampuan menyampaikan dan memberi tanggapan pesan yang dilakukan secara benar menurut prinsip kerja sama Grice. Dalam percakapanprogramHot Request (selanjutnya disingkat HR) di radio Geronimo, partisipan, yaitu penyiar (selanjutnya disebut A) dan penelepon (selanjutnya disebut B), juga melakukan kerja sama ketika percakapan berlangsung. Kerja sama dalam HR penting karena acara tersebut memiliki format tertentu. Format tersebut membedakan HR dengan percakapan biasa. Dalam percakapan biasa yang tidak terbatasi oleh rentang waktu, partisipan bebas bercakap-cakap secara panjang lebar. Dalam HR, percakapan dibatasi oleh durasi. Jika A dan B terlalu lama berbicara, waktu tayang acara HR akan semakin berkurang, padahal penelepon lain juga ingin masuk. Durasi sekali percakapan antara A dan B dalam percakapan HR terjalin rata-rata 2 sampai 6 menit. Jika sebuah percakapan melebihi enam menit, percakapan tersebut tergolong sangat lama. Dalam percakapan HR, prinsip kerja sama Grice tidak sepenuhnya ditaati. Partisipan sering melanggar prinsip kerja sama Grice dengan berbagai alasan dan tujuan. Namun, pelanggaran tersebut tidak sampai mengakibatkan percakapan berhenti karena salah satu pihak merasa tersinggung. Keakraban merupakan salah satu hal yang penting dalam acara HR. Sebagai acara komersial, A, harus dapat menarik perhatian pendengar sebanyak-banyaknya. Salah satu strategi yang dapat diterapkan A adalah menjalin hubungan secara akrab dengan B. Cara yang dapat dilakukan A adalah dengan melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap prinsip kerja sama. PEMATUHAN PRIPSIP KERJA SAMA
Dalam HR, percakapan berlangsung dalam format khusus. Konteks berupa format regular tersebut mengakibatkan partisipan harus mematuhi beberapa hal, misalnya durasi percakapan dan kesantunan. Percakapan HR berlangsung antara A dan B. Namun, percakapan tersebut terjadi dalam ranah publik. Pendengar lain dapat mengetahui isi percakapan antara A dan B. Kenyataan tersebut semakin membatasi ruang gerak A dan B dalam menghasilkan tuturan-tuturan khusus yang bersifat personal.
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
83
Pematuhan Maksim Kuantitas
Contoh pematuhan prinsip kerja sama yang paling sering ditemukan dalam percakapan HR terdapat di bagian awal percakapan. Pematuhan tersebut merupakan pematuhan terhadap maksim kuantitas. Perhatikan contoh berikut. 1) A: Halo.
B: Halo. (7-7-2012) Dalam contoh tersebut, A menyapa B. Sebaliknya, B memberi respons terhadap sapaan A. Dalam percakapan tersebut, A menuturkan Halo. Bentuk respons B ditunjukkan dengan tuturan Halo. Berdasarkan sepasang tuturan tersebut, tuturan antara A dan B tersebut merupakan bentuk pematuhan terhadap maksim kuantitas. Pematuhan tersebut disebabkan B memberikan respons yang tidak berlebihan atau kurang dari yang diharapkan oleh A. Pematuhan Maksim Kualitas
Pematuhan maksim kualitas merupakan salah satu faktor penting yang mendukung kesuksesan percakapan dalam HR. Pematuhan tersebut dapat membantu penuturuntuk memahami secara tepat pesan yang disampaikan lawan tuturnya. Perhatikan contoh berikut. 2) A: … Siapa ni?
B: Alfi. A: Alfi. (14-7-2012) Dalam contoh tersebut, A menanyakan nama B. B merespons pertanyaan A dengan menyebutkan namanya. Kemudian, A kembali menanggapi B dengan mengulangi nama B. Dalam contoh percakapan tersebut, B menjawab pertanyaan A sebagaimana kenyataan yang ada. B tidak sedang membohongi A bahwa sesungguhnya namanya bukan Alfi, melainkan Ida. Dalam konteks percakapan tersebut, B berusaha memenuhi kerja sama dengan berkata jujur kepada A. perkataan B tersebut ditanggapi A secara positif. Tanggapan A tersebut tampak pada tuturan Alfi. Dengan demikian, dalam percakapan tersebut, A dan B melakukan kerja sama dengan mematuhi maksim kualitas. Pematuhan Maksim Relevansi Percakapan antara A dan B harus berjalan secara relevan untuk mengurangi terjadinya kesalahpahaman. Oleh karena itu, A dan B melakukan pematuhan-pematuhan terhadap maksim relevansi. Perhatikan contoh berikut. 3) A: Siapa ini, bapak?
B: Budi. A: Siapa? B: Budi. A: Budi. (17-7-2013) Dalam percakapan tersebut, pertanyaan A dijawab secara relevan oleh B. A menanyakan nama B. B menjawabnya dengan mengatakan bahwa namanya adalah Budi. Pengulangan pertanyaan A dengan tuturan Siapa? disebabkan gangguan teknis yang mengakibatkan A kurang dapat mendengar tuturan B. Pematuhan terhadap maksim relevansi ditunjukkan oleh B dengan tuturanBudi. Tuturan tersebut merupakan bentuk jawaban atas tuturan A sebelumnya yang berbentuk pertanyaan yang ditunjukkan A dengan tuturan Siapa?. Di sisi lain, contoh tersebut juga dapat dikategorikan sebagai pemenuhan terhadap maksim kualitas karena B memberikan informasi yang sebenarnya kepada pertanyaan A. Namun, jika ditinjau dari sisi bentuk tuturan, percakapan tersebut termasuk dalam pematuhan maksim relevansi. Maksud bentuk tuturan adalah tuturan pertanyaan dari A ditannggapi dengan tuturan jawaban oleh B secara relevan. Pematuhan Maksim Cara
Maksim lain dalam prinsip kerja sama adalah maksim cara. Dalam HR, pematuhan maksim cara penting dilakukan. Percakapan HR terjalin melalui sambungan telepon. Jika percakapan
84
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
berlangsung secara tidak lancar, kedua partisipan akan sulit memahami pesan yang disampaikan. Perhatikan contoh berikut. 4) B: Insya Allah, ketemu tar malem kalo siaran.
A: Insya Allah. ((ketawa)) iya, Pak, makasih. (17-7-2012) Dalam percakapan tersebut, B berjanji bahwa ia akan bertemu dengan A.Perjanjian tersebut dapat diidentifikasi pada tuturan Insya Allah, ketemu tar malem kalo siaran. A menyetujuinya dengan tuturan Insya Allah. ((ketawa)) iya, Pak, makasih. Percakapan tersebut mematuhi maksim cara. Partisipan melakukan percakapan secara singkat dan dapat dengan mudah dipahami. Dengan kemudahan tersebut, A dan B dapat melanjutkan percakapan dengan topik yang berbeda. PELANGGARAN PRINSIP KERJA SAMA
Dalam HR, pematuhan prinsip kerja sama merupakan strategi A untuk menarik perhatian pendengar. Namun, A mempunyai strategi lain untuk menarik perhatian lebih banyak pendengar. Strategi tersebut berupa pelanggaran terhadap prinsip kerja sama. Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan dengan sengaja tersebut memberikan efek positif dalam percakapan HR. Pelanggaran terhadap prinsip kerja sama bukan berarti para partisipan tidak bercakapcakap dengan baik, misalnya A menghina B sehingga B tersinggung, lalu memutuskan percakapan. Pelanggaran yang dimaksud merupakan pelanggaran terhadap prinsip kerja sama Grice, bukan pelanggaran terhadap kaidah sopan santun di dalam masyarakat yang tercermin dalam percakapan HR. Pelanggaran Maksim Kuantitas
Pelanggaran terhadap prinsip kerja sama dapat berupa pelanggaran terhadap maksim kuantitas. Dalam HR, pelanggaran terhadap maksim kuantitas sangat mungkin terjadi. Perhatikan contoh berikut. 5) A: … Lagi di mana, Ko?
B: (0.1) Di rumah aja. (12-7-2012) Percakapan tersebut berlangsung di bagian pembuka. Di bagian pembuka, A selalu bertanya nama dan lokasi B.Dalam percakapan tersebut, A bertanya lokasi keberadaan B dengan tuturan Lagi di mana, Ko?. Kemudian, B menanggapi pertanyaan A dengan tuturan Di rumah aja. Dalam percakapan HR, pertanyaan A tentang lokasi keberadaan B bukan merupakan basabasi. Pertanyaan tersebut selalu diajukan kepada penelepon yang masuk. Lokasi yang dimaksud adalah wilayah tertentu. Namun, dalam contoh percakapan tersebut, B hanya mengatakan bahwa ia berada di rumah, tanpa memberi tahu A wilayah rumahnya. Informasi yang diberikan B tersebut kurang dari yang diharapkan oleh A. A berharap B mengatakan bahwa rumahnya berada di desa atau kabupaten tertentu di Yogyakarta atau di privinsi lainnya. Dengan demikian, jawaban B tersebut dianggap telah melanggar maksim kuantitas. Contoh percakapan tersebut terdapat pada awal percakapan. Pelanggaran maksim kuantitas juga terjadi di pertengahan percakapan. Perhatikan contoh berikut. 6) A: Oke, kamu pengennyapatemen-temen kamu, Tong? Boleh lho di sini.
B: Buat temen-temen yang di Dino. A: Di mana? B: Dino, tempat kerja. A: Ehem. (12-7-2012) Contoh percakapan tersebut terjadi di bagian kirim salam. Bagian kirim salam merupakan salah satu bagian dalam percakapan HR ketika penyiar mempersilakan B berkirim salam kepada para pendengar. Dalam HR, kirim salam terdiri atas dua hal, yaitu pendengar atau orang yang dikirimi dan ucapan salam kepada pendengar atau orang tersebut. Dengan demikian, jika salam B kurang dari dua hal tersebut, B telah melanggar maksim kuantitas. Pelanggaran tersebut tentu saja terjadi dalam konteks format acara HR.
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
85
Dalam contoh percakapan tersebut, B melanggar maksim kuantitas dalam dua tuturannya. Pelanggaran pertama terjadi ketika B hanya menuturkan orang yang dikirimi salam dan tidak menyebutkan ucapan salam yang ditujukan kepada orang yang dikiriminya salam. Tuturan B tersebut ditunjukkan dengan Buat temen-temen yang di Dino. Dengan demikian, B melanggar maksim kuantitas karena memberikan jawaban yang kurang dari harapan A. Pelanggaran kedua yang dilakukan oleh B ditunjukkan dengan tuturan Dino, tempat kerja. Tuturan tersebut terjadi setelah A mengonfirmasi tuturan B sebelumnya karena A tidak begitu jelas mendengar tuturan B ketika B mengatakan Buat temen-temen yang di Dino. A bertanya kepada B dengan tuturan Di mana?. A berharap agar B mengulangi tuturannya sebelumnya. Namun, B menanggapi pertanyaan A tersebut dengan mengatakan Dino, tempat kerja. B melanggar maksim kuantitas karena ia tidak hanya mengulangi tempat keberadaan teman-temannya, tetapi juga menyebutkan bahwa Dino merupakan kantor tempatnya bekerja. Padahal, A hanya menginginkan B mengulangi nama tempat keberadaan teman-teman yang baru saja ia sapa. Dalam contoh percakapan tersebut, pelanggaran dilakukan oleh B. Pelanggaran terhadap maksim kuantitas juga dapat dilakukan oleh A. Perhatikan contoh berikut. 7) B: Ini adenia?
A: E: : : adenia bukan ya sebentar aku tanyain ya. Mbak, mbak, adenia bukan ya, mbak? ((ketawa)) B: ((ketawa)) A: Stres ((ketawa)). (14-7-2012) Percakapan tersebut terjadi di bagian awal. B menanyakan nama A. Pertanyaan tersebut diajukan B karena penyiar program tersebut setiap hari berganti-ganti. Namun, pertanyaan tersebut ditanggapi dengan percandaaan oleh A. Kemudian, keduanya tertawa. Bahkan, A juga mengejek dirinya sendiri dengan tuturan Stres, lalu kembali tertawa. Percakapan tersebut tergolong pelanggaran terhadap maksim kuantitas karena tanggapan A yang berlebihan terhadap pertanyaan B. B bertanya kepada AIni adenia?. Berdasarkan pertanyaan tersebut, A cukup menjawab iya atau tidak. Namun, A menjawab dengan tuturan yang lebih panjang. Tuturan A tersebut berupaE: : : adenia bukan ya sebentar aku tanyain ya. Mbak, mbak, adenia bukan ya, mbak? ((ketawa)). Dengan demikian, pernyataan A tersebut merupakan pelanggaran terhadap maksim kuantitas. Pelanggaran Maksim Kualitas
Selain maksim kuantitas, maksim kualitas merupakan maksim yang juga sering dilanggar. Dalam HR, pelanggaran tersebut tejadi dengan berbagai cara. Perhatikan contoh berikut. 8) A: Na: : :h, kalo [yang ini ni baru dewasa, keibuan.
B: [nah. B: iya dong. e jangan dong. Belum jadi [ibu. A: [oh belum (7-7-2012) Dalam contoh percakapan tersebut, A mengatakan bahwa B adalah orang yang sudah dewasa. Namun, B menolak pernyataan tersebut karena, menurutnya, ia belum dewasa seperti ibuibu. Dalam percakapan tersebut, pelanggaran terhadap maksim kualitas dilakukan oleh A. A memulai tuturan dengan mengatakan bahwa B merupakan orang dewasa. Tebakan tersebut berdasarkan suara B yang didengarkan A. Namun, tebakan tersebut tidak tepat karena B mengatakan bahwa ia belum dewasa. Kata ibu yang dituturkan B bersinonim dengan kata dewasa dalam konteks percakapan tersebut. Dengan demikian, pelanggaran terhadap maksim kualitas dalam contoh tersebut terjadi karena A tidak mengatakan fakta yang sebenarnya tentang B. Pelanggaran Maksim Relevansi
Pelanggaran terhadap maksim relevansi juga terjadi dalam percakapan HR. Pelanggaran tersebut dapat disebabkan oleh berbagai hal, misalnya salah satu partisipan sedang bingung. Perhatikan contoh berikut. 9) A: ... Buat siapa? ((ketawa))
86
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
B: Buat siapa ya? (7-7-2012) Dalam contoh tersebut, B bingung ketika A mempersilakannya berkirim salam. A memberikan B kesempatan berkirim salam dengan tuturan Buat siapa? ((ketawa)). Kebingungan B ditunjukkan dengan tuturan buat siapa ya?. Ketidakrelevanan terdapat pada sikap B yang menanggapi pertanyaan dengan pertanyaan pula. Seharusnya, B menjawab secara langsung nama orang atau pendengar yang ingin dikiriminya salam. Jika B tidak ingin berkirim salam, ia dapat mengatakannya secara langsung kepada A. Namun, pertanyaan yang dibalas pertanyaan pula oleh B menunjukkan bahwa B sedang melakukan pelanggaran terhadap maksim relevansi. Pelanggaran Maksim Cara
Maksim cara dilanggar dengan berbagai cara. Pelanggaran tersebut memberikan efek tertentu pada hubungan partisipan dalam percakapan tersebut. Pelanggaran tersebut juga mempengaruhi pendengar acara tersebut. Perhatikan contoh berikut. 10) A: Ya udah, kamu pengen denger lagunya siapa?
B: (.) Kenapa?= A: =Lagunya siapa? B: O itu (.) ….. A: Hem? B: Itu. A: Siapa-siapa? B: (0.1) every day A: [E (7-7-2012) Dalam contoh percakapan tersebut, A menawari B untuk meminta sebuah lagu. Penawaran tersebut ditunjukkan A dengan tuturan Ya udah, kamu pengen denger lagunya siapa?. Namun, akibat permasalahan teknis, B bertanya kenapa?. Kemudian A menawari lagi dengan tuturan Lagunya siapa?. Namun, B ragu-ragu menyebutkan lagu yang ingin didengarkannya. Setelah melalui beberapa giliran, B menyebutkan judul lagu yang ingin didengarkannya. Dalam percakapan tersebut, pelanggaran terjadi karena B tidak merespons A secara singkat. B terlalu berpanjang lebar karena ragu-ragu menyebutkan lagu yang ingin didengarnya. Akibatnya, setelah beberapa giliran bicara, B baru menyampaikan judul lagu yang ingin didengarnya. Pelanggaran terhadap maksim cara dilakukan dengan penyampaian maksud yang panjang lebar oleh B terkait lagu yang ingin didengarkannya. PENUTUP
Dalam HR, pematuhan prinsip kerja sama Grice bertujuan untuk memenuhi aspek efisiensi dalam tindak komunikasi karena HR dibatasi durasi. Sementara itu, pelanggaran-pelanggaran terhadap prinsip kerja sama Grice justru bertujuan untuk menjalin hubungan yang lebih akrab antarpartisipan, misalnya dengan bercanda.Dengan mematuhi atau melanggar prinsip kerja sama, pihak stasiun radio berharap dapat lebih mendekatkan diri dengan pendengar atau penelepon dengan cara komunikasi verbal. Semakin baik komunikasi verbal antara penyiar dan penelepon, semakin banyak pendengar yang tertarik mendengarkan stasiun radio tersebut. Akibatnya, semakin banyak keuntungan komersial yang diperoleh stasiun radio tersebut.
DAFTAR PUSTAKA Austin, John Langshaw. 1962. How to Do Things with Words. USA: President & Fellows of Harvard College. Cutting, Joan. 2008. Pragmatics and Dicourse a Resource Book for Students. Edisi Ketiga. USA: Routledge. Horn, R. Laurence; Ward, Gregory. 2006. The Handbook of Pragmatics. USA: Blackwell Jati Kesuma, Tri Mastoyo. 2007. Pengantar (Metode) Penelitian Bahasa. Yogyakarta: Carasvatibooks. Kridalaksana, Harimurti. 2011. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
87
Leech, Geoffrey. 1993. Pragmatik. Diterjemahkan oleh: Oka. Jakarta: Universitas Indonesia. Levinson, C. Stephen. 1985. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press. Lubis, Hamid Hasan. 2011. Analisis Wacana Pragmatik. Bandung: Angkasa. Mahsun. 2012. Metode Penelitian Bahasa. Edisi Revisi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Mey, Jacob. 1994. Pragmatics an Introduction. Oxford: Blackwell. . 2009. Concise Encyclopedia of Pragmatics. Edisi Kedua. Oxford: Elsevier. Nadar, F.X. 2009. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu. Rahardi, Kunjana. 2008. Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga. Rohmadi, Muhammad. 2010. Pragmatik Teori dan Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka. Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa. Verhaar, J.W. M. 1978. Pengantar Linguistik. Yogyakarta: Kanisius. Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi Offset. Wooffitt, Robin. 2005. Conversation Analysis And Discourse Analysis a Comparative and Critical Introduction. London: Sage. Wray, Alison; Trott, Kate; Bloomer, Aileen; Reay, Shirley; Butler Chris. 1998. Projects in Linguistics a Practical Guide to Researching Language. London: Arnold. Yule, George. 2006. Pragmatik. Diterjemahkan oleh: Indah Fajar Wahyuni. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
88
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
BENTUK BASA KRAMA SEMARANGAN SEBAGAI POTRET KETIDAKPAHAMANKEMEROSATAN DALAM BERTUTUR JAWA KRAMA M. Suryadi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro Semarang
[email protected] Hp: 081325318622 Abstrak Penelitian ini difokuskan pada kajian basa krama Semarangan yang dipahami dan digunakan oleh masyarakat tutur bahasa Jawa yang bertempat tinggal di Kota Semarang pada area pesisiran. Bentuk tuturan yang digunakan memiliki keunikan manakala dibandingkan dengan bahasa Jawa standar. Keunikan tersebut terjadi pada penjajaran leksikon krama dalam deret sintaksis, pemahaman atas penggunaan leksikon krama, dan asumsi terhadap kebenaran atas tuturannya. Lokasi penelitian di Kota Semarang area pesisiran, sepanjang ring Sungai Banjirkanal. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam dan focus group discus. Data dianalisis melalui penjajaran leksikon pada relasi sintaksis dengan parameter sosiodialektologi. Temuan penelitian adalah bentuk basa krama Semarangan adalah bentuk tuturan halus yang dipahami oleh mesyarakat tuturnya, yang diturunkan secara berkelanjutan, dan memiliki kelonggaran dalam pemilihan dan penempatan leksikon krama. Kata kunci: basa, krama, Semarangan, Jawa PENDAHULUAN Setiap bahasa di dunia memilki tiga komponen pokok, yakni penutur, wilayah tutur, dan kesepakatan. Berdasarkan wilayah tutur dapat ditarik kesepahaman bahwa setiap bahasa memiliki wilayah pemakaian, dan berdasarkan kesepakatan memiliki sejumlah penutur. Dengan demikian, setiap bahasa baik bagi penuturnya dan memiliki kedudukan sejajar terhadap bahasa lainnya (cf. Petyt, 1980 & Chambers, 1980). Bagaimana kedudukan bahasa Jawa di Semarang (basa Semarangan) terhadap bahasa Jawa standar (Solo-Yogyakarta). Manakala masih bergayutan terhadap bahasa Jawa standar maka basa Semarangan digolongkan bagian dari bahasa Jawa atau sebuah dialek dari bahasa Jawa. Bilamana dikaitkan dengan kesepakatan maka basa Semarangan adalah identitas diri bagi masyarakat tutur Semarang dengan segala keunikannya. Dua fenomena ini memiliki konsekuensi yang berbeda, yakni (1) basa Semarangan sebagai bagian dari bahasa Jawa atau salah satu dialek/subdialek bahasa Jawa; (2) basa Semarangan memiliki kedudukan sejajar dengan bahasa lainnya. Penelitian ini difokuskan basa Semarangan sebagai bagian dari dialek bahasa Jawa. Pilihan ini memiliki dampak penggunaan parameter tuturan tidak dapat dilepaskan dari kaidah tuturan bahasa Jawa standar. Resiko yang muncul tercermin pada rumusan masalah yang diangkat, yakni: a. Bentuk tuturan basa Semarangan sebagai wujud ketidakpahaman penggunaan bahasa Jawa yang benar. b. Bentuk tuturan basa Semarangan sebagai rambu kemerosotan penggunaan bahasa Jawa yang tepat.
Fenomena tuturan yang kerapkali muncul dalam peristiwa tutur natural dalam kehidupan sehari-hari, sebagai berikut. 01 : Bapake aku dahar sik yo 02 : Ya, rak papa, daharo sik 01 : Njih Pak. Ndherek nitih honda njih. 02 : Ya, ndhang age.
‘Ayah,saya makan terlebih dahulu ya’ ‘Ya, tidak apa-apa, makanlah dahulu’ ‘Ya Ayah’ ‘Ikut naik honda ya’ ‘Ya, segeralah’
KAJIAN PUSTAKA Hasil penelitian yang dimanfaatkan dalam kajian ini adalah sumber ilmiah yang terkait dengan penggunaan tuturan Jawa, baik pada bahasa Jawa standar maupun pada bahasa Jawa pesisiran. Bahasa Jawa standar digunakan untuk menemukan parameter penggunaan bahasa Jawa krama yang tepat dan benar sesuai
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
89
kaidah. Sedangkan, bahasa Jawa pesisiran digunakan untuk melihat tipologi penggunaan bahasa Jawa di luar ring bahasa Jawa standar.
a. Dwiraharjo, dkk (1991): Pemakaian Tingkat Tutur Krama dalam Bahasa Jawa di Kodya Surakarta Penelitian ini berkaitan dengan pemakaian tingkat tutur krama di dalam masyarakat tutur Jawa khususnya yang terjadi di daerah Kotamadia Surakarta. Adapun masalah yang dilibatkan adalah istilah tingkat tutur krama, bentuk pemakaian krama, lingkungan pemakaian krama, fungsi pemakaian krama, dan prospek pemakaian krama dalam bahasa Jawa. Namun masalah yang ditawarkan belum sempat terjawab semua, hal ini tercermin dalam pengambilan simpulan masih bersifat umum. b. Ekowardono, dkk (1991): Kaidah Penggunaan Ragam Krama Bahasa Jawa Penelitian bertujuan untuk memerikan kaidah penggunaan ragam krama bahasa Jawa baku dalam kaitannya dengan pemakaian ragam ngoko. Penelitian ini kurang melibatkan komponen tutur, lebih cenderung kepada pendekatan struktural. Akibatnya hasil penelitian lebih terfokus pada pola pembentukan bahasa Jawa krama dari bentuk ngoko, terutama pada pembentukan afiks, kata, dan sintaksis.
c. Poedjosoedarmo (1979): Tingkat Tutur Bahasa Jawa Hasil penelitian ini mendeskripsikan lima hal, yakni: sistem tingkat tutur bahasa Jawa, kosakata tingkat tutur, komponen tutur, alih kode, dan masyarakat tutur. Pada penelitian ini dijadikan rujukan terutama yang terkait dengan masyarakat tutur dan pembentukan tingkat tutur. d. Sudjati (1977): Bahasa Jawa Dialek Semarang Hasil penelitian ini lebih memfokuskan pada persoalan intensitas fonem dan beberapa varian leksikal yang diduga khas Semarang. Penelitian ini belum belum dapat dikategorikan sebagai kajian dialektologi. e.
Hartono (2010): Bahasa Semarangan, Bahasa Tutur Miskin Literatur Karya ini dapat dikategorikan sebagai kajian lokabasa dan enteri leksikon. Hartono sebagai penutur dan pecinta basa Semarangan mampu menampilkan karakteristik kosakata yang hidup dan berkembang di Kota Semarang.
METODE PENELITIAN Lokasi penelitian di Kota Semarang pada area pesisiran, yakni berada di sepanjang ring Sungai Banjirkanal. Pada kajian ini difokuskan pada tiga titik pengamatan: Mrican, Barito, dan seputar Tawang (kota lama). Data yang dikumpulkan berbentuk tuturan krama yang terjadi pada peristiwa tutur natural. Pada komponen ini data diambil melalui merekam tuturan, dibantu alat rekam dan teknik catat tersembunyi. Data yang terkait dengan informasi perihal pemahaman dan penggunaan tuturan krama dilakukan dengan cara wawancara mendalam dan focus group discus. Sumber data adalah informan yang bertempat tinggal di Kota Semarang minimal 20 tahun, mau diajak kerja dan mau meluangkan sebagaian waktunya. Jenis penelitian adalah deskriptif kualitatif yang lebih menekankan pada keempirikan lingual dalam peristiwa tutur. Ancangan yang digunakan adalan sosiodialektologi, yang selalu memperhatikan tempat kejadian tuturan dengan mempertimbangkan konteks sosiokultural yang mengikuti peristiwa tutur. Data dianalisis melalui penjajaran leksikon pada relasi sintaksis dengan parameter sosiodialektologi. Dengan demikian, dalam analisis data mempertimbangkan komponen tutur (Dwiraharjo, 2001) dan lokasi (Nothofer,1980). Komponen tutur didasarkan pada ancangan sosiolinguistik, sedang komponen lokasi didasarkan dengan ancangan dialektologi. Penjajaran kata/leksikon mempertimbangan komponen pengisi sintaksis berupa penjajaran pilihan leksikon krama dengan mempertimbangkan tata letak setiap leksikon dalam relasi sintaksis yang mempertimbangkan kepatutan sosiokultaral di mana tutuan tersebut digunakan (Ervin-Tripp, 1972).
PEMBAHASAN Fokus kajian penelitian ini adalah bentuk basa krama Semarangan. Fenomena yang paling kental melekat dalam basa Semarangan adalah penggunaan tuturan krama pada peristiwa tutur. Manakala dilihat dari segi bentuk dan varian leksikon tidak terjadi perbedaan yang signifikan. Bahkan penutur Jawa di wilayah
90
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
pemakaian Kota Semarang dengan cukup atau agak mudah menyebutkan varian leksikon krama, terutama pada leksikon krama lugu dan krama inggil. Pada penguasaan kosakata ngoko hampir seluruh penutur Kota Semarang tidak pernah mengalami kesulitan yang berarti. Fenomena ini pun dapat dipakai sebagai salah satu parameter bahwa bahasa Jawa sebagai substansi emosional kejawaan dan alat penyampai rasa tidak akan pernah terancam atau masih memiliki eksistensi yang tinggi sebagai identitas diri. Kekhasan yang muncul dari sisi leksikon ngoko adalah varian leksikon yang cenderung bersifat dialektal atau area, yang muncul atau dibuat oleh penutur yang terkait dengan alam, problematika dan dinamika kehidupan pesisir, serta identitas lokal. Bentuk keunikan leksikon ngoko tidak dikupas dalam penelitian ini, hanya sebatas pengantar informasi atau daya tarik bagi peneliti lain yang concern terhadap bahasa Jawa pesisiran. Kekuatan fenomena yang sering disoroti pada bahasa Jawa yang dipakai di Kota Semarang adalah penggunaan tuturan krama dalam peristiwa tutur. Kerapkali keunikan tersebut ditengarai sebagai bentuk konkrit bahasa Jawa pesisiran. Pecinta basa Semarangan pun dengan penuh keyakinan diri mengatakan “beginilah basa Semarangan”. Asumsi ini pun digunakan sebagai alat untuk menampik tuduhan dari pengguna bahasa Jawa lainnya, sebagai bentuk basa salah kaprah. Terlepas dari “alasan-tuduhan-pembelaan”, kajian ini mengurai letak persoalan terhadap bentuk tuturan krama basa Semarangan. Adapun bentuk tuturan krama yang kerapkali muncul dan digunakan oleh penutur Jawa di Kota Semarang, sebagai berikut. 01 02 01 02
: Nang Bapak pek tindak, Ibumu nang ndi? ‘Nak Ayah mau berangkat, ibumu di mana’ : Mboten ngertos Pak, ketingale nten sumur. ‘Tidak tahu Ayah, tampaknya ada di sumur’ : Undangna sik. ‘Panggilah dulu’ : Sekedap Pak, tasih nata buku, mangke tindakku kuliah radi gasik ‘Sebentar Ayah, masih menata buku, nanti berangkat kuliah lebih awal’
Fenomena peristiwa tutur di atas terjadi secara empiric, pada keluarga Jawa yang bertempat tinggal di area perkampungan Kota Semarang ring Basa Semarangan. Secara sekilas bentuk tuturan tersebut tidak berbeda dengan bahasa Jawa lainnya (bahasa Jawa standar), baik dari bentuk leksikon maupun variannya. Kadangkala perbedaan hanya muncul sebatas bentuk polimorfemis (kata turunan) dari penggabungan leksikon krama dengan morfem penanda bentuk ngoko. Gejala ini masih dikategorikan wajar, alih-alih dianggap sebagai bentuk madya. Fenomena yang menarik pada bentuk penggunaan tuturan krama di atas --diujarkan sang anak (02) kepada orang tuanya/ayah (01)--. Secara sekilas pemakaian leksikon pun tidak terjadi perbedaan, manakala dijajarkan dengan bahasa Jawa standar.
Glos sebentar bapak masih menyiapkan buku nanti berangkatku kuliah agak awal/l
Basa Semarangan sekedap Pak tasih nata buku mangke tindakku kuliah radi gasik
Bhs Jawa Standart sekedap Pak tasih nata buku mangke tindakku kuliah radi gasik
Berdasarkan nilai penguasaan kosakata krama penutur Jawa Kota Semarang dan penutur Jawa lainnya tidak perjadi ketimpangan. Fenomena menjadi unik (identitas local) atau menjadi tidak tepat (normative-preskriptif) bila diwujudkan dalam bentuk rentetan tuturan dalam alur komunikasi pada peristiwa tutur. Sekedap Pak, tasih nata buku, mangke tindakku kuliah radi gasik
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
91
Fenomena tuturan di atas terjadi keunikan dalam penempatan leksikon krama: tindak yang melekat pada kata ganti pronomina I atau diri penutur. Di dalam bahasa Jawa standar perilaku membasakan diri sendiri ditabukan, alih-alih dapat digunakan bentuk krama andhap atau bentuk ngoko. Namun sebaliknya, basa Semarangan bentuk membasakan diri sendiri dianggap sebagai perilaku wajar atau dianggap biasa, tidak aneh. Sehingga kerapkali ditemukan fenomena dengan bentuk tuturan sebagai berikut. (1) (2) (3) (4) (5) (6)
Kula badhe dahar. ‘Saya akan makan’ Kula sare rumiyen. ‘Saya tidur dahulu’ Mangke kula nitih pesawat. ‘Nanti saya naik pesawat’ Sakestunipun kula kunduripun radhi enjing. ‘Sesungguhnya saya pulang agak pagi’ Janjano kula tasih remen tindakan kaliyan penjenengan ‘Seharusnya saya masih suka berpergian dengan Anda’ Monggo dientusi riyen kula dereng bebusana. ‘Silakan ditunggu dahulu saya belum memakai pakaian’
Bentuk tuturan di atas memunculkan persoalan yang cukup unik. Mengapa ini terjadi dan kenapa terus-menerus digunakan? Bahkan penuturnya sendiri beranggapan bahwa inilah basa Semarangan, yang memiliki keunikan mbasake awake dewe dan dianggap sebagai kebenaran kolektif. Tampaknya bentuk tuturan tersebut yang diakui sebagai kebenaran kolektif lebih banyak disebabkan oleh: 1) Ketidakpahaman penempatan leksikon krama dalam penjajaran tuturan. 2) Kebiasaan secara turun menurun yang didukung komunitas lingkungan dalam bertutur santun. 3) Rendahnya kesadaran dalam pelestarian bentuk krama sehingga terjadi kemersotan dalam bertutur krama. 4) Keengganan bertutur krama akibat hilangnya kuwating rasa bebasa. Kebiasaan secara turun menurun dalam bertutur krama basa Semarangan yang didukung dengan asumsi yang didasarkan pada kebenaran kolektif “kramanisasi diri” merupakan faktor yang dominan. Pemakaian bahasa Jawa krama dengan sistem pewarisan yang bias memiliki peran dalam penggunaan tuturan krama basa Semarangan. Pewarisan berkelanjutan dari pewarisan yang bias akan menghasilkan ketidaktepatan penggunaan tuturan krama. Dengan demikian, factor sentral terbentuktuknya tuturan krama basa Semarangan terletak pada factor 2: kebiasaan secara turun temurun. Rangkaian tersebut dapat diformulasikan melalui bagan di bawah ini.
SIMPULAN Berdasarkan kajian di atas dapat diangkat simpulan bahwa basa krama Semarangan memiliki kelonggaran dalam pemilihan dan penempatan leksikon krama dalam bertutur. Fenomena ini terjadi akibat
92
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
ketidakpahaman dalam penempatan leksikon krama dalam bertutur santun sebagai akibat rendahnya kesadaran dalam pelestarian. Faktor sentralnya terletak pada kebiasaan secara turun temurun mewariskan tuturan krama basa Semarangan. Yang akhirnya berujung pada keengganan bertutur krama.
DAFTAR PUSTAKA Chambers, J.K. and Pater Trudgill. 1980. Dialectology. London: Cambridge University Press. Dwirahardjo, dkk. 1991. Pemakaian Tingkat Tutur Krama dalam Bahasa Jawa di Kodya Surakarta. Surakarta: UNS. Ekowardono dkk. 1991. Kaidah Penggunaan Ragam Krama Bahasa Jawa. Semarang: Kanwil Jawa Tengah. Ervin-Tripp, Susan M. 1972. “ On Sociolinguistic Rules: Alternation and Cooccurence” dalam Directions in Sociolinguistics: The Ethnography of Communication. Diedit oleh John Gumperz & Dell Hymes. New York: Holt Rinehart & Winston, 213-250. Hartono. 2010. “Bahasa Semarangan, Bahasa Tutur Miskin Literatur” dalam Seminar Nasional Pemertahanan Bahasa Nusantara. Semarang, 6 Mei 2010: Program Magister Linguistik Undip. Nothofer, Bernd.1987. “Cita-cita Penelitian Dialect” dalam Dewan Bahasa: Jurnal Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Jilid 31, Bilangan 2, pp. 128-149. Petyt, K.M. 1980. The Study of Dialect: An Introduction to Dialectology. London: Andre Deutsch. Poedjosoedarmo, Soepomo. 1979. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengambangan Bahasa. Sudjati dkk. 1976. Dialek Semarang. Semarang: P dan K
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
93
PRAGMATIK DAN PERKEMBANGAN BAHASA ANAK Miftah Nugroho Prodi Sastra Indonesia FIB UNS
[email protected] Abstrak Ulasan yang selama ini tersaji perihal perkembangan bahasa anak adalah deskripsi yang berkaitan dengan perkembangan fonologi, perkembangan morfologi, perkembangan sintaksis, dan perkembangan leksikon. Dengan kata lain, deskripsi yang selama ini gencar dibahas adalah bagaimana perkembangan anak mengujarkan suara, bagaimana anak menghasilkan kalimat, bagaimana leksikon yang anak kuasai. Pendek kata, deskripsi perkembangan bahasa anak lebih banyak menyoroti pada aspek kompetensi linguistik. Padahal pada interaksi verbal sehari-hari, penggunaan bahasa juga pada masyarakat juga terdapat aturan yang harus dipelajari dan digunakan oleh anak. Terkait dengan hal tersebut, aspek yang tak kalah penting untuk dipelajari oleh anak adalah pragmatik. Deskripsi terkait dengan perkembangan pragmatik berarti deskripsi perihal bagaimana anak memproduksi atau merealisasikan sebuah tindak tutur, bagaimana anak mengatur giliran bicara, bagaimana anak mulai belajar kesantunan berbahasa. 1. Pendahuluan Berbicara perihal bahasa anak maka lazimnya akan dikaitkan dengan istilah pemerolehan bahasa. Istilah pemerolehan bahasa (language acquisition) pada umumnya berkenaan dengan pemerolehan bahasa pertama. Istilah pemerolehan bahasa sendiri didefinisikan sebagai “proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh anak secara natural pada waktu dia belajar bahasa ibunya” (Djardjowidjojo, 2005: 225). Pada masa pemerolehan bahasa, bahasa yang digunakan anak mulai berkembang setahap demi setahap seiring bertambahnya usia anak. Pada masa pemerolehan bahasa, anak belajar berbagai aspek bahasa. Pada awalnya anak belajar bahasa dimulai dari aspek fonologi. Setelah anak mampu mengucapkan beberapa bunyi konsonan dan vokal, anak mulai belajar mengucapkan kata dan kalimat. Hal ini menandakan anak mulai belajar aspek lain dari bahasa, yaitu morfologi, sintaksis, semantik, dan leksikon. Selain aspek-aspek yang terkait dengan tata bahasa, anak juga akan belajar bagaimana menggunakan bahasa. Dengan kata lain, anak juga belajar terkait dengan aspek pragmatik, yaitu kemampuan untuk menggunakan bahasa dalam konteks sosial. Makalah ini memfokuskan pada pembentangan perihal pemerolehan dan perkembangan bahasa anak ditinjau dari aspek pragmatik. Bahwa dalam komunikasi sehari-hari anak dituntut agar dapat berbahasa secara apik dengan mematuhi aturan gramatikal, hal tersebut belumlah cukup. Keapikan berbahasa juga menuntut agar anak mematuhi aturan pragmatik. Oleh karena itu, menurut Ninio dan Snow (1996), anak harus mengembangkan pengetahuan yang diperlukan supaya bahasa yang dia gunakan dalam situasi komunikasi antarpersona itu pantas, efektif, dan sekaligus mengikuti aturan gramatikal (Dardjowidjojo, 2000: 43). Dengan demikian, anak harus dapat menguasai tindak tutur ilokusi secara apik – seperti membuat membuat pernyataan, membuat permintaan, menyapa orang lain, membuat penolakan, mengungkapkan keinginan, dan sebagainya. 2. Perkembangan Pragmatik Oleh karena pragmatik adalah bagian dari perilaku berbahasa, maka penelitian perihal pemerolehan bahasa perlu juga menelaah pengembangan kemampuan pragmatik anak. Berkenaan dengan pengembangan kemampuan pragmatik, Nino dan Snow (1999) menyatakan terdapat 4 topik yang perlu diamati yaitu (1) pemerolehan niat komunikatif dan pengembangan ungkapan bahasa, (2) pengembangan kemampuan untuk bercakap-cakap dan segala aturan yang terdapat dalam percakapan, (3) pemerolehan kesantunan, (4) pengembangan piranti untuk membetuk wacana yang kohesif.
94
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
2.1 Pemerolehan Niat Komunikatif Pada dasarnya, kemampuan pragmatik seorang anak dimulai sebelum ia dilahirkan. Kent dan Miko (Dardjowidjojo, 2000: 276) menyatakan bahwa janin di dalam kandungan sudah terekspos pada bahasa manusia melalui lingkungan intrauterin. Hal ini ditunjukkan dari kesenangan anak pada suara ibunya alih-alih suara orang lain. Setelah dilahirkan dan berumur beberapa minggu, anak mulai mengeluarkan kemampuan pragmatik melalui komunikasi nonverbal seperti senyum, tawa, tangis, dan teriakan kecil. Hal ini sejalan dengan paparan Kaswanti Purwo (1990) bahwa komunikasi awal anak dengan orang di dekatnya melalui suara tangis. Pada usia 3 minggu komunikasi anak mulai berekspresi dengan senyum. Sejalan dengan paparan Kaswanti Purwo, Nino dan Snow (Dardjowidjojo, 2005) menyatakan bahwa sesudah lahir, anak dari mingguminggu awal mulai menampakkan niat komunikatif yang ditunjukkan dengan senyuman, menoleh manakala dipanggil, menggapai apabila diberi sesuatu, dan memberikan sesuatu kepada orang lain. Aktivitas tersebut lazimnya ditemukan pada masa pra-vokalisasi. Pada masa ini juga dikenal istilah proto-deklaratif dan proto-imperatif. Proto-deklaratifdan proto-imperatif menurut Bates dalam Kaswanti Purwo (1990) adalah gerakan tangan meraih benda yang tidak bisa dijangkau karena di luar jangkauan anak. Gerakan ini lalu ditafsirkan sebagai gerakan “menunjuk sesuatu” dan “meminta sesuatu”. Gerakan “menunjuk sesuatu” disebut proto-deklaratif dan gerakan “meminta sesuatu” disebut proto-imperatif. Pada masa pravokal komunikasi anak lebih banyak ditandai dengan gerak-gerik (gestures) dan penggunaan satu silabe – seperti em, ba, dan sebagainya. Tujuan dari bentuk komunikasi tersebut untuk menarik perhatian orang dewasa. Bentuk komunikasi ini tetap menonjol hingga anak memasuki masa holofrasis atau masa kalimat satu kata pada usia 18 bulan. Bentuk ini menjadi surut ketika anak memasuki tahap sintaksis atau masa kalimat dua kata. Masa ini terjadi pada usia 2 tahun (Kaswanti Purwo, 1990). Berkenaan dengan pengungkapan niat komunikatif, Nino dan Snow menyatakan bahwa arah tuturan anak mengarah pada dirinya. Artinya, segala tuturan yang diujarkan diarahkan untuk kepentingan dirinya sendiri. Misalnya, anak akan mengutamakan kepentingan diri sendiri sehingga apa pun akan didahulukan anak apabila itu menyangkut kepentingannya. Ujaran yang dikuasai dahulu tentunya adalah ujaran meminta sesuatu alih-alih jenis ujaran yang lain. Hal tersebut menandakan bahwa anak akan mengawali dengan apa yang dia inginkan atau pikirkan alih-alih yang diinginkan atau dipikirkan oleh orang lain (Dardjowidjojo, 2000). 2.2 Pengembangan Kemampuan Bercakap-cakap dan Aturan-aturannya Percakapan sebagai bentuk dari wacana lisan pada dasarnya bukanlah wacana yang tidak memiliki aturan. Untuk menguasai aturan-aturan yang terdapat di dalam percakapan, anak menguasai secara bertahap. Percakapan pada dasarnya mengandung tiga komponen yaitu (1) pembukaan, (2) giliran, dan (3) penutup. Aturan dalam pembukaan adalah apabila seseorang mengajak maka orang lain menanggapi. Misalnya seseorang berkata “selamat siang” lazimnya akan ditanggapi dengan ucapan “selamat siang” pula. Berkenaan dengan pembukaan, seorang anak terkadang tidak selalu lancar pada saat memasuki komponen ini. Hal ini dibuktikan oleh Dardjowidjojo (2000) yang meneliti cucunya (Echa) pada saat berusia 2 tahun. Orang dewasa yang hendak bercakap-cakap dengan Echa setidaknya perlu melakukan lebih dari sekali untuk membuka suatu percakapan. Dengan kata lain, orang dewasa perlu melakukan pengulangan agar mendapat respon dari anak. Namun seiring bertambahnya usia anak, respon yang ia sampaikan pada saat pembukaan menjadi lebih cepat. Sementara itu, aturan giliran bicara terdapat dalam bagian batang tubuh percakapan. Aturan ini terutama berkaitan dengan sistem giliran bicara (turn-taking systems). Aturan giliran bicara meliputi (1) giliran bicara selanjutnya adalah orang yang diajak bicara penutur, (2) giliran bicara berikutnya lagi adalah orang yang berbicara lebih dahulu, dan (3) giliran bicara berikutnya lagi adalah penutur manakala tidak ada orang lain yang berbicara. Berkenaan dengan aturan tersebut, penelitian Dardjowidjojo (2000) menunjukkan bahwa anak mulai menguasai aturan giliran bicara sekitar 1,6 tahun. Selain kemampuan dalam mematuhi giliran bicara (turn taking), Ninio dan Snow (1999) mengemukakan bahwa pengembangan kemampuan bercakap-cakap juga meliputi pemilihan dan pemertahanan topik. Ketika berinteraksi dengan teman sebaya, anak sering gagal mempertahankan PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
95
topik. Ninio dan Snow (1999) dengan mengutip pendapat Corsaro (1979), Hemphill dan Siperstein (1990), Krashen (1980), dan Evans (1987) menyatakan bahwa kemampuan percakapan dapat memainkan peran penting ke dalam akses anak pada interaksi sosial dengan teman sebaya, menentukan peneriman teman sebaya, akses pemelajar kedua ke bahasa target, dan membuat kesan positif kepada guru dan orang lain yang berpengaruh. 2.3 Pemerolehan Kesantunan Selain belajar bagaimana mengekspresikan tindak ilokusioner, hal lain yang mestinya ia pelajari adalah bahwa dalam berinteraksi dengan orang lain terdapat aturan-aturan atau normanorma sosial yang harus ia patuhi. Salah satu aturan yang mesti ia pelajari adalah kesantunan. Dengan belajar kesantunan, seorang anak akan belajar bahwa terdapat norma sosial-budaya yang berlaku di dalam masyarakat yang harus ia ketahui, pelajari, dan patuhi pada saat berinteraksi dengan orang lain. Bahwa kesantunan juga tercerminkan dalam penggunaan bahasa sehari-hari. Ninio dan Snow (1999) mengemukakan bahwa salah satu tuturan yang berkaitan dengan kesantunan adalah menyapa (greetings). Selain itu, kesantunan juga terkait dengan pengucapan please dan thank you, meminta maaf, menghindari penggunaan slang dan kata yang tidak sopan, menanggapi pertanyaan, tidak menginterupsi. 2.4 Pengembangan Piranti untuk Membentuk Wacana yang Kohesif Wacana dapat dibedakan atas wacana monolog dan wacana dialog. Terkait dengan penguasaan pragmatik, wacana untuk pemerolehan pragmatik anak lazimnya berbentuk percakapan atau dialog. Percakapan dapat terjadi antara anak dengan orang dewasa atau anak dengan anak. Dardjowidjojo (2000) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa wacana pada anak yang diteliti berbentuk dialog. Dalam wacana yang bersifat dialog, Ninio dan Snow (1999) menyatakan bahwa anak harus belajar bagaimana tuturan yang diujarkan bersifat kohesif. Piranti yang sering digunakan adalah elipsis. Selain itu, piranti lain yang digunakan adalah pronomina atau deiksis yang anaforis, mengulangi atau memparafrase nomina, dan sebagainya. 3. Penutup Pemerolehan bahasa tidak hanya berkenaan dengan aspek tata bahasa, namun juga aspek pragmatik. Jika aspek tata bahasa membuat bahasa yang diproduksi anak menjadi gramatikal atau benar, aspek pragmatik membuat bahasa yang digunkan anak menjadi baik atau patut sesuai dengan konteks sosial. Jika aspek pragmatik itu berhasil dikuasai, tentunya anak memiliki kemampuan pragmatik yang dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan orang lain, baik itu dengan teman sebanya atau dengan orang dewasa. Aspek pragmatik yang perlu dikuasai oleh seorang anak meliputi empat hal yaitu (1) mengungkapkan niat komunikatif, (2) mengembangkan kemampuan bercakap-cakap, (3) mengembangkan kesantunan, dan (4) menguasai piranti yang membentuk wacana agar kohesif. Namun yang perlu diingat bahwa penguasaan pragmatik setiap anak berbeda satu dengan yang lain. Daftar Pustaka Dardjowidjojo, Soejono. 2000. Echa Kisah Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia. Jakarta: Grasindo Dardjowidjojo, Soejono. 2005. Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Darmojuwono, Setiawati dan Kushartanti. 2005. “Aspek Kognitif Bahasa” dalam Kushartanti, Untung Yuwono, dan Multamia RMT Lauder (penyunting) Pesona Bahasa Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Kaswanti Purwo, Bambang. 1990. “Perkembangan Bahasa Anak: Pragmatik dan Tata Bahasa” dalam Bambang Kaswanti Purwo (penyunting) PELLBA 3. Yogyakarta: Penerbit Kanisius dan Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya Jakarta. Kushartanti, B. 2009. “Strategi Kesantunan Bahasa pada Anak-anak Usia Prasekolah: Mengungkapkan Keinginan” dalam Linguistik Indonesia. Jakarta: MLI dan Yayasan Obor Indonesia Ninio, A. dan Snow C. 1999. “The Development of Pragmatics: Learning to Use Language Appropriatly” dalam T.K. Bhatia dan W.C. Ritchie (eds.) Handbook of Languag Acquisition (hlm 347-383). New York: Academic Press.
96
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
PRAGMATIK DAN PERKEMBANGAN BAHASA ANAK Miftah Nugroho Prodi Sastra Indonesia FIB UNS
[email protected] Abstrak Ulasan yang selama ini tersaji perihal perkembangan bahasa anak adalah deskripsi yang berkaitan dengan perkembangan fonologi, perkembangan morfologi, perkembangan sintaksis, dan perkembangan leksikon. Dengan kata lain, deskripsi yang selama ini gencar dibahas adalah bagaimana perkembangan anak mengujarkan suara, bagaimana anak menghasilkan kalimat, bagaimana leksikon yang anak kuasai. Pendek kata, deskripsi perkembangan bahasa anak lebih banyak menyoroti pada aspek kompetensi linguistik. Padahal pada interaksi verbal sehari-hari, penggunaan bahasa juga pada masyarakat juga terdapat aturan yang harus dipelajari dan digunakan oleh anak. Terkait dengan hal tersebut, aspek yang tak kalah penting untuk dipelajari oleh anak adalah pragmatik. Deskripsi terkait dengan perkembangan pragmatik berarti deskripsi perihal bagaimana anak memproduksi atau merealisasikan sebuah tindak tutur, bagaimana anak mengatur giliran bicara, bagaimana anak mulai belajar kesantunan berbahasa.
PENDAHULUAN Berbicara perihal bahasa anak maka lazimnya akan dikaitkan dengan istilah pemerolehan bahasa. Istilah pemerolehan bahasa (language acquisition) pada umumnya berkenaan dengan pemerolehan bahasa pertama. Istilah pemerolehan bahasa sendiri didefinisikan sebagai “proses penguasaan bahasa yang dilakukan oleh anak secara natural pada waktu dia belajar bahasa ibunya” (Djardjowidjojo, 2005: 225). Pada masa pemerolehan bahasa, bahasa yang digunakan anak mulai berkembang setahap demi setahap seiring bertambahnya usia anak. Pada masa pemerolehan bahasa, anak belajar berbagai aspek bahasa. Pada awalnya anak belajar bahasa dimulai dari aspek fonologi. Setelah anak mampu mengucapkan beberapa bunyi konsonan dan vokal, anak mulai belajar mengucapkan kata dan kalimat. Hal ini menandakan anak mulai belajar aspek lain dari bahasa, yaitu morfologi, sintaksis, semantik, dan leksikon. Selain aspek-aspek yang terkait dengan tata bahasa, anak juga akan belajar bagaimana menggunakan bahasa. Dengan kata lain, anak juga belajar terkait dengan aspek pragmatik, yaitu kemampuan untuk menggunakan bahasa dalam konteks sosial. Makalah ini memfokuskan pada pembentangan perihal pemerolehan dan perkembangan bahasa anak ditinjau dari aspek pragmatik. Bahwa dalam komunikasi sehari-hari anak dituntut agar dapat berbahasa secara apik dengan mematuhi aturan gramatikal, hal tersebut belumlah cukup. Keapikan berbahasa juga menuntut agar anak mematuhi aturan pragmatik. Oleh karena itu, menurut Ninio dan Snow (1996), anak harus mengembangkan pengetahuan yang diperlukan supaya bahasa yang dia gunakan dalam situasi komunikasi antarpersona itu pantas, efektif, dan sekaligus mengikuti aturan gramatikal (Dardjowidjojo, 2000: 43). Dengan demikian, anak harus dapat menguasai tindak tutur ilokusi secara apik – seperti membuat membuat pernyataan, membuat permintaan, menyapa orang lain, membuat penolakan, mengungkapkan keinginan, dan sebagainya.
PERKEMBANGAN PRAGMATIK Oleh karena pragmatik adalah bagian dari perilaku berbahasa, maka penelitian perihal pemerolehan bahasa perlu juga menelaah pengembangan kemampuan pragmatik anak. Berkenaan dengan pengembangan kemampuan pragmatik, Nino dan Snow (1999) menyatakan terdapat 4 topik yang perlu diamati yaitu (1) pemerolehan niat komunikatif dan pengembangan ungkapan bahasa, (2) pengembangan kemampuan untuk bercakap-cakap dan segala aturan yang terdapat dalam percakapan, (3) pemerolehan kesantunan, (4) pengembangan piranti untuk membetuk wacana yang kohesif.
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
97
2.1 Pemerolehan Niat Komunikatif Pada dasarnya, kemampuan pragmatik seorang anak dimulai sebelum ia dilahirkan. Kent dan Miko (Dardjowidjojo, 2000: 276) menyatakan bahwa janin di dalam kandungan sudah terekspos pada bahasa manusia melalui lingkungan intrauterin. Hal ini ditunjukkan dari kesenangan anak pada suara ibunya alih-alih suara orang lain. Setelah dilahirkan dan berumur beberapa minggu, anak mulai mengeluarkan kemampuan pragmatik melalui komunikasi nonverbal seperti senyum, tawa, tangis, dan teriakan kecil. Hal ini sejalan dengan paparan Kaswanti Purwo (1990) bahwa komunikasi awal anak dengan orang di dekatnya melalui suara tangis. Pada usia 3 minggu komunikasi anak mulai berekspresi dengan senyum. Sejalan dengan paparan Kaswanti Purwo, Nino dan Snow (Dardjowidjojo, 2005) menyatakan bahwa sesudah lahir, anak dari mingguminggu awal mulai menampakkan niat komunikatif yang ditunjukkan dengan senyuman, menoleh manakala dipanggil, menggapai apabila diberi sesuatu, dan memberikan sesuatu kepada orang lain. Aktivitas tersebut lazimnya ditemukan pada masa pra-vokalisasi. Pada masa ini juga dikenal istilah proto-deklaratif dan proto-imperatif. Proto-deklaratifdan proto-imperatif menurut Bates dalam Kaswanti Purwo (1990) adalah gerakan tangan meraih benda yang tidak bisa dijangkau karena di luar jangkauan anak. Gerakan ini lalu ditafsirkan sebagai gerakan “menunjuk sesuatu” dan “meminta sesuatu”. Gerakan “menunjuk sesuatu” disebut proto-deklaratif dan gerakan “meminta sesuatu” disebut proto-imperatif. Pada masa pravokal komunikasi anak lebih banyak ditandai dengan gerak-gerik (gestures) dan penggunaan satu silabe – seperti em, ba, dan sebagainya. Tujuan dari bentuk komunikasi tersebut untuk menarik perhatian orang dewasa. Bentuk komunikasi ini tetap menonjol hingga anak memasuki masa holofrasis atau masa kalimat satu kata pada usia 18 bulan. Bentuk ini menjadi surut ketika anak memasuki tahap sintaksis atau masa kalimat dua kata. Masa ini terjadi pada usia 2 tahun (Kaswanti Purwo, 1990). Berkenaan dengan pengungkapan niat komunikatif, Nino dan Snow menyatakan bahwa arah tuturan anak mengarah pada dirinya. Artinya, segala tuturan yang diujarkan diarahkan untuk kepentingan dirinya sendiri. Misalnya, anak akan mengutamakan kepentingan diri sendiri sehingga apa pun akan didahulukan anak apabila itu menyangkut kepentingannya. Ujaran yang dikuasai dahulu tentunya adalah ujaran meminta sesuatu alih-alih jenis ujaran yang lain. Hal tersebut menandakan bahwa anak akan mengawali dengan apa yang dia inginkan atau pikirkan alih-alih yang diinginkan atau dipikirkan oleh orang lain (Dardjowidjojo, 2000). 2.2 Pengembangan Kemampuan Bercakap-cakap dan Aturan-aturannya Percakapan sebagai bentuk dari wacana lisan pada dasarnya bukanlah wacana yang tidak memiliki aturan. Untuk menguasai aturan-aturan yang terdapat di dalam percakapan, anak menguasai secara bertahap. Percakapan pada dasarnya mengandung tiga komponen yaitu (1) pembukaan, (2) giliran, dan (3) penutup. Aturan dalam pembukaan adalah apabila seseorang mengajak maka orang lain menanggapi. Misalnya seseorang berkata “selamat siang” lazimnya akan ditanggapi dengan ucapan “selamat siang” pula. Berkenaan dengan pembukaan, seorang anak terkadang tidak selalu lancar pada saat memasuki komponen ini. Hal ini dibuktikan oleh Dardjowidjojo (2000) yang meneliti cucunya (Echa) pada saat berusia 2 tahun. Orang dewasa yang hendak bercakap-cakap dengan Echa setidaknya perlu melakukan lebih dari sekali untuk membuka suatu percakapan. Dengan kata lain, orang dewasa perlu melakukan pengulangan agar mendapat respon dari anak. Namun seiring bertambahnya usia anak, respon yang ia sampaikan pada saat pembukaan menjadi lebih cepat. Sementara itu, aturan giliran bicara terdapat dalam bagian batang tubuh percakapan. Aturan ini terutama berkaitan dengan sistem giliran bicara (turn-taking systems). Aturan giliran bicara meliputi (1) giliran bicara selanjutnya adalah orang yang diajak bicara penutur, (2) giliran bicara berikutnya lagi adalah orang yang berbicara lebih dahulu, dan (3) giliran bicara berikutnya lagi adalah penutur manakala tidak ada orang lain yang berbicara. Berkenaan dengan aturan tersebut, penelitian Dardjowidjojo (2000) menunjukkan bahwa anak mulai menguasai aturan giliran bicara sekitar 1,6 tahun. Selain kemampuan dalam mematuhi giliran bicara (turn taking), Ninio dan Snow (1999) mengemukakan bahwa pengembangan kemampuan bercakap-cakap juga meliputi pemilihan dan pemertahanan topik. Ketika berinteraksi dengan teman sebaya, anak sering gagal mempertahankan topik. Ninio dan Snow (1999) dengan mengutip pendapat Corsaro (1979), Hemphill dan Siperstein
98
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
(1990), Krashen (1980), dan Evans (1987) menyatakan bahwa kemampuan percakapan dapat memainkan peran penting ke dalam akses anak pada interaksi sosial dengan teman sebaya, menentukan peneriman teman sebaya, akses pemelajar kedua ke bahasa target, dan membuat kesan positif kepada guru dan orang lain yang berpengaruh. 2.3 Pemerolehan Kesantunan Selain belajar bagaimana mengekspresikan tindak ilokusioner, hal lain yang mestinya ia pelajari adalah bahwa dalam berinteraksi dengan orang lain terdapat aturan-aturan atau normanorma sosial yang harus ia patuhi. Salah satu aturan yang mesti ia pelajari adalah kesantunan. Dengan belajar kesantunan, seorang anak akan belajar bahwa terdapat norma sosial-budaya yang berlaku di dalam masyarakat yang harus ia ketahui, pelajari, dan patuhi pada saat berinteraksi dengan orang lain. Bahwa kesantunan juga tercerminkan dalam penggunaan bahasa sehari-hari. Ninio dan Snow (1999) mengemukakan bahwa salah satu tuturan yang berkaitan dengan kesantunan adalah menyapa (greetings). Selain itu, kesantunan juga terkait dengan pengucapan please dan thank you, meminta maaf, menghindari penggunaan slang dan kata yang tidak sopan, menanggapi pertanyaan, tidak menginterupsi. 2.4 Pengembangan Piranti untuk Membentuk Wacana yang Kohesif Wacana dapat dibedakan atas wacana monolog dan wacana dialog. Terkait dengan penguasaan pragmatik, wacana untuk pemerolehan pragmatik anak lazimnya berbentuk percakapan atau dialog. Percakapan dapat terjadi antara anak dengan orang dewasa atau anak dengan anak. Dardjowidjojo (2000) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa wacana pada anak yang diteliti berbentuk dialog. Dalam wacana yang bersifat dialog, Ninio dan Snow (1999) menyatakan bahwa anak harus belajar bagaimana tuturan yang diujarkan bersifat kohesif. Piranti yang sering digunakan adalah elipsis. Selain itu, piranti lain yang digunakan adalah pronomina atau deiksis yang anaforis, mengulangi atau memparafrase nomina, dan sebagainya. PENUTUP Pemerolehan bahasa tidak hanya berkenaan dengan aspek tata bahasa, namun juga aspek pragmatik. Jika aspek tata bahasa membuat bahasa yang diproduksi anak menjadi gramatikal atau benar, aspek pragmatik membuat bahasa yang digunkan anak menjadi baik atau patut sesuai dengan konteks sosial. Jika aspek pragmatik itu berhasil dikuasai, tentunya anak memiliki kemampuan pragmatik yang dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan orang lain, baik itu dengan teman sebanya atau dengan orang dewasa. Aspek pragmatik yang perlu dikuasai oleh seorang anak meliputi empat hal yaitu (1) mengungkapkan niat komunikatif, (2) mengembangkan kemampuan bercakap-cakap, (3) mengembangkan kesantunan, dan (4) menguasai piranti yang membentuk wacana agar kohesif. Namun yang perlu diingat bahwa penguasaan pragmatik setiap anak berbeda satu dengan yang lain. DAFTAR PUSTAKA Dardjowidjojo, Soejono. 2000. Echa Kisah Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia. Jakarta: Grasindo Dardjowidjojo, Soejono. 2005. Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Darmojuwono, Setiawati dan Kushartanti. 2005. “Aspek Kognitif Bahasa” dalam Kushartanti, Untung Yuwono, dan Multamia RMT Lauder (penyunting) Pesona Bahasa Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Kaswanti Purwo, Bambang. 1990. “Perkembangan Bahasa Anak: Pragmatik dan Tata Bahasa” dalam Bambang Kaswanti Purwo (penyunting) PELLBA 3. Yogyakarta: Penerbit Kanisius dan Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya Jakarta.
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
99
Kushartanti, B. 2009. “Strategi Kesantunan Bahasa pada Anak-anak Usia Prasekolah: Mengungkapkan Keinginan” dalam Linguistik Indonesia. Jakarta: MLI dan Yayasan Obor Indonesia Ninio, A. dan Snow C. 1999. “The Development of Pragmatics: Learning to Use Language Appropriatly” dalam T.K. Bhatia dan W.C. Ritchie (eds.) Handbook of Languag Acquisition (hlm 347-383). New York: Academic Press.
100
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
PERSAMAAN PERAN SATUAN LINGUAL BERPRONOMINA PERSONA KETIGA PADA TEKS TERJEMAHAN AL-QUR’AN DAN HADIS Naimul Faizah, Markhamah, Abdul Ngalim, Muhammad Muinuddinilah B Program Studi Magister Pengkajian Bahasa, Pascasarjana, dan Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, FKIP, Universitas Muhammadiyah Surakarta Jalan A. Yani, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia E-mail:
[email protected] HP. 085728339512 Abstrak Penelitian mengenai perbandingan penggunaan pronomina persona ketiga pada teks terjemahan Al-Qur’an dan teks terjamahan hadis masih belum banyak dilakukan. Penelitian ini memiliki dua tujuan mengidentifikasi persamaan peran satuan lingual yang mengandung pronomina persona. Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif. Subjek penelitian ini adalah teks terjemahan Al-Quran (TTA) dan teks terjemahan Hadis (TTH) yang mengandung etika berbahasa. Adapun objek pada penelitian ini ialah satuan lingual ber-PP III pada TTA dan TTH. Data penelitian ini berupa klausa yang mengandung satuan lingual ber-PP III pada TTA dan TTH. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode simak dan teknik catat. Analisis data dilakukan dengan metode padan dan metode agih. Hasil penelitian menunjukkan persamaan peran satuan lingual ber-PP III antara TTA dan TTH adalah: (1) peran pelaku, diantaranya “Dia”, “mereka”, “ia”, dan “dari mereka”; (2) peran arah, yaitu “kepada-Nya”; (3) peran penerima, yaitu “kepada mereka”. Kata kunci: satuan lingual berpronomina persona ketiga, persamaan, peran, implikasi
PENDAHULUAN Penggunaan pronomina persona banyak ditemukan pada teks terjemahan Al-Quran dan teks terjemahan hadis. Al-Quran merupakan kitab suci umat Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw sebagai penyempurna kitab-kitab terdahulu. Adapun hadis merupakan sesuatu yang baru. Berdasarkan pendapat ulama, hadis merupakan segala perkataan Nabi Saw, perbuatan, dan hal ihwalnya. Lebih lanjut lagi, di dalam teks terjemahan Al-Quran dan teks terjemahan hadis terdapat penggunaan pronomina persona, khususnya pronomina persona ketiga. Penggunaan pronomina persona ini mengacu pada pada orang ketiga, baik tunggal maupun jamak. Dalam bahasa Indonesia, pronomina persona dapat berupa saya, kamu, dia, kami, kalian, maupun mereka. Pada penggunaanya, tidak ada pengaruh dari gender pada objek yang diacu. Hal ini berbeda dengan penggunaan pronomina yang terdapat pada bahasa Arab -anna, antum, hiya, humma, antuma, antunna- penggunaan pronomina persona tergantung dari gender yang diacu. Keunikan tersebut membuat peneliti melakukan penelitian pronomina persona yang yang terdapat pada teks terjemahan Al-Quran dan teks terjemahan hadis karena teks terjemahan ini berawal dari bahasa yang ditulis dengan bahasa Arab. Kajian ini akan difokuskan pada dua hal, yaitu: (1) persamaan satuan lingual pada TTA dan TTH dilihat dari peran yang mendudukinya; dan (2) implementasi kajian dengan matakuliah sintaksis. Kajian mengenai pronominal dilakukan oleh Prayogi (2012). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hanya terdapat tiga buah suku kata yang menjadi klitik pronomina, yakni ku, mu, dan nya dengan ku- sebagai proklitik, dan -ku, -mu, serta -nya sebagai enklitik. Sartika (2013) meneliti pronomina persona yang digunakan mahasiswa jurusan sastra daerah fakultas ilmu budaya Universitas Andalas. Dari hasil analisis data dapat disimpulkan bahwa bentuk-bentuk PP yang digunakan mahasiswa FIBUA terbagi atas tiga bagian, yaitu PP pertama (I), PP kedua (II), dan PP ketiga (III). Kajian mengenai satuan lingual ber-PP III pada TTA dilakukan oleh Fuadillah (2015). Adapun penelitian mengenai satuan lingual ber-PP III pada TTH dilakukan oleh Reistanti (2015). Perbandingan satuan lingual ber-PP III pada TTA dan TTH ini didasarkan pada hasil penelitian kedua peneliti tersebut.
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
101
Selain itu, Darsana (2013) meneliti power dan salidaritas elita Indonesia pada era reformasi refleksi pada pronomina persona pemakaian bahasa Indonesia. Promina persona aku, ku, engkau, kan, dan kalian hampir tidak digunakan di era reformasi. Bahkan, sangat umum terjadi bahwa persona pertama tunggal sering digunakan kami. Persona kedua engkau dan kamu jarang digunakan. Sebaliknya, bentuk Anda dan kalian atau audara lebih sering digunakan. Pronomina beliau untuk orang ketiga yang secara kaidah biasa untuk lawan superior, di era reformasi digunakan untuk kamu superior. Markhamah (2012:133) mengungkapkan bahwa pronomina merupakan kategori yang berfungsi untuk menggantikan nomina. Pronomina memiliki ciri berafiks dan hanya pronomina tertentu yang bisa direduplikasikan, misalnya kami-kami, beliau-beliau, dan mereka-mereka. Lebih dalam lagi, Sumarlam (2008:24) mengungkapkan bahwa pegacuan persona direalisasikan melalui pronomina persona (kata ganti), yang meliputi persona pertama (persona I), kedua (persona II), dan ketiga (persona III), baik tunggal maupun maupun jamak. Analisis peran berhubungan erat dengan analisis makna dari unsur pengisi fungsi dalam klausa (Markhamah, 2009:136). Makna merupakan isi semantik unsur-unsur satuan gramatik, baik berupa klausa maupun frasa. Makna bersifat relasiona, artinya satu unsur satuan gramatik ditentukan maknanya berdasarkan hubungannya dengan unsur satuan gramatik yang lain (Ramlan dalam Markhamah, 2009:136). METODE Penelitian ini termasuk pada jenis penelitian kualitatif. Penelitian dilakukan dengan cara mendeskripsikan menggunakan kata-kata dan bahasa dalam suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan metode-metode yang alamiah (Moleong, 2014:6). Subjek dalam penelitian ini adalah teks terjemahan Al-Quran dan teks terjemahan Hadis yang mengandung etika berbahasa. Adapun objek pada penelitian ini ialah pronomina persona ketiga pada teks terjemahan Al-Quran dan teks terjemahan hadis. Data pada penelitian ini berupa klausa yang mengandung satuan lingual berpronomina persona ketiga pada TTA dan TTH. Data penelitian ini merupakan data sekunder, yakni data yang merupakan hasil analisis Fuadillah (2014), Reistanti (2015), Markhamah, dkk..(2014; 2015) Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan metode simak yaitu dengan menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto, 1993:133). Selanjutnya digunakan pula teknik catat. Selain itu, gunakan pula teknik dokumentasi. Esterberg (dalam Sarosa, 2012:61) mengungkapkan bahwa dokumentasi merupakan segala sesuatu materi dalam bentuk tertulis yang dibuat oleh manusia. Analisis data dilakukan dengan metode padan dan metode agih (Sudaryanto, 1993). Metode padan yang digunakan adalah subjenis padan referensial. Metode ini digunakan untuk menganalisis fungsi, kategori, dan peran sintaksis satuan lingual yang mengandung pronomina persona. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Persamaan satuan lingual berpronomina persona III pada TTA dan TTH berperan pelaku Berikut beberapa satuan lingual berperan pelaku yang sama-sama ditemukan pada TTA dan TTH. a) Kesamaan satuan lingual “Dia” Satuan lingual yang sama-sama ditemukan pada TTA dan TTH ialah “Dia”. Satuan lingual ini termasuk pada jenis kata. Adapun sebagai pronomina persona ketiga termasuk pada jenis pronomina persona tunggal. Berikut contoh teks terjemahan Al-Quran dan Hadist yang mengandung satuan lingual “Dia” berperan pelaku. (a1) (2:31-32) (1) “Dan Dia mengajarkan Adam Nama-nama seluruhnya (a2) Teks ke-19 (III:251) (13) sampai dia menikahinya Berdasarkan beberapa contoh di atas terlihat bahwa terdapat kesamaan satuan lingual berpronomina persona ketiga berperan sebagai pelaku. Satuan lingual yang dimaksud ialah “Dia”. Pronomina persona ini termasuk pada jenis pronomina persona tunggal yang merujuk pada suatu hal. Rujukan pada teks (a1) mengacu kepada “Allah” karena satuan lingual “Dia” dituliskan sebagai huruf kapital pada “D”. Sedangkan teks (a2) merujuk pada manusia.
102
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
b)
Kesamaan satuan lingual “mereka” Selain satuan lingual “Dia”, ditemukan pula kesamaan satuan lingual berpronomona persona ketiga “mereka”. Bila PP III “Dia” merujuk pada orang ketiga tunggal, PP III “mereka” merujuk pada orang ketiga jamak. Adapun kesamaan satuan lingual berpronomina persona III “mereka” dengan peran pelaku dapat dilihat pada teks terjemahan berikut. (b1) (2:31-32) (6) Mereka menjawab (b2) Teks ke-20 (III:280) (11), (15), dan (19) tetapi mereka menolak Kehadiran peran pelaku ini dapat diidentifikasi pula dengan pertanyaan “Siapa yang melakukan kegiatan?”. Pada data tersebut terlihat jelas bahwa pronomina persona III “mereka” berperan sebagai pelaku karena merupakan jawaban dari aktivitas-aktivitas yang disebutkan pada predikat. Misalnya, pada teks (b2) dipertanyakan “Siapa yang menolak”, jawabannya ialah “mereka”. c) Kesamaan satuan lingual “ia” Selain “Dia” dan “mereka”, satuan lingual pronomina persona ketiga “ia” juga sama-sama ditemukan pada TTA dan TTH. Pronomina persona ketiga ini merujuk pada orang ketiga tunggal. Berikut disajikan pronomina persona ketiga “ia” pada TTA. (c1) (19:1-3) (2) Zakariya, yaitu tatkala ia menyeru dengan suara yang lembut Data (c1) menunjukkan satuan lingual berpronomina persona III yang berperan sebagai pelaku. Satuan lingual ini merupakan satuan lingual yang merujuk pada orang ketiga tunggal. Cara mengidentifikasinya dapat dilakukan pula dengan menggunakan pertanyaan “Siapa yang melakukan aktivitas?”. Maka jawabannya adalah “ia”. Adapun satuan lingual berpronomina persona III pada TTH dapat dilihat pada data berikut. (c2) Teks ke-22 (IV:54) (19) Hendaknya ia menganjurkan kebaikan Pada data (c3) terlihat pula adanya satuan lingual “ia” sebagai pronomina persona ketiga yang berperan sebagai pelaku. Kehadiran satuan lingual ini juga dapat diidentifikasi dengan “Siapa yang menganjurkan?”, jawabannya adalah “ia”. d) Kesamaan satuan lingual “dari mereka” Berbeda dengan wujud satuan lingual berperan pelaku yang sebelumnya ditemukan pada TTA dan TTH, satuan lingual yang ditemukan berikutnya berupa frasa, yaitu “dari mereka”. Berikut contoh data yang diambil dari TTH. (d1) (34:31) (5) sebagian dari mereka menghadapkan perkataan kepada sebagian yang lain Satuan lingual berpronomina persona III “dari mereka” pada TTA berperan pelaku hanya ditemukan sebanyak 1 data. Demikian pula pada TTH yang dapat dilihat pada teks berikut. (d2) Teks ke-46 (IV:74) (10) akan melepaskan Engkau dari mereka Sebagai pronomina persona ketiga, frasa ini merujuk pada orang ketiga jamak. Kedua data di atas menunjukkan peran frasa “dari mereka”, yaitu peran pelaku. Peran ini menunjukkan pelaku dari aktivitas yang dijelaskan pada predikat yang menunjukkan kata kerja. Pada teks (d1) predikat yang menunjukkan aktivitas ialah “menghadapkan”. Bila diidentifikasi dengan kalimat tanya “Siapa yang menghadapkan perkatakaan kepada sebagain yang lain?”, jawabannya ialah “sebagian dari mereka”. 2.
Persamaan satuan lingual berpronomina persona III pada TTA dan TTH berperan arah Satuan lingual berpronomina persona ketiga peran arah juga ditemukan pada TTA dan TTH. Adapun satuan lingual yang dimaksud hanya ditemukan sebanyak satu satuan lingual. Berikut penjelasannya. a)
Kesamaan satuan lingual “kepada-Nya” Satuan lingual pronomina persona ketiga peran arah yang sama-sama ditemukan pada TTA dan TTH ialah “kepada-Nya”. Pronomina persona ketiga ini menggantikan orang ketiga tunggal. Adapun wujudnya berupa frasa “kepada Dia”. Berikut contoh TTA yang menunjukkan satuan lingual berpronomina persona III peran arah. (a1) (46:31-32) (2) dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah SWT akan mengampuni dosadosa kamu dan melepaskan kamu dari azab yang pedih Pada data (a1) di atas, peran arah ditandai dengan satuan lingual “kepada-Nya”. Peran ini dapat diidentifikasi dengan pertanyaan “Kemana kamu beriman?”, maka jawabannya ialah PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
103
“kepada-Nya” yang merujuk kepada “Allah”. Adapun peran arah pada TTH ditunjukkan dari data berikut. (a2) Teks ke-27 (IV:59) (6) maka dikatakan kepadanya Data (a2) di atas juga menunjukkan satuan lingual berPP III yang sama-sama ditemukan pada TTA dan TTH. Namun demikian, makna yang dirujuk oleh klitik “-Nya” pada (a1) menunjukkan perbedaan pada PP III “-nya” pada (a2). Jika makna klitik “-Nya” pada (a1) merujuk pada Allah karena dituliskan dengan huruf kapital, makna klitik “-nya” pada (a2) merujuk pada manusia. 3. Kesamaan satuan lingual berpronomina persona III pada TTA dan TTH berperan penerima Adapun satuan lingual berpronomina persona ketiga berperan penerima yang sama-sama ditemukan pada TTA dan TTH sebagai berikut. a) Kesamaan satuan lingual “kepada mereka” Kesamaan satuan lingual berpronomina persona ketiga peran penerima hanya ditemukan sebanyak satu data. Kesamaan tersebut ditunjukkan pada satuan lingual “kepada mereka”. Satuan lingual ini merujuk pada kata ganti orang ketiga jamak karena ditandai dengan kata “mereka”. Berikut contoh teks terjemahan berperan penerima. (a1) (4:5) (4) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik”. Terjemahan ayat tersebut menunjukkan peran penerima. Hal ini dapat diidentifikasi dengan menggunakan kalimat tanya “Siapa yang menerima kata-kata yang baik itu?”, jawabannya adalah “kepada mereka (diucapkan kata-kata yang baik)”. Adapun pada TTH ditunjukkan pada terjemahan teks berikut. (a2) Teks ke-40 (IV:66-67) (5) maka Rasulullah berseru kepada mereka Satuan lingual “kepada mereka” pada terjemahan teks di atas juga menunjukkan peran penerima seperti pada (a1). Keduanya merupakan kata ganti orang ketiga jamak dan sama-sama berupa frasa. Data (a2) dapat diidentifikasi dengan pertanyaan “Siapa yang menerima seruan Rasulullah?, jawabannya adalah “kepada mereka (Rasulullah berseru)”. SIMPULAN Persamaan satuan lingual berpronomina persona ketiga pada TTA dan TTH ditemukan pada beberapa peran, yaitu: (1) peran pelaku, diantaranya “Dia”, “mereka”, “ia”, dan “dari mereka”; (2) peran arah, yaitu “kepada-Nya”; (3) peran penerima, yaitu “kepada mereka”. Kaitannya sebagai materi matakuliah sintaksis, kajian ini cocok digunakan sebagai referensi bagi dosen dan mahasiswa karena diambil contoh yang konkret pada penggunaan pronomina persona ketiga di TTA dan TTH. DAFTAR PUSTAKA Darsana (2013). “Power dan Salidaritas Elita Indonesia pada Era Reformasi Refleksi pada Pronomina Persona Pemakaian Bahasa Indonesia”. Linguistika. Vol.16, No.31, Hal.114. Fuadillah, Annisa. 2015. “Satuan Lingual yang Mengandung Pronomina Persona Ketiga pada Teks Terjemahan Al-Qur’an. Tesis. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta Markhamah. 2009. Ragam dan Analisis Kalimat Bahasa Indonesia. Surakarta: Universitas University Press. Markhamah. 2012. Sintaksis 2 (Keselarasan Fungsi, Kategori, & Peran Dalam Klausa). Surakarta: Muhammadiyah University Press.Markhamah, dkk. 2012. ”Pengembangan Materi Ajar dan Pembelajaran Sintaksis Berbasis Teks Terjemahan Al Quran.” Laporan Penelitian Hibah Tim Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta. Dibiayai oleh Dikti Tahun II. Markhamah, Abdul Ngalim, Muinuddinillah Basri. 2014. “Pola Penggunaan Satuan Lingual yang Mengandung Pronomina Persona pada Teks Terjemahan Alquran dan Hadis”. Surakarta: Laporan Penelitian Hibah Pasca tahun I (2014). Markhamah, Abdul Ngalim, Muinuddinillah Basri. 2015. “Pola Penggunaan Satuan Lingual yang Mengandung Pronomina Persona pada Teks Terjemahan Alquran dan Hadis”. Surakarta: Laporan Penelitian Hibah Pasca tahun II (2015). Moleong, Lexy J. 2014. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
104
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
Prayogi, Icuk. 2012. “Klitik Pronomina Dalam Bahasa Indonesia”. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Reistandi, Agustina Putri. 2015. “Satuan Lingual yang Mengandung Pronomina Persona Pertama pada Teks Terjemahan Hadis. Tesis. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta Sarosa, Samiaji. 2012. Penelitian Kualitatif: Dasar-dasar. Jakarta: PT Indeks. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Sumarlam. 2008. Teori Dan Praktik Analisis Wacana. Surakarta: Pustaka Cakra.
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
105
KESANTUNAN BERBAHASA PADA KALIMAT PERINTAH DALAM 10 CERITA/NOVEL REMAJA PALING POPULER DARI TAHUN 2014-2016 Nike Widya Kusumastuti Universitas Negeri Semarang
[email protected] 085228858313 Abstrak Kesantunaan berbahasa pada kalimat perintah dalam cerita/novel remaja populer merupakan fenomena dalam kajian pragmatik yang menarik untuk dikaji. Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan bidal-bidal prinsip kesantunan apa saja yang digunakan oleh pengarang pada kalimat perintah, pematuhan dan pelanggaran terhadap prinsip kesantunaan pada kalimat perintah dan alasan yang mendasari terjadinya pematuhan dan pelanggaran tersebut, dan faktor-faktor sosial yang mempengaruhi prinsip kesantunan pada kalimat perintah dalam cerita/novel remaja populer. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu pendekatan teoretisdan pendekatan metodelogis. Pendekatan teoretis yang dimaksud adalahpendekatan pragmatis, sedangkan pendekatan metodelogis terbagi menjadai dua,yaitu pendekatan kualitatif dan deskriptif. Data penelitian berupa penggalan wacana kalimat perintah dalam cerita/novel remaja populer selama 3 tahun terakhir yang masuk dalam peringkat 10 besar terpopuler dikalangan remaja. Metode pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode simak yang dilanjutkan dengan teknik catat dan sistem penggartuan.Hasil dari penelitian ini berupa wujud bidal-bidal prinsip kesantunan yang digunakan oleh pengarang pada kalimat perintah, pematuhan dan pelanggaran terhadap prinsip kesantunaan pada kalimat perintah dan alasan yang mendasari terjadinya pematuhan dan pelanggaran tersebut, dan faktor-faktor sosial yang mempengaruhi prinsip kesantunan pada kalimat perintah dalam cerita/novel remaja populer. Kata kunci : kesantunan berbahasa, prinsip, bidal, pematuhan, pelanggaran, faktor sosial.
PENDAHULUAN Manusia dalam pergaulan membutuhkan bahasa sebagai alat komunikasi verbal, yaitu untuk bercakap-cakap. Yang berperan dalam percakapan adalah peserta tutur atau pembicara dan pendengar. Selain sikap dan tingkah laku nonverbal yang memerlukan etika, dalam pergaulan, khususnya dalam percakapan, antara pembicara dan pendengar keduanya harus memperhatikan etika berbicara untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, seperti timbulnya kesalahpahaman yang terkadang menyebabkan terjadinya gesekan secara fisik dan lain sebagainya. Fraser, 1978 (dalam Sisbijanto, 1995:45).) berpendapat bahwa komunikasi berbahasa tidak hanya menuntut penuturnya untuk mempunyai penguasaan atas sistem bunyi, gramatikal dan leksikal, tetapi juga penguasaan atas kaidah sosial bahasa. Dalam percakapan, seseorang harus memperhatikan etika berbicara atau tata krama yang selanjutnya disebut kesantunan berbahasa. Sisbijanto (1995:46) mengatakan bahwa kesantunan berbahasa berperan penting dalam proses komunikasi. Kesantunan berbahasa yang dapat dianggap sebagai strategi perlu diperhatikan dalam komunikasi bahasa. Seseorang yang akan meminta orang lain untuk melakukan sesuatu akan dihadapkan pada pilihanpilihan ujaran yang tepat untuk situasi yang dihadapi. Prinsip kesantunan disebut dengan istilah prinsip kesopanan (politeness principle) yang memiliki sejumlah maksim, yakni maksim kebijaksanaan (tact maxim), maksim kemurahan (generosity maxim), maksim penerimaan (approbation maxim), maksim kerendahan hati (modesty maxim), maksim kecocokan (agreement maxim), danmaksim kesimpatian (sympaty maxim).Prinsip kesantunan Leech ini cenderung berpasang-pasangan sebagai berikut. (1.) maksim ketimbangrasaan (tact maxim), (2.)maksim kemurahhatian (generosity maxim), (3.) maksim keperkenanan (aprobation maxim), (4.) maksim kerendahhatian (modisty maxim), (5.) maksim kesetujuan (agreement maxim), dan (6). maksim kesimpatian (sympaty maxim).(Leech,1993: 206) Kesantunan berbahasa tidak hanya terdapat dalam bahasa lisan tetapi juga terjadi dalam bahasa tulis. Dalam bahasa tulis, seperti dalam sebuah cerita, banyak ditemukan bentuk-bentuk tuturan yang mencerminkan berbagai pola sikap dan tingkah laku berbahasa. Di dalam sebuah
106
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
cerita, bentuk tuturan atau percakapan berperan menghidupkan suasana cerita. Meskipun terdapat dalam sebuah cerita, percakapan yang digunakan adalah percakapan yang sesuai dengan konteks pemakaian dan seperti pada situasi nyata dalam penggunaan bahasa masyarakat sehari-hari. Oleh karena itu, bentuk-bentuk tuturan/percakapan dalam sebuah cerita sebagai cermin prosesberbahasa masyarakat sehari-hari. Hal ini kiranya perluditeliti terutama dalam kaitannya dengan pemakaian kesantunan berbahasa. Untuk itu dalam penelitian ini dipilih salah satu aspek bahasa dalam cerita, yaitu tentang pemakaian kesantunan berbahasa dalam cerita remaja. Sebuah cerita baik yang bersifat fiktif maupun nonfiktif dalam kehidupan remaja merupakan salah satu lingkungan yang dapat membentuk perilaku. Hal itu diketahui dari sikap perilaku kesantunan dalam berbahasa. Kesantunan berbahasa dalamcerita akan memengaruhi polapola kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari dalam kehidupan seseorang. Oleh karena itu, sebuah ceritaperlu diteliti dari segi bahasanya terutama bentuk-bentuk kesantunan berbahasanya. Cerita remaja merupakan salah satu dari sekian banyak cerita yang dibaca di masyarakat. Cerita remaja ini memiliki kelebihan bila dibandingkan dengan jenis-jenis cerita lain. Kelebihan itu antara lain, (1) dari segi bahasa pengarang menggunakan bahasa sehari-hari dengan gaya penulisan yang segar, dan (2) dari segi penceritaan, cerita remaja ini menampilkan cerita yang menarik yang khayalan sehingga pembaca selalu ingin mengetahui bagaimana akhir cerita tersebut.Di samping itu, dialog antar tokoh dalam cerita banyak menggunakan bahasa yang segar dan menarik. Hal itu bertujuan agar komunikasi yang dibangun dalam cerita remaja dapat dipahami oleh pembaca secara menarik dan efektif. Oleh karena itu, kiranya perlu diteliti tentang hal-hal yang berkaitan dengan prinsip kesantunan berbahasa. Aspek yang akan dikemukakan dalam kerangka teori ini mencakup: (1) prinsip tata karama/kesantunan, dan (2) status sosial dan keakraban.Wijana (1996: 55) mengemukakan dengan istilah yang berbeda. Prinsip kesantunan disebut dengan istilah prinsip kesopanan (politeness principle) yang memiliki sejumlah maksim, yakni maksim kebijaksanaan (tact maxim), maksim kemurahan (generosity maxim), maksim penerimaan (approbation maxim), maksim kerendahan hati (modesty maxim), maksim kecocokan (agreement maxim), danmaksim kesimpatian (sympaty maxim). Prinsip kesopanan ini berhubungan dengan dua peserta percakapan, yakni diri sendiri (self) dan orang lain (other). Diri sendiri adalah penutur, dan orang lain adalah lawan tutur dan orang ketiga yang dibicarakan penutur dan lawan tutur. Selain prinsip kesantunan, salah satu prinsip penggunaan bahasa adalah situasi tutur. Bahasa Indonesia memiliki tingkatan-tingkatan, dalam penggunaannya harus memperhatikan situasi tutur agar dapat menerapkan tingkat tutur secara tepat. Leech (1983) yang dikutip Wijana (1996: 10-13) mengemukakan sejumlah aspek yang harus selalu dipertimbangkan dalam rangka studi pragmatik. Aspek-aspek tersebut adalah sebagai berikut. 1. Penutur dan lawan tutur, aspek-aspek yang berkaitan dengan penutur dan lawan tutur ini adalah usia, latar belakang sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban, dan lain-lain. 2. Konteks tuturan, Konteks tuturan dalam hal ini adalah semua latar belakang pengetahuan (back ground knowlegde) yang dipakai bersama oleh penutur dan lawan tutur. 3. Tujuan tuturan, bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatar belakangi oleh maksud dan tujuan tertentu. Bermacam-macan bentuk tuturan dapat digunakan untuk menyatakan maksud yang sama atau sebaliknya. 4. Tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, tuturan sebagai entitas yang konkret, jelas penutur dan lawan tuturnya, serta waktu dan tempat pengutaraannya. 5. Tuturan sebagai produk tindak verbal, tuturan merupakan bentuk dari tindak verbal karena tuturan yang digunakan di dalam rangka pragmatik merupakan bentuk dari tindak tutur. Status sosial dan keakraban merupakan aspek penutur dan lawan tutur. Aspek ini harus diperhatikan oleh penutur dan lawan tutur. "Status" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995: 962) berarti keadaan atau kedudukan (orang, badan, dan sebagainya) dalam hubungan dengan masyarakat di sekelilingnya. Yang dimaksud dengan "akrab" dari sumber yang sama dihalaman 18 berarti dekat dan erat (tentang persahabatan). Peserta tutur dapat menyesuaikan diri, menempatkan diri sesuai dengan status atau kedudukan dalam masyarakat dan kedekatan pergaulannya satu sama lain sehingga kedua belah pihak merasa dihargai dan diperlakukan secara wajar. PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
107
Seperti pernah dikemukakan Leech bahwa situasi-situasi yang berbeda menuntut adanya jenis-jenis dan derajat sopan santun yang berbeda juga. Selanjutnya Brown & Levinson, 1978 (dalam Wijana, 1996: 64-66) menunjukkan secara meyakinkan bahwa penutur mempergunakan strategi linguistik yang berbeda-beda di dalam memperlakukan secara wajar lawan tuturnya. Dalam hal ini mereka mengidentifikasikan empat strategi dasar, yakni strategi kurang sopan, strategi agak sopan, strategi sopan, dan strategi paling sopan. Keempat strategi ini harus dikaitkan dengan tiga parameter pragmatik berikut. a) Tingkat jarak sosial (distance rating) antara penutur dan lawan tutur yang ditentukan berdasarkan parameter perbedaan umur, jenis kelamin, dan latar sosiokultural. b) Tingkat status sosial (power rating) yang didasarkan atas kedudukan yang asimetrik antara penutur dan lawan tutur di dalam konteks penuturan. Di ruang praktik seorang dokter memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari seorang polisi. Akan tetapi, di jalan raya polisi dapat menilangnya apabila sang dokter melakukan pelanggaran. Dalam konteks ini polisi memiliki status sosial yang lebih tinggi. c) Tingkat peringkat tindak tutur yang didasarkan atas kedudukan relatif tindak tutur yang satu dengan tindak tutur yang lain Seperti yang telah dikemukakan terdahulu, dalam interaksi sosiolinguistik perlu kemampuan berbahasa di luar kemampuan linguistik (tata bahasa dan kosakata), yaitu kemampuan komunikatif yang berarti tahu mempergunakan unsur kebahasaan sesuai dengan norma-norma berbicara, dalam keadaan yang bagaimana mengatakan sesuai dan tidak mengatakan sesuatu (linguistic etiquette), dan aturan berbicara yang berbeda-beda antara kelompok-kelompok sosiolinguistik (budaya) yang berlainan (Nababan, 1993: 7-8). METODE PENELITIAN Bahasa sebagai suatu fenomena sosial sangat berkaitan erat dengan struktur dan nilai-nilai sosial dalam masyarakat (Trudgill, 1974:34--35). Dengan demikian, pemilihan bahasa tulis pada masyarakat sangat berhubungan dengan nilai-nilai sosial budaya dari masyarakat tersebut. Oleh karena itu, pengkajian pada penelitian ini menggunakan pendekatan sistem pragmatik yang berhubungan dengan pemakaian bahasa dalam konteks yang sebenarnya (Rokhman, 2003). Dengan demikian, kajian pragmatik menyikapi fenomena penggunaan bahasa tulis sebagai peristiwa tutur dalam kaitannya dengan faktor-faktor sosial dan budaya penulisnya. Pendekatan pragmatik tersebut secara metodologis dipusatkan pada model yang dikembangkan oleh Hymes (1972) dengan menggunakan data kualitatif. Kekualitatifan penelitian ini berkaitan dengan data penelitian yang tidak berupa angka-angka, tetapi berupa kualitas bentuk tulis (Muhajir 1996:29). Tulisan yang menjadi data penelitian ini terealisasi di dalam penggalan tulisan kalimat perintah dengan prinsip tata krama/kesantunan dalam cerita remaja. Data tulis ini pun tidak dikuantifikasi sehingga di dalam penelitian ini tidak digunakan perhitungan secara statis. Pendapat Muhajir ini didukung oleh Gunarwan (2001a:19--20) yang menjelaskan bahwa data kualitatif ialah data yang dikumpulkan dengan tidak dihitung jumlah atau kekerapan munculnya, tetapi peristiwa atau fenomena yang dikaji ditelaah secara lebih mendalam. Penelitian ini juga menggunakan ancangan deskriptif karena tujuan yang hendak dicapai sehubungan dengan topik penelitian ini adalah memaparkan atau memberikan gambaran mengenai pemilihan kalimat perintah dengan prinsip tata krama/kesantunan yang digunakan dalam cerita remaja. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Djajasudarma (2006:16) yang mengatakan bahwa deskripsi merupakan gambaran ciri-ciri data secara akurat sesuai dengan sifat alamiah data itu sendiri. Dengan ancangan ini paparan dan argumentasi tentang pemilihan kalimat perintah dengan prinsip tata krama/kesantunan dalam cerita remaja menjadi sasaran dalam penelitian ini. Paparan dan argumentasi itu terbagi menjadi tiga bagian, yaitu (1) penggunaan prinsip tata krama/kesantunanberbahasa oleh para pengarang yang dipakai dalam cerita remaja pada kalimat perintah, (2) pematuhan dan pelanggaran dalam prinsip tata krama/kesantunan berbahasa dan alasan-alasan yang mendasarinya, dan (3) faktor-faktor sosial yang mempengaruhi terhadap pemakaian prinsip tata krama/kesantunan berbahasa dalam sebuah cerita remaja itu pada kalimat perintah.
108
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
Objek kajian pada penelitian ini diteliti berdasarkan tiga langkah penting, yaitu: (1) pengumpulan data, (2) analisis data, dan (3) penyajian hasil analisis data. Dalam tahap pengumpulan data, mengacu kepada istilah Sudaryanto (1988:2), penelitian ini menggunakan metode simak, yakni metode pengumpulan data yang dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa, dilanjutkan dengan teknik catat dan sistem pengartuan, yaitu meneliti data tertulis yang selanjutnya ditulis dalam bentuk kartu. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode korelasi atau metode deskriptif kualitatif. Data yang telah terkumpul dan dicatat dalam kartu data kemudan dianalisis berdasarkan teori yang dipakai. Teori yang digunakan adalah teori Leech (1993: 206) yang merumuskan bidalbidal prinsip kesantunan. Data yang ditemukan digolongkan berdasarkan jenis-jenis bidal kesantunan yang ada didalamnya. Setelah selesai digolongkan, data dibedakan mana yang termasuk data yang mengandung pematuhan terhadap bidal kesantunan dan mana data yang mengandung penyimpangan terhadap bidal kesantunan. Kemudian data diklasifikasikan berdasarkan tingkat status sosial dan keakraban peserta tutur. Setelah pengklasifikasian data, kemudian dilakukan analisis terhadap data yang telah disusun. Data yang berupa dialog diuraikan dengan menggunakan prinsip kesantunan. Diuraikan bagaimana wacana dalam cerita remaja tersebut mengandung salah satu bidal dari prinsip kesantunan, entah itu pematuhan atau penyimpangan terhadap bidal-bidal prinsip kesantunan. Juga diuraikan apakah status sosial dan tingkat keakraban peserta tutur mempengaruhi penggunaan prinsip kesantunan. Setelah analisis data selesai dilakukan, akan diperoleh kesimpulan yang diharapkan oleh penulis dapat dipertanggungjawabkan. Pada penelitian ini, hasil analisis data disajikan dengan menggunakan metode informal. Penerapan metode informal dalam penelitian ini tampak pada pemaparan hasil analisis tentang prinsip tata krama/kesantunan. Dengan metode informal ini, penyajian hasil analisis data dilakukan dengan menyajikan diskripsi khas verbal dengan kata-kata. HASIL PENELITIAN Bahasa Indonesia dalam cerita dipengaruhi bahasa masyarakat pengarang atau bahasa pengarang. Oleh karena itu, percakapan yang ada dalam cerita remaja sewajarnya seperti percakapan sehari-hari yang ada dan biasa digunakan oleh masyarakat.Dari sejumlah sumber data cerita remaja yang berhasil dihimpun dalam penelitian ini, terkumpul data-data berupa tuturantuturan yang dapat dianalisis menurut pemakaiannya berdasarkan prinsip kesantunan berbahasa. Penentuan santun-tidaknya tuturan/tindak tutur dimaksud, bergantung kepada kesesuaian terhadap maksim yang ada dalam prinsip kesantunan sebagaimana yang telah diuraikan dalam kerangka teori. Jika sesuai dengan maksim yang ada dalam prinsip kesantunan, tindak tutur tersebut dianggap santun dan jika tidak sesuai atau tidak memenuhi maksim yang ada dalam prinsip kesantunan maka tindak tutur tersebut dianggap tidak santun atau melanggar kesantunan berbahasa. Sebagaimana diketahui, ada enam maksim dalam prinsip kesantunan/kesopanan (politeness principle) yang dapat dijadikan sebagai tolok ukur, yakni (1) ketimbangrasaan/kebijaksanaan; (2) kemurahhatian/-kedermawanan; (3) keperkenanan/penghargaan; (4); kesimpatian (5) kesetujuan/permufakatan; dan (6) kerendahhatian/kesederhanaan. Kesesuaian atau pematuhan tindak tutur-tindak tutur berbahasa yang ada di dalam ceritaremaja (yang menjadi data penelitian) terhadap maksim-maksim dalam prinsip kesantunan berbahasa dapat dilihat dalam pembahasan berikut ini. MAKSIM KETIMBANGRASAAN Peserta tutur berusaha berbuat baik kepada orang lain, membuat keuntungan lawan tutur semaksimal mungkin. Tindak tutur yang menggunakan maksim ketimbangrasaan atau kebijaksanaan adalah tindak representatif, direktif, seperti: menawarkan jasa, menolak, menjelaskan memerintah, dan lain-lain. Tuturan-tuturan yang sesuai maksim ketimbangrasaan dapat terjadi di antara peserta tutur yang akrab, status sosial sama, dan menggunakan bidal ketimbangrasaan sebagai wujud toleransi. Contoh:
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
109
Konteks situasi : Pertandingan golf antara Dandoh melawan Kaosa, Kaosa menentukan bahwa seluruh kota adalah lapangannya. Anboon dapat memukul dari atap satu gedung ke atap lain, tetapi Dandoh yang tidak memiliki kekuatan untuk mendukung pukulan seperti yang dilakukan Anboon harus mencari jalan lain. Wacana dialog Dandoh : “Aku butuh kamu, tanpa kamu kemungkinan menang akan benar-benar jadi 0%”. Ramia :“Tapi…”. Dandoh :“Maaf, aku cuma memikirkan diriku sendiri. Kalau tidak mau, tidak usah. Aku tak mau menyusahkanmu lagi”. Ramia :“Akan kukejar. Bolamu akan kukujar. Biarkan aku mengejarnya. Terbang kemanapun bolanya, aku pasti tak akan biarkan bolamu hilang”. Tuturan di atas memperlihatkan bahwa orang kedua (Ramia) bersedia mengejar bola golf Dandoh yang akan jatuh di tengah kota, walaupun pada kenyataannya hal tersebut sangat sulit dilakukan. Hal ini memperlihatkan bahwa penutur kedua (Ramia) memaksimalkan keuntungan untuk penutur pertama (Dandoh). Kedua peserta tutur di atas, walaupun memiliki status sosial dan tingkat keakraban yang tinggi tetap menggunakan prinsip kesatunan dalam bertutur. Keduanya menggunakan bahasa yang sopan dan halus untuk menghormati lawan tuturnya. MAKSIM KEMURAHATIAN Maksim kemurahhatian menitikberatkan pada keuntungan dan kerugian diri sendiri, yaitu memaksimalkan kerugian diri sendiri dan meminimalkan keuntungan diri sendiri. Pemakaian maksim kemurahhatian biasanya terjadi dalam tindak tutur memerintah, meminta bantuan, menawarkan jasa, dan tindak tutur lain. Peserta tutur berusaha menekan keuntungan diri sendiri sekecilmungkin dan memaksimalkan kerugian diri sendiri. Tuturan-tuturan yang sesuai prinsip kemurahtian dapat terjadi di antara peserta tutur yang akrab dan status sosial sama. Contoh: Konteks situasi : Ramia mengantarkan Dandoh ke bandara untuk mengejar pesawat yang akan berangkat ke Inggris. Ramia yang tahu bahwa Dandoh sudah tidak memiliki uang karena kecopetan, memberikan uang kepada Dandoh. Wacana dialog : Ramia :“Lima belas menit lagi berangkat, sepertinya kita tepat waktu. Nih, kamu tidak punya uang kan? Bawalah!”. Dandoh :“Tidak usah”. Ramia :“Bodoh, sekarang bukan saatnya bersikap sungkan! Kamu bisa kembalikan uangnya sedikit-sedikit setelah pulang ke Jepang! Kamu tidak keberatankan?”.
Pada dialog di atas memperlihakan petutur pertama, Ramia, bermurah hati menawari temannya, Dandoh, uang untuk dibawa sebagai pegangan. Ramia juga tidak mempermasalahkan cara pengembalian dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengembalikannya. Dengan demikian, tuturan Ramia tersebut memenuhi bidal kemurahhatian, karena dia memaksimalkan kerugian bagi dirinya sendiri dan meminimalkannya keuntungan bagi dirinya sendiri. Tuturan di atas terjadi antara dua orang peserta tutur yang memiliki status sosial yang sama dan hubungan yang akrab. Kedua petutur merupakan anak-anak yang seusia dan memiliki hubungan akrab. Tetapi keduanya tetap menggunakan bahasa yang sopan dan halus untuk bicara pada lawan tuturnya. MAKSIM KEPERKENANAN Maksim keperkenanan umumnya digunakan dalam jenis tuturan memuji, menghormat (menghormati orang kedua atau orang ketiga), memberi penghargaan atau kepercayaan, dan lainlain. Tuturan yang sesuai dengan maksim keperkenaan dapat terjadi di antara peserta tutur yang memiliki status sosial sama, dan akrab, misalnya percakapan antara suami dan istri, ibu dan anak, kakak dan adik, dan lain-lain. Berikut ini adalah percakapan antara ayah dengan anak. Ayah mengungkapkan rasa bangga akan diri anaknya.
110
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
Konteks situasi : Dalam pertandingan taruhan antara Ramia yang dimainkan oleh Dandoh dan Kaosa yang dimainkan oleh Anboon yang diadakan di atap gedung, pukulan pertama dilakukan oleh Anboon. Pukulan Anboon terbang sangat jauh sampai ke matras yang telah disediakan Kaosa di gedung sebelah. Wacana dialog : Ramia : “Jauh sekali terbangnya, sekitar 400 yard. Lagi pula, kenapa ada matras di atap gedung?”. Kaosa :“Hebat, Anboon sayang! Sesuai strategi, bola mendarat tepat di atas matras hijau yang disiapkan kemarin. Oh iya, aku lupa bilang dalam Asian Dragon Match Anboon adalah super hitter no.1 dalam hal pukulan jauh. Ya, seperti yang kalian lihat”.
Pada penggalan tuturan di atas, terlihat bagaimana Kaosa sangat memuji keakuratan pukulan Anboon. Kaosa juga membanggakan Anboon yang seorang super hitter no.1 dalam pukulan jauh. Dalam penggalan tuturan di atas, terlihat bagaimana kebanggaan seorang ayah yang mempunya anak yang berprestasi. Tuturan kaosa mengandung maksim keperkenanan, karena terdapat unsur pujian dan kepercayaan. MAKSIM KEMURAHHATIAN Maksim kemurahhatian adalah prinsip kesantunan yang menggariskan penutur meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri, memaksimalkan rasa tak hormat pada diri sendiri dengan memberikan pujian pada diri sendiri sekecil mungkin dan mengecam diri sendiri sebanyak mungkin. Tindak ujar yang biasa digunakan peserta tutur yang sesuai maksim kemurahhatian adalah tindak ekpresif seperti: merendahkan diri, mengadu dan lain-lain. Tuturan merendah bisa mengandung maksud menyombongkan diri, merasa rendah diri (minder), putus asa, menolak, dan lain-lain. Contoh di bawah ini adalah tuturan yang terjadi di antara peserta dengan status sosial sama dan akrab. Konteks situasi : Pada malam hari sebelum Dandoh berangkat ke India, Dandoh datang ke kamar Ramia ingin mengucapkan terima kasih atas bantuan Ramia padanya selama ini. Wacana dialog : Dandoh :“Barusan, kamu bicara bahasa Jepang?”. Ramia :“Bukan hal yang luar biasa. Aku juga bisa bahasa Prancis, Italia, China, Rusia, dan sekitar delapan bahasa”.
Dalam penggalan tuturan di atas, terlihat bagaimana penutur kedua (Ramai) menggunakan maksim kemurahhatian. Dandoh yang mendengar Ramia dapat berbahasa Jepang sangat terkejut dan takjub. Tetapi Ramia merasa bahwa hal tersebut bukanlah hal yang luar biasa, walaupun pada kenyataannya Ramia menguasa kurang lebih delapan bahasa asing. Tuturan yang digunakan oleh Ramia mengandung maksim kemurahhatian karena meminimalkan rasa hormat bagi diri sendiri. Wacana dialog di atas terjadi antara peserta tutur dengan status sosial yang sama dan memiliki hubungan yang dekat. Bahasa yang digunakan adalah bahasa sehari-hari yang mengesankan keakraban diantara dua orang penutur. MAKSIM KESETUJUAN Maksim kesetujuan berhubungan dengan persetujuan atau tindak deklaratif seperti: membenarkan sesuatu, meminta pendapat, menyetujui, dan lain-lain. Maksim kesetujuan adalah prinsip kesantunan yang mewajibkan penutur memaksimalkan kesetujuan antar peserta tutur. Kesantunan tidak selalu ditujukan lawan tutur dengan menyetujui pendapat penutur. Maksim kesetujuan dapat dipakai pada peserta tutur yang memiliki status sosial sama dan memiliki hubungan yang akrab. Seperti pada contoh berikut. Konteks situasi : Ramia yang sedang kebingungan karena kapal terakhir untuk menyeberang ke seberang sungai sudah sudah berangkat, merasa heran ketika melihat Dandoh mengeluarkan iron. PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
111
Wacana dialog : Ramia :“Buat apa kamu keluarkan iron, Dandoh?”. Dandoh :“Aku harus naikkan bola ke perahu. Cuma ini cara untuk menyeberang”. Ramia :“Baiklah, kamu pukul saja. Akan kupikirkan cara untuk menyeberang ke sana”. Dandoh :“Tolang ya, Ramia”.
Apa yang diungkapkan penutur A (Ramia) sesuai dengan maksim kesetujuan karena apa yang dikatakan mengandung makna setuju dengan apa yang hendak dilakuakan oleh penutur B. Tuturan Ramia juga menunjukkan rasa kepercayaan kepada Dandoh, karena dia merasa Dandoh pasti dapat melakukan pukulan tersebut. Wacana dialog di atas terjadi antara dua orang yang memiliki status sosial yang sama, bila ditinjau dari umur yang tidak jauh berbeda. Serta memiliki hubungan yang akrab antar dua penutur.
MAKSIM KESIMPATIAN Maksim kesimpatian ditemukan dari data penelitian digunakan peserta tutur dalam tindak tutur ekspresif seperti menghibur, memberi ucapan selamat kepada lawan tutur yang mendapat kebahagiaan, memberi perhatian, dan lain-lain. Selain itu digunakan pula dalam tindak representatif dan direktif seperti menentang dan menasehati. Maksim ini menggariskan penutur memaksimalkan rasa simpati kepada petutur. Percakapan yang terjadi antar teman yang telah akrab menggunakan bidal kesimpatian dengan memberikan hiburan kepada lawan tutur yang sedang mendapatkan musibah, atau tindak ekspresif lainnya yang menunjukkan rasa simpati terhadap keadaan lawan tutur. Seperti pada contoh berikut ini. Konteks situasi : Dandoh sudah siap dimarahi oleh Takuya yang datang jauh-jauh ke Thailand karena menghawatirkan Dandoh. Dandoh menerima bahwa hal tersebut adalah konsekuensi karena melanggar perintah yang telah diberikan oleh Takuya. Wacana dialog : Dandoh :“Aku sudah siap kak Taku. Aku melanggar janji dan menyusahkan banyak orang, aku pantas dipukul”. Takuya :“Aku mengerti perasaanmu. Tapi, kemungkinan untuk tampil di All England Open sudah tak ada. Waktunya terlalu sempit untuk memenuhi persyaratan tampil. Aku yang sudah bertanding di Eropa beberapa bulan lalu saja, mungkin cuma bisa dapat kesempatan terakhir dalam pertandingan lusa”. Dandoh :“Kak Taku terdesak begitu pasti gara-gara aku. Aku benar-benar bodoh. Kupikir bisa melakukan sesuatu bila menyusulmu. Setidaknya, biarkan aku memikul tas kak Taku sebagai penebus dosa. Aku walaupun tak bisa jadi caddy kak Taku, aku bisa bantu kalau cuma kerja kasar dan bawakan barang!”.
Simpati yang ditunjukkan Takuya kepada Dandoh yang sedang mengalami kekecewaan karena gagal ikut serta dalam All England Open. Takuya menghibur Dandoh dengan memberikan semangat dan alasan bahwa Dandoh tidak dapat tampil karena sempitnya waktu yang dimiliki. Tuturan dari Takuya mengandung maksim kesimpatian, karena memaksimalkan rasa simpati terhadap lawan tutur.
Wacana dialog terjadi antara peserta tutur yang memiliki status sosial berbeda, yaitu orang yang lebih tua sekaligu seorang pegolf profesional dengan orang yang berusia lebih muda yang merupakan seorang pegolf amatir. Hubungan yang terjalin di antara kedua penutur sangat akrab. SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data ditemukan ada proses bertutur yang selalu sesuai denganmaksim-maksimyang ada dalam prinsip kesantunan berbahasa dan ada pula proses tindak tutur-tindak tutur yang tidak sesuai (melanggar) maksim-maksim yang ada dalam prinsip kesantunan berbahasa. Penyebab terjadinya pelanggaran terhadap maksim itu dapat karena kesengajaan dan juga karena ketidaksengajaan. Apabila penulis dengan sadar melakukan
112
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
pelanggaran terhadap maksim kesantuan itu merupakan usaha dalam rangka membangun sebuah konflik dalam sebuah cerita. Dengan adanya pelanggaran maksim kesantunan itu seorang tokoh bisa menjadi tersinggung dan marah. Dengan adanya ketersinggungan dan kemarahan seorang tokoh berarti terbangun sebuah konflik baru dalam sebuah cerita. Faktor yang menyebabkan, baik yang mematuhi maupun melanggar terhadap prinsip kesantunan berbahasa adalah: (1) status sosial peserta tutur, (2) tingakat keakraban peserta tutur, dan (3) konteks situasi penutur. Secara keseluruhan status sosial peserta tutur tidak begitu mempengaruhi penerapan prinsip kesantunan dalam berbahasa. Sebab, peserta tutur yang memiliki status sosial sama dan peserta tutur yang memiliki status sosial tak sama, baik yang lebih tinggi maupun lebih rendah, dalam tindak tuturnya sama-sama ada yang mematuhi prinsip kesantunan dan ada yang tidak mematuhi prinsip kesantunan. Namun demikian, pelanggaran terhadap pemakaian prinsip kesantunan lebih banyak terjadi pada tindak tutur dengan peserta tutur status sosial sama.Secara keseluruhan tingkat keakraban peserta tutur juga tidak begitu berpengaruh terhadap pemakaian prinsip kesantunan dalam tindak tuturnya. Peserta tutur, baik yang memiliki hubungan akrab maupun yang tidak memiliki hubungan akrab, dalam tindak tuturnya sama-sama ada yang mematuhi prinsip kesantunan dan ada yang tidak mematuhi prinsip kesantunan. Meskipun demikian, pelanggaran terhadap pemakaian prinsip kesantunan lebih banyak terjadi pada tindak tutur dengan hubungan peserta tutur tidak akrab. Dari pengamatan berdasarkan data-data yang ada, pemakaian prinsip kesantunan dalam tindak tutur lebih dipengaruhi oleh konteks situasi tuturan, seperti suasana emosi penutur juga menentukan. Penggunaan tingkat tutur bahasa Indonesia dalam percakapan yang dijadikan data juga tidak konsisten. Peserta tutur yang memiliki status sosial tinggi, sama, atau rendah tidak selalu menggunakan tingkat tutur sesuai dengan yang digariskan. Hal ini juga dipengaruhi oleh konteks situasi tuturan. Meskipun status sosial berbeda dan hubungan tidak akrab, jika kontkes situasinya tidak menyenangkan, tingkat tutur yang digunakan lebih banyak kasar. Secara keseluruhan tingkat keakraban peserta tutur juga tidak begitu berpengaruh terhadap pemakaian prinsip kesantunan karena peserta tutur, baik yang memiliki hubungan akrab maupun yang tidak memiliki hubungan akrab, dalam tindak tuturnya sama-sama ada yang mematuhi prinsip kesantunan dan ada yang tidak mematuhi prinsip kesantunan. Meskipun demikian, pelanggaran terhadap pemakaian prinsip kesantunan lebih banyak terjadi pada tindak tutur dengan hubungan peserta tutur tidak begitu akrab. Penggunaan tingkat tutur bahasa Indonesia dalam percakapan yang dijadikan juga tidak konsisten. Peserta tutur yang memiliki status sosial tinggi, sama, atau rendah tidak selalu menggunakan tingkat tutur sesuai dengan yang digariskan. Hal ini juga dipengaruhi oleh konteks situasi tuturan. Meskipun status sosial berbeda dan hubungan tidak akrab, jika situasinya tidak menyenangkan tingkat tutur yang digunakan lebih banyak kasar. Cerita remaja sebagai suatu sarana hiburan yang diminati pembaca yang memuat wacana percakapan yang dapat digunakan sebagai media pengembangan bahasa dan ilmu pengetahuan pada umumnya. Oleh karena itu, khususnya bagi para pengarang cerita remaja harus lebih memperhatikan kesantunan berbahasa sebagai cermin bagi masyarakat karena berdasarkan hasil penelitian ini lebih banyak tindak tutur dalam cerita itu yang melanggar prinsip kesopanan dibandingkan yang mematuhi prinsip kesopanan berbahasa. DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, Abu. 1991. Psikologi Sosial. Jakarta: Rineke Cipta. Alwasilah, A. Chaedar. 1989. Sosiologo Bahasa. Bandung: Angkasa. Depdikbud. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Kedua. Cetakan IV. Jakarta: Balai Pustaka. Djajasudarmo, T. Fatimah. 1993. Metode Linguistik Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung: Eresco.
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
113
Gunarwan, Asim. 1992. "Persepsi Kesantunan Direktif dalam Bahasa Indonesia di Antara Beberapa Kelompok Etnik Jakarta" dalam PELLBA 5. Jakarta: Kanisius. Hutarabat, Harmine. 1991. Etiket. Jakarta: Gunung Mulia. Ismari. 1995. Tentang Percakapan. Surabaya: Airlangga. Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Terjemahan M.D.D. Oka, M.A. Jakarta: UI Press. Motik, Dewi. 1994. Tata Krama Berbusana dan Bergaul.Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Nababan. 1993. Sosiolinguistik Suatu Pragmatik. Jakarta: Gramedia. Nurgiantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Purwo, Bambang Kaswanti. 1990. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa Menyibak Kurikulum 1994. Yogyakarta: Kanisius. Rokhman, Fathur. 1996. "Sosiopragmatik Wacana Percakapan Tinjauan Teoritis dan Aplikasinya dalam Penelitian." Dalam Lembaran Ilmu Pengetahuan. IKIP Semarang Press. Rustono. 1998. "Implikatur Percakapan sebagai Penunjang Pengungkapan Humor di dalam Wacana Humor Verbal Lisan Berbahasa Indonesia". Disertasi UI Jakarta. Sayuti, Suminto A. 1996 Apresiasi Prosa Fiksi. Jakarta: Depdikbud. Sisbijanto, Amir. 1995. "Kesantunan Berbahasa". Dalam Surya.Purworejo: IKIP Muhamadiyah. Sitanggang, Hilderia dan Sumintarsih. 1989. Tata Kelakuan di Lingkungan Pergaulan Keluarga dan Masyarakat DIY. Jakarta: Depdikbud. Sudaryanto. 1986. Metode Linguistik I: Ke arah Memahami Metode Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. __________. 1988. Metode Linguistik II: Metode dan Aneka TeknikPengumpulan Data. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. __________. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. __________. 1994. Pemanfaatan Potensi Bahasa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. 1991.Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia. Suyono. 1990. Pragmatik Dasar-Dasar dan Pengajarannya.Malang: Yayasan Asih Asah Asuh. Wijaya, I Dewa Putu. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi.
114
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
KESANTUNAN TUTURAN EKSPRESIF WANITA JAWA PEDESAAN DALAM INTERAKSI SOSIAL Prembayun Miji Lestari Universitas Negeri Semarang (UNNES) Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang Email:
[email protected] Hp: 081329160955 Abstrak Penelitian ini difokuskan pada penelitian tentang kesantunan tuturan ekspresif wanita Jawa pedesaan dalam interaksi sosial. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa tuturan lisan yang mengandung tuturan ekspresif wanita Jawa. Permasalahan dalam penelitian yakni: 1) bagaimana bentuk kesantunan tuturan ekspresif wanita Jawa pedesaan dalam interaksi sosial ?, dan 2) faktor-faktor apakah yang menjadi penanda kesantunan tuturan ekspresif wanita Jawa pedesaan dalam interaksi sosial? Sumber data penelitian ini adalah wanita Jawa pedesaan di Kabupaten Klaten, khususnya di desa Citran dan Montelan, kelurahan Tibayan, kecamatan Jatinom. Pemilihan lokasi penelitian ini didasarkan atas pertimbangan situasi kebahasaan di wilayah tersebut yang diapit oleh dua pusat kebudayaan Jawa yakni Solo dan Yogya dan kultur lokal Jawa yang masih kental . Selain itu, kesantunan tuturan ekspresif bahasa wanita Jawa dalam interaksi sosial memiliki karakteristik khas sesuai dengan budaya Jawa. Data dikumpulkan dengan menggunakan metode pengamatan dan wawancara. Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis kontekstual. Kata kunci: kesantunan bahasa, wanita Jawa pedesaan, tuturan ekspresif, interaksi sosial
PENDAHULUAN Kesantunan) merupakan berperilaku sedemikian rupa sesuai dengan kaidah sosial yang berlaku dalam masyarakat dan dengan menunjukkan kepedulian dan kepekaan terhadap perasaan orang lain. Pengertian tersebut, tidak dimaknai hanya sekedar ramah, tetapi menekankan perilaku yang benar, perilaku yang sesuai dan selaras dengan kaidah sosial yang berlaku di masyarakat tertentu. Thomas (1995:157) menyebutkan bahwa “tidak mungkin mengevaluasi kesantunan tanpa melibatkan konteks; karena bukan hanya sekedar bentuk linguistik yang akan menunjukkan sebuah ujaran itu santun atau tidak santun, tetapi “bentuk linguistik + konteks ujaran + hubungan penutur dan lawan tutur, serta efek ujaran tersebut terhadap lawan tutur”. Secara umum kesantunan dapat dibagi menjadi tiga, yakni kesantunan berpakaian, kesantunan berbuat, dan kesantunan berbahasa. Dalam hal ini, yang menjadi fokus pembahasan yakni pada kesantunan berbahasa. Kesantunan berbahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi melalui tanda verbal atau tatacara berbahasa. Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma-norma budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang kita pikirkan. Tatacara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup dan dipergunannya suatu bahasa dalam berkomunikasi. Apabila tatacara berbahasa seseorang tidak sesuai dengan norma-norma budaya, maka ia akan mendapatkan nilai negatif, misalnya dituduh sebagai orang yang tidak sopan, sombong, angkuh, tak acuh, egois, tidak beradat, tidak beretika, bahkan tidak mempunyai tata krama. Masalah kesantunan berbahasa wanita Jawa di pedesaan dalam berinteraksi sosial merupakan fenomena yang menarik untuk dikaji, lantaran kesantunan menjadi hal yang penting dan budaya ewuh perkewuh dalam masyarakat Jawa mendominasi. Adapun yang menjadi fokus kajian dalam makalah adalah: (1) bagaimana bentuk kesantunan tuturan ekspresif wanita Jawa pedesaan dalam berinteraksi sosial dengan orang lain, dan (2) faktor-faktor yang menjadi penanda kesantunan tuturan ekspresif wanita Jawa pedesaan dalam berinteraksi sosial.
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
115
KAJIAN PUSTAKA Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan kajian sosiopragmatik. Dalam kajian pragmatik menggunakan teori tentang kesantunan dan tuturan ekspresif. Sementara dalam kajian sosiolinguistik, teori yang digunakan berkaitan dengan ranah dalam interaksi sosial masyarakat. 1) Kesantunan Bahasa dan Tuturan Ekspresif
Kesantunan dalam masyarakat Jawa utamanyanya para wanita didominasi oleh rasa. Kesantunan bagi manusia Jawa terkait dengan olah rasa. Jadi yang dikategorikan rasa bukan akal atau rasional, tetapi yang berkaitan dengan hati. Rasa pangrasa merupakan endapan jiwa yang halus. Brown dan Levinson (1987) memandang kesantunan merupakan sebuah sistem yang kompleks untuk memperhalus ujaran yang mengancam muka. Sejalan dengan pandangan tersebut, Holmes (1992:296) menyatakan bahwa kesantunan merupakan hal yang sangat kompleks dalam berbahasa karena tidak hanya melibatkan pemahaman aspek kebahasaan saja. Artinya, kesantunan berbahasa tidak hanya berhubungan dengan pemahaman tentang bagaimana mengucapkan mangga (bahasa Jawa) ‘silakan’, nyuwun pangampunten ‘mohon maaf’ dan matur nuwun ‘terima kasih’ secara tepat, tetapi perlu juga pemahaman nilai-nilai sosial dan budaya suatu masyarakat tutur. Dari beberapa pendapat tersebut, kesimpulannya bahwa kesantunan adalah berperilaku sedemikian rupa yang sesuai dengan kaidah sosial yang berlaku dalam masyarakat dan menunjukkan kepedulian dan kepekaan terhadap perasaan orang lain. Berkaitan dengan tuturan ekspresif, Rustono (2000:82) berpendapat bahwa tuturan ekspresif merupakan tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar tuturannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan di dalam tuturannya itu. Menurutnya, jenis tuturan yang termasuk tuturan direktif adalah memaksa, mengajak,meminta, meyuruh, menagih, mendesak, memohon, menyarankan, memerintah, menantang dan sebagainya. Searle (dalam Rahardi, 2003: 73) menyebutkan tuturan ekspresif sebagai bentuk tuturan yang dimaksudkan untuk menyatakan atau menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan. Tuturan ini diutarakan dengan maksud agar ujaran yang disampaikan oleh penutur kepada lawan tuturnya dapat diartikan sebagai evaluasi mengenai hal yang disebutkan di dalam ujaran itu. Fungsi tuturan ekspresif untuk mengekspresikan atau mengungkapkan sikap psikologis penutur terhadap lawan tuturnya. Adapun beberapa fungsi tuturan ekspresif yang terkandung dalam sebuah ujaran yang disampaikan oleh penutur kepada lawan tuturnya, yakni dapat berfungsi untuk mengucapkan selamat, terima kasih, mengkritik, mengeluh, menyalahkan, memuji, menyindir, dan meminta maaf. 2) Ranah Interaksi Sosial Masyarakat
Ranah (domain) merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam penggunaan bahasa. Istilah ranah pertama diperkenalkan oleh Fishman untuk menjelaskan lingkungan sosial dari situasi interaksi yang ditandai dengan penggunaan bahasa dalam masyarakat multilingual. Ranah penggunaan bahasa yakni suatu konsep yang maknanya mengenai lingkungan penggunaan bahasa itu digunakan (Fishman, 1978:113). Dengan kata lain, ranah merupakan konstalasi faktor lokasi, topik, dan partisipan. Ranah didefinisikan pula sebagai konsepsi sosiokultural yang diabstraksikan dari topik komunikasi, hubungan peran antar-komunikator, dan tempat komunikasi di dalam keselarasan dengan pranata masyarakat dan merupakan bagian dari aktivitas masyarakat tutur. Dalam penelitian ini, ranah penggunaan bahasa pada masyarakat di Kabupaten Klaten dipetakan atas enam ranah mengacu pada konsep Fishman, yakni ranah keluarga, ranah pendidikan, ranah pemerintahan, ranah keagamaan, ranah upacara adat, dan ranah interaksi sosial masyarakat. Dalam makalah ini pembahasan difokuskan pada ranah interaksi sosial masyarakat yakni pada peristiwa tutur dalam tradisi rewang, kumpulan arisan dan pembicaraan santai. METODE PENELITIAN Sumber data penelitian ini adalah masyarakat di pedesaan Kabupaten Klaten. Pemilihan lokasi penelitian ini didasarkan atas pertimbangan situasi kebahasaan di wilayah tersebut yang diapit oleh dua pusat kebudayaan Jawa yakni Solo dan Yogya. Selain itu, kesantunan tuturan ekspresif bahasa wanita Jawa dalam interaksi sosial memiliki karakteristik khas sesuai dengan budaya Jawa. Lokasi dalam penelitian ini adalah wilayah Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Fokus kajian diarahkan pada kecamatan Jatinom, kelurahan Tibayan, dengan pertimbangan bahwa
116
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
penggunaan bahasa Jawa di daerah tersebut masih dominan. Disamping itu, wilayah pedesaan dengan kultur lokal masih sangat kental di sana. Dari wilayah tersebut diambil 2 desa yakni Citran dan Montelan sebagai pusat kajian. Data penelitian ini terbagi menjadi dua, yakni data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang berupa tuturan atau bagian tutur lisan dari berbagai peristiwa tutur di dalam berbagai ranah sosial di masyarakat. Data sekunder berupa informasi atau keterangan tentang latar sosial, budaya, dan situasional yang menjadi faktor penentu terjadinya peristiwa tutur di dalam berbagai ranah sosial. Data pertama dikumpulkan dengan menggunakan metode pengamatan dan wawancara. Metode pertama dilakukan dengan teknik simak, baik dengan teknik simak libat cakap (SLC) maupun teknik simak bebas libat cakap (SLBC). Data kedua diperoleh dengan wawancara terstruktur dan wawancara mendalam (indept interview).Dalam teknis pelaksanaannya digunakan alat bantu rekam berupa hp dan catat dengan menggunakan catatan lapangan. Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis kontekstual. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1. Bentuk Kesantunan Tuturan Ekspresif Wanita Jawa Pedesaan dalam Interaksi Sosial Lingkungan interaksi sosial memiliki cakupan yang luas. Mengingat luasnya batasan tersebut, dalam penelitian ini interaksi sosial dibatasi pada lingkungan sosial pergaulan antar-tetangga di dalam suatu lingkungan sosial masyarakat yang diteliti. Berikut data-data yang memperlihatkan tuturan ekspresif wanita Jawa pedesaan dalam interaksi sosial dalam kegiatan rewang, arisan, dan pembicaraan santai. 1.1 Memberikan ucapan selamat Konteks : Penutur memberikan ucapan selamat kepada mitra tutur yang anaknya di terima kerja di instansi yang diinginkan. Percakapan ini terjadi pada saat ada rewangan ‘ada hajatan’ Penutur : “Mbah nderek bingah njih putrane sampun pikantuk pedamelan ingkang sae ugi kepenak. Mugi berkah…” ‘Mbah ikut senang karena putranya sudah mendapat pekerjaan yang baik juga enak. Semoga berkah…’ Mitra tutur : “Iya ya mbak, maturnuwun. Wingi ki ya ra nyangka nak bakal ketrima, soale saingane sing daftar akeh. Ya wis pancen bejane anakku” ‘Iya ya mbak, terima kasih. Kemarin juga tidak menyangka akan diterima karena saingannya yang mendaftar banyak. Ya memang sudah keberuntungan anakku’
Dari data tersebut, memperlihatkan percakapan berupa tuturan ekspresif memberi ucapan selamat. Penanda berupa kalimat … nderek bingah njih putrane sampun pikantuk pedamelan ingkang sae ugi kepenak, memperlihatkan ekspresi kebahagiaan penutur lantaran merasakan kebahagiaan yang dirasakan oleh mitra tutur dimana putranya mendapatkan pekerjaan sebagaimana yang diinginkan. 1.2 Mengucapkan terima kasih Konteks : Tuturan ini terjadi pada saat arisan ibu-ibu desa. Penutur yang secara usia lebih tua mengucapkan terima kasih kepada mitra tutur yang lebih muda karena telah memberi hasil panenan jeruk kepadanya. Penutur : “Nduk Umi maturnuwun ya jeruke mau, panenane apa akeh lho kok nganggo didumke barang?” ‘Dik Umi terima kasih ya jeruknya tadi, panenannya apa banyak kok dibagi-bagi segala?’ Mitra tutur : “Halah mbak, naming sekedik men. Alhamdulillah panenane lumayan mbak, pangestunipun” ‘Halah mbak, hanya sedikit saja. Alhamdulillah panenannya lumayan mbak, mohon doa restunya’ Dari data di atas memperlihatkan tuturan ekspresif yang berfungsi untuk mengungkapkan ucapan terima kasih kepada orang lain. Penanda yang menunjukkan ungkapan terima kasih yakni pada kalimat: Nduk Umi maturnuwun ya jeruke mau… Tuturan tersebut muncul dikarenakan kebaikan orang lain yang telah memberikan sesuatu. Ucapan terima kasih dikarenakan juga mitra tutur atau lawan tuturnya bersedia melakukan apa yang diminta oleh penutur, dan dikarenakan tuturan ‘memuji’ yang dituturkan oleh penutur kepada mitra tutur. 1.3 Tuturan ekspresif Mengeluh Konteks : Pembicaraan terjadi pada saat mengobrol santai. Penutur dan mitra tutur mengeluhkan kondisi harga panenan hasil ladang yang dihargai murah oleh para tengkulak. Penutur : “Mbah mau kowe na pasar pora? Tiwas aku ngunduh lombok pirang-pirang, jebule regane mudhun makjleg. Sekilo kok bur diregani pitung ewu ro juragane”
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
117
‘Mbah tadi pergi ke pasar tidak? Saya terlanjur memetik banyak cabai, ternyata harganya turun drastis. Satu kilo hanya dihargai tujuh ribu oleh juragannya’ Mitra tutur : “Iya mangkat na pasar aku mau. Ya padha, aku ya nggawa gawan pirang-pirang ya diregani murah” ‘Iya saya tadi berangkat ke pasar. Ya sama, saya juga membawa barang bawaan banyak ya dibeli dengan murah’ Pada data 1.3, penanda yang memperlihatkan ekspresi mengeluh adalah pada: Tiwas aku ngunduh lombok pirang-pirang, jebule regane mudhun makjleg. Penutur dalam hal ini memperlihatkan kekecewaan lantaran hasil kerjanya tidak sebanding dengan apa yang didapatkan. Untuk mengungkapkan kekecewaan tersebut, maka dia menyampaikan kepada temannya yang kebetulan sama profesinya. Ungkapan ekspresif mengeluh selain untuk mengungkapkan kekecewaan, juga bisa digunakan untuk mengungkapkan rasa susah yang disebabkan oleh penderitaan, atau kesakitan. 1.4 Tuturan ekspresif memuji Konteks : Pembicaraan terjadi pada saat rewang ‘membantu hajatan tetangga atau saudara’. Penutur dan mitra tutur memuji kecantikan pengantin wanita pada saat resepsi pernikahan. Penutur : “Wah, mantene wedok manglingi tenan yo. Beda banget ro biyasane” ‘Wah, pengantin wanitanya membuat pangling ya. Beda sekali dengan biasanya’ Mitra tutur : “Napa nggih to mbak” ‘Iya seperti bukan mbak Yuni. Tambah cantik sekali’ Dari data 1.4, tuturan ekspresif memuji terlihat pada ujaran kalimat yang dituturkan oleh penutur. Wah, mantene wedok manglingi tenan yo. Beda banget ro biyasane, yang diucapkan oleh penutur kepada mitra tutur karena kenyataannya seperti itu. 1.5 Tuturan ekspresif meminta maaf Konteks : Pembicaraan terjadi pada saat rewang ‘membantu hajatan tetangga atau saudara’. Penutur meminta tolong kepada mitra tutur untuk mengambilkan sesuatu dengan didahului dengan permohonan maaf. Penutur : “Mbak, nuwun sewu, nyuwun tulung mangpendhetke gelas sebelah jenengan niku” “Mbak, mohon maaf, minta tolong ambilkan gelas disebelahmu itu’ Mitra tutur : “O njih, mangga gelasipun mbak” ‘O ya, ini gelasnya mbak’ Dari data tersebut, memperlihatkan kesantunan tuturan ekspresi meminta maaf kepada mitra tutur. Kalimat: “Mbak, nuwun sewu, nyuwun tulung mangpendhetke gelas sebelah jenengan niku” merupakan bentuk penanda dari permintaan maaf itu sendiri. Maksud dari tuturan tersebut adalah penutur meminta maaf kepada mitra tutur lantaran telah merepotkan dan memerintah mitra tutur untuk melakukan sesuatu. 2. Faktor-Faktor Penanda Kesantunan Tuturan Ekspresif Wanita Jawa Pedesaan dalam Interaksi Sosial
Kesantunan tuturan ekspresif wanita Jawa ditentukan oleh banyak faktor, yakni bahasa verbal, bahasa nonverbal, dan pranata sosial budaya masyarakat. Faktor penanda kesantunan bahasa verbal wanita Jawa yang diteliti diantaranya aspek intonasi yang tidak tinggi, aspek nada bicara yang bersifat netral atau tidak menyinggung perasaan orang lain, faktor pilihan kata dan kalimat yang sopan atau tidak kasar. Faktor penanda kesantunan bahasa nonverbal seperti gerakan anggota tubuh, juga mempengaruhi kesantunan. Faktor penentu kesantunan tuturan ekspresif wanita dari aspek nonkebahasaan berupa pranata sosial, diantaranya memperhatikan aspek undha usuk atau tingkatan bahasa, empan papan empan panggonan, ngajeni atau menghormat kepada yang lebih tua, dan tepa selira.
SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis terhadap data penelitian pada bab pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa: 1) bentuk kesantunan tuturan ekspresif wanita Jawa pedesaan dalam interaksi sosial (kegiatan rewang, arisan, dan pembicaraan santai) diantaranya berupa mengucapkan terima kasih, memberikan ucapan selamat, mengeluh, memuji, dan meminta maaf, 2) faktor penanda kesantunan tuturan ekspresif wanita Jawa dalam interaksi sosial yakni intonasi yang tidak bernada tinggi, faktor pilihan kata dan struktur kalimat yang memperhatikan aspek undha usuk basa, menunjukkan sikap ngajeni ’hormat’ kepada orang lain, empan papan empan panggonan (menyesuaikan pembicaraan dengan situasi dan kondisi), dan lainnya. DAFTAR PUSTAKA Brown, P. dan Levinson, S.C. 1987. Politeness Some Universals in Language Usage. New York: Cambridge University Press. Holmes, J. 1992. An Introduction to Sociolinguistics. England: Longman Group UK Limited.
118
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
Rahardi, Kunjana. 2003. Berkenalan dengan Ilmu Bahasa Pragmatik. Malang: Dioma. Rustono. 2000. Implikatur Tuturan Humor. Semarang : CV. IKIP Semarang Press. Thomas, Jenny. 1995. Meaning in Interaction: An Introduction to Pragmatics. England: Longman Group Limited.
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
119
REALISASI TINDAK TUTUR MELARANG DALAM MENGUNGKAP KEARIFAN LOKAL DI KALANGAN PENUTUR BAHASA JAWA DIALEK STANDAR Rangga Asmara Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Tidar JalanKaptenSuparman 39 Magelang Surel:
[email protected] Ponsel: 085640110155 Abstrak Tujuan dalam penelitian ini (1) menemukenali realisasi bentuk ujaran melarang dan (2) mengeksplorasi fungsi dan nilai kearifan lokal dalam bentuk ujar melarang. Di dalam penelitian ini digunakan ancangan pragmatik. Data dalam penelitian ini (1) data ujaran melarang oleh penutur bahasa Jawa dialek standar yang memuat nilai kearifan lokal dan (2) data tanggapan penutur terhadap fungsi dan maksud tuturan yang diujarkanInstrumen yang dikembangkan dan diujicobakan meliputi: (1) pedoman pengamatan dan (2) pedoman wawancara. Data lisan dikumpulkan dengan metode simak dan cakap yang dibantu dengan teknik dasar sadap, pancing, dan teknik lanjutan simak libat cakap, teknik rekam, dan teknik catat. Dalam menganalisis data digunakan metode padan dan metode agih. Di dalam penelitian ini realisasi bentuk ujaran melarang ditemukan dalam enam macam bentuk yaitu Realisasi bentuk ujaran melarang dalam percakapan kolokial berbahasa Jawa dialek standar ada enam macam yaitu (1) ujaran larangan yang dinyatakan secara eksplisit dan disertai akibat, (2) ujaran larangan yang dinyatakan secara eksplisit dan tidak disertai akibat, (3) ujaranlarangan yang dinyatakan secara implisit, (4) ujaran larangan yang dinyatakan secara implisit dan disertai akibat, (5) ujaran larangan yang dinyatakan secara implisit dengan penegas asosiasitif, dan (6) Ujaran larangan yang dinyatakan secara oposisional. Tindak tutur melarang oleh masyarakat tutur Jawa, tidak dapat dipandang sebagai sebuah bentuk ketakjujuran melaikan suatu bentuk kebijaksanaan (wisdom) atau kearifan lokal yang mendalam dari penutur. Kata kunci: tindak tutur melarang, fungsi kebahasaan, kearifan lokal, dan bahasa Jawa
PENDAHULUAN Dalam masyarakat Jawa,larangan atau tabu merupakan suatu tradisi atau budaya yang unik dan masih berkembang sampai saat ini. Sebagai sebuah tradisi, ujaran larangan dalam bahasa Jawa mengandung pesan moral dan nilai-nilai kebaikan atau nilai kearifan. Ujaran tersebut dimaksudkan agar seseorang tidak melakukan perbuatan yang tidak sopan atau melanggar unggah-ungguh. Sebagai sebuah tradisi, ujaran melarang ini merupakan bagian dari unsur kebudayaan.Penggunaan ujaran larangan dalam masyarakat Jawa diatur oleh nilai-nilai kebudayaan Jawa. Disini tampaklah hubungan antara pragmatik, budaya, dan penggunaan bahasa oleh suatu kelompok masyarakat. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa budaya mengatur penggunaan bahasa. Di dalam budaya masyarakat Jawa terdapat bermacam-macam bentuk ujaran melarang. Salah satu ujaran yang menarik untuk dikaji adalah ujaran melarang secara langsung dengan menggunakan pemarkah ‘aja’atau ‘orakena’. ‘Aja’ atau ‘orakena’ merupakan tanda dalam sebuah ujaran melarang untuk melakukan suatu perbuatan yang kurang baik atau tidak sesuai dengan etika. Bagi orang Jawa, khususnya orang tua, ujaran ini menjadi salah satu ungkapan yang digunakan untuk mengingatkan sesuatu hal kepada anak-anak, remaja, dan orang dewasa. Kalimat-kalimat yang mengikuti ujaran ‘aja’ atau di dalamnyamemuatpemarkah ‘orakena’ mengandung nasihatnasihat berisi pelajaran unggah-ungguh, etika, atau budi pekerti, dan merupakan tuntunan dalam melakukan segala tindakan dan perilaku yang baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam pergaulan dengan masyarakat luas. Jika asumsi ini benar, penelitin ini tampaknya mempunyai singnifikansi yang memadai terhadap perkembangan ilmu pragmatik.
120
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
METODE PENELITIAN Di dalam penelitian ini digunakan ancangan pragmatik dengan mendasarkan pijakan analisisnya pada fungsi-fungsi bahasa (language functions) yang dinyatakan secara konkret dalam tindak-tindak tutur (Rustono, 1999:18). Dalam penelitian ini secara khusus diidentifikasi suatu fungsi perilaku bahasa secara mendalam terhadap situasi sosiologi dalam kegiatan bertutur sebenarnya. Data dalam penelitian ini (1) data ujaran melarang oleh penutur bahasa Jawa dialek standar yang memuat nilai kearifan lokal dan (2) data tanggapan penutur terhadap fungsi dan maksud tuturan yang diujarkan. Dengan menggunakan teknik pengambilan sampel bertujuan (purpossive sampling), penelitian dilakukan di Kota Solo, Yogyakarta, dan Magelang sebagai representasi geografi dialek bahasa Jawa standar. Instrumen yang dikembangkan dan diujicobakan meliputi: (1) pedoman pengamatan dan (2) pedoman wawancara. Data lisan dikumpulkan dengan metode simak dan cakap yang dibantu dengan teknik dasar sadap, pancing, dan teknik lanjutan simak libat cakap, teknik rekam, dan teknik catat(Sudaryanto, 1993:137-139). Dalam menganalisis data digunakan metode padan dan metode agih. Untuk mendapatkan hasil analisis data yang baik dilakukan sejumlah tahapan. Tahapantahapan yang dimaksud adalah (1) transkripsi data dari bahasa lisan ke dalam bahasa tulis dan mencatat data tertulis, (2) pengalihbahasaan ujaran larangan dari bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia, (3) mengelompokkan ungkapan larangan, (4) menentukan bentuk ungkapan larangan, (5) menelaah fungsi ujaran larangan, (6) menelaah dinamika pemakaian ujaran larangan di kalangan penutur bahasa Jawa, dan (7) menentukan nilai kearifan lokal yang terkandung dalam ujaran larangan dikaitkan dengan nosi kebudayaan Jawa. Dalam menentukan dinamika pemakaian ujaran larangan, ujaran yang telah diklasifikasikan berdasarkan lingkup pemakaian, dan topiknya diklarifikasi dengan teknik cakap bersemuka. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Realisasi Tindak Tutur Melarang di Kalangan Penutur Bahasa Jawa Dialek Standar Tindak tutur melarang dalam budaya Jawa merupakan ungkapan dengan tujuan untuk melarang penutur kepada mitra tuturnya untuk tidak melakukan suatu perbuatan yang dianggap tidak baik. Realisasi tindak tutur melarang dalam bahasa Jawa disampaikan dengan ragam ngoko. Pemilihan ragam ini disebabkan isinya yang berupa nasihat yang biasanya disampaikan orang tua kepada anak-anak atau mereka yang berusia lebih muda.Realiasi tindak tutur melarang di kalangan penutur bahasa Jawa dialek standar diklasifikasi sebagai berikut. 1. Ujaran larangan yang dinyatakansecaraeksplisitdandisertai akibat Konstruksi tindak tutur melarangjenisinidiujarkansecaraeksplisitdenganpenandalarangan ‘aja’ danmenyertakan akibat jika seseorang melanggar larangan tersebut. Beberapaujarantersebut dapat dilihat pada contoh berikut.
a) Aja nglungguhi bantal, mengko wudunen ‘jangan menduduki bantal, nanti bisa bisulan’. b) Aja dolanan beras, mengko tangane kithing ‘jangan bermain beras, nanti tangannya keriting (dua jari tangan saling melekat)’. c) Perawan aja ngadeg neng ngarep lawang, mengko iso dadi perawan tuwa ‘anak gadis jangan berdiri di tengah pintu, nanti bisa jadi perawan tua’. d) Aja ngidoni sumur, mengko lambene guwing ‘jangan meludahi sumur, nanti bibirnya sumbing’.
2. Ujaran larangan yangdinyatakansecaraeksplisitdantidak disertai akibat Konstruksi tindak tutur melarangjenisini juga diujarkansecaraeksplisitdenganpenandalarangan ‘aja’ atau ‘orakena’namuntidakmenyertakan akibat jika seseorang melanggar larangan tersebut. Beberapaujarantersebut dapat dilihat pada contoh berikut.
a) b) c) d) e) f)
Aja mangan karo turu ‘jangan makan sambil tidur’. Bocah wedok aja lungguh karo jigang ‘anak perempuan jangan duduk dengan mengangkat kaki’. Aja mangan karo ngomong ‘jangan makan sambil ngomong’. Aja mbuang uwuh neng longan ‘jangan membuang sampah di kolong’. Aja nyapu wengi-wengi ‘jangan menyapu malam-malam’. Wong becik ora kena mangan daging kang ora suci, kudu nyirik sembarang kang dadi regeding awak utawa cethaking satru lahir batin ‘orang baiktidakbolehmakandaging yang tidaksuci, harusmenghindarisegalasesuatu yang mengotoritubuhataumenjadimusuhlahirdanbatin’.
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
121
3. Ujaranlarangan yangdinyatakansecaraimplisit Selainlarangan yang disampaikansecaraeksplisitkarenamemuatpenandalarangan, penuturbahasaJawadialekstandarsangatsering pula menyampaikanlarangandalambentukujaran yang sifatnyaimplisit. Dalamkonstruksinya antara symbol dan reference tidak menunjukkan hubungan langsung.Namun, dalamujarannyamemuatmaknanasihatyang berimplikasi yang secarabudayasebagaisuatubentuk kebijaksanaan (wisdom) atau kearifan lokal yang mendalam.Beberapaujarantersebut dapat dilihat pada contoh berikut. a) b) c) d) e) f) g) h)
Ngeli tanpa keli ‘ikut hanyut tanpa terhanyut’. Ngelingana bibit kawite ‘ingatlah akan asal usulmu’. Dikena iwake aja buthek banyune ‘dapat diambil ikannya, jangan kotor airnya’. Sengit ndulit ‘sengit sekali’. Nrima ing pandum ‘menerima atas bagiannya’. Tepa slira ‘bersimpati terhadap sesama’. Janma tan kena kinira kinaya ngapa ‘manusia tidak bisa ditebak seperti apa’. Rubuh-rubuhgedhang ‘ikut-ikutantapitidaktahupermasalahannya’.
4. Ujaranlarangan yang dinyatakansecaraimplisitdandisertaiakibat Ujaranjenisinidisampaikanolehpenuturnyasecaraimplisitnamuntidakmenyertakan akibat jika seseorang melanggar larangan tersebut. Beberapaujarantersebut dapat dilihat pada contoh berikut. a) Sing sapa salah seleh ‘siapa yang berbuat salah akan ketahuan’. b) Sing sapa lena bakal cilaka ‘barang siapa tidak waspada akan celaka’. 5. Ujaranlarangan yang dinyatakansecaraimplisitdenganpenegasasosiasitif Ujaranjenisini juga disampaikanolehpenuturnyasecaraimplisitdansecarakolokialumumnyasipenuturmemberipenegas yang disusundalamkonstruksiasosiatif. Beberapaujarantersebut dapat dilihat pada contoh berikut. a) Sing sapa lali marang kabejikane liyan, iku kaya kewan‘barang siapa lupa akan kebajigan orang lain, itu seperti binatang’. b) Legi-legine wong ngemut gula ‘manisnya orang mengulum gula’. 6. Ujaranlarangan yang dinyatakansecaraoposisional Dalamtindaktuturjenisiniumumnyadinyatakansecaraimplisitdansecarakolokialumumnyasipenuturm emberipenegas yang disusundalamkonstruksioposisional. Beberapaujarantersebut dapat dilihat pada contoh berikut. a) Becik ketitik ala ketara‘baik akan ketahuan, jelek akan kelihatan’. b) Sepi ing pamrih, rame ing gawe ‘kurang dalam berharap, giat dalam bekerja’. c) Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah ‘rukun membuat sentosa, bertengkar membuat rusak’. d) Sing sapa rumangsa pinter dhewe, sejatine dheweke bodho dhewe‘barangsiapa yang merasa paling pandaisebetulnyadia paling bodoh’. e) Sabegja-begjane kang lali luwih begja kang eling lan waspada ‘seuntung-untungnya orang yang lupa, masih beruntung orang yang selalu ingat dan waspada’. f) Inggil tan ngungkul-ungkuli, andhap tan kena ing ngarsa ‘tinggi tidak menghalang-halangi, rendah tidak kalah dengan sesama’.
Kearifan Lokal dalamTindakTuturMelarang di Kalangan Penutur Bahasa Jawa Dialek Standar Kearifan lokal dalam tindak tutur melarang di kalangan penutur bahasa Jawa dialek standar ditujukan untuk anak-anak, anak gadis, wanita hamil, dan umum. 1. Untuk Anak-Anak a) Aja nglungguhi bantal, mengko wudunen ‘tidak baik menduduki bantal, nanti bisa bisulan’ Orang Jawa identik dengan lesehan. Dari kebiasaan lesehan ini, anak-anak biasanya menggunakan bantal untuk tidur sebagai alas duduk. Bantal adalah tempat kepala yang fitrah, maka sangatlah tidak sopan bahwa benda yang diperuntukkan kepala kemudian digunakan untuk pantat. Berdasarkan realisasi bentuknya, dapat dilihat bahwa larangan tersebut berfungsi sebagai nasihat orang tua kepada anaknya. Larangan ini mempunyai nilai kearifan bahwa sebenarnya kita diajarkan untuk sopan dan tidak sembarangan dalam melakukan suatu perbuatan.
b) Aja mangan woh sak isine, mengko isa thukul nang sirahmu ‘jangan makan buah dengan
122
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
bijinya, nanti bisa tumbuh di atas kepalamu’ Larangan menelan biji buah adalah larangan yang paling populer sekaligus paling ditakuti. Di balik larangan ini, ada nilai kearifan lokal yang diajarkan kepada anak-anak untuk melestarikan alam dengan membiarkan biji tersebut tidak termakan sehingga akan tumbuh di suatu tempat.
c) Aja metu surup-surup, mengko ndak dipangan bethara kala, ‘jangan keluar menjelang gelap (senja), nanti dimakan bethara kala’ Orang tua sering melarang anaknya untuk keluar rumah menjelang gelap. Adapun yang dimaksud bethara kala atau kala adalah waktu. Waktu menjelang gelap merupakan waktu untuk pemeluk agama Islam beribadah dan waktunya sangat pendek hanya sekitar 40 menit. Jika anak-anak pergi bermain pasti akan melewatkan waktu beribadah. Sampai sekarang pun banyak orang yang akan bepergian mendekati magrib, meraka akan menunggu sampai setelah magrib.
d) Aja mbukak payung neng njero omah, mengko ibuke mati ‘jangan membuka payung di dalam rumah, nanti ibunya meninggal’ Dengan melihat bentuknya, fungsi ujaran ini merupakan nasihat orang tua kepada anaknya. Nilai kearifan lokal dalam ujaran tersebut agar anak-anak tidak bermain payung di dalam rumah, karena payung seharusnya digunakan di luar rumah ketika hujan atau panas terik. Selain itu, membuka payung di dalam rumah juga akan membahayakan orang lain. e) Aja dolanan beras, mengko tangane kithing ‘jangan bermain beras, nanti tangannya keriting (dua jari tangan saling melekat) Nilai kearifan lokal dalam ujaran larangan ini menunjukkan betapa mulianya bahan pangan yang satu ini sebagai makanan pokok dalam budaya kuliner Jawa. Karena hal ini hanya berlaku pada beras. Tidak pada gula maupun tepung. 2. Untuk Anak Gadis a) Perawan aja ngadeg/lungguh neng ngarep lawang, mengko iso dadi perawan tuwa‘Anak gadis jangan berdiri/duduk di tengah pintu, nanti bisa jadi perawan tua’ Larangan ini merupakan ajaran atau nasihat orang tua kepada anak gadisnya yang berkaitan dengan etika. Larangan ini pun mempunyai alasan yang tidak diungkapkan secara langsung. Dengan memberikan larangan ini diharapkan si gadis terbiasa berperilaku baik, karena dengan terbiasa berperilaku baik di rumah, diharapkan anak gadisnya akan menjadi sosok yang berbudi pekerti luhur. Kebiasaan duduk di depan pintu, di mata orangorang tua Jawa, bisa memberikan kesan bahwa si gadis kurang santun. Selain itu, duduk di depan pintu tidak pantas dan bisa menggangu orang lain yang akan melewati pintu. Jadi, sebaiknya duduk di tempat yang seharusnya yaitu kursi. b) Perawan aja maem nyonggo piring, mengko ditampik jaka ‘anak gadis jangan makan dengan menyangga piring, nanti ditolak jejaka’ Dilihat dari bentuknya, larangan ini sama dengan larangan duduk di depan pintu. Makna larangan tersebut merupakan ajaran atau nasihat orang tua kepada anak gadisnya yang berkaitan dengan etika. Larangan ini pun mempunyai alasan yang tidak diungkapkan secara langsung.Makna larangan tersebut adalah peringatan agar si gadis bertingkah laku sopan ketika makan, dengan mengikuti tata cara makan yang benar, dengan meletakkan piring di meja makan. Di samping itu, jika makan dengan menyangga piring selain tidak sopan, akan mengakibatkan piring mudah terjatuh kalau tersenggol. c) Aja nyugake geni nganggo sikil ‘jangan memasukkan kayu ke dalam tungku dengan menggunakan kaki’ Dengan memperhatikan bentuknya, larangan ini berfungsi sebagai nasihat orang tua kepada anak gadisnya supaya bertingkah laku yang baik dan sopan. Tidak pantas dipandang jika seorang gadis pada saat memasak, memasukkan kayu ke dalam tungku tidak menggunakan tangan, tetapi dengan menggunakan kaki. Dengan larangan tersebut, diharapkan si gadis akan berperilaku yang baik dan melakukan segala sesuatu sesuai dengan aturan yang benar. Selain itu, kalau memasukkan kayu ke dalam tungku dengan menggunakan kaki akan membahayakan dirinya sendiri, karena bisa berpeluang kaki akan terbakar. d) Bocah wedok aja lungguh karo jigang ‘anak perempuan jangan duduk dengan mengangkat kaki’ Bentuk larangan tersebut adakalanya direalisasi dengan pemberian penanda fatis seperti eh PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
123
atau loh di muka ujaran sebagai pewatas dan pemertegas. Eh, cah wedok aja lungguh karo jigang. Larangan ini berfungsi sebagai nasihat orang tua kepada anak gadisnya supaya bersikap sopan, karena tidak pantas jika seorang gadis duduk dengan mengangkat kaki.Dengan terbiasa bertingkah laku yang baik dan sopan di rumah, diharapkan si gadis tidak akan canggung dan tidak bersikap yang kurang pantas baik di luar rumah maupun dalam pergaulan.
3. Untuk Wanita Hamil a) Wong meteng aja mateni kewan, mengko anake ndakne cacat ‘orang hamil jangan membunuh binatang, nanti anaknya bisa cacat’ Fungsi larangan ini adalah nasihat dari orang yang lebih tua kepada wanita yang sedang hamil.Dengan larangan untuk tidak membunuh hewan ini diharapkan si ibu dapat memberikan contoh kepada anaknya supaya kelak si anak menjadi pribadi yang baik dan penyayang. Selain itu, diharapkan anaknya kelak menjadi anak yang sabar dan menghormati sesama makhluk Tuhan serta menjadi anak yang berbudi pekerti luhur. b) Wong meteng aja lungguh neng tampah ‘orang hamil jangan duduk di atas tampah’ Tampah yang terbuat dari anyaman bambu jika diduduki orang yang sedang hamil tentu akan rusak. Justru bisa membahayakan orang yang sedang hamil dan bayinya. Nilai kearifan lokal dari larangan ini adalah orang yang sedang hamil sebaiknya menjaga sikap dan tingkah laku supaya anak yang dilahirkannya kelak akan menjadi anak yang berperilaku dan berbudi pekerti yang baik.
c) Wong meteng aja mangan gedang ganthet, mundhak anake kembar ‘orang hamil jangan makan pisang gandeng, nanti anaknya kembar Pisang ganthet adalah pisang yang beberapa sisirnya gandeng (kulit pisang menyatu satu dengan yang lainnya). Konon itu adalah pantangan bagi ibu hamil untuk memakannya. Mitosnya bisa mengakibatkan bayi yang dikandungnya lahir dengan keadaan kembar. Masyarakat Jawa menganggap bahwa pisang yang mengalami kelainan genetis tersebut akan berakibat pada bayi yang dikandung oleh sang ibu, tetapi hal ini tidak terbukti. Terlepas dari itu, betapa masyarakat Jawa dahulu sangat antisipatif. 4. Untuk Umum a) Aja mangan karo ngomong ‘jangan makan sambil berbicara’ Nilai kearifan lokal dari larangan ini merupakan ajaran atau nasihat supaya dalam hidup, orang harus bertingkah laku yang sopan dengan tidak melakukan hal-hal yang tidak pantas. Selain itu, jika larangan itu dilakukan (makan sambil bicara) bisa menyebabkan tersedak. b) Aja mangan karo mlaku ‘jangan makan sambil berjalan’ Makna larangan ini merupakan ajaran atau nasihat supaya dalam hidup, mitra tutur diminta untuk bertingkah laku sopan dan sesuai dengan norma, dan tidak melakukan hal-hal yang tidak pantas.Selain itu, menurut logika kalau makan sambil berjalan tentu saja makanannya bisa kotor terkena debu atau kuman yang akan membahayakan kesehatan orang yang bersangkutan. c) Aja ngidoni sumur, mengko lambene guwing ‘jangan meludahi sumur, nanti bibirnya sumbing’
Meludahi sumur akan menyebabkan bibir sumbing sangat irasional/tidak logis. Akan tetapi, nilai kearifan lokal di dalamnya bisa dimaknai ludah itu kotor dan air sumur digunakan untuk memasak, minum, mandi, dan sebagainya oleh banyak orang. Jadi, air sumur sebaiknya harus selalu dalam keadaan bersih dan sehat. Bila air sumur diludahi, maka akan menjadi kotor dan tidak baik untuk dipergunakan sehari-hari. Secara implisit, mitra tutur diminta agar selalu bertingkah laku yang sopan dan jangan melakukan perbuatan yang tidak pantas. d) Ora ilok mbuwang uwuh neng longan ‘jangan membuang sampah di bawah tempat tidur’ Membuang sampah di bawah tempat tidur tentu saja tidak pantas dilakukan karena tidak baik untuk kesehatan, sebab kalau sampah itu membusuk bisa menjadikan bau tidak sedap/tidak enak. Sampah-sampah tersebut akan menjadi sarang penyakit.Larangan ini berfungsi untuk umum dan sebagai nasihat untuk semua orang supaya melakukan segala sesuatu sesuai dengan etika.
e) Aja nyapu wengi-wengi ‘tidak baik menyapu malam-malam’ Malam hari adalah waktu untuk istirahat/tidur. Oleh karena itu, tidak baik menyapu pada malam hari karena debu yang beterbangan bisa mengganggu orang yang sedang tidur. Selain itu, menyapu pada malam hari dikhawatirkan kotoran yang disapu kurang bersih
124
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
karena minimnya pencahayaan. f) Aja ngidu sak enggon-enggon, mengko lambene guwing ‘jangan meludah sembarangan, nanti bibirnya sumbing’ Meludah sembarangan akan menyebabkan bibir sumbing, menurut logika tidak masuk akal. Larangan ini bukan untuk menakut-nakuti mitra tutur, namun maksud larangan ini tentu secara budaya dan etika mengajarkan sopan-santun, tata krama, dan kebersihan lingkungan. g) Tuna satak bathi sanak ‘rugi uang, tetapi untung mendapatsaudara’ Ujaraniniditujukankhususpada para pedagang atau pelaku bisnis. Implikasi dari ujaran tersebut jika diubah dalam tindak ujar larangan adalah jangan mencari untung terlalu besar. Ujaran tersebut berupa nasihat kepada para pedagang atau pelaku bisnis agar tidak terlalu mencari keuntungan semata namun menjalin relasi dan persaudaraan dalam berbisnis justru akan memberi keuntungan jangka panjang. PEMBAHASAN Larangan menurut Kridalaksana (2008:140) adalah makna ujaran yang bersifat melarang; diungkapkan dengan pelbagai bentuk, antara lain dengan bentuk imperatif negatif jangan atau dengan frase ingkar tidak dibenarkan. Larangan ini sangat erat kaitannya dengan aspek kehidupan manusia yang berlaku dalam masyarakat, seperti kebudayaan, keyakinan dan kepercayaan, adat istiadat, norma/hukum, yang didapatkan secara tradisi turun-temurun dari nenek moyangnya. Tindak tutur melarang dalam konstruksi budaya Jawa merupakan suatu perilaku positif yang dilakukan melalui kebiasaan. Artinya, seseorang diajarkan untuk berujar yang memenuhi prinsip kerjasama dari masa kecil sampai dewasa dan melalui mekanisme pewarisan yang tidak banyak mengalami perkembangan bentuk realisasi kebahasannya. Orang tua Jawa terutama para generasi tua, mulai menanamkan pengertian tentang hal yang baik dan benar untuk dilakukan sesuai dengan etika melalui banyak cara, antara lain dengan menggunakan berbagai bentuk larangan. Secara tidak langsung, ujaran larangan ini merupakan salah satu cara yang arif untuk mengingatkan keluarganya atau yang lebih muda untuk bersikap sopan dan bertindak sesuai dengan tata krama. Tindak tutur melarang oleh masyarakat tutur Jawa, tidak dapat dipandang sebagai sebuah bentuk ketakjujuran atau upaya penutur untuk mengelabui mitra tuturnya karena alasan yang tidak diungkapkan secara langsung. Bukan pula untuk menyembunyikan fakta kebenaran. Hal itu justru merupakan (1) suatu bentuk kebijaksanaan (wisdom) atau kearifan lokal yang mendalam dari penutur dan (2) suatu bentuk konservasi bahasa dan budaya Jawa. Dengan mematuhi dan tidak melanggar larangan ini, secara tidak langsung mitra tutur mematuhi prinsip kerjasama. Piranti kebahasaan yang adiluhung ini merupakan pitutur luhur yang memuat nilai-nilai kearifan lokal yang masih relevan dengan nilai-nilai yang berkembang di dalam kehidupan masyarakat sekarang ini. Eksplorasi dan konservasi terhadapnya merupakan upaya pembentukan, pengembangan, peningkatan, pemeliharaan, dan perbaikan perilaku anak-anak agar mereka mampu melaksanakan tugas-tugas hidupnya secara selaras, serasi, dan seimbang. Dengan piranti kebahasaan tersebut diharapkan akan menjadi bekal bagi masa depannya, sehingga dapat menjadi dasar dalam pengembangan kesantunan bermasyarakat. Santun dalam bermasyarakat menunjukkan tingkah laku yang beradab. SIMPULAN
Tindak tutur melarang dalam bahasa Jawa dialek standar merupakan ungkapan dengan tujuan untuk melarang penutur kepada mitra tuturnya untuk tidak melakukan suatu perbuatan yang dianggap tidak baik. Realisasi bentuk ujaran melarang dalam percakapan kolokial berbahasa Jawa dialek standar ada enam macam yaitu (1) ujaran larangan yang dinyatakansecaraeksplisitdandisertai akibat, (2) ujaran larangan yangdinyatakansecaraeksplisitdantidak disertai akibat, (3) ujaranlarangan yang dinyatakansecaraimplisit, (4) ujaranlarangan yang dinyatakan secara implicit dandisertaiakibat, (5) ujaranlarangan yang dinyatakansecaraimplisitdenganpenegasasosiasitif, dan (6) Ujaranlarangan yang dinyatakansecaraoposisional. Setiap jenis larangan ini mempunyai maksud sendiri-sendiri sesuai dengan konteks tuturannya. Realisasi tindak tutur melarang dalam bahasa Jawa disampaikan dengan ragam ngoko. Pemilihan ragam ini disebabkan karena fungsinya sebagai nasihat yang biasanya disampaikan orang tua kepada anak-anak atau mereka yang berusia lebih PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
125
muda. Tindak tutur melarang oleh masyarakat tutur Jawa, tidak dapat dipandang sebagai sebuah bentuk ketakjujuran atau upaya penutur untuk mengelabui mitra tuturnya karena alasan yang tidak diungkapkan secara langsung. Bukan pula untuk menyembunyikan fakta kebenaran. Hal itu justru merupakan (1) suatu bentuk kebijaksanaan (wisdom) atau kearifan lokal yang mendalam dari penutur dan (2) suatu bentuk konservasi bahasa dan budaya Jawa. Dengan mematuhi dan tidak melanggar larangan ini, secara tidak langsung mitra tutur mematuhi prinsip kerjasama. DAFTAR PUSTAKA Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Rustono. 1999.Pokok-Pokok Pragmatik. Semarang: CV IKIP Semarang Press. Sudaryanto. 1993. Metode dan Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
126
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
KAJIAN STRUKTUR DAN POLA PENGEMBANGAN TEMA KLAUSA YANG MEMPROYEKSIKAN DAN TERLETAK DI BELAKANG KLAUSA YANG DIPROYEKSIKAN DALAM ARTIKEL TERJEMAHAN BERSERI KELUAR DARI NIRWANA MAJALAH NATIONAL GEOGRAPHIC PERIODE 2013-2016 Satriya Bayu A. Mahasiswa Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta
[email protected] 085647062325 Abstrak Penguatan karakter dapat dicapai melalui pengenalan bahasa, yang dapat diperoleh melalui penyusunan deskripsi. Deskripsi suatu fenomena kebahasaan dapat diperoleh dengan atau tanpa mengacu model bahasa lain. Deskripsi yang mengacu pada model bahasa lain dapat dilakukan melalui perbandingan teks sumber dengan terjemahannya. Deskripsi struktur dan pola pengembangan Tema klausa yang memproyeksikan pada teks terjemahan berbahasa Indonesia melalui perbandingan dengan teks sumber berbahasa Inggris menjadi tujuan dalam penelitian ini. Definisi Tema yang digunakan mengacu pada Halliday dan Matthiessen (2014), sedangkan klasifikasi pola pengembangan pada klasifikasi McCabe (1999). Dibanding bahasa Inggris, bahasa Indonesia lebih banyak menggunakan bentuk pasif. Bentuk pasif yang digunakan pada klausa yang memproyeksikan jika terletak di belakang klausa yang diproyeksikan (pada proyeksi parataktik) dalam teks terjemahan mempunyai perbedaan dengan bentuk pasif klausa deklaratif pada umumnya. Dari klausa-klausa tersebut, seluruh klausa yang diawali verba (sebagai Tema) dalam teks sumber diterjemahkan menjadi bentuk pasif dan sebagian besar bentuk aktif bergeser menjadi pasif. Akibat pergeseran menjadi bentuk pasif, sebagian besar klausa tersebut mengalami pergeseran Tema Topikal Lazim/Tak Bermarkah (berupa subjek) menjadi Tak Lazim/Bermarkah (berupa predikator) dan pengembangan menjadi jeda—kecuali pada penerjemahan pronomina she atau he menjadi klitik -nya—pada teks terjemahan. Kata Kunci: struktur Tema, pola pengembangan Tema, bentuk pasif
PENDAHULUAN Terdapat dua kutipan yang menunjukkan hubungan antara bahasa dengan jati diri penggunanya: “bahasa menunjukkan bangsa” dan “ajining dhiri dumunung ana ing lathi”. Untuk itu, penguatan karakter dan jati diri dapat dimulai dari pengenalan bahasa yang dimiliki— bagaimana bahasa tersebut dideskripsikan. Deskripsi berbeda dengan teori dalam hal tataran: teori berada pada tataran yang lebih abstrak. Berdasarkan teori linguistik sistemik fungsional, leksikogramatika terbagi dalam suatu spektrum metafungsi, merentang dari gramatika ke leksis, dan tersusun dari unit-unit pada tataran di bawahnya (Halliday & Matthiessen, 2014: 55). Deskripsi merupakan realisasi teori dan diperoleh melalui analisis. Deskripsi mengenai suatu bahasa dapat dibangun dari nol maupun dengan mengacu model yang sudah terbentuk sebelumnya pada bahasa lain—melalui adopsi dan perbandingan dengan model yang sudah ada sebelumnya—, yang lebih praktis dan hemat waktu. Dari perbandingan ini dapat diketahui bahwa pergeseran struktur dan pola pengembangan Tema dapat diakibatkan antara lain oleh perbedaan struktur tata bahasa dan kecenderungan konstruksi kalimat yang digunakan. Tiap penulis akan berfokus pada suatu topik tertentu sesuai sudut pandangnya sehingga suatu teks hanya terdiri dari satu atau beberapa topik. Hal ini berpengaruh, salah satunya, pada struktur dan pola pengembangan Tema yang digunakan dalam teks. Teks yang koheren dibangun berdasarkan sejumlah topik tertentu dalam klausa dan paragraf yang saling berkaitan. Di sinilah pola pengembangan Tema berperan: topik akan diletakkan pada posisi Tema sebagai titik tolak pesan, yang kemudian dielaborasi dalam Rema. Dalam ragam tulis, Tema Topikal Lazim berperan menghubungkan topik dalam klausa dengan klausa sebelumnya, sedangkan Tema Topikal Tak PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
127
Lazim berfungsi menyajikan topik baru atau memberikan penegasan. Namun penggunaan Tema Topikal Tak Lazim menimbulkan jeda dan jumlah jeda mempengaruhi koherensi teks. KAJIAN PUISTAKA Pembagian antara hubungan parataktik dan hipotaktik pada klausa proyeksi (projection) telah lebih dulu dikenal dengan istilah kutipan langsung dan tidak langsung (Halliday & Matthiessen, 2014: 509). Hubungan antara klausa yang memproyeksikan dengan yang diproyeksikan pada kutipan langsung bersifat parataktik sedangkan kutipan tak langsung (klausa bawahan dalam klausa proyeksi) hipotaktik (Martin, et al., 2010: 247). Hanya Proses Verbal, Mental, dan Relasional yang bisa membentuk klausa proyeksi (selain melalui nominalisasi). Proses Relasional hanya bisa memproyeksikan klausa fakta (fact). Dalam Proses Mental, hanya verba tipe cognitive dan desiderative yang dapat membentuk klausa proyeksi. Dalam kutipan langsung— terkait proyeksi parataktik—, verba yang digunakan dalam klausa yang memproyeksikan merupakan bentuk dasar dan partisipan berupa Pewarta (Sayer) pada proses Verbal atau Pengindera (Senser) pada proses Mental terletak di belakang verba yang menjadi proses jika bentuk pasif digunakan dan letaknya berada di belakang klausa yang diproyeksikan. Meskipun berupa bentuk dasar, penambahan klitik –nya dimungkinkan. Selain di depan atau di belakang klausa yang diproyeksikan, klausa yang memproyeksikan juga dapat terletak di tengah sehingga membagi klausa yang diproyeksikan menjadi dua bagian (Sneddon, 1996: 284). Selain pada kutipan langsung, hubungan proyeksi parataktik juga terdapat pada bentuk free indirect speech (Halliday & Matthiessen, 2014: 532). Dalam bentuk pasif, konstituen yang berfungsi sebagai Subjek [pada sistem klausa sebagai pertukaran (clause as exchange)] berbeda dengan yang berfungsi sebagai Aktor [atau Pewarta dan Pengindera pada sistem klausa sebagai representasi (clause as representation)] (Halliday & Matthiessen, 2014: 225). Bentuk pasif lebih banyak ditemukan dalam bahasa Indonesia dibanding dalam bahasa Inggris dan perubahan dari aktif ke pasif (atau sebaliknya, pada penerjemahan bahasa Indonesia ke bahasa Inggris) diperlukan pada beberapa terjemahan agar terkesan alami (Sneddon, 1996: 254). Dalam bahasa Indonesia terdapat dua tipe bentuk pasif. Pada tipe pertama, Pewarta pada proses Verbal atau Pengindera pada proses Mental berada di belakang proses, sedangkan pada tipe kedua berada di depan proses. Pergeseran menjadi bentuk pasif dapat menyebabkan perubahan konstituen Tema. Terdapat tiga macam Tema: Topikal, Tekstual dan Interpersonal. Konstituen Tema hanya terdiri dari satu Tema Topikal. Tema Topikal dapat dibagi menjadi Tema Topikal Lazim dan yang Tak Lazim. Tema Topikal Lazim merupakan Tema Topikal yang mempunyai konstituen yang sama dengan konstituen yang biasa muncul di awal kalimat pada suatu sistem MOOD. Tema Topikal Lazim pada MOOD deklaratif merupakan subjek, pada MOOD interogatif tipe WH- dalam bahasa Inggris berupa kata tanya wh- (what, who, why, dan lain-lain), pada MOOD interogatif tipe polar dalam bahasa Inggris berupa finite beserta subjek, pada MOOD imperatif berupa predikator. Klausa minor dan klausa non-finite tidak memiliki struktur tematik maupun Tema. Pada klausa eksistensial, there berfungsi sebagai Tema (dalam bahasa Inggris). Pada kompleks yang terdiri dari beberapa klausa, identifikasi Tema disarankan dilakukan per T-unit. Satu T-unit terdiri dari klausa utama beserta klausa-klausa bawahannya (Thompson, 2004: 156). Klausa bawahan menjadi Tema keseluruhan klausa kompleks bila berada di depan klausa utama. Terdapat empat jenis pola pengembangan Tema (thematic progression): konstan (Constant Theme), Tema terbelah (Split Theme), linier (Simple Linear), dan Rema terbelah (Split Rheme) (McCabe, 1999: 176). Pada tipe konstan, Tema dalam suatu klausa menjadi Tema klausa berikutnya. Pada tipe linier, Rema dalam suatu klausa menjadi Tema klausa berikutnya. Pada tipe Tema terbelah, Tema dalam suatu klausa terdiri dari beberapa ide, yang kemudian menjadi Tema dalam beberapa klausa yang berbeda berikutnya. Pada tipe Rema terbelah, Rema dalam suatu klausa terdiri dari beberapa ide, yang kemudian menjadi Tema dalam beberapa klausa yang berbeda berikutnya. Pola pengembangan Tema bisa dibentuk oleh dua klausa yang bersebelahan maupun yang dipisahkan klausa lain (gap). Meskipun tidak mempunyai struktur Tema, klausa minor dan non-finite tetap bisa diacu. Tidak semua klausa mempunyai Tema yang berhubungan dengan klausa lainnya. Tema seperti ini oleh McCabe (1999: 180) disebut Tema periferal (Peripheral Theme), yang oleh Hawes (2015: 11) disebut sebagai jeda (break) dan dapat berupa
128
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
klausa interogatif (WH- atau polar), struktur IT dan THERE predicate, kelompok verba, klausa bawahan, dan aneks. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan tipe studi kasus. Cuplikan yang diambil didasarkan pada kriteria tertentu (criterion-based sampling)—terutama berdasarkan faktor pengarang. Data berupa seluruh bagian utama kelima teks artikel terjemahan berseri Keluar dari Nirwana majalah National Geographic Indonesia tahun 2013-2016 beserta teks sumbernya. Data dianalisis menggunakan model interaktif Miles, et al. (Miles, et al, 2014). HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Distribusi frekuensi seluruh T-unit (klausa yang memproyeksikan) terangkum secara rinci dalam tabel 1. Tujuh T-unit tidak diterjemahkan: dua yang tidak diterjemahkan terdapat dalam seri I, II, dan III, sedangkan dalam seri IV terdapat satu. Tabel 1. Frekuensi T-unit Tiap Seri Seri I II III IV V Σ
Sumber 9 13 10 11 9 52
Terjemahan 7 11 8 10 9 45
Distribusi frekuensi Tema Topikal secara rinci terangkum dalam tabel 2 (persentase dihitung per seri). Tabel 2. Frekuensi Tema Topikal Tema Topikal Lazim Seri Sumber Terjemahan I 7 (77,78 %) 3 (42,86 %) II 9 (69,23 %) 1 (9,09 %) III 9 (90 %) 1 (12,5 %) IV 8 (72,73 %) V 5 (55,56 %) 2 (22,22 %) Σ 38 (73,08 %) 7 (15,56 %)
Tema Topikal Tak Lazim Sumber Terjemahan 2 (22,22 %) 4 (57,14 %) 4 (30,77 %) 10 (90,91 %) 1 (10 %) 7 (87,5 %) 3 (27,27 %) 10 (100 %) 4 (44,44 %) 7 (77,78 %) 14 (26,92 %) 38 (84,44 %)
Seluruh penggunaan begitu yang teridentifikasi melibatkan bentuk pasif sehingga kata ini berfungsi sebagai Tema Topikal Lazim (sebagai subjek) dalam teks terjemahan. Pada salah satu datum dalam seri V terjadi pergeseran dari Tema Topikal Tak Lazim menjadi Lazim. Namun terdapat pula yang tidak mengalami pergeseran jenis Tema Topikal pada seri III—meskipun mengalami perubahan konstituen Tema Topikal: Teks sumber: ||| “ ||| Checkpoints. ||| ||| Checkpoints. ||| ||| Checkpoints, ||| ” ║ Bassam Almohor tells me. ||| Teks terjemahan: ||| “ ||| Pos pemeriksaan. ||| ||| Pos pemeriksaan. ||| ||| Pos pemeriksaan, ||| ” begitu kata Bassam Almohor. ||| Distribusi frekuensi pergeseran Tema Topikal secara rinci terangkum dalam tabel 3 (persentase dihitung per seri). PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
129
Tabel 3. Distribusi Pergeseran Jenis Tema Topikal Tetap Bergeser Seri Lazim Tak Lazim Lazim I 3 (33,33 %) 2 (22,22 %) 2 (22,22 %) II 1 (7,69 %) 3 (23,08 %) 7 (53,85 %) III 1 (10 %) 1 (10 %) 6 (60 %) IV 3 (27,27 %) 7 (63,64 %) V 1 (11,11 %) 3 (33,33 %) 4 (44.44 %) Σ 6 (11,54 %) 12 (23,08 %) 26 (50 %)
Tak Lazim 1 (11,11 %) 1 (1,92 %)
Hilang Lazim 2 (22,22 %) 1 (7,69 %) 2 (20 %) 1 (9,09 %) 6 (11,54 %)
Tak Lazim 1 (7,69 %) 1 (1,92 %)
Distribusi frekuensi pola pengembangan Tema dan jeda secara rinci terangkum dalam tabel 4. Tabel 4 Distribusi Frekuensi Pola Pengembangan Tema dan Jeda 1 Pola Pengembangan Jeda Konstan Linier Kl. Fronted EkstraSeri Min. linguistik Sbr Trj Sbr Trj Sbr Sbr Trj Sbr Trj I 3 2 3 2 3 1 1 II 5 2 4 2 4 7 III 6 1 1 1 5 1 IV 4 1 1 3 10 2 V 4 2 1 1 4 5 Σ 22 5 9 6 1 14 30 4 1
Metatekstual Trj 1 1 2
Aside Sbr 1 1 2
Trj 1 1
Seluruh pergeseran dari pengembangan menjadi jeda menyebabkan pergeseran menjadi jeda fronted. Distribusi frekuensi pola pengembangan Tema yang hilang akibat tidak diterjemahkannya T-unit yang bersangkutan serta yang terkait pergeseran secara rinci terangkum dalam tabel 5 dan 6.
Tabel 5 Distribusi Frekuensi Pola Pengembangan Tema dan Jeda 2 Pola Pengembangan Tema Jeda EktraSeri Konstan Linier Fronted linguistik Tetap Hilang Tetap Hilang Tetap Hilang Tetap I 1 1 2 1 II 2 1 2 3 1 III 1 2 1 IV 1 3 V 2 1 3 Σ 5 4 4 1 12 1 1
130
Aside Tetap 1 1
Hilang 1 1
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
Tabel 6 Distribusi Frekuensi Pola Pengembangan Tema dan Jeda 3 (Pergeseran) Jenis Pengembangan Jenis Jeda Seri Pengembangan Menjadi jeda tp1>rp1 tp1>fr rp1>fr tma>fr xh>fr xh>rf fr>rf I 2 1 II 2 2 III 3 1 1 IV 3 1 1 2 V 2 1 Σ 2 11 4 1 2 1 1 Keterangan: tp1: Pola pengembangan Tema konstan fr: Jeda fronted rp1: Pola pengembangan Tema linier xh: Jeda ekstralinguistik tma: Pola mengacu klausa minor rf: Jeda metatekstual
Σ 3 4 5 7 3 22
Seluruh penggunaan Tema Topikal Tak Lazim pada teks sumber menyebabkan jeda. Sebagian besar konstituen Tema tersebut diterjemahkan pula menjadi Tema Topikal Tak Lazim—yang menyebabkan pula jeda—kecuali satu yang tidak diterjemahkan pada seri II dan satu yang diterjemahkan menjadi Tema Topikal Lazim pada seri V, yang melibatkan penggunaan begitu dan menyebabkan pergeseran menjadi jeda metatekstual. Seluruh penggunaan begitu menyebabkan pergeseran menjadi jeda metatekstual; begitu pula sebaliknya, seluruh pergeseran menjadi jeda metatekstual disebabkan penggunaan begitu (seperti pada contoh dalam seri III sebelumnya). Sebagian besar pergeseran Tema Topikal Lazim menjadi Tak Lazim menyebabkan pergeseran pola pengembangan Tema konstan dan linier menjadi jeda fronted kecuali pada penggunaan klitik –nya. Dua dari empat pergeseran menjadi jeda fronted (dari jeda ekstralinguistik) juga disebabkan pergeseran Tema Topikal Lazim menjadi Tak Lazim. Seluruh penggunaan klitik -nya mampu mempertahankan pola pengembangan Tema teks sumber meskipun menyebabkan pergeseran Tema Topikal Lazim menjadi Tak Lazim. Pemertahanan konstituen Tema Topikal (Lazim) juga mampu mempertahankan jenis pola pengembangan (linier, masing-masing satu pada seri II dan V) dan jeda (ekstralinguistik, pada seri I). Pergeseran pola pengembangan Tema dapat pula diakibatkan pergeseran konstituen Tema pada konstituen yang diacu—meskipun klausa yang memproyeksikan tidak mengalami pergeseran—, yang terjadi pada dua pergeseran pola pengembangan Tema konstan menjadi linier pada seri I. SIMPULAN Tidak seperti konstruksi pasif pada umumnya, yang memungkinkan penghilangan konstituen pewarta/pengindera, subjek tetap harus disertakan pada klausa dengan konstruksi ini dalam bahasa Indonesia. Namun berbeda dengan teks terjemahan, seluruh data konstruksi tersebut dalam teks sumber pada penelitian ini merupakan bentuk aktif, yang mewajibkan kehadiran subjek. Banyaknya penggunaan bentuk pasif dan Tema Topikal Tak Lazim pada klausa-klausa yang memproyeksikan tersebut dalam teks terjemahan, yang sebagian besar menyebabkan pula pergeseran menjadi jeda, menunjukkan bahwa konstruksi ini merupakan konstruksi yang lebih lazim dalam bahasa Indonesia, meskipun dapat mempersulit proses pembacaan. Selain akibat perbedaan kecenderungan penggunaan, pergeseran dapat pula disebabkan oleh penggunaan fitur yang ada dalam bahasa Indonesia namun tidak terdapat dalam bahasa Inggris. Dua yang teridentifikasi dalam penelitian ini berupa partisipan yang diwartakan (verbiage) begitu dan klitik nya.
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
131
DAFTAR PUSTAKA Halliday, M.A.K., & Matthiessen, C.M.I.M. (2014). Halliday’s Introduction to Functional Grammar (Fourth Edition). London dan New York: Routledge. Hawes, T. (2015). Thematic progression in the writing of students and professionals. Ampersand, DOI: 10.1016/j.amper.2015.06.002, 1-26. Martin, J.R., Matthiessen, C.M.I.M., & Painter, C. (2010). Deploying Functional Grammar. Beijing: The Commercial Press. McCabe, A.M. (1999). Theme and Thematic Patterns in Spanish and English History Texts Vol. I. Penelitian Aston University yang tidak dipublikasikan. Birmingham: Aston University. Miles, M.B., Huberman, A.M., & Saldaña, J. (2014). Qualitative Data Analysis: A Methods Sourcebook (Third Edition). California: SAGE Publications, Inc. Salopek, P. 2013. "To walk the world" dalam National geographic, Desember 2013: 30-57. __________. 2013. "Berjalan membelah dunia (edisi terjemahan)" dalam National geographic Indonesia, Desember 2013: 86-109. __________. 2014. "The wells of memory" dalam National geographic, Juli 2014: 78-101. __________. 2014. "Sumur kenangan (edisi terjemahan)" dalam National geographic Indonesia, Juli 2014: 76-97. __________.2014. "Blessed. Cursed. Claimed" dalam National geographic, Desember 2014: 86111. __________.2014. "Diberkahi. Dikutuk. Diklaim (edisi terjemahan)" dalam National geographic Indonesia, Desember 2014: 72-93. __________.2015. "Fleeing terror, finding refuge" dalam National geographic, Maret 2015: 48-91. __________.2015. "Mencari tempat berlindung (edisi terjemahan)" dalam National geographic Indonesia, Maret 2015: 76-99. __________.2016. “Ghost lands” dalam National geographic, April 2016: 108-130. __________. 2016. “Tanah hantu (edisi terjemahan)” dalam National geographic Indonesia, April 2016: 106-129. Sneddon, J.N. 1996. Indonesian: A Comprehensive Grammar. London dan New York: Routledge.
132
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
PEMAKAIAN BAHASA INDONESIA DALAM KARYA ILMIAH MAHASISWA: Studi Kasus pada Penulisan Skripsi Sastra Indonesia, Universitas Sebelas Maret Sholeh Dasuki, Asep Yudha Wirajaya, Miftah Nugroho Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret Abstrak Makalah ini merupakan ringkasan penelitian yang berjudul, ”Pemakaian Bahasa Indonesia dalam Karya Ilmiah Mahasiswa: Studi Kasus pada Penulisan Skripsi Sastra Indonesia Universitas Sebelas Maret”. Penelitian ini memiliki jangkauan untuk mendapatkan gambaran secara komprehensif mengenai pemakaian bahasa Indonesia dalam karya ilmiah mahasiswa dengan mengambil kasus pada skripsi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret. Tujuan khsusnya adalah mendeskripsikan pemakaian ejaan, kosa kata atau istilah, dan kalimat dalam skripsi. Metode yang dipakai adalah deskriptif analitik. Semua data yang diperoleh dari sumber data skripsi mahasiswa Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret dianalisis sesuai dengan kaidah pemakaian bahasa Indonesia. Sumber data penelitian ini diambil secara purposive sampling.Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemakaian ejaan, kosa kata atau istilah, dan kalimat dalam skripsi mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret cukup baik. Kata kunci: bahasa Indonesia, karya ilmiah, skripsi PENDAHULUAN Sebagaimana diketahui bahwa bahasa Indonesia memiliki dua kedudukan yang sangat penting, yaitu sebagai bahasa nasional dan sebagai bahasa negara. Sebagai bahasa nasional bahasa Indonesia bersumber pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, yaitu butir ketiga yang berbunyi, “Kami poetera dan poeteri Indonesia menjoenjoeng Bahasa Persatoen, Bahasa Indonesia”. Hal ini berarti bahwa bahasa Indonesia memiliki kedudukan yang tertinggi di antara bahasa-bahasa daerah dan bahasa-bahasa asing. Sebagai bahasa negara bahasa Indonesia bersumber pada UndangUndang Dasar 1945 Bab XV Pasal 36 yang berbunyi, “Bahasa resmi negara adalah bahasa Indonesia”. Hal ini berarti bahwa semua kegiatan yang bersifat resmi kenegaraan harus diekspresikan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Kondisi di Indonesia akhir-akhir ini menunjukkan bahwa penghargaan terhadap bahasa nasional semakin kurang. Kesalahan penggunaan bahasa Indonesia, baik lisan maupun bahasa tulis cukup menyedihkan. Kesalahan penggunaan bahasa Indonesia tersebut tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat berpendidikan rendah, tetapi sangat umum terjadi di kalangan mahasiswa, bahkan sarjana. Kesalahan penggunaan bahasa ragam ilmiah masih banyak muncul dalam proposal skripsi, tesis, dan disertasi, bahkan dalam draf skripsi, tesis, dan disertasi yang sudah siap dipertahankan dalam ujian (Zuchdi, 2012:1). Terkait dengan hal ini, Lickona (1991:16) menyatakan bahwa salah satu dari tanda-tanda penurunan moral adalah penggunaan bahasa yang buruk karena bahasa merupakan salah satu indeks peradaban. Oleh karena itu, kondisi penggunaan bahasa yang memprihatinkan tersebut perlu diatasi secara sungguh-sungguh. Berdasarkan pernyataan tersebut maka dilakukan penelitian terhadap karya ilmiah khususnya skripsi mahasiswa. Tujuan umumnya adalah dalam rangka untuk memperoleh gambaran secara memadai mengenai kondisi pemakaian bahasa dalam karya ilmiah mahasiswa khususnya skripsi. Tujuan khusnya adalah mendeskripsikan pemakaian ejaan, kosa kata atau istilah, dan kalimat dalam skripsi. Karya ilmiah merupakan salah satu bentuk komunikasi tulis yang sifatnya resmi. Bentuk komunikasi seperti ini mengimplikasikan ketidakhadiran O-1 (orang pertama) di hadapan O-2 (orang kedua) sebagai pembaca. Di samping itu, kenyataan ini juga memberikan isyarat kepada kita bahwa karya ilmiah harus ditulis dalam bahasa baku, sebab fungsi bahasa baku adalah untuk komunikasi yang sifatnya resmi. Jadi, bahasa yang digunakan dalam karya ilmiah adalah bahasa Indonesia baku. PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
133
Ciri-ciri bahasa Indonesia ragam baku, khususnya untuk kepentingan penulisan karya ilmiah ialah dapat dilihat dari segi ejaan, peristilahan, kosa kata, dan tata bahasa. Dari segi ejaannya, maka tata cara dan tertib penulisan bahasa Indonesia baku harus mengikuti, Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia. Dari segi peristilahannya, maka cara atau tertib pembentukan istilahnya berpedoman pada, Pedoman Umum Pembentukan Istilah Bahasa Indonesia. Dari segi kosa kata, maka harus menggunakan kosa kata baku bahasa Indonesia. Dari segi tata bahasa, maka bentuk kata dan struktur kalimatnya harus menunjukkan sebagai bentuk baku bahasa Indonesia. METODE PENELITIAN Sumber data penelitian ini adalah skripsi mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret yang disusun pada tahun 2016. Dalam kaitannya dengan penelitian ini diambil beberapa skripsi yang disusun pada tahun 2016 sebagai sampel. Sampel penelitian dapat dikemukakan sebagai berikut. (1) “Prinsip Kesantunan dalam Proses Belajar Mengajar di TK Trisula Purodadi” oleh Valleria Ines Amnelia, 2016.(2) “Disfemisme dalam Artikel Terpopuler Sepekan di Blog Mojok. Co (Suatu Kajian Semantik) “ oleh Nopitasari, 2016. (3) Dawa-ul Qulub: Suntingan Teks, Analisis Struktur, dan Tinjauan Akhlak Islami” oleh Aliyatur Rofi’ah, 2016). (4) “Pemakaian Bahasa Transaksi Jual Beli di Pasar Legi Jatinom Klaten: Tinjauan Sosiolinguistik” oleh Ragil Dessi Natallia, 2016). (5) “Masaila Aqiidatu l-Isla”: Suntingan Teks, Analisis Struktur dan Isi Berdasarkan Akidah Ahlu ‘s-Sunnah wa’l- Jamaah” oleh Wilda Zaki Alhamidi, 2016) . (6) “Cerita Anak Fabel pada Harian Kompas Tahun 2015: Kajian Strukturalisme Robert Stanton” oleh Asis Widyawati, 2016. Data penelitian ini dikumpulkan dengan cara membaca sejumlah skripsi mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya UNS yang telah ditetapkan sebagai sampel penelitian tersebut. Sampel data tersebut dipilih secara purposive sampling. Data yang telah dikumpulkan diklasifikasikan berdasarkan tipenya dan dianalisis dengan pendekatan deskriptif analitik, yakni mendeskripsikan data yang telah dikumpulkan dan menganalisisnya secara cermat. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil temuan kesalahan bahasa maka pada bagian ini dipaparkan analisisnya. Inventasisasi kesalahan bahasa yang ditemukan dari sumber data skripsi hanya merupakan sampel yang dijadikan contoh untuk dianalisis dari segi ejaan, kosa kata atau istilah, dan kalimat. Berikut dikemukakan beberapa contoh temuan kesalahan bahasa dan analisisnya. Data 1 1. Dengan mempertimbangkan karakter bahasa masing-masing individu itu, diharapkan komunikasi antara penutur dengan petutur akan menjadi lancar.(S) Terdapat kesalahan penggunaan kata –dengan yang seharusnya adalah kata –dan. Dengan mempertimbangkan karakter bahasa masing-masing individu itu diharapkan komunikasi antara penutur dan petutur akan menjadi lancar. (B) 2. Dalam dunia pendidikan, prinsip kesantunan berbahasa menempati posisi yang cukup signifikan. (S) Terdapat kesalahan penggunaan tanda baca koma (,) setelah kata –pendidikan. Dalam dunia pendidikan prinsip kesantunan berbahasa menempati posisi yang cukup signifikan. (B) 3. Alasan penulis tertarik menjadikan kota Purwodadi sebagai objek penelitian, kota Purwodadi … (S) Terdapat kesalahan penggunaan kata –penulis karena dalam karya ilmiah sebaiknya digunakan bentuk pasif untuk pengganti kata -penulis atau peneliti. Alasan dipilih kota Purwodadi sebagai objek penelitian karena kota ini … (B) 4. Hal ini bertujuan menambah ilmu pengetahuan, serta membuka cakrawala pemikiran yang lebih luas …. (S) Terdapat kesalahan penggunaan kata –serta yang seharusnya digunakan kata –dan. Hal ini bertujuan menambah ilmu pengetahuan dan membuka cakrawala pemikiran yang lebih luas. (B)
134
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
5.
Alasan peneliti memilih proses belajar mengajar di TK Trisula Purwodadi adalah (S) Terdapat kesalahan penggunaan kata –peneliti karena dalam karya ilmiah sebaiknya digunakan bentuk pasif untuk pengganti kata -penulis atau –peneliti. Alasan dipilih proses belajar mengajar di TK Trisula Purwodadi adalah … (B) 6. Tujuan pengembangan kemampuan bahasa di TK adalah agar anak mampu mengungkapkan pikiran melalui bahasa yang sederhana secara tepat, mampu berkomunkasi secara efektif dan membangkitkan minat …. (S) Terdapat kesalahan tanda baca koma (,), seharusnya sesudah kata –efektif diberi tanda baca koma (,). Tujuan pengembangan kemampuan bahasa di TK adalah agar anak mampu mengungkapkan pikiran melalui bahasa yang sederhana secara tepat, mampu berkomunkasi secara efektif, dan membangkitkan minat …. (B) 7. …. yakni bagaimana satuan kebahasaan itu digunakan didalam komunikasi … (S) Terdapat kesalahan penggunaan kata depan –di. Seharusnya kata depan –di ditulis terpisah dengan kata yang mengikuti. …. yakni bagaimana satuan kebahasaan itu digunakan di dalam komunikasi. (B) 8. Berdasarkan hal tersebut, penulis memberi judul penelitian …. Terdapat kesalahan penggunaan kata –penulis. karena dalam karya ilmiah sebaiknya digunakan bentuk pasif untuk pengganti kata -penulis atau –peneliti. Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini diberi judul, …. (B) 9. Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah bahwa dalam penelitian ini peneliti memfokuskan penelitian ….. (S) Terdapat kesalahan penggunaan kata –adapun karena kata –adapun tidak tepat digunakan pada bagian awal kalimat. Di samping itu, juga banyak kata mubazir. Penelitian ini dibatasi pada masalah …… (B) 10. Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah ….. (S) Terdapat kesalahan penggunaan kata –adapun pada awal kalimat. Tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah … (B) 11. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemahaman terhadap interkasi guru dan murid, terutama untuk memahami penerapan maupun pelanggaran prinsip….. (S) Terdapat kesalahan penggunaan kata –maupun. Sebaiknya kata –maupun dipasangkan dengan kata –baik atau bisa dipakai kata –dan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemahaman terhadap interkasi guru dan murid, terutama untuk memahami, baik penerapan maupun pelanggaran prinsip….. (B) 12. …. melatih kepekaan terhadap tuturan yang disampaikan oleh guru kepada murid serta mengetahui perbedaan ….. (S) Terdapat kesalahan pemakaian kata –serta yang seharusnya digunakan kata –dan. …. melatih kepekaan terhadap tuturan yang disampaikan oleh guru kepada murid dan mengetahui perbedaan…. (B) 13. Beberapa penelitian tentang prinsip kesantunan sudah pernah dilakukan. (S) Terdapat kesalahan penggunaan kata-pernah yang berdampingan dengan kata –pernah. Beberapa penelitian tentang prinsip kesantunan sudah dilakukan. (B) Beberapa penelitian tentang prinsip kesantunan pernah dilakukan. (B) 14. Penelitian yang pernah dilakukan dan berkaitan dengan masalah yang diteliti dalam penelitian ini akan dipaparkan sebagai berikut. (S) Terdapat penggunaan kata yang tidak tepat atau mubazir, yaitu kata –akan. Penelitian yang pernah dilakukan dan berkaitan dengan masalah yang diteliti dalam penelitian ini dipaparkan sebagai berikut. (B) 15. Hal itu dapat di lihat dari raut muka mereka …. (S) Terdapat kesalahan penulisan bentuk -di yang seharusnya ditulis serangkai dengan kata yang mengikuti. Hal itu dapat dilihat dari raut muka mereka. (B) 16. Adapun ketujuh jenis subtindak tutur direktif …. (S) Terdapat kesalahan penggunaan kata –adapun pada awal kalimat karena kata –adapun tidak sebaiknya digunakan pada awal kalimat karena menjadikan subjek kalimat tidak jelas. PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
135
Ketujuh jenis subtindak tutur direktif …. (B) 17. Adapun jika dilihat pelanggaran prinsip kesantunan ….. (S) Terdapat kesalahan penggunaan kata –adapun pada awal kalimat karena kata –adapun tidak sebaiknya digunakan pada awal kalimat karena menjadikan subjek kalimat tidak jelas. Jika dilihat pelanggaran prinsip kesantunan … (B) 18. Penelitian yang dilaksanakan oleh peneliti adalah untuk meneliti prinsip kesantunan dalam proses belajar mengajar …… (S) Terdapat penggunaan kata yang mubazir, yaitu kata –oleh peneliti dan –untuk meneliti. Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan prinsip kesantunan dalam proses belajar mengajar …. (B) 19. Menurut Moris (Nadar, 2009:2), pragmatic adalah cabang …. (S) Terdapat penggunaan kata yang tepat, yaitu kata –menurut pada awal kalimat yang menyebabkan subjek tidak jelas. Moris (dalam Nadar, 2009:2) berpendapat bahwa pragmatik adalah cabang … (B) 20. Selanjutnya, Gunarwan (1994:83-84) mengungkapkan bahwa …. (S) Terdapat penggunaan kata yang tidak tepat, yaitu kata –selanjutnya pada awal kalimat. Gunarwan (1994:83-84) mengungkapkan bahwa ….. (B) 21. … suatu tuturan ada lima aspek situasi tutur yang harus diperhatikan, yaitu: (S) Terdapat penggunaan tanda baca titik dua (:) setelah kata –yaitu yang sehaursnya tidak perlu digunakan tanda baca titik dua. … suatu tuturan ada lima aspek situasi tutur yang harus diperhatikan, yaitu… (B) 22. Tujuan sebuah tuturan adalah tujuan atau fungsi daripada makna ….. (S) Terdapat kesalahan penggunaan kata –daripada karena kata –daripada umumnya digunakan untuk perbandingan. Tujuan sebuah tuturan adalah tujuan atau fungsi makna …. (B) 23. Istilah tujuan ini dianggap lebih netral daripada maksud, karena tidak …. (S) Terdapat kesalahan penggunaan tanda baca koma (,) sebelum kata –karena. Istilah tujuan ini dianggap lebih netral daripada maksud karena tidak …. (B)
24. Selanjutnya apabila tindak tutur langsung dan tindak tutur ….. (S) Terdapat kesalahan penggunaan kata –selanjutnya pada awal kalimat. Apabila tindak tutur langsung dan tindak tutur ….. (B) Keterangan: S, artinya salah dan B, artinya benar. Data 2 1. Perubahan makna halus ke kasar dan kasar ke halus banyak ditemui dalam penulisan …. (S) Terdapat kesalahan penggunaan kata –ditemui yang seharusnya digunakan kata –ditemukan. Perubahan makna halus ke kasar dan kasar ke halus banyak ditemukan dalam penulisan …. (B) 2. … terutama penggunaan disfemisme yang memang dilakukan sebagai bentuk ekspresi penulis maupun penarikan perharian terhadap pembaca. (S) Terdapat kesalahan penggunaan kata –maupun yang seharusnya digunakan kata –riminala kata –maupun berpasangan dengan kata –baik. …..terutama penggunaan disfemisme yang memang dilakukan sebagai bentuk ekspresi penulis dan penarikan perharian terhadap pembaca. (B) 3. Mangiang dalam makalahnya yang berjudul “Dinamika Bahasa Media Massa” tahun 2008 berpendapat ….. (S) Terdapat kesalahan penggunaan tanda baca, yaitu setelah kata –berjudul seharusnya diberi tanda baca koma (,). Mangiang dalam makalahnya yang berjudul, “Dinamika Bahasa Media Massa” tahun 2008 berpendapat … (B) 4. Masyarakat dapat melakukan penilaian terhadap suatu rimi yang baik maupun permasalahan yang kurang baik. (S)
136
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
Terdapat kesalahan penggunaan kata –maupun karena kata –maupun seharusnya berpasangan dengan kata –baik. Masyarakat dapat melakukan penilaian terhadap suatu rimi yang baik dan permasalahan yang kurang baik. (B) 5. … yang dimuat dalam blog Mojok. Co sehingga artikel ….. (S) Terdapat kesalahan penggunaan tanda baca, yaitu seharusnya sebelum kata –sehingga diberi tanda baca koma (,). … yang dimuat dalam blog Mojok. Co, sehingga artikel ….. (B) 6. … ada beberapa bentuk penghalusan, tapi disfemisme atau … (S) Terdapat kesalahan penggunaan kata –tapi, yang seharusnya adalah kata –tetapi. … ada beberapa bentuk penghalusan, tetapi disfemisme atau … (B) 7. Pengkategorian baik ini dapat dilihat dari banyaknya jumlah pembaca yang turut bergabung maupun turut …(S) Terdapat kesalahan penggunaan kata –maupun karena kata –maupun selalu didahului dengan kata –baik sebagai pasangannya. Pengkategorian baik ini dapat dilihat dari banyaknya jumlah pembaca yang turut bergabung dan turut 8. …..yang mewadahi tulisan para penulis yang mempunyai rimin serta kreativitas lebih. (S) Terdapat kesalahan penggunaan kata –serta yang seharusnya digunakan kata –dan. ……..yang mewadahi tulisan para penulis yang mempunyai rimin dan kreativitas lebih. (B) 9. ….tujuan dari penelitian ini adalah …. (S) Terdapat penggunaan kata –dari yang tidak tepat karena dipengaruhi struktur bahasa Jawa. ….tujuan penelitian ini adalah …. (B) 10. Selain itu, penelitian ini juga akan membahas mengenai fungsi …. (S) Terdapat pemakaian kata yang mubazir dan tidak logis, yaitu kata –akan. Selain itu, penelitian ini juga membahas mengenai fungsi …. (B) 11. Dari kriminal maupun sosial politik …. (S) Terdapat kesalahan penggunaan kata –dari, yang seharusnya digunakan kata –baik. Baik kriminal maupun sosial politik. (B) 12. Selanjutnya, Subroto (2011:30) menerangkan ….. (S) Terdapat kesalahan penggunaan kata –selanjutnya, yang seharusnya tidak diperlukan. Subroto (2011:30) menerangkan…. (B) Keterangan: S, artinya salah dan B, artinya benar. Data 3 1. Kebudayaan itu bisa berupa perilaku, pemikiran, maupun hasil karya yang dikerjakan oleh manusia. (S) Terdapat kesalahan penggunaan kata –maupun karena kata –maupun selalu didahului dengan kata –baik sebagai pasangannya. Dalam kalimat tersebut yang tepat digunakan kata –dan. Kebudayaan itu bisa berupa perilaku, pemikiran, dan hasil karya yang dikerjakan oleh manusia. (B) 2. Hal ini disebabkan nskah memiliki kelebihan yaitu dapat memberi informasi yang luas dibandingkan dengan …. (S) Terdapat kesalahan penggunaan tanda baca, yaitu kurang tanda baca koma (,) sebelum kata – yaitu dan kata –memberi sebaiknya diperbaiki dengan kata –memberikan. Hal ini disebabkan nskah memiliki kelebihan, yaitu dapat memberikan informasi yang luas dibandingkan dengan …. (B) 3. Hal itu di sebabkan karena kurangnya kepedulian masyarakat Indonesia dan sulitnya …. (S) Terdapat kesalahan penulisan bentuk –di yang dipisah dengan kata yang mengikutinya, yang seharusnya bentuk –di tulis serangkai karena awalan. Di samping itu, juga terdapat kesalahan penggunaan kata –sebab dan –karena yang berdampingan sebab kedua kata tersebut merupakan kata sinonim. Hal itu disebabkan kurangnya kepedulian masyarakat Indonesia dan sulitnya (B) Hal itu karena kurangnya kepedulian masyarakat Indonesia dan sulitnya … (B) PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
137
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Adapun yang dimkasud dengan naskah klasik atau naskah kuno adalah …. (S) Terdapat kesalahan penggunaan kata –adapun pada awal kalimat, sehingga terdapat kemubaziran kata. Yang dimaksud dengan naskah klasik atau naskah kuno adalah …. (B) Pertama, penelitian terdahulu berdasarkan penelitian filologi terdahulu yang menggunakan bentuk analisis struktur dan yang kedua penelitian filologi terdahulu yang berkaitan dengan akhlak. (S) Terdapat kesalahan penyusunan kata yang tidak logis, yaitu kata kata –dan yang kedua, yang disusun dalam satu serial kalimat. Pertama, penelitian terdahulu berdasarkan penelitian filologi terdahulu yang menggunakan bentuk analisis struktur. Kedua, penelitian filologi terdahulu yang berkaitan dengan akhlak. (B) Berdasarkan penjelasan di atas sastra kitab memiliki cirri khusus yaitu penyusunannya …. (S) Terdapat kesalahan penggunaan tanda baca koma (,), yang seharusnya sebelum kata –yaitu diberi tanda baca koma. Berdasarkan penjelasan di atas sastra kitab memiliki cirri khusus, yaitu penyusunannya …(B) Gaya penngisahan adalah cara yang khusus dalam menyampaikan ceritanya, pikiran, serta pendapat-pendapatnya. (S) Terdapat kesalahan penggunaan kata –serta, yang seharusnya digunakan kata –dan. Gaya penngisahan adalah cara yang khusus dalam menyampaikan ceritanya, pikiran, dan pendapat-pendapatnya. (B) Guru harus mampu mengamalkannya di saat mengajar murid maupun saat tidak mengajar …. (S) Terdapat kesalahan penggunaan kata –di dan kata –maupun. Dalam kalimat tersebut seharusnya digunakan kata –pada dan kata –dan atau kata –baik jika kata –maupun akan dipertahankan. Guru harus mampu mengamalkannya pada saat mengajar murid pada saat tidak mengajar … (B) Guru harus mampu mengamalkannya, baik pada saat mengajar murid maupun pada saat tidak mengajar…. (B) Dengan demikian, guru haruslah orang yang takwa dan ramah, agar dapat dicontoh dan …. (S) Terdapat kesalahan penggunaan tanda baca koma setelah kata –ramah, yang seharusnya tidak perlu digunakan tanda baca koma. Dengan demikian, guru haruslah orang yang takwa dan ramah agar dapat dicontoh dan …. (B)
10. Harus sayang kepada murid, agar semakin besar perhatian dan ….. (S) Terdapat kesalahan penggunaan tanda baca koma setelah kata –murid, yang seharusnya tidak perlu digunakan tanda baca koma. Harus sayang kepada murid agar semakin besar perhatian dan …. (B) 11. Allah tidak menciptakan telinga untuk mendengar hal-hal yang tidak baik, karena …. (S) Terdapat kesalahan penggunaan tanda baca koma sebelum kata –karena, yang seharusnya tidak perlu digunakan tanda baca koma. Allah tidak menciptakan telinga untuk mendengar hal-hal yang tidak baik karena …. (B) 12. Allah Swt. Memberikan nikmat, baik berupa ilmu, harta atau pengaruh kepada…(S) Terdapat kesalahan penggunaan kata –atau, yang seharusnya digunakan kata –maupun karena sebelumnya digunakan kata –baik. Allah Swt. Memberikan nikmat, baik berupa ilmu, harta, maupun pengaruh kepada… (B) 13. Orang yang mempunyai harta memiliki dua keadaan. Yaitu qanaan … (S) Terdapat kesalahan penggunaan tanda baca titik (.) sesudah kata –keadaan yang menandai selesainya kalimat padahal kalimat tersebut belum selesai. Orang yang mempunyai harta memiliki dua keadaan, yaitu qanaan … (B) 14. Dan yang memperoleh atau yang …. (S) Terdapat kesalahan penggunaan kata –dan yang terletak pada awal kalimat, yang seharusnya kata –dan tidak boleh digunakan pada awal kalimat. Yang memperoleh atau yang …. (B)
138
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
Keterangan: S, artinya salah dan B, artinya benar. Data 4 1. Tanpa bahasa manusia tidak dapat menuangkan ide, gagasan, perasaan, serta kemauannya. (S) Terdapat kesalahan penggunaan kata –serta, yang seharusnya digunakan kata –dan. Tanpa bahasa manusia tidak dapat menuangkan ide, gagasan, perasaan, dan kemauannya. (B) 2. Sebagai objek dalam sosiolinguistik bahasa tidak dilihat atau didekati sebagai bahasa sebagaimana dilakukan oleh linguistik umum, melainkan dilihat atau didekati sebagai sarana interaksi atau komunikasi di dalam masyarakat. (S) Terdapat kesalahan penggunaan kata –melainkan, yang seharusnya digunakan kata –tetapi karena pasangan kata –tidak adalah kata –tetapi, sedangkan kata –melainkan berpasangan dengan kata –bukan. Sebagai objek dalam sosiolinguistik bahasa tidak dilihat atau didekati sebagai bahasa sebagaimana dilakukan oleh linguistik umum, tetapi dilihat atau didekati sebagai sarana interaksi atau komunikasi di dalam masyarakat. (B) 3. Pemakaian bahasa sendiri pada hakikatnya merupakan proses dimana interaksi antara penutur dan mitra tutur…….. (S) Terdapat kesalahan penggunaan kata –sendiri dan kata – di mana. Sebaiknya dua kata tersebut, yaitu kata –sendiri dan kata – di mana dihilangkan karena mubazir dan terdapat unsure pengaruh struktur bahasa Jawa dan bahasa Inggris. Pemakaian bahasa pada hakikatnya merupakan proses interaksi antara penutur dan mitra tutur…..(B) 4. Menurut Abdul Chaer dan Leonie (2010:61), terjadinya keragaman atau kevariasian…….. (S) Terdapat kesalahan penggunaan kata –menurut pada awal kalimat yang menyebabkan subjek kalimat tersebut tidak jelas. Kata –menurut sebaiknya dihilangkan. Abdul Chaer dan Leonie (2010:61) berpendapat bahwa terjadinya keragaman atau kevariasian….. (B) 5. Bagi sosiolinguistik konsep bahasa adalah alat yang berfungsi untuk menyampaikan pikiran. (S) Terdapat kesalahan penggunaan kata –bagi pada awal kalimat yang menyebabkan subjek kalimat tidak jelas. Oleh karena itu, sebaiknya kata –bagi dihilangkan. Sosiolinguistik berpandangan bahwa konsep bahasa adalah alat yang berfungsi untuk menyampaikan pikiran. (B) 6. Penulis tertarik menulis penelitian mengenai Pemakaian Bahasa Transaksi Jual Beli di Pasar Legi Jatinom Klaten, karena dengan tinjauan yang penulis terapkan pada kasus ini akan terlihat fenomena-fenomena linguistik…….. (S) Terdapat kesalahan penggunaaan kata yang bertumpuk-tumpuk padahal memiliki arti yang sama. Dalam karya ilmiah sebaiknya digunakan bentuk pasif untuk pengganti –peneliti atau –penulis. Di samping itu, terdapat juga kesalahan penggunaan ejaan pada penulisan judul. Penelitan mengenai, “Pemakaian Bahasa Traksaksi Jual Beli di Pasar Legi Jatinom Klaten” ini dilakukan karena akan dapat dilihat fenomena-fenomena linguistik ….. (B) 7. Di Pasar Legi Jatinom Klaten juga terdapat pasar hewan yaitu sapi, ikan, dan burung. (S) Terdapat kesalahan penggunaan tanda baca koma (,) dan pemkaian kata depan –di yang kurang tepat. Pasar Legi di Jatinom, Klaten, juga terdapat pasar hewan, yaitu sapi, ikan, dan burung. (B) 8. Penulis memilih tempat di Pasar Legi Jatinom Klaten karena dirasa sangat mewakili wilayah Klaten dimana di Klaten tempat penjual barang baru…….. (S) Terdapat kesalahan penggunaan kata, yaitu –penulis, dirasa, di mana yang kurang pada tempatnya. Pasar Legi di Jatinom, Klaten dipilih karena sangat mewakili wilayah Klaten dan merupakan tempat penjual barang baru………. (B) PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
139
9. Selain itu pemilihan tempat tersebut juga disebabkan karena sasaran pembeli yang beda dari segi sosialnya. (S) Terdapat kesalahan penggunaan kata, yaitu kata –juga dan kata -disebabkan karena Selain itu pemilihan tempat tersebut disebabkan adanya sasaran pembeli yang beda dari segi sosialnya. (B) 10. Dengan latar belakang di atas, akhirnya peneliti memutuskan untuk melakukan penelitian mengenai pemakaian bahasa dengan judul penelitian ini adalah ……. (S) Terdapat kesalahan penggunaan kata yang mubazir, yaitu kata – akhirnya, -peneliti, memutuskan, -untuk, dan –mengenai. Berdasarkan latar belakang di atas maka dilakukan penelitian dengan judul, .... (B) 11. Permasalahan tersebut antara lain. (S) Terdapat kesalahan penggunaan kata –antara lain karena dalam penelitian dituntut adanya ketuntansan, sehingga tidak baik jika digunakan kata –antara lain yang artinya ada yang lain yang tidak disebut. Permasalahan tersebut dapat dikemukakan, sebagai berikut. (B) 12. Adapun tujuan penelitian ini adalah. (S) Terdapat kesalahan penggunaan kata –adapun pada awal kalimat dan kata –adalah. Tujuan penelitian ini dapat dikemukakan, sebagai berikut. (B) Keterangan: S, artinya salah dan B, artinya benar. PENUTUP Hasil analisis yang dilakukan berkaitan dengan ejaan dan kosa kata atau istilah terutama pada bagian sampel data menunjukkan relatif sudah baik. Yang dimaksud relatif sudah baik, yaitu tingkat kesalahan dari segi ejaan dan kosa kata atau istilah sedikit. Hasil analisis yang dilakukan berkaitan dengan kalimat, terutama pada bagian sampel data menunjukkan bahwa kalimat yang digunakan dalam skripsi belum sepenuhnya memuaskan. DAFTAR PUSTAKA Lickona, T. 1991. Educatiing for Character : How Our School Can Teach Respect dan Responsibility. New York: Bantam Books. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1980. Pedoman Pembentukan Istilah Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Badan Bahasa. 2016. Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Tim Penyusunan Kamus. 1980. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Tim Penyusun. 2000. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Zuchdi, Darmiati. 2012. ”Kebijakan Nasional Pendidikan Bahasa” (Makalah Utama Seminar Nasional Bahasa dan Pendidikan Bahasa serta Kontribusinya pada Pembangunan Bangsa). Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
140
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
STRUKTUR WACANA HUMOR SASTRA LISAN MADIHIN BANJAR Siti Faridah Universitas Achmad Yani Banjarmasin Jl. A.Yani Km. 5,5 Komplek Stadion Lambung Mangkurat Banjarmasin, Kalimantan Selatan 70235, Indonesia E-mail:
[email protected] Abstrak Tujuan penelitian ini pertama mengidentifikasi struktur makro wacana humor sastra lisan madihin banjar. Kedua, mengidentifikasi superstruktur yang berhubungan dengan wacana humor sastra lisan madihin banjar. Ketiga mendeskripsi struktur mikro wacana humor sastra lisan madihin banjar. Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan pragmatik untuk menganalisis wacana mempertimbangkan gejala kebahasaan yang bersifat progresif. Pendekatan kedua menggunakan penelitian secara metodologis yang terbagi menjadi dua, yaitu pendekatan kualitatif dan deskriptif. Data dalam penelitian ini berupa penggalan tuturan yang terdapat dalam pertunjukkan sastra lisan madihin banjar. Penggalan tersebut diambil dari tuturan pemadihinan Jhon Tralala dan Hendra yang mengandung humor selama proses berlangsungnya pertunjukkan sastra lisan madihin banjar. Teknik pengumpulan data menggunakan simak, rekam, catat observasi, wawancara, dan dokumentasi. Uji keabsahan data menggunakan teknik triangulasi sumber. Teknik analisis data menggunakan metode analisis data. Penyajian data menggunakan metode informal. Kata Kunci: Struktur, Wacana, Humor, Sastra Lisan.
PENDAHULUAN Wacana adalah satu peristiwa yang terstruktur diwujudkan di dalam perilaku linguistik (bahasa) atau lainnya (Edmonson, 1981: 4). Dalam pengertian ini, wacana identik dengan teks yang terikat oleh peristiwa terstruktur. Teks ini merupakan urut-urutan ekspresi linguistik yang terstruktur membentuk keseluruhan yang padu atau uniter. Segers (2000: 25) mendefinisikan teks sastra sebagai “seperangkat tanda-tanda verbal yang eksplisit, terbatas, dan terstruktur serta fungsi estetisnya dirasakan dominan oleh pembaca”.wacana (teks dianggap sebagai salah satu istilah umum dalam contoh pemakaian bahasa, yakni bahasa yang dihasilkan oleh tindak komunikasi (Richard, dkk., 1989). Di lain pihak, wacana (teks) merupakan rekaman kebahasaan yang utuh tentang peristiwa komunikasi. Komunikasi dapat menggunakan bahasa lisan dan daapt pula menggunakan bahasa tulis. Apapun bentuknya, wacana (teks) mengasumsikan adanya penyapa (addressor) dan pesapa (addressee). Dalam wacana lisan, penyapa adalah pembicara, sedangkan pesapa adalah pendengar. Dalam wacana tulis (yang bisa disebut teks), penyapa adalah penulis, sedangkan pesapa adalah pembaca (Sudarma, 1994: 4). Wacana mempelajari bahasa dalam pemakaian, jadi bersifat pragmatik (Samsuri, 1997/1998: 1). Pemahaman wacana lebih dititikberatkan pada hasil, baik dalam wujud lisan maupun tulis. Dalam pemahaman wacana dipertimbangkan hubungan antara pembicara-penyimak (masyarakat tutur) atau penulis-pembaca (masyarakat wacana). Humor merupakan salahsatu jenis wacana. Humor merupakan suatu permainan. Manusia sebagai homo ludens manusia gemar bermain. Bagi orang dewasa bermain adalah rekreasi, tetapi bagi anak-anak adalah sebagian dari proses belajar (Allan dalam Wijana, 2003:3). Selain itu menurut Noerhadi (dalam Rustono, 1993:3) wacana humor dapat menyalurkan kritik sosial terhadap segala bentuk ketimpangan yang terjadi di masyarakat. berdasarkan peran humor tersebut, tuturan atau percakapan sebagai tindak komunikasi yang dapat menjadi alat psikoterapi bagi masyarakat yang sedang mengalami proses perubahan. Dilihat dari isinya, wacana humor biasanya banyak menceritakan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Salah satu contoh adalah wacana humor dalam madihin Banjar yang bertujuan untuk menghibur dan untuk memberikan sindiran atau kritikan kepada pemerintah dengan menggunakan bahasa humor agar mudah diterima dan dipahami. Fungsi humor selain untuk menyampaikan rasa senang, marah, jengkel, dan simpati. Humor dapat pula mengurangi ketegangan dalam diri. Sukrani (1994:6) PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
141
berpendapat bahwa madihin merupakan karya sastra dipentaskan mempunyai fungsi sebagai penyajian estetis yang dinikmati penonton. Madihin sering dipentaskan diberbagai acara masyarakat seperti acara keagamaan, acara adat, acara perkawinan, acara menyambut tamu kehormatan, acara hari jadi daerah, acara kenegaraan, dan acara-acara meriah lainnya. Kalimat tutur dalam syair dan pantun berbahasa Banjar yang dipentaskan dalam Madihin kaya humor yang tujuannya memberikan hiburan sekaligus nasihat. Berdasarkan kutipan yang telah dijelaskan mengenai wacana humor tersebut maka pada penelitian ini peneliti hendak memaparkan hasil penelitiannya berupa “struktur wacana humor sastra lisan madihin banjar”. KAJIAN PUSTAKA Kajian pustaka yang digunakan dalam penelitian ini pertama oleh Pradopo et al (1987) melakukan penelitian humor dengan pendekatan semiotik. Dalam penelitiannya mengenai “Humor yang terdapat di dalam Karya Sastra Jawa”, Pradopo et al (1987) membagi humor menjadi tiga jenis, yaitu humor yang berfungsi sebagai kode bahasa, humor yang berfungsi sebagai kode sastra, dan humor yang berfungsi sebagai kode budaya. Kedua oleh Wijaya (1995) berjudul “Wacana Kartun dalam Bahasa Indonesia” dikemukakan (1) penyimpangan aspek pragmatik dalam wacana kartun bahasa Indonesia, (2) pemanfaatan aspek-aspek kebahasaan dalam wacana kartun bahasa Indonesia, dan (3) tipe-tipe wacana kartun bahasa Indonesia. Secara spesifik, Wijana mendeskripsikan wacana humor bahasa Indonesia yang berupa kartun yang wujudnya visual dan menggunakan bahasa tulis. Ketiga oleh Rustono (1998) dalam disertasinya berjudul “Implikatur Percakapan sebagai Penunjang Pengungkapan Humor di dalam Wacana Humor Verbal Lisan Berbahasa Indonesia”. Hasil penelitian mendeskripsikan pelanggaran prinsip percakapan, baik prinsip kerjasama maupun prinsip kesantunan sebagai penyebab timbulnya implikatur percakapan sebagai pengungkap humor. METODE Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan pragmatik untuk menganalisis wacana mempertimbangkan gejala kebahasaan yang bersifat progresif. Pendekatan kedua menggunakan penelitian secara metodologis yang terbagi menjadi dua, yaitu pendekatan kualitatif dan deskriptif. Data dalam penelitian ini berupa penggalan tuturan yang terdapat dalam pertunjukkan sastra lisan madihin banjar. Penggalan tersebut diambil dari tuturan pemadihinan Jhon Tralala dan Hendra yang mengandung humor selama proses berlangsungnya pertunjukkan sastra lisan madihin banjar. Teknik pengumpulan data menggunakan simak, rekam, catat observasi, wawancara, dan dokumentasi. Uji keabsahan data menggunakan teknik triangulasi sumber. Teknik analisis data menggunakan metode analisis data. Penyajian data menggunakan metode informal. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Struktur Makro Wacana Humor Sastra Lisan Madihin Banjar Tema tema yang secara umum disajikan dalam humor madihin banjar bersifat mengkritik pemerintah dan para pejabat yang ada didalamnya. Kritikan ini disajikan dengan menggunakan humor sehingga terkesan sebagai lelucon namun memiliki makna didalamnya. Kalau begawi di instansi pemerintah anang ini pasti banyak masalah ‘kalau kerja kantoran Anang ini pasti banyak masalah’ Karena penampilan kawa ditangguh sudah ‘sebab penampilan mudah ditebak’ Kada kawa jadi pejabat tinggi tetap belalawasan jadi pejabat rendah ‘tidak bisa jadi pejabat tinggi tetapi selamanya jadi pejabat rendah’ Jangan didangar panderan betiga ‘jangan di dengar omongan mereka’ Sakahandak menyambati unda ‘sesuka hati menghina saya’ Biar awak endek tapi raja gaya ‘biar badan pendek tapi baik penampilan’
142
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
Banyak gadis yang tergila gila (cuplikan dari lirik madihin Banjar) https://www.youtube.com/watch?v=IRq1HG4ulYs Superstruktur yang Berhubungan dengan Wacana Humor Sastra Lisan Madihin Banjar Struktur skema atau bentuk pada wacana humor madihin banjar dari awal dimulai dengan sapaan yang diberikan kepada oranglain dan memberikan penjelasan secara singkat mengenai cerita yang akan disampaikan. Bagian kedua yaitu bagian tengah berisi tentang ungkapan-ungkapan yang berisi kritikan, lelucon, dan cerita ini mengenai permasalahan yang terjadi di lingkungan masyarakat. bagian akhir merupakan penutup yang diilustrasikan sebagai simpulan mengenai cerita yang sudah disampaikan dari sejak awal sampai akhir. John)Assalamualakum ini saya sampaikan (Said) Walaikumsalam saya beri jawaban (John) Salam sejahtera untuk kita sekalian Hari ini anda menyaksikan Kesenian madihin Kalimantan selatan ‘kesenian madihin di kalimnatan Selatan’ Di taman budaya acara keresminan ‘di taman budaya acara kesnian’ Kami madihin anda mandangarkan ‘kami yang bermadihin kalian yang mendengarkan’ Supaya meriah ayo batapuk tangan ‘agar meriah ayo bertepuk tangan’ (cuplikan dari lirik madihin Banjar) Berdasarkan struktur makna yang terdapat dalam cerita atau lirik dari wacana humor madihin banjar diungkapkan sejak awal bahwa alur yang terjadi dalam wacana menggunakan alur maju, alur mundur, dan alur maju mundur. Hal ini dibuktikan dengan cerita yang kadang dimulai dari permasalahan, perkenalan, dan diakhiri dengan penyelesaian. Namun terkadang cerita menggunakan alur yang berbeda-beda hal ini disebabkan nuansa lirik yang apabila dipentaskan dalam satu acara dipentaskan berkali-kali maka ada ilustrasi yang digunakan secara berbeda-beda. Struktur Mikro Wacana Humor Sastra Lisan Madihin Banjar Pilihan kalimat yang dipergunakan dalam wacana humor madihin banjar menggunkan jenis kalimat ajakan persuasif dan jga menggunakan kalimat luas rapatan keterangan. dua jenis kalimat ini sering dipergunakan dalam wacana madihin banjar. Nilai-nilai religius, nilai filosofi, nilai etis, dan nilai estetis terdapat dalam wacana madihin banjar dengan ditemukannya pesanpesan yang hendak disampaikan oleh penyair kepada penikmatnya baik secara tersirat maupun tersurat. Kata-kata yang disampaikannya cenderung menggunakan kata yang bermajas dan tidak jarang pula menggunakan kata yang lugas yang mudah dicerna oleh penikmat madihin banjar. Para undangan juga para penonton ‘para undangan sekalian’ (cuplikan dari lirik madihin Banjar)
SIMPULAN Wacana humor yang ada dikalangan masyarakat pada hal ini sastra lisan madihin banjar merupakan salahsatu hasil kreasi masyarakat yang mampu menjadi kreasi budaya yang menarik dan penting untuk dilestarikan. Fungsi humor sebagai penyampaian keadaan berupa rasa senang, sedih, marah, dan lain sebagainya penting untuk dikemukakan secara umum karena dengan humor maka suasana yang sebelumnya tidak kondusif akan berubah menjadi suasana yang terkesan akrab dan mampu membuat kenyamanan pada penikmatnya.
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
143
DAFTAR PUSTAKA Rustono. 1998. Implikatur Percakapan sebagai Penunjang Pengungkapan Humor di dalam Wacana Humor Verbal Lisan Berbahasa Indonesia. Disertasi UI: Jakarta. Wijana, I Dewa Putu. 1995. Wacana Kartun dalam Bahasa Indonesia. Disertasi. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Wijana, I Dewa Putu. 2003. Kartun: Permainan Bahasa. Jakarta: Rineka Cipta. Sukrani, Maswan. 1994. Deskripsi Madihin. Banjarmasin: Kanwil Departemen. Segers, R.T. 2000. Evaluasi Teks Sastra. Terjemahan Suminto S. Sayuti. Yogyakarta: Adicita.
144
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
REGISTER FORENSIK BAHASA KEPOLISIAN: BENTUK DAN KARAKTERISTIK KOMUNIKASI DENGAN HANDY TALKY Sri Waljinah, Indah Tri Winarni, dan Nora Lufitasari Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia, FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta
[email protected] HP. 08122598888 Abstrak Komunikasi di bidang Kepolisian memiliki kekhususan karena menggunakan bahasa yang biasanya tidak digunakan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Komunikasi tersebut antara lain pembicaraan antar petugas Kepolisian menggunakan Handy Talky (HT). Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk dan karakteristik register bidang Kepolisian pada komunikasi dengan HT dari perspektif register forensik. Data penelitian adalah bahasa yang digunakan oleh petugas Kepolisian di Surakarta dengan menggunakan HT. Pengumpulan data dilakukan dengan metode simak, catat, dan wawancara mendalam (in-depth interviewing). Teknik bagi unsur dan teknik deskripsi digunakan untuk klasifikasi data agar memperoleh gambaran penggunaan register. Analisis dilakukan dengan metode distribusional berdasarkan pemakaian register dalam komunikasi dengan menggunakan HT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemakaian register dalam komunikasi yang dilakukan oleh petugas Kepolisian di Surakarta dengan menggunakan HT memiliki bentuk dan karakteristik yang mencerminkan kekhususan pemakaian bahasa di bidang Kepolisian. Kata kunci: register forensik, bahasa kepolisian, bentuk, karakteristik, komunikasi.
Pendahuluan Bahasa sebagai sarana komunikasi dalam kehidupan manusia menunjukkan bahwa bahasa dan manusia tidak dapat dipisahkan. Proses berbahasa yang berlangsung dalam kehidupan manusia memungkinkan bahasa menjadi berkembang karena daya kreatifitas dalam diri manusia. Proses berbahasa terjadi di seluruh lapisan masyarakat, termasuk di bidang Kepolisian yang menjadi bahan kajian dalam penelitian ini. Kajian ini mengetengahkan penggunaan bahasa di bidang Kepolisian, khususnya register dalam komunikasi dengan HT. Penggunaan bahasa di bidang Kepolisian menarik untuk diteliti karena menggunakan kata sandi. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana bentuk register di bidang Kepolisian pada komunikasi dengan HT di Surakart? 2. Bagaimana karakteristik register di bidang Kepolisian pada komunikasi dengan HT di Surakarta? Tujuan penelitian dirumuskan sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan bentuk register di bidang Kepolisian pada komunikasi dengan HT di Surakarta. 2. Mengidentifikasi karakteristik register di bidang Kepolisian pada komunikasi dengan HT di Surakarta. II. Kajian Pustaka A. Tinjauan Pustaka Penelitian tentang register dilakukan oleh Ira Maya Sopha (2008) dengan judul “Penggunaan Ragam Bahasa Register dalam Acara Planet Dangdut di Radio Grass Tarakan (Tinjauan Sosiolinguistik)”. Tujuan penelitian adalah menemukan berbagai bentuk register penyiar radio ketika melaksanakan tugas sebagai penyiar di Radio Grass Tarakan. D. B. Putut Setiyadi (2013) dengan judul “Bentuk dan Struktur Wacana Percakapan dalam Radio Amatir di Kodya Surakarta” mengetengahkan tentang bentuk-bentuk wacana dan struktur PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
145
wacana percakapan dalam radio amatir. Tujuan penelitian adalah mendeskripsikan bentuk-bentuk wacana dan struktur wacana percakapan dalam radio amatir. Memet Sudaryanto, Sumarwati, dan Edy Suryanto (2014) yang berjudul “Register Anak Jalanan Kota Surakarta”. Tujuan penelitian adalah mendeskripsikan karakteristik penggunaan register anak jalanan Kota Surakarta dan tujuan penggunaan register anak jalanan di Kota Surakarta. Nourmalita Puspa Maharani (2014) yang berjudul “Register Kepolisian pada Majalah Manggala Naya Wiwarottama”. Tujuan penelitian adalah mendeskripsikan register kepolisan yang meliputi bentuk, makna, dan fungsi register kepolisian pada majalah Manggala Naya Wiwarottama. Penelitian ini berfokus pada komunikasi Petugas di Kepolisian Surakarta dengan menggunakan HT. Perbedaan dengan penelitian sebelumnya yaitu pada objek kajian yang dilakukan oleh penyiar radio, radio amatir, anak jalanan, dan majalah Kepolisian. B. Landasan Teori Register berkaitan dengan variasi bahasa yang tumbuh dan berkembang di kalangan masyarakat sebagai sarana untuk mencapai suatu kesepahaman dalam komunikasi. Chaer (2007:45) mengemukakan tentang bahasa yang konvensional dalam masyarakat pemakai bahasa merupakan suatu masyarakat ujaran yang semua anggotanya memiliki bersama paling tidak satu ragam ajaran dan norma-norma pemakainan yang cocok. Kelompok sosial memiliki ciri khas dalam penggunaan kata yang digunakannya agar masyarakat tidak mengalami kesulitan dalam berkomunikasi. Keteraturan dan norma dalam kehidupan masyarakat memunculkan kreativitas dalam berbahasa yang ditunjukkan oleh munculnya kosakata dan ungkapan baru. Alwasilah (1985:56, dalam Chaer, 2007) mengemukakan bahwa orang dalam situasi tertentu dan karena faktor tertentu memperkenalkan kata-kata baru yang berasal dari kosakata yang sudah ada dengan makna baru dan jarang dengan kosakata yang sama sekali baru untuk menyampaikan gagasan dan kebiasaan baru yang tumbuh di masyarakat. Kreativitas berbahasa dalam proses komunikasi di masyarakat memunculkan register sebagai salah satu bentuk variasi bahasa. Variasi bahasa yang muncul dalam register berkaitan dengan situasi dan kondisi tempat tuturan berlangsung. Chaer dan Agustina (2010:91) mengemukakan bahwa register dapat diartikan sebagai variasi bahasa yang muncul berkenaan dengan masalah bahasa itu digunakan untuk kegiatan apa. Perbedaan kegiatan dalam masyarakat mengakibatkan perbedaan bentuk register yang digunakan dalam komunikasi. III. Metode Metode deskriptif kualitatif digunakan untuk menganalisis data berupa kata dan frasa dalam wacana komunikasi petugas Kepolisian dengan HT yang dikumpulkan melalui metode simak, catat, dan wawancara mendalam (in-depth interviewing). Wawancara mendalam dilakukan sebagai salah satu cara untuk menguji validitas data, yaitu derajat ketepatan antara data yang terjadi pada objek penelitian dengan data yang dapat dilaporkan oleh peneliti (Sugiyono, 2010: 117). Data yang terkumpul dianalisis dengan metode distribusional, yaitu diuraikan atau dipilah unsur-unsurnya sehingga status masing-masing data menjadi lebih jelas dengan teknik bagi unsur (Sudaryanto, 2015). Setelah data dipilah unsur-unsurnya, kemudian masing-masing unsur diklasifikasi untuk memperoleh gambaran penggunaan register. Teknik bagi unsur dan teknik deskripsi digunakan untuk klasifikasi data agar memperoleh gambaran penggunaan register. Teknik deskripsi diterapkan agar makna dan unsur-unsur data yang bersangkutan menjadi lebih jelas untuk merumuskan karakteristik pemakaian register. Data dikaji dengan menggunakan teknik analisis isi, yaitu teknik yang digunakan untuk menarik kesimpulan melalui usaha menemukan karakteristik pesan yang dilakukan secara objektif dan sistematis (Moleong, 2007:179). Hasil analisis data dipaparkan secara naratif kualitatif. IV. Hasil Penelitian dan Pembahasan A. Bentuk Register Komunikasi yang dilakukan dengan pesawat HT terjadi sesuai dengan situasi dan kondisi yang dikelompokkan ke dalam situasi normal dan darurat (mendesak). Komunikasi berlangsung
146
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
dua arah yang melibatkan dua pembicara untuk selanjutnya menggunakan tanda O1 dan O2. Bentuk komunikasi tersebut dideskripsikan sebagai berikut. 1. Komunikasi Situasi Normal Komunikasi dengan HT dalam situasi normal yang dilakukan oleh Kepala Piket Penjagaan Polresta Surakarta dengan unit/jajaran di bawahnya untuk menanyakan situasi dan kondisi keamanan wilayah (cek situasi) yang dilakukan setiap dua jam sekali. Bentuk komunikasinya sebagai berikut: “O1: Laweyan induk Solo induk; O2: Masuk Solo induk, taruna?; O1: Situasi Laweyan induk!; O2: 8-6 (delapan enam), Laweyan induk dalam waktu 24 jam dalam keadaan aman terkendali, 3-3 (tiga tiga) nihil, tikus kosong, taruna lanjut?!; O1: 8-6 (delapan enam), terima kasih, 8-1-3 (delapan satu tiga), selamat malam!; O2: 8-1-3 (delapan satu tiga), selamat malam”. Pada komunikasi tersebut ‘Solo induk’ berarti Piket Penjagaan Polresta Surakarta, dan “Laweyan induk” berarti Penjagaan Polsek Laweyan. Kata ‘induk’ dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti: emak (untuk binatang); yang menjadi pokok atau asal sesuatu; nenek moyang (yang menurunkan). Sedangkan dalam komunikasi ini bermakna sebagai induk atau kantor suatu wilayah, yang lebih mengacu pada makna kedua yaitu ‘yang menjadi pokok atau asal sesuatu’. Kata ‘masuk’ digunakan untuk mengemukakan bahwa panggilan dari ‘Solo induk’ diterima dengan baik, sehingga komunikasi dapat dilanjutkan. Kemudian ‘taruna’ adalah kata yang mewakili pertanyaan: Apakah ada perintah atau berita yang akan disampaikan? yang dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti pelajar sekolah calon perwira. Arti lainnya adalah siswa Akademi Militer atau Akademi Kepolisian yang dididik untuk membentuk sikap dan kepribadian yang berdisiplin tinggi, sehingga selalu siap melaksanakan perintah dan tugas sebagai abdi Negara. Kata ‘taruna’ dalam komunikasi di HT mengambil pengertian tersebut, yaitu sebagai ‘perintah’ atau segala sesuatu yang perlu dilaksanakan. Kata ‘situasi’ digunakan untuk menanyakan situasi dan kondisi secara umum di wilayah yang sedang dicek situasinya yang berkaitan dengan keamanan, kondisi tahanan yang dinyatakan dengan kata ‘tikus’, dan kejadian kecelakaan lalu-lintas yang dinyatakan dengan sandi ‘3-3’ (tiga tiga). Kata ‘tikus’ digunakan sebagai sandi dari ‘tahanan’ yang mengacu pada arti dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, yaitu binatang yang mengerit (mengunggis). Kata ‘tahanan’ berkonotasi dengan binatang tikus yang memiliki kebiasaan tidak disukai oleh manusia karena sering merugikan, seperti mencuri makanan di dapur. Berhubungan dengan hal tersebut, tahanan yang biasanya adalah orang jahat diberi nama sandi ‘tikus’. Sandi ‘3-3’ (tiga tiga) mewakili makna kecelakaan. Kata ‘nihil’ dan ‘kosong’ mewakili arti ‘tidak ada’. Sandi ‘8-6’ (delapan enam) menyatakan makna bahwa pembicara memahami maksud dari lawan bicaranya, dan ‘8-1-3’ (delapan satu tiga) sebagai tanda bahwa komunikasi diakhiri. 2. Komunikasi Situasi Darurat Komunikasi yang berlangsung dalam situasi darurat berlangsung ketika ada peristiwa yang membutuhkan tindakan mendesak untuk ditangani, misalnya penemuan mayat yang harus segera dievakuasi. Bentuk komunikasinya sebagai berikut: “O1: Solo induk, Laweyan induk!; O2: Masuk Laweyan induk. Taruna?; O1: 8-6 (delapan enam). Segera kirim iden, ditemukan bandeng kemungkinan empat-empat, ganti!; O2: 8-6 (delapan enam). 10-2 (sepuluh dua) TKP?; O1: 10-2 (sepuluh dua) di sebelah utara jembatan underpass, 8-6 (delapan enam)?; O2: 8-6 (delapan enam), taruna segera dilaksanakan. Taruna lanjut?; O1: Terimakasih, 8-1-3 (delapan satu tiga), selamat malam.; O2: 8-1-3 (delapan satu tiga), selamat malam.” Pada komunikasi tersebut, kata ‘iden’ memiliki arti ‘petugas bagian indentifikasi’ yang berasal dari kata ‘identifikasi’, yaitu personil Polisi pada bagian identifikasi yang bertugas mencatat dan mendokumentasikan beberapa hal penting yang berkaitan dengan peristiwa yang terjadi di Tempat Kejadian Perkara (TKP). Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata ‘identifikasi’ berarti penetapan atau penentuan identitas (orang, benda, dan sebagainya). Kata ‘bandeng’ digunakan sebagai kata sandi ‘mayat’ untuk menggantikan kata ‘batang’ (Jawa: binatang yang sudah mati dan rusak). Penggunaan kata ‘batang’ konotasinya tidak baik,
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
147
sehingga berubah menjadi ‘bandeng’. Kata tersebut digunakan karena tidak terdengar seram dan tidak berkonotasi jelek. Kata sandi ‘4-4’ (empat-empat) berarti ‘orang gila’ dan ‘10-2’ (sepuluh dua) berarti ‘tempat’. Pada komunikasi di atas, O2 bertanya kepada O1 tentang tempat penemuan mayat, kemudian dijawab oleh O1 bahwa tempatnya di sebelah utara jembatan underpass. B. Karakteristik Register Register yang digunakan dalam komunikasi dikategorikan kata benda, yaitu: tikus, taruna, dan bandeng; kata sifat, yaitu: negatif; kata kerja, yaitu: ganti, masuk, dan iden; dan kata bilangan yang merupakan kata sandi, yaitu: 8-6 (delapan enam), 8-1-3 ‘delapan satu tiga), 3-3 (tiga tiga), dan 4-4 (empat empat). Angka 1 (satu) sampai 10 (sepuluh) digunakan sebagai kata sandi dengan beberapa variasi letak yang memiliki makna tertentu. Fungsi penggunaan kata sandi di pesawat HT adalah rahasia dan ringkas, yaitu pilihan kata yang digunakan tidak dimengerti oleh pihak-pihak yang tidak berkepentingan dan sederhana sehingga mudah dimengerti. Bahasa utama yang digunakan adalah bahasa Indonesia. Kosakata dari bahasa Inggris yang digunakan yaitu negatif. V. Simpulan Register di bidang Kepolisian muncul karena dibutuhkan untuk memperlancar dan memudahkan komunikasi dalam pelaksanaan tugas di Kepolisian. Register yang digunakan merupakan kata sandi yang muncul dari kreativitas berbahasa sebagai fenomena pengguna bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan penggunaan register untuk memenuhi fungsi rahasia dan ringkas. Kosakata yang digunakan berasal dari bahasa Indonesia dan bahasa lain, antara lain bahasa Inggris. DAFTAR PUSTAKA Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Chaer, Abdul & Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta. Maharani, Nourmalita Puspa. 2014. “Register Kepolisian pada Majalah Manggala Naya Wiwarottama”, Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta. Moleong, Lexy. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Setiyadi, D. B. Putut. 2013. “Bentuk dan Struktur Wacana Percakapan dalam Radio Amatir di Kodya Surakarta”, Magistra Nomor 83 Tahun XXV Maret 2013, Halaman 99-118. Sopha, Ira Maya. 2008. Penggunaan Ragam Bahasa Register dalam Acara Planet Dangdut di Radio Grass Tarakan (Tinjauan Sosiolinguistik). Tesis. Yogyakarta: UNY. Sudaryanto. 2015. Metode dan Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Sudaryanto, Memet., Sumarwati, & Edy Suryanto. 2014. “Register Anak Jalanan Kota Surakarta”, Basastra Jurnal Penelitian Bahasa, Sastra Indonesia dan Pengajarannya Volume I Nomor 3, April 2014, Halaman 514-528. Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
148
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
PENGGUNAAN BAHASA DAERAH DALAM KONTEKS PENAMAAN TEMPAT DI INDONESIA SEBAGAI UPAYA PEMERTAHANAN BAHASA DAERAH DAN PEMERKUKUHAN BAHASA INDONESIA DI ERA GLOBALISASI: KAJIAN EKOLINGUISTIK Sofylia Melati Mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
[email protected]/ 085868846440 Abstrak Pemberian nama suatu tempat dan segala rupa bumi tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Selain akan menghilangkan identitas dan sejarah suatu tempat, penamaan yang keliru dengan menggunakan istilah asing juga merugikan jati diri bangsa. Studi mengenai penamaan tempat ini dibahas dalam sebuah ilmu yang disebut toponimi. Toponimi termasuk dalam bidang kajian ekolinguistik. Beberapa penamaan tempat di Indonesia ternyata menggunakan bahasa daerah. Penggunaan bahasa daerah sebagai nama tempat ini sebenarnya merupakan upaya pemertahanan bahasa daerah dan pemerukukuhan bahasa Indonesia di era globalisasi. Kata kunci: penamaan tempat, jati diri bangsa, pemertahanan bahasa daerah dan pemerkukuhan bahasa Indonesia Abstract Giving the name ofaplace andall sortsearthshould not bedone arbitrarily. In additionwill eliminatethe identityandhistory of aplace, namingis wrong withusing the termalienis also detrimental tonational identity.Studies on naming the place is covered in a science called toponymy .Toponymy included in the field of study ecolinguistics . Some naming places in Indonesia turned out to use the local language . The use of local languages as a place name is actually a language preservation efforts of local and strengthen Indonesian in the era of globalization . Keywords: namingplaces, national identity, preservation of regional languages and strengthen Indonesian
PENDAHULUAN Bahasa sebagai sebuah ilmu tidaklah berdiri sendiri. Banyak kajian dilakukan untuk membedah bagaimana bahasa dalam kaitannya dengan unsur-unsur di sekitarnya. Ilmu bahasa mengalami perkembangan yang pesat dari waktu ke waktu. Pola-pola hubungan antar unsur di luar bahasa melahirkan kajian-kajian baru. Salah satu kajian tersebut adalah ekolinguistik yang melihat bagaimana hubungan antara bahasa dan lingkungan. Kajian ekolinguistik ini sangat luas, salah satunya ialah kajian toponimi yang membahas mengenai penamaan lingkungan geogafis. Seperti yang kita ketahui, Indonesia kaya dengan nama geografi. Kekayaan itu menjadi keunggulan budaya Indonesia. Di samping nama-nama geografi yang berasal dari bahasa Indonesia, banyak juga yang berasal dari bahasa daerah. Artikel ini akan membahas secara spesifik beberapa fakta tentang penamaan tempat-tempat geografi di Indonesia dalam hubungannya dengan upaya pemertahanan bahasa daerah demi pemerkukuhan bahasa Indonesia. SEKILAS TENTANG KAJIAN EKOLINGUISTIK Ekolinguistik atau ekologi bahasa dapat didefinisikan sebagai studi tentang interaksi antara bahasa tertentu dan lingkungannya (Haugen, 1972: 325). Lingkungan dalam konteks ekologi bahasa meliputi lingkungan ragawi dan sosial. Lingkungan ragawi menyangkut bidang geografi yang terdiri atas lingkungan fisik: topografi suatu negara (pesisir, lembah, daratan, dataran tinggi, gunung), iklim, intensitas curah hujan, dasar ekonomis kehidupan manusia yang terdiri dari fauna, flora, dan sumber-sumber mineral; sedangkan lingkungan sosial terdiri atas berbagai kekuatan masyarakat yang membentuk pikiran dan kehidupan setiap individu di antaranya: agama, etika, bentuk organisasi politik, dan seni. (Sapir dalam Muhlhausler dan Fill, 2003:14). PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
149
Pendapat Haugen tersebut sejalan dengan Dinar (2015: 193) yang mendefinisikan ekolinguistik sebagai interaksi bahasa dengan ekologinya. Ekologi mempelajari makhluk hidup sebagai kesatuan atau sistem dalam lingkungannya (baik ragawi maupun sosial). Ekolinguistik menjadi paradigma baru dalam kajian bahasa yang tidak hanya melibatkan konteks sosial, namun juga konteks ekologis. Kajian ekolinguistik lebih melihat tautan ekosistem yang merupakan bagian dari sistem kehidupan manusia (ekologi) dengan bahasa yang dipakai manusia dalam berkomunikasi dalam lingkungannya (linguistik). Berdasarkan kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa ekolinguistik atau ekologi bahasa mengacu pada studi bahasa dalam hubungannya dengan lingkungan (baik ragawi maupun sosial). Dalam konteks ini, bahasa dipengaruhi oleh lingkungan-lingkungan ragawi (yang berhubungan dengan alam), maupun lingkungan-lingkungan sosial (seni, budaya, agama, etika, dan lain sebagainya). Kajian dari ekolinguistik ini sangat luas, salah satunya mengkaji mengenai penamaan tempat. TOPONIMI: STUDI TENTANG PENAMAAN TEMPAT Seperti yang telah dikatakan di atas, studi tentang penamaan tempat ini termasuk dalam kajian ekolinguistik. Studi tentang penamaan tempat ini juga sering disebut sebagai toponimi. Toponimi ialah cabang onomastika yang menyelidiki nama tempat (KBBI, 2008: 1207). Pengertian tersebut dilengkapi oleh John dan Michael (1986:216) yang mengungkapkan bahwa toponimi merupakan studi tentang nama-nama tempat, khususnya dari unsur turunan nama–nama tersebut (asal-usul bahasa dan makna). Nama-nama tersebut mewakili keadaan yang digambarkan pada suatu tempat ( dapat mewakili kondisi fisik , pola permukiman, dan difusi budaya) yang telah menjadi sumber bahan penting dalam geografi sejarah. Sebuah nama, menurut Plato (dalam Pateda, 2001), memiliki hubungan hayati dengan benda. Namun, ia pun mempertanyakan apakah pemberian nama terhadap suatu benda didasarkan atas kesewengan seseorang atau kelompok atau didasarkan atas penjanjian bersama. Jika berbicara tentang nama, hal itu tentu tidak lepas dari pembicaraan tentang lambang dan makna. Lambang adalah label terhadap kata dalam suatu bahasa, sedangkan makna adalah objek yang kita hayati di dunia nyata berupa acuan yang ditunjukkan lambang tersebut. Dengan demikian, kata dapat disebut sebagai sebuah benda yang menjadi label dari setiap benda itu. Lebih lanjut, Aristoteles (dalam Pateda, 2001) menyebutkan bahwa nama harus sesuai dengan acuan yang diberi nama itu. Menurutnya, penamaan adalah perjanjian atau konvensi. Penamaan itu bersumber dari berbagai kalangan seperti pakar, penulis, pengarang, wartawan, dan tokoh masyarakat. Di Indonesia, badan yang berwenangmemberikan nama pada suatu tempatadalah Badan Koordinasi Survey dan Tanah Nasional (Bakosurtanal). Badaninilah yang majusebagaijurubicara Indonesia di PBB. Sesuainamanya, Bakosurtanalmengkoordinasikanhaltoponimiinidenganbadanbadanpemerintahlainnya.MisalkanPusatBahasadariDinasPendidikan.Di bawah badan ini dibentuklah suatu tim yang dinamakan Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi. Tim Nasional Pembakuan Rupabumi Indonesia telah membakukan sebanyak 13.466 pulau, 33 Provinsi, 377 kabupaten, 97 kota, 6.458 kecamatan, dan 100.672 Gasetir (unsur alami seperti gunung, pegunungan, bukit, perbukitan, dataran tinggi, sungai, goa, mata air, air terjun, teluk, tanjung, rawa, danau, lembah , selat, dan semenanjung) (http://www.bakosurtanal.go.id/). Pemberian nama tempat dan rupabumi tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Selain akan menghilangkan identitas dan sejarah suatu tempat, penamaan yang keliru menggunakan istilah asing juga merugikan jati diri bangsa. Toponimi dan standarisasi penamaan sangat penting untuk dilakukan ketika sebuah peta yang mengandung toponimi menjadi sebuah alat untuk berkomunikasi nasional maupun internasional, utamanya dalam perkembangan ekonomi global. Standarisasi toponomi tidak hanya berlaku untuk wilayah daratan tetapi juga penamaan lautan dan unsur geografisnya (https://www.researchgate.net/publication/265208657_PEMBAKUAN_NAMA_RUPABUMI_SE BAGAI_BAGIAN_GEOSTRATEGIS_NKRI). Sudi tentang penamaan tempat pada artikel ini hanya terbatas pada penamaan tempat yang menggunakan bahasa daerah sebagai salah satu upaya pemertahanan bahasa daerah dan pemerkukuhan bahasa Indonesia. Hal ini juga dilakukan dalam rangka menunjukkan jati diri bangsa Indonesia yang memang kaya akan suku, budaya, dan bahasa daerah.Walaupundemikian,
150
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
ternyata penggunaan bahasa daerah ini hanya merupakan salah satu alasan saja, lebih lanjut terdapat beberapa pertimbangan dalam penamaan tempat yang menggunakan bahasa daerah. Pertimbangan tersebut yaitu: 1) kenampakan alam yang ada di tempat tersebut (ikonik), 2) kekayaan alam yang ada di daerah setempat, 3) sejarah daerah setempat, dan 4) berdasarkan keadaan sosio-kultural daerah setempat. PENGGUNAAN BAHASA DAERAH DALAM KONTEKS PENAMAAN TEMPAT DI INDONESIA SEBAGAI UPAYA PEMERTAHANAN BAHASA DAERAH Bahasa selalu mengalami perubahan. Perubahan tersebut dapat melahirkan bahasa baru, sekaligus mengakibatkan kematian suatu bahasa. Perubahan bahasa terjadi karena adanya kontak bahasa dan kontak budaya (Folley, 1997:384). Perubahan bahasa inilah yang saat ini mendorong banyak pihak untuk melakukan pengkodean bahasa. Pengkodean bahasa dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya dengan menerbitkan kamus, ensiklopedi, dan menggunakan bahasa tersebut untuk penamaan suatu tempat. Digunakannya peminjaman kata-kata bahasa daerah dalam penamaan tempat bertujuan untuk mempertahankan eksistensi bahasa daerah setempat yang sudah mulai terkikis oleh perkembangan zaman, khususnya pada era globalisasi iyang terjadi saat ni. Penamaan tempat di Indonesia hendaknya menggunakan istilah-istilah kedaerahan, mengingat bangsa Indonesia ini sangat kaya dengan variasi bahasa. Berikut ini akan dipaparkan mengenai penamaan beberapa daerah di Indonesia yang menggunakan bahasa daerah sebagai upaya pemertahanan bahasa. 1.
Kabupaten Gunungkidul Penamaan Gunungkidul secara etimologis terdiri atas dua kata, yaitu gunung(bahasa jawa) yang berarti bukit yang sangat besar dan tinggi serta kata kidul yang dalam bahasa jawa berarti selatan. Penamaan kabupaten Gunungkidul ini kabupaten Gunungkidul imi merupakan salah satu upaya pemertahanan bahasa jawa karena kedua kata pembentuk nama tersebut berasal dari bahasa Jawa. Selain itu, penamaan ini sesuai dengan keadaan atau kenampakan alam yang ada disana (ikonik). Kabupaten Gunungkidul merupakan daerah pegunungan kapur (karst) yang terletak di sebelah selatan kota Yogyakarta.
2.
Kabupaten Ciamis dan Cianjur Eksplorasi ekolinguistik dalam penamaan kabupaten juga terdapat pada kabupaten Ciamis dan Cianjur. Kedua kabupaten tesebut terletak di Jawa Barat. Kedua kabupaten tersebut sama-sama menggunakan kata ci- yang dalam bahasa Sunda (bahasa daerah Jawa Barat) berarti sungai. Jadi, penamaan kedua kabupaten di Jawa Barat tersebut merupakan upaya pemertahanan bahasa Sunda (sebagai bahasa asli Jawa Barat). Selain itu, kenampakan alam yang ada di kedua kabupaten tersebut sesuai dengan penamaannya. Di sana terdapat sungai-sungai kecil (yang terwakili dengan kata ci-).
3.
Kabupaten Banyumas Eksplorasi selanjutnya terdapat pada kabupaten Banyumas. Sebelum ada nama Banyumas, kabupaten Banyumas disebut sebagai daerah “Selarong”. Pada zaman dahulu terjadi kekeringan di daerah Selarong. Suatu hari dipenjarakanlah seorang pria asing dan tiba-tiba nampak awan hitam di langit yang menyelimuti Selarong. Tak lama berselang, hujan pun turun dengan lebatnya. Masyarakat Selarong sangat gembira bagaikan mendapat hujan emas. Karena gembiraan itulah, mereka berteriakteriak dilapangan sambil berkata “Banyu, banyu, banyu” dan yang lainnya berkata “Emas, emas, emas”. Perkataan yang diucapkan serempak itu lama-kelamaan terdengar menjadi Banyu-emas, Banyu-emas. Mulai saat itulah, masyarakat Selarong menyebut daerah itu menjadi Banyumas (Rosa, 2007: 13). Berdasarkan cerita di atas diketahui bahwa kata Banyumas berasal dari kata banyu dan emas. Banyu dalam bahasa jawa air dan mas maksudnya hujan yang turun bagaikan mendapatkan emas. jika dihubungankan dengan ekolinguistik, maka penamaan pulau kabupaten Banyumas ini bekaitan dengan adanya sejarah daerah setempat serta adanya peminjaman kata-kata bahasa daerah setempat sebagai upaya pemertahanan bahasa.
4.
Kota Wonosari dan Wonogiri Kota Wonosari berada di kabupaten Gunungkidul Yogyakarta (Pinaffa, 2007:46) dan kota Wonogiri yang berada di kabupaten Wonogiri Jawa Tengah (Pinaffa, 2007:48).Keduanya sama-sama menggunakan kata wono yang dalam bahasa Jawa berarti hutan. Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa kedua daerah tersebut menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa daerahnya, jadi dapat disimpulkan bahwa penggunaan kata wono dalam penamaan Wonosari dan Wonogiri merupakan salah satu upaya pemertahanan bahasa Jawa. Selain itu, kedua daerah tersebut dulunya banyak terdapat hutan (sekarang ini masih ada, namun jumlahnya berkurang karena adanya alih fungsi lahan menjadi
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
151
pemukiman) sehingga penamaan Wonosari dan Wonogiri ini sesuai dengan kenampakan alam (ikon) yang ada di sana. 5.
Kecamatan Wanaraja, Wanasari dan Wanayasa Beberapa kecamatan di Indonesia juga menggunakan nama yang berasal dari eksplorasi ekolinguistik (khususnya menggunaka istilah bahasa daerah), misalnya kecamatan Wanaraja, Wanasari dan Wanayasa yang ada di daerah Jawa Barat (Pinaffa, 2007:73).Ketiganya menggunakan kata wana yang dalam bahasa Sunda berarti hutan. Ketiga daerah tersebut menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa daerahnya, jadi dapat disimpulkan bahwa penggunaan kata wana dalam penamaan Wanaraja, Wanasari, dan Wanayasa merupakan salah satu upaya pemertahanan bahasa Sunda. Hal ini mirip dengan kasus penamaan Wonosari, yang membedakan ialah bahasa Daerah yang digunakan dalam penamaan. Bahasa Jawa identik dengan digunakannya huruf vokal /o/, sedangkan bahasa Sunda identik dengan digunakannya huruf vokal /a/. Selain itu, ketiga kecamatan tersebut dulunya adalah hutan yang sekarang ini dialihfungsikan menjadi pemukiman, sehingga penamaan Wanaraja, Wanasari, dan Wanayasa ini sesuai dengan keadaan alam asal sebelum diubah menjadi pemukiman warga.
6.
Kecamatan Sendangrejo, Sendangagung dan Sendangarum
Kecamatan Sendangsari, Sendangrejo, Sendangagung dan Sendangarum terletak di daerah Yogyakarta (Pinaffa, 2007:46). Beberapa kecamatan tersebut menggunakan kata sendang yang dalam bahasa Jawa berarti mata air. Penggunaan kata sendang dalam penamaan beberapa kecamatan tersebut merupakan wujud pemertahanan bahasa Jawa, karena daerah tersebut menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa daerahnya. Selain itu, penggunaan kata sendang untuk penamaan beberapa kecamatan juga dapat mewakili ikon atau kenampakan alam yang ada di sekitar daerah tersebut. Pada umumnya, kecamatan di Yogyakarta yang menggunakan kata sendang memiliki mata air di setiap daerahnya. 7.
Kecamatan Nanga Mahap, Nanga Taman, Nanga Lebang, dan Nanga Dangkar Tidak hanya penamaan kecamatan di pulau Jawa saja yang menggunakan eksplorasi ekolinguistik(khususnya menggunakan bahasa daeah untuk penamaan tempat), ternyata di beberapa kecamatan di pulau Kalimantanpun menggunakan eksplorasi ekolinguistik dalam penamaannya. Misalnya beberapa kecamatan yang ada di Kalimantan Barat. Di Kalimantan Barat banyak ditemui nama-nama kecamatan yang berawalan dengan kata nanga, misalnya Nanga Mahap, Nanga Taman, Nanga Lebang, dan Nanga Dangkar (Pinaffa, 2007:57). Kata nanga dalam bahasa Dayak memiliki dua arti, pertama, nanga adalah sungai (muara) dan arti kedua nanga adalah persimpangan (jalan). Berdasarkan kenampakan alam yang ada di sekitar kecamatan yang menggunakan kata nanga, ternyata memang benar kecamatan tersebut terletak di muara sungai (Nanga Mahap dan Nanga Dangkar) dan di persimpangan jalan (Nanga Taman dan Nanga Lebang). Jadi, jika dihubungkan dengan kajian ekolingistik maka penggunaan nama nanga pada beberapa kecamatan di daerah Kalimntan Barat berkaitan dengan kenampakan alam yang ada di tempat tersebut (ikonik) dan pemertahanan bahasa Dayak.
8.
Kota Meulaboh Kota Meulaboh berada di daerah Aceh, khususnya Aceh Barat. Penamaan Meulaboh berasal dari bahasa Aceh yang berarti berlabuh. Penamaan menggunakan bahasa Aceh tersebut termasuk sebagai upaya pemertahanan bahasa daerah. Lebih lanjut, diketahui pula bahwa daerah Meuaboh dulunya merupakan tempat berlabuh para pedagang pada abad ke-16. Berdasarkan fakta tersebut dapat diketahui bahwa ternyata nama Meulaboh juga merupakan julukan daerah karena daerah tersebut merupakan tempat berlabuh para pedagang.
9.
Kabupaten Pinrang Kabupaten Pinrang merupakan salah satu kabupaten di daerah Sulawesi. Berdasarkan beberapa sumber yang diwawancarai terkait dengan asal-usul penamaan Pinrang, ditemukan fakta bahwa penamaan ini berasal dari bahasa Bugis. Kabupaten ini berasal dari kata benrang yang berarti “air genangan” atau “rawa-rawa”. Hal ini disebabkan oleh karena pada awal pembukaan daerah Pinrang masih berupa daerah rendah yang sering tergenang air. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa penggunaan bahasa Bugis pada penamaan kabupaten Pinrang merupakan salah satu upaya pemertahanan bahasa Bugis disamping memang kenampakan alam di sana juga awalnya berasal dari rawa dan sering tergenang air.
152
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
PENAMAAN TEMPAT MENGGUNAKAN BAHASA DAERAH MERUPAKAN UPAYA PEMERKUKUHAN BAHASA INDONESIA Beberapa penamaan tempat di Indonesia yang menggunakan bahasa daerah seperti yang dipaparkan di atas merupakan upaya pemertahanan bahasa daerah. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa Indonesia memiliki variasi bahasa daerah yang beraneka ragam. Keanekaragaman variasi bahasa daerah tersebut merupakan kekayaan bangsa Indonesia. Bahasa daerah merupakan pilar-pilar bahasa Indonesia. Tanpa bahasa daerah yang kuat, maka kedudukan bahasa Indonesia juga tidak akan kukuh. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa penggunaan bahasa daerah sebagai penamaan tempat merupakan salah satu upaya pemertahanan bahasa daerah demi pemerkukuhan bahasa Indonesia, khususnya di era globalisasi dewasa ini. PENUTUP Satudi mengenai penamaan tempat (toponimi) merupakan salah satu kajian dalam ekolinguistik. Onomastika dan cabang ilmu toponimi mempunyai peran yang sangat penting dalam usaha mempertahankan dan memperkuat kedudukan bahasa sebagai bahasa nasional. Penamaan yang sembarangan terhadap objek-objek geografis yang alamiah maupun ciptaan manusia akan berdampak terhadap hilangnya potensi dan kearifan lokal. Pada gilirannya hilangnya kearifan lokal akan mempengaruhi jati diri bangsa. Oleh karena itu diperlukan pemahaman dan ketentuan dalam menentukan penamaan unsur geografi. Keberadaan unsur-unsur alam perlu dijaga kelestariannya. Keberadaan unsur-unsur alam ini akan semakin memperkaya perbendaharaan bahasa. Perbendaharan bahasa yang semakin kaya dan mantap akan mengurangi ancaman kepunahan bahasa. Hal inilah yang harus menjadi pehatian kita semua. DAFTAR RUJUKAN Dinar, Sri Suryani & dkk. 2015. Ekolinguistik sebagai Isu Mutakhir dalam Ilmu Linguistik: Studi Kasus Bahasa Muna. Jurnal Ilmiah. Foley, William A. 1997. Anthropological Linguistics: An Introduction. Massachusetts: Blackwell Publishers. Haugen, Einar. 1972. TheEcologyofLanguage. California: Stanford University Press. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2008. Jakarta: Balai Pustaka. Muhlhausler, Peter dan Fill, Alwin. 2003. The Ecolinguistics Reader. Language, Ecologyand Environment. London and New York: Continuum. Pateda, Mansoer. 2001. Semantik Leksikal. Jakarta. Rineka Karya. Rosa, Dea. 2007. Cerita Rakyat 33 Provinsi dari Aceh sampai Papua. Yogyakarta: Indonesia Tera. Small, John dan Witherick, Michael. 1986. A Modern Dictionary of Geography. USA: Edward Arnold. Tim Pinaffa. 2007. Mengenal 33 Provinsi Indonesia. Jakarta: PT Sinergi Pustaka Indonesia. http://www.bakosurtanal.go.id/diunduhpada 3 Maret 2016 pukul 12.04 https://www.researchgate.net/publication/265208657_PEMBAKUAN_NAMA_RUPABUMI_SEB AGAI_BAGIAN_GEOSTRATEGIS_NKRIdiunduh pada 3 Maret 2016 pukul 12.18
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
153
DARI SABEB, DL, BAPER, HINGGA MAACIH, RAGAM BAHASA GAUL REMAJA INDONESIA MASA KINI: TINJAUAN LEKSIKO-MORFOLOGI Sudaryanto Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Ahmad Dahlan
[email protected] Abstrak Bahasa gaul merupakan salah satu ragam bahasa dalam bahasa Indonesia. Ragam tersebut banyak digunakan oleh kalangan remaja Indonesia dan sebayanya masa kini. Misalnya, sabeb (bebas), DL (derita lo), baper (bawa perasaan), dan maacih (terima kasih). Bahasa gaul remaja Indonesia masa kini memiliki leksikon yang unik, lucu, dan kadang menjadi bahasa rahasia di antara mereka. Selain itu, ditinjau dari aspek morfologi, kosakata bahasa gaul terbentuk dengan beragam cara, antara lain, pembalikan bahasa baku, penggunaan singkatan huruf awal, penggabungan suku kata, bentuk imut dari kata-kata biasa, pemungutan dari bahasa asing dan bahasa daerah, penggunaan nama orang, dan penggantian huruf atau suku kata terakhir dengan huruf tertentu. Kata Kunci: bahasa gaul, remaja Indonesia, leksikon, morfologi “Saya kenal bahasa gaul sejak SD dan makin berkembang setelah booming media sosial.” ─Farhan Deristianto Putra, siswa SMAN 8 Tangerang
A. PENDAHULUAN Dewasa ini, bahasa Indonesia memiliki varian-varian. Sekurangnya ada dua jenis varian, yaitu varian menurut pemakai yang disebut dialek dan varian menurut pemakaian yang disebut ragam bahasa (KBBI, 2008: xxxi). Dalam tulisan ini, varian terakhir yang akan dibahas, mengingat bahasa gaul merupakan salah satu ragam bahasa dalam bahasa Indonesia saat ini. Sebagai contoh, mari kita perhatikan percakapan dua remaja Indonesia yang menggunakan bahasa gaul. (1) A: Bisa ikut? B: Sabi, sabi A: Sampai malam lho? B: Sabeb. Bagi orang yang tidak rajin mengikuti bahasa gaul, percakapan (1) terdengar seperti bahasa dari planet lain. Padahal, kata sabi dan sabeb hanyalah bentuk pembalikan dari kata bisa (suku kata bi-sa dibalik menjadi sa-bi) dan bebas (b-e-b-a-s dibalik menjadi s-a-b-e-b). Dari segi struktur, kata sabi dan sabeb mirip dengan bahasa gaul remaja Malang atau dikenal boso walikan (Wijana, 2003: 13). Misalnya, arek Malang dibalik menjadi kera ngalam.Kata-kata sabi, sabeb, dan kera ngalam sebagaimana contoh di atas banyak digunakan di kalangan anak muda atau remaja sebaya. Kata dan kalimatnya terdengar unik, lucu, dan kadang bisa berpotensi menjadi bahasa rahasia. Wajarlah jika bahasa gaul jarang digunakan dengan orang tua, guru, atau orang yang dituakan. Ditambah lagi mereka juga tidak akan memahami arti kata dan kalimat bahasa gaul tadi. Makalah ini akan membahas bahasa gaul remaja Indonesia masa kini, khususnya ditinjau dari aspek leksikon dan morfologi. Dari aspek leksikon, kosakata bahasa gaul remaja Indonesia masa kini dinilai unik, lucu, dan kadang menjadi bahasa rahasia di antara mereka. Kemudian dari aspek morfologi, kosakata bahasa gaul remaja Indonesia masa kini terbentuk dengan beragam cara, salah satunya ialah pembalikan bahasa baku.
154
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
B. PEMBAHASAN Seperti disinggung di muka, kosakata bahasa gaul remaja Indonesia masa kini dinilai unik, lucu, dan kadang menjadi bahasa rahasia di antara mereka. Dalam bagian ini, kita bahas aspek leksiko-morfologi dari kosakata-kosakata bahasa gaul remaja Indonesia masa kini. Aspek leksikomorfologi didayagunakan untuk mencari tahu kosakata bahasa gaul remaja Indonesia masa kini dan maknanya, serta proses pembentukan kosakata tersebut. 1. Pembalikan Bahasa Baku Sejumlah kosakata bahasa gaul remaja Indonesia masa kini dibentuk dari proses pembalikan bahasa baku, baik urutan fonem maupun suku kata. Misalnya, sabeb (bebas), sabi (bisa), yalsi (sial), ucul (lucu), kuy (yuk), atau eug (gue = saya). Kata sabeb merupakan pembalikan urutan fonem kata bebas (/b/, /e/, /b/, /a/, /s/). Kata sabi merupakan pembalikan urutan suku kata bisa (bisa). Kata yalsi merupakan pembalikan urutan suku kata sial, ditambah bunyi /y/. Kata ucul, kuy, dan eug, masing-masing merupakan pembalikan urutan fonem kata lucu (/l/, /u/, /c/, /u/), yuk (/y/, /u/, /k/), dan gue (/g/, /u/, /e/).
Selain bahasa Indonesia, ada pula kosakata bahasa gaul remaja Indonesia masa kini yang berasal dari bahasa asing (Inggris) yang mengalami pembalikan bahasa baku, khususnya urutan fonem, seperti woles (slow, artinya ‘santai’ atau ‘tidak usah terburu-buru’). Urutan fonem slow terdiri atas /s/, /l/, /o/, dan /w/ dibalik /w/, /o/, /l/, /s/ dan disisipkan fonem /e/ di antara fonem /l/ dan /s/. 2. Penggunaan Singkatan Huruf Awal Beberapa kosakata bahasa gaul remaja Indonesia masa kini dibentuk dari penggunaan singkatan huruf awal, baik dari bahasa asing maupun bahasa Indonesia. Sekadar contoh, DL (derita lo), PHP (pemberi harapan palsu), PHO (perusak hubungan orang), PDKT (puasa doang kagak tarawih), Brb (be right back), aka (also known as, yang artinya ‘alias’), cmiiw (correct me if I’m wrong), dan sbb (sorry baru bales), serta BPJS (budget pas-pasan jiwa sosialita). Bahkan, ada kata yang merupakan hasil penghilangan huruf vokal, seperti KZL (kesal). 3. Penggabungan Suku Kata Sebagian kosakata bahasa gaul remaja Indonesia masa kini dibentuk dari penggabungan suku kata, baik suku kata di depan maupun di belakang. Sebut saja, gabut (gaji buta, artinya ‘orang yang menerima gaji, tetapi tidak bekerja’), mager (malas gerak), gaje (gak jelas), botol (bodoh tolol), bomat (bodo amat), tijel (tidak jelas), palbis (paling bisa), baper (bawa perasaan), boper (bocah perusuh), lefo (lelet info), dan cukstaw (cukup tahu). 4. Bentuk Imut dari Kata-Kata Biasa Beberapa kosakata bahasa gaul remaja Indonesia masa kini dibentuk dari bentukan imut kata-kata biasa, tetapi dianggap berlebihan alias lebay. Misalnya, maacih (artinya ‘terima kasih’), amaca cih (artinya ‘ah masak sih’), cemungudh (artinya ‘semangat’), dan cemandh-cemandh (artinya ‘teman-teman’). Fonem /s/ dan /t/ diubah atau diganti dengan fonem /c/ agar terlihat berlebihan atau lebay sehingga terdengar unik dan lucu. 5. Pemungutan Bahasa Asing dan Bahasa Daerah Sejumlah kosakata bahasa gaul remaja Indonesia masa kini dibentuk dari pemungutan bahasa asing dan bahasa daerah. Sebagai contoh dari bahasa asing (Inggris), oretz dari frasa all right, yang berarti ‘oke’ atau ‘siap’. Kata Saiko yang diambil dari pengucapan psycho dalam bahasa Inggris yang berarti ‘gila’ atau ‘maniak’. Ada kata sekem yang berasal dari kata scam yang berarti ‘kena tipu’. Ada kata delcon (delete contact, artinya ‘hapus nomor kontak’) dan FYI (for your info, artinya ‘sekadar info buatmu’), keduanya lebih populer di internet dan media sosial. Ada pula kata selow (slow dalam bahasa Inggris, artinya ‘santai’). Sementara itu, dari bahasa daerah, terdapat kata pundung yang merupakan kosakata bahasa Sunda dan memiliki arti ‘tersinggung’, ‘ngambek’, dan ‘kesal’. Ada juga kata gandeng yang berarti ‘berisik’. Dari bahasa Betawi, ada danta yang berarti ‘jelas’ atau ‘benar’. 6. Penggunaan Nama Orang Kosakata bahasa gaul remaja Indonesia masa kini juga dibentuk dari penggunaan nama orang terkemuka atau kondang di Indonesia. Misalnya, gayus (sindiran untuk orang yang gila uang dan berusaha mendapat uang dengan berbagai cara yang tidak halal; merujuk pada nama Gayus Tambunan, mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang melakukan korupsi pajak;). Ada juga afgan (sadis; merujuk pada judul lagu “Sadis” dari penyanyi terkenal, Afgan). PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
155
7. Penggantian Huruf atau Suku Kata Terakhir dengan Huruf Tertentu Kosakata bahasa gaul remaja Indonesia masa kini juga dibentuk dari penggantian huruf atau suku kata terakhir dengan huruf tertentu. Sebagai contoh, dimans (di mana), temans (teman), sans (santai), duls (dulu), aps (apa), dan cabs (cabut, artinya ‘ayo pergi’). Kata dimans berasal dari di mana, yang salah satu fonem /a/-nya hilang dan diganti huruf s. Demikian juga kata sans berasal dari santai, yang salah satu suku kata /san/ dilengkapi dengan huruf s. Untuk kasus kata temans, justru terjadi penambahan huruf s di belakang teman. Kata duls, aps, dan cabs, masing-masing berasal dari dulu, apa, dan cabut, yang salah satu fonemnya atau suku kata terakhirnya diganti dengan huruf s. C. SIMPULAN Dari uraian di atas, kita peroleh simpulan terkait tentang ragam bahasa gaul remaja Indonesia masa kini, khususnya ditinjau dari aspek leksiko-morfologi, sebagai berikut. Pertama, leksikon atau kosakata bahasa gaul remaja Indonesia masa kini berasal dari bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing (Inggris). Kedua, dari aspek morfologi atau proses pembentukan kata, setidaknya ada tujuh cara atau kaidah pembentukan kosakata bahasa gaul remaja Indonesia masa kini, antara lain, pembalikan kata baku, penggunaan singkatan huruf awal, penggabungan suku kata, bentuk imut dari kata-kata biasa, pemungutan bahasa asing dan bahasa daerah, penggunaan nama orang, dan penggantian huruf atau suku kata terakhir dengan huruf tertentu. ● DAFTAR PUSTAKA Pusat Bahasa. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Tim Kompas Kampus. 2016. “Kamu Sabi, Aku Sabeb”, Kompas, 12 Agustus 2016, hal. 24. Wijana, I Dewa Putu. 2003. “Wacana Dagadu, Permainan Bahasa, dan Ilmu Bahasa”. Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, 27 Februari 2003.
156
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
KEMUNCULAN UJARAN KEBENCIAN DAN PERANAN HUMOR SEBAGAI PENGALIH UJARAN KEBENCIAN (STUDI KASUS FORUM ONLINE TOPIX.COM) Yunus Sulistyono Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta
[email protected] Abstrak Kajian ini berfokus pada fenomena kemunculan ujaran kebencian dalam dunia maya, khususunya dalam forum online topix.com. Kemunculan ujaran kebencian ini memunculkan permasalahan yang semakin kompleks seiring dengan penggunanya yang secara terangterangan mengajukan argumen yang sebenarnya bisa sangat kasar dan mengarah pada ujaran kebencian. Pertanyaan-pertanyaan utama dalam makalah ini difokuskan terhadap hal-hal berikut. Apa saja faktor-faktor sosial yang berpengaruh terhadap kemunculan ujaran kebencian dalam forum online topix.com? Bagaimana humor bisa mengalihkan ujaran kebencian di dunia maya? Terakhir, solusi seperti apa yang bisa ditawarkan untuk mengatasi permasalahan ujaran kebencian di dunia maya? Kajian ini tergolong kajian deskriptif kualitatif. Data dalam penelitian ini diambil dari situs forum online topix.com dari tahun 2014 s.d. 2015. Data diperoleh dengan teknik catat dan dipilah dengan teknik kartu data. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa dalam menghadapi ujaran kebencian, paradigma humor dalam berinteraksi bisa menjadi benang merah di tengah polemik permasalahan ujaran kebencian di dunia maya. Paradigma ini bisa menjadi awal transformasi ujaran kebencian di dunia maya menjadi tindakan kejenakaan karena humor bersifat mendekatkan. Selain itu, penegakan etika berkomunikasi dalam berdiskusi dalam forum online juga penting untuk diperhatikan agar pola komunkasi yang memunculkan ujaran kebencian bisa dihindari. Kata Kunci: ujaran kebencian, humor, forum online, topix.com
Abstract This study focuses on the emergence of hate speech in cyberspace, especially in an online forum topix.com. The emergence of hate speech have given rise to more and more complex social problems as users are openly arguing that in fact they can be very rude and lead to hate speech. The main questions in this paper is focused on the following points. What are the social factors that influence the emergence of hate speech in online forum topix.com? How humor can distract the hate speech cyberspace? Lastly, what solutions can be offered to address the problem of hate speech in cyberspace? This study is classified as a qualitative descriptive study. The data were taken from the site online forum topix.com from 2014 to 2015. The results of this study showed that humour can be a solution for hate speech in cyberspace. This paradigm could be the beginning of the transformation of hate speech in cyberspace into an humorous actions. Moreover, communication ethics approach in online forum discussions is also important to be considered that the hate speech can be avoided. Keywords: hate speech, humour, online forum, topix.com 1. PENDAHULUAN Manusia merupakan aktor utama dalam berkembangnya pola pikir modernis yang kini tengah mengilhami berbagai sendi kehidupan.Van Peursen (2003:77–78) menyatakan bahwa manusia adalah makhluk rasional. Manusia mampu berpikir menggunakan akal budi dan mampu mengarahkan pemikirannya ke arah kejelasan dan ketersusunan. Manusia memiliki pola pemikiran yang memanfaatkan rasio sebagai acuan untuk mencari pertautan agar dunia di sekitarnya menjadi bermakna. Pola pikir seperti ini turut mendorong pola pikir modernis yang berujung pada era modernitas yang juga berpengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan manusia. PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
157
Hardiman (2007:3–5) menandai modernitas dengan tiga hal, yaitu subjektivitas, kritik, dan kemajuan. Dengan subjektivitas, manusia mampu menandai dirinya sebagai pusat realitas yang menjadi ukuran segala sesuatu. Semantara itu, kritik mengarah pada usaha untuk membebaskan diri dari wewenang tradisi atau menghilangkan prasangka yang menyesatkan, sedangkan kemajuan merupakan perwujudan dari subjektivitas dan kritik tersebut. Kemajuan juga bisa ditandai dengan penemuan-penemuan dan pemikiran-pemikiran yang lebih maju. Salah satu kemajuan yang diperoleh manusia adalah dalam bidang teknologi. Kemajuan yang diperoleh dalam bidang teknologi juga berpengaruh terhadap pola komunikasi. Bahasa sebagai sarana komunikasi mampu menjadi gambaran pola komunikasi antarindividu dalam kelompok sosial tertentu (Wardhaugh, 1986:125–127). kebebasan mengeluarkan pendapat dengan media teknologi komunkasi yang modern memunculkan kekhasan yang mampu menjadi cerminan pola komunkasi dalam komunitas tertentu. Sebagai contoh, dalam satu komunitas, terdapat ciri tertentu yang mencerminkan kekhasan secara linguistik dalam hal pola komunikasi berbahasa. Kebebebasan mengeluarkan pendapat ini memunculkan pola komunkasi unik yang cenderung mengesampingkan etika-etika komunkasi yang lazim digunakan dan memiliki kecenderungan sebagai ujaran kebencian. Sebagi contoh, ujaran kebencian dalam forum online topix.com. Situs topix.com merupakan forum online asal Malaysia yang digunakan oleh orang Malaysia dan orang Indonesia. Forum ini digunakan sebagai media untuk mengejek satu sama lain, misalnya pada tuturan Kliatan banget begonya org malingsia nich!! CUIIIHHHH!!!!! dan LOE GOBLOCK TOLOL yang ngak nyambung Loe atau Gue Njink. Tuturan tersebut menggambarkaan bahwa etika-etika komunkasi sudah dikesampingkan dalam pola tuturan dalam forum online topix.com. Fakta pola komunkasi tersebut menunjukkan bahwa konsep modernisasi yang diterapkan telah mengubah cara pandang dan pola pikir manusia terhadap etika komunikasi. Dalam konsep modernisasi, manusia dituntut untuk berpikir lebih individualis sehingga memiliki kecenderungan mengesampingkan etika (Effendi, 1973:1–18). Teori modernisasi yang diterapkan ini juga menimbulkan perosalan baru dalam komunkasi yang memanfaatkan teknologi media sosial. Banyak orang yang cenderung mengesampingkan etika berkomunikasi untuk menyampaikan pendapatnya. Kondisi semacam ini bisa mengarahkan situasi percakapan menjadi sangat bebas dan cenderung tidak memperhatikan situasi dan resiko. Padahal, kebebasan seperti ini bisa memunculkan ujaran kebencian yang bisa memicu konflik. Lyotard (2009:57–58) mengungkapkan bahwa berbicara adalah berkelahi. Berkelahi dalam hal ini berada dalam pengertian permainan. Seseorang yang berbicara atau berargumen secara tidak sadar dirinya sudah berkelahi dan saling menyerang satu sama lain. Meskipun demikian, suatu situasi pembicaraan bukan berarti memaksa seseorang bermain untuk menang. Manusia akan tetap membutuhkan etika dalam berbicara. Karenanya, manusia akan membutuhkan suatu sistem yang mengatur perkelahian tersebut agar tidak mengarah pada berbagai hal yang negatif. Jika tidak, kemungkinan munculnya tuturan verbal yang negatif yang mengarah pada ujaran kebencian tidak bisa dicegah. Makalah ini membahas fenomena kemunculan ujaran kebencian dalam dunia maya, khususunya dalam forum online topix.com. Masalah munculnya ujaran kebencian dalam forum online memang sudah lama menjadi perhatian. Kemunculan ujaran kebencian ini memunculkan permasalahan yang semakin kompleks seiring dengan penggunanya yang secara terang-terangan mengajukan argumen yang sebenarnya bisa sangat kasar dan mengarah pada ujaran kebencian. Jika perosalan semacam ini dibiarkan, pola komunikasi di dunia maya dikhawatirkan tidak lagi memperhatikan etika, tetapi cenderung mengandalkan kekuatan verbal yang memunculkan kekerasan. Dari latar belakang persoalan di atas, dapat dilihat bahwa konsep modernitas yang telah menjadi acuan dalam pola berpikir manusia telah menyisakan persoalan yang cukup penting. Persoalan etika memang terkadang dikesampingkan karena dianggap tidak relevan dengan dunia modern yang saat ini tengah gencar-gencarnya dibangun. Padahal, jika etika berkomunikasi ditinggalkan, pola komunkasi yang mengandalkan kekerasan tidak akan membantu melancarkan komunikasi, tetapi justru menimbulkan resiko munculnya konflik antarkelompok sosial. Berangkat dari persoalan tersebut, makalah ini membicarakan forum online sebagai sumber utama dan sekaligus fasilitator ujaran kebencian. Pertanyaan-pertanyaan utama dalam makalah ini
158
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
difokuskan terhadap hal-hal berikut. Apa saja faktor-faktor sosial yang berpengaruh terhadap kemunculan ujaran kebencian dalam forum online topix.com? Bagaimana humor bisa mengalihkan ujaran kebencian di dunia maya? Terakhir, solusi seperti apa yang bisa ditawarkan untuk mengatasi permasalahan ujaran kebencian di dunia maya? 2. METODE Kajian ini tergolong kajian deskriptif kualitatif. Data dalam penelitian ini diambil dari situs forum online topix.com dari tahun 2014 s.d. 2015. Data diperoleh dengan teknik catat dan dipilah dengan teknik kartu data. Data yang terkumpul diklasifikasikan berdasarkan bentuk ujaran kebencian yang ditemukan untuk kemudian dipilah lagi untuk dicari faktor-faktor sosial yang mempengaruhi ujaran kebencian. Faktor-faktor sosial yang mempengaruhi ujaran kebencian dalam situs topix.com dicari dengan mengacu pada konteks percakapan yang terjadi dalam forum online tersebut. Kajian ini juga berusaha untuk menrumuskan solusi yang dapat ditawarkan untuk mengurangi ujaran kebencian di dunia maya. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Forum online merupakan forum atau tempat berdikusi yang bermediakan internet. Forum online bisa difungsikan untuk tujuan yang bermacam-macam. Ada forum yang hanya ditujukan untuk aktivitas bersosial, bisnis, transaksi jual-beli, atau sekedar berdiskusi. Topix.com merupakan salah satu contoh forum online yang cakupannya multinasional. Penggunannya mayoritas dari dua negara, yaitu Malaysia dan Indonesia. forum online ini ramai diperbincangkan semenjak perseteruan antara Indonesia dan malaysia semakin memanas. Forum online topix.com dijadikan sebagai tempat saling memberi makian dan hujatan. Fakta menarik yang ditemukan adalah bahwa makian yang digunakan ditujukan untuk mengejek negara-negara bersangkutan. Berikut ini adalah contoh potongan diskusi dalam forum online topix.com. Topik Diskusi: Lucunya orang Cina di Indonesia Playboy : Nyesel gua nyium cewek cina, ceweknya memang cantik tapi nafasnya bau BABI...muntah gua habis nyium tuh cewek.. cuihh cuihh Willy : provokator,,, emaklu skrg ngelacur dmn? sini gw samperin, gw perkosa ddpn lu,, biar lu insaf.. hahahahahahahhahahahaha eyang subur : Ah..suatu saat nanti kita punya presiden org tioghoa/...presiden jawa payah!!..dan nenek moyang ane sendiri org jawa...untung ane lahir dan besar di jakarta.. Aceng : orang china pada pelitt, serakah dan gw benci orang china Kondilati : Cina itu siapa ? Hanya kumpulan beruk tak di undang di nusantara Akai Tarak : Cina harus ditebas klu macam macam..jadikan nusantara fre Chinese region. Cinon Dobol : Kesan buruk gue terhadap kaum cina itu ialah, mata nya buta gak bisa lihat, nabrak org gak mau minta maaf malah caci maki, anjing keparat tuh cina, tapi sekarang sudah gue bikin bonyok tuh muka, untung gak diekspose media. Contoh di atas memperlihatkan bahwa forum online sudah menjadi semacam fasilitator bagi pengguna media sosial untuk menghujat satu sama lain secara bebas tanpa memperhatikan etika-etika berkomunikasi. Penggunaan ungkapan negatif, seperti babi, cuih, anjing, keparat, dll. merupakan wujud ujaran kebencian yang bisa menyinggung perasaan mitra tutur. Pelanggaran terhadap etika berkomunikasi ini semakin diperparah dengan makian yang digunakan. Makianmakian ini mengarah pada tindakan ujaran kebencian terhadap lawan bicara dalam forum tersebut. Fakta ini menunjukkan bahwa kebebasan dalam berkomunikasi di duna maya sudah pada tingaktan yang mengkhawatirkan. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia mengenal adanya etika dalam berkomunikasi. Siregar (2006:5–10) mengemukakan bahwa etika berkomunikasi merupakan cerminan dari cara pandang masyarakat terhadap penghayatan serta cara menjalani kehidupan di ruang publik. Dalam PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
159
menjalani etika ini, seseorang harus berpedoman terhadap etika-etika tertentu yang sudah disepakati dalam satu keompok sosial. Jika etika komunikasi ini dilanggar, akibatnya bisa menggeser tatanan moral masyarakat. Meskipun awalnya hanya digunakan dalam ranah dunia maya, jika dibiarkan, bisa bergeser dan mempengaruhi hubungan antarkelompok masyarakat. Hal ini sesuai dengan teori yang diungkapkan oleh Galtung (dalam Windhu, 1992:103) yang mengungkapkan keberadaan trend perubahan persepsi mengenai masalah-masalah internasional yang menyangkut gejala kesalinghubungan antara masalah-masalah yang yang belum terselesaikan. Untuk mengkaji peranan forum online dalam kemunculan fenomena ujaran kebencian dalam komunkasi di dunia maya, diperlukan pengamatan yang mendalam terhadap faktor-faktor sosial apa saja yang mempengaruhi kmunculan ujaran kebencian tersebut. faktor-faktor ini berhubungan dengan berbagai hal. Berikut ini akan dijabarkan secara lebih mendalam mengenai faktor-faktor sosial yang berpengaruh terhadap kemunculan ujaran kebencian di dunia maya. 3.1 Faktor Sosial yang Mempengaruhi Kemunculan Ujaran kebencian di topix.com Faktor sosial mengarah pada hal-hal di sekitar situasi komunkasi yang berpengaruh, baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap perilaku penutur dan mitra tutur dalam sebuah situasi komunkasi. Ujaran kebencian dapat dilihat dari perspektif linguistik sebagai pemakaian bahasa yang mengarah pada kekerasan. Ada beberapa macam ujaran kebencian yang diketahui, seperti makian, pemberian label negatif, umpatan dengan mengasosiasikan pada binatang, dll. Bentuk-bentuk ujaran kebencian tersebut bisa ditemukan dalam komunkasi di dunia maya. Bentuk pengungkapan makian, seperti Maling jadi tradisi.. Dasar muka tembokk...! Gx tau mal0n..! Najik awk liat malont, kyk liat TaiK DI MENARA KOntol KENBAR SIAM T0. Ha ha ha bisa menjadi gambaran bahwa ada faktor-faktor tertentu yang mempengaruhi penggunaan bahasa yang demikian. Aspek yang dilihat sebagai faktor yang berpengaruh terhadap kemunculan ujaran kebencian tersebut adalah faktor-faktor sosial. Hal ini karena faktor sosial merupakan aspek yang paling berpengaruh terhdap pemilihan bahasa yang memunculkan bentuk-bentuk ujaran kebencian. Faktor-faktor sosial yang berpengaruh terhadap penggunaan bahasa termasuk ke dalam kajian sosiolinguistik. Teori yang membahas faktor sosial dalam pemakaian bahasa salah satunya diungkapkan oleh Dell Hymes (1973). Hymes merumuskan teori SPEAKING sebagai acuan untuk mengkaji faktor-faktor dalam penggunaan bahasa, yaitu Setting and Scene, Participants, Ends, Act Sequences, Keys, Instrumentalities, Norms, dan Genres. Pertama, setting dan scene mengacu pada situasi dan suasana yang ada dalam suatu situasi komunkasi yang berpengaruh terhadap penggunaan bahasa. Dalam forum online di dunia maya, setting dan scene tidak tentu karena orang bisa sembarangan mengakses forum online dan bisa memberi komentar kapan saja dan dari mana saja. Latar seperti ini bisa memungkinkan orang untuk secara bebas mengungkapkan pendapatnya tanpa khawatir mendapatkan sanksi. Akibat paling buruk yang bisa diterima adalah balasan dari mitra tutur yang kemungkinan besar akan mengungkapkan argumen yang tidak jauh berbeda. Faktor yang kedua adalah Participants. Faktor ini mengacu pada para pelaku pembicaraan dalam satu situasi komunikasi. Dalam situs topix.com, pelaku yang berkomunikasi adalah orang Indonesia dan orang Malaysia. Keduanya saling mengejek dan mengungkapkan perkataan untuk saling menyerang dalam berargumen. Meskipun orang yang dimagsud tidak mencakup semua warga negara dari kedua negara, masing-masing individu seolah menggambarkan perwakilan dari masing-masing negara untuk membela martabatnya. Faktor yang ketiga adalah tujuan (ends). Faktor tujuan dalam topix.com adalah mengejek atau mencela lawan tuturnya. Hal ini terlihat dari tuturan yang dikeluarkan sebagian besar tidak berargumen secara wajar, tetapi menyertakan umpatan, makian, dan bahkan hujatan pada lawan tuturnya. Ini menunjukkan bahwa tujuan dari berkomunikasi dalam forum online topix.com adalah untuk mengejek dan mencela. Namun, bagi sebagian pengguna lain, berkomunikasi dalam forum online ini juga dapat menghibur atau untuk tujuan kejenakaan. Kejenakaan atau humor ini ditandai dengan pengungkapan rasa lucu di akhir tuturan sebagai ekspresi kejenakaan, seperti ditunjukkan pada contoh tuturan kau adalah malon pemakan taik yang hina wkwkwk. Pada contoh tersebut, ekspresi kejenakaan diungkapokan dengan wkwkwk yang merupakan bentuk pemendekan tiruan bunyi dari tertawa.
160
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
Faktor yang keempat adalah pemilihan kata dan isi (act and sequences). Pemilihan kata dan isi tuturan dalam forum online topix.com cenderung mengarah pada makian yang berisi perkataan negatif mengenai lawan bicara. Makian dengan perkataan negatif ini bisa mengarah pada ujaran kebencian. Pemilihan kata dan isi juga sangat berpengaruh terhadap kemunculan ujaran kebencian di dunia maya. Hal ini karena pilihan kata yang kasar dan bersifat negatif bisa memunculkan ujaran yang kasar. Faktor kelima adalah keys atau simbol-simbol yang digunakan. Makian yang diungkapkan dalam forum online topix.com menggunakan simbol-simbol umum yang digunakan dalam berkomunikasi di duia maya. Simbol-simbol yang digunakan cenderung ditekankan dengan pemilihan penggunaan huruf kapital, tanda baca, dan emoticon. Pemilihan simbol juga dapat memengaruhi kemunculan ujaran kebencian. Sebagai contoh, penekanan dengan huruf kapital dan penggunaan tanda baca seru yang banyak, seperti pada contoh ujaran gimana ga lari gan, orang malayshit isinya cuma BANCI!!!!!!!!!! bisa memunculkan ujaran kebencian. Faktor yang keenam adalah media (instrumentalities). Dalam forum online topix.com, media yang digunakan adalah media tulis, yaitu melalui kolom komentar. Participants bisa mengawali suatu forum percakapan dengan mengangkat satu permasalahan tertentu kemudian ditanggapi oleh orang lain yang juga dapat menulis berbagai hal yang diinginkan melalui kolom komentar yang ada. Kolom komentar ini merupakan wadah sekaligus fasilitator kemunculan ujaran kebencian karena siapa saja bisa mengungapkan apa pun yang diinginkan tanpa khawatir mendapatkan sanksi. Faktor ketujuh adalah etika (norms). Etika dalam berinteraksi di forum online topix.com tidak terlalu diperhatikan. Hal ini terlihat dari penggunaan kata-kata negatif yang bersifat makian, hujatan, atau pun ejekan tanpa memperhatikan etika-etika dalam berkomunikasi secara wajar. Meskipun demikian, masih ada yang memperhatikan etika agar mencegah sesuatu yang tidak diinginkan. Etika ini terlihat dari beberapa participants yang mengikutkan tertawa sebagai bentuk kejenakaan. Hal ini sekaligus sebagai etika untuk mengimplikasikan bahwa hal yang diungkapkannya hanyalah untuk kelucuan. Faktor kedelapan adalah gaya (genres). Sebagian besar gaya yang digunakan dalam bertutur dalam forum online adalah makian. Ini terlihat dari penggunaan bahasa yang bertujuan untuk mengejek lawan tuturnya. Makian ini tentu saja bisa mengarah pada ujaran kebencian yang bisa berkaibat buruk pada hubungan baik yang sudah terjalin antara kedua negara. Satu hal yang juga sangat berpengaruh terhadap kemunculan ujaran kebencian adalah landasan perilaku agresif manusia. Fromm (2000:122–123) mengungkapkan bahwa struktur dan fungsi otak yang diatur oleh prinsip kelangsungan hidup individu akan sangat berpengaruh terhadap berbagai tuturan yang diproduksi. Wilayah dalam otak ini dikendalikan oleh sistem syaraf yang mengendalikan reaksi efektif terhadap kemarahan dan pola perilaku agresif dalam bertutur. Hal ini pulalah yang turut mempengaruhi kemunculan ujaran kebencian. Dari berbagai faktor yang diungkapkan di atas, ada satu fakta yang menarik untuk dibahas lebih lanjut, yaitu humor. Humor dianggap bisa mengalihkan tuturan kasar yang semula ditujukan untuk mengejek dan mencela lawan bicara menjadi untuk tujuan kejenakaan atau humor. Hal ini menunjukkan bahwa humor bisa menjadi paradigma untuk mengalihkan ujaran kebencian di dunia maya. Pembahasan mengenai paradigma ini akan dijelaskan pada nomor berikut.
3.2 Humor sebagai Paradigma untuk Mengalihkan Ujaran Kebencian Humor dibuktikan dengan munculnya senyum atau tawa sebagai bukti fisik terjadinya penikmatan humor. Humor muncul karena adanya kelucuan yang diciptakan sendiri atau mitra tutur karena ketidakadanya kesejajaran antara hal yang diharapkan, diasumsikan, atau dipraanggapkan dengan hal yang diungkapkan (Wijana, 2006:139). Paradigma humor dalam forum online muncul didasarkan pada bentuk tuturan yang menyertakan tiruan bunyi untuk tertawa. Pemikiran mengenai peranan humor sebagai paradigma yang mampu mengalihkan ujaran kebencian muncul karena dilandasi fakta bahwa tuturan yang meskipun berisikan perkataan negatif, tidak termasuk ke dalam ujaran kebencian jika dilandasi tujuan untuk kejenakaan. Paradigma ini bisa menjadi benang merah di tengah polemik permasalahan ujaran kebencian di dunia maya. Paradigma ini bisa menjadi awal transformasi ujaran kebencian yang PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
161
terjadi di dunia maya. Jika sebelumnya berbagai ungkapan yang bersumber pada perkataanperkataan negatif yang mengarah pada ujaran kebencian dapat benar-benar menyinggung perasaan mitra tutur, dengan menggunakan perubahan tujuan untuk kejenakaan, situasi yang semula tegang, bisa menjadi lebih santai. Hal ini menunjukkan bahwa humor memang bisa mengalihkan tujuan ujaran yang bisa mengarah pada ujaran kebencian menjadi tujuan kejenakaan. Berikut ini adalah contoh diskusi dalam forum online yang sudah mencerminkan penerapan tujuan kejenakaan. Tante Eliz Rosmah Malonbloon indon babu Malon dongo indon babu indon malon Jago Kluruk
: Lo cina ya cong ?? : bukan dia cimeng = cina mengong hahahaha :p : Hajar bung tora. .gw newbie. . Mantau aja ah. . . : tora hanya babu tki : malon pantas dihajar terus...lanjutkan bung tora : ayo kejar babindon : Hayo ...hajar muka kalian sendiri2 Kah kah kah : MAT SABU cakap bahwa Pegawai British (melayu malon antek british) telah "memfitnah" Pahlawan Melayu yang berjuang mengusir British sebagai KOMUNIS....!!! Akhirnya Pahlawan Malaysia yang sesungguhnya malah di "BANTAI".....kesian. ...!!!
Dari contoh di atas, suasana yang dibangun memiliki kecenderungan lebih santai dan tidak tegang. Selain itu, suasana percakapan seperti di atas cenderung lebih akrab dan tidak ada kecenderungan ke arah ujaran kebencian. Namun, jika suatu situasi komunkasi dijalankan tanpa mengandalkan humor, suasana yang dibangun juga akan berbeda. Bandingkan dengan contoh diskusi dalam forum online yang tidak menerapkan tujuan kejenakaan berikut ini. Uban
: Insya allah sebentar lagi kita gempur habis malaysia, ekonomi kita berkembang terus dalam 1 dekade ini. Jika ekonomi membaik peralatan perangpun membaik juga. Malaysia dijajah : Akhirnya Malaysia kena jajah oleh Indonesia babu macai : Hahaha dasar tidak sedar diri ya kamu Hanya tahu berperang asih2 apa yang kamu ada mahu berperang kok? Ada senjata ya,ada kapal ya,apa kamu ada,fikir dong cetek ilmu ah kamu semua nya babu macai : perang dulu sama PAPUA , TIMOR LESTE ,SUMATERA DAN ACHEH sebeluw mahu perang sama malaysia dong,kuatkamw dulu ekonomi mu,ngak pun ya bantuin dulu GEMPA BUMI,TSUNAMI,HUTAN TERBAKAR,GUNUNG BERAPI di negara mu Ferdian : Kloq Prang In Terjadi... Anggta Kerajaan Malasyia Malah Menyuruh Rkyatnya Karna Takut Mati...kwkkwokw Galih : malaysia punya ape, negara kecil macem tu, di ludahi warga indonesia juge udah tenggelam.. Dari perbandingan kedua situasi tutur di atas, dapat disimpulkan bahwa humor bisa menjadi satu paradigma yang bisa diandalkan untuk menghindari situasi tutur yang tegang karena adanya ujaran kebencian. Oleh karena itu, menyertakan humor dalam setiap komunkasi bisa menjadi cara yang efektif untuk menghindari suasana yang tegang dan mengurangi kesan bahwa suatu ujaran mengandung ujaran kebencian. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Danandjaja (dalam Wijana, 2004: 3) yang mengungkapkan bahwa humor mampu berfungsi sebagai penglipur lara dan sebagai sarana hiburan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. Meskipun humor bisa menjadi satu paradigma untuk mengalihkan ujaran kebencian di dunia maya, masih banyak ditemukan participants dalam forum online yang menggunakan perkataan negatif yang mengarah pada ujaran kebencian. Hal ini tentu bisa menimbulkan permasalahan atau resiko lain yang bisa berlanjut pada konflik atau perpecahan. Karenanya, dibutuhkan satu solusi untuk meminimalisasi kemunculan ujaran kebencian dalam berkomunikasi melalui forum online.
162
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
3.4 Penegakan Etika Berkomunikasi dalam Forum Online sebagai Tawaran Solusi Etika berkomunikasi selalu dirumuskan dengan bertolak pada teori normatif dan teori moral (Siregar, 2006:7–8). Teori normatif digunakan untuk melihat interaksi antarmedia sebagai institusi sosial dengan institusi lainnya dalam satu struktur sosial. Dalam ranah ini, media dilihat sebagai atraksi yang menarik masyarakat untuk saling berinteraksi dalam forum online. Sementara itu, teori moral yang digunakan untuk mendasari perumusan etika komunkasi dalam forum online didasarkan pada perilaku pengguna forum online. Pendekatan pertama dalah teori normatif yang mengarah pada penentuan fakta mengenai adanya tindakan legal atau ilegal. Penentuan fakta ini selalu berupa kejadian yang bisa diterima oleh nalar (Kelsen, 2008:4). Dalam situasi komunikasi dalam forum online, berbagai tindakan yang mengarah pada ujaran kebencian bisa ditinjau dari suatu tindakan itu legal atau ilegal. Yang menjadikan suatu tindakan dikatakan legal atau ilegal bukanlah eksistensi fisiknya, tetapi makna objektif yang muncul dari penafsiran terhadap tindakan yang bersangkutan. Tindakan ujaran kebencian dalam topix.com selalu mengarah pada perkataan yang mengandung unsur negatif, seperti makian, celaan, hinaan, dll. Hal ini menunjukkan bahwa berbagai perkataan negatif yang muncul dalam forum online tersebut bisa ditafsirkan secara objektif sebagai ujaran kebencian. Mengenai status legal atau pun ilegal, diperlukan kajian normatif yang lebih mendalam mengenai status penafsiran ujaran kebencian dalam ranah normatif. Meskipun demikian, dapat ditafsirkan bahwa ujaran kebencian bisa tergolong satu tindakan yang melanggar etika dalam berkomunikasi. Pendekatan yang kedua adalah teori moral. Dalam hal ini, teori moral berhubungan dengan perilaku pengguna forum online. Moralitas berhubungan dengan tindakan untuk melaksanakan etika dalam berkomunikasi, baik karena kewajiban itu sendiri maupun karena kesadaran sendiri. Moralitas penting untuk diterapkan dalam aktivitas berkomunikasi pada forum online. Hal ini berhubungan dengan pengambilan keputusan seseorang dalam mengeluarkan suatu ujaran agar tidak mengarah pada ujaran kebencian. Jika seseorang sudah memiliki sistem pengetahuan yang memadai mengenai moralitas, hampir dipastikan bahwa kemungkinan kemunculan ujaran kebencian bisa diminimalisasi. Dari uraian mengenai penegakan etika dalam berkomunikasi yang bertolak pada teori normatif dan teori moral, terlihat bahwa keunculan ujaran kebencian dalam forum online memang dilatarbelakangi oleh kurangnya penegakaan etika dalam berkomunikasi. Karenanya, pengetahuan mengenai norma dan moral dalam berkomunikasi penting untuk dimiliki sebelum ikut serta dalam diskusi forum di dunia maya. Meskipun demikian, kurangnya pengawasan terhadap pola komunikasi di dunia maya dan kurangnya penegakan hukum tentang peraturan ujaran kebencian di dunia maya bisa menjadi hambatan dalam penegakan etika komunkasi dalam forum online. Fakta mengenai kurangnya pengawasan dan penegakaan hukum ini bisa menjadi celah bagi para pengguna fasilitas forum online untuk tetap mengatakan berbagai hal yang diinginkan tanpa khawatir akan adanya konsekuensi secara hukum. Karenanya, dibutuhkan kesadaran secara individual menganai pentingnya penegakkan etika berkomnikasi di dunia maya agar ajang berdiskusi di forum online jauh dari ujaran kebencian yang bisa berdampak buruk bagi hubungan antaretnis atau komunitas. Dengan demikian, penegakan etika berkomunikasi perlu dijunjung tinggi demi mewujudkan pola komunikasi yang baik di dunia maya. 4. SIMPULAN Dari tinjauan terhadap ujaran kebencian di dunia maya ini, dapat disimpulkan bahwa kebebasan berpendapat dalam forum online mampu memunculkan ujaran kebencian yang bisa berpengaruh terhadap hubungan antarkelompok masyarakat. Dalam kasus forum online topix.com, ujaran kebencian yang muncul bahkan bisa berpengaruh terhadap interaksi antara orang Indonesia dengan orang Malaysia. Hal ini menunjukkan bahwa ujaran kebencian dalam dunia maya tidak bisa dianggap sebagai masalah kecil. Dalam menghadapi ujaran kebencian yang muncul dalam forum online, paradigma humor dalam berinteraksi bisa menjadi benang merah di tengah polemik permasalahan ujaran kebencian di dunia maya. Paradigma ini bisa menjadi awal transformasi ujaran kebencian di dunia maya menjadi tindakan kejenakaan karena humor bersifat mendekatkan. Selain itu, penegakan etika
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
163
berkomunikasi dalam berdiskusi dalam forum online juga penting untuk diperhatikan agar pola komunkasi yang memunculkan ujaran kebencian bisa dihindari. DAFTAR PUSTAKA Effendy, Onong U. 1973. Komunikasi dan Modernisasi. Bandung: Penerbit Alumni. Fromm, Erich. 2000. Akar Kekerasan: Analisis Sosio-Spikologis atas Watak Manusia. Diterjemahkan oleh: Imam Muttaqin. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hardiman, F. Budi. 2007. Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia. Hymes, Dell. 1973. Foundation in Sociolinguistics: An Etnographic Approach. Philadelphia: University of Pennsylvania Press. Kelsen, Hans. 2008. Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif. Bandung: Nusa Media. Peursen, Van C.A. 2003. Menjadi Filusuf: Suatu Pendorong ke Arah Berfilsafat Sendiri. Diterjemahkan oleh: Fitra Salam. Yogyakarta: Qalam. Siregar, Ashadi. 2006. Etika Komunikasi. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher. Wardhaugh, Ronald. 1986. An Introduction to Sociolinguistics. Malden: Blackwell Publishing Wijana, I Dewa Putu. 2004. Kartun. Yogyakarta: Ombak --------- dan Muhammad Rohmadi. 2006. Sosiolinguistik: Kajian Teori dan Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Windhu, I. Marsana. 1992. Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung. Yogyakarta: Kanisius.
164
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
PENYIMPANGAN KAIDAH KEBAHASAAN DALAM BERBAGAI TEKS PADA MAJALAH AKSI Wiwik Darmini Progdi PBSI,FKIP,Univet Bantara Sukoharjo
[email protected] Abstrak Majalah Aksi edisi XXIII Desember 2015 merupakan salah satu identitas SMA N 3 Sukoharjo.Majalah ini diterbitkan oleh OSIS SMA N3 Sukoharjo.Penelitian terhadap majalah Aksi berfokus pada penyimpangan kaidah kebahasaan yang digunakan.Penelitian ini berjenis kualitatif bersifat deskriptif.Data berupa kata,frasa,klausa,dan kalimat yang menunjukkan penyimpangan kaidah.Adapun analisis datanya digunakan metode agih,dan dilanjutkan dengan teknik lesap,teknik ganti,serta teknik ubah wujud. Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap majalah Aksi XXIII Desember 2015 ditemukan penyimpangan kaidah kebahasaan bidang fonologi,morfologi,dan sintaksis. Kata-kata kunci : penyimpangan kaidah kebahasaan, teks.
Pendahuluan Menurut Arifin dan Amran Tasai (2008:87) “bahasa yang benar adalah bahasa yang menerapkan kaidah dengan konsisten”.Kaidah yang mengatur paragraf,penataan penalaran,serta penerapan ejaan (Arifin dan Farid Hadi,1991: pemakaian bahasa itu meliputi kaidah pembentukan kata,pemilihan kata,penyusunan kata,pembentukan 12).Kaidah pembentukan kata termasuk bidang morfologi,kaidah penyusunan kalimat bidang sintaksis,dan kaidah ejaan termasuk bidang fonologi. Berkaitan dengan uraian di atas pemakaian bahasa dalam majalah Aksi XXIII oleh OSIS SMAN 3 Sukoharjo banyak ditemukan penyimpangan kaidah kebahasaan.Penyimpangan kaidah tersebut paling menonjol penyimpangan kaidah fonologi dan penyimpangan kaidah sintaksis. Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini bertujuan mendeskripsikan penyimpangan kaidah kebahasaan yang dilakukan oleh penulis pada majalah Aksi XXIII.Penyimpangan yang dimaksud adalah penyimpangan kaidah fonologi,penyimpangan kaidah morfologi,dan penyimpangan kaidah sintaksis. Adapun buku referensi untuk membahas ketiga hal tersebut digunakan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Alwi dkk.,2003),Cermat Berbahasa Indonesia (Arifin dan S.Amran Tasai,2008),Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (Tim Redaksi,2012),dan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (Tim Visi Yustisia, 2016). Metode Penelitian Penelitian berjudulPenyimpangan Kaidah Kebahasaan dalamBerbagaiTeksdalam Majalah ‘Aksi’ ini menggunakan jenis penelitian kualitatif bersifat deskriptif.Data berupa kata,frasa, klausa, dan kalimat yang menunjukkan penyimpangan kaidah kebahasaan bidang fonologi, bidang morfologi, dan bidang sintaksis.Sumber data dalam penelitian ini adalah majalah Aksiedisi XXIII Desember 2015 yang diterbitkan oleh OSIS SMAN 3 Sukoharjo. Pemerolehan data digunakan teknik simak.Teknik simak dipakai untuk memperoleh data dengan menyimak pemakaian bahasa pada majalah Aksi.Istilah menyimak menurut Mahsun (2014:92) “tidak hanya berkaitan dengan bahasa secara lisan tetapi juga penggunaan bahasa secara tertulis”.Selanjutnya penggunaan teknik catat dipakai untuk menulis penyimpangan kaidah kebahasaan hasil penyimakan terhadap pemakaian bahasa pada majalah Aksi. Dalam penelitian ini digunakan metode agih dilanjutkan dengan teknik lesap, teknik ganti, teknik ubah wujud (Sudaryanto,2015:47). Pembahasan Berdasarkan analisis terhadap data yang ditemukan di bawah ini diuraikan hasil pembahasannya. A.Penyimpangan Kaidah Fonologi PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
165
Berikut ini dipaparkan temuan penyimpangan kaidah fonologi yang terdapat pada majalah Aksi.Penyimpangan kaidah fonologi ini mengacu ejaan. 1.Penulisan Gabungan Kata Ditulis Dibetulkan pertanggung jawaban (10) pertanggungjawaban penyalah gunaan (13) penyalahgunaan 2.Penulisan Kata Depan Ditulis Dibetulkan disana (9) di sana dimana (12) di mana dikalangan (13) di kalangan dibawah (13) di bawah didalam (13) di dalam diatas (18) di atas disini (19) di sini dilokasi (22) di lokasi 3.Penulisan Singkatan Ditulis Dibetulkan BJ Habibie B.J. Habibie 4.Penulisan Awalan diDitulis Dibetulkan di rilis (35) dirilis di tinggal (15) dirangkai di sematkan (34) disematkan 5.Penulisan Huruf Kapital Ditulis Dibetulkan bandung (9) Bandung etiek (15) Etiek mayuko kikuchi (15) Mayuko Kikuchi pak Hery (15) Pak Hery jawa Tengah (18) Jawa Tengah 6.Perubahan Penulisan Fonem Ditulis Dibetukan jaman (15) zaman berfikir (15) berpikir obyek (16) objek Al Qur’an (23) Alquran Jum’at (23) Jumat Biography (8) biography praktek (37) praktik sunnah (23) sunah hobbi (15) hobby sholat (23) salat B.Penyimpangan Kaidah Morfologi Penyimpangan kaidah morfologi hanya ditemukan 3.Hasilnya dapat dilihat pada uraian berikut ini. Ditulis Dibetulkan kesimpulan (14) simpulan kebanyakan (23) banyak banyak para siswa (23) banyak siswa atau parasiswa C.Penyimpangan Kaidah Sintaksis Penyimpangan kaidah sintaksis dapat dilihat di bawah ini.Penyajiaannya dimulai kalimat data diikuti pembahasannya. (1)Banyak orang mencari mengenai kisah,profil atau biografi singkat B.J Habibie. (8)
166
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
Pada kalimat (1) kata mencari berfungsi sebagai predikat berkategori verba transitif.Verba transitif memerlukan objek secara langsung.Oleh karena itu, kata mengenai sebaiknya dihilangkan agar kalimattersebutlebihefektif.Kalimat (1) diubah menjadi (1a) berikut ini. (1a) Banyak orang mencari kisah,profil atau biografi singkat B.J. Habibie. (2) Dia datang ke Indonesia khususnya ke SMAN 3 Sukoharjo untuk mengajarkan SMAGA agar bisa berbahasa Jepang dan dia juga ingin mempelajari budaya dan bahasa yang ada di Indonesia (15). Data (2) merupakan paragraf yang terdiri dari satu kalimat yang panjang,sehingga apa yang ditulis sulit dipahami.agar mudah dipahami paragraf (2) diubah menjadi beberapa kalimat di bawah ini. (2a) Dia datang ke Indonesia khususnyake SMAN 3 Sukoharjountuk mengajarkan bahasaJepang kepada murid SMAGA.Selainitu,dia ingin mempelajari budaya dan bahasa yang berada di Indonesia. (3) Setelah diterima Organisasi Penyelenggara kegiatan tersebut yang bernama Dejavao foundation menempatkan Mayukoke Sukoharjo yaitu ke SMAN3 Sukoharjo.Saat di Sukoharjo di tinggal bersama Guru bahasa Jepang kita yaitu Sensei Etiek.Tau gak sih Mayuko mempunyai hobbi yang sangat unik sekali,yaitu bermain basket,dia sangat mahir sekali bermain basket karena di universitasnya di masuk di sebuah klub basket.Dia mengatakan bahwa dia setiap hari selalu berolahraga bermain bola basket setiap pagi. Data (3) merupakan paragraf yang terdiri dari dua kalimat.Padaparagraf tersebut selain terdapat kalimat tidak efektif jugaterdapatpenulisan ejaan yang tidak sesuai dengan kaidah.Alternatif pembetulanparagraftersebut sebagai berikut. (3a)Setelah dia diterima organisasi penyelenggara kegiatanbernamaDejavao Foundation,Mayuko ditempatkan di SMAN 3 Sukoharjo.Padawaktu di Sukoharjodia tinggal dengan Sensei Etiek guru bahasa Jepang.Mayuko mempunyai hobibermain basket.Mayuko bermain basket sangat baguskarena masuk klub di universitasnya dan bermainsetiap pagi. (4)Karena mengingat pesan Bung Karno tentangpentingnya Dirgantara dan penerbagan bagi indonesia maka ia memilih jurusan Teknik Penerbangan dengan spesialisasi Konstruksi pesawat terbang di Rhein....(9) Penggunaan kata karena...maka dalam satu kalimat menyalahi kaidah,karena menggunakan konjungsi ganda.Oleh karena itu,kalimat (4) diubah (4a) seperti di bawah ini. (4a)Karena mengingat pesan Bung Karno tentang pentingnya dirgantara dan penerbangan bagi Indonesia, ia memilih jurusan Teknik Penerbangan dengan spesialisasi konstruksi pesawat terbang di Rhein....(9) (5)Sehingga hal ini bisa mencegah adanya pengakuan dari negara lain....(6) Kata penghubung sehingga merupakan penghubung intrakalimat tidak dipakai pada kalimat tunggal.Kata sehingga di atas dihilangkan dan kata bisa diganti kata dapat agar lebih formal.Pembetulannya menjadi (5a) di bawah ini. (5a)Hal ini dapat mencegah adanya pengakuan dari negara lain....(6). Simpulan dan Saran Simpulan Berdasarkan pembahasan terhadap data yang ditemukan dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut. 1.Penyimpangan kaidah sintaksis dan penyimpangan kaidah fonologi paling banyak dilakukan oleh penulis majalah Aksi. a.Penyimpangan kaidah sintaksis terutama penggunaan kata penghubung ganda,kata penghubung intrakalimatdigunakan dalam antarkalimat, kalimat yang tidak berpredikat, penggunaan objek berkata depan, dan kalimat terlalu panjang. b.Penyimpangan kaidah fonologi di antaranya tentang penulisan gabungan kata, kata depan, singkatan, awalan di, huruf kapital, dan perubahan penulisan fonem. 2.Penyimpangan kaidah morfologi tidak banyak ditemukan hanya kesalahan pemilihan afiks dan penggunaan kesalahan penggunaan jamak. Saran Saran yang dapat disampaikan oleh peneliti sebagai berikut: PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
167
1.Pengelola majalah hendaknya diberi pembinaan secara terus-menerus. 2.Kolom khusus tentang pemakaian bahasa baku perlu ditambahkan. 3.Penambahan guru bidang studi bahasa Indonesia dalam redaksi sebagai penanggung jawab bahasa. Daftar Pustaka Alwi,Hasan.dkk..2003. Tatabahasa Baku Bahasa Indonesia.Jakarta: Balai Pustaka. Arifin,E.Zainal dan S.Amran Tasai.2008.Cermat BerbahasaIndonesia. Jakarta: Gramedia. Mahsun.2014.Metode Penelitian Bahasa.Jakarta: Rajawali Press. Sudaryanto.2015.Metode dan Teknik AnalisisBahasa.Yogyakarta:Sanata Dharma University Press. Tim Redaksi.2012.Kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta: Gramedia. Tim Visi Yustisia.2016.Panduan Resmi Terbaru: Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia.Jakarta:Visimedia.
168
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
STRATEGI PENERJEMAHAN DAN KESEPADANAN, KETERBACAAN DAN KEBERTERIMAAN TERJEMAHAN PENDANDA KOHESI KONJUNGSI DALAM BUKU TEKS MANAGEMENT ACCOUNTING Zainal Arifin, Agus Budi Wahyudi, Muhammad Rois Hakim, Hirnowo Jati Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Univesitas Muhammadiyah Surakarta email:
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis strategi penerjemahan dan kesepadanan, keterbacaan, dan keberterimaan terjemahan penanda kohesi konjungsi dalam buku teks Management Accounting dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan deksriptif-kualitatif. Sumber data berupa dua buku teks: Management Accounting dan terjemahannya Akuntansi Manajemen, dan informan. Data berupa penanda kohesi konjungsi. Pengumpulan data menggunakan teknik simak-catat, wawancara mendalam, kuesioner dan de briefing. Validasi data menggunakan teknik trianggulasi sumber atau data. Data dianalisis menggunakan model interaktif, yang meliputi reduksi data, sajian data dan verifikasi/ simpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi penerjemahan konjungsi meliputi strategi pengalihan pesan dan strategi peminjaman dengan mengubah ejaan. Terjemahan konjungsi dapat dikatakan sepadan, terbaca, dan berterima dalam bahasa Indonesia sekalipun terjadi pergeseran satuan lingual, yaitu dari kata bergeser menjadi frasa dalam bahasa Indonesia. Kata kunci: strategi penerjemahan, terjemahan, sepadan, terbaca, berterima, kohesi konjungsi TRANSLATION STRATEGY AND EQUIVALENCY, READABILITY, ACCEPTABILITY OF CONJUNCTION COHESION IN MANAGEMENT ACCOUNTING Zainal Arifin, Agus Budi Wahyudi, Muhammad Rois Hakim, Hirnowo Jati Study Program of Indonesian Language Education, Faculty of Trainer and Teaching Education Universitas Muhammadiyah Surakarta email:
[email protected] Abstrak The study aims to describe and describe the strategy translations and translation equivalency, readability, and acceptability of English-Indonesian conjunction cohesion devices. It used a descriptive-qualitative approach. The data were English-Indonesian conjunction cohesion devices; the data sources are two textbooks: Management Accounting and its translation Akuntansi Manajemen. The data validity employed a technique of data or source triangulation and peer debriefing. The data analysis applied an interactive model: data reduction, data display, and conclusion/verification. The results of the study showed that the translation strategies comprised strategy by replacement and strategy by absorption/ adaptation by changing spellings. The translations of the English-Indonesian conjunction cohesion devices can be said to be equivalent, readable, and acceptable. Keywords: strategy translation, equivalency, readability, acceptability, conjunction cohesion
A. PENDAHULUAN Dalam tahun-tahun belakangan ini, kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang kebanyakan ditulis dalam bahasa Inggris menyebabkan kegiatan penerjemahan menjadi fenomena yang menarik untuk diteliti oleh para akademisi. Kegiatan pengalihan pesan atau makna teks dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia dimaksudkan untuk membantu akademisi lain yang mengalami kesulitan dalam memahami teks bahasa Inggris tulis. Ketidakmampuan inilah yang menyebabkan mereka terhambat untuk mengembangkan wawasan PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
169
dan pengetahuannya tentang IPTEK tersebut. Oleh karena itu, penerjemahan teks ini diharapkan dapat membantu untuk mengatasi permasalahan yang sedang mereka hadapi. Secara lebih jauh, penerjemahan teks ini diharapkan secara tidak langsung dapat menjembatani alih IPTEK ke negara kita sehingga bangsa kita tidak semakin jauh ketinggalan dalam bidang tersebut. Oleh karenanya, untuk mendukung agar transfer ilmu pengetahuan dan teknologi itu dapat dimengerti secara akurat sesuai dengan makna atau pesan bahasa sumbernya diperlukan ketepatan hasil terjemahan, yang tidak hanya menyangkut ketepatan menerjemahkan satuan-satuan lingual seperti kata, frasa, klausa dan kalimat tetapi juga sampai pada tataran wacana (discourse) secara menyeluruh. Penerjemah buku teks tidak sekadar menerjemahkan kata-kata, klausa-klausa atau kalimat-kalimat secara individual tetapi juga menerjemahkan teks atau unit wacana secara keseluruhan agar makna atau pesan yang terkandung dalam teks bahasa sumber bisa dialihkan ke dalam bahasa sasaran secara utuh tidak sepotong-potong. Oleh sebab itu, dalam aktivitas penerjemahan penerjemah seharusnya memperhatikan hubungan, misalnya hubungan unsur-unsur antarkalimat atau antarparagraf dalam teks atau unit wacana yang kohesif. Dengan adanya hubungan yang kohesif ini, hubungan antarunsur dalam wacana dapat diintrepretasikan sesuai dengan ketergantungannya pada unsur-unsur lainnya. Hubungan yang kohesif antarunsur dalam wacana ini perlu diperhatikan oleh penerjemah dalam menyampaikan kembali pesan bahasa sumber ke bahasa sasaran dengan akurat, jelas dan wajar agar pesan terjemahannya tidak menyimpang dengan pesan bahasa sumber, mudah dipahami oleh pembaca dan berterima menurut tata bahasa baku bahasa Indonesia. Penerjemah harus memperhatikan pertautan logis antara bentuk (form) dan makna (meaning) yang menciptakan suatu wacana yang utuh yang kohesif dan koheren. Hubungan yang kohesif antarkalimat dan antarparagaf dalam suatu wacana seringkali dijumpai dan memang sangat penting peranannya dalam menciptakan pertautan logis bentuk dan makna baik antarunsur dalam teks atau unit wacana. Hubungan yang demikian ini perlu diperhatikan oleh penerjemah agar hasil terjemahannya mudah dipahami oleh pembaca dan tetap kohesif dalam bahasa sasaran. Oleh sebab itu, analisis penanda kohesi dalam suatu wacana merupakan fenomena atau topik yang menarik dalam menganalisis strategi penerjemahan dan terjemahan di mana satu unsur dalam suatu wacana dapat dinterpretasi menurut ketergantungannya pada unsur lain. Hal tersebut senada dengan pendapat Newmark (dalam Baker, 1995: 181), yang menyatakan bahwa “The topic of cohesion … has always appeared the most useful constituent of discourse analysis or text-linguistics, applicable to translation.” Halliday dan Hasan (Baker, 1995: 191) menyatakan kohesi konjungsi meliputi: additive (and, or, also, in addition, furthermore, besides, similarly, likewise, by contrast, and for instance); adversative (but, yet, however, instead, on the other hand, nevertheless, at any rate, as a matter of fact); causal (so, consequently, it follows, for, because, under the circumstances, for this reason); temporal (then, next, after that, on another occasion, in conclusion, an hour later, finally, at last); continuatives (now, of course, well, anyway, surely, after all). Secara lebih juah, Haliday dan Hasan menyatakan bahwa sebagai penanda kohesi, konjungsi digunakan untuk menghubungkan unsur kalimat dengan kalimat lainnya. Penerjemah semestinya memperhatikan penanda-penanda kohesi konjungsi yang menghubungkan antarkalimat dalam sutau teks atau unit wacana ini. Hubungan yang demikian ini harus dicermati oleh seorang penerjemah untuk menjaga ketepatan dalam mengalihkan makna atau pesan bahasa sumber ke bahasa sasaran. Apabila tidak dicermati oleh penerjemah, hal ini bisa menimbulkan kekeliruan dalam mengalihkan pesan bahasa sumber ke bahasa sasaran, menyebabkan kesulitan bagi pembaca dalam memahami pesan yang disampaikan, atau menghasilkan terjemahan yang tidak wajar menurut tata bahasa baku bahasa Indonesia. Dengan demikian, proses transfer IPTEK itu tidak akan berjalan dengan lancar seperti yang diharapkan. Demikian pula halnya dalam menerjemahkan penanda kohesi konjungsi dalam buku teks Management Accounting, penerjemah semestinya mencermati hubungan yang kohesif dan koheren antarunsur dalam unit wacana. Oleh karenanya, untuk mengatasi permasalahan ini perlu mempertimbangkan penggunaan strategi-strategi penerjemahan, khususnya strategi menerjemahkan penanda kohesi konjungsi. Strategi yang dimaksud adalah bagaimana menerjemahkan unur-unsur dalam suatu wacana yang saling berpautan.
170
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
Menurut Baker (1995: 26-42), strategi yang dapat digunakan dalam penerjemahan istilah-istilah asing adalah sebagai berikut: 1) Translation by a more general word (superordinate), 2) translation by a more neutral/less expressive word, 3) translation by cultural substitution, 4) translation by or loanword plus explanation, 5) translation by paraphrase using a related word, 6) translation by paraphrase using unrelated word, 7) translation by omission, and 8) translation by illustration. Hasil penelitian Tabrizi, dkk. (2015) yang berjudul Strategies Used in Translation of Scientific Texts to Cope with Lexical Gaps (Case of Biomass Gasification and Pyrolysis Book) menunjukkan seperti berikut ini: … loan word, loan translation, loanblend were the most prominent strategies to cope with new lexicons; in addition, it also showed that loan translation had the highest rate of usage (68.5%) among other techniques and in scientific contexts it is widely preferred. Hasil penelitian Arifin, dkk (2013: 131-140) menyatakan bahwa strategi penerjemahan istilah-istilah budaya khusus meliputi: 1) cultural substitution, 2) translation by loanwords with explanation, 3) loanwords with translation, and 4) loanwords without explanation.
Penggunaan strategi ini diharapkan mampu menghasilkan terjemahan yang berkualitas. Terjemahan yang berkualitas berarti bahwa makna atau pesan teks terjemahan tersebut harus memenuhi tiga kriteria, yaitu sepadan, terbaca, dan beterima. Kesepadanan makna terjemahan yang dimaksud adalah bahwa pesan atau makna terjemahan sepadan dengan pesan atau makna teks bahasa sumber. Dengan kata lain, pesan yang sepadan berarti bahwa pesan atau makna teks tidak menyimpang dari pesan atau pesan teks bahasa sumber. Keterbacaan berkaitan dengan sejauh mana teks terjemahan dengan mudah dipahami oleh pembaca. Teks terjemahan yang rendah keterbacaannya akan menyebabkan pembaca sulit dalam memahami pesan atau maknanya. Keberterimaan berkaitan dengan kesesuaian kaidah struktur gramatikal bahasa sasaran. B. Metode Penelitian Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan dan menganalisis strategi penerjemahan dan kesepadanan, keterbacaan, dan keberterimaan terjemahan konjungsi penanda kohesi konjungsi dalam buku teks Management Accounting ke bahasa Indonesia. Data berupa konjungsi dalam buku teks Management Accounting dan terjemahannya Akuntansi Manajemen sedangkan sumber data adalah dokumen dan informan. Dokumen berupa buku teks Management Accounting karya Don R. Hansen dan Maryane Mowen yang diterbitkan oleh Thomson pada tahun 2005, dan terjemahannya Akuntansi Manajemen oleh Dewi Fitriasari dan Deny Arnos Kwary yang diterbitkan oleh Salemba Empat pada tahun 2005. Pengumpulan data menggunakan teknik simak-catat, kuesioner dan wawancara mendalam. Validitas data menggunakan trianggulasi teori dan data. Analisis data menggunakan model interaktif. C. Analisis Data dan Pembahasan 1. Analisis Data Dalam bidang penerjemahan, istilah strategi merupakan cara pengalihan pesan atau makna dari teks bahasa sumber ke bahasa sasaran. Secara khusus, penelitian ini mendeskripsikan strategi penerjemahan dan kesepadanan, keterbacaan, dan keberterimaan terjemahan konjungsi bahasa Inggris yang dialihkan maknanya ke bahasa Indonesia. a. Setragi Penerjemahan Dari analisis data, ditemukan bahwa strategi penerjemahan yang digunakan adalah strategi pengalihan pesan dan strategi peminjaman dengan mengubah ejaan. Strategi pengalihan pesan yang dimaksud berkaitan dengan penerjemahan konjungsi yang ditemukan padanan maknanya dalam bahasa Indonesia. Misalnya, additive conjunction dalam bahasa Inggris seperti: 1) for example diterjemahkan menjadi sebagai contoh; 2) also menjadi juga dan selain itu; 3) furthermore dialihkan maknanya menjadi selain itu, bahkan, lebih lanjut, lagi pula dan selanjutnya; 4) makna additionally dan in addition menjadi selain itu; 5) moreover dialihkan maknanya menjadi lebih jauh lagi; 6) in the example maknanya menjadi contoh yang tersedia dan dalam contoh ini; 7) and dialihkan maknanya menjadi dan; dan 7) similarly maknanya menjadi demikian pula, begitu juga, demikian juga, dan begitu juga halnya dengan. Adversative conjunction seperti 1) but diterjemahkan menjadi namun dan akan tetapi; 2) yet dialihkan maknanya menjadi namun demikian dan namun; 3) makna however menjadi meskipun demikian, namun demikian, tetapi dan akan tetapi; 4) on the other hand menjadi di sisi lain dan di lain pihak; 5) instead menjadi kemungkinan lain; dan 6) even so menjadi namun. Causal conjunction dalam bahasa Inggris misalnya: 1) thus dialihkan maknanya menjadi oleh sebab itu, PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
171
oleh karena itu, kemudian dan jadi; 2) therefore menjadi oleh sebab itu; 3) as a result menjadi akibatnya, oleh karena itu dan hasilnya; 4) in effect menjadi sebenarnya dan jadi; 5) the reason menjadi alasannya; dan 6) if so menjadi jika demikian. Temporal conjunctions seperti 1) next diterjemahkan menjadi selanjutnya dan berikutnya; 2) first step menjadi langkah pertama; 3) then menjadi oleh karena itu, lalu, jadi dan kemudian; 4) first menjadi pertama; dan 5) finally menjadi akhirnya. Strategi peminjaman dengan mengubah ejaan berkaitan dengan penejemahan konjungsi yang hanya melalui adopsi kohesi tersebut dengan menyesuaikan ejaan yang berlaku dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD). Misalnya, causal conjunction dalam bahasa Inggris seperti consequently dan adversative conjunction seperti in contrast masing-masing dialihkan maknanya menjadi konsekuensinya dan secara kontras. b. Kesepadanan Terjemahan Konjungsi Dari hasil analisis data, ditemukan bahwa terjemahan konjungsi baik additive adversative, causal, temporal maupun continuatives dapat dikatan sepadan. Artinya, makna atau pesan terjemahan konjungsi dalam bahasa Indonesia tersebut selaras dengan makna atau pesan dengan bahasa Inggrisnya. Misalnya, continuative conjunction dialihkan maknanya menjadi tentu saja yang sepadan dengan makna dengan istilah bahasa Inggrisnya. Demikian pula, additive conjunction dalam bahasa Inggris seperti: 1) for example yang diterjemahkan menjadi sebagai contoh; 2) also menjadi juga dan selain itu; dan 3) furthermore menjadi selain itu, bahkan, lebih lanjut, lagi pula dan selanjutnya, semua terjemahan bergai jenis konjungsi sepadan dengan istilah aslinya. Begitu pula, adversative conjunction seperti 1) but yang diterjemahkan menjadi namun dan akan tetapi; 2) yet menjadi namun demikian dan namun; dan 3) makna however menjadi meskipun demikian, namun demikian, tetapi dan akan tetapi, terjemahan konjungsi ini sepadan maknanya dengan makna konjungsi dalam bahasa Inggris. Causal conjunction dalam bahasa Inggris misalnya: 1) thus yang dialihkan maknanya menjadi oleh sebab itu, oleh karena itu, kemudian dan jadi; 2) therefore menjadi oleh sebab itu; 3) as a result menjadi akibatnya, oleh karena itu dan hasilnya; dan 4) in effect menjadi sebenarnya dan jadi sepadan maknanya dengan makna konjungsi dalam bahasa sumber. Temporal conjunctions seperti 1) next yang diterjemahkan menjadi selanjutnya dan berikutnya; 2) first step menjadi langkah pertama; 3) then menjadi oleh karena itu, lalu, jadi dan kemudian; 4) first menjadi pertama; dan 5) finally menjadi akhirnya sepadan dengan makna konjungsi dalam bahasa sumber. c. Keterbacaan Terjemahan Konjungsi Dari hasil analisis data, ditemukan bahwa terjemahan konjungsi dalam bahasa Inggris yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia mudah dipahami oleh pembaca teks terjemahan. Mereka tidak mengalami kesulitan memahami pesan atau maknanya dalam bahasa Inggris. Misalnya, additive conjunction dalam bahasa Inggris seperti 1) additionally dan in addition yang dialihkan maknanya menjadi selain itu; 2) moreover menjadi lebih jauh lagi; 3) in the example menjadi contoh yang tersedia dan dalam contoh ini; 4) and menjadi dan; dan 5) similarly menjadi demikian pula, begitu juga, demikian juga, dan begitu juga halnya dengan mudah dipahami oleh pembaca teks terjemahan Demikian pula, adversative conjunction seperti instead menjadi kemungkinan lain dan even so menjadi namun mudah dipahami dalam bahasa Indonesia. Causal conjunction dalam bahasa Inggris misalnya 1) as a result yang dialihkan maknanya menjadi akibatnya, oleh karena itu dan hasilnya; 2) in effect menjadi sebenarnya dan jadi; 3) the reason menjadi alasannya; dan 4) if so menjadi jika demikian mudah dipahami. Temporal conjunctions seperti 1) first step yang dialihkan maknanya menjadi langkah pertama; 2) then menjadi oleh karena itu, lalu, jadi dan kemudian; 3) first menjadi pertama; dan 4) finally menjadi akhirnya, terjemahan tersebut mudah dipahami dalam bahasa sasaran. d. Keberterimaan Terjemahan Konjungsi Keberterimaan terjemahan yang dimaksud mengacu pada Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD). Terjemahan bebagai konjungsi dalam bahasa Inggris berteerima dalam bahasa Indonesia, baik yang berkaitan dengan penulisan ejaan maupun penulisannya yang sudah sesuai dengan EYD. Misalnya, konjungsi as a result yang dialihkan
172
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
maknanya menjadi oleh karena itu, ejaan dan penulisannya sudah sesuai dengan EYD. Konjungsi finally yang diterjemahkan menjadi akhirnya, penulisannya berterima dalam bahasa Indonesia. Begitu pula, konjungsi consequently yang tidak diterjemahkan kecuali hanya mengadopsi istilah tersebut ke bahasa Indonesia menjadi konsekuensinya, ejaan dan penulisannya berterima menurut Pedoman Unsur Serapan Asing. Konjungsi in contrast yang juga tidak diterjemahkan, tetapi diadopsi ke bahasa Indonesia menjadi secara kontras, ejaan dan penulisannya berterima dalam bahasa Indonesia. 2. Pembahasan a. Strategi Penerjemahan Dalam menerjemahkan konjungsi, penerjemah menggunakan 2 (dua) strategi penerjemahan, yaitu strategi pengalihan pesan atau makna dan strategi peminjaman dengan mengubah ejaan yang mengacu pada EYD. Penggunaan pengalihan pesan atau makna ini sejalan dengan hasil penelitian Tabrizi, dkk. (2015) yang menyatakan bahwa … loan word dan loan translation, loanblend were the most prominent strategies to cope with new lexicons; in addition, it also showed that loan translation had the highest rate of usage (68.5%) among other techniques and in scientific contexts it is widely preferred. Hampir semua konjungsi diterjemahkan dengan menggunakan strategi pengalihan pesan ini. Strategi tersebut diterapkan karena konjungsi-konjungsi ini ditemukan padanan maknanya dalam bahasa Indonesia. Secara lebih jauh, padanan makna tersebut tidak menyimpang atau selaras dengan makna atau pesan konjungsi dalam bahasa Inggris. Dalam bidang penerjemahan secara umum, strategi tersebut semestinya dipertahankan untuk menjaga dan melestarikan eksistensi bahasa Indonesia khususnya pada eara kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di sisi lain, beberapa konjungsi tidak diterjemahkan ke bahasa Indonesia, misalnya kata consequently dan in contrast menjadi konsekuensinya dan secara kontras. Penerjemah menggunakan strategi peminjaman dengan mengubah ejaan ini karena konjungsi tersebut diasumsikan tidak ditemukan padanan maknanya dalam bahasa Indonesia atau menjaga bentuk Indonesia yang dapat dibandingkan dengan bentuk aslinya. Zhang (2012: 2342) menyatakan bahwa translation merely as linguistic transference of meaning from one language to another. They put too much value on fidelity and faithfulness of the translated text to the source text. Widyamartaya (1989: 62-83) menyatakan bahwa kemungkinan yang dapat dilakukan penejemah adalah menyerap kata asing tersebut dengan mengubah ejaan asing. Dalam bidang penerjemahan secara umum, strategi ini perlu diterapkan karena pertimbangan pengembangan kosa kata dalam bahasa Indonesia melalui peminjaman unsur-unsur asing dengan mengubah ejaan yang berterima dalam bahasa tersebut. Lebih-lebih lagi, kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ditandai dengan banyak temuan istilah baru yang dalam bahasa Indonesia seringkali tidak ditemukan padanan maknanya. Akhirnya, istilah atau unsur asing tersebut harus diserap ke bahasa Indonesia yang menyebabkan bahasa Indonesia akan terus-menerus mengalami perkembangan. 2. Kesepadanan, Keterbacaan dan Keberterimaan Terjemahan Konjungsi Secara umum, terjemahan konjungsi bahasa Inggris yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia dapat dinyatakan sepadan, terbaca, dan berterima dalam bahasa Indonesia. House (2009) menyatakan the term equivalent refers to two or more entities being of equal value, corresponding value, or having same use or function as something else. Namun demikian, terjadi pergeseran-pergeseran satuan lingual dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Misalnya, konjungsi furthermore dengan satu lingual kata yang dialihkan maknanya menjadi selain itu, bahkan, lebih lanjut dan lagi pula bergeser satuan lingualnya menjadi frasa dalam bahasa Indonesia. Kata additionally dan moreover dengan satuan laingual kata yang masing-masing diterjemahkan menjadi selain itu dan lebih jauh lagi bergeser menjadi frasa dalam bahasa sasaran. Pergeseran yang demikian ini terjadi dikarenakan maknanya harus demikian dalam bahasa Indonesia. Walaupun demikian, terjemahan tersebut tetap sepadan, terbaca dan berterima dalam bahasa sasaran.
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
173
D. PENUTUP Penerjemahan merupakan pengalihan pesan atau makna dari bahasa sumber ke bahasa sasaran, misalnya dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Penerjemahan bukan merupakan pengalihan bahasa, tetapi pesan atau makna inilah yang harus dialihkan ke bahasa sasaran. Penerjemahan penanda kohesi konjungsi merupakan fenomena yang menarik untuk diteliti khususnya yang berkaitan dengan bidang linguistik penerjemahan. Hal dikarenakan penerjemahan konjungsi tidak sekadar menerjemahkan kata tersebut secara individual, tetapi penerjemah harus memperhatikan keterkaitan unsur-unsur hubungan antarkalimat dan bahkan paragraf yang dihubungan oleh konjungsi tersebut. Kecermatan dalam memhami hubungan antarunsur inilah diasumsikan penerjemah akan mampu menghasilkan terjemahan konjungsi yang sepadan, terbaca, dan berterima dalam bahasa Indonesia. Dengan demikian, penerjemahan secara leksikal memungkinkan tidak akan mampu menghasilkan terjemahan yang berkualitas. DAFTAR PUSTAKA Arifin, Zainal. 2013. Translation Strategies of Culture-Specific Terms in the Tourism Texts “Sepotong Ubud di Yogyakarya” dan “Mengirim Pulang Sang Penglingsir.” Surakarta: Jurnal Sastra dan Bahasa IAIN Surakarta, September 2013. Baker, Mona. 1995. In Other Words: a course on book translation. Routledge: London. Fitriasari, Dewi dan Deny Arnos Kwary. 2005. Akuntansi Manajemen (Buku 2). Jakarta: Salemba Empat. Hansen, Don R. dan Maryane Mowen. 2005. Management Accounting. Singapore: Thomson. Tabrizi, Hossein Heidari dan Mahshid Pezeshki. (2015). Strategies Used in Translation of Scientific Texts to Cope with Lexical Gaps (Case of Biomass Gasification and Pyrolysis Book). ISSN 1799-2591 Theory and Practice in Language Studies, Vol. 5, NoWidyamartaya, A. 1991. Seni Menerjemahkan. Cetakan kedua. Yogyakarta: Kanisius. Widyamartaya, A. 1989. Seni Menerjemahkan. Yogyakarta: Kanisius. Zhang, Baicheng (2012). On Chinese-English Translation of Culture-loaded Tourism Publicities: A Perspective of Cultural Manipulation. Theory and Practice in Language Studies, Vol. 2, No. 11, pp. 2342-2348, November 2012. © 2012 ACADEMY PUBLISHER Manufactured in Finland. doi:10.4304/tpls.2.11.2342-2348 © 2012 ACADEMY PUBLISHER. ISSN 17992591
174
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
BIDANG 2:
PENGEMBANGAN DAN PEMBINAAN BAHASA-SASTRA INDONESIA
PEMBELAJARAN APRESIASI DONGENG BERMUATAN NILAI PEDIDIKAN KARAKTER DALAM ERA GLOBALISASI Aida Azizah, Joko Nurkamto, Sarwiji Suwandi, Muhammad Rohmadi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Islam Sultan Agung Semarang
[email protected] Abstrak Pembelajaran apresiasi dongeng merupakan salah satu kompetensi yang harus dikuasai olehpeserta didik SMP.Pembelajaran apresiasi dongeng bermuatan pendidikan karakter merupakan salah satu model pembelajaran efektif dengan cara menyampaikan pesan dan nilainilai moral bagi peserta didik, hal ini cenderung menjadikan dan membentuk kepribadian baik.Dalam hal ini penting ketikamenghadapi era globalisasi dimana era globalisasi merupakan tantangan bagi bangsa Indonesia untuk dapat mempertahankan diri di tengah-tengah pergaulan antarbangsa yang sangat rumit.Untuk itu, bangsa Indonesia harus mempersiapkan diri dengan baik, salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah masalah jati diri bangsa yang diperlihatkan melalui pendidikan karakter. Kata kunci: pembelajaran apresiasi dongeng, pendidikan karakter, dan era globalisasi.
PENDAHULUAN Pendidikan memilikitujuan untuk mencerdaskankehidupan bangsa dan budi pekertiyang baik dan bermartabat daripeserta didik, tersurat dalam amanatUndang-undang Sistem PendidikanNasional (Sisdiknas) Nomor 20Tahun 2003 pasal 3, bahwa“pendidikan nasional berfungsimengembangkan kemampuan danmembentuk watak serta peradabanbangsa yang bermartabat dalamrangka mencerdaskan kehidupanbangsa” (Anonim, 2009: 6). Hal ini sejalan dengan pendapat Ki Hajar Dewantara (dalam Ahmadi,2001: 69) menyatakan bahwa mendidik adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggitingginya. Oleh karena itu, salah satu tujuan dari pendidikan adalah menyediakan lingkungan yang memungkinkan anak didik untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya secara optimal sehingga ia dapat mewujudkan dirinya dan fungsinya sesuai dengan kebutuhan pribadi dan kebutuhan masyarakat. Mata pelajaran Bahasa Indonesia memiliki peranan penting dalam pendidikan. Pembelajaran Bahasa Indonesia SMP tidak hanya mengajar peserta didik tentang kosa kata, melainkan juga mengajarkan budi pekerti yang diterapkan dalam pembelajaran sastra, khususnya dalam pembelajaran apresiasi dongeng. Dengan pembelajaran apresiasi dongeng bermuatan pendidikan karakter, peserta didikdapat memprediksi karakter-karakter dalam setiap tokoh yang kemudian dengan mudah dapat diproduksi oleh masing-masing peserta didik karena cara penyampaiannyayang tidak memaksa anak-anak untuk menerimanya. Tokoh-tokoh dalam cerita dapat memberikan teladan bagi peserta didik. Sifat atau karakter peserta didik mempunyai kecenderungan untuk menirudan mengidentifikasikan diri dengan tokoh yangdikaguminya. Melalui dongeng, peserta didik akan denganmudah memahami sifat-sifat, figur-figur, dan perbuatanperbuatan yang baik dan yang buruk. Dengan demikian dapatlah kita ketahui pula karakter peserta didik. Pembelajaran apresiasi dongeng memiliki berbagai manfaat, yaitu dapat meningkatkan rasa kecintaan terhadap apresiasi sastra dan dapat digunakan untuk mendidik pembaca/pendengar karena di dalam cerita dongeng mengajarkan beragam nilai-nilai moral. Tujuan pembelajaran sastra tidak lain untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman bersastra. Jika pembelajaran sastra dilakukan dengan cara yang tepat, maka dapat juga memberikan sumbangan yang besar untuk memecahkan masalah-masalah dalam era globalisasi, masalah nyata yang cukup sulit untuk dipecahkan di dalam masyarakat, karena dengan sastra dapat menciptakan individu-individu yang berkepribadian baik dan lebih cerdas.
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
175
PEMBAHASAN a. Apresiasi Dongeng Istilah apresiasi berasal dari bahasa Latin apreciatioyang berarti ‘mengindahkan’ atau ‘menghargai’. Secara terminologi, apresiasi sastra dapat diartikan sebagai penghargaan, penilaian, dan pengertian terhadap karya sastra, baik yang berupa prosa fiksi, drama, maupun puisi (Dola: 2007). Sejalan dengan pendapat tersebut, Effendi dalam (Aminuddin,2004) mengemukakan bahwa apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli karya sastra secara sungguhsungguh sehingga menumbuhkan pengertian, penghargaan, kepekaan kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra. Juga disimpulkan bahwa kegiatan apresiasi dapat tumbuh dengan baik apabila pembaca mampu menumbuhkan rasa akrab dengan teks sastra yang diapresiasinya, menumbuhkan sikap sungguh-sungguh serta melaksanakan kegiatan apresiasi itu sebagai bagian dari hidupnya, sebagai suatu kebutuhan yang mampu memuaskan rohaniahnya. Dongeng termasuk cerita tradisional.Cerita tradisional adalah cerita yang disampaikan secara turun temurun.Suatu cerita tradisional dapat disebarkan secara luas ke berbagai tempat.Kemudian, cerita itu disesuaikan dengan kondisi daerah setempat.Menurut Nurgiantoro (2005:198-200) dongeng merupakan salah satu cerita rakyat (folkltale) yang cukup beragam cakupannya.Bahkan untuk memudahkan penyebutan semua cerita lama, jenis jenis cerita seperti mitos, fabel, dan legendasering disebut dongeng.Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan walaupun banyak juga melukiskan kebenaran, atau moral. Berpijak dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa apresiasi dongeng adalah kegiatan apresiasi yang dilakukan dengan memberikan penilaian tentang karya sastra.Kemunculan dongeng sebagai bagian dari cerita rakyat, selain berfungsi untuk memberikan hiburan, juga sebagai sarana untuk mewariskan nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat pada waktu itu. Dongeng dari berbagai cerita rakyat yang lain dipandang sebagai sarana ampuh untuk mewariskan nilai-nilai, dan untuk masyarakat lama itu dapat di pandang sebagai satu-satunya cara. Karena mempunyai misi tersebut, dongeng mengandung ajaran moral.dongeng sering mengisahkan penderitaan tokoh, namun karena kejujuran dan ketahanujiannya tokoh tersebut mendapat imbalan yang menyenangkan. Sebaliknya, tokoh jahat pasti mendapat hukuman.Jadi, moral dongeng dapat pula berwujud peringatan dan sindiran bagi orang yang berbuat jahat. b. Pendidikan Karakter Pendidikan karakter “merupakan pendidikan ikhwal karakter, atau pendidikan yang mengajarkan hakikat karakter dalam tiga ranah; cipta, rasa, dan karsa”.Menurut Elkind & Sweet (dalam Kemendiknas 2010:13), pendidikan karakter bermakna sebagai berikut. “… the deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical values. When we think about the kind of character we want for our children, it is clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from without and temptation from within”. Artinya, pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini antara lain mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya. Ramli dalam Kemendiknas (2010:13) menjelaskan bahwa pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik.Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya.Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.
176
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
Dari uraian tentang pendidikan karakter tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan yang berisi nilai-nilai luhur dan akhlak mulia bertujuan membentuk pribadi peserta didik agar menjadi manusia yang berahklak mulia dan berkepribadian baik, bertindak dan betingkah laku sesuai norma-norma yang berlaku. Norma yang menjadi ukuran dalam hal ini adalah norma agama dan norma yang bersumber dari budaya masyarakat dan bangsa. c. Nilai-nilai pendidikan karakter menurut Diknasadalah: 1. Religius Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, oleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. 2. Jujur Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. 3. Toleransi Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. 4. Disiplin Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. 5. Kerja Keras Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. 6. Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki. 7. Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. 8. Demokratis Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. 9. Rasa Ingin Tahu Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. 10. Semangat Kebangsaan Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. 11. Cinta Tanah Air Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. 12. Menghargai Prestasi Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. 13. Bersahabat/Komunikatif Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. 14. Cinta Damai Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. 15. Gemar Membaca Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya. 16. Peduli Lingkungan
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
177
17.
18.
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi. Peduli Sosial Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. Tanggung Jawab Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
d. Implementasi Pembelajaran Apresiasi Dongeng Bermuatan Pendidikan Karakter dalam Era Globalisasi Seiring dengan perkembangan zaman, dongeng bukan lagi milik kerabat kerajaan semata, namun telah menjadii milik masyarakat luas. Kini siapapun bisa menikmati dongeng. Dongeng juga sering hadir di berbagai panggung hiburan anak-anak, televisi, radio, dan lain-lain. Sampai saat ini dongeng memiliki peran penting dalam kehidupan anak-anak, baik di lingkungan keluarga, masyarakat, bahkan sekolah. Sementara itu, menurut Phelan (2010:218) dongeng dapat memotivasi peserta didik melalui kegiatan apresiasi.Peserta didik dapat menghubungkan dongeng yang dibaca dengan pengalaman kognitif, nilai etika, dan emosinya.McClelland (dalam Hana 2011:12) juga menyatakan bahwa kegiatan mengapresiasi dongeng sangat bermanfaat bagi pengembangan daya pikir dan pembentukan karakter anak. Dalam hal ini guru memiliki peran yang sangat penting, untuk itu guru seharusnya sering menyampaikan dongeng pada peserta didiknya untuk mengajarkan ilmu pengetahuan, budi pekerti, dan nilai-nilai kemanusiaan. Penyampaian apresiasi dongeng kepada peserta didik semestinya dimunculkan sejak dini, harapan idealnya adalah anak-anak sekolah dapat mengetahui jenis-jenis karakter dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga dapat terwujud kepribadian yang baik dan pembentukan karakter diri pada anak. Pembelajaran apresiasi dongeng sebaiknya dilakukan dengan benar supaya dapat membentuk karakter baik pada jati diri peserta didik untuk menghadapi era globalisasi. Pengimplementasian delapan belas nilai karakter dilakukan secara terpadu melalui proses pembelajaran apresiasi dongeng. Melalui dongeng, peserta didik akan mengenal nilai-nilai moral yang disampaikan dalam cerita dongeng, yang kemudian dapat memfasilitasi siswa untuk menginternalisasian nilai-nilai tersebut ke dalam tingkah laku peserta didik sehari-hari melalui proses pembelajaran, baik yang berlangsung di dalam pembelajaran di kelas maupun di lingkungan masyarakat, dan keluarga.Dengan demikian akan terbentuk karakter peserta didik yang lebih baik dan lebih cerdas. Pada masyarakat era globalisasi diperlukan pikiran-pikiran kritis dan kreatif yang bermanfaat.Untuk itu sebagai pendidik seharusnya sudah mengarahkan pembelajaran bahasa Indonesia khususnya apresiasi dongeng bermuatan pendidikan karakter untuk menjadikan peserta didik mampu berpikir kritis dan kreatif sehingga mereka dapat menghadapi berbagai tantangan dalam era globalalisasi saat ini. Pembelajaran apresiasi dongeng pada dunia modern dapat memberikan dampak positif dalam pikiran dan perasaan peserta didik, yaknimampu berfikir kritis, kreatif, inovatif, dan memiliki wawasan yang luas ketika peserta didik memahamipesan dan amanat berkaitan dengan hal-hal yang positif.Selain itu melalui karya sastra penulis dongeng juga memiliki tujuan mengajak pembaca untuk menjunjung tinggi norma-norma moral. Dengan demikian, apresiasi sastra khususnya dongeng mampu memberikan fungsi sebagai penyadar manusia akan pentingnya peran sertanya dalam kehidupan social.
SIMPULAN Mata pelajaran Bahasa Indonesia memiliki peranan penting dalam pendidikan. Begitu juga pendidik, memiliki peran penting dalam mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan, untuk itumelalui pembelajaran apresiasi dongeng berbasis nilai pendidikan karakter memberikan fasilitas untuk menjadikan peserta didik mampu berpikir kritis, logis, dan kreatif. Dalam hal ini peserta
178
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
didikdapat memprediksi pesan, nilai-nilai moral, dan karakter-karakter dalam cerita dongeng yang kemudian dengan mudah dapat dijadikan teladan bagi peserta didik untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian dapat terwujud kepribadian yang baik dan pembentukan jati diri seseoranguntuk menghadapi era globalisasi. DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, dkk. 2001. Ilmu Pendidikan. Rineka Cipta. Jakarta Aminuddin. 2004. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: C.V Sinar Baru. Anonim.2009. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Sistem Pendidikan Nasional. Bandung: Fokus Media. Diunduh dari http://www.facebook.com/notes/buku-ceritaanak/hubungan-kebiasaan-mendongengdengan-tingkat-kecerdasan-anak/ Departemen Pendidikan Nasional, 2003. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas Dola, Abdullah. 2007. Apresiasi Prosa Fiksi dan Drama. Makassar: Badan Penerbit Universitas Negeri Makassar. Hana, Jasmin. 2011. Terapi Kecerdasan Anak dengan Dongeng. Yogyakarta: Berlian Media. Kemendiknas. 2010. Pedoman Penerapan Pendidikan Karakter. Jakarta: Kemendiknas. Nurgiantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak, Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta: Gadja MadaUniversity Press. Phelan, James. 2010. Teaching Narrative as Rhetoric: The Example of Time’s Arrow. InPedagogy, Volume 10, Issue 1, Winter 2010, pp.217-228 (Article). Published by Duke UniversityPress.
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
179
FETISME BAHASA DALAM LAGU POPULER INDONESIA DAN PENGARUHNYA PADA PERILAKU REMAJA MASA KINI Asrofah, Festy K. Larasati Universitas PGRI Semarang
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai-nilai fetisme dalam lagu popular berbahasa Indonesia yang beredar dalam masyarakat dan dikonsumsi oleh remaja masa kini. Penelitian ini tidak berhenti pada meneliti nilai-nilai fetisme bahasa lagu, namun juga lebih lanjut mengamati dan menunjukkan pengaruhnya bagi remaja masa kini yang sering mengkonsumsi lagu-lagu berfetisme tersebut. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori kebahasaan. Teori Bahasa digunakan untuk menganalisis teks lagu yang berfetisme bahasa, menunjukkan bentuk fetisme bahasa dan latar belakang bahasa tersebut berfetisme. Teori lain adalah teori antropologi yang mengkaji kebudayaan manusia yang kemudian dipadu dengan teori psikologi yang memfokuskan pada proses perilaku manusia. Hasilnya kemudian dianalisis dengan menggunakan teori psikoanalisis Sigmund Freud sehingga bisa diketahui latar belakang perilaku remaja yang menyukai lagu-lagu berfetisme bahasa tersebut. Metode penelitian ini menggunakan deskriptif analisis yang mengedepankan data-data otentik untuk kemudian dianalisis. Kemudian dilanjutkan dengan metode kualitatif untuk mendapat hasil yang akurat, karena dilengkapi dengan wawancara, kuesioner, pengorganisasian data dan analisis, penguatan psikolog dan menuliskan simpulan dan rekomendasi. Hasil penelitian dapat diketahui bentuk fetisme bahasa yang terdapat pada teks lagu popular Indonesia dapat diklasifikasikan dalam dua bentuk, yaitu bentuk fetisme transparan dan fertisme terangterangan, dampaknya penguasaan kosa kata remaja yang menjadi vulgar, sampai pada hal yang sangat dikhawatirkan yaitu, perilaku seksual yang menyimpang dan di bawah umur. Kata Kunci: fetisme bahasa, antropologi perilaku, psikologi remaja
PENDAHULUAN Perubahan kurikulum yang dilakukan oleh pemerintah yang lebih mengedepankan pendidikan karakter siswa didik berdampak pada seluruh komponen pembelajaran. Penelitian ini mengedepankan pada perkembangan pola pikir dan pembentukan karakter remaja masa kini yang dipengaruhi oleh perkembangan bahasa yang terdapat pada lagu-lagu popular yang bernuansa erotis. Hal ini didukung oleh pernyataan Dr. A. Brian Primack; bahwa 1 dari 3 remaja yang senantiasa mendengarkan lagu-lagu bernuansa erotis selama kurang lebih 14 jam sehari, mereka terbukti melakukan kegiatan seksual secara aktif. Hal ini tentu saja sangat mengejutkan dan banyak yang tidak menyadari bahwa dari sebuah lagu bisa mempengaruhi perilaku remaja yang diharapkan bisa tumbuh dan berkembang dengan baik. Harapan pemerintah mendidik remaja menjadi berkarakter nampaknya akan menghadapi banyak kesulitan, karena gempuran lagu-lagu popular yang senantiasa bertumbuh serta tidak memiliki badan sensor tersendiri, sehingga butuh penanganan khusus guna mematikan ancaman degradasi moral yang senantiasa mengintip remaja kita saat ini. Fakta lain yang berbicara adalah mulai sering ditemui kasus-kasus remaja yang belum cukup umur namun sudah terjebak pada perilaku seksual yang menyimpang. Mulai dari seks bebas sampai kearah pemerkosaan. Perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh bahasa. Beranjak dari kalimat tersebut maka peneliti merasa perlu untuk menunjukkan pada pembaca bahwa ada masalah pelik yang senantiasa mengintai kita dan generasi muda kita. Masalah tersebut beranjak dari maraknya lagu-lagu Indonesia yang secara perlahan tapi pasti mulai merajai pasaran music negeri sendiri. Hal ini sesungguhnya patut dibanggakan, mengenang dulu musik Indonesia seperti anak tiri di negeri sendiri karena kalah bertarung dalam lingkup local dengan musik-musik mancanegara. Namun demikian ada hal-hal yang tanpa kita sadari memberi pengaruh buruk pada masyarakat pada umumnya dan remaja pada khususnya. Ternyata ada banyak sekali jenis musik yang memiliki teks kurang sopan yang beredar dalam masyarakat kita, dan sayangnya banyak dikonsumsi oleh
180
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
generasi muda kita. Musik-musik tersebut masuk dalam kategori lagu-lagu popular. Lagu popular itu sendiri adalah lagu-lagu yang sedang digemari oleh remaja masa kini. Banyak sekali beredar di pasaran lagu-lagu popular yang mengandung teks yang erotis. Lebih lanjut penulis menyebutnya dengan istilah fetisme bahasa. Istilah fetisme sendiri penulis pinjam untuk menunjukkan betapa bahayanya lagu-lagu ini. Fetisme memiliki makna menggunakan alat untuk kepuasan seksual. Sedangkan penulis menggunakan istilah fetisme bahasa yang maksudnya adalah menggunakan bahasa (dalam hal ini adalah bahasa lagu popular) sebagai alat untuk mencapai kebuasan seksual. Kegiatan seksual yang bisa dilakukan menggunakan bahasa adalah membayangkan sampai mengaplikasikannya dalam perilaku seksual. Hal ini tentu sangat mengerikan jika terjadi pada generaasi muda Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan bisa mengungkap aspek-aspek seksual apa saja yang muncul dalam teks lagu-lagu popular. Selanjutnya penulis akan mencari korelasi antara fetisme bahasa teks lagu dengan pola pikir remaja saat ini dan pengaruhnya dengan perilaku mereka yang semakin agresif. Tentu saja, tidak semua remaja mengalami agresifitas ini, namun dari hal tersebut akan diketahui perbedaan sikap remaja yang rutin mendengarkan lagu-lagu popular bernuansa erotis dengan remaja yang tidak mendengarkannya. Upaya yang dilakukan penulis pada dasarnya sejalan dengan konsep pendidikan karakter yang sedang gencar dilaksanakan disekolah-sekolah. Namun dalam hal ini, penulis berusaha mengungkapkan tantangan terbesar pemerintah dalam usahanya mendidik karakter generasi muda ditengah-tengah serbuan teknologi yang menggila. Berpijak pada latar belakang di atas, masalah pokok yang harus dijawab melalui penelitian ini adalah “bagaimana lagu-lagu popular Indonesia mengandung fetisme bahasa dan pengaruhnya pada perubahan pola pikir dan tingkah laku para remaja? Berdasar rumusan tersebut, maka dibuatlah sebuah rancangan penelitian guna membuktikan seberapa besar daya destruktif lagu-lagu tersebut dan akibatnya pada pola pikir dan perilaku remaja masa kini. PEMBAHASAN Bahasa Teks lagu Bahasa di bedakan menjadi dua macam, yaitu bahasa lisan dan tertulis. Salah satu bentuk bahasa tertulis adalah yang ditulis dalam sebuah lagu, yang biasa disebut sebagai lirik lagu atau pun teks lagu. Teks lagu merupakan bahasa tertulis yang paling sering dinikmati remaja saat ini. Berbagai macam bentuk teks lagu yang beredar dalam masyarakat saat ini sudah tidak bisa dibendung lagi, karena kurangnya perhatian pemerintah mengenai peredarannya. Jika kita lebih jeli melihat, lagu-lagu sekarang selayaknya dikonsumsi oleh orang-orang dewasa saja., karena semua berhubungan dengan cinta. Tidak ada lagi nuansa lagu anak-anak yang sering dinyanyikan oleh Joshua, Melisa, Tasya, Eno Lerian ataupun lagu-lagu ABG (Anak Baru Gedhe) yang sering dinyanyikan oleh Agnez Monica maupun Eza Yayang. Hampir semua lagu bertema jatuh cinta dan patah hati, baik yang dinyanyikan oleh anak-anak, remaja maupun dewasa. Hal ini tentu saja sangat mengkhawatirkan, karena di usia mereka yang masih dini, mereka harus memikirkan segala sesuatu diluar umurnya. Selain teks lagu yang bertemakan cinta, anak-anak dan remaja sekarang juga diuji dengan adanya lagu-lagu yang berlirik erotis dan tidak pantas. Lagu-lagu tersebut bahkan sempat menduduki chart tertinggi lagu-lagu Indonesia, yang menunjukkan bahwa lagu tersebut digandrungi oleh remaja Indonesia. Demikian halnya dengan yang menyanyikan lagu-lagu tersebut, menjadi sorotan dan idola remaja masa kini. Misalnya saja Keong Racun, Kesaktianku, Dosa yang Terindah, Iwak Peyek, Belah Duren dan masih banyak lagi yang lain. Dari judulnya saja, lagu-lagu tersebut di atas memunculkan persepsi yang tidak baik bagi yang membaca atau pun mendengarkan, apalagi isinya mengandung banyak nilai-nilai erotis. Bahasa dan Perilaku Menurut Gorys Keraf. Salah satu fungsi bahasa adalah sebagai alat ekspresi diri. Bahwa ekspresi diri yang sifatnya subjektif secara perlahan tapi pasti akan muncul karena pengaruh pikiran dan bahasa yang digunakan. Dan lama kelamaan akan menjadi kebiasaan dan karakter seseorang. Seperti halnya seorang preman yang senantiasa mengucapkan kalimat-kalimat yang kotor, maka secara otomatis ia pun memiliki perilaku yang kurang baik, namun terjadi sebaliknya, jika orang tersebut sering berinteraksi dengan bahasa yang halus, maka perilakunya pun cenderung PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
181
baik. Memang masih belum ada yang bisa memastikan, apakah bahasa terjadi lebih dahulu dari perilaku ataupun sebaliknya, namun sudah terlihat jelas ada kaitan erat antara keduanya. Karakteristik Remaja Remaja adalah suatu tahap perkembangan individu, dimana ia mengalami perkembangan biologis, psikologis, moral dan agama. Proses identifikasi antara anak-anak menuju dewasa juga terjadi. Bisa dikatakan bahwa remaja adalah masa transisi dari anak-anak menuju dewasa. Untuk memudahkan identifikasi, maka WHO membagi dua tahap remaja: 1) remaja awal (10-14 tahun); 2) remaja akhir (15-20 tahun). Berdasar pada pengertian di atas maka bisa disimpulkan bahwa usia remaja adalah usia seseorang yang sedang dalam masa kegalauan dan kebimbangan. Hal ini dikarenakan segala sesuatunya serba baru bagi mereka. Mulai dari perkembangan biologis yang baru, misal terjadinya menstruasi bagi perempuan dan perubahan suara pada laki-laki. Selain kedua hal tersebut, yang paling penting terjadi adalah mulai berfungsinya sistem reproduksi dalam tubuh. Selain ciri biologis, ada juga ciri psikologis yang tidak kalah pentingnya bagi remaja. Hal ini ditandai dengan adanya Mood yang berubah-ubah. Mihalyi Csikszentmihalyi dan Reed Larson (1984) dari Chicago menyatakan bahawa remaja hanya perlu waktu kurang lebih 45 menit untuk bisa menjadi “senang luar biasa” dan “sedih luar biasa”. Ciri psikologis yang lain adalah mulai menyadari akan identitas diri. Oleh karena itu proses pembentukan jati diri terjadi pada masa remaja. Selanjutnya diwarnai dengan kecenderungan menganggap mereka adalah diri yang unik, bahkan perasaan unik ini sampai membawa mereka pada tahap rasa percaya diri yang berlebihan serta merasa serba mampu, sehingga seringkali mereka berbuat tanpa memikirkan akibat yang akan ditanggungnya. HASIL ANALISIS Banyak sekali lagu-lagu yang bertemakan cinta menguasai pasaran musik Indonesia. Lagu-lagu tersebut sudah pasti belum pantas untuk dinikmati oleh anak-anak dan remaja. Lebih parah lagi, lagu-lagu yang beredar saat ini terpapar oleh lirik yang bernuansa erotis, sehingga membuat lagulagu tersebut tidak layak dikonsumsi oleh masyarakat secara umum dan remaja pada khususnya. Bisa dilihat lagu berjudul Jangan lagi Tusuk dari Belakang oleh Mahadewi, Ciuman Pertama oleh Ungu, Dosa Termanis oleh Coklat, Mari Bercinta oleh Aura Kasih, Ngidam Pentol oleh Lilik Sagita, Cinta Satu Malam oleh Melinda, Intim Berdua oleh Ada Band, Telanjang oleh Slank, dan masih banyak lagi judul yang memiliki lirik bernuansa erotis. 1. Bentuk Fetisme Bahasa dalam Lagu Populer Indonesia Satu contoh lagu yang telah dianalisis: “Lirik Lagu Belah Duren” Lirik lagu Belah Duren dipopulerkan oleh pedangdut Indonesia Julia Perez. Lirik lagu tersebut berisi kisah malam pertama yang dialami oleh dua orang anak manusia yang saling mencintai di antara keduanya. Dalam lagu tersebut, kegiatan malam pertama diidentikkan dengan bahasa “belah duren”. Istilah ‘belah duren’ ini sebenarnya sudah lama popular di kalangan masyarakat umum. Secara filosofi, bahasa duren dimaknai sebagai buah yang sangat mahal, manis, dan sangat enak untuk dinikmati. Kegiatan ‘belah duren’ yang dimaksud adalah hubungan seksual yang dilakukan oleh sepasang pengantin baru. Ekspresi fetisme bahasa yang terdapat pada teks lagu tersebut adalah sebagai berikut. Makan duren dimalam hari Paling enak dengan kekasih Dibelah bang dibelah Enak bang silahkan dibelah Lirik lagu di atas dijadikan sebagai reff atau lirik yang diulang. Hal ini dapat dimaknai sebagai bagian penting yang ditekankan oleh penciptanya, yakni deskripsi kegiatan malam pertama.Lirik pada bait reff tersebut juga dapat dimaknai ekspresi kebahagiaan sepasang kekasih. Pada teks tersebut juga disebutkan bahwa makan duren di malam hari yang bermakna bahwa kegiatan hubungan seksual layaknya dilakukan pada malam hari. Nuansa romantisme pada malam hari dinilai jauh lebih tinggi dibandingkan pada siang hari. Pada lirik selanjutya, paling enak
182
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
dengan kekasih, jelas, kegiatan seks tersebut dirasa paling enak hanya dengan orang yang paling dicintai, bukan dengan orang lain. Ajakan untuk membangkitkan hasrat penikmat lagu pun dengan gamblang ditulis pada teks dengan lirik ‘dibelah bang dibelah’. Lirik tersebut mengisyaratkan adanya ajakan untuk memulai hubungan seksual yang disampaikan oleh si wanita kepada pasangannya untuk segera melakukannya, yakni ‘membelah duren’. Ajakan tersebut bernuansa sangat merayu dan mengajak untuk segera yang ditunjukkan dengan diulangnya kata ‘dibelah’. Sebagai penguat atau penekanan ajakan yang merayu dan mengajak segera melakukan hubungan, ditunjukkan pada lirik berikutnya dengan tambahan kata ‘enak’ yang bermakna sangat sugestif yang dapat mempengaruhi pasangat untuk segera memulai hubungan seksual, ‘Enak bang silakan dibelah’. Piranti atau pelengkap kenyamanan melakukan hubungan seksusal juga ditulis oleh pengarang dengan melakukan kegiatan mengunci pintu, dan dilakukan dengan pelan-pelan. Mengunci pintu dimaksudkan agar suasana lebih aman, nyaman, dan bebas dari gangguan orang. Hanya pasangan tersebut yang berada di dalam kamar, dan tidak boleh ada orang lain yang tahu. Gambaran tersebut terlihat pada teks di bawah ini. Jangan lupa mengunci pintu Nanti ada orang yang tau Pelan-pelan dibelah Pencipta lagu juga memberikan stereotype bahwa ‘belah duren’ adalah hal lumrah di masyarakat dan disukai dan ditunggu-tunggu semua orang. Seakan ‘belah duren’ adalah sebuah keniscayaan atau keharusan yang harus dilakukan sepasang pengantin baru pada malam pertama. Bahkan, secara ekstrim si pencipta lagu menulis sampai pagi pun yo wis ben yang mengisyaratkan bahwa kegiatan malam pertama, khususnya ‘belah duren’ atau hubungan seksual sungguh sangat menyenangkan bagi psangan pengantin, sampai-sampai tak terasa pagi sudah tiba. Semua orang pasti suka belah duren Apalagi malam pengantin Sampai pagi pun yo wis ben Dikatakan pula oleh pencipta lagu bahwa ‘duren’ pada malam pertama sangat luar biasa, yang berarti kegiatan seksual pada malam pertama sangat berbeda dibandingkan pada waktu-waktu yang lain. Hal ini juga karena pada malam pertama diasumsikan seseoraang baru pertama kali melakukan hubungan seksual sehingga rasanya luar biasa, membuat pasangan tidak tahan, dan ketagihan. Yang satu ini durennya luar biasa Bisa bikin bang ga tahan Sampai-sampai ketagihan Erotisme sangat jelas diuraikan pada bahasa teks lagu ‘belah duren’. Hal ini jelas akan sangat mudah memberikan pengaruh bagi penikmat lagu, baik yang menyanyikan maupun yang mendengarkannya. Sebagai penekanan bahwa yang melakukan sudah ada ikatan dan tidak perlu ditutup-tutupi, pencipta mengulangi kalimat mempersilakan dengan senang hati yang diungkapkan oleh pihak wanita kepada pasangannya, yakni kalo abang suka tinggal belah aja. Kalo abang suka tinggal belah saja Kalo abang mau tinggal bilang saja 2. Potensi Destruktif Lagu yang Populer Indonesia yang mengandung fetisme Bahasa Melihat bentuk fetisme bahasa yang ada pada analisis bentuk fetisme di atas, kita bisa mengetahui seberapa besar bahaya yang mungkin akan menghadang generasi muda Indonesia jika peredaran lagu-lagu tersebut tidak dihentikan atau paling tidak dibatasi. Usia remaja adalah usia yang rentan akan pengaruh buruk yang beredar luas dalam masyarakat. Pada masa ini, remaja mulai mencari jati dirinya. Mereka menjadi lebih banyak mencari tahu segala hal yang berkaitan dengan dirinya dan lingkungannya, sehingga mereka akan membuka pikiran untuk menerima segala macam pengaruh yang ada dalam masyarakat tanpa pikir panjang. Bagi mereka yang memiliki bekal agama dan norma yang baik dari keluarga, mereka akan bisa memilih hal-hal yang baik bagi dirinya dan membuang jauh hal-hal yang tidak sesuai dengan dirinya.
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
183
Di sisi lain, remaja dan lagu sepertinya tidak bisa dipisahkan. Berdasar pada hasil kuesioner yang telah diisi oleh kurang lebih 500 remaja yang ada di SMP dan SMA Kota Semarang, ditemukan bahwa sejumlah 95% remaja senang mendengarkan musik. Dari hal ini bisa disimpulkan bahwa lagu menjadi pilihan remaja untuk menjadi teman hidupnya. Lagu yang menurut Hamdju (1980) adalah sebuah ekspresi yang berasal dari dasar hati manusia yang dikemukakan secara teratur dalam bentuk bahasa bunyi. Lebih dalam lagi, Zeigler (1982) berpendapat bahwa lagu merupakan sebuah bentuk penyampaian informasi serta perasaan. Sehingga dari dua pendapat tersebut bisa disimpulkan bahwa lagu adalah bentuk ekspresi perasaan hati yang bertujuan menyampaikan informasi serta perasaan. Oleh karena lagu memiliki tujuan menyampaikan informasi dan perasaan tentu saja bisa menyentuh emosi bagi yang mendengarkan. Melalui lagu ini, remaja dengan tidak mereka sadari berpartisipasi aktif dan megembangkan sensibilitasnya. Begitu eratnya hubungan antara lagu dan remaja, sehingga jika peredaran lagu yang ada tidak sesuai dengan norma sosial dan agama dalam masyarakat, maka akan membahayakan remaja yang mendengarkan. Intensitas remaja mendengarkan lagu dengan kegiatan lain jauh lebih besar, oleh karena itu jika mereka mendengarkan lagu-lagu yang bernuansa fetisme maka dikhawatirkan akan mempengaruhi pola pikir dan tingkah lagunya. Sebenarnya perilaku remaja bisa dipengaruhi oleh dua faktor. Yang pertama adalah faktor internal dan yang kedua adalah faktor eksternal. Faktor internal yaitu potensi yang sebenarnya sudah ada dalam diri remaja tersebut. Hal ini biasanya di pengaruhi oleh genetis dan keluarga, karena menurut Jusuf (Maryana, 2006:19) yang termasuk dalam faktor internal adalah self esteem dan intelligence. Sedangkan dua hal ini biasanya bawaan dari keluarga. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari lingkungannya. Hal ini dipengaruhi oleh seberapa banyak pengalaman hidupnya. Faktor eksternal ini mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan perilaku remaja. Dari sini, remaja mengembangkan konsep dirinya. Oleh karena itu, jika dia bertumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang tidak sehat, seperti seringnya mereka terpapar lagu-lagu yang bernuansa fetisme atau erotis, tentu saja akan berpengaruh pada pola pikir dan tingkah lagu dirinya. Beranjak dari penguasaan kosa kata remaja yang menjadi vulgar, sampai pada hal yang sangat dikhawatirkan yaitu, perilaku seksual yang menyimpang dan di bawah umur. 3. Pengaruh Fetisme Bahasa pada Lagu Populer terhadap Pola Pikir Remaja Tabel 1. Tanggapan Remaja terhadap Lagu Populer 1 NO Unsur Persentse 1 Kemenarikan tehadap lagu 59,2% 2 Kepemahaman terhadap lirik lagu 73,6% 3 Lirik erotisme pada lagu popular 85,6% 4 Ketabuan lagu popular 82,4% 5 Kepopuleran lagu ditengah masyarakat 92% 6 Keterpengaruhan lagu terhadap pola pikir pendengar 88%
No 1 2 3 4 5 6 7 8
184
Tabel 2. Tanggapan Remaja terhadap Lagu Populer 2 Unsur lagu populer sering didengar oleh remaja lagu populer mudah dijumpai di masyarakat lagu populer laris di pasaran lagu populer sangat disukai masyarakat lagu populer boleh diperdengarkan oleh remaja lagu populer memberikan efek bg pendengarnya lagu populer berpotensi negatif bagi pendengarnya lagu tsb termasuk jenis lagu pornografi
ya tidak 100% 100% 92% 8% 92% 8% 20% 80% 100% 96% 4% 96% 4%
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
Tabel 3. Korelasi Mendengarkan Lagu dengan Pola Pikir dan Perilaku No 1 2 3 4 5
Unsur Mendengarkan lagu populer dapat menumbuhkan semangat beraktivitas ketika mendengar lagu populer, pendengar akan membayangkan peristiwa yg ada dalam lagu tsb. jika didengarkan terus- menerus akan mempengruhi perilaku remaja Pendengar lagu terbawa emosi saat mendengarkan lagu Ada keinginan untuk melakukan apa yang dilantunkan dalam lagu yang didengar
Ya 70%
Tidak 30%
96% 96% 100%
4% 4%
85%
15%
SIMPULAN Berdasarkan penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa fetisme bahasa ditemukan dalam sepuluh lagu popular yang menjadi data penelitian. Fetisme bahasa tersebut dapat diekspresikan dalam dua bentuk, yaitu dengan cara transparan dan terang-terangan. Saran yang dapat direkomendasikan adalah perlu penelitian lebih lanjut kaitan fetisme bahasa dengan perilaku khususnya remaja masa kini sehingga dapat diungkap bagaimana pola pikir dan perilaku para remaja dengan beredarnya lagu-lagu popular masa kini. Tentunya, arahan selanjutnya hasil penelitian dapat member rekomendasi kepada pihak depdiknas untuk memberi kebijakan berkaitan dengan arah pendidikan. DAFTAR PUSTAKA Akhmadi, Mukhsin. 1990. Strategi Belajar-Mengajar Keterampilan Berbahasa dan Apresiasi Sastra. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh Malang (YA3 Malang). Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Barker, Chris. 2004. Cultural Studies: teori dan Praktik. Yogyakarta: Kreasi Wacana Damono, Cipta.Sapardi Djoko. 2003. Sosiologi Sastra. Semarang. Magister Ilmu Susastra. Endraswara, Suwandi. 1983. Metodologi Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama. Fatoni, Abdurrahmat. 2005. Antropologi Sosial Budaya Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta. Gall, Meredith D., Joyce P, Gall, dan Walter R Borg. 2003. Education Recearch An Introduction. New York: Pearson Education. Haviland, William A. 1993. Antropologi. Jakarta: Penerbit Erlangga. Jabrohim (Ed). 2001. Metodologi Penelitian Sastra.Yogyakarta: Hanindita Kartadinata, Sunaryo. 2010. Mencari Bentuk Karakter Bangsa. Artikel Internet diunduh 13 Februari 2010. Koentjaraningrat.2000. pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta. Rineka Cipta. Keraf, Gorys. 2001. Dikisi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Moleong, Lexy J. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya. Miles, Mathew B. dan A. Michael Huberman. 1988. Qualitative Data Analysis. Terjemahan Tjejep Rohendi Rohidi. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: Universitas Indonesia. Ramelan. 1978. ”Penguasaan dan Keterampilan Berbahasa”. Lembaran Ilmu Pengetahuan VII.2:22. Semarang IKIP Semarang Press. Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Subana dan Sunarti. Tth. Strategi Belajar Mengajar Bahasa Indonesia: Berbagai Pendekatan, Metode, Teknik, dan Media Pengajaran. Bandung: Pustaka Setia. Sutrisno, Mudji. 2005. Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. Tampubolon, Daulat P. 2001. “Peran Bahasa dalam Memajukan Bangsa”. Jurnal Ilmiah Masyarakat Linguistik Indonesia XIX. Jakarta: Pusat Kajian Bahasa dan Budaya
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
185
MEMAKSIMALKAN PERAN PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIASEBAGAI PIRANTIPEMBENTUKAN KARAKTER LULUSAN DALAM MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA) Budhi Setiawan Universitas Sebelas Maret Surakarta
[email protected] Abstrak Diberlakukannya Masyarakat Ekonomi Asean(MEA) sejak 2015, menuntut dunia pendidikan untuk mempersiapkanlulusannya secara berkualitas dengan berbagaikompetensi sesuai dengan bidang profesi dan keahliannya. Pada era MEA tersebut diperkirakan, masing-masing bangsa akan berkompetisi secara ketat agar mampu menjadi bangsa unggul secara kualitas, dan kuantitas dalam semua produknya, baik pada sektorekonomi,budaya, maupunilmu pengetahuan, dan teknologi (IPTEK). Haruslah disadari, bangsa unggul, bukan lagi diukur melalui kekayaan alam yang dimiliki, melainkan pada keunggulan sumber daya manusia (SDM), dalam hal inilulusanyang mampu menjawab berbagai tantangan ke depan secara cepat pada iklim kompetisi yang sangat ketat.Untuk menghasilkanprofil lulusan yang demikian, paling tidak diperlukan suatu model pendidikan yang secara efektif agar mampu menghasilkan lulusan yang sesuai dengan karakteristik yang diharapkan. Demikian juga dengan pembelajaran bahasa Indonesia, haruslah mampu mempersiapkanlulusan secara berkualitas dan unggul pada era MEA tersebut. Lulusan yang siap menghadapi MEA, haruslah mereka yang memiliki: (1)penguasaan IPTEK yang mendalam (content); (2)kemampuan berkomunikasi antarsesama dengan baik (communication); (3) tingkat kognisi atau kecerdasan yang andal (cognition); dan (4) pencirian budaya nasionalnya (culture). Empat hal tersebut dapat diwujudkan melalui pembentukan karakter pada setiap mata pelajaran, termasuk mata pelajaran bahasa Indonesia, yaitu dengan memaksimalkan peran pembelajaran bahasa Indonesia sebagai piranti pembentuk karakter peserta didik (lulusan). Hal ini penting dipahami, karena bangsa yang maju, tidak semata-semata karena IPTEK nya yang canggih, dan kekayaan alam yang melimpah ruah, tetapi justru bagaimana karakter-karakter yang terbentuk pada diri peserta didik (lulusan) melalui pembelajaran yang diikutinya. Kata kunci: pembelajaran bahasa Indonesia, pembentukan karakter, lulusan (peserta didik), MEA
Abstract The effectuation of ASEAN Economic Community as of 2015 has demanded education institution to prepare qualified graduates equipped with various competencies according to their own fields of professionalism and expertise. In the ASEAN Economic Community era, each nation is predicted to tightly compete as to be a qualitatively and quantitatively prominent nation in its products either in the economic sector, in the cultural sector, or in the scientific and technological sector. It is necessary to be aware that the excellence or superiority of a nation is measured not only on the natural resources owned but also on the excellence of its human resources, in this case, namely: graduates of education institutions who are capable of encountering and dealing with all the future challenges promptly amid the very tight competition. To produce graduates with such profiles, at least a certain model of education is required, namely: the education model which is effectively able produce graduates bearing the expected characteristics. Similarly, the Indonesian language education shall be able to prepare learners with quality and excellence in the ASEAN Economic Community era. The learners (graduates) who are well-prepared to encounter ASEAN Economic Community shall bear the following: (1) in-depth mastery of science and technology (content); (2) good communication ability between the people; (3) high cognition or reliable intelligence; and (4) the characterization of national culture. The four aspects can be materialized through character building on every subject matter including Indonesian Language education by maximizing the role of Indonesian Language education as a domain or vehicle for the character building. It is very important to be understood because a developed nation is not merely indicated by its sophisticated science and technology, and abundant natural resources, but how the characters of learners are precisely created through the learning process they follow. Keywords: Indonesian Language Education, the character building, learners,
186
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
ASEANEconomic Community
PENDAHULUAN Sebagaimana telah dipaparkan pada abstrak makalah ini, keunggulan suatu bangsa tidak hanya diparameteri oleh canggihnya IPTEK yang dikuasai, dan melimpahruahnya kekayaan alam yang dimiliki suatu bangsa, tetapi perlu juga dilihat bagaimana karakter-karakter yang ada pada diri manusia itu terbentuk. Akhir-akhir ini, di Indonesia, baik melalui media cetak, seperti surat kabar, majalah, maupun media elektronik, seperti siaran televisi, radio, dan sosmed melalui internet, diberitakan fenomena sosial yang cukup mencengangkan dan mencoreng dunia pendidikan kita, dengan terdedahkannya kasus seks bebas, video porno, dan tawuran pelajar.Simak kasus-kasus berikut. Pada awal Oktober lalu, masyarakat dihebohkan dengan munculnya kasus video porno siswa SMP Negeri 4 Jakarta Pusat. Video berdurasi empat menit tersebut menampilkan adegan mesum sepasang pelajar yang dilakukan di dalam ruang kelas dan disaksikan teman-teman pelaku. Pada Rabu 6 November, Polresta Semarang melakukan razia di sebuah warnet yang terletak di Jalan Woltermongonsidi, Semarang.Razia dilakukan karena adaya laporan masyarakat yang diduga warnet tersebut dijadikan tempat mesum. Alhasil, masyarakat dibuat tercengang dengan ditangkapnya tiga pasang remaja berbugil ria sedang asyik menonton situs porno di tiga ruangan yang disekat-sekat. Kasus-kasus seks bebas pelajar sebelumnya juga pernah terungkap pada 19 Oktober, Polres Kota Tobelo, Halmahera Utara (Halut) menangkap empat remaja yang sedang membuat video mesum di salah satu rumah kost di kawasan Desa MKCM Tobelo.Lebih memiriskan lagi para remaja yang membuat film layak sensor itu, ternyata masih tercatat sebagai siswa-siswi sebuah SMP ternama di Kota Tobelo. Pada 23 September, sepasang pelajar kepergok mesum dengan teman wanitanya yang masih berpakaian seragam sekolah di sebuah bilik warung internet (warnet).Dua pelajar yang tertangkap basah sedang bermesraan tersebut, merupakan siswa salah satu SMA yang ada di Kabupaten Situbondo, Jawa Timur (Jatim). Dua kelompok pelajar SMP terlibat tawuran di Jalan Pluit Raya Selatan, Penjaringan, Jakarta Utara. Seorang pelajar berhasil ditangkap warga yang resah dengan ulah para pelajar. Tiga pelajar yang berasal dari sekolah yang berbeda diamankan aparat Polsek Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Penangkapan 3 remaja itu menyusul aksi penyerangan terhadap bus Metromini S-75 jurusan Blok M-Pasar Minggu yang berisi beberapa pelajar. Kondisi seperti yang digambarkan pada kasus-kasus di atas, menimbulkan kecurigaan masyarakat terhadap kegagalan pendidikan kita. Selama ini, pendidikan dan pembelajaran yang diselenggarakan di sekolah-sekolah,lebih mengutamakan porsi yang berlebih pada penanaman aspek-aspek pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skills)semata, daripada porsi penanaman bagaimana kemampuan mengelola diri dan orang lain(soft skills).Padahal jika disadari, bahwa kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik (lulusan) sangat penting untuk ditingkatkan. Salah satu upayauntuk mengurangi berbagai masalah di atas adalah dengan membenahi karakter anak bangsa. Jika masyarakat memiliki karakter yang kuat, maka berbagai tindakan amoral sebagaimana diungkap di atas dapat dihindari. Hal ini dapat dilakukan dengan memasukkan pendidikan karakter di dalam keluarga, masyarakat, dan di sekolah pada khususnya. Salah satu cara untuk membentuk lulusan (siswa) berkarakter di lingkungan sekolah yakni melaluiperan pembelajaran bahasa Indonesia yang dimaksimalkan. Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan dalam tulisan ini ditekankan pada upayaupaya apa sajakah yang dapat dilakukan melalui pembelajaran bahasa Indonesia sebagai piranti pembentukan karakter lulusan (peserta didik) untuk menghadapi MEA. Mengacu pada permasalahan tersebut, tulisan ini bertujuan untuk memberikan masukan bagi pendidik (guru), sekolah, institusi-institusi lain, dan sumbangsih terhadap khalayak umum khususnya dunia pendidikan bahwasanya melalui pembelajaran bahasaIndonesia bisa dijadikan piranti untuk menyampaikan pendidikan karakter kepada lulusan (peserta didik).
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
187
PEMBAHASAN Sebelum membahas lebih lanjut permasalahan tersebut, berikut ini secara berturut-turut perlu diuraikan beberapa konsep yang berkenaan dengan (1) pendidikan karakter, (2) peran pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, (3) penguatan karakter lulusan(peserta didik) dalam menghadapi MEA Pendidikan Karakter Terdapat banyak definisi atau batasan tentang karakter yang dikemukakan oleh beberapa pakar. Karakter adalah bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak. Adapun berkarakter adalah ber-kepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak (Depdikbud, 2015). Hal ini sejalan dengan pendapat Majid & Andayani (2011: 11), karakter diartikan sebagai tabiat, watak, sifat-sifat kejiwaan, akhlak dan budi pekerti yang membedakan seseorang dengan orang lain. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan yang Mahaesa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat (Tobroni, 2014).Menurut Simon Philips seperti dikutip Muslich (2011: 70), karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem yang melandasi pemikiran, sikap dan perilaku yang ditampilkan seseorang.Sementara itu, Hermawan Kertajaya (dalam Majid & Andayani, 2011: 11) mendefinisikan karakter sebagai “ciri khas” yang dimiliki oleh suatu individu. Ciri khas tersebut adalah asli, dalam artian tabiat atau watak asli yang mengakar pada kepribadian individu tersebut, dan merupakan mesin pendorong bagaimana seseorang bertindak, bersikap, berujar, serta merespon sesuatu (Gunawan, 2012: 2). Jika beberapa batasan di atas dikaitkan dengan pendidikan, maka dapat disintesiskan bahwa pada hakikatnya pendidikan karakter adalah proses pemberian tuntunan kepada peserta didik untuk menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi pikir, hati, raga, serta rasa dan karsa. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan moral, pendidikan budi pekerti, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk dapat memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati, sehingga akan terbentuklah lulusan (peserta didik) yang diberi tuntunan tersebut sebagai individu yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Mahaesa, berakhlak mulia, berilmu, cakap, sehat, mandiri, kreatif, demokratis, dan bertanggung jawab. Menurut Megawangi (2003), kualitas karakter manusia meliputi sembilan pilar, yaitu (1) Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; (2) Tanggung jawab, Disiplin dan Mandiri; (3) Jujur/amanah dan Arif; (4) Hormat dan Santun; (5) Dermawan, Suka menolong, dan Gotongroyong; (6) Percaya diri, Kreatif dan Pekerja keras; (7) Kepemimpinan dan adil; (8) Baik dan rendah hati; (9) Toleran, cinta damai dan kesatuan. Orang yang memiliki karakter baik adalah orang yang memiliki kesembilan pilar karakter tersebut. Sebagai pelaku dalam proses pendidikan di sekolah, guru berperan penting dalam menumbuhkan karakter lulusan (peserta didik). Oleh karenanya,dia dituntut terus untuk melakukan perbaikan, dan meningkatkan kualitas dirinya dalam mendidik dan membangun karakter peserta didiknya. Beberapa upaya yang bisa mereka lakukan adalah dengan meningkatkan keteladanan dan pembiasaan disiplin pendidik, serta penciptaan suasana belajar yang kondusif. Peran Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Di dunia pendidikan, khususnya di sekolah-sekolah, pendidikan karakter dapat dijalankan manakala kurikulum yang berwawasan karakter tersedia di dalamnya. Jika dicermati, Kurikulum 2013 (Kurtilas) yang berlaku di pendidikan dasar dan menengah, serta Kurikulum Pendidikan Tinggi (KPT) berbasis Standar Kompetensi Lulusan (lihat Permenristekdikti No. 44 Tahun 2015) yang berlaku untuk perguruan tinggi, secara tersurat pendidikan karakter telah dirumuskan melalui standar kompetensi atau capaian pembelajaran yang berada pada aspek sikap. Setiap mata pelajaran ataupun mata kuliah, standar kompetensi atau capaian pembelajaran harus dirumuskan ke dalam tiga ranah, yaitu ranah sikap, ranah pengetahuan, dan ranah keterampilan. Demikian juga dengan mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
Tujuan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, pada hakikatnya adalah agar peserta didik (lulusan): (1) memiliki sikap positif terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional
188
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
maupun bahasa Negara; (2) memiliki pengetahuan dan pemahaman yang memadai tentang bahasa Indonesia, baik sebaik bahasa Nasional maupun bahasa Negara; (3) memiliki keterampilan menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi secara lisan maupun tulisan dengan baik dan benar; dan (4) memiliki kemampuan mengapresiasi yang baik terhadap hasil karya sastra Indonesia. Dalam kaitannya dengan pendidikan karakter, Waluyo (1989: 21) mengutip pendapatnya Moody dalam bukunya The Teaching of Literature dikemukakan bahwa ada lima hal yang dapat diperoleh dari belajar sastra, yaitu (1) untuk memupuk keterampilan berbahasa; (2) untuk melatih kepekaan dan keindahan; (3) untuk mampu menghayati tema-tema kemanusiaan, moral, budi pekerti yang luhur (atau dengan kata lain kemampuan membedakan baik buruk); (4) untuk memahami watak sesama manusia, perbedaan antara yang satu dengan yang lain sehingga melatih solidaritas; dan (5) untuk melatih kepekaan sosial dalam arti memahami penderitaan orang lain. Muatan nilai-nilai edukatif yang tersirat dari karya sastra pada umumnya adalah nilai-nilai religius, nilai moral, nilai sosial, dan nilai etika, serta nilai estetika. Dalam konteks pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, guru dapat menanamkan nilai-nilai edukatif tersebut melalui apresiasi karya sastra. Dalam proses pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, guru harus menyampaikan hal-hal tersebut agar peserta didik (lulusan) dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, yang pada akhirnya dapat melakukan hal yang baik, dan meninggalkan hal yang buruk. Namun, sebelum guru/pendidik memerintahkan kepada peserta didik untuk melakukan suatu hal yang baik, dia sendiri harus berkarakter baik. Untuk itu, melalui kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial yang dituntutkannya, guru/pendidik harus selalu meningkatkan kualitasnya dalam membangun karakter. Upaya ini dapat dilakukan dengan peningkatan keteladanan dan pembiasaan disiplin pendidik, serta penciptaan suasana belajar yang kondusif (Hidayatullah, 2010) Keteladanan dalam pendidikan merupakan pendekatan atau metode yang sangat berpengaruh dan terbukti paling berhasil dalam mempersiapkan, membentuk, dan mengembangkan karakterpeserta didik. Sebagai contoh jika guru memiliki kebiasaan membaca, biasanya akan memberikan inspirasi kepada peserta didiknya untuk ikut membaca. Demikian juga untuk hal-hal baik lain yang diteladankan guru kepada peserta didik akan ikut memberikan inspirasi untuk melakukan sesuatu. Jadi, dapat disimpulkan bahwa keteladanan memberi kontribusi besar dalam mendidik karakter. Kedisiplinan pada hakikatnya adalah kebiasaan dan kesadaran untuk melakukan sesuatu hal sesuai aturan yang berlaku dalam lingkungan tertentu. Bilamana guru/pendidik selalu disiplin, maka peserta didik akan segan kepadanya, yang pada akhirnya mereka akan terbiasa untuk berdisiplin. Suasana belajar yang kondusif. Semua guru harus memiliki sikap peduli dalam membentuk karakter peserta didik. Oleh karena itu, guru harus memiliki sikap proaktif dalam mendidik karakter peserta didiknya. Selain faktor keluarga dan sekolah, lingkungan masyarakat juga berperan penting dalam pembentukan karakter. Lingkungan masyarakat yang beriklim belajar kondusif, akan membuat peserta didik termotivasi untuk mengikuti kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat, begitu juga sebaliknya. Penguatan Karakter Peserta Didik(Lulusan) dalam Menghadapi MEA Era MEA yang telah dicanangkan pada Desember 2015 yang silam, mau tidak mau, siap ataupun tidak siap, masyarakat Indonesia dituntut untuk memiliki mental dan karakter yang kuat dan luar biasa. Mengapa demikian? Karena di era MEA tersebut, masyarakat Indonesia, akan bertarung, bersaing, atau berkompetisi dengan negara-negara di luar Indonesia, khususnya negara-negara ASEAN. Salah satu upaya yang dapat ditempuh dalam menyiapkan masyarakat Indonesia yang bermental dan berkarakter kuat dan luar biasa bisa melalui jalur pendidikan.
Pendidikan merupakan usaha sadar dalam mewariskan nilai-nilai luhur bangsa kepada generasi penerus, sehingga diharapkan tercipta anak-anak bangsa yang unggul berintelektual tinggi, berkepribadian kuat, dan beridentitas nasional dengan tetap memegang teguh pada budaya sendiri sebagai lambang jati diri bangsa. Pendidikan dan pembentukan karakter sesuai dengan yang tercantum dalam fungsi dan tujuan pendidikan nasional. Oleh karena itu, dunia pendidikan harus merespon dengan tepat agar dapat menyiapkan SDM yang berkualitas. Dengan penguatan karakter pada peserta didik atau lulusan diharapkan mampu menciptakan generasi-generasi penerus bangsa yang siap bersaing pada era MEA. PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
189
Karakter merupakan aktualisasi dari soft skill seseorang. Ia merupakan cara berpikir, bersikap, dan berperilaku yang merupakan ciri khas dari seseorang dan bekerjasama dengan orang lain dan mampu bertanggungjawab dengan apa yang menjadi keputusannya. Soft skill pada peserta didik (lulusan) dapat dibangun dan dikembangkan. Oleh karena itu, pengembangan soft skill melalui berbagai pelatihan tidak jauh berbeda dengan apa yang sekarang dikenal dengan pengembangan karakter bangsa. Jadi, konsep soft skill maksudnya tidak lain adalah karakter(Marzuki, 2012). Lulusan atau peserta didik yang memiliki soft skill akan lebih siap dalam menghadapi persaingan dalam era MEA. Menurut Illah Sailah (2007), bahwa pendidikan di Indonesia muatan soft skills hanya 10 % sedangkan hard skills 90 %, begitu juga Menurut penelitian di Harvard University Amerika Serikat ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skills) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skills), Penelitian ini mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 % oleh hard skills dan sisanya 80 % oleh soft skills. Elfindri, dkk. (2011:68) menyatakan hasil penelitian psikologi sosial menunjukkan bahwa orang yang sukses di dunia ditentukan oleh peranan ilmu sebesar 18%, sisanya 82% dijelaskan oleh keterampilan emosional soft skills dan jenisnya. Suatu program studi dinyatakan baik oleh perguruan tinggi, jika lulusannya memiliki waktu tunggu yang singkat untuk mendapatkan pekerjaan pertama, namun dunia kerja mengatakan bukan itu, melainkan seberapa tangguh seorang lulusan untuk memiliki komitmen atas perjanjian yang telah dibuatnya pada pekerjaan pertama. Oleh karena itu, setiap kelulusan Perguruan Tinggi harus dibekali dengan pembangunan karakter yang terintegrasi pada proses kegiatan perkuliahan. Sesuai dengan Fungsi Pendidikan Nasional yang tertuang dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas menyatakan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Hal tersebut menegaskan bahwa tujuan pendidikan bukan hanya sekedar pengajaran ilmu, tetapi juga bertujuan membina dan mengembangkan potensi subjek didik menjadi manusia yang berbudaya, sehingga diharapkan mampu memenuhi tugasnya sebagai manusia yang diciptakan Allah Tuhan Semesta Alam dan sekaligus menjadi warga negara yang berarti dan bermanfaat bagi suatu Negara. Thomas Lictona dalam Rukiyati (2014) mengatakan bahwa pendidikan karakter adalah upaya mengembangkan kebajikan sebagai fondasi dari kehidupan yang berguna, bermakna, produktif dan fondasi untuk masyarakat yang adil, penuh belas kasih dan maju. Karakter yang baik meliputi tiga komponen utama, yaitu: moral knowing, moral feeling, moral action. Moral knowing meliputi: sadar moral, mengenal nilai-nilai moral, perspektif, penalaran moral, pembuatan keputusan dan pengetahuan tentang diri. Moral feeling meliputi: kesadaran hati nurani, harga diri, empati, mencintai kebaikan, kontrol diri dan rendah hati. Moral action meliputi kompetensi, kehendak baik dan kebiasaan Pendidikan karakter penting diajarkan untuk menjadi manusia yang cerdas, jujur, tangguh, dan peduli. Keempat hal tersebut beralasan untuk menjadi kunci sukses. Apabila mempunyai kecerdasan maka akan bisa memilah mana yang baik dan salah. Kecerdasan, harus diimbangi dengan kejujuran untuk mendapatkan kepercayaan orang lain, sedangkan tangguh diperlukan karena yang bermain dalam MEA 2015 bukan hanya masyarakat Indonesia tapi juga negara lain di ASEAN. Sikap peduli tidak kalah pentingnya dengan ketiga hal tadi, karena dengan sikap peduli dengan orang lain, maka akan mudah untuk menjaga hubungan baik dengan yang lain. PENUTUP Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, dapat dijadikan salah satu wahanadalam pembentukan dan penyampaian pendidikan karakter kepada peserta didik, dan penanaman nilai-nilai yang baik. Sebagai salah satu wahana atau metode dalam pembentukan dan pendidikan karakter, pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia yang berwawasan karakter akan menghantarkan proses pendidikan menuju yang lebih baik di tengah kondisi bangsa yang mengalami kebangkrutan moral, maraknya tindak kekerasan, pelecehan seksual, dan kriminal yang tengah menjalar dan menjangkiti bangsa ini. Pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia mampu dijadikan sebagai media atau strategi dalam
190
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
menanamkan nilai-nilai moral kebajikan kepadapeserta didik, seperti kejujuran, pengorbanan, demokrasi, santun dan sebagainya. Berbagai upaya yang dapat dilakukan pendidik melalui pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia untuk menanamkan karakter peserta didik dapat dilakukan melalui bahan kajian keterampilan berbahasa, santun berbahasa, apresiasi puisi, lagu, cerpen, novel, drama, dan cerita rakyat. Melalui upaya yang serius, dan ditangan guru-guru atau pendidik yang berkarakter kuat dan cerdas, Insya Allah karakter bangsa ini bisa dibenahi. DAFTAR PUSTAKA Depdikbud. (1995). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Elfindri, dkk. (2011). Soft Skills untuk Pendidik. Yogyakarta: Praninta Offset Gunawan, Heri. (2012).Pendidikan Karakter Konsep dan Impementasi. Bandung: Alfabeta. Hidayatullah, Furqon. (2010). Pendidikan Karakter: Membangun Peradaban Bangsa. Surakarta: Yuma Pustaka. Majid, Abdul & Andayani, Dian. (2011) Pendidikan Karakter Perspektif Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya. Marzuki . (2012). “Pengembangan Soft Skill Berbasis Karakter Melalui Pembelajaran IPS Sekolah Dasar”. Makalah Seminar Nasional di IKIP PGRI Madiun. Megawangi, Ratna. (2003). Pendidikan Karakter untuk Membangun Masyarakat Madani. IPPK Indonesia Heritage Foundation. Muslich, Masnur. (2011). Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara. Rukiyati, Y. Ch dkk. (2014). “Penanaman Nilai Karakter Tanggung Jawab dan Kerja Sama Terintegrasi dalam Perkuliahan Ilmu Pendidikan” Jurnal Pendidikan Karakter, Tahun IV, Nomor 2, Juni 2014. Sailah, Illah. (2007). Pengembangan Soft Skills di Perguruan Tinggi, Sosialisasi Pengembangan Soft Skills di Kopertis VII Surabaya Tobroni. (2014). Pendidikan Karakter dalam Perspektif (http://tobroni.staff.umm.ac.id/2010/11/24/pendidikan-karakter-dalam-perspektifislampendahulan/. Diunduh pada 19 Oktober 2014.
Islam.
Waluyo, Herman Josep. (1989). Apresiasi dan Pengajaran Sastra. Surakarta: Sebelas Maret University Press.
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
191
MENGIMPLEMENTASIKAN PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN MENYIMAK UNTUK MENINGKATKAN DAYA SAING MAHASISWA DI TENGAH PERGAULAN GLOBAL Deby Luriawati N Fakultas Bahasa Seni, Universitas Negeri Semarang Abstrak Pokok masalah yang diajukan dalam artikel ini adalah mengimplementasikan pendidikan karakter dalam pembelajaran menyimak untuk meningkatkan daya saing mahasiswa di tengah pergaulan global.Hal ini perlu diimplementasikan karena pendidikan karakter itu dapat diterapkandalam pembelajaran keterampilan menyimak. Proses pembelajaran inilah yang dapat meningkatkan daya saing mahasiswa di tengah pergaulan global. Dalam pembelajaran keterampilan menyimak, mahasiswa didik untuk dapat berkarakter dengan baik.Perlunya penggunaan model pembelajaran menjadi salah satu kunci suksesnya untuk mengimplementasikan pembelajaran ini.Model lingkungan belajar konstruktif memberi alternatif pilihan pada mahasiswa untuk membangun konsep berpikirnya dengan bebas dan dapat dipertanggung jawabkan.Hal ini selaras dengan konsep pendidikan karakter dalam pembelajaarn menyimak untuk meningkatkan daya saing mahasiswa di tengah pergaulan global.Untuk itu, implemtasi materi pendidikan karakter dalam pembelajaran menyimak diperlukan untuk meningkatkan daya saing mahasiswa di tengah pergaulan global. Kata Kunci: pendidikan karakter, materi, pembelajaran menyimak, dan model pembelajaran
PENDAHULUAN Pembelajaran dirasakan memiliki makna apabila secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan pengalaman lingkungan yang dialami oleh mahasiswa itu sendiri. Oleh karena itu, setiap dosen harus memiliki bekal wawasan yang cukup luas, sehingga dengan wawasannya itu selalu dengan mudah memberikan ilustrasi, menggunakan sumber belajar, dan media pembelajaran yang dapat merangsang mahasiswa untuk aktif mencari dan melakukan serta menemukan sendiri kaitan antara konsep yang dipelajari dengan pemahamannya (Rusman 2010:194). Dengan cara itu, pengalaman belajar mahasiswa memfasilitasi kemampuannya untuk melakukan transformasi terhadap pemecahan masalah lain yang memiliki sifat keterkaitan, meskipun terjadi pada ruang dan waktu yang berbeda. Model pembelajaran dapat dijadikan pola pilihan, artinya para pengajar/ dosen boleh memilih model pembelajaran yang sesuai dan efisien untuk mencapai tujuan pendidikannya. Model pembelajaran merupakan suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang lain. Pengetahuan merujuk pada pengalaman seseorang akan dunia. Tanpa pengalaman, seseorang tidak dapat membentuk pengetahuan.Pengetahuan dibentuk sewaktu berinteraksi dengan lingkungannnya.Lingkungan merujuk pada semua objek dan proposisinya yang diabstraksikan dari pengalaman dalam diri sendiri.Lingkungan juga merujuk pada hal-hal yang berada pada di sekeliling (Glasersfeld, 1989).Lingkungan, baik yang berada di dalam diri sendiri maupun hal-hal di sekeliling merupakan lingkup dari pengalaman masing-masing, bukan dunia objektif yang lepas dari pengamat. Model lingkungan konstruktif menekankan pada pemaknaan personal sehingga siswa dapat menghubungkan gagasannya dengan pengalaman yang ada (Jonnasen 1999: 236). Pemaknaan personal ini dilakukan dengan cara mencari gagasan-gagasan baru yang dihubungkan dengan pengalaman yang ada sehingga dapat dijadikan sebagai pembelajaran yang utama. Langkah – langkah model pembelajaran tersebut, yaitu adanya pertanyaan/ kasus/ masalah, mengaitkan kasus dengan pengalaman, sumber informasi, alat kognitif (rancangan pengetahuan), alat percakapan dan kolaborasi, dan dukungan sosial/ kontekstual.
192
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
Kegiatan perkuliahan merupakan kegiatan yang aktif, karena mahasiswa membangun sendiri pengetahuannya. Mahasiswa mencari arti sendiri yang mereka pelajari, ini merupakan proses menyesuaikan konsep-konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berpikir yang telah ada dalam pikiran mereka. Dalam hal ini mahasiswa membentuk pengetahuan mereka sendiri dan dosen membantu sebagai mediator dalam proses pembentukan. Penyelenggaraan pendidikan berusaha mengajarkan pendidikan karakter pada peserta didik. Tentunya pendidikan karakter tidak disajikan dalam bentuk mata pelajaran tersendiri dengan nama pendidikan karakter tetapi melalui materi yang memuat pendidikan karakter dengan harapan peserta didik dapat mengetahui dan menerapkan. Pada dasarnya karakter manusia ada dua macam yaitu karakter positif dan negatif. Karakter seseorang dapat berubah karena beberapa faktor di antaranya karena faktor lingkungan. Lingkungan sekitar anak atau peserta didik dapat mengubah karakter anak yang positif menjadi karakter negatif. Seorang peserta didik yang sejak kecil selalu berperilaku sopan, taat beribadah, jujur dapat berubah drastis bila anak tersebut kemudian tinggal di lingkungan yang kurang mendukung karakter positif yang dimilikinya. Sebaliknya karena lingkungan pula karakter seseorang dapat berubah dari karakter negatif menjadi positif. Karena itu pendidikan karakter sebaiknya diberikan sejak dini ketika anak masih kecil. Dalam dunia pendidikan seperti sekolah, setiap anak memiliki karakter yang berbeda. Sekolah dianggap tempat yang paling ideal untuk melaksanakan pendidikan karakter, selain keluarga. Melalui materi pembelajaran pendidikan karakter para peserta didik diharapkan memiliki karakter yang lebih positif. Perkembangan teknologi yang luar biasa pesatnya juga sangat berpengaruh terhadap karakter siswa. Banyak siswa tidak menyadari bahwa perkembangan teknologi telah pengubah dirinya menjadi manusia yang berkarakter negatif, misalnya etos belajar siswa kurang baik, tidak jujur, suka menyontek, kurang susila dan lain-lain. Meskipun pendidikan karakter di Indonesia belum menjadi materi pelajaran yang mandiri, namun pendidikan kakarter pada anak dapat diselipkan melalui materi pelajaran lain, misalnya melalui pelajaran bahasa Indonesia dalam pembelajaran keterampilan menyimak. Melalui materi pembelajaran, anak-anak sejak dini dapat melakukan olah rasa, olah batin, dan olah budi secara intens sehingga secara tidak langsung anak-anak memiliki perilaku dan kebiasaan positif. Kemajuan keterampilan menyimak menjadi dasar bagi pengembangan keterampilan berbahasa lainnya, karena keterampilan menyimak adalah keterampilan yang terpenting yang harus dimiliki seseorang sebelum memiliki keterampilan berbicara, keterampilan membaca, dan keterampilan menulis.Menyimakatau mendengarkan adalah suatu proses kegiatan mendengarkan lambang-lambang lisan dengan penuh perhatian, pemahaman, apresiasi, serta interpretasi untuk memperoleh informasi, menangkap isi atau pesan serta memahami makna komunikasi yang telah disampaikan oleh sang pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan Tarigan (1980:28). Suatu proses yang mencakup kegiatan mendengarkan bunyi bahasa, mengidentifikasi, menginterpretasi, menilai dan mereaksi atas makna yang terkandung di dalamnya. Menyimak melibatkan pendengaran, penglihatan, penghayatan, ingatan, pengertian. Bahkan situasi yang menyertai bunyi bahasa yang disimakpun harus diperhitungkan dalam menentukan maknanya Melalui model lingkungan belajar konstruktif pendidikan karakter dapat diimplementasikan dalam pembelajaran pembelajaran keterampilan menyimak sehingga dapat menghasilkan daya saing mahasiswa ditengah pergaulan global.Pengintegrasian ini sekiranya dapat dijadikan solusi preventif untuk menghindari konflik seperti kasus yang pernah terjadi di beberapa daerah di Indonesia.Melalui pembelajaran keterampilan menyimak diharapkan dapat membantu mahasiswa mengenal dirinya, karakternya, dan tidak merasa asing tinggal di lingkungannya.Oleh karena itu, pendidikan karakter dirasa mampu untuk menyikapi keadaan yang nyata selaras dengan kehidupan lingkungan.Hal ini sesuai dengan prinsip pembelajaran konstruktif, yaitu memberi kesempatan pada mahasiswa untuk belajar dalam konteks nyata. PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN MENYIMAK Komitmen nasional tentang perlunya pendidikan karakter, secara imperatif tertuang dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Pasal 3 UU tersebut dinyatakan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
193
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sejak pemerintah memberlakukan Pendidikan Karakter (CharacterEducation) di sekolah, maka dalam pelaksanaanya pendidikan karakter diintegrasikan dalam pembelajaran berbagai mata pelajaran. Pemberlakuan Pendidikan Karakter itu dilatarbelakangi oleh fenomena krisis kepribadian yang melanda kehidupan masyarakat pendidikan nasional khususnya dan kehidupan masyarakat Indonesia umumnya. Kasus semisal tawuran, penyalahgunaan narkoba dan perilaku asusila di kalangan pelajar (juga oknum guru!), mencerminkan fenomena krisis kepribadian itu. Koesoema (2007:4) menjelaskan bahwa pendidikan karakter dapat diartikan sebagai sebuah bantuan sosial agar individu itu dapat bertumbuh dalam menghayati kebebasannya dalam hidup bersama dengan orang lain dalam dunia. Pendapat tersebut mengandung makna bahwa kebebasan seseorang dalam bermasyarakat harus berdasarkan norma-morma yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Maka setiap manusia harus memiliki karakter yang baik demi keberlangsungannya dalam bermasyarakat. Pendapat Koesoemo mengenai pendidikan karakter mengandung makna yamg lebih luas namun cukup jelas untuk dipahami bahwa dalam kehidupan bermasyarakat, seseorang memiliki kebebasan hidup dengan orang lain namun harus tetap berpedoman pada norma-norma yang berlaku di lingkungannya. Dirjen Mandikdasmen (2010:2) menyatakan bahwa Pendidikan Karakter adalah upaya yang terencana untuk menjadikan peserta didik mengenal, peduli dan menginternalisasi nilai-nilai sehingga peserta didik berperilaku sebagai insan kamil. Upaya menanaman pendidikan karakter bagi peserta didik hanya dapat dicapai bila ada kerjasama yang baik pada semua pihak terkait seperti keluarga, sekolah dan masyarakat. Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah upaya yang terencana untuk menjadikan seseorang mengenal, peduli dan menginternalisasi nilai-nilai sehingga peserta didik berperilaku yang baik. Dalam pendidikan karakter ditanamkan nilai-nilai perilaku (karakter) kepada peserta didik yang meliputi pengetahuan, kesadaran atau kemauan dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan. Sesuai dengan kometmen pemerintah tentang pentingnya pendidikan karaker bagi peserta didik, maka kegiatan pengembangan pendidikan karakter melalui pendidikan secara nasional bertujuan untuk: 1) mengembangkan Grand Design Pendidikan Karakter yang akan menjadi rujukan konseptual dan operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur dan jenjang pendidikan; 2) mengembangkan Rencana Aksi Nasional (RAN) pendidikan karakter sebagai wujud komitmen seluruh komponen bangsa; dan 3) melaksanakan pendidikan karakter secara nasional, sistemik, dan berkelanjutan. Kemajuan keterampilan menyimak menjadi dasar bagi pengembangan keterampilan berbahasa lainnya, karena keterampilan menyimak adalah keterampilan yang terpenting yang harus dimiliki seseorang sebelum memiliki keterampilan berbicara, keterampilan membaca, dan keterampilan menulis. Tarigan (1980:28) mengatakan bahwa menyimak atau mendengarkan adalah suatu proses kegiatan mendengarkan lambang-lambang lisan dengan penuh perhatian, pemahaman, apresiasi, serta interpretasi untuk memperoleh informasi, menangkap isi atau pesan serta memahami makna komunikasi yang telah disampaikan oleh sang pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan. Dalam Marhijanto (1995:520) menyimak diartikan mendengarkan dan mendengarkan baikbaik terhadap ucapan orang lain (sambil meresapkan dalam hati). Subyakto dan Nababan (1993:154) mengungkapkan pengertian menyimak adalah suatu keterampilan yang hingga sekarang agak diabaikan dan belum mencapat tempat yang sewajarnya dalam pelajaran bahasa. Masih kurang sekali materi berupa buku teks dan sarana lain, seperti rekaman yang diperdagangan untuk menunjang tugas guru dalam pengajaran menyimak untuk digunakan di Indonesia. Munawaroh (2007) berpendapat menyimak adalah suatu proses yang mencakup kegiatan mendengarkan bunyi bahasa, mengidentifikasi, menginterpretasi, menilai dan mereaksi atas makna yang terkandung di dalamnya. “ Menyimak melibatkan pendengaran, penglihatan, penghayatan, ingatan, pengertian. Bahkan situasi yang menyertai bunyi bahasa yang disimakpun harus diperhitungkan dalam menentukan maknanya.
194
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
Berdasarkan pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa menyimak adalah suatu proses kegiatan mendengarkan lambang-lambang lisan dengan penuh sengaja, penuh perhatian, pemahaman, apresiasi dan interpretasi untuk memperoleh pesan, informasi, serta memahami makan komunikasi yang disampaikan oleh pembicara melalui ujaran atau bahasa lisan. PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN MENYIMAK UNTUK MENINGKATKAN DAYA SAING MAHASISWA Materi pembelajaran merupakan segala bentuk bahan yang digunakan untuk membantu dosen dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar.Keberhasilan pembelajaran secara keseluruhan sangat bergantung pada keberhasilan dosen merancang materi ajar.Materi yang harus dipelajari mahasiswa sebagai sarana untuk mencapai standar kompetensi.Materi pembelajaran (instructional materials) adalah pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus diajarkan oleh guru dan harus dipelajari oleh siswa untuk mencapai standar kompetensi dan kompetensi dasar(Depdiknas 2003). Selain itu, materi ajar merupakan seperangkat materi/substansi pelajaran yang tersusun secara sistematis, menampilkan sosok utuh dari kompetensi yang akan dikuasai siswa dalam kegiatan pembelajaran. Pendidikan karakter dapat dilakukan dengan mengintegrasikannya dalam berbagai mata pelajaran. Menurut Hidayatullah (2010:56), langkah-langkah pengintegrasian pendidikan karakter ke dalam mata pelajaran dapat dilakukan sebagai berikut: (1) mendiskripsikan konpetensi dasar tiap mata pelajaran; (2) mengidentifikasi aspek-aspek atau materi-materi pendidikan karakter yang akan diintegrasikan ke dalam mata pelajaran; (3) mengintegrasikn butir-butir pendidikan karakter ke dalam kompetensi dasar yang dipandang releven atau ada kaitannya; (4) melaksanakan pembelajaran; (5) menentukan metode pembelajaran; 6) menentukan evaluasi pembelajaran; dan (7) menentukan sumber belajar. Dalam pembelajaran menyimak, dapat disisipkan juga pendidikan karakter. Lawendatu (2011:1) mengemukakan bahwa Pendidikan Karakter memang dapat dilaksanakan secara terintegrasi dengan kegiatan pembelajaran. Nilai-nilai karakter semestinya ditamankan pada siswa sejak usia dini baik melalui lingkungan keluarga maupun lingkungan sekolah sehingga kelak diharapkan dapat membentuk karakter bangsa secara holistik dan komprehensif. Di sekolah guru memegang peranan penting dalam pembetukan karakter siswa. Guru harus mampu menjadi sarana penanaman karakter pada siswa dengan mengintegrasikan pendidikan karakter dalam berbagai mata pelajaran yang diajarkan pada siswa. Pengimplementasian pendidikan karakter dalam pembelajaran menyimak untuk meningkatkan daya saing mahasiswa di tengah pergaulan global melalui silabus.Penggunaan silabus yang mengandung unsur pendidikan karakter mampu mengajarkan mahasiswa dalam mengimplementasikan pendidikan karakter dalam pembelajaran. Pengimlementasian ini tidak hanya sekadar wacana, akan tetapi ujud nyata dalam pengembangan mahasiswa yang berkarakter sesuai dalam amanah Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Pasal 3 UU tersebut dinyatakan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Melalui silabus semua aspek dapat terpenui dalam pengilementasian ini, mulai dari materi pembelajaran, kegiatan pembelajaran, media, bahkan sampai pada alat evaluasinya. Dengan penerapan ini dapat menghasilkan mahasiswa yang berkarakter, berdedikasi, dan mempunyai daya saing global.
DAFTAR PUSTAKA Badan Standar Nasional Pendidikan. 2008. Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta. BSNP. Chaniago, Sam Mukhtar. 2005. AnalisisKemampuan Menyimak Siswa SLTP se-Jakarta Timur. Jurnal. Danandjaja, J. (1994). Folklore Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Grafiti PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
195
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1993. Garis-Garis Besar Program Pengajaran Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta: Depdikbud. Departemen Pendidikan Nasional.2004. Kurikulum 2004 Standar Kompetensi Mata Pelajaran Sastra Indonesia (Program Studi Bahasa) Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah.Jakarta Departemen Pendidikan Nasional Departemen Pendidikan Nasional .2008. Pedoman Memilih dan Menyusun Bahan Ajar. Jakarta: Direktorat Sekolah Menengah Pertama Khan, D. Yahya. 2010. Penddikan Karakter Berbasis Potensi Diri.Yogyakarta: Pelangi Publisising. Koentjaraningrat. 1977. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia Koesoemo,A. Doni. 2010. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: Grasindo. Megawangi, Ratna. 2004. Pendidikan Karakter: Solusi yang Tepat untuk Membangun Bangsa . Jakarta: IHF- Star Energy Ltd. Milles dan Huberman. 1992. Analisisi Data Kualitatif, terjemahan Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta : Universitas Indonesia Press Munir, Abdulah. 2010. Pendidikan Karakter Membangun Anak Sejak dari Rumah.. Yogyakarta: PT Bintang Pustaka Abadi. Prasetya, Budi. 2007. Pengertian Menyimak.www.budiprasetyo/pengertianmenyimak.co.id). [2 Februari 2009] Stein, Shelly Katherine. 1999. Uncovering Listening Strategies: Protocol Analysis as a Means to Investigate Student Listening in The Basic Communication Cours. University of Maryland College Park. Jurnal Internasional. Sutari K.Y, Ice. 1998. Menyimak. Jakarta: Depdikbud Tarigan, Hendri Guntur. 1980. Menyimak Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa. Wahab, Abdul Aziz dkk. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta: Kemendiknas Balitbang
196
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
PERAN DAN FUNGSI SASTRA INDONESIA DALAM MEWUJUDKAN KARAKTER DAN NILAI KEJUANGAN BANGSA DI TENGAH PERGAULAN GLOBAL Joko Purwanto PBSI, FKIP, Universitas Muhammadiyah Purworejo Jl. K.H. Ahmad Dahlan No. 3 Purworejo 54111 e-mail:
[email protected] HP. 081548675903 Abstrak Makalah ini berisi peran dan fungsi sastra Indonesia dalam mewujudkan karakter dan nilai kejuangan bangsa di tengah pergaulan global. Pada hakikatnya perkembangan zaman dan teknologi informasi serta pergaulan global adalah suatu keniscayaan. Hal itu tentu saja akan berdampak pada semua elemen kehidupan, termasuk manusianya. Oleh sebab itu, pembangunan sumber daya manusia hendaknya senantiasa menjadi perhatian penting, termasuk prioritas di dalamnya adalah pembangunan karakternya. Pendidikan karakter (oleh pemerintah digaungkan dengan istilah ‘revolusi mental’) menjadi salah satu masalah krusial yang saat ini tengah menjadi pembahasan dan membutuhkan solusi nyata. Hal ini karena semakin terdegradasinya nilai-nilai karakter dan kejuangan bangsa seiring dengan perkembangan zaman dan pergaulan global. Sastra hadir sebagai salah satu bentuk cipta budaya. Di dalamnya termuat berbagai nilai yang bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia. Sastra memiliki peran dan fungsi sebagai sarana untuk memberikan pembelajaran, petunjuk, dan pengarahan kepada manusia, termasuk di antaranya adalah tentang karakter dan nilai kejuangan bangsa. Dengan demikian, diharapkan akan mendukung terwujudnya manusia Indonesia yang berkarakter dan bernilai kejuangan yang kuat, berbudi pekerti luhur, dan bermartabat. Kata kunci: sastra, karakter, nilai kejuangan bangsa.
PENDAHULUAN Perkembangan teknologi informasi dan arus modernisasi serta era pergaulan global sekarang ini memanglah sebuah keniscayaan. Hal tersebut memberikan dampak perubahan dalam setiap dimensi kehidupan manusia. Ada begitu banyak manfaat yang dapat dirasakan. Namun demikian, hal mendasar yang harus pula dipahami adalah dampak negatif yang mengiringinya. Mengapa demikian, karena memang yang terjadi perubahan tersebut juga mengarah pada terjadinya degradasi moral generasi penerus bangsa. Kenyataan yang terjadi sangatlah menyedihkan hati. Ada sekian banyak kasus yang mendera para oknum pesohor di tanah air kita tercinta akhir-akhir ini, baik dari kalangan pengusaha, politisi, wakil rakyat, maupun pejabat publik. Kasus korupsi yang semakin marak terjadi seolah menjadi makanan pokok tiap hari. Jual-beli kebenaran yang pada akhirnya melahirkan ketidakadilan. Semakin terjepitnya kaum marginal oleh semakin sedikitnya keberpihakan serta adanya ketimpangan yang begitu tinggi antara kaum kaya dan kaum papa. Sekali lagi, semua fenomena tersebut serasa membuat miris hati kita. Padahal, oknum-oknum tersebut sesungguhnya harus mampu menjalankan tugas dan kewajiban yang diamanahkan kepadanya. Namun, justru sering tergoda oleh manisnya kenikmatan dunia yang hanya sementara sehingga menempuh dan menghalalkan berbagai cara – termasuk korupsi – demi memperoleh kekayaan, kekuasaan dan jabatan, proyek dan pekerjaan untuk diri dan golongannya. Oleh sebab itu, pembangunan sumber daya manusia pun menjadi sebuah keharusan yang harus diperhatikan dan dilaksanakan. Harus segera dibentuk manusia-manusia Indonesia yang beradab, jujur dan disiplin, berempati dan bersimpati, tidak menghalalkan berbagai cara untuk mewujudkan keinginan, tidak suka merampas hak orang, tidak menjadi insan yang gila kekuasaan dan kehormatan. Singkat kata harus segera dibentuk manusia-manusia Indonesia yang memiliki karakter kebaikan di dalam dirinya. Pada era pemerintahan Soekarno, beliau pernah menyatakan bahwa pembangunan karakter bangsa Indonesia harus diprioritaskan. Pada era Susilo Bambang Yudhoyono dipertegas kembali dengan pencanangan dalam dunia pendidikan dengan istilah ‘Pendidikan Karakter’. Termasuk pula pada era pemerintahan saat ini yang dipimpin oleh Joko Widodo, pendidikan karakter juga menjadi PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
197
bagian yang diprioritaskan atau menjadi salah satu fokus utama dengan digaungkannya istilah ‘revolusi mental’. Pendidikan karakter menjadi salah satu masalah yang sangat krusial yang telah dan tengah menjadi pembahasan dan membutuhkan solusi nyata. Dalam konteks nasional, pendidikan karakter pun sebenarnya sudah terumuskan dalam UndangUndang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 bagian Bab I Pasal 1. Ditandaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Diperkuat lagi di bagian Bab II Pasal 3 yang memberikan penekanan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Semua elemen yang ada dalam UU Sisdiknas tersebut menegaskan bahwa ada keterkaitan yang sangat erat antara tujuan pendidikan nasional di negara kita dan upaya pembentukan karakter. Dengan demikian, pendidikan karakter menjadi bagian yang sangat penting dan tidak bisa diabaikan untuk segera dioptimalisasikan agar manusia-manusia Indonesia benar-benar menjadi pribadi yang berkarakter positif. PEMBAHASAN Secara etimologis kata sastra berasal dari bahasa Sanskerta yang berakar dari kata Sas- (yang berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk) dan kata tra- (yang menunjuk pada makna alat, sarana). Dengan demikian, sastra dapat dimaknai sebagai alat atau sarana untuk mengarahkan, memberikan pembelajaran, atau memberi petunjuk. Dalam konteks bahasa Jawa Kuna kata sastra mendapatkan perfiks su- yang bermakna indah, baik. Jadi, kata susastra dapat dimaknai sebagai alat untuk menyampaikan pembelajaran, pengarahan, dan petunjuk yang baik dan indah atau pun dapat dimaknai sebagai alat atau sarana untuk membelajarkan sesuatu yang baik dan indah. Dalam konteks kekinian, muncul berbagai pengertian tentang sastra dari para pemikir dan penggiat dunia sastra. Dalam tulisan ini akan dimunculkan beberapa pengertian. Sumardjo (1994:1) mengemukakan bahwa sastra adalah karya dan kegiatan kesenian yang memiliki kaitan dengan ekspresi dan penciptaan sebagai pengungkap ide, pengalaman, perasaan, semangat, dan keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan bahasa sebagai alat perantaranya. Dalam Kamus Istilah Sastra (Sudjiman, 1984:6) dinyatakan bahwa sastra adalah karya lisan atau tulis yang memiliki berbagai ciri keunggulan seperti keaslian dan keindahan dalam isi dan pengungkapannya. Sedangkan menurut Mukarovsky yang diacu pula oleh Fananie (2000:6) sastra dinyatakan sebagai karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan perasaan yang mampu mengungkapkan aspek estetik, baik yang didasarkan pada aspek kebahasaan maupun aspek makna. Berdasarkan pada beberapa pengertian tersebut dapat dinyatakan bahwa sastra adalah sebuah bentuk karya yang berdasarkan ide, pengalaman, dan ungkapan perasaan yang digunakan sebagai sarana untuk mengajarkan, menunjukkan dan menasihatkan sesuatu yang baik dan indah. Sesuai dengan simpulan tersebut dapat pula dinyatakan bahwa kehadiran sastra sesungguhnya memiliki fungsi dan peran yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Hal ini karena kehadiran sastra bukan hanya sekadar memberikan hiburan semata melainkan juga memberikan pembelajaran tentang kebaikan-kebaikan, petunjuk, dan nasihat. Ini pun senada dengan apa yang disampaikan oleh Edgar Allan Poe – cerpenis dan penyair dari Amerika – dalam pernyataannya yang dikutip oleh Wellek & Warren (1990:24) bahwa kehadiran sastra berfungsi untuk menghibur sekaligus mengajarkan sesuatu kepada pembaca atau penikmatnya. Sastra Indonesia juga memiliki peran dan fungsi yang sangat strategis dalam konteks pembangunan karakter dan nilai kejuangan bangsa, termasuk bagi manusia-manusia Indonesia. Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun negara (Suyanto, 2009). Atau dapat pula dimaknai sebagaimana pendapat yang disampaikan oleh Simon Philips bahwa karakter adalah
198
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan (Muslich, 2011:70). Dari sisi pembangunan karakter, kehadiran sastra memiliki fungsi dan peran memberikan pembelajaran tentang nilai-nilai kehidupan yang dapat dimanfaatkan. Haryadi (2011) mengemukakan pendapatnya bahwa sastra sangat relevan dengan pendidikan karakter. Sastra sarat dengan nilai-nilai pendidikan akhlak seperti dikehendaki dalam pendidikan karakter. Misalnya saja cerita rakyat “Bawang Merah Bawang Putih” mengandung nilai pendidikan tentang kemanusiaan. Betapa kita tentu masih ingat akan cerita ataupun dongeng-dongeng yang diperdengarkan kepada kita saat masih anak-anak. Nilai-nilai kepahlawanan, kejujuran, keberanian, kesopan-santunan senantiasa melekat dalam cerita atau dongeng yang kita dengarkan. Dongeng/cerita tersebut mampu membuat kita semakin optimis, percaya diri, dan bahkan semaksimal mungkin berupaya untuk mewujudkan harapan dan mimpi-mimpi kita. Ternyata, semua itu mampu berperan dalam mempengaruhi alam bawah sadar kita dan terbawa hingga saat ini. Demikian pula dengan keberadaan novel-novel kontemporer saat ini yang juga sudah difilmkan – seperti ‘Laskar Pelangi’ dan ‘Negeri Lima Menara’ – yang memberikan tuntunan dan ajaran akan semangat dan usaha yang senantiasa harus diupayakan untuk meraih cita-cita dan harapan. Intinya, jika anak-anak di Indonesia ini senantiasa secara rutin disuguhi dengan ‘asupan-asupan’ sastra yang memuat nilai positif, besar kemungkinan nilai-nilai positif tersebut akan tumbuh dan berkembang menjadi karakter positif yang melekat pada diri anak. Sebab itulah salah seorang sahabat yang bernama Umar bin Khattab pernah memberikan nasihat kepada kita dengan salah satu pernyataannya yang sangat terkenal, yakni “Ajarilah anak-anakmu sastra karena sastra membuat anak yang pengecut menjadi jujur dan pemberani.” Diperkuat dengan pernyataan Voltaire – salah seorang filsuf Perancis – yang mengemukakan bahwa “Bacaan sastra yang imajinatif sangat berarti dalam memberikan tuntunan moralitas.” Dari pesan-pesan ini dapat diambil sebuah hikmah bahwa ternyata sastra memiliki peran dan fungsi yang sangat penting dalam pembangunan karakter manusia. Demikian halnya dengan peran sastra dalam perkembangan sosialisasi manusia. Joan Glazer (Noor, 2011:38) mengemukakan peran sastra dalam pembangunan karakter manusia dalam bersosialisasi, yakni (1) sastra memberikan penguatan kepada manusia bahwa semua insan memiliki perasaan yang relatif sama, misalnya jika kita tidak ingin disakiti janganlah kita menyakiti orang lain; (2) sastra memberikan dasar penanaman emosi; (3) melalui tokoh-tokoh yang dihadirkan dalam sastra dengan berbagai perilaku dan karakternya memberikan penguatan kepada penikmat sastra dalam mengelola emosi-emosi tersebut. Demikian halnya dari sisi nilai kejuangan bangsa Indonesia, kehadiran sastra juga memiliki peran dan fungsi yang sangat penting. Kita tentu masih memiliki ingatan yang begitu kuat pada sejarah di saat para pejuang kita berjuang demi kemerdekaan bangsa Indonesia. Sastra hadir dalam menggelorakan semangat para pejuang kita. Ambil contoh adalah puisi-puisi karya Chairil Anwar yang ikut serta berperan dalam upaya menggelorakan semangat untuk mencapai kemandirian dan kemerdekaan, melepaskan diri dari belenggu penjajahan. Mari kita simak petikan puisi Chairil Anwar yang berjudul “Semangat” berikut. biar peluru menembus kulitku aku tetap meradang menerjang luka dan bisa kubawa berlari Kehadiran puisi tersebut ikut memberikan semacam dorongan kekuatan dan kesadaran kepada para pejuang Indonesia bahwa betapa tidak perlu diperhatikannya luka dan darah yang mengucur demi untuk mencapai sebuah kebebasan dan kemerdekaan. Belenggu tirani penjajahan harus diberangus sampai ke akar-akarnya. Bahwa penjajahan adalah bentuk dari kesewenang-wenangan, ketidakadilan, dan ketidakmanusiawinan manusia terhadap manusia lain yang telah merenggut hak asasi manusia yang menginginkan suatu kehidupan yang damai dan dalam bingkai kemerdekaan, kenyamanan, dan kebahagiaan. Oleh sebab itu, penjajahan harus dilenyapkan dari dunia ini. Di era pascakemerdekaan ini pun peran sastra dalam konteks kejuangan bangsa juga terus hidup dan menggelora. Hal ini karena pada hakikatnya melalui media sastra perjuangan dalam melawan ketidakadilan, perjuangan melawan intervensi pihak dan modal asing serta ketimpangan sosial ekonomi, perjuangan melawan ketidakberadaban diri, hingga perjuangan melawan korupsi yang akhir-akhir ini semakin melanda negeri ini akan dapat terus dikobarkan dan diupayakan (Prihany, PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
199
2016). Sastra dapat berfungsi dan berperan sebagai media perantara untuk menyampaikan saran, nasihat, maupun kritik terhadap berbagai realita dan kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat. Sebagai contoh, kita tentu masih ingat dengan sosok Rendra melalui karya-karya sastranya, baik puisi maupun drama, yang dengan penuh kelantangan menyuarakan ketidakadilan dan ketimpangan sosial di negeri ini. Hal ini memberi bukti bahwa betapa masih sangat berperannya sastra dalam konteks perjuangan di negara kita tercinta, Indonesia, baik masa dahulu, masa kini, maupun di masa yang akan datang nanti. PENUTUP Perkembangan era global memberikan dampak perubahan dalam setiap dimensi kehidupan. Oleh sebab itu, pembangunan sumber daya manusia juga menjadi bagian penting yang harus dilakukan, termasuk dalam hal pembangunan karakter dan nilai kejuangan bangsa. hal ini perlu dilakukan agar manusia Indonesia senantiasa memiliki karakter yang positif dalam mengisi dan mempertahankan kemerdekaan yang telah diraih. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah agar manusia Indonesia memiliki keyakinan dan kemauan yang kuat untuk mau dan mampu sejajar dengan bangsa-bangsa lain. Pembangunan karakter dan nilai kejuangan bangsa tersebut juga mampu diupayakan melalui sastra Indonesia. Hal ini karena memang kehadiran sastra Indonesia memiliki peran dan fungsi dalam memberikan pembelajaran dan petunjuk bagi para penikmatnya. Dengan demikian, diharapkan akan mendukung terwujudnya manusia Indonesia yang berkarakter dan bernilai kejuangan yang kuat, berbudi pekerti luhur, dan bermartabat. DAFTAR PUSTAKA Fananie, Zainuddin. 2000. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press. Haryadi. 2011. Peran Sastra dalam Pembangunan Karakter. Online. http://www. staff.uny.ac.id/sites/default/files. Muslich, Masnur. 2011. Pendidikan Karakter Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara. Noor, Rohinah M. 2011. Pendidikan Karakter Berbasis Sastra Solusi Pendidikan Moral yang Efektif. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Prihany, Mahrus. 2016. Sastra dan Perjuangan. Online. http://www.litera.co.id/2016/04/11/sastradan-perjuangan/. Soemardjo, Jakob. 1994. Ikhtisar Sejarah Teater Barat. Bandung: Angkasa. Sudjiman, Panuti. 1984. Kamus Sastra. Jakarta: Gramedia. Suyanto. 2009. Urgensi Pendidikan Karakter. Online. http://www.mandikdasmen.depdiknas.go.id/web/pages/urgensi.html. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2006. Jakarta: Penerbit Sinar Grafika. Wellek, Rene & Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan (Terjemahan Melanie Budianta). Jakarta: Gramedia.
200
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
INTERNALISASI BudAI PADA PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA DI TENGAH DOMINASI PENDIDIKAN KARAKTER BERPERSPEKTIF GLOBAL Leli Nisfi Setiana PBSI FKIP UNISSULA SEMARANG
[email protected] No. Hp 081327101657 Sari Budaya Akademik (Academic Culture) dapat dipahami sebagai suatu totalitas dari kehidupan dan kegiatan akademik yang dihayati, dimaknai, dan diamalkan oleh warga masyarakat akademik di lembaga pendidikan. Sebagai suatu subsistem perguruan tinggi, budaya akademik memegang peranan penting dalam upaya membangun dan mengembangkan kebudayaan dan peradaban masyarakat (civilized society) dan bangsa secara global. Dalam rangka memperkukuh peran dan fungsi dalam pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, pentingnya pendidikan karakter perlu dikonkreatkan melalui strategi pembelajaran yang berBudAi.Untuk menunjang keberhasilan pendidikan karakter yang berBudAI ditengah gejolak daya globalisasi, pendidikan berperspektif global merupakan upaya sistematis untuk membentuk wawasan dan perspektif mahasiswa. Saat ini, kita memasuki abad “dunia tanpa tapal batas”. Suatu peristiwa yang terjadi di satu belahan dunia akan dengan cepat diketahui di belahan dunia lainnya. Pengaruhnya dapat menembus langsung ke pelosok-pelosok dunia. Melalui pendidikan mahasiswa dibekali materi secara utuh dan menyeluruh berkaitan dengan masalah global. Dalam era tersebut dibutuhkan kemampuan untuk menjaring dan menyaring segala pengaruh yang masuk dari berbagai kebudayaan yang lain. Salah satu persiapan konkret adalah menyiapkan sumber daya yang mumpuni dengan cara perhatian lebih pada bidang pendidikan. Oleh sebab itu, diperlukan pendidikan karakter yang berBudAI dalam membangun pendidikan di negeri ini. Dimana pendidikan menjadi tonggak usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana pembelajaran agar peserta didik secara aktif mngembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.Dengan demikian, Budaya Akademik Islami menjadi pilihan yang tepat dalam rangka membangun generasi yang berkarakter, berkualitas serta berdaya saing dalam pergaulan global. Kata Kunci : BudAI, Pendidikan Karakter, Perspektif Global.
PENDAHULUAN Dalam menghadapi globalisasi tanpa adanya persiapan yang kuat maka globalisasi akan menjadi sesuatu yang menakutkan dan akan berubah menjadi sesuatu yang negatif. Cara untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi globalisasi ini adalah dengan cara meningkatkan kesadaran dan memperluas wawasan. Untuk meningkatkan dan memperluas wawasan dapat dilakukan dengan berbagai cara, dan cara yang paling efektif adalah melalui pendidikan. Peningkatan kualitas pendidikan bagi suatu bangsa, bagaimanapun mesti diprioritaskan. Sebab kualitas pendidikan sangat penting artinya, karena hanya manusia yang berkualitas saja yang bisa bertahan hidup di masa depan. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk peningkatan kualitas pendidikan tersebut adalah dengan pengelolaan pendidikan dengan wawasan global.Memasuki milenium ketiga kita disibukkan dengan pengertian yang baru, yaitu globalisasi sebagai suatu kekuatan yang tidak dapat dibendung. Banyak hal yang kita anggap biasa, banyak paradigm yang kita anggap suatu kebenaran tiba-tiba menghilang tanpa bekas. Itulah globalisasi. Para pakar dari berbagai bidang mengakui bahwa perubahan kehidupan manusia dewasa ini yang dilanda arus globalisasi telah mengubah bukan hanya tata cara kehidupan dalam bidang ekonomi, tetapi juga di dalam bidang social, budaya, dan politik. Orang mulai berkata-kata mengenai perlunya parangkat peraturan-peraturan dan kesepakatan baru untuk mengatur dan tata cara kehidupan umat manusia yang berubah total itu. Begitu dahsyatnya gelombang globalisasi sampai-sampai ada yang menghawatirkannya dan menyebutnya globapholia. Di dalam gelombang globalisasi dikhawatirkan ada Negara atau kelompok masyarakat yang diuntungkan tetapi juga ada PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
201
yang akan dirugikan. Masyarakat atau bangsa yang kurang siap tentunya akan dilanda oleh gelombang globalisasi tersebut. Persaingan, pasar bebas, keunggulan sumber daya manusia merupakan istilah-istilah yang sangat popular. Persaingan artinya, siapa yang unggul dia yang hidup di dalam pasar bebas. Kualitas sumber daya manusia akan menentukan eksistensi manusia dan masyarakatnya. Gelombang globalisasi bukan hanya mengubah tatanan kehidupan global, tetapi juga mengubah tatanan kehidupan pada tingkat mikro. Dalam hal ini kita berbicara mengenai pengaruh arus globalisasi di alam ikatan kehidupan social. Seperti telah diuraikan, globalisasi dapat mengandung unsur-unsur positif, tetapi juga yang yang dapat bersifat negatif. Salah satu dampak Negatif dari proses globalisasi ialah kemungkinan terjadinya disintegrasi social. Beberapa gejala transisi social akibat globalisasi antara lain ialah hilangya tradisi. Bentuk-bentuk budaya global telah memasuki kehidupan social pada tingkat mikro, sehingga dikhawatirkan nilai-nilai tradisi dan nilai-nilai moral yang hidup di dalam masyarakat semakin lama semakin menghilang. Hal ini di sebabkan pula karena masih rendahnya tingkat pendidikan, terutama di Negara-negara berkembang. Salah satu wujud penyesuaian pendidikan berperspektf global melalui gerakan BudAI di Unissula. “Membangun Generasi Khaira Ummah” menjadi tema sentral gerakan pendidikan di Universitas Islam Sultan Agung (Unissula). Sedangkan Budaya Akademik Islami (BudAI) yang dideklarasikan pada tanggal 18 Agustus 2005 adalah sebagai strategi pendidikannya. Hal ini dilatarbelakangi kondisi dunia pendidikan di Indonesia yang secara praktikal semakin materialistik dan telah mengakibatkan hancurnya akhlak bangsa. Pada prakteknya, tujuan pendidikan kita saat ini hanya ditekankan pada penguasaan Iptek dan skill, bahkan pendidikan lebih diharapkan menghasilkan lulusan siap kerja, sehingga pendidikan karakter hampir tidak terjamah. maka secara operasional pendidikan adalah mendidik manusia taqwa, berilmu tinggi dan berjama’ah melalui strategi Budaya Akademik Islami (BudAI). Pendidikan adalah pembudayaan dan pembiasaan dengan tata nilai yang diyakini kebenarannya. Pendidikan di kampus Islam adalah penerapan nilainilai Islam dalam keseluruhan kehidupan kampus dan dilaksanakan oleh seluruh warga kampus. Lingkungan dan sarana-prasarana kampus harus menunjang tujuan pendidikan di kampus. Suasana kampus juga harus menunjang tradisi keilmuan Islam, membangun Islamic Learning Society. Ke depan, pendidikan Islam harus mampu meraih kembali kejayaan yang telah diraih oleh pendidikan Islam terdahulu. Untuk mewujudkannya, perlu dibangun sebuah masyarakat pendidikan dengan atmosfir ibadah dan atmosfir akademik yang kondusif, yaitu dengan membangun Islamic Learning Society. Adapun Islamic Learning Society adalah masyarakat kampus yang senantiasa menunjang tinggi nilai-nilai Islam, dan menjadikan Islam sebagai pandangan hidup segenap civitas akademika, menjadi sumber inspirasi, motivasi, sekaligus menjadi filter dalam kegiatan ilmiah dan budaya. Kegiatan belajar mewarnai suasana kampus. Interaksi antara dosen dan mahasiswa, antara dosen dan dosen, antara mahasiswa dan mahasiswa, senantiasa mencerminkan interaksi pembelajaran. Pada akhirnya, Islamic Learning Society merupakan hasil dari mantapnya pelaksanaan Budaya Akademik Islami. Dalam rangka mewujudkan pelaksanaan BudAI, perlu adanya pendidikan karakter dimana fungsi daripada pendidikan karakter sebagai penguat pelaksanaan BudAI. pendidikan sangat menentukan terhadap pembentukan watak, kepribadian, karakter dan budi pekerti warga.Terjadinga berbagai penyelewengan dan kejatan tersebut menandakan rendahnya akhlak, budi pekerti dan karakter bangsa. Menyadari hal itu pemerintah melalui Kemendiknas mencanangkan, salah satunya adalah model Pendidikan karakter untuk meningkatkan karakter dan budi pekerti warga bangsa. Ini bukan berarti sebelunya tidak ada pendidikan karakter namun pemerintah lebih menekankan pendidikan karakter secara tersiste. Langkah awal pemerintah dimulai dari lembaga sekolah maupun madrasah dengan menyisipkan nilai karakter bangsa ke dalam persiapan dan proses pembelajaran.Sementara ini potret pendidikan yang bisa dikatakan eksis dalam membina karakter adalah sistem pendidikan di pesantren atau sekolah-sekolah yang diasramahkan. Karena pada prinsipnya penenaman karakter lebih efektif dengan pembiasaan dan percontohan dan ini lebih memungkinkan di lakukan di pesantren atau asramah yang diwasi langsung oleh gurunya. Berkaitan dengan hal tersebut, penerapan BudAI khususnya bagi seluruh sivitas akademika, lebih khususnya bagi mahasiswa yang tinggal di rusunawa kampus. Mereka lebih dapat merasakan atmosfer BudAI baik dalam proses pembelajaran maupun kegiatan di luar perkuliahan yang tetap berada di dalam kampus. Upaya tersebut tidak terepas dari sebuah usaha
202
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
untuk mewujudkan mahasiswa yang memiliki pendidikan karakter yang baik, khairu ummah, serta siap menuju era globalisasi. PEMBAHASAN 1. BudAI “Membangun Generasi Khaira Ummah” menjadi tema sentral gerakan pendidikan di Universitas Islam Sultan Agung (Unissula). Sedangkan Budaya Akademik Islami (BudAI) yang dideklarasikan pada tanggal 18 Agustus 2005 adalah sebagai strategi pendidikannya. Dengan tema besar itu, maka paradigma pendidikan kita berubah total, yaitu kita harus kembali kepada pendidikan atas dasar tata nilai, yakni nilai-nilai Islam. Artinya kita harus membangun paradigma baru dalam pendidikan kita. Paradigma baru mengharuskan mengembangkan ilmu dan teknologi dengan melaksanakan rekonstruksi ilmu atas dasar nilai-nilai Islam agar arah pengembangan ilmu ke depan sesuai dengan nilai-nilai Islam. BudAI diperkenalkan melalui pemikiran, sikap, dan tindakan yang dilakukan dalam menyikapi segala kejadian yang ada. tujuannya agar tercipta nuansa masyarakat yang berpedoman pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW. BUDAI itu meliputi banyak hal diantaranyya yaitu : A.Tata cara berpakaian: 1. Busana pria, ketentuannya : Terdiri atas baju (hem), celana panjang dan bersepatu Celana panjang tidak sampai menyentuh tanah Bahan tidak transparan, bukan hard jean, bukan kaos. Tidak memakai anting, kalung, tindik, atau aksesoris lain yang biasa dipakai wanita. 2. Busana wanita Baju tidak berbahan dari kaos, tidak ketat dan tidak transparan Rok tidak transparan dan panjang Kerudung menutupi rambut, telinga, leher dan dada. Bersepatu dan memakai kaos kaki. B.Gerakan Thaharah (lingkungan bersih, sehat dan bebas rokok) Ajaran Islam sangat memperhatikan masalah kebersihan yang merupakan salah satu aspek penting dalam ilmu kesehatan. Hal yang terkait dengan kebersihan disebut At-Thaharah. Dari sisi pandang kebersihan dan kesehatan, thoharoh merupakan salah satu tindakan preventif, berguna untuk menjaga dan menghindari berbagai jenis kuman dan bakteri. Dalam Islam menjaga kesucian dan kebersihan termasuk bagian dari ibadah. Hal itu merupakan kewajiban yang berkedudukan sebagai kunci dalam melaksanakan ibadah kepada Allah SWT. C. Gerakan Shalat Berjamaah (Dzuhur dan Ashar). Di dalam Islam shalat merupakan perintah yang utama dan kewajiban yang harus ditunaikan, serta ada ancaman besar bagi orang yang meninggalkannya. Allah SWT berfirman: اﻟْﻤُﺼَﻠﱢﯿﻦَ ﻣِﻦَ ﻧَﻚُ ﻟَﻢْ َﻗَﺎﻟُﻮا ﺳَﻘَﺮ ﻓِﻲ ﺳَﻠَﻜَﻜُﻢْ ﻣَﺎ (Q.S. Al-Muddatstir: 42-43) yang artinya, "Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?" Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat. Shalat juga merupakan pilar agama dan kunci syurga, karena perkara yang pertama diperhitungkan dari seorang hamba pada hari kiamat adalah shalat. Apabila shalatnya baik, maka seluruh amal perbuatannya dianggap baik; sebaliknya apabila shalatnya buruk, maka segala amal perbuatannya dianggap buruk pula. D. Adab Pergaulan Putra dan Putri Pola adab pergaulan pria dan wanita yang Islami adalah sebagai berikut : Berbicara dalam pergaulan dengan baik, tegas, mencerminkan kejujuran. Menjauhi pergaulan bebas. Menjaga pandangan mata. Rendah hati dalam pergaulan. Membina rasa aman dalam pergaulan. 2. Pendidikan Karakter Pendidikan karakter berarti sebagai usaha sengaja untuk mewujudkan kebajikan[8], yaitu kualitas kemanusiaan yang baik secara obyektif, bukan hanya baik untuk individu perseorangan tapi juga baik untuk masyarakat secara keseluruhan.Pendidikan karakter berarti sebagai usaha sengaja untuk PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
203
mewujudkan kebajikan, yaitu kualitas kemanusiaan yang baik secara obyektif, bukan hanya baik untuk individu perseorangan tapi juga baik untuk masyarakat secara keseluruhan. Untuk mencapai tujuan dari pendidikan karakter, terdapat tiga tahapan pendidikan karakter yang harus lampaui, yaitu: a)Moral Knowing, tahap ini adalah langka pertama dalam pendidika karakter. Dalam tahap ini diorientasikan pada penguasaan pengetahuan tentang nilai-nilai moral, kesadaran moral, penentuan sudut pandang, logika moral, pengenalan diri dan keberanian menentukan sikap. Penguasaan terhadap enam unsur ini menjadikan peserta didik mampu membedakan nilai-nilai akhlak mulia dan akhlak tercela serta nilai universal, dan memahami akhlak mulia secara logis dan rasional bukan secara doktrin. b)Moral Loving, merupakan penguat aspek emosi manusia untuk menjadi manusia berkarakter. Penguatan ini berkaitan dengan bentuk sikap yang harus dirasakan oleh siswa, yaitu percaya diri, empaty, cinta kebenaran, pengendalian diri dan kerendahan hati. Tahapan ini dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa cinta dan rasa butuh terhadap nilai-nilai akhlak mulia. Jadi, yang menjadi sasaran guru adalah dimensi emosi, hati, dan jiwa bukan kognitif, logika atau akal. c)Moral Doing/Acting, merupaka outcome dan puncak keberhasilan peserta didik dalam pendidikan karakter. Wujud dari tahapan ketiga ini adalah mempraktikkan nilai-nilai akhlak dalam perilaku sehari-hari. 3. Perspektif Global Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari nilai moral universal (bersifat absolut) yang bersumber dari agama yang juga disebut sebagai the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan ciptaan-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan; baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat dipercaya, rasa hormat dan perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab; kewarganegaraan, ketulusan, berani, tekun, disiplin, visioner, adil, dan punya integritas. Penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar, yang selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi, dan lingkungan sekolah itu sendiri. Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter. PENUTUP Pendidikan memiliki keterkaitan erat dengan globalisasi. Dalam menuju era globalisasi, Indonesia harus melakukan reformasi dalam proses pendidikan, yaitu dengan tekanan menciptakan sistem pendidikan yang lebih komprehensif dan fleksibel, sehingga para lulusan dapat berfungsi secara efektif dalam kehidupan masyarakat global demokratis. Melalui BudAI pendidikan dirancang sedemikian rupa agar memungkinkan para anak didik dapat mengembangkan potensi yang dimiliki secara alami dan kreatif dalam suasana penuh kebebasasn, kebersamaan dan tanggung jawab. Selain itu, pendidikan harus dapat menghasilkan lulusan yang bisa memahami masyarakatnya dengan segala faktor yang dapat mendukung mencapai sukses ataupun penghalang yang menyebabkan kegagalan di dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan yaitu dengan pengelolaan pendidikan Indonesia yang yang berkarakter dan berwawasan global.
204
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
DAFTAR PUSTAKA Abdul Madjid.2011.Pendidikan Karakter Perspektif Islam.Bandung: Rosdakarya. Ali Idrus. 2009. Manajemen Pendidikan Global (Visi, Aksi, dan Adaptasi). Jakarta: Gaung Persada Pres. Doni Koesuma A.2010.Pendidikan Karakter: Strategi Mendidika Anak di Zaman Global Jakarta: Grasindo. Fathul Muin.2011Pendidikan Karakter: Konstruksi Teoritik dan Praktik. Jogjakarta: Ar Ruzz. Nurul Zuriah. 2007. Pendidikan Moral dan Budi Pekerti Dalam Perspektif Perubahan. Jakarta: Bumi Aksara.
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
205
FUNGSI CERITA RAKYAT DI KABUPATEN BANYUMAS BAGI MASYARAKAT PEMILIKNYA M. Riyanton, Dyah Wijayawati, dan Etin Pujihastuti Universitas Jenderal Soedirman Jalan Dr. Soeparno, Karangwangkal Purwokerto Utara Banyumas Jateng
[email protected] 085741778824 Abstrak Makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan fungsi cerita rakyat bagi masyarakat di Kabupaten Banyumas. Makalah ini merupakan Makalah kualitatif deskriptif. Dalam Makalah ini informasi dideskripsikan secara teliti dan analisis. Data Makalah dikumpulkan melalui beberapa sumber yaitu, informan, tempat benda-benda fisik, dan dokumen. Teknik pengumpulan data yang digunakan meliputi observasi langsung, perekaman, wawancara dan analisis dokumen. Teknik cuplikan (sampling) yang digunakan adalah purposive sampling. Teknik validasi data yang digunakan adalah triangulasi data/sumber dan triangulasi metode. Teknik validasi data yang digunakan adalah review informan. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis model interaktif (interactivemodel of analysis). Cerita rakyat Kabupaten Banyumas yang dihimpun dan dianalisis dalam Makalah ini berjumlah tiga, yaitu (1) cerita rakyat “Babad Ajibarang: Djaka Mruyung”,(2) cerita rakyat “Babad Sokaraja: Raden Kuncung”, d a n (3) cerita rakyat “Batu Raden”. Pengkajian cerita rakyat yang di dalamnya termuat cerita rakyat (folk literature) memiliki fungsi antara lain:(1) sebagai sistem proyeksi (projective system), (2) sebagai alat pengesahan pranata- pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan, (3) sebagai alat pendidik anak (pedagogicaldevice) (4) sebagai alat pemeriksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya. Keempat fungsi inilah yang ditemukan dalam kajian ini. Kata Kunci: Cerita, Rakyat, Fungsi, dan Resepsi.
A. PENDAHULUAN Kebudayaan pada hakikatnya adalah cermin dari sekumpulan manusia yang ada.Wujud budaya tidak bias lepas dari system nilai yang dikuasai manusia.Manusia sebagai pelaku budaya mempunyai konsep yang hidup dalam alam pikirannya mengenai hal yang harus mereka anggap bernilai dalam hidup.Konsep pemikiran seperti itu pada akhirnya menimbulkan suatu system nilai budaya yang berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia.Mewariskan nilai lama dalam masyarakat memerlukan sebuah perantara untuk menyampaikannya, baiksecaralisanmaupuntulisanyang akanmengisikebudayaanpadasepanjangzaman.Mempengaruhi pola pikir masyarakatdanmenjadi gambaran wujud masyarakat yang akan datang, member arah gerak pembangunan yang ada, menjadi tolok ukur aktivitas kehidupanseharihariSalahsatusumberkebudayaannasionaladalahcerita rakyat. Cerita rakyat diIndonesia merupakan bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia.Cerita rakyatdi Indonesia mempunyai peranan besar dalam kehidupansosialbudayaIndonesia,yakni pengungkapalam pikiran dan sikap sebagai pendukung nilai kebudayaan masyarakat serta sebagai penunjang perkembangan bahasa dan sastra Indonesia dan daerah. Cerita rakyat yang dimiliki oleh masyarakat di Kabupaten Banyumas mempunyai untuk berperan sebagai kekayaan budayakhususnya kekayaan sastra lisan.Cerita rakyat merupakan bagiandari cerita rakyat yang masih tetap hidup dan dipertahankanolehmasyarakat Banyumasdi Kabupaten Banyumas. Masyarakat begitu yakin dengan isi cerita rakyatyang ada di KabupatenBanyumas. Karena itu,diperlukan penelitian yang lebih mendalam untuk dapat membuktikan kepercayaan masyarakat terhadap cerita rakyat dan dilandasi begitu banyak cerita rakyat yang ada di Kabupaten Banyumas. B.
METODOLOGIPENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif kualitatif.(Moleong,2002:6) dan objekpenelitianadalah unsur-unsuryangbersama-sama dengan sasaran penelitian membentuk kata dankonteksdata(Sudaryanto,1993:30).Objekdalampenelitian
206
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
iniadalah (1) cerita rakyat“Babad Ajibarang: Djaka Mruyung”,(2) cerita rakyat“Babad Sokaraja: Raden Kuncung”,d a n (3)ceritarakyat“Batu Raden”.Sumber data primerdalam penelitian ini adalah cerita rakyat di Kabupaten Banyumas yang diperoleh secara lisanyangdiceritakanolehinforman yaitu penduduk asli dan tokoh masyarakat.TeknikPengumpulanData dalam penelitian ini antara lain, observasi, wawancara, dan dokumentasi. Observasi dalam penelitian ini dilakukan dengan mengamati tempatataulokasi Cerita Rakyat dan wawancara dilakukan kepada masyarakatpemiliknya ,kepaladesa, dan orang-orang yangmemiliki keterkaitandalampemerolehan informasi yang berhubungan dengan penelitianceritarakyatdi Banyumas, serta dokumentasi dan dokumen penelitan ini adalah rekaman terhadap pencerita atau teks tertulis yang ada. Dalampenelitian iniproses analisis akan dilakukan dengan menggunakan modelanalisisinteraktif menurut Miles dan Huberman(dalam Sutopo,2002:186) C. PEMBAHASAN Ceritarakyat Kabupaten Banyumasmerupakancerita-ceritayang berlatar belakang adat/kebiasaan yang merupakan pengalamanhidupmasyarakatpemiliknya.Cerita-ceritarakyatyang adadiserap dandimanfaatkan sebagai pembentuk watak masyarakatnya. Pada masa dahulu ceritarakyatdigunakan oleh para orang tua untukpembentukwatakanak cucu dan keturunannya lewat tutur lisan yang digunakan disaat senggang atau pengisiwaktumenjelangtidur dengancaramendongeng.Pada saatmen dongeng para orangtua menggunakanisi ceritauntukmendidik agaranakcucudan keturunannya menjadi manusia yang hidup sesuaidengannorma-normayang berlakudalammasyarakatsepertitokohdalamcerita dengansegala perilakudan perannya. Isiceritarakyatyang disampaikan kepada anak cucu dan keturunannya diserap dan disampaikan untuk dapat memberikan petunjuk perilakuyang benar agar dapatdiikuti,dan perilaku yang kurang benar agar dihindari atau dengan kata lainorangtuamenekankanpadaperilakumanayangbolehdanperilakumana yang tidak boleh.Cerita rakyatdapatpula digunakan sebagai alat penghibur dengandibuat pementasanpementasanalakadarnya yang ditonton masyarakat setempat untuk menumbuhkan rasapatriotik,cinta bangsa dan tanah air sekaligus pengobat rindu bagi kerabat yang ditinggalkan serta kebanggaan masyarakat pemiliknya. Berdasarkan hasil observasi dan wawancara, kondisi seperti diatas jarang dijumpai bahkan di Kabupaten Banyumas kondisi seperti ini hampirlangkadapat ditemui di daerah pedesaan, terlebih lagi di wilayah perkotaan. Tradisi atau adat kebiasaan bercerita yang lebihdikenaldengan istilahmen dongeng yang pada zaman dahulu sering dilakukanparaorang tua,dimasasekarang tidaklagi dijumpai.Banyakdarimerekaberpandapatbahwamendongeng sekarang sudah bukan zamannya. Cerita yang paling populer di Kabupaten Banyumas antara lain yaitu(1) cerita rakyat“Babad Ajibarang: Djaka Mruyung”,(2) cerita rakyat“Babad Sokaraja: Raden Kuncung”,d a n (3)ceritarakyat“Batu Raden”.Oleh karena itu, ketiga cerita tersebut yang diambil dalam penelitian ini untuk dikaji struktur, fungsi, dan nilai-nilai pendidikannya berdasarkan teori resepsi sastra. 1. Resepsi Fungsi Cerita Rakyat“Djaka Mruyung” Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yakni disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut (atau dengan suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat, dan alat pembantu pengingat) dari satu generasi ke generasi berikutnya.Folklor bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar.Disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama (paling sedikit dua generasi).Folklor beragam bahkan varian yang berbeda. Folklor bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui orang lagi. Folklor biasanya mempunyai bentuk berpola dan folklor mempunyai kegunaan dalam kehidupan bersama suatu kolektif artinya folklor menjadi milik bersama.
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
207
a.
Fungsi Cerita Rakyat “Djaka Mruyung” bagi Masyarakat Ajibarang 1) Fungsi Cerita Babad Ajibarangterhadap Kepercayaan Masyarakat Sekitar Cerita Djaka Mruyung mempunyai dampak kepercayaan bagi masyarakat Ajibarang khususnya yaitu sebagian masyarakat beranggapan bahwa para peziarah yang berdatangan ke Makam Djaka Mruyung biasanya mempunyai permintaan/tujuan tertentu yang konon apabila ingin cepat kesampaian harus melakukan laku tertentu. Ada juga sebagian masyarakat yang berpendapat lain, bahwa berziarah di makam tersebut adalah sebagai kegiatan ritual yang mengandung nilai keutamaan dengan menghayati dan mengenang jasa leluhur mereka. Selain itu, masyarakat mempercayai bahwa babad Ajibarang memang benar-benar ada. Hal tersebut dapat dilihat dari peninggalannya berupa terbentuknya namaAjibarang dan nama nama daerah lain disekitar Ajibarang. Selain itu, adanya makam dari Adipati Jaka Mruyung, Kenthol Ireng, Pandansari, dan Pandanayu.Makam tersebut dipercayai mempunyai nilai mistis dan biasanya sering dikunjungi oleh masyarakat sekitar untuk berziarah kubur seperti yang diungkapkan bapak Eko Indriyanto S.Pd. Pernyataan tersebut diperkuat dengan pendapat lain yang menyatakan bahwa menurut bapak Sudarmo, Warga Ajibarang mempercayai bahwa makam merupakan sesuatu yang sakral dan suci. Maka harus selalu dijaga keberadannya. Warga mempercayai bahwa makam tersebut merupakan bagian dari terbentuknya nama Ajibarang, sehingga dianggap sebagai sesuatu yang keramat. Sebagian dari masyarakat di Indonesia menjadikan ziarah kubur sebagai suatu rutinan mingguan atau tahunan yang pasti di lakukan dengan istiqomah. Hal ini tidak dapat di bantah lagi karena, kenyataan yang ada memang membuktikan bahwa banyak dari kelompok masyarakat yang mentradisikan ziarah kubur, bahkan banyak dari mereka yang berbondong-bondong ziarah ke suatu Gambar 1.Makam Djaka Mruyung makam yang dianggap sebagai makam keramat/suci tak terkecuali makam Adipati Jaka Mruyung, Dalam melakukan rutinitas ziarah kubur ternyata banyak dari masyarakat yang datang ke pemakaman serta membawa bunga-bunga untuk di taburkan di atas makam keluarga, tokoh masyarakat atau seseorang yang dianggap mulya, dengan berbagai tujuan di dalam menaburkan bunga, mereka seakan-akan lega dan plong jika sudah melihat pemakaman keluarga, tokoh masyarakat atau orang yang di anggap mulia sudah tertaburi dengan aneka macam bunga.Masyarakat menyadari terbentuknya nama Ajibarang tidak lepas dari cerita Djaka Muyung dan cerita tersebut merupakan sejarah bagi masyarakat Ajibarang. 2) Fungsi Cerita Babad AjibarangTerhadap Kebudayaan Masyarakat Ajibarang Sopan santun adalah Sikap perilaku seseorang yang merupakan kebiasaan yang disepakati dan diterima dalam lingkungan pergaulan.Menurut pendapat salah satu responden fungsi cerita Djaka Mruyung adalah dapat memberikan pengaruh terhadap kebudayaan masyarakat berupa budaya gotong royong, sopan santun, dan menghormati orang tua. Cerita tersebut dapat memberikan pengaruh terhadap kebudayaan masyarakat berupa budaya gotong royong yang selalu dilakukan dalam berbagai hal, budaya sopan santun, serta budaya untuk selalu meghormati orang yang lebih tua. Fungsi kepercayaan masyarakat terhadap resepsi cerita Djaka Mruyungjuga mempengaruhi kebudayaan masyarakat, yaitu bagi kebanyakan orang tidaklah setiap hari menjadi waktu yang “pas” untuk berziarah ke makam-makam. Masyarakat yang masih memegang teguh adat “kejawen” yang tidak boleh di tinggalkan sebagai identitas budaya yang dimiliki.Adat yang selama ini berlaku yakni hari kamis lebih-lebih kamis “malam jum’at kliwon dan selasa kliwon” dipastikan menjadi “primadona” bagi pemegang teguh warisan budaya jawa, bahkan ini memberi pengaruh pada orang lain yang tidak beradatkan jawa sehingga ikut-ikutan ziarah makam pada hari kamis. Makam dianggap sebagai sesuatu yang suci, maka sebagian warga ada yang mempercayai ketika pada saat malam jum’at kliwon atau selasa kliwon dapat berkunjung dan berdoa disana, maka mereka akan mendapatkan apa yang mereka inginkan, tentunya selalu diikuti dengan usaha sehingga budaya berziarah kubur pada malam tersebut biasanya dilakukan oleh masyakat tertentu yang mempercayainya.
208
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
3)
Fungsi Cerita Djaka Mruyungterhadap Pendidikan Sekitar Cerita tersebut berfungsi untuk memberitahukan serta menginformasikan terhadap peserta didik, bahwa wilayah Ajibarang memang benar benar ada babadnya dan cerita tersebut akan menambah pengetahuan peserta didik mengenai cerita rakyat yang ada wilayah tersebut, meskipun kita tidak hidup pada zaman tersebut tetapi kita dapat mempelajarinya melalui buku. Cerita tersebut tentunya sebagai pengetahuan.Cerita babad Ajibarang juga sebagai salah satu materi yang dimuat dalam buku budaya banyumas.Budaya banyumas sebagai salah satu mata pelajaran yang diajarkan dengan tujuan untuk memberi pengetahuan kepada generasi muda mengenai sejarah daerah sekitar.Sebab, pada saat ini banyak sekali generasi muda yang melupakan sejarah masa lalu, meskipun itu mengenai sejarah didaerahnya sendiri.(Sudarmo, tokoh masyarakat) 4) Fungsi Cerita Djaka Mruyungterhadap Keadaan Sosial Masyarakat Fungsi lain dari cerita rakyat adalah sebagai pengokoh nilai-nilai sosial budaya yang berlaku dalam masyarakat. Dalam cerita rakyat ajaran-ajaran etika dan moral bisa dipakai sebagai pedoman bagi masyarakat.Di samping itu di dalamnya juga terdapat larangan dan pantangan yang perlu dihindari.Cerita rakyat bagi warga masyarakat pendukungnya bisa menjadi tuntunan tingkah laku dalam pergaulan sosial.Melalui cerita tersebut dapat menumbuhkan jiwa sosial peserta didik, saling tolong menolong dan membantu sesama ketika sedang kesusahan. 5) Fungsi Cerita Djaka Mruyungterhadap Perekonomian PetilasanMbah/Djaka Muyung banyak dikunjungi oleh masayarakat sekitar untukberziarah. Kedatangan mereka selain ingin mendapatkan berkah juga dengan maksud agar permohonan mereka dapat terkabul melalui perantaraan doa sesepuh mereka. Para peziarah agar keinginannya terkabul sering mengadakan ritual dan slametan. Ritual ini sebagai bentuk ketulusan hati orang mempunyai hajat agar permintaanya segera dikabulkan Tuhan. Ritual yang sering diadakan di makam tersebut biasanya dilakukan perorangan.Mereka yang mempunyai hajat datang ke makam lalu dengan niatan yang baik dan tulus berpuasa. Puasa yang dilakukan biasanya puasa sehari penuh dan menu berbukanya dengan menu seadanya. Di samping berpuasa,mereka biasanya bermalam di areal makam.Oleh karena itu, pada saat hari besar banyak orang berziarah di makam tersebut sehingga banyak penjual bunga untuk menabur di makam Djaka Mruyung.Selain berjualan, masyarakat juga ada yang bertugas untuk menunjukkan makam Djaka Mruyung.Berdasarkan cerita babad Ajibarang, telah disebutkan bahwa Ajibarang nantinya akan menjadi suatu desa yang besar. Hal tersebut yang ada didalam cerita, sudah dapat dibuktikan kebenarannya. Sebab pada saat ini ,Ajibarang sudah menjadi pusat dan pasar yang dapat meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar Ajibarang. (Sudarmo, tokoh masyarakat) 2. Resepsi Fungsi Cerita Rakyat“Raden Kuncung” 3. a. Fungsi Cerita Rakyat “Raden Kuncung” bagi Masyarakat Sokaraja 1) Fungsi Cerita “Raden Kuncung” Terhadap Kepercayaan Masyarakat Sekitart Perdamaianyangditempuholehkedua adipatiitudiikutidenganpernyataan Adipati Jebugkusuma yang menyatakan bahwa keturunan Sokaraja tidak boleh berbesanan denganketurunanPurbalingga.Tabunikahini di-sebabkan oleh konflik-konflik yang terjadi sebelumnya. Nasib Raden Kaligenteng yang menjadi troublemakerdalamkonflik-konflik Sokaraja-Purbalingga.
Gambar 2. Kali Pelus
Pengaruh fungsi babad Sokaraja terhadap kepercayaan masyarakat adalah masyarakat mempercayai sokaraja adalah gudangnya santri karena raden kuncung berguru ke muridnya sunan gunung jati dan pantangan bagi masyarakat purbalingga tidak boleh menikah dengan masyarakat sokaraja. (Arif Rohman: Guru Kelas SDN 1 Karang Duren).
Cerita rakyat Raden Kuncungmemiliki pengaruh terhadap kepercayaan masyarakat yaitu dulu orang purbalingga benar-benar dilarang menikahi orang sokaraja namun sekarang sudah banyak PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
209
orang purbalingga yang menikahi orang sokaraja, namun kepercayaan orang purbalingga dilarang mandi di sungai pelus masih menjadi pantangan karena takut mengalami perkara yang buruk. (Amin Supangat: Kepala Desa Karang Duren) 2) Fungsi Cerita Rakyat Raden Kuncungterhadap Kebudayaan. Pentingnya mengkaji nilai-nilai yang terkandung dalam cerita rakyat, karena cerita rakyat itu memiliki fungsi kultural. Lahirnya suatu cerita rakyat bukan semata-mata di dorong oleh keinginan penutur untuk menghibur masyarakatnya melainkan dengan penuh kesabaran ia ingin menyampaikan nilai-nilai luhur kepada generasi penerusnya.Cerita rakyat adalah golongan cerita yang hidup dan berkembang secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.Disebut cerita rakyat karena cerita ini hidup di kalangan rakyat dan hampir semua lapisan masyarakat mengenal cerita itu.Cerita rakyat milik masyarakat bukan milik seseorang.Pengaruh cerita rakyat Raden Kuncung dengan kebudayaan yaitu adanya kebudayaan orang tua yang menceritakan cerita rakyat Raden Kuncung kepada anaknya secara lisan. 3) Fungsi Cerita Rakyat Raden Kuncungterhadap Pendidikan Masyarakat Cerita rakyat adalah suatu kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat itu yang diwarisi secara lisan sebagai milik bersama. Cerita rakyat tidak hanya berfungsi sebagai alat hiburan, pengisi waktu senggang serta penyalur perasaan bagi penuturnya serta pendengarnya, melainkan juga sebagai pencerminan sikap dan angan-angan kelompok, alat pendidikan, alat pengesahan pranata, dan lembaga kebudayaan serta pemeliharaan norma masyarakat. fungsi cerita rakyat raden kuncung terhadap pendidikan yaitu adanya fungsi edukasi untuk mengajarkan pesan moral yang ada di dalam cerita tersebut yaitu seseorang tidak boleh serakah dan tidak boleh sembrono terhadap orang yang lebih tua, harus menghormati orang yang lebih tua. Serta cerita tersebut termasuk dalam kumpulan cerita rakyat banyumas yang ada dalam mata pelajaran "Budaya Banyumas". 4) Fungsi Cerita Rakyat Raden Kuncung terhadap Sosial Masyarakat Fungsi sosial masyarakat erita rakyat merupakan bagian dari karya sastra, maka dalam kebudayaan cerita itu termasuk dalam salah satu unsur kebudayaan.Cerita rakyat merupakan salah satu perwujudan atau pikiran kelompok masyarakat pendukungnya.Lahirnya cerita rakyat karena pengaruh timbal balik yang kompleks dari faktor-faktor sosial kultural dan cerita-cerita rakyat itu mengandung pikiran tentang nilai yang harus menjadi panutan masyarakat yang bersangkutan dalam menata tindakan sehari-hari.Pengaruh cerita Raden Kuncungterhadap sosial masyarakat yaitu saling mengingatkan jika ada orang purbalingga yang akan mandi di sungai pelus akan celaka.(Amin Supangat: Kepala Desa Karang Duren) 5) Fungsi Cerita Rakyat Raden Kuncung terhadap Perekonomian Masyarakat Sokaraja Fungsi cerita rakyat raden kuncung belum memberikan pengaruh yang langsung atau nyata terhadap perekonomian masyarakat sekitar karena cerita-cerita seperti ini belum begitu popular. Pengaruh fungsi babad sokaraja terhadap perekonomian masyarakat adalah pada saat itu hubungan perdagangan menjadi terputus karena perkelahian antar kadipaten, karena terjadi konflik maka bilateralnya tidak berlaku, dan Sokaraja bisa menjadi sekarang karena pada saat dulu sokaraja termasuk jalur yang strategis dalam hal transportasi dan perdagangan. (Arif Rohman: Guru Kelas SD N 1 Karang Duren) 4. Resepsi Fungsi Cerita Rakyat“Baturaden” a) Fungsi Cerita Rakyat terhadap Kepercayaan Masyarakat Kepercayaan masyarakat terhadap cerita Baturaden terbagi menjadi 3 tipe golongan, yaitu manusia intelek, manusia agamis, dan manusia biasa.Berikut kutipan wawancaranya. Rasa percaya setiap manusia berbeda- beda, kepercayaan di golongkan menjadi 3 tipe, yaitu (1) manusia bangga dengan intelektualnya yang tinggi sehingga tidak percaya dengan mitos, mereka cenderung ingin membuktikan mitos tersebut dengan ilmu yang dimilikinya (2) masyarakat yang agamis, bisa percaya bisa juga tidak. (3) masyarakat biasa, yang pendidikannya kurang dan cenderung percaya dengan mitos yang ada di baturaden(BapakSalam)
210
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
Resepsi masyarakat terhadap cerita baturaden mulai tumbuh seiring terbentuknya Lokawisata Baturaden yang menampakkan eksisitensi kepariwisataannya di masyarakatSecara fisik tidak Nampak. Akhir-akhir ini ada grebeg suran di sekitar daerah Baturraden yang berhubungan dengan asal-usul Baturraden(Bapak Kardjito: Guru SD negeri 1 Kotayasa). Berkaitan dengan tempat pancuran pitu dipercaya khasiat airnya bisa menyembuhkan gatal-gatal, khususnya gatal-gatal seperti SyekhMaulana Maghribimandisecara teraturditempatitu,dengan begitudia sembuhdaripenyakitgatalnya.Kalau jaman dahulu biasanya orang ke daerah pancuran tujuh untuk berobat, terus meminta apa-apa. (Bapak.Salam) b) Fungsi Cerita Rakyat Baturaden terhadap Kebudayaan Masyarakat Wangsit Mbah Atas Angin diberikan kepada sesepuh Baturraden melalui mimpi,untuk melakukan selamatan.Hal ini berawal dari beberapa kejadianyang tidakbiasa, yaitubanyakwargaBaturraden yang tertimpapenyakit. Penyakittersebutdiantaranyahampirsama dengan yang diderita oleh Mbah Atas Angin padawaktuperjalananmenujuGunungSlamet,yaitu MbahAtasAngin menderita penyaki tgatal-gatalyangsusahdisembuhkan.Berawaldarikejadiankejadian yang tidak biasa kemudianadasesepuh Baturradenyang diberimimpisupayatidakadakejadianatau musibah yang mak aharus mengadakan selamatan.Makadariitusampaisekarang selamatandilestarikanuntuk menghormatisesepuhyang mendirikanBaturradenyaituMbahAtas Angin.” (Bapak.Salam) Berdasarkan pernyataan diatas dapat diketahui bahwa upacara di Objek WisataBaturradenberawaldarikejadian-kejadianyang tidakbiasamenimpa masyarakatBaturaden. Kejadian tersebut misalnya banyak masyarakat Baturaden yangtertimpapenyakit.Kemudian, ada seorang sesepuh Baturraden yang diberiwangsitmelaluimimpiolehMbahAtasAngin,untuk melakukan selamatan setiap hariselasaatauJumatKliwonpada bulanSura.Hal tersebut dilakukan supayawargadiberi keselamatan dan terhindardari musibah. c) Fungsi Cerita Rakyat Baturadenterhadap Pendidikan Masyarakat Masyarakat awam banyak yang tidak mengetahui cerita baturraden, bahkan hanya masyarakat yang berpendidikan saja yang mengetahui karena di haruskan mengajakan cerita tersebut pada siswa sekolah dasar.Disekolah paling disinggung dalam pelajaran tertentu, tentang kearifan lokal berhubungan dengan budaya-budaya banyumas. d) Fungsi Cerita Rakyat Baturadenterhadap Sosial Masyarakat Cerita rakyat itu sebenarnya diarahkan untuk memengaruhi kehidupan sosial masyarakat.Tapi zaman sekarang sepertinya masyarakat untuk terbawa dan percaya ke cerita itu sepertinya tidak begitu kental. Misalnya kalau dulu jalan ke pancuran tujuh itu tidak boleh untuk bilang capek, kesel, bahkan liat ular saja bilangnya oyod, namun hanya orang-orang tertentu yang masih terpengaruh cerita tersebut. Upacara yang dilakukan masyarakat seperti grebeg suran untuk mengangkat kearifan lokal daerah.Hal itu merupakan sesuatu yang positif karena pengunjung atau warga wilayah banyumas banyak yang berkunjung ke daerah tersebut. e) Fungsi cerita rakyat Baturadenterhadap perekonomian masyarakat Perjalanan menuju ke objek wisata Batu Raden melewati jalur utama tidak terlalu menyulitkan karena rambu-rambu petunjuk arah sudah cukup jelas.Memasuki kawasan wisata, selain disuguhkan pemandangan pegunungan yang sejuk, tapi juga deretan hotel, losmen dan motel dari yang sederhana sampai mewah dengan harga bervariasi.Kawasan lokawisata Batu Raden terbilang cukup ramai, tidak dipengaruhi oleh musim libur. Setelah melewati gerbang masuk, pengunjung dihadapkan pada sebuah taman yang luas yang dikelilingi beberapa fasilitas penunjang seperti taman bermain anak, warung pedagang makanan khas seperti sate kelinci, jagung bakar, dan pecel desa, pos keamanan, dan ruang kesehatan.Baturraden menjadi tempat wisataSangat berpengaruh, banyaknya di buka lapangan pekerjaan di sekitar daerah lokawisata baturraden. Kemajuan fisik sangat terlihat jelas dengan pembangunan insfraktuktur yang semakin baik. (Bapak Salam)
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
211
D. SIMPULAN Pengkajiancerita rakyatyang di dalamnyatermuat3 ceritarakyatmemilikifungsiantara lain:(1) sebagaisistemproyeksi(projective system),(2) sebagaialatpengesahanpranata- pranata danlembaga-lembaga kebudayaan,(3) sebagaialatpendidikanak (pedagogicaldevice) (4)sebagaialatpemeriksa danpengawasagar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggotakolektifnya namun untuk poin yang ke 4 sudah mulai pudar karena perkembangan zaman. Keempatfungsiinilahyangditemukan dalam kajian ini. Selain sebagai hiburan,jugamerupakansaranauntukmengetahui(1)asal-usulnenekmoyang, (2)jasa atauteladan kehidupanpara pendahulu,(3)hubungankekerabatan (silsilah),(4) asalmulatempat,(5) adatistiadat,dan(6) sejarahbendapusaka.Berawal dari penelitian ini diharapkan bisa menjadi refensi awal penelitian cerita rakyat yang ada di Banyumas lebih banyak lagi dan dari segi analisis sastra yang lain. Sementara dalam praktisnya penelitian ini diharapkan bisa menjadi dokumentasi budaya dan kemudian bisa ditindak lanjuti oleh pemerintah melalui dinas pariwisata untuk lebih memperhatikan aset-aset budaya daerah demi memajukan iklim pariwisata. Karena sejatinya salah satu aset terbesar yang dimiliki bangsa ini adalah kebudayaannya.
DAFTAR PUSTAKA Damono,Sapardi Joko. 1984. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas.Jakarta:Gramedia. Endraswara, Suwardi.2003.MetodologiPenelitianSastra.Yogyakarta:Pustaka Widyatama. Fananie, Zainuddin.2001.TelaahSastra.Surakarta:MuhammadiyahUniversity press Moleong,Lexy J. 2002. Metodologi PenelitianKualitatif. Bandung: Remaja Karya. Nurgiyantoro, Burhan.2002.TeoriPengkajianfiksi.Yogyakarta:GadjahMada UniversityPress. Pradopo,Rachmat Djoko. 2003. Beberapa TeoriSastra, Metode Kritik, dan Penerapannya.Yogyakarta:PustakaPelajar. Ratna,Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:PustakaPelajar. Russel,Bertrand. 1993.Pendidikan dan Tatanan Sosial (Edisiterjemahanoleh:A. SetiawanAbadi).Jakarta:YayasanOborIndonesia. Sudaryanto.1993.MetodedanAnekaTeknikAnalisisBahasa.Yogyakarta:Duta WacanaUniversityPress. Sutopo,H.B.2002.MetodePenelitianSastra:EpistemologiModelTeoridanAplikasi.Yogyakarta:Pustak aWidyatama.
212
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
PUISI SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN UNTUK PENANAMAN NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DI LINGKUNGAN MAHASISWA Oktaviani Windra Puspita, M.Pd. Universitas Ma’arif Nahdlatul Ulama Kebumen Jl. Kusuma No 75 Kebumen HP. 085641232602 Abstrak Puisi adalah karya sastra yang paling tua. Semua karya sastra bersifat imajinatif. Bahasa sastra bersifat konotatifkarena banyak didalamnya digunakan makna kias dan makna lambang (majas). Dibandingkan dengan bentuk karya sastra yang lain, puisi lebih bersifat konotatif. Bahasa lebih memiliki banyak kemungkinan makna. Maka puisi bisa digunakan sebagai media pembelajarandi lingkungan mahasiswa khususnya pada mata kuliah puisi. Pada tahap pembelajaran di kelas digunakan puisi-puisi karangan sastrawan terdahulu yaitu khususnya puisi karangan Chairil Anwar yang nantinya akandianalisis maknanya, lalu makna tersebut dikaitkan dengan nilai pendidikan karakter yang terkandung didalam puisi tersebut. Puisi yang dianalisismaknanya tersebut dapat digunakan sebagai pembelajaran mahasiswa untuk menanamkan nilai pendidikan karakter pada dirinya sendiri sehingga mahasiswa secara tidak langsung memiliki perilaku dan kebiasaan yang baik melalui media pembelajaran puisi, didalam puisi banyak nilai pendidikan karakter yang terkandung didalamnya. Maka puisi sebagai media pembelajaran bisa digunakan untuk menanamkan nilai pendidikan karakter di lingkungan mahasiswa supaya mahasiswa memiliki nilai karakter yang baik dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari sehingga bisa merubah karakter bangsa kita menuju yang lebih baik. Kata kunci : Puisi, media pembelajaran, pendidikan karakter.
PENDAHULUAN Pendidikan karakter bangsa Indonesia saat ini sedang terpuruk, ini disebabkan karena semakin banyaknya perilaku menyimpang dan di luar batas moral yang dilakukan mulai dari anak sekolah sampai dengan anggota DPR dan pejabat di negeri ini. Pendidikan karakter mutlak diperlukan bukan hanya di sekolah saja tetapi di rumah dan lingkungan sosial.Sebagai bangsa yang beradab dan berbudaya, situasi semacam itu jelas sangat tidak menguntungkan bagi masa depan bangsa, khususnya dalam melahirkan generasi masa depan yang cerdas, baik secara intelektual, emosional, spiritual, maupun sosial. Dalam konteks demikian, perlu ada upaya serius dari segenap komponen bangsa untuk membangun “kesadaran kolektif” demi mengembalikan karakter bangsa yang hilang. Penanaman pendidikan karakter melalui media pembelajaran puisi akan memudahkan mahasiswa untuk belajar pendidikan karakter. Puisi adalah karya sastra yang paling tua. Semua karya sastra bersifat imajinatif. Bahasa sastra bersifat konotatifkarena banyak didalamnya digunakan makna kias dan makna lambang (majas). Dibandingkan dengan bentuk karya sastra yang lain, puisi lebih bersifat konotatif. Bahasa lebih memiliki banyak kemungkinan makna.Puisi adalah media pembelajaran yang cocok digunakan di lingkungan mahasiswa khususnya jurusan pendidikan bahasa Indonesia pada mata kuliah kajian puisi, apresiasi puisi, pengkajian puisi, puisi indonesia tergantung universitas masing-masing.Dalam konteks demikian, menjadi menarik ketika sebagai seorang pendidik bahasa dan sastra memberikan nilai-nilai berwawasan pendidikan karakter ke dalam pelajarannya yaitu puisi sebagai media pembelajaran untuk penanman nilai karakter khususnya di lingkungan mahasiswa.
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
213
PEMBAHASAN a. Puisi Puisi adalah karya sastra yang paling tua. Semua karya sastra bersifat imajinatif. Bahasa sastra bersifat konotatifkarena banyak didalamnya digunakan makna kias dan makna lambang (majas). Dibandingkan dengan bentuk karya sastra yang lain, puisi lebih bersifat konotatif. Bahasa lebih memiliki banyak kemungkinan makna. Kennedy (1971: xxxix) “Puisi adalah komposisi kata yang berirama yang mengungkapkan sebuah tingkah laku, dibuat untuk menakjubkan dan menggembirakan dan menimbulkan respon emosional”. Pernyataan ini menyatakan bahwaPuisi adalah susunan kata-kata yang berirama yang mengungkapkan tingkah laku (sikap), dirancang untuk memberikan kejutan dan menyenangkan serta memunculkan tanggapan emosional. Waluyo (2010: 29)Puisi adalah bentuk karya sastra yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengonsentrasikan semua kekuatan bahasa dengan pengkonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya. Puisi diciptakan untuk suatu kebutuhan tentang keindahan, karena Puisi dapat memberikan kesan kesenangan atau hiburan kepada pembaca. Hal ini sesuai dengan pendapat Perrine (1974: 559) “Puisi mendatangkan kehidupan dan kesenangan bagi kita. Selain itu, titik seni dan pengalaman yang teratur seperti memberikan kita pemahaman yang lebih baik darinya. Dan untuk memahami kehidupan adalah bagian untuk menguasainya”. Puisi itu ada atau tercipta untuk memunculkan kesenangan dan kehidupan. Selain itu, pengalaman yang terorganisir dan seni yang terfokus dapat memberikan pengalaman yang lebih baik tentang kehidupan. Memahami hidup adalah suatu bagian dari penguasaan akan kehidupan. b. Pendidikan karakter Pendidikan karakter sering dibahas dalam pendidikan karena pendidikan karakter adalah tolak ukur kepribadian, tingkah laku dan sikap peserta didik tentang kesadaran sebagai warga negara yang bermatabat, merdeka dan berdaulat. Maka dari itu pendidikan karakter penting ditanamkan di sekolah-sekolah supaya peserta didik mempunyai pendidikan karakter yang baik. Pengertian yang lebih komprehensif dikemukakan oleh Lickona(1991)Menurutnya, pendidikan karakter adalah usaha yang sungguh-sungguh untuk membantu orang memahami, peduli, dan bertindak ataslandasan inti nilai-nilai etis. Lebih lanjut, dinyatakan pula bahwapendidikan karakter secara psikologis harus mencakup dimensi penalaranberlandaskan moral, perasaan berlandaskan moral, dan perilaku berasaskan moral. Dalampendidikan karakter, diharapkan terbentuknya anak yang mampu menilaiapa yang baik, memelihara secara tulus apa yang dikatakan baik itu, danmewujudkan apa yang diyakini baik walaupun dalam situasi tertekan(penuh tekanan dari luar) dan penuh godaan yang muncul dari dalam hati sendiri. Menurut Samani dan Hariyanto (2012: 45-46), pendidikan karakter adalah proses pemberian tuntunan kepada peserta didik untuk menjadi manusia seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga, serta rasa dan karsa. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti,pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Pendidikan karakter dapat pula dimaknai sebagai upaya yang terencana untuk menjadikan peserta didik mengenal, peduli, dan menginternalisasi nilai-nilai sehingga peserta didik berperilaku sebagai insan kamil. Pendidikan karakter juga dapat dimaknai sebagai suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi kornponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang MahaEsa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan, sehingga menjadi manusia insan kamil. Penanaman nilai kepada warga sekolah maknanya bahwa pendidikankarakter baru akan efektif jika tidak hanya siswa, tetapi juga para guru, kepala sekolah, dan tenaga nonpendidik di sekolah harus terlibat dalam pendidikan karakter secara bersama-sama. Pusat Kurikulum (2010: 9-10) mengidentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu: (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5)
214
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat/komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial, (18) tanggung jawab. c. Implimentasi Puisi sebagai Media Pembelajaran untuk Penanaman Nilai Pendidikan Karakter di Lingkungan Mahasiswa Implementasi puisi sebagai media pembelajaran untuk penanaman nilai pendidikan karakter di lingkungan mahasiswa tentu dimulai dari pembelajaran yaitu: 1. Prapembelajaran Kegiatan prapembelajaran dalam konteks ini disamakan dengan tahapan apersepsi. Setiap mata kuliah bisa dimulai dengan apersepsi berupa pembacaan puisi dengan musikalisasi. “Dosen memulai perkulihan di kelas dengan menyapa dan mengucapkan salam seluruh mahasiswa”. 2. Pembelajaran Dosen memulai menjelaskan materi puisi yang dikaitkan dengan pendidikan karakter mahasiswa mendengarkan penjelasan dosen. Setelah dosen selesai menjelaskan materi, lalu dosen memberi puisi sastrawan lama yaitu Chairil Anwar dengan judul “DOA” untuk dibaca mahasiswa. DOA Kepada Pemeluk teguh Tuhanku Dalam termangu Aku masih menyebut namaMu Biar susah sungguh mengingat Kau penuh seluruh cayaMu panas suci tinggal kerlip lilin di kelam sunyi Tuhanku aku hilang bentuk remuk Tuhanku aku mengembara di negeri asing Tuhanku di pintuMu aku mengetuk aku tak bisa berpaling Setelah mahasiswa membaca puisi yang berjudul “DOA” karya Cahiril Anwar, lalu mahasiswa disuruh mencari makna puisi tersebut dengan waktu 20 menit, setelah itu mahasiswa satu persatu membacakan makna dari puisi yang berjudul “DOA” karya Chairil Anwar. Setelah semua mahasiswa membacakan makna dari puisi tersebut dosen baru menjelaskan makna puisi tersebut berkaitan dengan pendidikan karakter yaitu nilai pendidikan karakter religius. 3. Pascapembelajaran Pada penilaian hasil belajar mahasiswa, mahasiswa bisa mengoptimalkan mencari judul-judul puisi yang mengandung nilai pendidikan karakter yang lainnya, yang nanti bisa dijadikan puisi sebagai media pembelajaran penanaman nilai pendidikan karakter di lingkungan mahasiswa.
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
215
PENUTUP Puisi adalah karya sastra yang paling tua. Semua karya sastra bersifat imajinatif. Bahasa sastra bersifat konotatifkarena banyak didalamnya digunakan makna kias dan makna lambang (majas) banyak puisi-puisi yang diciptakan oleh sastrawan terdahulu yaitu khususnya Chairil Anwar yang berjudul “DOA” memiliki nilai karakter religius sehingga puisi bisa dijadikan media pembelajaranpenanaman nilai pendidikan karakter di lingkungan mahasiswa untuk membentuk karakter-karakter mahasiswa menjadi lebih baik. Puisi yang memiliki nilai karakter tidak hanya puisi karya Chairil Anwar tetapi masih banyak lagi puisi-puisi ciptakan oleh sastrawan lainnya yang nantinya bisa digunakan sebagai media pembelajaran untuk penanaman karakter di lingkungan mahasiswa dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari sehingga bisa merubah karakter bangsa kita menuju yang lebih baik. DAFTAR PUSTAKA Creasy. 2008. “What Is Character Education?”, dalam Education Policy. Vol.3 (12), 172-180. Kennedy, X.J. 1971. An Introduction to Poetry. Boston: Little, Bronw and Company. Lickona, Thomas. 1991. Educating For Character: How Our School can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Books. Pusat Kurikulum. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta: Pusat Kurikulum, Balitbang, Kementrian Pendidikan Nasional. Perrine, Laurence. 1974. Saund and Sense: An Introduction to Poetry. Now york: State University Of New York Press. Samani, Muchlas dan Hariyanto. 2012. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Waluyo, Herman J. 2010. Pengkajian dan Apresiasi Puisi. Salatiga: Widya Sari Press.
216
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
TERAMPIL MENULIS KARYA ILMIAH DENGAN TEKNIK COLLABORATIVE WRITING SEBAGAI UPAYA PENGUATAN PENDIDIKAN KARAKTER Purwati Zisca Diana dan Desy Rufaidah Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta e-mail:
[email protected] (0877 4558 1200) Abstrak Pentingnya keterampilan menulis karya ilmiah bagi mahasiswa merupakan suatu hal yang harus dikuasai. Mahasiswa senantiasa terlibat dengan kegiatan menulis karya ilmiah selama studinya, seperti menulis makalah, esai, artikel, melaporkan kegiatan penelitian, dan pada akhirnya menyusun tugas akhir, skripsi, tesis, atau pun disertasi. Permasalahan yang terdapat di lapangan berkaitan dengan kemampuan menulis karya ilmiah adalah mahasiswa belum menguasai teknik menulis karya ilmiah. Artinya, mereka kurang memahami strategi, langkahlangkah, tahapan-tahapan, tata tulis, ragam bahasa formal, ejaan bahasa Indonesia, teknik pengutipan, perujukan sumber, penyusunan daftar pustaka, hingga penomoran. Metode collaborative writing dalam tulisan ini digunakan sebagai upaya meningkatkan kemampuan menulis karya ilmiah sekaligus sebagai upaya penguatan pendidikan karakter mahasiswa, sehingga tidak terdapat lagi unsur plagiasi pada tulisan karya ilmiah mahasiswa.
Abstract The importance of skills for students to write scientific papers is a matter that must be mastered. Students continue to be involved with the writing of scientific papers during his studies, such as writing papers, essays, articles, reports research activities, and eventually prepare the final project, thesis, or dissertation. Problems were found in a field related to the ability to write scientific papers is a student has not mastered the technique of writing scientific papers. That is, they do not understand the strategy, steps, stages, Grammar, a variety of formal language, spelling enhanced, quoting techniques, referral sources, the preparation of the bibliography, to the numbering. Collaborative writing method used in this paper as an effort to improve the ability to write scientific papers as well as efforts to strengthen character education students, so there is no longer an element of plagiarism in the writing of scientific works of students.
PENDAHULUAN Menulis karya ilmiah pada dasarnya merupakan bagian dari aktivitas keilmuan secara komprehensif. Tujuan kegiatan menulis karya ilmiah adalah untuk memecahkan dan menganalisis sejumlah persoalan berdasarkan kerangka metode penulisan ilmiah. Implikasi dari hal itu adalah munculnya aktualisasi ilmu pengetahuan dan teknologi baru yang senantiasa dicari melalui penelitian, eksplorasi, pemikiran, serta apresiasi dari berbagai pihak. Pentingnya keterampilan menulis karya ilmiah bagi mahasiswa merupakan suatu hal yang harus dikuasai. Mahasiswa senantiasa terlibat dengan kegiatan menulis karya ilmiah selama studinya, seperti menulis makalah, esai, artikel, melaporkan kegiatan penelitian, dan pada akhirnya menyusun tugas akhir, skripsi, tesis, atau pun disertasi. Permasalahan yang terdapat di lapangan berkaitan dengan kemampuan menulis karya ilmiah adalah mahasiswa belum menguasai teknik menulis karya ilmiah. Artinya, mereka kurang memahami strategi, langkah-langkah, tahapan-tahapan, tata tulis, ragam bahasa formal, ejaan bahasa Indonesia, teknik pengutipan, perujukan sumber, penyusunan daftar pustaka, hingga penomoran. Hal tersebut terlihat dari hasil makalah mahasiswa, bahkan terdapat beberapa makalah yang terbukti adanya unsur plagiasi. Mahasiswa kurang mahir dalam menulis karya ilmiah disebabkan oleh tidak adanya penguasaan atas ragam bahasa akademik. Kesulitan yang sering dikeluhkan mahasiswa adalah (1) kesulitan menemukan toipk atau persoalan yang akan ditulis; (2) kesulitan mencari atau menemukan bahan penulisan atau referensi; (3) kesulitan menyusun kalimat efektif; (4) kesulitan menyusun paragraf yang baik; dan (5) kesulitan menguasai teknik menulis karya ilmiah. PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
217
Berkaitan dengan uraian di atas, maka tulisan ini bermaksud memaparkan strategi pembelajaran menulis karya ilmiah. Metode collaborative writing akan digunakan sebagai upaya meningkatkan kemampuan menulis karya ilmiah sekaligus sebagai upaya penguatan pendidikan karakter mahasiswa, sehingga tidak terdapat lagi unsur plagiasi pada tulisan karya ilmiah mahasiswa. PEMBAHASAN 1. Hakikat menulis karya ilmiah Karya tulis ilmiah merupakan hasil pemikiran ilmiah seseorang yang ingin mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang diperoleh melalui kepustakaan, kumpulan pengalaman, penelitian dan pengetahuan orang lain sebelumnya. Dalam dunia akademisi karier seseorang ditentukan dari seberapa produktif orang tersebut dalam menulis karya limiah. Semakin produktif orang tersebut dalam menghasilkan karya ilmiah yang berkualitas maka karier dan prestasinya pun akan melesat dengan cepat. Oleh sebab itu, budaya menulis karya ilmiah harus dipupuk sedini mungkin (Dwiloka dan Riana, 2005:2). Sehubungan dengan karya tulis ilmiah, di perguruan tinggi dikenal beberapa karya tulis ilmiah seperti yang disebutkan oleh Dwiloka dan Riana (2005:5-7) di antaranya adalah makalah, kertas kerja, laporan akhir, skripsi, tesis, dan disertasi. Makalah adalah suatu karya tulis ilmiah yang menyajikan suatu masalah yang pembahasannya berdasarkan kajian pustaka atau data di lapangan yang bersifat empiris objektif. Makalah menyajikan masalah dengan melalui proses berpikir deduktif atau induktif. Menurut Maryadi (2006:67) karya tulis ilmiah adalah suatu karya yang memuat dan mengkaji suatu masalah tertentu dengan menggunakan kaidah-kaidah keilmuan. Berbeda dengan Maryadi, Djuroto (2007:12) berpendapat bahwa karya ilmiah adalah salah satu jenis karangan yang berisi serangkaian hasil pemikiran yang diperoleh sesuai dengan sifat keilmuannya. Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disintesiskan bahwa karya ilmiah merupakan hasil pemikiran ilmiah pada suatu disiplin ilmu tertentu yang disusun secara sistematis, ilmiah, logis, benar, bertanggung jawab, dan menggunakan bahasa yang baik dan benar. 2.
Pendidikan Karakter Pendidikan karakter adalah pendidikan yang ditujukan untuk mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving the good, and action the good, yaitu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart, and hands (Muslich, 2011: 151). Menurut Lickona (2012: 84), pendidikan karakter yang baik harus melibatkan bukan saja aspek knowing the good (moral knowing) tetapi juga desiring the good atau loving the good (moral feeling), dan acting the good (moral action). Tanpa itu semua manusia akan sama seperti robot yang terindoktrinasi oleh sesuatu paham. Dengan demikian jelas bahwa karakter dikembangkan melalui tiga langkah, yakni mengembangkan moral knowing, kemudian moral feeling, dan moral action. Senada dengan Lickona, ajaran Ki Hadjar Dewantara (2011: 23) yang menjadi pegangan perguruan Tamansiswa sarat akan pendidikan karakter. Salah satu nilai luhur bangsa Indonesia yang merupakan falsafah peninggalan Ki Hadjar Dewantara yang dapat diterapkan yakni tringa yang meliputi ngerti, ngrasa, dan nglakoni. Ki Hadjar mengingatkan, bahwa terhadap segala ajaran hidup, cita-cita hidup yang kita anut diperlukan pengertian, kesadaran dan kesungguhan pelaksanaannya. Tahu dan mengerti saja tidak cukup, kalau tidak merasakan menyadari, dan tidak ada artinya kalau tidak melaksanakan dan tidak memperjuangkannya. Dalam mengembangkan pendidikan karakter, ada berbagai macam variasi dan perbedaan dalam memberikan penekanan terhadap nilai-nilai yang ingin dikembangkan. Nilai-nilai tersebut akan membentuk individu menjadi pribadi yang semakin dewasa, yang mampu menghayati nilai, terutama nilai-nilai yang terkait dengan pengembangan moral (Koesoema, 2012:187). Kementerian Pendidikan Nasional memberikan prioritas pada 20 nilai-nilai yang ingin diterapkan dalam lembaga pendidikan. Nilai-nilai bagi pembentukan karakter dibagi berdasarkan lima bidang pengelompokkan (Kemdiknas, 2011:16-19).
218
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
Nilai karakter dalam hubungannya dengan: Tuhan
Diri Sendiri
Jujur
Sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain
Bertanggung jawab
Patuh pada aturan-aturan sosial
Bergaya hidup sehat Disiplin Religius
Sesama
Kerja keras
Menghargai karya dan prestasi orang lain
Lingkungan
Nilai Kebangsaan
Nasionalis
Cinta lingkungan
Percaya Diri Berjiwa wirausaha Berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif
Santun
Menghargai keragaman
Mandiri Ingin tahu
Demokratis
Cinta ilmu 3.
Collaborative writing sebagai upaya penguatan pendidikan karakter dalam menulis karya ilmiah Pembelajaran menulis karya ilmiah berpusat pada mahasiswa, dosen sebagai mitra belajar dan fasilitator. Aktivitas pembelajaran mahasiswa dibangun dalam diskusi kelompok yang egaliter. Selain itu, pada pembelajaran ini juga mengintegrasikan pendidikan karakter kerja keras, kreatif, dan disiplin. Kerja keras menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar, tugas, dan menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Kreatif merupakan wujud berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki, sedangkan disiplin menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan, dalam hal ini adalah gaya selingkung penulisan karya ilmiah. Selain itu, juga menunjukkan karakter nilai bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya yang dilakukan terhadap diri sendiri maupun kelompok, serta menghargai prestasi, mengakui, dan menghormati keberhasilan orang/menghargai pendapat orang lain. Dalam collaborative writing, mahasiswa membentuk kelompok beranggotakan tiga mahasiswa untuk bersama-sama membuat makalah ilmiah. Setiap mahasiswa berkontribusi dalam setiap tahap penulisan: sumbang saran gagasan, mengumpulkan dan mengorganisasi informasi, dan merancang, merevisi, serta mengedit tulisan. Bekerja secara bersama-sama dapat membantu PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
219
mahasiswa mempelajari dan melakukan tahap-tahap menulis secara lebih efektif (Barkley, Cross, dan Major, 2012:380). Berikut langkah strategi pembelajaran collaborative writing. (1) Mahasiswa membentuk kelompok beranggotakan tiga mahasiswa dengan memilih anggota kelompok sendiri, kemudian mencari gagasan dengan melakukan sumbang saran bersama atau melakukan riset pendahuluan. (2) Mahasiswa menyusun gagasan-gagasan mereka dan membuat sebuah kerangka tulisan. (3) Mahasiswa membagi kerangka tulisan tersebut, memilih atau membagi masing-masing bagian untuk setiap anggota agar mereka dapat membuat rancangan secara individual. (4) Kelompok kemudian membacakan rancangan pertama dan mendiskusikan serta menyelesaikan perbedaanperbedaan pemikiran, konten, dan gaya yang signifikan. (5) Kelompok menggabungkan hasil kerja individual menjadi sebuah dokumen tunggal. (6) Kelompok merevisi dan mengedit hasil kerja mereka, memeriksa konten dan kejelasan termasuk tata bahasa, ejaan, dan tanda baca. (7) Setelah pengeditan akhir, kelompok mengumpulkan makalah mereka kepada dosen untuk mendapatkan penilaian dan evaluasi. Penanaman pendidikan karakter pada pembelajaran terampil menulis karya ilmiah dalam menulis makalah di antaranya nilai kejujuran, tanggung jawab, disiplin, kerja keras, toleransi, berpikir ilmiah, kritis, kreatif, dan inovatif. Terampil menulis karya ilmiah berbasis pembelajaran kolaboratif untuk penguatan pendidikan karakter tampak pada materi pembelajaran menulis kajian teori dan daftar pustaka. Pada pembelajaran tersebut, mahasiswa dibekali nilai kejujuran, dan tanggung jawab. Cara pengutipan yang benar merupakan penanaman karakter jujur, disiplin, tanggung jawab, teliti, dan cermat. Selain itu, penulisan daftar pustaka yang baik dan benar merupakan bentuk dari penanaman karakter jujur, tanggung jawab, menghargai pendapat orang lain, cermat, dan disiplin. Pemilihan referensi yang relevan dalam menulis karya ilmiah menunjukkan mahasiswa memiliki kemampuan dalam berpikir ilmiah, logis, kritis, dan kerja keras. Nilai-nilai tersebut tampak dalam pembelajaran menulis makalah, artikel ilmiah, proposal penelitian, dan skripsi. Dengan demikian, karakterkarakter positif tersebut akan menghindarkan mahasiswa untuk berperilaku plagiat dan instan. DAFTAR REFERENSI Barkley, Elizabert E., K. Patricia Cross, and Claire Howell Major. 2012. Collaborative Learning Techniques. San Francisco: Jossey-Bass. Djuroto, Totok. 2007. Menulis Artikel dan Karya Ilmiah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset. Dwiloka, Bambang dan Riana R. 2005 Teknik Menulis Karya Ilmiah. Jakarta: Rineka Cipta. Ki Hadjar Dewantara. 2011. Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa. Koesoema, Doni. 2012. Pendidikan Karakter Utuh dan Menyeluruh. Yogyakarta: Kanisius. Lickona, Thomas. 2012. Educating for Character: Mendidik untuk MembentukKarakter. Jakarta: Bumi Aksara. Maryadi, Hariwijaya. 2006. Pedoman Teknis Penulisan Karya Ilmiah. Yogyakarta: Citra Pustaka. Muslich, Masnur. 2011. Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan Krisis Multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara.
220
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
LAKU DALAM BUDAYA MASYARAKAT JAWA Raheni Suhita, Djoko Sulaksono, Ken Fitria Diah W Universitas Sebelas Maret E-mail:
[email protected] Abstrak Kehidupan masyarakat Jawa sangat dipengaruhi oleh budaya Jawa yang dilandasi oleh pandangan animisme dan dinamisme yang bercampur dengan pandangan Islam. Salah satu bentuk budaya yang masih melekat pada masyarakat Jawa sampai saat ini adalah laku terutama laku yang menyertai penggunaan manta dalam kehidupan sehariharinya. Bagi masyarakat jawa, laku merupakan salah satu hal yang harus dijalani dan merupakan syarat mencapai tujuan tertentu. Laku dalam budaya jawa banyak disinggung dan disimbolkan, salah satunya dalam cerita wayang purwa.. Laku dalam masyarakat Jawa diwujutkan dalam bentuk puasa dan bertapa. Puasa dan bertapa yangdilakukan masyarakat Jawa seringkali menimbulkan persepsi negatif pada sebagian masyarakat terutama masyarakat non-Jawa. Padahal apabila kita ketahui filosofi di balik laku tersebut, masyarakat akan tahu apa sebenarnya makna dan tujuan laku bagi masyarakat Jawa. Penelitian ini mencoba menjawab masalah “Bagaimana laku masyarakat Jawa”. Penelitian dilaksanakan di Jawa Tengah dan DIY dengan menggunakan teknik pengumpulan data dokumentasi dan wawancara mendalam. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa laku dalam masyarakat Jawa berupa puasa dan bertapa dan tujuan laku adalah mendekatkan diri pada Tuhan. Kata kunci : laku, orang jawa, puasa, bertapa. Abstract Javanese life is strongly influenced by Javanese culture that is based on the view of animism and dynamism that mixes with the Islamic view. One form of culture that is still attached to the Java community today is sold primarily laku that accompanies the use of a spells in their daily lives. For the people of Java, laku is one thing that must be followed and the requirements to reach certain goals. Code in the Javanese culture frequently mentioned and symbolized, one of them in a story wayang puwa prototype.. Code in the Java community in the form of fasting and meditation. Fasting and meditation often creates a negative perception in some people, especially people of non-Java. In fact, if we know the philosophy behind such laku the public will know what the meaning and purpose of laku for the Java community. This research attempts to answer the question "How does laku of Java community . Research conducted in Central Java and Yogyakarta by using techniques of data collection documentation and interview. Based on the survey results revealed that laku of the Java community in the form of fasting and penance and behavioral objectives are closer to God. Key word : meditation, javanese, spells.
PENDAHULUAN Sebelum agama-agama masuk ke Jawa, masyarakat Jawa sudah mempunyai kepercayaan terhadap adanya Tuhan. Masyarakat Jawa menyebut Tuhan dengan berbagai istilah, misalnya Gusti, Pangeran, Gusti Kang Maha Kuwasa, Gusti Kang Akarya Jagad dan lain sebagainya. Terhadap penggambaran Tuhan, ada istilah “cedhak tanpa senggolan, adoh tanpa wangenan” yang artinya dekat tapi tidak bersentuhan, dan jauhnya tanpa batas. Mengenai wujudnya, ada ungkapan “tan kena kinaya ngapa”, artinya tidak dapat dibayangkan seperti apa wujudnya. PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
221
Selanjutnya, ada ungkapan yang berbunyi “Gusti ora sare” ‘Tuhan tidak tidur. Hal tersebut mengajarkan supaya manusia selalu ingat kepada Tuhan karena setiap aktifitas atau kegiatannya selalu di awasi oleh Tuhan sehingga manusia selalu berbuat baik. Terhadap segala sesuatu yang menimpanya, masyarakat Jawa percaya adanya hukum karma. Mereka berprinsip “sapa nandur bakal ngundhuh, nandur becik thukul becik ,nandur ala thukul ala”. Oleh karenanya dalam kehidupan, masyarakat Jawa mengenal apa yang dinamakan laku. METODE Penelitian dilakukan secara deskriptif kualitatif dengan sumber data kitab mantra kuno yang terdapat di museum keraton Paku Alam Jogjakarta dan informan pengguna mantra. Teknik pengambilan data menggunakan teknik dokumentasi dan wawacancara mendalam. Wawancara bersifat terbuka artinya responden diberi keleluasaan dalam menjelaskan mantra yang mereka gunakan dalam kehidupan. Validitas data dalam penelitian menggunakan triangulasi teori dan expert judment yaitu ahli mantra dari keraton dan perguruan tinggi. Analisis data yang digunakan adalah analisis
PEMBAHASAN Kata laku dalam kamus Baoesastra Jawa memiliki makna cara atau tumindak (Poerwadarminta, 1939: 257). Selanjutnya, berkaitan dengan laku dalam masyarakat jawa, Magnis dan Suseno (1988: 82) menyatakan masyarakat Jawa memiliki pandangan hidup yang utuh mengenai dunia dan kekuatan yang mengatur kehidupan mereka. Bagi masyarakat Jawa dunia, masyarakat, dan alam adikodrati adalah suatu kesatuan yang menyeluruh beserta kekuatan dan hukum-hukum yang berlaku di dalamnya. Bagi masyarakat jawa, laku merupakan salah satu hal yang harus dijalani dan merupakan syarat mencapai tujuan tertentu. Laku dalam budaya jawa banyak disinggung dan disimbolkan, salah satunya dalam cerita wayang purwa. Berikut akan disampaikan hal ikhwal yang berkaitan dengan laku dalam wayang purwa seperti apa yang disampaikan oleh poepadiningrat (2005). 1. Sastra jendra hayuningrat: ilmu mencapai kesempurnaan Sastra jendra merupakan ngelmu tua atau ngelmu kasampurnan. Hanya orang-orang tertentu yang bisa mendapatkan ilmu ini. Terdapat beberapa istilah yang hampir sama dengan istilah sastra jendra hayuningrat, misal sastra jendra hayuningrta pangruwating diyu. Sastra jendra tidak boleh diberikan kepada sembarang orang arena hal tersebut akan menimbulkan suatu malapetaka. Hal ini dalam cerita pewayangan disimbolkan dalam tokoh resi wisrawa dan dewi sukesi. a. Ngelmu: lelakunene kanthi laku b. Lelakune ngelmu: lahir batin nggayuh kasampurnan c. Lelakune salah: manusia belum siap atau dewa tidak rela d. Lelakune salah: salah kaprah 2. Lahirnya catur hawa a. Akibat nafsu: tergantung si pelaku b. Personifikasi laku dalam wayang 3. Asthabrata: delapan pedoman ilmu pemerintahan a. Berdasar sifat perilaku delapan dewa b. Berdasar sifat dan watak delapan unsur alam c. Berdasar sifat delapan simbol laku utama Guru mempunyai dasanama “sinonim” dwija. Guru yaiku wong sing mulangake kawruh agama utawa kebatinan (poerwadarminta, 1939: 157). Secara umum tugas guru adalah mengajar atau mendidik. Dalam tulisan ini yang dimaksud adalah guru yang bukan dilembaga formal. Guru memberikan ilmu, aji-aji, wejangan, wewarah, mantra dan lain sebagainya kepada murid. Dalam bahasa jawa, kata guru bisa bersanding dengan kata lain sehingga melahirkan arti baru. Adapun contohnya sebagai berikut: 1. Guru aleman yaiku tansah kepingin dialem utawa golek alem/kabongan 2. Guru bakal, guru dadi yaiku barang-barang sing isih wujud bakal karo sing wis dadi dandanan (dianggo bulu-bekti utawa tukuning pengantin) 3. Guru bantu yaiku guru ing pamulangan angka loro sing dadi pembantu
222
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Guru dina yaiku ala beciking dina Guru lagu yaiku dhong-dhinging swara ing wekasaning pada ing tembang macapat Guru gatra Guru wilangan yaiku cacahing wanda ing padaning tembang macapat Guru laki/nadi yaiku laki (wong lanang minangka guruning somah) Guru rabi yaiku ibu (wong wadon minangka ibune bocah-bocah) Guru sastra yaiku purwakanthi kang nunggal sastra/aksara Guru swara yaiku purwakanthi sing nunggal swara Guru sejati Saka guru yaiku saka kang cacahe papat kang ana ing umah joglo Bathara guru yaiku retuning dewa ing kayangan suralaya Dalam melaksanakan laku dan perilakunya, masyarakat Jawa senantiasa percaya pada ajaran baik dari guru. Masyarakat Jawa terkenal sebagai masyarakat yang selektif dan teliti. dalam suatu hal, atau ketika akan melakukan sesuatu biasanya dihitung terlebih dahulu. Hal ini bertujuan supaya apa yang akan dilakukan bisa selamat tanpa ada gangguan. Demikian hal dalam memilih sesuatu juga sangat selektif, seperti halnya memilih guru. Salah satu pedoman memilih guru terdapat dalam tembang macapat dhandhanggula, karya sri pakubuwana IV yang terdapat dalam serat wulangreh. Lamun sira anggeguru kaki, Hamiliha manungsa kang nyata, Ingkang becik martabaté, Sarta kang wruh ing khukum, Kang ngibadah lan kang wirangi, Sokur oleh wong tapa, Ingkang wus amungkur, Tan mikir pawehweh ing lyan Iku pantes sira guronana kaki, Sartané kawruhana.
Jika kamu memilih guru Pilihlah guru yang benar-benar guru Yang baik martabatnya Dan mengerti tentang hokum Yang taat beribadah dan menerangi Lebih baik jika mendapat yang suka prihatin Yang sudah menghindari hal keduniawian Tidak memikirkan permberian orang Itu layak engkau jadikan guru Dan engkau cari ilmunya
Mantra merupakan salah satu produk sastra sebagai sebuah kebudayaan yang pernah mewarnai kehidupan masyarakat di Nusantara. Matra bisa berupa puisi lisan yang berpotensi memiliki kekuatan gaib atau semacam doa yang memanfaatkan bahasa lokal dengan didasari oleh keyakinan yang telah diwariskan oleh para leluhur. Agar dapat dimanfaatkan, mantra tidak cukup untuk sekadar dihafalkan, tetapi harus disertai laku mistik (Saputra, 2007:xxv). Mantra berkaitan erat dengan kepercayaan taal magies karena mantra tidak hanya kontruksi kata dalam larik saja, tetapi mengandung daya magis tertentu. Daya magis tersebut dapat diaktivasi oleh pengamal mantra. Hal ini terkait erat dengan penghayatan mistik atau kebatinan yang telah dihayati oleh sebagian masyarakat Jawa (Widodo, 2012: 12). Laku disini maksudnya adalah segala sesuatu yang harus dilakukan sampai dengan akhir hayat atau selamanya. Laku berbeda dengan nglakoni. Laku dilakukan selamanya sedangkan nglakoni dilakukan hanya pada waktu tertentu. sebagai contoh dalam agama Islam, lakunya adalah sholat lima waktu, sedangkan contoh nglakoni adalah puasa Senin-Kamis, Romadhon, dan lain sebagainya. Berdasarkan hal tersebut, maka kadangkala ketika ada yang sedang berpuasa mengatakan sedang “nglakoni atau nglampahi.Laku atau kewajiban yang harus dilakukan oleh seseorang/kelompok yang mempunyai mantra berbeda-beda. Laku harus dijalani supaya mantra tersebut bisa mendatangkan kekuatan gaib. Mantra jika lakunya tidak dijalani maka hanyalah katakata biasa yang tidak akan mendatangkan kekuatan gaib. Adapun laku-laku tersebut antara lain A. Puasa Puasa dalam bahasa jawa disebut pasa yang berarti ora mangan lan ora ngombe (Poerwadarminta, 1939: 473). Puasa tidak hanya diajarkan dijawa akan tetapi diberbagai agama dan kepercayaan
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
223
yang lain, hanya tatacara dan jenisnya yang berbeda. Adapun puasa yang biasa dilakukan masyarakat Jawa, yaitu: 1. Pasa Senen Kemis Pasa Senen Kemis adalah puasa yang dilakukan pada hari senin dan kamis, mulai subuh sampai dengan maghrib 2. Pasa Weton Pasa Weton adalah puasa yang dilaksanakan pada hari weton (hari+pasaran). Weton berasal dari kata wetu yang artinya keluar atau lahir. Adapun waktunya mulai subuh sampai maghrib 3. Pasa Mutih Pasa Mutih adalah puasa yang dilaksanakan dengan cara boleh makan dan minum tetapi hanya nasi putih dan air putih saja. Waktu pelaksanaanya 3 hari atau tujuh hari. 4. Pasa Ngrowot Pasa Ngrowot adalah puasa yang dilaksanakan dengan cara tidak makan dan minum dari subuh sampai maghrib dan yang dimakan hanya buah-buahan. 5. Pasa Ngasrep Pasa Ngasrep adalah puasa yang dilaksanakan dengan cara mengonsumsi makanan yang tidak mengandung gula, garam, dan cabai. Makanan juga tidak boleh dimasak dengan cara digoreng. 6. Pasa Mutih Ngepel Pasa Mutih Ngepel adalah puasa yang dilaksanakan dengan cara dalam sehari hanya makan satu atau beberapa kepal nasi dan beberapa gelas air putih saja. 7. Pasa Ngeruh Pasa Ngeruh adalah puasa yang dilaksanakan dengan cara hanya makan sayuran atau buah-buahan saja, tidak makan daging, ikan, telur, terasi. 8. Pasa Ngebleng Pasa Ngebleng adalah puasa yang dilakukan secara terus menerus sehari semalam selama beberapa hari. Pada umumnya dilaksanakan dalam jangka waktu tiga hari. 9. Pasa ngapit Pasa ngapit adalah puasa yang dilakukan selama tiga hari, yaitu satu hari sebelum weton, pada saat weton dan satu hari setelah weton. B. Bertapa Menurut poerwadarminta (1939: 592) kata tapa berarti nglakoni mati raga sarta sumingkir saka ing alam rame ‘menjalankan mati tubuh serta menyingkir dari keramaian’. Adapun macam-macam semedi atau tapa yang sering dilakukan masyarakat jawa antara lain 1. Melek Tapa melek adalah salah satu jenis semedi yang dilakukan dengan cara tidak tidur, biasanya dilakukan selama 1 - 3 hari. Orang yang menjalankan tapa melek juga tidak boleh mendatangi tempat keramaian dan tidak menonton hiburan. 2. Ngalong Tapa Ngalong adalah salah satu jenis semedi yang dilakukan dengan cara meniru aktivitas kalong atau kelelawar. Orang yang melakukan tapa ngalong hanya boleh tidur pada waktu siang hari, sedangkan pada malam hari tidak boleh tidur tetapi tidak boleh mendekat kepada keramaian atau menonton hiburan. Dalam cerita pewayangan, tapa ini dilakukan oleh sugriwa 3. Bisu lan Lelana Tapa Bisu lan Lelana adalah salah satu jenis semedi yang dilakukan dengan cara melakukan perjalanan dari waktu maghrib sampai pagi. Perjalanan dilakukan dengan berjalan kaki dan membisu (tidak berbicara kepada siapapun termasuk yang ditemui dalam perjalanan). Rute perjalanan ditentukan oleh pelaku tapa bisu. Bisu berarti tidak dapat berbicara. Pelaksanaan tapa bisu memang membuat suasana menjadi hening karena pelaku tidak boleh berbicara. Prosesi laku ini dikaitkan dengan proses mengheningkan cipta. Oleh karena itu, laku tapa bisu berfungsi sebagai media perenungan,
224
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
refleksi, dan instrospeksi diri. Dengan merenung manusia dapat melakukan evaluasi terhadap dirinya sendiri dan meyakini bahwa kehidupan ada yang mengatur. Hal ini akan meningkatkan keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa. 4. Pati Geni Tapa Pati Geni adalah semedi yang dilakukan dengan cara bersemedi di dalam suatu ruangan yang gelap gulita dengan tidak menyalakan cahaya apapun baik dari api maupun cahaya lainnya. Pelaku Tapa Pati Geni tidak boleh tidur dan dianjurkan untuk berpuasa. Waktu pelaksanaan Tapa Pati Geni dapat dilakukan selama sehari atau beberapa hari. Pelaku Tapa Pati Geni biasanya melakukan hal ini untuk memperoleh suatu ilmu. 5. Pendhem Tapa Pendem berarti salah satu jenis semedi yang dilakukan dengan cara dipendhem ‘dikubur’. Prosesi dari tapa pendhem dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu dengan dipendam di dalam tanah sampai sebatas leher, sekujur tubuh, ataupun masuk ke dalam rongga di dalam tanah. Waktu pelaksanaan tapa pendhem biasanya dilaksanakan selama satu sampai tiga hari. 6. Kungkum Kungkum dalam bahasa Jawa berarti berendam. Tapa kungkum memang salah satu jenis semedi yang dilakukan dengan cara berendam di dalam air. Tempat berendam biasanya dipilih di sendhang atau sumber mata air yang dianggap wingit. Tempat lain yang biasanya dipilih yaitu pada pertemuan dua sungai (tempuran sungai). Pelaksanaan tapa kungkum dilakukan selama beberapa malam berturut-turut dan pelakunya tidak boleh tertidur. Posisi tubuh saat melaksanakan tapa kungkum yaitu dilaksanakan dengan berdiri atau duduk sila dengan kedalaman air sampai setinggi leher atau pundak. SIMPULAN 1. Bentuk laku dalam masyarakat Jawa adalah puasa dan bertapa 2. Laku dimaksutkan oleh masyarakat Jawa untuk mengaplikasikan ajaran guru dan menghormati Tuhan. DAFTAR PUSTAKA Ciptoprawiro, Abdullah. 2000. Filsafat Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. Hien, Van. 2009. Dunia Mistik Orang Jawa (terj. Capt. R.P. Suyono). Yogyakarta: LkiS. Hutomo, Suripan Sadi. 1991. Mutiara yang Terlupakan; Pengantar Studi Sastra Lisan. Surabaya: Hiski Jatim. Ismadi K. 2015. “Miyak Misteri Mantra ing Pustaka Kuna (1)” Dalam Panjebar Semangat Edisi 22, 30 Mei 2015. Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: P.T. Gramedia. Moleong, Lexy J. 1990. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mulyono, Sri. 1979. Wayang, Asal-usul, Filsafat dan Masa Depannya. Jakarta. PT..Gunung Agung. Prabowo, Dhanu Priyo, dkk. 2007. Glosarium Istilah Sastra Jawa. Yogyakarta: Narasi. Saidi, Shaleh. 2003. Melayu Klasik. Denpasar: Larasan-Sejarah. Sukatman. 2012. Teka-Teki Jawa: Sebagai Warga Tradisi Lisan Dunia. Yogyakarta: Laksbang Pressindo. Supadjar, Damardjati. 2001. Filsafat Sosial Serat Sastra Gending. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru. Sutopo, H.B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Universitas Sebelas Maret University Press.
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
225
PEMBENTUKAN KARAKTER ANAK MELALUI CERPEN DALAM MAJALAH ANAK CILUKBA Rianna Wati Universitas Sebelas Maret Surakarta
[email protected] Sastra berkaitan erat dengan pembentukan karakter bagi pembacanya karena karya sastra mengandung nilai yang mendidik dan menghibur. Cerpen sebagai salah satu karya sastra lahir tidak hanya untuk dinikmati dan dihayati, tapi membentuk dan mempengaruhi pembacanya. Sastra menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari anak karena berperan dalam perkembangan kognisi, afeksi, dan psikomotorik mereka. Dongeng, puisi, cerita pendek dan cerita bergambar sangat digemari anak-anak. Karenanya, muatan yang ada di dalamnya harusnya memberikan nilai moral yang baik untuk perkembangan pikiran dan perasaan anak. Di era digital seperti sekarang ini, media literasi sebagai sarana pembentukan karakter anak semakin berkurang. Buku dongeng, majalah anak dan media literasi lainnya seakan tergeser oleh gawai dan permainan online yang banyak sekali jenisnya. Majalah anak seperti kewalahan dan akhirnya memilih berhenti terbit. Hingga saat ini, majalah anak yang masih bertahan di Indonesia jumlahnya sangat sedikit. Dalam kondisi yang demikian, ternyata majalah anak Cilukba justru terbit dan mampu bertahan setahun ini. Majalah anak Cilukba diterbitkan PT. Smart Media Prima Surakarta (edisi pertama terbit Mei 2015) telah beredar ke puluhan kota besar di Indonesia utamanya Pulau Jawa. Rubrik di dalam majalah tersebut utamanya cerpen, mengandung nilai moral dan edukasi yang baik bagi anak. Tema yang diangkat dalam cerpen anak di majalah Cilukba selama setahun terakhir ini adalah tentang kebersamaan, menjaga lingkungan dan kesungguhan dalam melakukan sesuatu. Kata kunci: pembentukan karakter, cerpen, majalah anak
1. Pendahuluan Sastra sebagai tulisan yang khas dapat dibaca oleh seluruh kalangan, tak terkecuali anak. Untuk anak, ada sebutan sendiri mengenai bacaan yang khusus dibaca oleh anak, yaitu sastra anak. Saxby (dalam Nurgiyantoro, 2013: 5-6) mengungkapkan bahwa sebuah teks dapat diklasifikasikan sebagai sastra anak apabila citraan dan atau metafora kehidupan yang dikisahkan itu ada dalam jangkauan anak, baik yang melibatkan emosi, perasaan, pikiran, saraf sensori, maupun pengalaman moral, dan diekspresikan dalam bentuk-bentuk kebahasaan yang juga dapat dijangkau dan dipahami oleh pembaca anak-anak. Menurut Riris K. Toha Sarumpaet (2010:2-3), sastra anak adalah sastra terbaik yang dibaca anak dengan karakteristik berbagai ragam, tema, dan format. Kita mengenal karya sastra anak yang khusus dikerjakan untuk anak-anak usia dini seperti buku memperkenalkan alfabet, buku mengenal angka dan hitungan, buku mengenai konsep, dan berbagai buku lain yang membicarakan pengalaman anak seusia itu. Selain itu, yang sangat diminati anak adalah buku bacaan bergambar, kisah-kisah klasik yang dikenal sebagai cerita rakyat, kisah fantasi, puisi, cerita realistik, fiksi kesejarahan, biografi dan buku informasi. Tema yang diangkat dalam karya sastra anak pun beragam, mulai dari kelahiran hingga kematian, dan berbagai soal yang berkaitan dengan kehidupan seorang anak. Barangkali yang secara fisik langsung menarik perhatian adalah formatnya; ada yang berukuran kecil hingga besar, tipis hingga tebal, berbentuk persegi, segitiga atau bulat, tipografi yang dipilih dan gaya ilustrasinya. Itulah sastra anak: karya yang khas (dunia) anak, dibaca anak, serta—pada dasarnya—dibimbing orang dewasa. Selain itu, Kurniawan (2013: 4-5) menambahkan bahwa karya sastra anak mencakup aspek; (1) bahasa yang digunakan dalam sastra anak adalah bahasa yang mudah dipahami oleh anak, yaitu yang sesuai dengan tingkat perkembangan dan pemahaman anak, (2) pesan yang disampaikan berupa nilai-nilai, moral, dan pendidikan yang disesuaikan pada tingkat perkembangan dan pemahaman anak. Dengan demikian, sastra anak adalah sastra yang dari segi isi dan bahasanya sesuai dengan tingkat perkembangan intelektual dan emosional anak. Sastra anak sedikit mendapat perhatian dari kritikus sastra, padahal sastra anak memiliki peran yang sangat besar dalam membangun karakter anak. Oleh karena itu, perlu adanya penilaian terhadap sastra anak yang berkembang di masyarakat. Media literasi yang ada saat ini, sangat
226
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
sedikit yang memberikan perhatian pada hal ini. Ada memang yang konsisten memberi ruang anak seperti harian Kompas, tapi jumlahnya tidak banyak. Majalah anak pun sangat terbatas—misalnya Bobo—jika dibandingkan dengan majalah remaja atau dewasa. Hal ini diperparah dengan sajian anak di televisi yang kurang mendidik, dan beraneka macam game yang tersedia di perangkat gawai orang tua mereka. Daya imajinasi anak berhenti karena mereka telah disuguhi gambargambar bergerak. Kreativitas, daya nalar dan berpikir logis anak-anak jarang diasah dengan bacaan sehingga sangat mungkin ke depan tumpul. Anak tidak lagi peka dengan teman, memilih bermain sendiri, atau parahnya kecanduan tontonan di televisi atau game. Karenanya, adanya media literasi yang mewadahi cerita anak saat ini menjadi sesuatu yang istimewa. Majalah anak menempatkan posisinya sebagai media yang membantu pembentukan karakter anak melalui cerita atau rubrik-rubrik di dalamnya. Di tengah minimnya majalah anak dan media yang konsisten memberikan perhatian pada anak, majalah anak Cilukba justru lahir dan berusaha menjadi alternatif bacaan anak. Majalah anak Cilukba diterbitkan PT. Smart Media Prima Surakarta (edisi pertama terbit Mei 2015) telah beredar ke puluhan kota besar di Indonesia utamanya Pulau Jawa. Rubrik di dalam majalah tersebut antara lain cergam, cerpen, puisi, ensiklopedi, khazanah untuk kisah berhikmah, profil anak berprestasi, pengalamanku, dan rubrik arena yang interaktif seperti mewarnai, mencari perbedaan, teka-teki silang, menceritakan gambar, dan lain sebagainya. Menurut wawancara yang dilakukan penulis kepada pemimpin umumnya, majalah Cilukba telah mempunyai oplah 10.000 eksemplar tiap bulannya. Dengan slogan “sahabat ceria, bermain dan belajar”, Cilukba memposisikan dirinya sebagai teman bermain dan belajar untuk anak-anak usia TK dan SD. Tulisan ini akan membahas tema cerita dalam cerpen yang ada dalam majalah Cilukba sejak terbit pertama kali pada Mei 2015 hingga April 2016 (setahun), sehingga bisa dikategorikan sebagai cerpen yang layak untuk menjadi media pembentuk karakter anak. Keduabelas cerpen dalam 12 kali terbitan Cilukba akan penulis uraikan dalam pembahasan nanti. 2. Membentuk Karakter Anak Melalui Karya Sastra Sunarti (2005:7) berpendapat bahwa pendidikan karakter mencakup dimensi moral yang bersifat continum, yang terbentang dari perilaku benar-salah, baik-buruk, boleh-tidak boleh, sopantidak sopan, pantas-tidak pantas, dan sebagainya. Bagi anak hal tersebut sangat penting karena anak harus memahami secara jelas mana yang boleh dilakukan dan mana yang harus ditinggalkan. Akan tetapi batasan itu saja tidak cukup untuk membangun karakter anak karena terkadang ada anak yang sudah mengetahui itu dilarang tapi masih tetap melakukannya. Sikap terbaik yang menyertai tentang moral ini merupakan rangkaian dari tahapan memahami sikap moral. Thomas Lickona (melalui Sunarti, 2005:7) dalam bukunya Educating for Character bahwa pendidikan karakter diawali oleh pengetahuan terhadap nilai kebaikan (knowing the good) sehingga membuat anak memiliki alasan atau keinginan untuk berbuat baik (desiring the good) kemudian mampu mengembangkan sikap mencintai perbuatan baik (loving the good), hingga akhirnya mau melaksanakan perbuatan baik (acting the good). Melalui empat tahapan ini bisa dimengerti bahwa pengetahuan itu hanya salah satu tahap awal dalam membentuk karakter sehingga proses tidak akan berhenti sampai pada tahap ini. Proses penanaman karakter selesai jika anak telah mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Terkait dengan jenis karakter apa yang harus dimiliki anak, Schiller dan Bryant (dalam Kusmarwanti, 2012: 4) menyebutkan setidaknya ada 16 karakter yang harus ditanamkan pada anak-anak yaitu kepedulian dan empati, kerja sama, berani, keteguhan hati dan komitmen, adil, suka menolong, kejujuran dan integritas, humor, mandiri dan percaya diri, loyalitas, sabar, rasa bangga, banyak akal, sikap respek, tanggung jawab, dan toleransi. Seluruh karakter tersebut tidak dimiliki anak dengan tiba-tiba tetapi melalui proses, salah satunya adalah dengan proses membaca dan memaknai bacaan terutama karya sastra. Karya sastra yang baik harus mempunyai fungsi dulce et utile seperti yang dinyatakan Horatius, kritikus sastra Romawi klasik, dalam tulisannya Ars Poetica. Dulce berarti indah dan menghibur, sedangkan utile berarti berguna dan mengajarkan sesuatu. Sastra menghibur dengan menghadirkan keindahan, memberikan makna pada kehidupan, menyampaikan pesan, dan memberikan pelepasan ke dunia imajinasi (Budianta-Melani dkk., 2002: 19).
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
227
Begitu pula dalam karya sastra anak, di usia anak yang sedang tumbuh dan berkembangnya wawasan mereka, karya sastra tidak hanya menghibur tapi juga mendidik. Karya sastra yang dibaca anak-anak akan menumbuhkan karakter mereka dan meninggalkan jejak-jejak yang baik dalam dunia imajinasi mereka. 3. Cerpen Berkarakter dalam Majalah Anak Cilukba Ada duabelas cerpen dalam majalah Cilukba yang akan dibahas. Berikut akan dipaparkan judul, tema, dan hikmah apa yang bisa diambil oleh anak-anak saat membacanya. 3.1. Tak Kan Ceroboh Lagi Cerpen ini mengisahkan Nadia yang ceroboh lupa meletakkan buku yang dipinjamnya dari perpustakaan sekolah. Dia sudah mencari kemana-mana dan bertanya pada ayah, bunda, dan teman-temannya tapi tak ada yang mengetahuinya. Bunda menasihatinya supaya lebih berhati-hati menjaga bendanya, apalagi buku sebagai sumber ilmu. Bunda mengatakan bahwa Nadia harus bertanggung jawab, membayar denda untuk mengganti buku tersebut di perpustakaan dengan uang tabungannya. Esoknya, temannya yang bernama Shafa mengatakan bahwa bukunya ternyata tertinggal di rumahnya. Hikmah dari cerpen ini adalah anak diajari bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya walaupun dia tidak sengaja berbuat kesalahan. Meskipun pada akhir cerita buku yang hilang tersebut ditemukan, pesan bunda pada Nadia untuk menggunakan uang tabungannya membayar denda dan disetujui Nadia merupakan bentuk tanggung jawabnya. 3.2. Sayangi Sungai Kita Fabian dan Faiz membuang sampah sembarangan ke sungai, Farah menasihati mereka karena itu akan menyebabkan banjir. Saat musim hujan tiba, ternyata banjir melanda desa sebelah tempat tinggal Farah, Fabian, dan Faiz. Mereka kemudian beramai-ramai membantu warga desa sebelah yang kebanjiran. Cerpen ini memberikan pesan dua hal sekaligus pada anak-anak; jangan membuang sampah sembarangan apalagi di sungai, dan membantu orang lain yang sedang kesusahan. 3.3. Jauh Lebih Banyak Cerpen ini berkisah tentang Nania yang sedang kesal pada Farah sahabatnya karena ingkar janji. Farah sudah meminta maaf tapi Nania belum mau memaafkan. Ibu Nania menasihati Nania dengan mennyebutkan bahwa kebaikan Farah jauh lebih banyak dibanding kesalahannya sehingga Nania harus memaafkannya. Akhirnya Nania pun memaafkan Farah. Amanat yang ingin disampaikan adalah tentang menjaga persahabatan dan saling memaafkan. Sahabat kita mungkin pernah melakukan kesalahan, tapi saat dia minta maaf kita harus memaafkannya dan melihat bahwa kebaikannya jauh lebih banyak dibanding dengan keburukannya. 3.4. Manisnya Kemenangan Nadia, Shafa, Amara, Alifa, dan Farah akan lomba drama memperingati HUT Kemerdekaan Indonesia. Naskah drama mereka ternyata mirip dengan milik tim yang lain. Awalnya mereka marah karena merasa dicurangi, tapi Kak Fathiya menasihati mereka agar membuat naskah yang baru saja. Meski awalnya mereka keberatan karena harus mengulang latihan dari awal, dengan bekerja keras mereka mampu melakukannya dan memenangkan perlombaan. Hikmah dari cerpen ini adalah tentang kerja keras dan disiplin berlatih. Kesungguhan dalam berlatih lah yang akan memenangkan kompetisi dalam hidup ini. 3.5. Terimalah Qurbanku Cerpen ini mengisahkan Shafa yang ingin berqurban pada hari raya Idhul Adha dengan uangnya sendiri, tanpa minta ke ayah bundanya. Dia rela menyisihkan uang sakunya untuk menambah tabungannya agar cukup untuk membeli kambing. Namun saat harinya tiba, uang tabungan Shafa ternyata belum cukup dan dia sedih sekali. Ayah dan bunda yang mengetahuinya, menambahi uang itu sehingga Shafa menjadi gembira. Hikmah cerpen ini adalah tentang keikhlasan seorang anak yang merelakan tabungannya untuk berqurban.
228
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
3.6.
Kangen Fabian awalnya merasa senang ketika adik, kakak dan ibunya pergi berlibur ke rumah nenek. Fabian hanya bersama ayah, akan bisa menikmati hari tanpa gangguan dik Farah yang usil dan Kak Fathiya yang cerewet. Namun setelah beberapa hari, Fabian merasa kesepian dan kangen mereka. Akhirnya setelah pekerjaan ayah selesai, Fabian gembira karena akan menyusul mereka ke rumah nenek. Cerpen ini mengajarkan pada anak-anak tentang kebersamaan. Terkadang saudara kita menyebalkan karena kelihatannya mengganggu kenyamanan kita. Namun ternyata justru hal itulah yang dirindukan saat mereka jauh. 3.7. Jilbab Biru Esha Esha akan pindah ke sekolah baru yang mewajibkan seragamnya menggunakan jilbab. Esha enggan berjilbab karena menurutnya itu ribet dan gerah. Saat bermain dengan adik kecil yang berjilbab di samping rumah, Esha banyak dinasihati adik kecil itu tentang manfaat jilbab salah satunya adalah untuk melindungi tubuh. Kebetulan saat bermain itu, pohon di dekat mereka banyak ulat bulunya. Adik kecil itu aman dari ulat bulu karena menggunakan jilbab, sedangkan Esha kena gatal-gatal di leher, muka, dan tangannya. Esoknya saat sekolah, Esha tampak cantik dengan jilbab birunya. Hikmah dari cerpen ini ada dua hal; mau mendengarkan nasihat meskipun dari adik kecil dan latihan melaksanakan kewajiban memakai jilbab bagi perempuan muslimah. 3.8. Adil Tak Harus Sama Faiz iri pada Rizal kakaknya yang dibelikan sepeda oleh orang tuanya. Menurut Faiz, orang tuanya tidak adil dan pilih kasih. Bundanya kemudian menjelaskan bahwa sepedanya masih bagus, sedangkan kak Rizal membutuhkan sepeda baru karena badannya sudah besar dan membutuhkan sepeda untuk sekolah, les, pramuka, kursus dan lain-lain. Lagipula kak Rizal menggunakan uang tabungannya untuk membeli sepeda itu ditambahi sedikit oleh bundanya. Faiz pun akhirnya bisa memahami dan menerimanya. Bunda ternyata sudah menyiapkan rencana buat Faiz, yaitu akan mendaftarkan Faiz ke sekolah sepak bola sekaligus membelikan sepatunya. Bunda menganggap itu sebagai kebutuhan Faiz. Jadi adil itu tidak harus sama. Amanat yang disampaikan dalam cerpen ini jelas sekali, mengajari anak-anak tentang kebutuhan, keadilan dan mengelola keinginan. Adil bukan selalu sama antara yang satu dengan yang lain, tapi tergantung kebutuhan. 3.9. Sayang Kiko Amara menemukan anak kucing yang lucu dan membawanya ke rumah. Sesampainya di rumah, kucing itu dilap tubuhnya, disisiri bulunya dan diberi makan. Amara memberi nama kucing itu Kiko. Saat bundanya datang, Amara menunjukkan kucingnya itu dengan gembira. Namun ternyata bunda alergi dengan kucing sehingga Amara tidak bisa memelihara kucing lucu itu di rumah. Ayahnya kemudian menyarankan kucing itu dibawa ke dokter hewan teman ayah yang rumahnya di ujung komplek perumahan. Amara bisa mengunjungi kucing itu kalau ingin bertemu dan bermain. Pesan yang ingin disampaikan pada anak-anak adalah tentang pilihan prioritas. Bunda adalah orang yang paling kita sayangi, harus kita dahulukan dari apapun. Namun apapun masalah yang ada, semuanya pasti akan ada jalan keluarnya. 3.10. Pentingnya Latihan Alifa kalah dalam uji seleksi bela diri yang diikutinya. Yang mengalahkan Alifa adalah Sasa, siswi yang berumur lebih muda darinya dan belum lama bergabung di sanggarnya. Menurut pelatihnya, Alifa banyak melakukan kesalahan sendiri saat bertanding, sedangkan Sasa bisa melakukan semua gerakannya dengan sempurna. Om Haris yang mendengar cerita Alifa kemudian menyarankan agar Alifa lebih sering berlatih. Alifa tidak boleh menyepelekan latihan karena itu sangat berpengaruh dalam meraih prestasi. Cerpen tersebut memberikan hikmah bahwa setiap anak yang ingin menjadi juara harus rajin berlatih dan tidak meremehkan orang lain. 3.11. Indahnya Nasyid Farah, Fabian dan Faiz mendapat tugas mengisi acara pentas seni di sekolah. Pentas itu bisa berupa apa saja sehingga mereka harus memikirkannya bersama-sama. Mereka lalu PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
229
sepakat untuk pentas nasyid di sekolah. Nasyid adalah lagu-lagu Islam penggugah semangat, syairnya penuh hikmah dan nasihat. Mereka kemudian latihan dan sukses tampil pada acara pentas seni. Banyak yang menyukai pentas nasyid itu dengan ikut bernyanyi bersama-sama. Amanat dari cerpen itu adalah jangan takut dengan hal baru jika memang itu suatu kebaikan. Orang lain mungkin belum terbiasa mendengarnya, namun dengan latihan yang sungguh-sungguh dan tampil bagus di panggung, hal baik itu akan bisa diterima. 3.12. Tak Mesti Sama Nadia sedih karena tidak juara dan tidak punya prestasi apa-apa. Nadia iri dengan Farah yang selalu juara kelas, Amara yang selalu bisa membuat naskah drama, Nania yang jago berakting, dan teman lainnya yang punya keunggulan. Bunda menghiburnya dengan mengatakan bahwa setiap anak pasti punya bakat yang mengagumkan. Suatu hari saat Nadia membantu bunda merapikan rumah, bunda ingin menata perabot rumah agar suasana baru tercipta. Ternyata Nadia sangat jago melakukannya. Bunda mengatakan itulah bakat Nadia ternyata, kelak dia bisa menjadi arsitek atau desain interior. Nadia senang sekali mendengarnya. Dia kini memahami bahwa bakat setiap orang itu tak harus sama. Pesan yang ingin disampaikan pada anak-anak janganlah minder soal bakat karena setiap kita pasti diberi kelebihan oleh Allah SWT. Hanya saja, mungkin bakat itu belum terlihat sekarang karena belum digali atau belum tekun berlatih. Saat orang lain sudah berprestasi di bidangnya, kita pun sebenarnya juga bisa melakukannya di bidang kita. Seluruh cerpen yang ada dalam majalah Cilukba mempunyai ciri yang sama yaitu kesederhanaan bahasa, konflik, hingga alur cerita yang mudah dipahami oleh anak. Keseluruhan ceritanya merupakan cerita realistik yang menurut Ratna Sarumpaet (2010:25-26) memang diminati anak karena penggambaran di dalamnya dapat mendekatkan mereka pada kehidupan yang nyata. Cerita realistik menggambarkan kehidupan mutakhir di mana saja dan biasanya berkaitan dengan sekolah, rumah, olahraga, perlombaan, petualangan, lingkungan, dan pencarian jati diri. Cerpen anak dalam majalah Cilukba dinilai berhasil melalui bentuknya, yakni keutuhan strukturnya, dengan memeriksa antarhubungan dan jalinan keterkaitan sesama elemen sastrawi pendukung karya. Biasanya, karya yang bernilai adalah karya yang kokoh dengan semua unsur pendukungnya berfungsi ketat (Sarumpaet, 2010: 35). Kualitas cerpen anak pada majalah Cilukba dapat dilihat dari hubungan antarstruktur yang saling menjalin dan totalitas antara struktur-struktur tersebut sehingga bisa diketahui makna dan gagasan dari cerita anak tersebut. Adapun pesan atau amanat dari kedua belas cerpen di majalah Cilukba pada tahun pertama terbitnya adalah; (1) tanggung jawab, (2) cinta hewan dan lingkungan, (3) suka membantu teman, (4) saling memaafkan, (5) giat berlatih, (6) ikhlas berbagi, dan (7) bisa memprioritaskan kebutuhan. Nilai-nilai moral tersebut sangat baik ditanamkan pada anak dan akan membentuk karakter mereka menjadi pribadi yang baik. 4. Penutup Cerpen yang ada dalam majalah Cilukba mengandung nilai moral dan edukasi yang baik bagi anak. Meskipun baru satu tahun terbit, majalah anak Cilukba telah memuat cerpen setiap terbitannya dan mampu memberikan hikmah atau amanat yang sesuai dengan usia anak. Pola dan formula yang ada selalu sama; menampilkan konflik keseharian anak-anak dan memberikan penyelesaian yang bisa diterima dan ditiru anak. Akhirnya, anak akan bisa mengambil hikmah di balik cerita tersebut. Artikel ini merupakan bagian dari hasil penelitian Hibah Peneliti Utama sebagai Rujukan Hibah MRG-UNS dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2016. Kepada LPPM penulis ucapkan terima kasih karena telah memberikan dana untuk penelitian dengan topik “Formula dan Ideologi dalam Sastra Anak di Majalah Anak Indonesia”
230
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
DAFTAR PUSTAKA Budianta, Melani dkk. 2002. Membaca Sastra: Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi. Magelang: Indonesia Tera. Kurniawan, Heru. 2013. Sastra Anak dalam Kajian Strukturalisme, Sosiologi, Semiotika, hingga Penulisan Kreatif. Yogyakarta: Graha Ilmu. Kusmarwanti. “Menumbuhkan Karakter Anak Melalui Pembelajaran Sastra di Sekolah Dasar.” Makalah Seminar Dies Natalis UNY ke-48 (Yogyakarta, 5 Mei 2012). Nurgiyantoro, Burhan. 2013. Sastra Anak: Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Sarumpaet, Riris K. Toha. 2010. Pedoman Penelitian Sastra Anak. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Sunarti, Euis. 2005. Menggali Kekuatan Cerita: Panduan bagi Orang Tua dalam Membentuk Karakter Anak Sejak Dini Melalui Cerita. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Susanto, Dwi. 2015. Kamus Istilah Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Stanton, Robert. 2012. Teori Fiksi (diterjemahkan oleh Sugihastuti). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. Wellek, Rene&Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan. Terjemahan Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
231
MEMPERKUKUH KARAKTER DAN NILAI KEJUANGAN BANGSA MELALUI PEMBELAJARAN PERIBAHASA Suryo Daru Santoso, M.Pd. PBSI, FKIP, Universitas Muhammadiyah Purworejo
Jl. K.H. Ahmad Dahlan No. 3 Purworejo 54111 Surel:
[email protected] HP: 085640838883 Abstrak Mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan fungsi pendidikan nasional yang dirumuskan dalam UU Sisdiknas. Pada era globalisasi, tantangan dalam mewujudkan hal tersebut semakin meningkat. Pergaulan global membawa pengaruh dalam tata nilai berbagai bangsa termasuk bangsa Indonesia. Diperlukan karakter yang kuat dan upaya tak kenal lelah bagi suatu bangsa dalam memperjuangkan eksistensinya sebagai bangsa yang bermartabat. Peribahasa sebagai salah satu kearifan bangsa Indonesia, di dalamnya tersirat nilai-nilai karakter dan kejuangan yang dapat ditanamkan khususnya bagi generasi penerus bangsa. Makalah ini membahas pembelajaran peribahasa sebagai sarana memperkukuh karakter dan nilai kejuangan bangsa pada era pergaulan global. Kata kunci: globalisasi, nilai karakter, nilai kejuangan, peribahasa PENDAHULUAN Era globalisasi ekuivalen dengan era keterbukaan dan persaingan bebas yang terjadi di pelbagai bidang kehidupan misalnya bidang ekonomi, sosial, teknologi, budaya, bahkan dunia pendidikan. Hal ini tentu menimbulkan bermacam dampak baik itu bersifat positif maupun negatif. Diperlukan karakter yang kuat dan perjuangan yang gigih bagi suatu bangsa untuk mempertahankan kemartabatan bangsanya di tengah “serangan” globalisasi seperti saat ini, demikian halnya bangsa Indonesia. Sebagai upaya memfilter masuknya budaya asing sehingga mengurangi pengaruf negatif globalisasi, pendidikan khususnya pendidikan karakter harus ditanamkan secara kokoh pada generasi penerus bangsa ini. Hal tersebut disebabkan kaum muda sebagai penerus bangsa sangat rentan tergilas arus globalisasi yang dapat mengakibatkan lunturnya jati diri bangsa dan merosotnya martabat bangsa. Pendidikan dapat dikatakan bertanggungjawab dalam upaya mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana fungsi pendidikan nasional yang dirumuskan dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, Bab III pasal 3. Oleh sebab itu, peran pendidikan menjadi sangat penting dalam pengembangan sumber daya manusia berkualitas yang akan berguna bagi diri sendiri, masyarakat, maupun bangsa dan negara. Dengan demikian, adanya pendidikan akan menciptakan manusia berkualitas yang mampu bersaing di era globalisasi. Sejalan dengan UU di atas, pendidikan yang mengedepankan nilai-nilai karakter merupakan hal terpenting untuk membentuk kepribadian. Hal ini sesuai dengan argumen A. Doni (2007: 80) yang mengartikan pendidikan sebagai proses internalisasi budaya ke dalam diri individu dan masyarakat menjadi beradab. Berikutnya, Muhtadi (2010: 32) mengemukakan bahwa pendidikan pada dasarnya adalah usaha untuk memanusiakan manusia. Merujuk pada konteks tersebut pendidikan tidak hanya diartikan untuk membantu pertumbuhan secara fisik saja, tetapi juga keseluruhan perkembangan pribadi manusia dalam konteks lingkungan yang memiliki peradaban. Upaya pembentukan pribadi yang berkarakter demi mewujudkan bangsa yang bermartabat juga perlu disertai perjuangan yang kuat. Nilai-nilai kejuangan perlu ditanamkan pula pada diri peserta didik sebagai pemuda penerus bangsa. Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, nilai
232
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
kejuangan dimaksudkan untuk menggambarkan perlawanan, daya pendorong, dan pendobrak yang mampu membawa bangsa ini untuk membebaskan dirinya dari penjajahan sehingga memperoleh kemerdekaan. Relevansi semangat kejuangan tersebut, pada masa sekarang berguna untuk membangun dan mewujudkan cita-cita bangsa, yaitu memberantas kemiskinan, kebodohan, menegakkan kehidupan bersama yang jujur, menciptakan keadilan, maupun menghilangkan praktik-praktik korupsi merupakan pijakan yang baik dalam upaya membangun karakter bangsa. Guna memberikan pendidikan karakter dan nilai kejuangan bangsa melalui bidang bahasa dan sastra, peribahasa dapat dijadikan wahana dalam pembelajaran tersebut. Peribahasa merupakan salah satu kearifan lokal yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yang di dalamnya terkandung nilainilai luhur kepribadian bangsa. Kearifan lokal ini dapat kita revitalisasi sehingga bermanfaat terhadap kehidupan masa sekarang dan masa yang akan datang. Sehubungan dengan itu, mengutip pendapat Rahyono (2009: 9), local genius (kearifan lokal) memiliki ketahanan terhadap unsurunsur yang datang dari luar dan mampu berkembang untuk masa-masa mendatang. Kepribadian suatu masyarakat ditentukan oleh kekuatan dan kemampuan local genius dalam menghadapi kekuatan dari luar. Jika local genius hilang atau musnah, maka kepribadian bangsa pun memudar. Berpijak dari uraian di atas, dengan adanya pendidikan karakter dan nilai kejuangan dalam era globalisasi diharapkan dapat menyelamatkan bangsa dan dapat dikembangkan melalui pembelajaran secara berkesinambungan. Salah satu pembelajaran yang dapat diterapkan adalah dengan membelajarkan peribahasa yang memuat nilai-nilai keraifan bangsa. Pada proses pembelajaran itu, peserta didik bukan hanya memiliki pengetahuan melainkan juga sikap dan moral yang mencerminkan nilai-nilai luhur yang telah tertanam dalam dirinya sebagai individu dan nilai yang telah ada sejak zaman dahulu. Dengan demikian, diharapkan pula pembelajaran peribahasa dapat menguatkan karakter bangsa Indonesia yang sedang terombang-ambing dalam derasnya arus globalisasi. PENDIDIKAN KARAKTER DAN NILAI KEJUANGAN Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil, (Sadiman dkk., 2010: 2). Pendidikan karakter hadir sebagi solusi problem moralitas dan karakter. Diungkapkan oleh Wibowo (2012: 25), meski bukan sebagai sesuatu yang baru, pendidikan karakter dikatakan cukup bagi dunia pendidikan khususnya untuk membenahi moralitas generasi muda. Berbagai alternatif guna mengatasi krisis karakter, memang sudah dilakukan dan penerapan hukum yang lebih kuat. Altenatif lain yang banyak dikemukakan untuk mengatasi, paling tidak mengurangi masalah budaya dan karakter bangsa pendidikan karakter. Terdapat sembilan pilar karakter yang uraikan oleh Lickona (1992: 22) yang bersumber dari nilai-nilai luhur universal. Kesembilan karakter ini perlu ditamkan dalam pendidikan holistik dengan menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Hal tersebut diperlukan agar anak mampu memahami, merasakan/ mencintai, dan sekaligus melaksanakan nilai-nilai kebajikan. Adapun pilar-pilar karakter tersebut yaitu: (1) karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya,(2) kemandirian dan tanggung jawab,(3) kejujuran/ amanah,(4) hormat santun,(5) dermawan, suka tolong menolong dan gotong royong/ kerjasama,(6) percaya diri dan pekerja keras,(7) kepemimpinan dan keadilan,(8) baik dan rendah hati, dan (9) karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan. Sementara itu, Kementerian Pendidikan Nasional (2010: 9-10) mengembangkan nilai-nilai karakter menjadi 18 butir yaitu: (1) religius, (2) jujur, (3) toleransi, (4) disiplin, (5) kerja keras, (6) kreatif, (7) mandiri, (8) demokratis, (9) rasa ingin tahu, (10) semangat kebangsaan, (11) cinta tanah air, (12) menghargai prestasi, (13) bersahabat/komunikatif, (14) cinta damai, (15) gemar membaca, (16) peduli lingkungan, (17) peduli sosial dan (18) tanggung jawab. Nilai-nilai tersebut diharapkan menjadi kunci penuntun pembelajaran berkarakter dalam rangka pendidikan karakter. Identifikasi nilai-nilai karakter dalam 18 butir dimaksudkan dapat mempermudah para pendidik dalam menyelenggarakan pembelajaran berkarakter. Ulasan berikutnya yakni tentang nilai kejuangan, sesuai dengan deskripsi pada bagian pendahuluan bahwa nilai kejuangan perlu pula ditanamkan dalam diri peserta didik. Cikal bakal PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
233
nilai kejuangan bangsa bermula dari perjuangan nasional bangsa Indonesia pada awal abad XX dalam rangka meraih kemerdekaan dari kolonialisme. Nilai kejuangan ditanamkan selama bergenerasi-generasi sebagai upaya untuk mencapai kemerdekaan. Nilai yang seperti ini dimiliki oleh generasi pra 45 dan generasi 45. Nilai kejuangan tersebut mewaris terus menerus dari satu generasi ke generasi berikutnya (Suhady dan Sinaga, 2006). Sungguhpun orientasi perjuangan pada masa sekarang telah berbeda, tetapi semangat dan nilai kejuangan itu tetap relevan guna membangun segala sesuatu yang dicita-citakan. Hakikat nilai kejuangan tercantum dalam Pancasila, Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 1945, dan Pembukaan UUD 1945. Adapun nilai-nilai tersebut yaitu: (1) nilai persatuan dan kesatuan, (2) nilai rela berkorban, (3) nilai kemanusiaan, (4) nilai mufakat dan musyawarah, (5) nilai kerjasama/ gotong royong, (6) nilai saling menghargai, dan (7) nilai cinta tanah air. Nilainilai inilah yang menjadi landasan kita dalam mengisi kemerdekaan. Generasi penerus bangsa yang merupakan pelaksana cita-cita pahlawan harus mewarisi semangat juang para leluhur yang dengan segala daya upaya rela berkorban demi masa depan bangsa. Semangat dan nilai kejuangan sebagaimana dijelaskan di atas, perlu diajarkan kepada peserta didik sehingga tidak mudah terseret arus globalisasi yang sudah mulai memasuki sendi-sendi kehidupan generasi muda. PERIBAHASA SEBAGAI MEDIA PEMBELAJARAN KARAKTER DAN NILAI KEJUANGAN Peribahasa merupakan salah satu “maha karya” bangsa Indonesia. Sebagai bagian dari kebudayaan, peribahasa menarik untuk digunakan dalam berkomunikasi. Selain dapat memperindah bahasa, memperhalus tutur kata, peribahasa juga dapat memperkaya perbendaharaan bahasa Indonesia dan khazanah kebudayaan nasional. Selain itu, dalam peribahasa juga terkandung nilai-nilai luhur yang dapat digunakan sebagai media pembelajaran. Peribahasa termasuk dalam kearifan lokal sebagaiman dinyatakan oleh Sedyawati, (2007: 317) bahwa kearifan lokal itu hendaknya diartikan sebagai “kearifan dalam kebudayaan tradisional”, dengan catatan bahwa yang dimaksud dalam hal ini adalah kebudayaan tradisional suku-suku bangsa. Dengan pengertian tersebut, maka yang termasuk sebagai penjabaran “kearifan lokal” itu, disamping peribahasa dan segala ungkapan kebahasan yang lain, adalah juga berbagai pola tindakan dan hasil budaya materialnya. Kearifan lokal yang terdapat pada peninggalan peradaban masa lalu seharusnya menjadi nilai revitalisasi untuk pembentukan karakter generasi berikutnya. Sebab menurut pendapat Alwasilah (2006: 18), revitalisasi dari sebuah kebudayaan dapat didefinisikan sebagai upaya yang terencana, sinambung, dan diniati agar nilai-nilai budaya itu bukan hanya dipahami oleh pemiliknya, melainkan juga membangkitkan segala wujud kreativitas dalam kehidupan sehari-hari dan dalam menghadapi berbagai tantangan. Demi revitalisasi, maka ayat-ayat kebudayaan tersebut harus dikaji ulang atau ditafsir baru. Oleh sebab itu, penulis memilih peribahasa sebagai media dalam membelajarkan karakter dan nilai kejuangan bagi generasi penerus bangsa. Nilai pendidikan karakter dan kejuangan yang terdapat dalam peribahasa dapat dihayati dalam rangka pembentukan kepribadian dan menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal ini dapat terjadi karena di dalam peribahasa terdapat berbagai informasi mengenai kehidupan sosial dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat penuturnya. Peribahasa adalah kalimat atau penggalan kalimat yang bersifat turun menurun, digunakan untuk menguatkan maksud karangan, pemberi nasehat, pengajaran atau pedoman hidup (Kridalaksana, 1993:169). Lebih lengkap Badudu (1994: 11) menjelaskan bahwa peribahasa adalah kelompok kata atau kalimat yang menyatakan suatu maksud, keadaan seseorang, atau hal yang mengungkapkan kelakuan, perbuatan atau hal mengenai diri seseorang. Peribahasa mencakup ungkapan, pepatah, perumpamaan, ibarat, tamsil. Pada umumnya, kelompok kata atau kalimat dalam peribahasa memiliki struktur susunan yang tetap, dan merupakan kiasan terhadap suatu maksud. Kalimat yang dipakai memiliki arti yang luas karena suatu peribahasa berhubungan dengan nilai-nilai, pandangan hidup, norma dan suatu aturan dalam masyarakat. Peribahasa merupakan ungkapan yang secara tidak langsung tersirat suatu hal (makna) yang dapat dipahami oleh pendengarnya atau pembacanya. Sejalan dengan hal tersebut Fitriani, (2014: 9-11) menyatakan bahwa peribahasa merupakan suatu ayat ataupun kelompok kata yang memiliki susunan yang tetap dan arti tertentu, bidal ataupun
234
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
pepatah.peribahasa bisa dikatakan sebagai sebuah pepatah yang menjelaskan tentang aturan dasar dan perilaku. Dikenal juga dengan sebutan aforisme, jika peribahasa tersebut dilihat sebagai ungkapan yang sangat baik. Peribahasa dapat berjenis bidal, pepatah, perumpamaan, ibarat, dan pameo. Sehubungan dengan penggunaan peribahasa sebagai media pembelajaran karakter dan nilai kejuangan, penulis akan memberikan contoh beberapa peribahasa yang dapat dimanfaatkan dalam pembelajaran tersebut. Penulis mengambil contoh peribahasa yang berbahasa Indonesia dan peribahasa berbahasa Jawa yang disertai dengan penjelasan mengenai arti ataupun maknanya. Salah satu contoh dalam peribahasa Jawa ada ungkapan mikul dhuwur mendhem jero. Ungkapan ini memiliki makna yang dalam, peribahasa tersebut mengajarkan kita agar mampu menjaga dan menjunjung tinggi derajat dan harkat martabat orang tua, tidak membuat aib untuk kedua orang tua. Selain itu kita harus bisa menghargai serta menghormati orang tua. Tidak hanya orang tua dalam arti sempit namun juga dalam arti yang lebih luas, yakni orang yang lebih tua, pemimpin, maupun tokoh masyarakat lainnya. Peribahasa ini mencerminkan nilai karakter tanggung jawab baik dalam keluarga maupun di masyarakat. Kemudian, nilai kejuangan yang dapat dipetik adalah kemanusiaan dan saling menghargai. Realitas menunjukkan bahwa nilai kejuangan bangsa sudah mulai terlupakan. Orang tidak lagi mengenal kegotong-royongan, persatuan dan kesatuan bangsa, rela berkorban demi negara dan bangsa, dan sebagainya. Pameo seperti “bersatu kita teguh bercerai kita runtuh”, telah hilang dari khasanah perbendaharaan budaya kita. Banyak orang pada masa kini cenderung bersikap individual dan kurang atau bahkan tidak mempercayai orang lain ataupun golongan lain. Padahal ungkapan tersebut mengajarkan dua arti yang mampu meberikan dorongan semangat untuk bersatu dan kerjasama. Pertama berarti sesuatu akan berhasil apabila dikerjakan ataupun berjuang bersamasama. Arti kedua ialah suatu kelompok/kaum/bangsa akan menjadi kuat dan maju apabila tidak terpecah belah. Peribahasa lainnya dalam bahasa Jawa misalnya “sepi ing pamrih rame ing gawe” yang berarti tidak mengharapkan imbalan yang utama adalah kerja atau “jer basuki mowo beyo” bahwa setiap kesejahteraan membutuhkan pengorbanan. Peribahasa di atas, memiliki nilai pendidikan karakter semangat kebangsaan, bersahabat, dan cinta damai. Adapun nilai kejuangan yang diajarkan adalah nilai persatuan dan kesatuan, rela berkorban, dan kerjasama/ gotong royong. Berikutnya sifat atau karakter yang sudah semakin memudar dewasa ini adalah kejujuran. Korupsi merupakan sebuah tindakan ketidakjujuran yang sudah sangat meresahkan dan memprihatinkan di negeri ini. Praktik-pratik korupsi seakan mewabah di berbagai bidang mulai dari pemerintahan birokrasi hingga dunia pendidikan. Kejujuran bukanlah sebuah tindakan yang merugikan manusia. Sebaliknya dengan kejujuran akan membuat kehidupan manusia menjadi lebih baik. Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Sepandai-pandainya orang menyimpan bangkai, pasti akan tercium juga baunya. Peribahasa tersebut memanglah benar adanya. Seseorang yang tidak jujur dalam bertindak ataupun melakukan sesuatu hal, suatu saat akan “jatuh” juga. Senada dengan hal itu, peribahasa Jawa berikut ini memiliki makna yang serupa yakni “becik ketitik olo ketoro”. Paribasan tersebut mengandung makna bahwa kebenaran atau perbuatan baik sungguhpun dilakukan secara diam-diam maka lambat laun akan diketahui juga, demikian halnya sepandai-pandainya menutupi perbuatan tercela dan kebusukan hati cepat atau lambat juga akan diketahui orang lain. Perumpamaan dan ungkapan di atas dapat diajarkan ke peserta didik supaya selalu mengutamakan kejujuran dalam setiap perbuatan maupun pekerjaan yang dilakukan. Contoh peribahasa lainnya yang memuat nilai karakter yakni “sebelum ajal berpantang mati” yang memiliki arti bila ajal sudah tiba, tidak seorangpun dapat menolaknya dan bila ajal belum waktunya tiba, bagaimanapun seseorang tidak akan mati. Makna yang tersirat dalam peribahasa tersebut adalah kita sebagai manusia harus senantiasa beribadah dan mendekatkan diri kepada Tuhan sebab hidup dan mati seseorang hanyalah Tuhan yang mengetahui dan bisa berkehendak. Salah satu peribahasa dalam bahasa Jawa yang juga menyiratkan nilai religius ialah “aja mung kelingan barang kang katon wae, sebab kang katon gumelar iki anane malah ora langgeng”. Sebuah bebasan berisi nasihat yang mengingatkan manusia akan kefanaan segala hal di dunia. Manusia janganlah hanya mengejar keduniawian karena harta, pangkat, dan segala kebendaan yang tidak akan abadi. Semua dapat diperoleh dengan mudah, tetapi juga dapat musnah dengan mudah pula. Manusia hendaknya juga memikirkan segala yang dibutuhkan di alam yang PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
235
abadi nanti, akhirat. Manusia harus senantiasa berdoa dan mendekatkan diri pada Tuhan karena kepada-Nya kita akan kembali. Perumpamaan ataupun ungkapan-ungkapan yang telah penulis ulas di atas hanyalah sebagian kecil contoh peribahasa yang dipunyai bangsa Indonesia. Indonesia sebagai negara yang terdiri atas bermacam suku bangsa tentu juga mempunyai berbagai kebudayan. Tiap-tiap kebudayaan, penulis yakini pasti memiliki peribahasanya sendiri yang merupakan hasil kristalisasi adat istiadat dan keraifan lokal daerah. Oleh sebab itu, masih sangat banyak peribahasa yang bisa digunakan sebagai media pembelajaran nilai-nilai karakter dan kejuangan bangsa. SIMPULAN Pembentukan karakter sumber daya manusia sebuah bangsa dibutuhkan untuk menghadapi tantangan global yang sangat berat. Eksistensi suatu bangsa sangat ditentukan oleh karakter yang dimilikinya. Bangsa yang memiliki karakter kuat yang mampu menjadikan dirinya sebagai bangsa yang bermartabat dan disegani oleh bangsa-bangsa lain. Oleh sebab itu, menjadi bangsa yang berkarakter adalah impian bangsa Indonesia. Indonesia merupakan negara dengan ragam kebudayaan dan adat istiadat yang memiliki nilai-nilai luhur yang harus dijunjung tinggi dan terus dilestarikan. Kearifan lokal bangsa Indonesia khususnya peribahasa dapat dijadikan alternatif media pembelajaran nilai-nilai karakter dan kejuangan bangsa. Pada hakikatnya, kearifan lokal memiliki kemampuan mengakomodasi budaya-budaya baru yang menyerbu, mampu berintegrasi dengan kebudayaan baru atau budaya luar, mampu mengendalikan budaya yang ada, serta menyumbangkan nilai untuk arah kebudayaan yang akan datang. Dengan demikian, penanaman dan pengukuhan karakter dan nilai kejuangan melalui peribahasa diharapkan dapat membentuk watak dan kepribadian manusia Indonesia khususnya generasi penerus bangsa sehingga dapat terwujud cita-cita nasional sebagai bangsa yang bermartabat di mata dunia. DAFTAR PUSTAKA A. Doni Koesoema. 2007. Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: Grasindo. Alwasilah, A. Chaedar. 2006. Pokoknya Sunda: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Kiblat Buku Utama. Badudu J.S. dan Sutan Mohammad Zain. 1994. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Fitriani, Reni. 2014. Peribahasa Indonesia. Jakarta: Lembar Pustaka Indonesia. Kemdiknas. 2010. Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa. Jakarta: Puskur Balitbang Kemdiknas. Kridalaksana, H. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia. Muhtadi, Ali. 2010. Strategi Implementasi Pendidikan Budi Pekerti yang Efektif di Sekolah. Jurnal Dinamika Pendidikan No. 01/Th.XVI/Mei 2010. Rahyono. 2009. Kearifan Budaya Dalam Kata. Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Sadiman, Arief S., dkk. 2010. Media Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sedyawati, Edi. 2007. Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Suhady, Idup dan A.M. Sinaga. 2006. Wawasan Kebangsaan dalam kerangka NKRI. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional. 8 Juli 2003. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 4301. Jakarta: Sekretaris Negara RI. Wibowo, Agus. 2012. Pendidikan Karakter: Strategi Membangun Karakter Bangsa Berperadaban. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
236
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
‘KEDAULATAN’ DALAM SASTRA ANAK Sugihastuti Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Abstrak Kata ‘kedaulatan’ dalam tulisan ini bukan dalam arti leksikal, yaitu kekuasaan tertinggi atas pemerintahan negara, daerah, dan sebagainya; bukan juga misalnya dalam arti kedaulatan hukum, kedaulatan negara, kedaulatan raja, dan atau kedaulatan rakyat. Kata ‘kedaulatan’ dalam tulisan ini diartikan dalam pengertian klasik, yang berarti berkat kebahagiaan (yang ada pada raja), bahagia. Frasa ‘daulat tuanku’, misalnya, berarti ya tuanku (arti sebenarnya, bahagialah tuanku). Kata ‘berdaulat’ dalam arti arkhais adalah berbahagia, bertuah. ‘Kedaulatan’ dalam sastra anak adalah perihal berbagai isu kebahagiaan yang berkaitan dengan sastra anak. Ada hal-hal yang berkaitan dengan ‘ideologi’ dan ‘politik’ dalam sastra anak.
Kata ‘kedaulatan’ dalam tulisan ini bukan dalam arti leksikal, yaitu kekuasaan tertinggi atas pemerintahan negara, daerah, dan sebagainya; bukan juga misalnya dalam arti kedaulatan hukum, kedaulatan negara, kedaulatan raja, dan atau kedaulatan rakyat. Kata ‘kedaulatan’ dalam tulisan ini diartikan dalam pengertian klasik, yang berarti berkat kebahagiaan (yang ada pada raja), bahagia. Frasa ‘daulat tuanku’, misalnya, berarti ya tuanku (arti sebenarnya, bahagialah tuanku). Kata ‘berdaulat’ dalam arti arkhais adalah berbahagia, bertuah. ‘Kedaulatan’ dalam sastra anak adalah perihal berbagai isu kebahagiaan yang berkaitan dengan sastra anak. Ada hal-hal yang berkaitan dengan ‘ideologi’ dan ‘politik’ dalam sastra anak. Dalam pengertian awam, sastra adalah (1) bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kita-kitab (bukan bahasa sehari-hari); (2) kesusastraan; (3) kitab suci Hindu, kitab ilmu pengetahuan; (4) dalam arti klasik ialah pustaka, primbon (berisi ramalan, hitungan, dan sebagainya); (5) dan dalam arti klasik pula ialah tulisan, huruf. Ahli sastra, pujangga, pengarang prosa dan puisi, serta orang pandai-pandai dan cerdik cendekia dapat dinamai sastrawan. Sastra anak adalah sastra yang ditulis oleh anak-anak dan orang dewasa, yang merupakan cermin semestaan anak-anak, dan yang dibaca oleh anak-anak dan orang dewasa. Sastra anak merupakan sastra yang bermediumkan bahasa. Sastra menawarkan dua hal utama, yaitu kesenangan dan pemahaman (Lukens, 2003:9). Sastra hadir kepada pembaca, pertama-tama, memberikan hiburan yang menyenangkan. Sastra menampilkan cerita yang menarik dan mengajak pembaca untuk berfantasi. Sastra anak adalah sastra (buku) yang menempatkan sudut pandang anak sebagai pusat penceritaan (Huck dkk., 1987:6). Dalam pengertiannya tentang sastra anak, Nurgiyantoro (2005:2—12) menjelaskan bahwa hakikat sastra anak adalah sastra yang memberikan kesenangan dan pemahaman tentang kehidupan, merupakan citra dan metafora kehidupan, anak sebagai pusat penceritaan, mempunyai keterbatasan isi dan bentuk, berupa sastra lisan dan tulisan, dibaca oleh anak-anak berumur antara 1—12 tahun, dan ditulis baik oleh anakanak maupun orang dewasa. Dalam konteksnya dengan ‘kedaulatan’ sastra anak, sementara pandapat mengatakan bahwa pengarang sastra anak dapat semau-gue saja berkarya dan yang lain berpendapat bahwa anak-anak harus dilindungi dalam hal mengonsumsi sastra. Penerbit besar dan ternama di Indonesia, misalnya Gramedia Pustaka Utama, telah menerjemahkan sastra anak seri Narnia dan Matilda. Judul lengkap Narnia adalah The Cronicles of Narnia: The Lion, The Witch and the Wardobe, yang untuk selanjutnya dalam tulisan ini disebut Narnia. Kedua seri ini merupakan seri terkenal di antara banyak seri terkenal lain yang mendunia. Keduanya sudah dibaca oleh banyak anak di dunia dan sudah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa. Keduanya terkenal dan disenangi oleh pembaca anak-anak, tetapi keduanya pula berbeda. Perbedaan itu terletak pada maksud
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
237
pengarangnya, seperti tertuang dalam tema, fakta-fakta cerita (plot, latar, dan tokoh), dan saranasarana sastra (alegori, gaya bahasa, sudut pandang, humor, dan lain-lain). Narnia dan Matilda merupakan dua teks sastra anak di antara teks sastra anak lain yang tidak terhitung banyaknya. Keduanya diterbitkan di Barat dan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Karya-karya ini diambil sebagai contoh pembicaraan karena alasan ketenarannya. Kepopuleran keduanya terbukti dengan sudah diterjemahkannya ke dalam banyak bahasa. Tidak ada masalah untuk menemukan sastra anak. Akan tetapi, ada masalah ketika orang bertanggung jawab harus memilih sastra anak yang lebih baik dan sesuai dengan anak-anak. Apakah sastra anak yang dipilihnya itu mendatangkan ‘kedaulatan’? Ada sastra anak berjudul Winnie the Pooh karya A. Milne. Teks sastra anak ini dibaca bersama-sama oleh pembaca anak-anak dan pembaca dewasa. Teks ini bercerita tentang beruang dan temannya. Cerita ini sungguh tidak bermasalah dan sesuai bagi semua anak. Akan tetapi, di Inggris, misalnya, ada komik berjudul Beano yang diterbitkan setiap minggu sejak 1938, hampir seabad yang lalu. Tradisi sastra anak di sana, dengan demikian, sudah panjang. Namun, komik ini mendorong kelakuan pembaca anak-anak menjadi anarkistis dan bengis. Kelakuan anarkistis merupakan kelakuan yang bersifat anarki, kekacauan. Orang yang melakukan tindakan anarki disebut anarkis. Adapun anarkisme adalah ajaran (paham) yang menentang setiap kekuatan negara, teori politik yang tidak menyukai adanya pemerintahan dan undang-undang. Sastra anak yang sampai-sampai dapat memengaruhi pembaca anak berkelakuan bengis, misalnya, harus disensor. Kalakuan bengis itu merupakan kelakuan yang bersifat keras tanpa belas kasihan kepada manusia atau binatang. Orang yang bengis suka berbuat aniaya dan kejam. Kelakuan bengis ini menyebabkan penderitaan dan kesengsaraan yang berat. Kata-kata yang bengis artinya kata-kata yang tajam dan pedas. Sifat dan perbuatan bengis, kekejaman, dan kezaliman tidak seharusnya dicontoh oleh anak-anak melalui bacaan teks sastranya. Dengan mengambil hikmah dari terbitnya komik Beano ini, sudah saatnya sensor atas sastra anak di Indonesia digalakkan agar produksi dan penerbitan sastra anak tidak mengalami keprihatinan seperti sudah dialami oleh negara lain. Pasti banyak hal tentang kelayakan sastra anak yang harus dicermati dan diambil kebijakan untuk meloloskan sensor penerbitannya. Pembaca dewasa bertanggung jawab atas pemilihan sastra anak bagi pembaca anak-anak. Di Amerika Serikat, USA, misalnya, sensor atas teks sastra anak berupa buku yang dibaca oleh anak-anak juga kuat. Tidak segan-segan, misalnya, orang tua membakar buku sastra anak yang memuat ideologi yang tidak mereka terima. Kehebohan kasus karya Salman Rushdie merupakan salah satu contoh. Pembaca pun juga tidak segan-segan mengadukan penerbit jika produknya tidak sesuai dengan ideologi yang tepat bagi anak-anak. Hal itu memungkinkan karena ‘politik perdagangan’ sastra anak yang diatur, misalnya karena pembelian buku sastra anak untuk sekolah dan perpustakaan diatur dalam peraturan perundang-undangan. Ada beberapa pusat kekuatan dan atau pusat kekuasaan yang tekanan moral dapat diterapkan. Pendeknya, seyogianya ada badan sensor penerbitan sastra anak. Orang tidak boleh meremehkan kerumitan antara empat orientasi sastra, yaitu karya, semestaan, pengarang, dan pembaca. Pengarang sastra anak berada dalam tegangan antara tiga hal itu, yaitu karya, semestaan, dan pembaca. Situasi ini menjadi kian rumit karena sastra yang diciptakannya adalah sastra anak, yang bagaimanapun juga mempunyai jarak ideologi dan politik antara diri pengarang dan ketiganya. Kembali pada Narnia, sastra anak ini termasuk ke dalam cerita atau fiksi fantasi. Fiksi fantasi merupakan the willing suspension of disbelief (Coleridge via Lukens, 2003:20). Fiksi fantasi menawarkan sesuatu yang sulit diterima. Fiksi fantasi menghadirkan dunia lain di samping dunia realistis. Ceritanya dikisahkan dengan amat menarik, dengan tokoh-tokoh yang mampu melakukan sesuatu yang berada di luar jangkauan manusia biasa. Bahkan, tidak jarang muncul tokoh-tokoh yang bukan manusia yang dapat berinteraksi dengan tokoh manusia secara wajar. Cerita fantasi, menurut Huck dkk. (1987:344) adalah cerita yang memiliki makna lebih dari sekadar yang dikisahkan. Cerita fantasi bukan hanya cerita yang berkisah tentang tokoh-tokoh supranatural yang lazim muncul pada cerita masa lalu, tetapi juga dapat melibatkan tokoh dan kehidupan modern. Pada dewasa ini banyak sastra anak dan film terkenal ber-genre fiksi fantasi. Contoh, Harry Potter dan Lord of the Rings. Mengapa sastra anak ini terkenal dan disukai oleh semua anggota keluarga? Kalau pembaca dewasa ingin anak-anak belajar tentang kehidupan, apakah
238
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
mereka harus membaca satra realistik atau bisa membaca fiksi fantasi. Kalau genre cerita fantasi dapat dipahami sebagai “the willing suspensions of disbelief”, pembaca memisahkan dunia yang nyata dengan dunia yang ada di dalam cerita fantasi, khususnya kalau “the suspensions of disbeiief” merupakan kesengajaan, berarti bahwa pembaca sudah mengetahui perbedaan antara kedua dunia. Lain Narnia, lain lagi Matilda. Matilda merupakan cerita fantasi yang berunsur kelucuan. Hal-hal yang dieksplorasi dalam Matilda sudah lazim bagi pembaca anak, misalnya cerita tentang masalah antara orang tua dan anak serta cerita tentang kepala sekolah yang jahat. Hal ini berbeda dengan Narnia, tetapi masih ada juga persamaannya. Banyak hal dapat dibandingkan antara keduanya. Diambil salah satu contoh, yaitu tentang plot. Plot keduanya berbeda. Narnia bercerita tentang dunia fantasi, tidak nyata, tetapi anak-anak dan orang dewasa berasal dari dunia nyata. Para tokoh anak-anak ini diharapkan oleh seluruh dunia Narnia karena sudah lama Narnia mempunyai ramalan bahwa “when two sons of Adam and two daughters of Eve sit ini those four thrones, then it will be the end not only of the White Witch’s reign but of her life” (Lewis, 2002:92). Keadaan ini berkebalikan dengan cerita Matilda, yang terjadi di dunia nyata, tetapi ada perihal yang istimewa dan termasuk dalam kategori cerita fantasi. Matilda adalah seorang anak yang dapat ditemukan dalam kehidupan keluarga yang nyata, tetapi tidak sempurna, demikian juga sekolahnya. Roald Dahl menciptakan dunia yang nyata, tetapi ditujukan kepada pembaca anak dan menggunakan pernyataan-pernyataan yang berlebih-lebihan dan lucu. Yang berbeda dari Matilda dengan Narnia adalah karakter anak yang istimewa. Matilda mempunyai kekuatan yang sakti dan banyak masalah yang dihadapi dalam kehidupannya. Dia harus dibantu oleh gurunya yang bernama Miss Honey. Miss Honey merupakan sosok orang biasa, tetapi dia ‘a mild and quiet person’ dan ‘some curious warmth that was almost tangible shone out of Miss Honey’s face’ (Dahl, 2013:66). Tanpa karakter tokoh ini pasti cerita Matilda menjadi lain dan sangat berbeda karena peranannya sebagai penyelamat dalam cerita ini sangat penting. Guru ini bertengkar dengan Kepala Sekolah dan orang tua Matilda. Tercermin melalui cerita bahwa ada kekuatan sakti dan karakter sebagai tokoh yang berperan sebagai penyelamat. Di dalam plot Narnia, ada karakter penyelamat juga, tetapi peranannya sedikit berbeda dengan Matilda. Tokohnya bernama Aslan dan merupakan seekor singa. Seperti Matilda, Aslan mempunyai kekuatan sakti, tetapi kekuatan saktinya lebih besar daripada Matilda. Kekuatan dan kesaktiannya itu digunakan untuk menyelamatkan penduduk dunia Narnia. Kekuatan dan kesaktian Matilda lebih kecil, yang secara genderis mungkin lebih sesuai bagi anak perempuan. Kekuatannya itu dinikmati oleh teman-teman sekelasnya, dan yang menjadi korban adalah Kepala Sekolah. Aslan, raja yang benar di dunia Narnia harus menyelamatkan penduduk Narnia dari kekuatan deep magic (Lewis, 2002:89) yang dimiliki oleh White Witch (Penyihir Putih). Kesamaan pada unsur plot yang lain lagi pada Narnia dan Matilda adalah pada akhir cerita yang merupakan akhir yang nyaman, fairy tale ending. Karakter-karakter tokoh yang baik tidak bermasalah, tetapi karakter tokoh-tokoh yang jahat dimatikan, dihilangkan, dan atau diubah. Di Narnia, “these two Kings and two Queens governed Narnia well, and long and happy was their reign” (Lewis, 2002:197). Akhir cerita ini tidak berbeda dengan Matilda, yaitu Matilda diperbolehkan tinggal bersama gurunya, Miss Honey. Cerita berakhir dengan gambaran nyaman sambil anak itu dipeluk oleh gurunya dan orang tua berangkat/pergi untuk selamanya. ‘Kedaulatan’ dalam sastra anak dapat dimaknai dalam aneka unsur pembangun struktur cerita. Contoh di atas merupakan pemaknaan dari segi plot secara sederhana. Unsur-unsur yang lain dalam pencapaian pemaknaan ‘kedaulatan’ sastra anak dapat ditempuh melalui unsur tokoh/karakter, latar, tema, dan sarana-sarana sastra, misalnya alegori, gaya bahasa, dan lain-lain. Yang harus diupayakan dalam penulisan, penerbitan, dan pembacaan sastra anak adalah bahwa setiap orang seharusnya tertarik di dalam gagasan-gagasan politis dalam pengertian yang luas pada sastra anak. Sastra anak, antara lain, berfungsi membantu perkembangan dan pertumbuhan moralitas masyarakat-anak. Dengan demikian, seharusnya pula orang tidak dapat mengabaikan apa yang dibaca oleh anak-anak. Sudah seharusnya disensor ketika terbit tema sastra anak yang antisosial, antikemanusiaan, dan tema-tema serupa yang dimungkinkan menghambat dan melilit anak-anak daripada membantu mereka tumbuh dan berkembang.
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
239
Pada kasus Narnia dan Matilda, misalnya, dan khususnya Narnia, ceritanya merupakan cerita penyelamat. Tema cerita ini bermasalah bagi anak-anak dan lebih mungkin untuk dibaca oleh pembaca dewasa. Menurut Toynbee (2005), penggunaan kata ‘penyelamat’ pada cerita Narnia bermasalah karena dipengaruhi oleh Kitab Injil. Walaupun demikian, Matilda juga menggunakan kata ‘penyelamat’, tetapi tidak dikritik dan tidak menimbulkan makna ganda. Motif ‘penyelamat’ memang sudah terbiasa ada pada sastra anak, yang mungkin pula hal ini terpengaruh pula oleh tema bahwa manusia itu memerlukan keselamatan. Apakah tema-tema seperti Narnia dan Matilda ini penting bagi kebahagiaan/ ’kedaulatan’ anak? Apakah kedua tema itu merupakan ide yang baik untuk mengajar anak=anak tentang halikhwal yang tidak nyata, tidak realistik? Apakah cerita seperti itu penting untuk pencapaian kedaulatan dan perkembangan mental dan imajinasi anak? Banyak pertanyaan lain dapat dideretkan untuk mempersoalkan perihal muatan-muatan kebahagiaan dalam sastra anak. Perlu diingat juga bahwa kedua karya itu ditulis oleh pengarang dewasa laki-laki Barat yang kurang berpengalaman dalam penguasaan ilmu gaib seperti halnya penulis di kawasan Timur. Pembacaannya pun pasti berbeda hasilnya antara pembaca Barat dan Timur. Dalam hal fairy tale ending, misalnya, apakah hal ini menadai bahwa sastra anak itu merupakan karya pengarang yang tidak lihai? Apakah akhir cerita ini mencirikan stereotipe akhir alur cerita sastra anak? Sebagai pembaca dewasa yangn bertanggung jawab untuk memilih apa yang seharusnya dibaca oleh anak-anak, pembaca dewasa harus memutuskan apakah anak-anak harus mengalami hal-hal yang berakhir tidak menyenangkan? Apakah pembaca dewasa juga harus memilih sastra anak yang bermuatan hal-hal yang mendidik mereka hanya tentang kehidupan nyata? Diskkusi tentang hal-hal ini akan dapat meluas ke hal-hal lain lagi yang masih berada di seputar sastra anak. Jika ada sementara orang berpendapat bahwa sastra anak itu merupakan karya yang remeh, hal ini merupakan pandangan yang keliru. Orang yang berasumsi bahwa sastra anak merupakan karya yang mudah, remeh, atau enteng, asumsi ini merupakan buah pikiran yang secara harfiah keliru. Pembaca tidak cukup hanya melihat dan memaknai sastra anak dari kulit-luarnya tanpa berpikir panjang bahwa di dalam kandungan teks sastra anak termuat ideologi yang tersembunyi. Ada sikap mental yang tersembunyi pada unsur-unsur karya, yang hal itu mendasari teks sastra anak secara umum. Ada perbedaan persepsi ketika membaca teks sastra anak antara pembaca dewasa dan pembaca anak . Apa yang mungkin tampak pada pembaca dewasa pada teks masa depan belum tentu dan bahkan tidak tampak oleh pembaca anak. Apa yang sebenarnya diceritakan dalam teks sastra anak merupakan sikap mental yang tersembunyi. Apa yang terletak dalam teks sastra anak memiliki kualitas spesial di mata banyak pembaca. Masalah lain dalam teks sastra anak adalah masalah norma. Jika pembaca berada pada sisi yang sama, apa yang terjadi pada semua perbedaan yang sangat besar pada gender, ras, budaya, usia, kelas, ideologi, dan politik yang sungguh-sungguh memisahkan pembaca ketika mereka membaca sastra anak. Apakah sastra anak merupakan karya yang mampu mempersatukan semua perbedaan yang memaknainya tentangnya? Bagi kebanyakan pembaca dewasa, sastra anak merupakan tempat-terbuka. Mengapa pembaca memilih dan membaca sastra anak? Jawabannya adalah untuk mendapatkan kedaulatan dalam arti kebahagiaan. Bagaimanapun juga, motif pertama pembaca sastra anak adalah karena kesenangan dan kebahagiaan pribadi. Bagi orang dewasa yang telah memiliki banyak pengalamanbaca, yang telah berpengalaman hidup, yang telah mengetahui arti kesuksesan dan kegagalan, yang telah mampu memutuskan mana yang baik dan mana yang buruk, dan yang telah memiliki standar tertentu akan moralitas kehidupan bermasyarakat, kebutuhan untuk kebahagiaan bersastra anak mungkin berbeda dengan anak-anak. Karena semua pembaca itu berbeda, kesenangan dan kebahagiaan yang dicari pun dan yang dibutuhkannya pun dapat menjadi personal. Akan tetapi, apa yang dibutuhkan oleh pembacakritis adalah bagaimana pembaca menentukan kesenangan dan kebahagiaan yang dapat diekspresikan sebagai bentuk pekerjaan kreatif, subjek nyata dari kritik sastra. Posisi pengarang sastra anak adalah sebagai pengungkap hal-hal tertentu dalam kehidupan. Fungsi kritik sastra anak itu, dengan demikian, adalah untuk memaknai dan mengevaluasi usaha pengarang sastra anak dalam mengungkapkan nilai-nilai kehidupan, termasuk nilai-niai ‘kedaulatan’.
240
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
Sastra anak juga menyediakan pemahaman. Pemahaman ini berasl dari eksplorasi terhadap kehidupan manusia dan yang dimetaforakannya berupa pengungkapan sisi alamiah manusia dan atau penemuan dari berbagai macam jenis kehidupan manusia. Hal ini bukanlah fungsi eksplisit dari teks sastra anak, baik bagi pembaca dewasa maupun pembaca anak-anak. Sastra anak bisa membutuhklan atau tidak membutuhkan banyak pemahaman. Misalnya, ketika pembaca dapat mengetahui tinggi tubuh, berat badan, warna rambut, latar belakang etnik, dan banyak hal lain yang serupa, ini semua merupakan informasi. Akan tetapi, ketika pembaca mengetahui temperamen, kegugupan, kesenangan, kesedihan, kebahagiaan, ambisi, keragu-raguan, kecemasan, kesuksesan, kegagalan, kelicikan, kebohongan, kemunafikan, dan lain-lain, hal ini bukan semata-mata merupakan informasi. Sastra anak sejatinya memiliki daya tarik yang spesifik terhadap pembaca. Di kebanyakan sastra anak, teks sastra anak menunjukkan motif perilaku manusia akan diri mereka yang sebenarnya, sekalipun tokoh manusia itu dimetaforakan sebagai binatang. Teks sastra anak mengundang pembaca untuk mengidentifikasi dan bereaksi terhadap karakter tokohtokohnya. Pembaca dapat melihat pikiran, karakter, atau bahkan alam bawah sadar tokoh. Dapat dilihat motif tokoh ketika melakukan tindakan tertentu. Jika dalam detail-detail tindakan tokoh itu dapat dilihat persamaannya dalam kehidupan sehari-hari, pembaca memaknainya dengan baik sambil menganggung-anggukkan kepala tanda persetujuannya. Sastra anak menyediakan pengalaman yang seolah-olah pembaca alami sendiri. Tidak mungkin pembaca mengalami kehidupan tertentu kecuali atas kehidupan mereka sendiri. Tidak mungkin pembaca berada pada suatu waktu tertentu kecuali pada waktu kehidupan mereka sendiri. Tidak mungkin pembaca berada pada suatu ruang tertentu kecuali pada ruang kehidupan mereka sendiri. Melalui teks sastra anak, tidak demikian halnya terjadi. Melalui sastra anak, pembaca berada pada kemungkinan-kemungkinan kehidupan lain. Pembaca merasakan berkesempatan hidup dalam kehidupan tokoh lain di luar jangkauan mereka sendiri. Sastra anak memaksa pembaca, mengarahkan pembaca, memicu pembaca, mendorong pembaca, dan memberikan pengalaman lain pembaca ke dalam cara bagaimana menangkap inspirasi pengarang melalui karyanya. Kemampuan pengarang sastra anak memberikan pembaca kesenangan dan kebahagiaan yang ingin dibagikannya kepada sesama. Selain itu, teks sastra anak menyediakan pemahaman nilai-nilai kehidupan yang berkepentingan untuk disebarluaskan kepada sesama. Anak-anak bukanlah orang dewasa. Mereka berbeda dengan orang dewasa dalam hal segala pengalaman kehidupannya. Sastra anak harus menyediakan kesenangan dan kebahagiaan yang sama dalam hal pemahaman kehidupan seperti halnya sastra dewasa. Anak-anak juga mencari kesenangan dan kebahagiaan dalam sastranya, tetapi sumber kesenangan dan kebahagiaan itu terbatas. Karena pengalaman-pengalaman-bacanya terbatas, anak-anak mungkin tidak cukup mampu memaknai dan memahami kompleksitas ide yang diungkapkan dalam sastra. Karena pemahaman mereka juga terbatas, pengekspresian ide dalam sastra anak oleh peangarang juga harus lebih mudah dipahami, baik dari segi bahasa maunpun unsur-unsur pembentuk struktur sastra anak. Pada dasarnya, anak-anak masih memerlukan kesederhanaan pengungkapan ide-ide cerita yang, antara lain, berupa kosakata/bahasa dan tema cerita. Sastra anak yang baik adalah karya yang memberikan kesenangan, kebahagiaan, dan pemahamannya sekaligus. Sastra anak akan mengeksplorasi sisi-sisi kemanusiaan dan kondisi berbagai segi kehidupan dunia anak-anak. Dalam sastra anak, kata-kata bukanlah semata-mata kata-kata. Akan tetapi, sastra anak merupakan cermin kapasitas pengarang untuk memilih kata-kata dan bahasa itu serta memberikan nilai artistik sehingga memberikan kesenangan dan kebahagiaan pada pembaca. Lebih dari itu, sastra anak membantu mereka memahami diri mereka sendiri dan orang lain. Sastra sekuler selalu dapat dinikmati oleh banyak kalangan pembaca sehingga sastra berpengaruh pada kebuayaan di seluruh dunia. Demikian juga perihal sastra anak. Pembaca harus menilai bahwa peranan sastra anak itu bermacam-macam bagi pembaca yang beraneka macam pula. Apakah yang dimaksud oleh pengarang sastra anak? Apakah peranan teks sastra anak menurut pembaca? Pertanyaan-pertanyaan ini pula yang pada akhirnya dapat dijawab untuk menutup tulisan ini.
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
241
Di dalam hal yang bersangkut-paut dengan salah satu pertanyaan di atas adalah genre (jenis) sastra. Salah satu genre sastra itu adalah sastra anak dalam posisinya sebagai anggota dari jenis sastra pada umumnya. Pembaca sastra anak berbeda dengan pembaca setiap genre sastra yang lain. Perbedaan ini merupakan akibat kenyataan bahwa sastra anak dibaca oleh pembaca anak-anak dan pembaca dewasa. Anak-anak tidak berpikir tentang hal-hal seperti yang dipikirkan oleh pembaca dewasa. Jadi, hal ini juga harus dipertimbangkan. Pendapat anak-anak itu penting dalam khazanah sastra anak yang istimewa itu. Dalam pendapat Hunt (1991:14), kritik yang dikembangkan untuk jenis sastra anak seharusnya disesuaikan dengan karakter spesial sastra anak tersebut. Sastra anak merupakan jenis sastra yang berbeda daripada sastra yang lain. Akan tetapi, sastra anak tidak dapat dipandang lebih rendah daripada jenis sastra yang lain. Dengan demikian, harus digunakan teknik yang berbeda untuk memaknai dan mengkritik sastra anak. ‘Kedaulatan’ dalam sastra anak menjadi hal utama untuk menjadikan pembaca anak memperolehnya. Tema Narnia, misalnya, merupakan tema sastra anak ini tidak sesuai untuk pembaca anakanak karena temanya menakutkan, khususnya bagi anak kecil. Namun, dalam sepanjang sejarah, memang ada teks sastra anak yang diproduksi untuk maksud menakut-nakuti anak-anak daripada untuk maksud ‘kedaulatan’ anak-anak, misalnya sastra yang bermuatan moralitas, budi pekerti, dan sopan-santun. Nah, kalau sudah demikian, pembaca dewasalah yang mempunyai otoritas pemilihan sastra anak yang cocok untuk dibaca pembaca anak-anak, yaitu sastra anak yang mendaulatkannya, sastra anak yang membahagiakannya. ‘Kedaulatan’ dalam sastra anak merupakan hal utama bagi pembaca anak-anak karena melalui jenis sastra yang membahagiakannya, anak-anak memperoleh pengalaman batin sesuai dengan hakikat sastra,, yaitu dulce et utile, indah dan bermanfaat. DAFTAR PUSTAKA Dahl, R. 2003. Matilda. 2nd Edition. London: Penguin Books Ltd. Huck, Charlotte S, Susan Hepler, dan Janet Hickman. 1987. Children’s Literature in The Elementary School. New York: Holt, Rinehart and Winston. Hunt, Peter. 1991. Criticsm, Theory , and Children’s Literature. Cambridge, Massachusetts: Blackwell. Lewis, C. S. 2002. The Cronicles of Narnia: The Lion, the Witch, and the Wardrobe. 2nd E. New York: Harper Collins. Lukens, Rebecca J. 2003. A Critical Handbook of Children’s Literature. New York: Longman. Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Tim Penyusun Kamus. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Gramedia Toynbee, P. 2005. Narnia Represents Everything That is Most Hated About Religion. The Guardian (online) Available at: http://www/theguardian.com/booksl 2005. Diakses pada 1/10/2004.
242
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
NILAI FALSAFAH JAWA DALAM LIRIK TEMBANG DOLANAN ANAK SEBAGAI PEMBENTUK KARAKTER ANAK YANG BERBUDI PEKERTI Wiekandini Dyah Pandanwangi, Jurusan Sastra Indonesia, FIB, Universitas Jenderal Soedirman
[email protected] Abstrak Salah satu warisan budaya Jawa yang digemari oleh anak-anak adalah lagu atau tembang dolanan. Tembang dolanan ini biasanya dinyanyikan oleh anak-anak ketika bermain dan bersosialisasi dengan lingkungannya atau hanya dinyanyikan untuk sekedar hiburan. Kesadaran pentingnya hidup bersama, saling bertoleransi, religius, hormat pada sesama, cinta lingkungan hidup misalnya, banyak terkandung dalam lirik tembang dolanan tersebut. Tembang dolanan Jawa sarat dengan etika yang dijadikan falsafah hidup orang Jawa. Berdasarkan penjelasan tersebut, tujuan penelitian ini, yaitu untuk mendeskripsikan tembang-tembang dolanan anak Jawa, menjelaskan nilai falsafah yang terkandung dalam lirik tembang dolanan anak Jawa, serta menguraikan nilai falsafah lirik dalam tembang dolanan anak dalam membentuk karakter anak yang berbudi pekerti. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan holistik. Rancangan penelitian yang akan digunakan adalah survai atau terjun langsung ke lokasi penelitian. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara mendalam (indepth interview) terhadap informan yang terpilih dan pengamatan (observation). Data penelitian yang telah dikumpulkan kemudian diolah dalam empat tahap. Pertama, data akan direduksi. Kedua, klasifikasi data. Ketiga, pemaparan data. Keempat, simpulkan data yang dilakukan melalui pelukisan dan verifikasi. Data tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan teknik analisis domain. Untuk mencapai keabsahan data, digunakan triangulasi dengan sumber dan pemeriksaan sejawat. Hasil penelitian menunjukkan dalam lirik tembang dolanan anak terkandung makna yang berkaitan dengan masalah adat-istiadat, budi pekerti, sopan santun, moral, sindiran, kebersihan, lingkungan hidup, kesehatan, dan religiusitas. Melalui lirik-liriknya, tembang dolanan anak mampu memberikan fungsi rekreatif, hiburan yang segar untuk mengajak pendengar bersenang-senang, namun sekaligus di dalamnya terkandung nilai-nilai yang bermanfaat. Kata Kunci: falsafaf Jawa, tembang, dolanan anak
PENDAHULUAN Dalam masyarakat Jawa, salah satu warisan budaya yang digemari oleh anak-anak adalah lagu atau tembang dolanan. Tembang dolanan ini biasanya dinyanyikan oleh anak-anak ketika bermain dan bersosialisasi dengan lingkungannya atau hanya dinyanyikan untuk sekedar hiburan. Anak-anak dengan riang gembira bermain sambil melantunkan tembang dolanan. Tembang dolanan sering dinyanyikan oleh orang tua kepada anaknya sebagai pengantar tidur dan diajarkan juga di sekolah sebagai mata pelajaran kesenian. Tembang dolanan seperti Menthokmenthok, Gundhul Pacul, Cublak Suweng, Buta Galak, Ilir-ilir, Pitik Tukung, dan Sluku Bathok adalah sebagian dari tembang dolanan anak karya leluhur yang telah dikenal oleh anak-anak Jawa. Kesadaran pentingnya hidup bersama, saling bertoleransi, religius, hormat pada sesama, cinta lingkungan hidup misalnya, banyak terkandung dalam lirik tembang dolanan tersebut. Tembang dolanan Jawa sarat dengan etika yang dijadikan falsafah hidup orang Jawa. Transformasi moral dan nilai-nilai sosial biasa dilakukan oleh orang tua kepada anaknya dengan melantunkan tembang dolanan Jawa. Pada kenyataannya, tembang dolanan sebagai sebuah seni tradisional yang sangat dekat dengan kehidupan masyarakat Jawa saat ini semakin sedikit peminatnya. Anak-anak di Jawa saat ini banyak yang tidak bisa menyanyikan tembang-tembang dolanan Jawa, bahkan tidak sedikit yang tidak mengetahuinya. Hal ini disebabkan banyaknya orang tua yang tidak mengajarkan tembang dolanan tersebut kepada anak-anaknya. Selain itu, ketidaktahuan anak-anak dengan tembang dolanan juga disebabkan oleh tergusurnya tembang dolanan tersebut dengan tembang-tembang pop dewasa yang banyak ditayangkan di televisi. Kondisi ini karena tidak PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
243
adanya upaya serius dari berbagai pihak untuk mengenalkan dan mengajarkan tembang-tembang dolanan anak sebagai salah satu aset seni tradisi budaya bangsa juga menjadi faktor penyebab semakin asingnya tembang-tembang dolanan di telinga anak-anak Jawa. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, tembang dolanan anak memiliki manfaat positif dalam pembentukan karakter anak. Hal ini disebabkan di dalam tembang dolanan anak tersebut terkandung beberapa nilai pendidikan, di antaranya menanamkan nilai sosial, nilai sejarah, nilai kejujuran, sportivitas, menghargai orang lain, dan pembentukan fisik (Rini, Rini Sectio dalam staff.uny.ac.id). Selain itu, tembang dolanan anak bermanfaat dalam membentuk perkembangan kecerdasan anak. Anak dapat diajak berapresiasi terhadap isi tembang, tidak hanya menghafal liriknya, tetapi tembang dolanan tersebut dinyanyikan sambil bermain, sehingga lebih menarik dan interaktif. Dengan demikian, tembang dolanan anak dapat menumbuhkan rasa kebersamaan dan kerjasama dengan teman-temannya (Padmaningsih, 2011: 10). Pentingnya melestarikan kesenian dan kekayaan budaya sebagai warisan nenek moyang yang di dalamnya terkandung nilai-nilai luhur merupakan alasan penting dan perlunya dilakukan penelitian tentang tembang dolanan anak Jawa ini. Selain itu, pentingnya penelitian tentang tembang dolanan anak karena dalam lirik tembang dolanan anak tersebut terkandung nilai-nilai falsafah yang dapat membentuk karakter anak yang berbudi pekerti. Karakter yang kuat dan kokoh merupakan hal yang penting dan harus ditanamkan pada anak sejak dini agar menjadi pribadi yang unggul. Tidak hanya unggul, tetapi juga menjadi anak yang cerdas dan bermoral mulia. Pada masa ini, perkembangan anak sangat cepat sehingga perlu distimulasi agar berkembang secara optimal karena akan berpengaruh pada masa yang akan datang. Penelitian yang berfokus pada tembang dolanan anak sudah banyak dilakukan. Umumnya, menekankan pada pentingnya pelestarian tembang dolanan anak sebagai aset budaya bangsa karena sudah mulai ditinggalkan oleh anak-anak. Hasil-hasil penelitian tersebut menginspirasi penulis untuk melakukan penelitian lebih lanjut, sehingga penelitian ini didorong oleh keinginan peneliti untuk memahami nilai-nilai falsafah yang terkandung dalam lirik tembang dolanan anak yang dapat membentuk karakter anak yang berbudi pekerti. Berdasarkan penjelasan di atas, tujuan penelitian ini, yaitu untuk mendeskripsikan tembang-tembang dolanan anak Jawa, menjelaskan nilai falsafah yang terkandung dalam lirik tembang dolanan anak Jawa, serta menguraikan nilai falsafah lirik dalam tembang dolanan anak dalam membentuk karakter anak yang berbudi pekerti. Penelitian ini menggunakan folklore sebagai landasan teori. Hal ini karena tembang dolanan anak merupakan salah satu bentuk kesenian rakyat yang tidak diketahui penciptanya. Foklor dapat didefinisikan sebagai kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun, secara tradisional dan dalam versi yang berbeda-beda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat bantu pengingat (mnemonic device). Adapun pendapat Danandjaja (2002: 03) yang menyatakan bahwa agar dapat membedakan foklore dengan kebudayaan lainnya, maka perlu diketahui tentang ciri-ciri pengenal utama foklor pada umumnya antara lain: (1) penyebaran dan pewarisan foklor biasanya dilakukan secara lisan (dari mulut ke mulut), (2) foklor bersifat tradisional, (3) terdapat dalam berbagai versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda, (4) foklor bersifat anonim yaitu nama pencipta tidak diketahui, (5) biasanya foklor mempunyai bentuk yang berumus atau berpola, (6) foklor mempunyai kegunaan (function) dalam kehidupan bersama suatu kolektif, (7) mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum (pralogis), (8) menjadi milik bersama (collective), (9) pada umumnya bersifat polos dan lugu. Suatu foklor akan tetap memiliki identitas foklornya selama diketahui bahwa foklor tersebut berasal dari peredaran lisan. Bentuk-bentuk foklor tersebut antara lain seperti bahasa rakyat, ungkapan tradisional, pertanyaan tradisional, sajak dan puisi rakyat, cerita prosa rakyat, dan nyayian rakyat yang dikategorikan ke dalam bentuk foklor lisan. Menurut William R. Bascom (dalam Danandjaja, 2002:50), folklore lisan cerita prosa rakyat dibagi dalam tiga golongan besar yaitu mite (myth), legenda (legend), dan dongeng (folktale). Selain itu, terdapat beberapa bentuk foklor yang tergolong dalam foklor sebagian lisan seperti kepercayaan rakyat, dan permainan rakyat. Kemudian makanan rakyat masuk dalam bentuk foklor bukan lisan. Tiap masyarakat yang memiliki latar belakang budaya dan bahasa akan memiliki lagu atau nyanyian-nyanyian rakyat yang dapat disenandungkan atau didendangkan. Masyarakat Jawa
244
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
memiliki tembang dolanan yang bisa dinyanyikan dan sekaligus dimainkan. Tembang dolanan ini sering dikenal tembang dolanan anak. Tembang-tembang ini biasanya dinyanyikan anak-anak sambil bermain dengan kawan-kawannya. Seperti halnya folklore, tembang dolanan anak tidak diketahui kapan diciptakan dan siapa penciptanya. Oleh sebab itu, tembang dolanan anak saat ini sudah hampir punah. Keadaan yang demikian disebabkan anak-anak zaman sekarang sudah tidak mengenal lagi tembang dolanan anak. Mereka lebih memilih permainan yang modern. Menurut Nurgiyantoro (2005:107), lirik tembang dolanan anak termasuk dalam puisi, yang dalam bahasa Jawa disebut geguritan, yaitu geguritan tradisional. Sebagai suatu karya seni sastra, guritan tradisional menawarkan keindahan tersendiri, terutama yang berwujud permainan atau pengolahan bahasa. Lewat permainan, bahasa itu dapat diperoleh suatu pengucapan yang indah, luwes, menarik, dan mampu menggugah rasa keindahan dalam hati, menghayutkan bagi pendengarnya. Walaupun berwujud tembang dolanan anak, hal itu tidak berarti tembang-tembang tersebut tidak mengandung makna. Ada makna yang ditawarkan melalui tembang-tembang dolanan anak tersebut yang bermanfaat bagi kehidupan, baik yang disampaikan secara tersurat maupun tersirat, yang pada umumnya terkait dengan kondisi masyarakat dan lingkungan sewaktu puisi lagu itu diciptakan. Jadi, melalui tembang dolanan anak dapat ditafsirkan kristalisasi nilai-nilai dan masalah kehidupan. Nurgiyantoro (2005:110) mengatakan bahwa dalam tembang dolanan anak, terkandung makna yang betkaitan dengan masalah adat-istiadat, budi pekerti, sopan santun, moral, sindiran, kebersihan, lingkungan hidup, kesehatan, dan religiusitas. Melalui lirik-liriknya, tembang dolanan anak mampu memberikan fungsi rekreatif, hiburan yang segar untuk mengajak pendengar bersenang-senang, namun sekaligus di dalamnya terkandung nilai-nilai yang bermanfaat.Sebagai salah satu bentuk kesenian tradisional, lagu rakyat tidak diketahui siapa penciptanya karena pada saat lagu itu diciptakan rasa kebersamaan masih jauh lebih dipentingkan daripada kepentingan individual. Saat ini lagu-lagu rakyat sudah jarang dinyanyikan oleh anak-anak. Anak-anak lebih menyukai permainan modern daripada permainan tradisional, sehingga lagu-lagu yang terdapat dalam permainan tersebut juga jarang didendangkan, khususnya anak-anak di daerah perkotaan nyaris tidak lagi mengenali lagu-lagu tersebut. Keadaan yang seperti ini akan mengakibatkan punahnya lagu-lagu tersebut. Padahal lagu-lagu tersebut mengandung makna yang mampu mempengaruhi pembetukan karakter mereka. Tembang dolanan Jawa berisi pesan-pesan moral yang sesuai bagi pembentukan karakter atau budi pekerti luhur bagi anak bangsa. Makna yang dimaksud antara lain adalah pesan moral kepada anak-anak untuk memiliki sikap dan kepribadian yang religius, mengutamakan kebersamaan dan keselarasan dalam berhubungan dengan orang lain, tidak memiliki sifat sombong, mawas diri, dan dapat menghargai orang lain. Mengingat tembang dolanan Jawa yang sarat dengan nilai-nilai kehidupan dan pesan-pesan moral, maka tembang dolanan Jawa itu dipandang perlu untuk diaktualisasikan dalam kehidupan generasi muda. Terlebih jika dikaitkan dengan pendidikan karakter bangsa yang saat ini sedang digalakkan oleh seluruh komponen bangsa. METODE Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan holistik. Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2007:4) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Oleh sebab itu, penelitian ini akan menjelaskan, menguraikan, dan mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada di lapangan sesuai dengan tujuan penelitian. Pendekatan holistik diperlukan dalam penelitian ini karena dalam lirik tembang dolanan anak terkandung unsur-unsur budaya yang diamanatkan oleh pendukungnya. Unsur-unsur budaya lisan tersebut harus berimbang dalam kajiannya (Danandjaja, 2002:70). Rancangan penelitian yang akan digunakan adalah survai atau terjun langsung ke lokasi penelitian. Dalam hal ini, peneliti akan terjun langsung ke lokasi penelitian yaitu Purwokerto dan Yogyakarta. Fokus penelitian ini adalah nilai falsafah dalam lirik tembang dolanan anak Jawa sebagai pembentuk karakter anak yang berbudi pekerti.Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara mendalam (indepth interview) terhadap informan yang terpilih dan pengamatan (observation) (Adler dan Adler dalam Endraswara, 2006:208). Instrumen dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri (human instrument). Datapenelitian yang telah dikumpulkan PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
245
kemudian diolah dalam empat tahap. Pertama, data akan direduksi. Kedua, klasifikasi data. Ketiga, pemaparan data. Keempat, simpulkan data yang dilakukan melalui pelukisan dan verifikasi. Data tersebut kemudian dianalisis dengan menggunakan teknik analisis domain. Teknik ini merupakan suatu upaya untuk menemukan istilah-istilah lokal, simbol, deskripsi tentang definisi, dan fungsi dari tembang dolanan anak tersebut. Tiap anggota ranah yang dituju terus digali untuk dicari makna terdalamnya (Endraswara, 2006:215-216). Untuk mencapai keabsahan data, digunakan triangulasi dengan sumber dan pemeriksaan sejawat. PEMBAHASAN Dalam bab ini akan dijelaskan tentang berbagai tembang dolanan anak Jawa serta nilai falsafah yang terkandung dalam lirik tembang-tembang tersebut. Lir Ilir Lir-ilir, Lir Ilir , Tandure wus sumilir , Tak ijo royo-royo , Tak sengguh temanten anyar, Cah Angon, Cah Angon , Penekno Blimbing Kuwi , Lunyu-lunyu penekno Kanggo Mbasuh Dodotiro, Dodotiro Dodotiro, Kumitir Bedah ing, pinggir , Dondomono, Jlumatono , Mumpung Padhang Rembulane, Mumpung Jembar Kalangane , Yo surako surak Iyo Lagu tersebut mengajarkan kepada anak-anak untuk selalu berbuat baik selama masih memiliki kesempatan untuk berbuat baik. Lagu ini mengajak anak-anak untuk selalu memiliki hati yang bersih dan menjadi seorang muslim yang baik. Pada baris pertama menceritakan tentang kebangkitan Islam. Baris kedua memerintahkan kita untuk melaksanakan kelima rukun Islam semaksimal mungkin. Sementara baris ketiga, menganjurkan kita untuk tobat dan memperbaiki segala kesalahan yang telah dilakukan. Perbaikan itu diharapkan menjadi bekal untuk menuju kehidupan yang abadi, yaitu akhirat. Selanjutnya baris keempat, mengajak umat untuk segera memperbaiki diri selagi masih ada kesempatan sebelum datang kesempitan. Selagi sehat sebelum datang sakit, selagi mudah sebelum masa sulit datang. Selagi muda sebelum datang masa tua, selagi hidup sebelum datang kematian. Dalam lagu ini juga memakai kata belimbing, buah belimbing disini menunjukkan rukun Islam yang harus ditegakkan. Buah belimbing memiliki lima sisi, yang masing-masing dimaknai dengan syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji (bila mampu). Kelima rukun Islam itu harus dilaksanakan oleh setiap Muslim agar dapat membentuk dirinya menjadi Insan Kamil (manusia sempurna). Dengan mengajarkan lagu ini kepada anak-anak, para orangtua berharap anak-anak mampu memiliki sikap dan perilaku seperti yang tergambarkan dalam lagu ini. Dalam lagu ilir-ilir ini, nilai pendidikan karakter yang terdapat di dalamnya adalah cinta kepada Tuhan dan alam semesta beserta isinya Cublak Suweng Cublak cublak suweng Suwenge ting gelèntèr Mambu ketundhung gudèl Pak empong lera-léré Sapa ngguyu ndelikkaké Sir sir pong dhelé gosong Sir sir pong dhelé gosong Makna secara utuh dari lirik tersebut yaitu ada sebuah tempat, di mana tempat tersebut menyimpan harta yang sangat berharga (Cublak-cublak suweng). (Suwenge teng gelenter) yang menggambarkan bahwa harta yang sangat berharga tersebut tercecer di mana-mana, terdapat di mana-mana adalah sebuah gambaran keberlimpahan hidup. Di sekeliling kita, kanan kiri atas bawah terdapat harta tersebut.
246
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
Tentu saja ini sebuah berita yang mengejutkan bagi sebagian orang yang disini digambarkan sebagai ‘Gudhel’. Berita tersebut memicu orang-orang bodoh, orang-orang berpengetahuan sempit (mambu ketundhung gudhel) untuk bergegas mencarinya. Karena tidak dibekali pengetahuan jiwa, walaupun banyak yang merasa menemukan harta yang mereka anggap berharga, tetap saja mereka masih merasa kurang dan selalu menengok kiri-kanan (pak empo lera-lere). Kesuksesan, materi, nama besar, jabatan, yang semua itu dianggap keberlimpahan tetap saja mengakibatkan bingung dan tidak puas. Dibalik semua itu, ada orang-orang yang sudah menemukan keberlimpahan. Mereka yang sudah menemukan harta yang sangat berharga tersebut, melihat orang-orang yang selalu mengejar keberlimpahan palsu, mereka hanya tertawa saja (sopo ngguyu ndhelikake). Lalu yang terakhir, orang-orang yang tidak pandai ini, para Gudhel ini yang malah berkoar-koar sudah menemukan. Mereka banyak bicara, bahkan mengajarkan cara untuk menemukannya. Padahal ‘dele kopong’, dele kopong yaitu yang banyak bicara adalah orang tak berisi. Dele kopong bila dalam peribahasa Indonesia adalah ‘tong kosong nyaring bunyinya’. Konsep keberlimpahan hidup dalam lagu Cublak-cublak Suweng ini sangat istimewa. Orang-orang bodoh selalu mencarinya keluar dari dirinya (mambu ketundhung gudhel), sehingga ia tetap merasa bingung dalam hidup (pak empo lera-lere). Sementara orang bijaksana (sopo ngguyu ndhelikake) menyadari bahwa tempat rahasia (cublak) yang merupakan tempat menyimpan harta sangat berharga (suweng) yang sekaligus membuat harta tersebut tersebar di mana-mana (suwenge teng gelenter). ‘Sir‘ (kata pertama dalam kalimat sir sir pong dele kopong), Sir adalah hati nurani manusia. Jaranan jaranan-jaranan… jarane jaran teji sing numpak ndara bei sing ngiring para mantri jeg jeg nong..jeg jeg gung prok prok turut lurung gedebug krincing gedebug krincing prok prok gedebug jedher Makna tembang dolanan Jaranan mengajarkan nilai-nilai untuk hormat dan santun kepada atasan, orang yang lebih tua, atau berkedudukan lebih tinggi. Selain itu juga mengajarkan sifat kasih sayang, kepedulian, dan kerja sama dengan orang lain. Syair dalam tembang tersebut menyiratkan pesan akan pentingnya kebersamaan karena pada dasarnya manusia itu saling membutuhkan. Orang yang mempunyai kedudukan lebih tinggi membutuhkan orang yang lebih rendah, demikian pula sebaliknya. Bagi yang berkedudukan tinggi (ndara Bei) membutuhkan pengawalan bawahannya (para menteri) dalam menjalankan tugasnya. Sementara itu, bagi yang mempunyai kedudukan lebih rendah harus menghormati orang yang berkedudukan lebih tinggi. Ndara Bei merupakan perlambang orang yang berkedudukan tinggi atau keturunan ningrat (kaya) karena tunggangan-nya adalah kuda yang tinggi besar (jaran teji) sehingga berjalannya pun harus diiringi oleh bawahannya (para menteri) diulang-ulang. Kalau dilihat dari syairnya terdapat beberapa makna budi pekerti yang tersirat dalam tembang tersebut, antara lain: (1) Kebersamaan Dalam syair sing numpak ndara Bei sing ngiring para menteri, di sana terdapat rasa kebersamaan antara atasan dan bawahan. Kebersamaan untuk saling membutuhkan, saling membantu, orang yang mempunyai kedudukan lebih tinggi membutuhkan orang yang berkedudukan lebih rendah, demikian pula sebaliknya. Kedudukan yang tinggi tersebut diibaratkan ndara Bei yang membutuhkan pengawalan dari para menterinya yang dianggap mempunyai kedudukan lebih rendah. (2) Menghormati yang lebih tinggi kedudukannya Budaya Jawa telah mengajarkan bahwa seseorang yang mempunyai kedudukan yang lebih rendah harus menghormati orang yang berkedudukan lebih tinggi. Hal itu tampak pada syair sing numpak ndara Bei sing ngiring para menteri. Dalam syair tersebut ndara Bei dianggap mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari para menterinya, karena sebutan ndara Bei hanya digunakan untuk menyebutkan seseorang yang mempunyai kedudukan yang tinggi dan keturunan ningrat. PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
247
Apalagi ditunjang dengan tunggangannya kuda yang tinggi besar yang harus diiringi oleh para menterinya. Oleh karena itu, tugas para menteri adalah mengawal ndara Bei tersebut. Dalam hal ini, jelaslah bahwa budi pekerti yang harus ditanamkan adalah sikap menghormati yang lebih tua atau yang lebih tinggi kedudukannya. Padhang Bulan Yo prakanca dolanan ing njaba Padhang mbulan padhangé kaya rina Rembulané kang ngawé-awé Ngélikaké aja turu soré-soré Makna yang terkandung di dalam lagu padhang rembulan yaitu penghargaan terhadap alam semesta, religiusitas, dan solidaritas. Penghargaan pada alam semesta dan religiusitas dalam lagu padhang bulan dapat ditemukan pada syair padhang bulan, padhange kaya rina. Langite padhang sumebar lintang. Lirik tersebut menjelaskan bahwa pada saat bulan purnama suasana malam hari menjadi terang benderang seperti siang hari. Maka keindahan tersebut harus dinikmati dan disyukuri dengan cara tidak tidur pada sore hari. Keagungan alam semesta pada saat bulan purnama menggambarkan betapa agungnya kebesaran sang pencipta. Hal tersebut perlu diperkenalkan pada anak-anak agar terbentuk pribadi yang berkarakter, mampu memberikan penghargaan terhadap alam semesta, dan bersifat religious, sedangakan solidaritas dapat terbentuk melalui syair Ya Prakanca dolana nang jaba...; Ya prakanca dha padha mrene. Syair tersebut menunjukkan solidaritas atau kebersamaan untuk bermain dengan sesamanya dalam suasana gembira. Kesenangan tidak hanya dinikmati sendiri, namun harus dinikmati dengan kebersamaan. Ajaran tersebut penting untuk diajarkan kepada anakanak agar anak-anak tidak memiliki sifat egois dan individualis Dalam setiap lirik tembang dolanan anak ini terdapat nilai budi pekerti, menjadi anak yang mandiri, tidak boleh menyusahkan orang lain atau makhluk lain. PENUTUP Tembang dolanan anak adalah salah satu warisan budaya Jawa yang digemari oleh anakanak. Kesadaran pentingnya hidup bersama, saling bertoleransi, religius, hormat pada sesama, cinta lingkungan hidup misalnya, banyak terkandung dalam lirik tembang dolanan tersebut. Tembang dolanan Jawa sarat dengan etika yang dijadikan falsafah hidup orang Jawa. Dalam lirik tembang dolanan anak terkandung makna yang berkaitan dengan masalah adatistiadat, budi pekerti, sopan santun, moral, sindiran, kebersihan, lingkungan hidup, kesehatan, dan religiusitas. Melalui lirik-liriknya, tembang dolanan anak mampu memberikan fungsi rekreatif, hiburan yang segar untuk mengajak pendengar bersenang-senang, namun sekaligus di dalamnya terkandung nilai-nilai yang bermanfaat. Sebagai salah satu bentuk kesenian tradisional, lagu rakyat tidak diketahui siapa penciptanya karena pada saat lagu itu diciptakan rasa kebersamaan masih jauh lebih dipentingkan daripada kepentingan individual. Saat ini lagu-lagu rakyat sudah jarang dinyanyikan oleh anakanak. Anak-anak lebih menyukai permainan modern daripada permainan tradisional, sehingga lagu-lagu yang terdapat dalam permainan tersebut juga jarang didendangkan, khususnya anak-anak di daerah perkotaan nyaris tidak lagi mengenali lagu-lagu tersebut. Keadaan yang seperti ini akan mengakibatkan punahnya lagu-lagu tersebut. Padahal lagu-lagu tersebut mengandung makna yang mampu mempengaruhi pembetukan karakter mereka. Tembang dolanan Jawa berisi pesan-pesan moral yang sesuai bagi pembentukan karakter atau budi pekerti luhur bagi anak bangsa. Makna yang dimaksud antara lain adalah pesan moral kepada anak-anak untuk memiliki sikap dan kepribadian yang religius, mengutamakan kebersamaan dan keselarasan dalam berhubungan dengan orang lain, tidak memiliki sifat sombong, mawas diri, dan dapat menghargai orang lain. Mengingat tembang dolanan Jawa yang sarat dengan nilai-nilai kehidupan dan pesan-pesan moral, maka tembang dolanan Jawa itu dipandang perlu untuk diaktualisasikan dalam kehidupan generasi muda. Terlebih jika dikaitkan dengan pendidikan karakter bangsa yang saat ini sedang digalakkan oleh seluruh komponen bangsa.
248
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
DAFTAR PUSTAKA Danandjaja, James. 2002. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Endraswara, Suwardi. 2006. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya. Padmaningsih, Dyah. 2011. “Tembang Dolanan Tradisional Jawa Sebagai Pendidikan Anak Usia Dini”, Konggres Budaya Jawa V. Surabaya, 20-30 November 2011. Sectio Rini, Rini. “Lagu Dolanan Anak sebagai Media Pendidikan Anak Usia Dini”. Dalam staff.uny.ac.idu (Diunduh tanggal 12 November 2013).
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
249
BIDANG 3:
PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN BAHASA-SASTRA INDONESIA DI PERGURUAN TINGGI
PERMAINAN BAHASAPADA MEME DI INSTAGRAM @DAGELAN Asri Wijayanti Universitas Tidar
[email protected] HP. 085878538358 Abstrak Semakin banyak pengguna gawai di Indonesia menyebabkan sosial media yang semakin variatif. Berdasarkan data We Are Social, pengguna aktif sosial media di Indonesia menacapai 79 juta orang. Dari data tersebut, 22 juta pengguna aktif Instagram (TNS via okezone.com, September 2015). Instagram merupakan salah satu jenis sosial media yang mem-posting foto dan video. Foto yang di-posting berupa dokumentasi segala hal baik yang bersifat pribadi maupun umum, termasuk iklan dan meme. Meme merupakan gambar atau tulisan lucu yang sengaja dibuat dengan tujuan tertentu. Data pada penelitian ini adalah foto pada akun instagram @dagelan berupa meme tulisan yang diposting pada bulan Juli 2106. Metode pengumpulan data simak bebas libat cakap dengan teknik catat. Analisis data menggunakan metode padan dan kontekstual. Setelah diteliti, terdapat berbagai permainan bahasa antara lain: permainan bunyi yang terdiri atas penggantian bunyi pada kata dan suku kata; polisemi; homonimi; homofon; hiponimi; meronimi; kolokasi; antonimi; unsur pembatas klausal; dan struktur wacana. Fungsi permainan bahasa tersebut adalah untuk menghibur, menyindir, menasihati, dan berharap. Kata Kunci : permainan bahasa, meme, dagelan, instagram
1. Latar Belakang Sebagai negara berkembang, berbagai macam produk kecanggihan teknologi selalu menarik minat masyarakat Indonesia. Tak heran, banyak masyarakat yang tertarik untuk memiliki telepon pintar sebagai wujud kecanggihan teknologi di masa sekarang. Telepon pintar dan gawai biasanya dilenggapi dengan fitur mengunduh berbagai jenis sosial media. Semakin banyak pengguna gawai di Indonesia menyebabkan sosial media yang semakin variatif. Berdasarkan data We Are Social, pengguna aktif sosial media di Indonesia menacapai 79 juta orang. Dari data tersebut, 22 juta pengguna aktif Instagram (TNS via okezone.com, September 2015). Instagram merupakan salah satu jenis sosial media yang mem-posting foto dan video. Foto yang di-posting berupa dokumentasi segala hal baik yang bersifat pribadi maupun umum, termasuk iklan dan meme. Meme merupakan gambar atau tulisan lucu yang sengaja dibuat dengan tujuan tertentu. Permasalahan yang akan dibahas pada makalah ini yaitu a. Bagaimanakah permainan bahasa pada wacana meme tulisan di instagram @Dagelan? b. Bagaimanakah fungsi bahasa pada meme tersebut? Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk menjelaskan permainan dan fungsi bahasa pada meme tulisan di instagram @Dagelan. 2. Landasan Teori a. Meme Meme berasal dari kata mime dan mimic, yang mewakili gagasan budaya yang disebarkan dari satu orang ke orang lain dengan cara yang mirip dengan penggandaan gen dalam ilmu biologi (Veloso via Akhlis, 2014). Ditambahkan meme seringkali berupa olok-olok dan sindiran pada suatu fenomena, kritik sosial, dan iklan. Istilah meme berasal dari bahasa Yunani “mimeme” yang berarti sesuatu yang menyerupai/menirukan dan terdengar serupa dengan gen (gene). Dawkins memakai istilah ini untuk mendefinisikan lahirnya budaya dengan anggapan terjadinya merupakan bentukan dari banyak replikator (solopos.com, 8 Maret 2016). Berdasarkan dua pendapat tersebut, meme dalam makalah ini berarti mempermainkan kata-kata popular untuk tujuan-tujuan tertentu. b. Instagram Instagram adalah media untuk membuat foto dan mengirimkannya dalam waktu yang sangat cepat (Febiyan, 2015). Instagram adalah aplikasi berbagi foto yang bisa ditemukan di PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
251
smartphone atau handphone yang menggunakan sistem operasi Android, IOS untuk iPhone, Blackberry, dan Windows Phone (musdeoranje.net, 2016). Jadi, instagram adalah salah satu jenis sosial media yang khusus mem-posting foto. Foto tersebut bisa berupa gambar atau tulisan. c. Teori Humor Konsep humor yang berkembang saat ini bertumpu pada tiga teori utama, yaitu teori ketidaksejajaran, teori pertentangan, dan teori pembebasan (Wijana, 2004:21). Ketiga teori tersebut akan dijelaskan di bawah ini. Teori ketidaksejajaran mengemukakan humor secara tidak kongruen menyatukan dua makna atau penafsiran yang berbeda ke dalam suatu objek yang kompleks. Ketidaksejajaran atau ketidaksesuaian bagian-bagian itu dipresepsikan secara tiba-tiba oleh penikmatnya. Sesuatu yang tidak sejajar menurut paham ketidaksejajaran, oleh penganut paham pertentangan dipandang sebagai fenomena yang bertentangan. Ketidaksejajaran atau pertentangan di dalam wacana kartun (Wijana, 2004:23) dikreasikan oleh para kartunis untuk menanggapi kondisi masyarakatnya atau sekadar bersenda gurau yang pada akhirnya diharapkan dapat melepaskan khalayak pembaca dari keseriusan dan berbagi beban kehidupan. Dengan demikian, humor yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu hal yang bersumber dari ketidaksejajaran dan pertentangan bahasa untuk membebaskan penuturnya dari tekanan hidup yang dialami. d. Permainan Bahasa Permainan bahasa adalah penggunaan bahasa yang disimpangkan. Crystal (1998:1) mengatakan permainan bahasa dapat dilakukan dengan memanfaatkan ciri linguistik, seperti: kata, frasa, kalimat, bagian dari kata, gabungan bunyi, dan huruf. Fitur linguistik tersebut berkerja dengan normal sehingga dapat diteliti dengan konsep berbahasa yang wajar. Akan tetapi, penggunaannya yang disimpangkan, sehingga dikatakan permainan bahasa. e. Fungsi Bahasa Bahasa merupakan ciri pembeda antara manusia dan makhluk hidup lain. Manusia mempergunakan bahasa sebagai sarana komunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut senada dengan Tarigan (1993:6) yang menyatakan bahasa memiliki fungsi yang penting bagi manusia, terutama fungsi komunikatif. Chaer dan Agustina (2004) membedakan fungsi bahasa menurut Halliday (1973) dan Jacobson (1960) berdasarkan sudut pandang sosiolinguistik.Pada meme instagram @Dagelan ini akan melihat fungsi-fungsi tersebut dari berbagai sudut pandang untuk menemukan fungsi komunikatif. 3. Metode Penelitian Data pada penelitian ini adalah foto pada akun instagram @dagelan berupa tulisan yang diposting pada bulan Juli 2106. Data dibatasi pada meme yang berupa tulisan. Selain itu, kelucuan pada tulisan tersebut disebabkan oleh pertentangan penggunaan bahasa, bukan berupa cerita lucu. Metode pengumpulan data simak bebas libat cakap dengan teknik cata. Data dicatat dalam kartu data, lalu dianalisis untuk menjawab rumusan masalah. Analisis data menggunakan metode padan (Sudaryanto, 1993:13) dan kontekstual. Metode padan digunakan untuk menganalisis permainan bahasa dan metode kontekstual untuk menganalisis fungsi bahasa. 4. Permainan Bahasa Setelah dilakukan penelitian terdapat berbagai jenis permainan bahasa pada meme di instagram @Dagelang yang berupa tulisan. Beberapa jenis permainan bahasa dikelompokkan sebagai berikut. a. Permainan Bunyi Permainan bunyi terdiri atas 1) Penggantian Fonem Setelah dilakukan proses analisis, terdapat beberapa data yang menunjukkan permainan bunyi pada kata. Permainan ini terjadi dengan penggantian salah satu fonem sehingga menjadikan makna kata berbeda. (1) ENERGEN Penunda Baper (23 Juli 2016) (2) Sabtu Bersama Bopak. (10 Juli 2016)
252
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
Data (1) merupakan permainan bunyi dari laper menjadi baper. Kalimat yang wajar sebenarnya adalah Energen, Penunda Lapar. Lapar berubah menjadi laper untuk pengucapan tidak formal. Lalu, laper diganti salah satu fonemnya menjadi baper. Baper kependekan dari bawa perasaan, yaitu perasaan ikut terhanyut pada suasana atau kondisi tertentu. Kata baper ini sangat popular di kalangan remaja. Pada kata Bopak pada data (2) terjadi penggantian fonem /a/ dari kata bapak menjadi /o/. Bopak adalah nama pelawak Indonesia, sedangkan Sabtu Bersama Bapak adalah judul buku dan film terkenal yang diputar di bioskop sekitar bulan Juni 2016. Sabtu bersama Bapak merupakan novel dan film tentang cerita keluarga yang mengharukan yaitu seorang bapak yang meninggal dan menitipkan video-video nasihat untuk anak-anaknya. 2) Penggantian Bunyi pada Suku Kata Selain penggantian bunyi pada huruf, terdapat pula penggantian bunyi pada suku kata seperti contoh berikut ini. (3) Wanita itu gak harus dipacarin, harusnya dihalalin. (28 Juli 2016) (4) Mau nembak aja gagap. Gimana mau ijab? (26 Juli 2016) Data (3) dan (4) menunjukkan penggantian bunyi pada suku kata sehingga ada suku kata yang dipertahankan. Data (3) mempertahankan akhiran -in, sedangkan data (4) mempertahankan akhiran bunyi bilabial berupa /b/ dan /p/. 3) Penambahan Fonem (5) A : Kamu bisa apa? B : Saya bisa bedain mana Yuni Sarah dan mana Yuni Soviet, Om. A : Kamu idola! (27 Juli 2016) Bentuk lainnya dari permainan bunyi ini adalah penambahan bunyi. Kata Uni berubah menjadi Yuni terdapat penambahan bunyi /y/. b. Permainan Ambiguitas Permainan ambiguitas terdiri atas homonimi dan polisemi. 1) Homonimi Berikut ini contoh data permainan homonimi. Dua kata yang sebetulnya menunjukkan homonimi dimainkan penggunaannya untuk menimbulkan kelucuan. Kata kopi pada data (6) awalnya bermakna ‘minuman yang berasal dari serbuk biji kopi’, tetapi kopi yang dimaksud penutur bermakna ‘salinan sesuai dengan asli’. Kata tahu pada data (7) awalnya bermakna ‘makanan yang terbuat dari kedelai’, ternyata tahu yang dimaksud penutur adalah ‘mengerti’. (6) Kopi, kopi apa yang pahit? Kopi PR temen isinya salah semua. (9 Agustus 2016) (7) Bakso Tahu. Tapi dia lebih memilih diam. (9 Agustus 2016) 2) Polisemi (8) Tukang Daging Suatu pagi lewatlah seorang penjual daging. “Dageeeng! Dageeeeeennngg! !!” teriaknya. Seorang ibu rumah tangga yang sedang sakit gigi sewot banget mendengar teriakan si tukang daging. Ibu : “Hei tukang daging! Lu kagak punya otak ya ….. !!??? Tukang Daging : “Wah kebetulan gak punya, Bu. Hari ini daging semua … “ (8 Agustus 2016) (9) A : Dok, tolong obatin pacar saya. D : Maaf Kaka tidak bisa, saya spesialis dokter hewan. A : Gpp, Dok, pacar saya itu buaya kok!! (26 Juli 2016) Kata otak dan buaya pada data (8) dan (9) menunjukkan dua makna polisemi. Otak memiliki makna ‘pusat syarat pada manusia’ dan ‘pusat syarat hewan ternak yang dijadikan makanan’. Buaya memiliki makna ‘binatang yang merangkak’ dan ‘orang yang berbuat jahat kalau ada kesempatan’. Makna kata otak yang pertama dan kedua memiliki persamaan pusat syaraf, sedangkan buaya pada kedua makna memiliki persamaan sifat sehingga dikatakan polisemi. c. Permainan Relasi Leksikal Permainan relasi leksikal yang ditemukan pada data ini adalah oposisi. Dua kata yang memiliki makna berlawanan disandingkan dalam suatu pembicaraan. (10) Teman sejati bakalan sedih kalo liat lo lagi sedih. Tapi bakalan lebih sedih lagi kalo liat lo seneng. (25 Juli 2016) PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
253
(11) Lipstiknya Mahal, Bibirnya Murahan. (19 Juli 2016) Makna kata sedih berlawanan dengan senang (data 10) dan mahal dengan murah (data 11). Perlawanan makna tersebut disandingkan untuk membuat permainan bahasa sehingga menimbulkan efek tertentu pada pembicara yang akan disampaikan pada bab fungsi ujaran. d. Permainan Unsur Pembatas Permainan unsur pembatas yang terdapat pada data tersebut adalah unsur pembatas perlawanan seperti pada data (12). Pada data tersebut hubungan perlawanan ditandai dengan kata penghubung tetapi atau tapi. Akan tetapi, perlawanan tersebut dipermainkan antara pacar dengan penemu media sosial. Pada data (13) juga terdapat unsur pembatas keterangan yang yaitu di pom bensin. Seseorang dipenjaga bukan karena membuang rokok, tetapi meledakkan pom bensin. (12) A : Kalau aku sms kamu, ada yang marah nggak? B : Ada A : Pacar kamu? B : Bukan, tapi penemu BBM, Line, Whatsapp. Udah capek-capek bikin aplikasi chat, kamu masih aja sms. (2 Agustus 2016) (13) A : Lo dipenjara berapa tahun? B : Setahun, Om. A : Kasus apa? B : Nyuri rokok.. kalo Om? A : Gue 20 tahun cuma gara-gara buang rokok! B : Kok bisa sampe 20 tahun? A : Gue buang rokoknya di pom bensin. B : Cakep!! (27 Juli 2016) e. Permainan Referensi Visual Permainan referensi visual terdapat pada data di bawah ini. Teh kotak dapat direferensikan benda yang berbentuk kotak. Kata dingin yang disampaikan mitra tutur merupakan permainan referensi bentuk kotak tersebut. (14) A : Mba pesen teh kotak. B : Yang dingin mas?? A : Yang kotak guobloook. (5 Agustus 2016) f. Permainan Peribahasa Berikut ini adalah data permainan peribahasa yang ditemukan. (15) Pantesan dibalik batu udah gak ada udang. Ternyata ngumpet di soto. (12 Juli 2016) Peribahasa ada udang dibalik batu dipermainkan menjadi data (15). Artinya, peribahasa tersebut dipandang sebagai kalimat biasa tanpa makna khusus lalu diganti kata-kata penyusunnya, penggantian kata-kata tersebut menimbulkan kesan yang berbeda sehingga menimbulkan efek humor. g. Permainan Akronim Data di bawah ini menunjukkan permainan akronim dengan strategi kata-kata popular dipanjangkan menjadi kalimat yang lucu (data 16). Selain itu, gabungan singkatan yang membentuk kata tertentu, lalu penutur menyampaikan kepanjangan singkatan itu kepada mitra tutur sehingga terdapat unsur humor. (16) CHARMANDER PaCHARan cuMAN Dua semester (23 Juli 2016) (17) Kamu terbuat dari (kalsium, nitrogen, titanium, dan kalium). Soalnya kamu itu Ca-N-Ti-K (14 Juli 2016) h. Permainan Jenis Bahasa Permainan antara bahasa Indonesia dipersepsikan menuju bahasa Inggris juga turut mewarnai permainan bahasa, seperti data (18). Suku kata –tu disamakan dengan two bahasa Inggris ‘dua’ sehingga muncul one ‘satu’. (18) Kita itu minimal harus punya dua pacar karena papa-mama mintanya man-tu bukan ma-one. (10 Juli 2016) 5. Fungsi Bahasa
254
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
a. Untuk Menghibur Bahasa sebagai sarana hiburan dinyatakan dengan tiga cara, yaitu memberikan lelucon, menertawakan diri sendiri, dan merayu. Berikut ini adalah penjelasan fungsi menghibur pada meme @Dagelan. 1) Memberikan lelucon Permainan bahasa pada data (19) dan (20) berikut ini bertujuan untuk menciptakan kelucuan semata. Lomba Agustusan tarik tambang diubah menjadi menarik perhatian orang tua gebetan (orang yang disukai) menimbulkan kelucuan karena memainkan teori ketidaksejajaran dan pertentangan. Begitu juga kode (tanda) dari orang yang disukai disimpangkan menjadi kode ramburambu lalu lintas juga memainkan teori humor. (19) Lomba menarik perhatian orang tua gebetan (5 Agustus 2016) (20) A : Bro, kira-kira dia suka sama gue engga ya? B : Emang dia ngasih kode lampu merah atau ijo? (21 Juli 2016) 2) Menertawakan diri sendiri Strategi lainnya untuk menghibur adalah dengan menertawakan diri sendiri. Hal ini sesuai teori humor yaitu pembebasan. Pada dasarnya orang berhumor karena ingin melepaskan beban beban kehidupan. (21) Bakso Tahu. Tapi dia lebih memilih diam. (9 Agustus 2016) (22) A : Pacar kamu mana? B : Udah balik, Pah. A : Balik mudik?? B : BUKAN A : Terus ke mana?? B : Balik ke mantannya. Pada data (21) permainan kata tahu bertujuan untuk menertawakan diri bahwa orang yang dimaksud lebih memilih diam daripada berbicara. Begitu juga kata balik ‘kembali’, yang tadinya dipraanggapkan kembali ke rumah menjadi kembali ke mantan. 3) Merayu Pengguna instagram yang mayoritas usia muda menyebabkan konten meme berkisar permasalahan hubungan asmara. Oleh karena itu, dijumpai beberapa data yang bertujuan untuk merayu. Seperti data (23) yang bermaksud merayu dengan kata panjat pinang dan data (24) yang memainkan bunyi pada data domba menjadi damba. (23) Tanggal 17 Agustus nanti ada lomba panjat pinang, kamu mau kan aku panjatkan doa untuk dipinang? (7 Agustus 2016) (24) A : Kamu kok mirip domba sih? B : Paan sih, kok domba? A : Iya, domba. Dombaan hatiku :* B : *kemudian baper* (28 Juli 2016) b. Menyindir Seperti humor lainnya, fungsi bahasa humor untuk menyindir. Permainan bunyi ngundang menjadi ngandung bertujuan untuk menyindir orang yang hamil sebelum menikah. Begitu juga oposisi mahal dan murah bertujuan untuk menyindir orang yang sering berbicara kurang baik. 1) Mencela (25) Bola adalah teman Teman kok ditendang (7 Agustus 2016) (26) Lipstiknya Mahal, Bibirnya Murahan. (19 Juli 2016) 2) Menasihati Fungsi bahasa terakhir yang ditemukan dari meme @Dagelan adalah untuk menasihati. Data (27) bertujuan menasihati orang yang berpacaran agar menikah. Lalu, data (28) permainan bunyi marah-marah menjadi makan-makan menunjukkan nasihat untuk mengendalikan amarah. (27) Wanita itu gak harus dipacarin, harusnya dihalalin. (28 Juli 2016) (28) Marah-marah mulu. Enakan juga makan-makan. PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
255
Urusan diet belakangan. (26 Juli 2016) 6. Penutup Demikian makalah ini telah diselesaikan. Permainan bahasa yang ditemukan dalam meme @Dagelan diantaranya penggunaan bahasa berupa permainan bunyi, ambiguitas, relasi leksikal, unsur pembatas, referensi visual, peribahasa, akronim, dan jenis bahasa dengan tujuan menghibur, menyindir, dan menasihati. Daftar Pustaka Anonim. 2016. Apa itu Instagram atau IG? Ini Pengertian Instagram dan Kegunaannya. http://www.musdeoranje.net/2016/08/apa-itu-instagram-apa-itu-ig-ini-pengertianinstagram.html Crystal, David. 1998. Language Play. Chicago: The University of Chicago Press. Febiyan, Arya. 2015. Pengertian Instagram dan Keistimewaannya. http://www.dumetdevelopment.com/blog/pengertian-instagram-dan-keistimewaannya, diakses 4 Oktober 2016. Pusat Bahasa. 2013. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Keempat, Cetakan Ketujuh). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Solopos.com. Tahukah Anda? Inilah Sejarah Singkat dan Sejarah Meme. http://m.solopos.com/2016/03/08/tahukan-anda-inilah-pengertian-dan-sejarah-singkatistilah-meme-698815, diakses 4 Oktober 2016. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Ullman, Stephen. 2011. Pengatar Semantik (Terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Wijana, I Dewa Putu. 2004. Kartun: Studi tentang Permainan Bahasa. Yogyakarta: Penerbit Ombak. . 2014. Wacana Teka-teki. Yogyakarta: A.Com Adversiting.
256
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
PENERAPAN TEKNIK PORPE DALAM PEMBELAJARAN MEMBACA PEMAHAMAN Ayu Wulandari Universitas Tidar
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk (1) membuktikan adanya perbedaan yang signifikan antara hasil pembelajaran membaca pemahaman mahasiswa yang mengikuti perkuliahan dengan teknik PORPE dengan mahasiswa yang mengikuti perkuliahan tanpa menerapkan teknik PORPE dan (2) membuktikan keefektifan teknik PORPE dalam pembelajaran membaca pemahaman. Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan metode eksperimen. Desain penelitian yang digunakan adalah pretest-posttest control group design. Populasi penelitian ini mahasiswa semester dua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Tidar Tahun Ajaran 2015/2016. Pengambilan sampel dengan simple random sampling. Hasil penelitian membuktikan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil pembelajaran membaca pemahaman mahasiswa yang mengikuti perkuliahan dengan teknik PORPE dengan mahasiswa yang mengikuti perkuliahan tanpa menggunakan teknik PORPE. Penelitian ini juga membuktikan bahwa teknik PORPE efektif digunakan dalam pembelajaran membaca pemahaman. Kata kunci : membaca pemahaman, teknik PORPE
A.
PENDAHULUAN
Matakuliah Kemampuan Membaca 2 mengembangkan berbagai jenis membaca berdasarkan tingkatan, tujuan, suara, kegiatan, dan teks, serta mengajarkan berbagai jenis membaca dalam berbagai tingkat pendidikan formal dan nonformal. Matakuliah ini wajib ditempuh oleh mahasiswa semester dua Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Tidar. Pada mata kuliah ini, mahasiswa diharapkan dapat memahami dan menguasai semua materi yang diajarkan. Namun kenyataan di lapangan, menunjukkan bahwa minat baca mahasiswa masih tergolong rendah dan kurangnya kemampuan mahasiswa dalam memahami materi kuliah. Permasalahan di atas, tentunya dapat teratasi apabila dosen menerapkan teknik pembelajaran yang sesuai untuk diterapkan dalam perkuliahan membaca sehingga minat baca mahasiswa dan kemampuan mahasiswa dalam memahami materi kuliah pun meningkat. Salah satu teknik yang dapat diterapkan dalam perkuliahan membaca mahasiswa semester dua Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Tidar adalah teknik PORPE. Teknik PORPE merupakan singkatan dari Predict, Organize, Rehearse, Practice, dan Evaluate. Teknik ini dikembangkan oleh Simpson (1986) untuk membantu mahasiswa dalam merencanakan secara aktif, memonitor, mengevaluasi, dan mempelajari materi-materi tertentu dalam mempersiapkan ujian esai. Teknik PORPE ini pun sangat membantu mahasiswa karena teknik ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam menangkap materi tertentu dan lebih khusus lagi, PORPE diarahkan untuk membantu mahasiswa ketika akan menghadapi ujian esai. Oleh karena itu, tentunya sangat penting untuk meneliti tingkat keefektifan teknik PORPE dalam perkuliahan membaca. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan tersebut, dapat diidentifikasi permasalahan yang muncul, yakni: (1) rendahnya minat baca mahasiswa dan (2) kurangnya kemampuan mahasiswa dalam memahami materi kuliah. Agar permasalahan yang dibahas terpusat, masalah yang diteliti dalam penelitian ini dibatasi pada teknik PORPE dalam perkuliahan membaca. Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, ditentukan rumusan masalah penelitian ini, yakni: (1) Apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil pembelajaran membaca PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
257
pemahaman mahasiswa yang mengikuti perkuliahan dengan teknik PORPE dengan mahasiswa yang mengikuti perkuliahan tanpa menerapkan teknik PORPE? dan (2) Apakah penerapan teknik PORPE efektif digunakan dalam perkuliahan membaca pemahaman? Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini yakni: untuk (1) membuktikan adanya perbedaan yang signifikan antara hasil pembelajaran membaca pemahaman mahasiswa yang mengikuti perkuliahan dengan teknik PORPE dengan mahasiswa yang mengikuti perkuliahan tanpa menerapkan teknik PORPE dan (2) membuktikan keefektifan teknik PORPE dalam pembelajaran membaca pemahaman. B. 1.
KAJIAN TEORI MEMBACA PEMAHAMAN Membaca merupakan salah satu jenis keterampilan berbahasa yang harus dikuasai oleh setiap individu. Tarigan (2008: 7) mengemukakan bahwa membaca adalah proses yang dilakukan serta digunakan oleh pembaca untuk memperoleh pesan, yang hendak disampaikan oleh penulis melalui bahasa tulis. Dalam membaca suatu teks bacaan, pembaca memerlukan pemahaman untuk dapat memperoleh informasi secara tepat. Yoakam via Ahuja (2010: 50) mengemukakan bahwa membaca pemahaman merupakan membaca dengan cara memahami materi bacaan yang melibatkan asosiasi (kaitan) yang benar antara makna dan lambang (simbol) kata, penilaian konteks makna yang diduga ada, pemilihan makna yang benar, organisasi gagasan ketika materi bacaan dibaca, penyimpanan gagasan, dan pemakaiannya dalam berbagai aktivitas sekarang atau mendatang. Somadyo (2011: 10) membaca pemahaman merupakan proses pemerolehan makna secara aktif dengan melibatkan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh pembaca serta dihubungkan dengan isi bacaan. Terdapat tiga hal pokok dalam membaca pemahaman, yaitu: 1) pengetahuan dan pengalaman yang telah dimiliki, 2) menghubungkan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki dengan teks yang akan dibaca, 3) proses pemerolehan makna secara aktif sesuai dengan pandangan yang dimiliki. Berdasarkan definisi yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa membaca pemahaman merupakan kegiatan membaca yang dilakukan oleh seseorang untuk memahami isi bacaan secara menyeluruh. Membaca pemahaman dilakukan dengan menghubungkan skemata atau pengetahuan awal yang dimiliki pembaca dan pengetahuan baru yang diperoleh saat membaca, sehingga proses pemahaman terbangun secara maksimal. 2.
TEKNIK PORPE Zuchdi (2008: 153) mengemukakan teknik PORPE (Predict, Organize, Rehearse, Practice, Evaluate) adalah teknik yang dikembangkan Simpson (1986) untuk membantu siswa dalam merencanakan secara aktif, memonitor, mengevaluasi, dan mempelajari materi-materi tertentu dalam mempersiapkan ujian esai. Adapun langkah-langkah dari teknik ini, yaitu sebagai berikut. 1. 2. 3. 4. 5.
Predict (membuat prediksi berupa pertanyaan-pertanyaan esai). Organize (mengorganisasikan konsep dalam bentuk mind mapping). Rehearse (melatih kembali dengan cara mepresentasikan di depan). Practice (praktik; menuliskan kembali dengan bahasanya sendiri). Evaluate (evaluasi yaitu menjawab pertanyaan esai yang dibuat oleh dosen). Adapun keunggulan teknik PORPE yakni, (1) mendorong mahasiswa untuk memikirkan, menganalisis, dan menyintesis konsep utama bacaan. (2) Membantu mahasiswa untuk mengingat materi bacaan sepanjang waktu. (3) menjadi strategi belajar untuk mahasiswa yang kurang mampu belajar dengan baik melalui peningkatan kemampuan kognitif dan metakognitif. (4) Membantu belajar mahasiswa, baik dalam proses pembelajaran maupun dalam pelaksanaan tugas dan tes.
258
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
C. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif eksperimen dengan desain pretestposttest control group design. Dalam penelitian ini, terdapat dua kelas yakni kelas eksperimen dan kelas kontrol. Kelas eksperimen dalam penelitian ini adalah kelas yang menggunakan teknik PORPE dan kelas kontrol adalah kelas yang tanpa menggunakan teknik PORPE dalam perkuliahan Kemampuan Membaca 2. Penelitian ini dilaksanakan di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Tidar yang beralamatkan di Jalan Kapten Suparman 39 Magelang. Adapun waktu penelitian dilaksanakan bulan Maret sampai dengan Mei 2016. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa semester dua Tahun Ajaran 2015/2016 Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP Untidar. Penentuan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan simple random sampling. Berdasarkan hasil sampel acak sederhana tersebut diperoleh kelas A sebagai kelas eksperimen dan kelas B sebagai kelas kontrol. Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes. Tes ini digunakan untuk menjaring data dan mengukur kemampuan awal dan akhir mahasiswa. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan uji-t. D. HASIL PENELITIAN Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan tes. Tes yang dilakukan yaitu pretes (tes awal) untuk mengetahui kemampuan awal mahasiswa sebelum diberikan perlakuan dan tes akhir (postes) dilakukan setelah mahasiswa diberikan perlakuan. Jumlah mahasiswa yang mengikuti pretes dan postes pada kelas eksperimen sebanyak 39 mahasiswa dan jumlah mahasiswa kelas kontrol yang mengikuti pretes dan postes berjumlah 36 mahasiswa. Untuk menganalisis data pretes dan postes menggunakan teknik uji-t. Sebelum data dianalisis dengan uji-t, terlebih dahulu dilakukan uji persyaratan analisis. Ringkasan hasil uji analisis persyaratan tersebut sebagai berikut. Tabel 1: Hasil Uji Normalitas
Kelas Pretes Kelas Eksperimen Pretes Kelas Kontrol Postes Kelas Eksperimen Postes Kelas Kontrol
Sig (2-tailed) 0,439 0,134 0,071 0,135
Keterangan Sig (2-tailed) > 0.050 = Normal
Tabel 2: Hasil Uji Homogenitas
Kelas Pretes Kelas Eksperimen Pretes Kelas Kontrol Postes Kelas Eksperimen Postes Kelas Kontrol
Sig 0,255 0,953
Keterangan Sig > 0.050 = Homogen
Adapun uji-t bertujuan untuk menguji perbedaan rata-rata hitung (Nurgiyantoro, Gunawan, dan Marzuki, 2009: 181). Dalam penelitian ini, analisis uji-t dilakukan sebanyak 3 kali. Berikut hasilnya.
Tabel 3: Hasil Uji-t Pretes dan Postes Kelas Kontrol
Data Pretes Kontrol Postes Kontrol
Rata-rata 81,91 82,13
P 0,324
Keterangan P (Sig 2-tailed) > 0.050 (Tidak Signifikan)
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
259
Tabel 4: Hasil Uji-t Pretes dan Postes Kelas Eksperimen
Data Pretes Eksperimen Postes Eksperimen
Rata-rata 82,43 94,53
P 0.000
Keterangan P (Sig 2-tailed) < 0.050 (Signifikan)
Tabel 5: Hasil Uji-t Postes Kelas Kontrol dan Eksperimen
Data Postes Kontrol Postes Eksperimen
Rata-rata 82,13 94,53
P 0.000
Keterangan P (Sig 2-tailed) < 0.050 (Signifikan)
Tabel 6: Peningkatan Skor Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
Kelas Pretes Kelas Eksperimen Postes Kelas Eksperimen Pretes Kelas Kontrol Postes Kelas Kontrol
Mean 82,43 94,53 81,91 82,13
Peningkatan Skor 13,1 0,22
E. 1.
PEMBAHASAN Perbedaan Hasil Pembelajaran Membaca Pemahaman Mahasiswa yang Mengikuti Perkuliahan dengan Teknik PORPE dengan Mahasiswa yang Mengikuti Perkuliahan Tanpa Menerapkan Teknik PORPE Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain pretest-posttest control group design sehingga terdapat kelas eksperimen dan kelas kontrol. Kelas eksperimen adalah kelas yang diberikan perlakuan dengan menerapkan teknik PORPE, sedangkan kelas kontrol merupakan kelas yang tidak diberikan perlakuan dengan teknik PORPE pada perkuliahan membaca. Kelas yang menjadi kelas eksperimen dalam penelitian ini adalah kelas 2A. Mahasiswa pada kelas eksperimen ini selama perkuliahan membaca menggunakan teknik PORPE. Pada saat perkuliahan mahasiswa sangat antusias dan aktif dengan teknik ini. Adapun langkah-langkah dari teknik PORPE pada perkuliahan membaca, yaitu (1) predict (membuat prediksi berupa pertanyaanpertanyaan esai), organize (mengorganisasikan konsep dalam bentuk mind mapping), rehearse (melatih kembali dengan cara mepresentasikan di depan), practice (praktik; menuliskan kembali dengan bahasanya sendiri), dan evaluate (evaluasi yaitu menjawab pertanyaan esai yang dibuat oleh dosen). Pada kelas kontrol di kelas 2C proses perkuliahan dilakukan dengan ceramah dan mahasiswa mencatat hal-hal penting yang disampaiakan dosen. Perkuliahan pada kelas kontrol ini berjalan lancar, namun tidak seantusias kelas eksperimen. Hanya satu sampai dua mahasiswa yang bertanya ketika dosen memberikan materi kuliah. Berdasarkan hasil pretest pada kelas eksperimen nilai rata-rata kelas yaitu 82,43 dan nilai rata-rata kelas kontrol adalah 81,91. Setelah dilaksanakan pretest dan memenuhi uji persyaratan analisis berupa uji normalitas dan homogenitas, kelas eksperimen diberikan perlakuan dengan teknik PORPE dan kelas kontrol melaksanakan perkuliahan tanpa diberikan teknik PORPE. Uji kemampuan akhir (posttest) dilakukan setelah diberikan perlakuan. Berdasarkan hasil posttest, nilai rata-rata kelas eksperimen dan kelas kontrol adalah 95,43 dan 82,13. Hal ini, menunjukkan bahwa nilai rata-rata posttest kelas eksperimen berbeda secara signifikan dengan rata-rata posttest kelas kontrol. Dengan demikian, kondisi akhir antara kelas eksperimen dan kelas kontrol berbeda. Perbedaan hasil perkuliahan membaca ini disebabkan oleh adanya perlakuan yang diberikan. Perlakuan dengan teknik PORPE dan tanpa menggunakan teknik PORPE pada perkuliahan membaca mendapatkan hasil peningkatan skor yang berbeda. Berdasarkan hasil pengujian hipotesis menggunakan analisis uji-t, diketahui bahwa terdapat perbedaan yang signifikan skor akhir hasil perkuliahan membaca pemahaman mahasiswa
260
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
yang mengikuti perkuliahan dengan teknik PORPE dengan mahasiswa yang mengikuti perkuliahan tanpa menerapkan teknik PORPE. Hal ini, terlihat dari nilai Sig (2-tailed)nya yang lebih kecil dari 0.050 (taraf signifikansi 5%). Dengan demikian, disimpulkan bahwa pemberian perlakuan dengan teknik PORPE di kelas eksperimen, menyebabkan adanya perbedaan hasil akhir pada dua kelas tersebut. 2.
Penerapan Teknik PORPE Efektif Digunakan dalam Perkuliahan Membaca Pemahaman Teknik PORPE (Predict, Organize, Rehearse, Practice, Evaluate) merupakan teknik yang dikembangkan Simpson (1986) untuk membantu siswa dalam merencanakan secara aktif, memonitor, mengevaluasi, dan mempelajari materi-materi tertentu dalam mempersiapkan ujian esai. Proses perkuliahan dengan teknik PORPE di kelas eksperimen berjalan lancar, mahasiswa sangat aktif dan antusias dalam mengikuti perkuliahan. Selain tidak membosankan, teknik ini mampu memahamkan siswa pada materi kuliah. Di kelas eksperimen, mahasiswa diintruksikan dosen untuk membuat prediksi berupa pertanyaan-pertanyaan esai. Setelah membuat pertanyaan prediksi, mahasiswa mengorganisasikan pertanyaan prediksi tersebut dalam bentuk mind mapping. Selanjutnya, mahasiswa melakukan rehearse yaitu melatih kembali pertanyaan prediksi yang dikonsepkan dalam bentuk mind mapping. Setelah itu, mahasiswa menuliskan kembali apa yang sudah dikonsepkan tersebut dengan bahasanya sendiri. Berikutnya, mahasiswa menjawab pertanyaan esai yang dibuat oleh dosen. Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan sebelumnya, diketahui bahwa rerata skor kelas eksperimen setelah diberikan perlakuan lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol. Meskipun kedua kelas tersebut mengalami peningkatan rerata skor, tetapi skor rerata kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol. Peningkatan skor pretes ke postes kelas eksperimen mencapai 13,1, sedangkan kelas kontrol mengalami peningkatan dari pretes menuju postes 0,22 sehingga pemberian perlakuan atau penerapan teknik PORPE pada perkuliahan membacalebih efektif daripada tanpa menerapkan teknik PORPE. F.
SIMPULAN Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian dan pembahasan di atas sebagai berikut. 1. Terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil pembelajaran membaca pemahaman mahasiswa yang mengikuti perkuliahan dengan teknik PORPE dengan mahasiswa yang mengikuti perkuliahan tanpa menggunakan teknik PORPE. 2. Penerapan teknik PORPE efektif digunakan dalam perkuliahan membaca pemahaman. DAFTAR PUSTAKA Ahuja, Pramila dan Ahuja, G.C. 2010. Membaca Secara Efektif dan Efisien. Terj. Martiani, Tina. Bandung: PT Kiblat Buku Utama. Nurgiyantoro, Burhan, Gunawan dan Marzuki. 2009. Statistik Terapan Untuk Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Somadyo, Samsu. 2011. Strategi dan Teknik Pembelajaran Membaca. Yogyakarta: Graha Ilmu. Tarigan, Henry Guntur. 2008. Membaca sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa. Zuchdi, Darmiyati. 2008. Strategi Meningkatkan Kemampuan Membaca Peningkatan Komprehensi. Yogyakarta: UNY Press.
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
261
ANALISIS TINDAK TUTUR NOVEL: SEBUAH ALTERNATIF MODEL PENDIDIKAN KARAKTER Dedi Wijayanti dan Denik Wirawati Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta Surel:
[email protected] HP. 081802672891) Abstrak Pendidikan karakter tidak hanya berhenti pada ranah anak didik tahu dan paham mengenai karakter-karakter mulia. Akan tetapi, mahasiswa hendaknya memiliki komitmen kuat pada nilai-nilai karakter tersebut, dan selanjutnya anak didik terdorong untuk mengaktualisasikan nilai-nilai tersebut dalam tingkah laku dan kehidupan sehari-harinya baik di kampus atau di rumah. Pragmatik sebagai salah satu mata kuliah di Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia merupakan mata kuliah yang mengkaji bahasa berdasarkan pada penggunaan bahasa bukan pada struktural bahasa semata. Dalam mata kuliah pragmatik, konteks-konteks yang melingkupi suatu bahasa akan mendapat perhatian yang besar dalam kaitannya dengan makna yang muncul dari suatu penggunaan bahasa. Kondisi praktis tindak komunikatif menjadi pijakan utama dalam pengkajian pragmatik. Kajian terhadap karya sastra, dalam ini kajian tindak tutur suatu novel, dapat dijadikan sebagai media perkuliahan Pragmatik di program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Dengan adanya pemahaman mahasiswa terhadap pemakaian bahasa dalam tuturan-tuturan para tokoh yang ada dalam sebuah novel, mahasiswa akan menjadi lebih peka dan tanggap terhadap maksud dari sebuah tuturan. Harapannya mahasiswa dapat mengimplementasikan pengetahuan mengenai kepekaan suatu tuturan ke dalam kehidupan sehari-harinya dan mahasiswa dapat memilih kata-kata yang santun dan baik ketika berkata atau beropini. Kata kunci: tindak tutur, novel, alternatif, pendidikan, karakter A. Pendahuluan
Novel sebagai bacaan yang populer di kalangan remaja memiliki kisah yang menarik untuk dibaca. Di dalam sebuah novel terdapat alur kisah kehidupan tokoh-tokohnya. Kisah tersebut digambarkan melalui cerita/narasi, atau pun percakapan antartokoh. Novel menggunakan tuturan dalam menyampaikan cerita, sehingga sebuah novel bisa dikaji menggunakan kajian pragmatik melalui teori tindak tutur. Novel tersebut banyak mengandung ajaran nilai-nilai karakter. Novel tersebut dapat dipakai sebagai media pembelajaran karakter kepada mahasiswa dengan memberikan bacaanbacaan yang mengandung tuturan sehingga mahasiswa menjadi lebih peka terhadap suatu tuturan atau ujaran yang ada di sekitar kehidupannya. B. Hakikat Pendidikan Karakter Ki Hajar Dewantara ( Wibowo, 2013: 13 ), memandang karakter itu sebagai watak atau budi pekerti. Menurut Ki Hadjar Dewantara, budi pekerti adalah bersatunya antara gerak fikiran, perasaan, dan kehendak atau kemauan, yang kemudian menimbulkan tenaga. Secara ringkas, karakter menurut Ki Hadjar Dewantara adalah sebagai sifatnya jiwa manusia, mulai dari anganangan hingga terjelma menjadi tenaga. Dengan adanya budi pekerti, manusia akan menjadi pribadi yang merdeka sekaligus berkepribadian, dan dapat mengendalikan diri sendiri, serta mandiri. Secara mudah karakter dipahami sebagai nilai-nilai yang khas-baik (tahu nilai kebaikan, mau berbuat baik nyata berkehidupan baik, dan berdampak baik terhadap lingkungan) yang terpateri dalam diri dan terejawantahkan dalam perilaku. Secara koheren, karakter memancar dari hasil olah pikir, olah hati, olah raga, serta olah rasa dan karsa seseorang atau sekelompok orang. Karakter merupakan ciri khas seseorang atau kelompok orang yang mengandung nilai, kemampuan, kapasitas moral, dan ketegaran dalam menghadapi kesulitan dan tantangan (Kemdiknas, 2010 via Wibowo, 2013: 14).
262
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
Adapun nilai-nilai yang hendak diinternalisasikan dalam pendidikan karakter menurut Kemdiknas (2010, via Wibowo, 2013: 15-16), tercantum dalam tabel berikut: Tabel 1. Nilai-nilai Yang Diinternalisasikan dalam Pendidikan Karakter
No 1
Nilai Religius
2
Jujur
3
Toleransi
4
Disiplin
5
Kerja keras
6
Kreatif
7
Mandiri
8
Demokratis
9
Rasa ingin tahu
10
Semangat kebangsaan
11
Cinta Tanah Air Menghargai Prestasi
12
13 14 15 16
17 18
Bersahabat/ Komunikatif Cinta Damai Gemar Membaca Peduli Lingkungan Peduli Sosial Tanggung Jawab
Deskripsi Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki. Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. Cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. Cara berpikir, bersikap, dan berbuat Sikap dan Tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain. Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain. Sikap, perkataan, dan tindakan yang memyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya. Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi. Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
263
C. Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi
Adapun ruang lingkup pembangunan karakter bangsa mencakup: keluarga, satuan pendidikan, pemerintahan, masyarakat sipil, masyarakat politik, dunia usaha dan industri, dan media massa. Hal ini menunjukkan bahwa semua elemen masyarakat diminta berpartisipasi dalam gerakan pembangunan bangsa. Dalam hal ini, satuan pendidikan, terutama pendidikan formal sangat sentral posisi dan perannya (Pemerintah Republik Indonesia, 2010 via Wibowo, 2013: 123). Pendidikan karakter di lingkup satuan pendidikan perguruan tinggi dilaksanakan melalui Tridharma perguruan tinggi, budaya organisasi, kegiatan kemahasiswaan, dan kegiatan keseharian (Tim Pendidikan Karakter Ditjen Dikti, 2010 via Wibowo, 2013: 123). Internalisasi pendidikan karakter di perguruan tinggi akan efektif dan memiliki makna apabila mahasiswa tidak saja hanya paham tentang kebaikan, tetapi juga menjadikan kebaikan itu sebagai sikap dan sifat, serta termanifestasikan dalam tingkah laku dan kehidupan kesehariannya. Hal ini mengandung arti bahwa pendidikan karakter tidak hanya berhenti pada ranah anak didik tahu dan paham mengenai karakter-karakter mulia (ranah kognitif). Akan tetapi, mahasiswa hendaknya memiliki komitmen kuat pada nilai-nilai karakter tersebut (ranah afektif), dan selanjutnya anak didik terdorong untuk mengaktualisasikan nilai-nilai tersebut dalam tingkah laku dan kehidupan sehari-harinya baik di kampus atau di rumah (ranah psikomotorik). D. Sastra, Pragmatik, dan Pendidikan Karakter Sastra dalam pendidikan anak bisa berperan mengembangkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik, mengembangkan kepribadian, dan mengembangkan pribadi sosial. Sastra bukan hanya berfungsi sebagai agen pendidikan, membentuk pribadi keinsanan seseorang, tetapi juga memupuk kehalusan adab dan budi kepada individu serta masyarakat agar menjadi masyarakat yang berperadaban (Edi Firmansyah, 2006 dalam Wibowo, 2013: 20). Kajian terhadap karya sastra, dalam ini kajian tindak tutur suatu novel, dapat dijadikan sebagai media perkuliahan Pragmatik di program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Dengan adanya pemahaman mahasiswa terhadap pemakaian bahasa dalam tuturan-tuturan para tokoh yang ada dalam sebuah novel, mahasiswa akan menjadi lebih peka dan tanggap terhadap maksud dari sebuah tuturan. Harapannya mahasiswa dapat mengimplementasikan pengetahuan mengenai kepekaan suatu tuturan ke dalam kehidupan sehari-harinya dan mahasiswa dapat memilih kata-kata yang santun dan baik ketika berkata atau beropini. Pragmatik sebagai salah satu mata kuliah di Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia merupakan mata kuliah yang mengkaji bahasa berdasarkan pada penggunaan bahasa bukan pada struktural bahasa semata. Dalam mata kuliah pragmatik, konteks-konteks yang melingkupi suatu bahasa akan mendapat perhatian yang besar dalam kaitannya dengan makna yang muncul dari suatu penggunaan bahasa. Kondisi praktis tindak komunikatif menjadi pijakan utama dalam pengkajian pragmatik. Dalam hal ini wacana-wacana yang berkaitan dengan proses komunikasi akan dikaji termasuk juga tuturantuturan yang terdapat dalam sebuah novel. Dengan demikian, konsep di atas (kajian tuturan suatu novel yang dipergunakan dalam mata kuliah pragmatik) dapat menjadi model pendidikan karakter di prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Melalui tuturan-tuturan para tokohnya, sebuah novel dapat menjadi media penyampaian pendidikan karakter meskipun melalui mata kuliah pragmatik bukan mata kuliah yang secara detail mengkaji karya sastra itu sendiri. E. Contoh Tindak Tutur Novel dan Hubungannnya dengan Pendidikan Karakter Berikut akan disajikan contoh tuturan-tuturan dalam novel Mengejar-ngejar Mimpi. Novel ini adalah karya pertama yang ditulis Dedi Padiku yang diterbitkan oleh Asma Nadia Publishing House. Novel ini diterbitkan pada bulan Mei tahun 2014. Novel ini terdiri dari 324 halaman yang menceritakan perjuangan tokoh utama dalam meraih impiannya. Kajian tuturan dalam novel ini dapat digunakan sebagai bahan ajar mata kuliah Pragmatik. Berikut contoh analisis novel tersebut dan dikaitkan dengan nilai pendidikan karakter.
264
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
No
1
2
3
4
Tabel 2. Tindak Tutur Novel dan Kandungan Nilai Karakternya Tuturan Jenis Tindak Tutur ... Namun, di sore yang indah ketika sedang berada di bawah ekspresif pohon ketapang yang rindang menghadap ke laut, aku (mengharapka terkejut dengan kedatangan Swanda dan Iwan. Mereka n) berdua memandangku kejam, suara Iwan berdesingan di telinga. Ada kilat kecewa dari wajah mereka. "Mengapa kau menjadi lemah begini, sahabatku, ke mana semangatmu? ke mana rasa optimismu yang kau ucapkan dulu? ke mana mimpi-mimpimu? Katanya kamu mau bekerja di luar negeri. Atau merantau ke Jakarta dan menjadi orang yang paling sukses di sana. Katanya kamu mau menjadi penulis terkenal. Katanya ingin menjadi pembelap satu-satunya yang akan mewakili Indonesia ke ajang balap dunia Formula One. Di mana semua cita-citamu? Mengapa kau berhenti bercita-cita?" Iwan berteriak lantang di depanku, suaranya bergetar penuh dengan kekecewaan. ... "Tahukah kau, kawan, jika engkau sukses nanti, kau Direktif akan masuk televisi. Bukankah ibumu dulu sangat (menasehati) menginginkan itu? Ketika melihatmu di televisi ia akan merasa bangga padamu," lanjut Iwan lagi, kali ini dengan mata berkaca-kaca. ... "Maaf, Bapak jangan langsung meremehkan Ekspresif kemampuan orang sebelum membuktikannya. Sekarang (meminta dan ini juga saya siap menjawab secara lisan pertanyaan maaf) Bapak tentang pelajaran dari kelas satu sampai representatif pelajaran yang terakhir diberikan sejak saya kelas tiga," (menunjukkan jawabku. Entah dari mana keberanianku muncul, tapi ) jawaban itu peluang satu-satunya. setidaknya begitu pikirku. ... "Bukan begitu. Aku masih ingin mencari keluargaku. Representatif Aku ingin membahagiakan mereka. Setelah itu baru (membantah) memikirkan diriku. Aku mohon kau bisa mengerti. Kau tahu kan betapa aku merindukan mereka setiap harinya. Kalau memang kita berjodoh, kita pasti kan bertemu lagi," jawabku tegar, padahal sebenarnya saat ini jiwaku sangat rapuh.
Nilai Karakter Bersahabat, kerja keras, peduli sosial
Menghargai prestasi, bersahabat, peduli sosial. Tanggung jawab, kerja keras, disiplin.
Mandiri, kerja keras.
F. PENUTUP Nilai-nilai karakter sebagaimana diuraikan di atas, merupakan sebagian nilai yang dapat diinternalisasikan terhadap anak didik (dalam hal ini mahasiswa) melalui pendidikan karakter dalam novel yang dikaji tuturan-tuturannya. Yang perlu ditekankan dalam pendidikan nilai (karakter) adalah keseluruhan proses pendidikan nilai (karakter) yang sangat kompleks dan menyeluruh yang melibatkan cakupan yang luas dan beragam variasi yang dialami. Oleh karena itu, pendidikan nilai (karakter) tidak dapat disajikan dalam satu mata kuliah saja tetapi diperlukan format yang beragam dari berbagai mata kuliah yang mengintegrasikan secara sendiri-sendiri atau dengan kombinasi. Analisis tuturan suatu tokoh yang secara pragmatis dapat sebagai salah satu alternatif pendidikan karakter di perguruan tinggi, di program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Maksudin. 2013. Pendidikan Karakter (Non-Dikotomik). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Wibowo, Agus. 2013. Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Wibowo, Agus. 2013. Pendidikan Karakter Berbasis Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
265
KEBUTUHAN MAHASISWATERHADAP MATERI PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA DI PERGURUAN TINGGI Didin Widyartono Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Malang
[email protected] Abstrak Pembelajaran Bahasa Indonesia yang baik harus memenuhi kebutuhan mahasiswa. Materi apa saja yang dibutuhkan mahasiswa harus digali untuk disusun menjadi sebuah rancangan pelaksanaan pembelajaran setiap pertemuan. Kegiatan perkuliahan dilaksanakan berdasarkan kebutuhan mahasiswa. Hal ini dilakukan untuk mencapai tujuan perkuliahan yang ditentukan bersama. Dengan demikian, mahasiswa dapat meningkatkan kompetensi berbahasa Indonesia sesuai kebutuhan mereka. Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kebutuhan mahasiswa terhadap materi pembelajaran bahasa Indonesia di perguruan tinggi. Untuk mencapai tujuan tersebut, digunakan metode survei yang dilakukan terhadap tiga puluh mahasiswa. Hasilnya diperoleh materi-materi pembelajaran bahasa Indonesia di perguruan tinggi yang dibutuhkan oleh mahasiswa. Kata kunci: kebutuhan, mahasiswa, materi, pembelajaran, bahasa Indonesia
Penyelenggaraan pembelajaran memiliki tiga komponen, yaitu tujuan, kegiatan, dan evaluasi (Djiwandono, 2008:5). Penetapan tujuan pembelajaran yang baik harus disusun bersama antara dosen dan mahasiswa. Dosen memiliki pengalaman dan pengetahuan, sedangkan mahasiswa memiliki hak untuk menentukan kompetensi apa yang dibutuhkan. Berdasarkan penetapan tujuan ini, kegiatan pembelajaran dapat dilakukan. Untuk mengetahui tercapainya tujuan pembelajaran dalam dilakukan evaluasi.Sebagaimana UU No. 12 Tahun 2012, kurikulum pendidikan tinggi, khususnya untuk program sarjana, wajib memuat matakuliah bahasa Indonesia. Pelaksanaannya harus mengikuti standar nasional pendidikan tinggi sebagaimana Permendikbud RI No. 49 Tahun 2014. Kegiatan perkuliahan Bahasa Indonesia memiliki tujuan pembelajaran. Tujuan ini tentu lebih baik dirumuskan dosen dan mahasiswa sebagai pendidik dan peserta didik. Untuk mengetahui tujuan ini, dosen harus bertanya kepada mahasiswa terhadap kebutuhan kompetensi apa yang diperlukan terkait pelaksanaan perkuliahan Bahasa Indonesia. Terkait kompetensi, dosen dapat memerikan ranah kompetensi Bahasa Indonesia ini ke dalam cakupan kognitif, psikomotorik, dan afektif. Tiap ranah ini memiliki taksonomi yang dikembangkan oleh Anderson-Krathwohl (2001), Gagne, Ausubel, Merrill, Reigeluth (1999), dan Biggs-Collis (1982). Ranah psikomotorik dikembangkan oleh Dave (1975), Simpsons (1966), Harrows (1972), Dave-Simpson-Harrow (Bixler, 2011), Romiszowski (1999), dan Dyers (2011). Terakhir, ranah afektif dikembangkan oleh Krathwohl, Bloom, dan Masia (1964). Berbagai taksonomi ini dapat diterapkan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia. Setelah penetapan tujuan, dapat diperikan menjadi materi-materi pembelajaran yang akan diajarkan dosen dan dipelajari mahasiswa. Dalam hal ini, dosen tentu harus bertanya kepada mahasiswa terkait kebutuhan materi pembelajaran Bahasa Indonesia. Berbagai materi yang dibutuhkan oleh mahasiswa dalam perkuliahan Bahasa Indonesia dapat disusun secara sistematis ke dalam rencana perkuliahan semester. Kegiatan perkuliahan dilaksanakan secara sistematis berdasarkan rencana ini. Adapun rambu-rambu pelaksanaan matakuliah Bahasa Indonesia telah diatur SK Dirjen Dikti No. 43/DIKTI/Kep/2006. Mengacu pada aturan ini, disebutkan bahwa kompetensi dasar matakuliah Bahasa Indonesia adalah “menjadi ilmuwan dan profesional yang memiliki pengetahuan dan sikap positif terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara dan bahasa nasional dan mampu menggunakannya secara baik dan benar untuk mengungkapkan pemahaman, rasa kebangsaan dan cinta tanah air, dan untuk berbagai keperluan dalam bidang ilmu, teknologi dan seni, serta profesinya masing-masing” dengan substansi kajian (a) kedudukan Bahasa Indonesia, (b) menulis: makalah, rangkuman/ringkasan buku atau bab, dan resensi buku, (c) membaca untuk menulis, dan (d) berbicara untuk keperluan akademik.
266
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
Artikel ini bertujuan untuk mengetahui kebutuhan riil materi pembelajaran Bahasa Indonesia. Dengan mengetahui kebutuhan mahasiswa, kegiatan pembelajaran Bahasa Indonesia dapat dilaksanakan secara tepat guna. Kebutuhan mahasiswa terhadap materi pembelajaran Bahasa Indonesia menjadi acuan pelaksanaan perkuliahan. Bagaimana pun juga, kebutuhan mahasiswa harus diapresiasi dengan tetap memperhatikan rambu-rambu pelaksanaan perkuliahan Bahasa Indonesia. METODE Untuk mencapai tujuan penulisan artikel ini, yaitu kebutuhan mahasiswa terhadap materi pembelajaran Bahasa Indonesia, digunakan penelitian survei. Survei dilakukan terhadap tiga puluh mahasiswa prodi Administrasi Perkantoran, Jurusan Manajemen, FE Universitas Negeri Malang. Data dikumpulkan melalui instrumen dengan kisi-kisi pertanyaan materi-materi pembelajaran Bahasa Indonesia yang diperlukan mahasiswa. Hasilnya diperoleh persentase kebutuhan materi untuk selanjutnya dideskripsikan sebagai kebutuhan materi pembelajaran Bahasa Indonesia. HASIL DAN PEMBAHASAN Untuk mendapatkan gambaran kebutuhan materi pembelajaran, perlu dilakukan survei melalui instrumen. Instrumen ini memiliki kisi-kisi pertanyaan kebutuhan materi pembelajaran yang mencakup (1) sejarah, kedudukan, fungsi, dan perkembangan Bahasa Indonesia, (2) ragam ilmiah, (3) etika (plagiasi, falsifikasi, fabrikasi, duplikasi, fragmentasi, dll.) dan kaidah bahasa dalam menulis karya ilmiah (ejaan, kata, kalimat, paragraf), (4) prinsip membaca, (5) kelayakan referensi yang dirujuk, (6) membaca tulisan ilmiah, (7) membaca tulisan populer, (8) prinsip menulis, (9) menemukan ide dan mengembangkannya, (10) menulis kutipan, (11) menulis daftar rujukan, (12) menulis rangkuman, (13) menulis resensi, (14) menulis makalah, (15) menulis artikel, (16) menulis proposal penelitian, (17) diskusi, (18) seminar, (19) pidato, dan (20) membuat slide presentasi yang baik dan benar. Adapun kebutuhan mahasiswa terhadap materi pembelajaran Bahasa Indonesia direntangkan menjadi lima, yaitu sangat perlu (SP), perlu (P), cukup perlu (CP), kurang perlu (KP), dan tidak perlu (TP). Berdasarkan kedua puluh materi di atas, dapat diklasifikasikan menjadi empat kategori, yaitu (1) identitas Bahasa Indonesia, (2) ragam ilmiah dan etika—kaidah menulis karya ilmiah, (3) membaca ilmiah, (4) menulis ilmiah, dan (5) berbicara pada forum ilmiah. Kesatu, materi sejarah, kedudukan, fungsi, dan perkembangan Bahasa Indonesia. Hasil survei menunjukkan 23 mahasiswa menyatakan sangat perlu dan 4 mahasiswa menyatakan perlu. Hal ini berarti 77% sangat perlu dan 13% perlu. Dengan hasil di atas, tampak bahwa materi ini memang diperlukan mahasiswa. Sikap positif terhadap bahasa Indonesia harus dimiliki oleh mahasiswa. Sikap positif ini dapat diejawantahkan dalam kegiatan menulis ilmiah dan berbicara dalam forum ilmiah dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Widyartono (2010) menyatakan “siapa lagi yang dapat diandalkan dalam melestarikan bahasa Indonesia kalau bukan warga negara Indonesia”. Kedua, ragam ilmiah. Hasil survei terkait materi ragam ilmiah, etika, dan kaidah menulis ditunjukkan pada tabel berikut ini. Tabel 1 Hasil Survei Kebutuhan Mahasiswa terkait Materi Ragam Ilmiah, Etika, dan Kaidah Menulis No Kebutuhan Materi SP P CP KP TP 1 Ragam Ilmiah 67 33 0 0 0 2 Etika (Plagiasi, Falsifikasi, Fabrikasi, Duplikasi, Fragmentasi, Ekspolitasi, Ketidakadilan, Kecerobohan) dan Kaidah (Ejaan, Kata, Kalimat, Paragraf) Menulis Karya Ilmiah
93
7
0
0
0
Mengacu pada hasil di atas, materi ragam ilmiah 67% sangat perlu dan 33% perlu. Mahasiswa membutuhkan materi ini karena di jenjang SMA mereka belum terbiasa dengan ragam penulisan karya ilmiah. Mengacu Hasan, et.al. (2003:13—15) dan Kuntarto (2007:6), penulisan PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
267
ragam ilmiah harus menggunakan bahasa Indonesia ragam baku dan logis. Ciri-ciri ini harus ditaati oleh mahasiswa dalam menulis karya ilmiah. Ketiga, membaca ilmiah. Hasil survei terkait materi ini ditunjukkan pada tabel berikut ini. Tabel 2 Hasil Survei Kebutuhan Mahasiswa terhadap Materi Membaca Ilmiah No Kebutuhan Materi SP P CP KP TP 1 Prinsip Membaca 3 80 17 0 0 2 Kelayakan Referensi yang Dirujuk 3 Membaca Tulisan Ilmiah 4 Membaca Tulisan Populer
47 30
53 63
0 7
0 0
0 0
0
30
70
0
0
Mengacu pada hasil di atas, mahasiswa menyatakan 3% sangat perlu, 80% perlu, dan 17% cukup perlu terhadap materi prinsip membaca. Terkait materi kelayakan referensi yang dirujuk, mahasiswa menyatakan 47% sangat perlu dan 53% perlu. Terkait materi membaca tulisan ilmiah, mahasiswa mengungkapkan 30% sangat perlu, 63% perlu, dan 7% cukup perlu. Terakhir, terkait materi membaca tulisan populer, mahasiswa bersikap terhadap materi ini adalah 30% perlu dan 70% cukup perlu. Berdasarkan hasil di atas, kebutuhan materi prinsip membaca diperlukan mahasiswa meskipun tidak menempati prioritas utama. Namun, sebelum menulis karya ilmiah, mahasiswa perlu membaca berbagai referensi yang diperlukan untuk dirujuk. Terkait hal ini, Widyartono (2013:7) menyatakan “sebelum mengolah referensi, perlu dipertimbangkan kelayakannya”. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua referensi yang dibaca layak untuk dirujuk dalam kegiatan penulisan karya ilmiah. Keempat, menulis ilmiah. Hasil survei terkait materi ini ditunjukkan pada tabel berikut ini. Tabel 3 Hasil Survei Kebutuhan Mahasiswa terhadap Materi Menulis Ilmiah No Kebutuhan Materi SP P CP KP TP 1 Prinsip Menulis 90 10 0 0 0 2 Menemukan ide mengembangkannya 3 Menulis Kutipan 4 5 6 7 8 9
Menulis Daftar Rujukan Menulis Rangkuman Menulis Resensi Menulis Makalah Menulis Artikel Menulis Proposal Penelitian
dan
60
40
0
0
0
73
27
0
0
0
57 0 0 100 67 70
43 90 47 0 33 30
0 10 53 0 0 0
0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0
Berdasarkan hasil di atas, mahasiswa sangat memerlukan materi prinsip menulis 90% dan hanya 10% saja merasa perlu. Untuk materi menemukan ide dan mengembangkannya, 60% mahasiswa merasa sangat perlu dan 40% perlu. Materi menulis kutipan 73% sangat diperlukan dan 27% perlu. Materi menulis daftar rujukan, 57% mahasiswa merasa sangat perlu dan 43% perlu. Materi menulis rangkuman diperlukan mahasiswa 90% dan cukup diperlukan 10%. Terkait materi menulis resensi, mahasiswa menganggap materi ini 47% perlu dan 53% cukup perlu. Khusus untuk materi menulis makalah, mahasiswa menyatakan 100% sangat diperlukan. Untuk materi menulis artikel, 67% sangat diperlukan dan 33% diperlukan mahasiswa. Terakhir, untuk materi menulis proposal penelitian, 70% mahasiswa sangat memerlukannya dan 30% memerlukannya. Mengacu pada hasil ini, prinsip menulis, menemukan ide dan mengembangkannya, menulis rujukan, dan daftar rujukan menjadi materi yang dibutuhkan mahasiswa. Mahasiswa harus dapat menemukan ide dan mengembangkannya dengan berbagai referensi dari media cetak dan
268
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
elektronik. Widyartono (2013:12) menyatakan pengolahan informasi yang tepat dapat dilakukan dengan tindakan mengutip dan menulis daftar rujukan dengan baik dan benar. Terkait dengan penulisan karya ilmiah, hanya materi menulis rangkuman dan resensi yang mendapat hasil kurang dibanding dengan materi menulis makalah, artikel, dan proposal penelitian. Materi menulis makalah, artikel, dan proposal penelitian menjadi kebutuhan mahasiswa dalam hidup di kalangan masyarakat akademis. Hasil temuan Widyartono (2010:255) menunjukkan materi penyusunan karya ilmiah mencakup makalah dan artikel mendapatkan persentase 81,34% dan 81,18%, sedangkan untuk materi rangkuman dan resensi secara berturut-turut adalah 81,01 dan 70,25%. Kelima, berbicara pada forum ilmiah. Hasil survei terkait materi ini ditunjukkan pada tabel berikut ini. Tabel 4 Hasil Survei Kebutuhan Mahasiswa terhadap Materi Berbicara pada Forum Ilmiah No Kebutuhan Materi SP P CP KP TP 1 Diskusi 40 57 3 0 0 2 Seminar 3 Pidato
43 20
53 80
3 0
0 0
0 0
4 Membuat slide presentasi yang baik dan benar
63
37
0
0
0
Mengacu pada hasil di atas, materi diskusi berada pada rentangan 40% sangat perlu dan 57% perlu, sedangkan materi seminar 43% sangat perlu dan 53% perlu. Hasil ini menunjukkan mahasiswa masih memerlukan materi ini meskipun tidak berada pada prioritas yang sangat diperlukan. Demikian pula, rentangan persentasi materi pidato yang berada pada 20% sangat perlu dan 80% perlu. Namun, materi membuat slide presentasi yang baik dan benar mendapatkan persentase 63% sangat perlu dan 37% perlu. Materi ini benar-benar sangat diperlukan mahasiswa. SIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, kebutuhan mahasiswa terhadap materi pembelajaran Bahasa Indonesia adalah ragam ilmiah, etika menulis karya ilmiah, kaidah menulis karya ilmiah, kelayakan referensi untuk dirujuk, prinsip menulis, menemukan ide dan mengembangkannya, membaca tulisan ilmiah, menulis kutipan, menulis daftar rujukan, menulis makalah, menulis artikel, menulis proposal penelitian, serta membuat slide presentasi yang baik dan benar. Materi-materi prinsip membaca, membaca tulisan populer, menulis rangkuman, dan menulis resensi kurang dibutuhkan mahasiswa. Temuan ini hendaknya menjadi pertimbangan bagi dosen penganmpu matakuliah Bahasa Indonesia. DAFTAR RUJUKAN Alwi, H., Dardjowidjojo, S., Lapoliwa, H. & Moeliono, A.M. (2003). Tata bahasa baku bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Anderson, L.W, & Krathwohl, D. R. (2001). Kerangka landasan untuk pembelajaran, pengajaran, dan asesmen. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Biggs, J.B. and Collis, K. (1982). Evaluating the quality of learning: the SOLO taxonomy. New York, Academic Press. Bixler, B. (2011). The abcds of writing instructional objective.Retrieved from http:// personal.psu.edu/bxb11/Objectives/ActionVerbsforObjectives.pdf). Bloom, B.S.(1958). Bloom's taxonomy of educational objectives. Retrieved from http://teaching.uncc.edu/learning-resources/articles-books/best-practice/goalsobjectives/blooms-educational-objectives. Dave, R.H. (1975). Bloom’s taxonomy. Retrieved from http://www.learningand teaching.info/learning/referenc.htm#DAVE%20R%20H%20%281975%29#ixzz3DQNqV0w 6 Djiwandono, S. (2008). Tes bahasa: pegangan bagi pengajar bahasa. Jakarta: PT Indeks. PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
269
Dyers, J.H., Gregersen, H. & Christensen, C.M. (2011). Innovators dna. Massachusetts: Harvard Business Review Press. Gagné, R. M. & Driscoll, M. P. (1988). Essentials of learning for instruction. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall. Harrow, A.J. (1972). A taxonomy of the psychomotor domain. New York: David McKay Co. Kratwohl, D.R., Bloom, B.S. & Masia, B.B. (1964). Taxonomy of educational objectives, the classification of educational goals– Handbook II: Affective Domain New York: McKay Co. Kuntarto, N.M. (2007). Cermat dalam berbahasa, teliti dalam berpikir. Jakarta: Mitra Wacana Media. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 49 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Regeluth, C.M. (1999).Instructional-design theories and models: a new paradigm of instructional theory. London: Lawrence Erlbaum Associates Publishers. Romiszowski, A. (1999). The development of physical skills: instruction in the psychomotor domain, Chapter 19, Instructional Design Theories and Models: A New Paradigm of Instructional Theory, Volume II, C. M. Reigeluth, Mahwah, NJ, Lawrence Erlbaum Associates. SK Dirjen Dikti No. 43/DIKTI/Kep/2006 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Matakuliah Pengembangan Kepribadian. Simpson, B.J. (1966). The classification of educational objectives: psychomotor domain. Retrieved from http://www.dynamicflight.com/avcfibook/learning_ process/. Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Vinson, C. (2014). Learning domains and delivery of instruction.Retrieved from http://pixel.fhda.edu/id/learning_domain.html. Widyartono, D. (2013). Bahasa Indonesia riset. Malang: UB Press. Widyartono, D. (2010). Pengembangan bahan ajar matakuliah bahasa Indonesia berbasis web interaktif (Tesis).
270
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
PENANAMAN KARAKTER BANGSA PADA MAHASISWA MELALUI PENGGUNAAN MEDIA VIDEO SERI INDONESIA BAGUS PRODUKSI NET.TV DALAM PERKULIAHAN MENYIMAK APRESIATIF DAN KREATIF Dwi Hanti Rahayu Fakultas Bahasa dan Seni, UNY
[email protected] Abstrak Sangat dapat dirasakan bahwa karakter yang sebenarnya sudah melekat dan hidup di masyarakat Indonesia lambat laun mulai pudar seiring perkembangan teknologi informasi. Hal ini sangat memprihatinkan bagi dunia pendidikan. Banyak strategi, metode, ataupun media dipilih oleh para pendidik di berbagai jenjang pendidikan untuk dapat menanamkan karakter bangsa ke para anak didiknya. Tidak terkecuali, pemerintah pun mengambil berbagai kebijakan dalam usaha tersebut. Salah satu media yang dapat dipilih dalam upaya penanaman karakter bangsa adalah video seri Indonesia Bagus yang diproduksi oleh Net.TV. Berbagai kehidupan suku dan masyarakat yang ada di Indonesia diangkat bersama budaya dan karakter masyarakat setempat. Tata cara kehidupan dari berbagai suku bangsa di Indonesia disajikan dalam video ini. Tayangan gambar yang diambil dari kehidupan setiap masyarakat dapat memberikan kejelasan tentang karakter pada masing-masing masyarakat tersebut. Penyampaian dengan bahasa Indonesia dialek asli masyarakatnya juga menambah pemahaman tentang budaya, adat, dan kondisi masyarakat. Inilah alasan dipilihnya media ini dalam perkuliahan Menyimak Apresiatif dan Kreatif. Kata kunci: penanaman karakter bangsa, media video seri Indonesia Bagus Net.TV, Menyimak Apresiatif dan Kreatif
PENDAHULUAN
Keterampilan menyimak merupakan salah satu dari empat keterampilan berbahasa. Keempatnya seharusnya mendapatkan porsi yang sama dalam pembelajarannya, sehingga kemampuan berkomunikasi setiap siswa dan mahasiswa akan berkembang secara seimbang antara kemampuan menyimak, membaca, berbicara, dan menulis. Namun, masih dapat dirasakan bahwa keterampilan menyimak masih belum mendapatkan perhatian yang sama dengan tiga keterampilan berbahasa yang lain. Banyak lomba menulis (esai, cerpen, karangan ilmiah, dan lain-lain), membaca (puisi, cerpen, dongeng, dan lain-lain), dan berbicara (berpidato, bercerita, debat, dan lain-lain) yang diselenggarakan. Sementara, untuk keterampilan menyimak masih belum mendapat perhatian yang sama. Padahal, keempat keterampilan berbahasa itu mempunyai peran yang samasama penting. Pentingnya peranan menyimak dalam proses komunikasi bukan saja karena memiliki berbagai manfaat, tetapi juga karena menyimak menempati ruang paling besar dalam aktivitas komunikasi (Hermawan, 2012:30). Melalui kegiatan menyimak, manusia banyak belajar, memperluas wawasan, dan menambah pengetahuannya. Banyak sekali hal yang bisa didapat dari kegiatan menyimak sesuai dengan tujuan menyimak yang dilakukan. Melalui kegiatan menyimak, si pembelajar juga menerima dan belajar tentang nilai-nilai kehidupan, akhlak yang luhur, dan nilai karakter yang memang harus tertanam pada diri mereka. Hal ini juga yang sedang diupayakan dalam setiap jenjang pendidikan, yaitu penanaman karakter. Berbagai strategi, metode, atau media pembelajaran dipilih oleh guru dan atau dosen untuk penanaman karakter pada anak didiknya. Zuchdi (2011: 240) mengatakan bahwa sesuai dengan fungsinya sebagai bahasa persatuan, bahasa negara, dan bahasa ilmu, bahasa Indonesia merupakan wahana yang tepat sekali PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
271
untuk pendidikan karakter. Hal ini sejalan dengan pernyataan Mustadi (2013: 373) bahwa salah satu fungsi sentral bahasa khususnya bagi peserta didik adalah membentuk pribadi yang berkarakter. Bahkan Pratomo (2014: 604) mengatakan bahwa pendidikan karakter tidak mungkin dilakukan tanpa keterlibatan bahasa. Jadi, penanaman kembali karakter bangsa kepada anak didik dapat dilakukan melalui pengajaran bahasa, yang salah satunya adalah pengajaran keterampilan menyimak. Dengan demikian, keadaan yang memprihatinkan terkait dengan karakter anak bangsa dapat diupayakan melalui pengajaran bahasa ini. \ A. Karakter Bangsa yang Semakin Samar-samar Tampak dalam Kehidupan Masyarakat Sebenarnya, bangsa ini telah diwarisi akhlak dan nilai-nilai luhur oleh para pendiri bangsa. Yang itu semua telah menjadi karakter bangsa ini. Namun, nilai-nilai luhur tersebut semakin samar-samar ada di tengah kehidupan berbangsa masyarakat pemiliknya. Banyak sekali faktor yang turut andil pada kemerosotan nilai-nilai luhur tersebut, antara lain karena semakin gencarnya pengaruh asing, longgarnya peraturan yang ada, ringannya sanksi yang dikenakan, bakhan desakan ekonomi pun dituduh sebagai penyebab menipisnya nilai-nilai luhur yang sebenarnya telah tertanam. Hal ini juga akhirnya mengakibatkan kurang kuatnya masyarakat untuk tetap berpegang pada nilai-nilai luhur bangsa. Rasa toleransi tidak lagi dihiraukan, nilai kerja sama sudah banyak diabaikan, tanpa kerja keras dan disiplin untuk mendapatkan kekayaan dan jabatan yang menjanjikan, kejujuran bukan lagi suatu nilai yang harus dijunjung. Sikap saling menghargai di antara anggota masyarakat juga semakin hilang. Kepentingan pribadi dan kelompok justru menjadi sesuatu yang terus diperjuangkan. Hal itu merupakan beberapa contoh kemerosotan nilai-nilai luhur atau karakter bangsa ini. Banyak perilaku mahasiswa, bahkan siswa yang sangat bertolak belakang dengan nilainilai luhur bangsa ini. Perilaku tidak senonoh yang dilakukan oleh para penerus bangsa tersebut seringkali menghiasi tayangan-tayangan berita dan media cetak lainnya. Keadaan inilah yang benar-benar memprihantinkan bagi dunia pendidikan. Tidak sedikit pihak yang justru bingung untuk berbuat apa. B.
Media untuk Pembelajaran Bahasa Menurut Soeparno (2010), media pembelajaran bahasa adalah hardware yang berisi software untuk dipakai dalam program pembelajaran bahasa guna menyalurkan informasi dari sumber informasi ke penerima informasi dengan tujuan agar informasi tersebut dapat diserap semaksimal mungkin oleh si penerima informasi. Baik buruknya media tidak diukur berdasarkan canggih tidaknya peralatan atau mahal tidaknya harga peralatan, namun diukur sampai sejauh mana media tersebut dapat menyalurkan pesan atau informasi sehingga pesan atau informasi tersebut dapat diserap semaksimal mungkin oleh si penerima pesan. Secara umum, media pembelajaran digunakan dengan tujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Secara khusus, penggunaan media pembelajaran antara lain bertujuan agar proses belajar mengajar dapat berjalan dengan efektif dan efisien dan mempermudah penyampaian informasi. Dengan menggunakan media, guru atau dosen tidak perlu terlalu banyak ceramah sekaligus lebih dapat menarik perhatian pembelajar. Untuk saat ini, banyak sekali media yang dapat dipilih untuk digunakan dalam pembelajaran. Pemilihan media dilakukan dengan beberapa pertimbangan, antara lain tujuan pembelajaran, kondisi pembelajar, jenis materi, ketersediaan, biaya, dan lain-lain. Media pembelajaran menyimak misalnya media audio (kaset dan radio) dan media audio visual (video dan televisi). C. Perkuliahan Menyimak Apresiatif dan Kreatif untuk Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dengan Media Video Seri Indonesia Bagus Mata kuliah Menyimak Apresiatif dan Kreatif diselenggarakan di prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia pada semester II. Jumlah SKS yang dibebankan pada mata kuliah ini terdiri 1 SKS teori dan 1 SKS praktik. Mata kuliah ini diberikan untuk membekali mahasiswa dalam pemahaman materi yang berupa lagu, film, humor, drama, dan pembacaan beberapa karya sastra. Untuk itu, pemahaman pada konteks budaya dan nilai-nilai kehidupan masyarakat setempat
272
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
(yang disajikan dalam materi, terutama materi yang menggunakan alur cerita) mutlak dilakukan. Bahkan, mahasiswa terlebih dahulu harus memahami hubungan menyimak dengan konteks budaya. Dalam budaya yang tersaji pada setiap materi simakan itulah terkandung nilai-nilai luhur yang merupakan karakter bangsa Indonesia. Melalui penyajian materi tersebut, mahasiswa diharapkan dapat memahami dan mengambil nilai-nilai luhur yang hidup di masyarakat Indonesia. Pemahaman akan adanya multikultural di Indonesia diharapkan dapat meningkatkan rasa toleransi mahasiswa. Dengan pemahaman yang baik tersebut, selanjutnya mahasiswa diharapkan mampu mengembangkan kreativitasnya untuk menciptakan karya yang dapat dihandalkan bagi kepentingan diri pribadi dan bangsanya. Video Seri Indonesia Bagus dipilih karena terdapat kesesuaian dengan tujuan pengajaran Menyimak Apresiatif dan Kreatif. Materi atau informasi yang disajikan dalam video ini sangat khas dengan kehidupan masyarakat tertentu di wilayah tertentu yang ada di Indonesia. Informasi yang unik atas kehidupan masyarakat setempat dikemas menarik dengan narator asli yang berasal dari daerah setempat. Selain menyajikan keadaan dan keindahan alam suatu daerah, video ini juga menyajikan tata nilai kehidupan yang dijunjung oleh masyarakat setempat. Sebagai contoh, video tentang wilayah dan kehidupan masyarakat Yogyakarta yang tidak terlepas dari kehidupan mayarakat lereng Merapi, keraton, Kota Gede, dan lain-lain. Kehidupan masyarakat Tana Toraja yang sangat unik dengan kebiasaan dan budayanya dalam merawat jasad orang yang telah meninggal, dan lainlain. Masih banyak lagi video yang menyajikan kehidupan suatu masyarakat di wilayah tertentu di Indonesia. Dengan dipahaminya banyak nilai yang hidup di masyarakat Indonesia, diharapkan dapat dikembangkan nilai toleransi, kasih sayang, dan saling menghargai. Selanjutnya dapat dikembangkan sikap kerja sama yang baik di antara mahasiswa yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda-beda. Selain itu, dengan dihadirkannya narator penutur asli atau putera daerah tersebut, mahasiswa akan belajar bagaimana cara menyesuaikan diri dengan masyarakat setempat dalam hal berkomunikasi jika suatu saat harus berada di daerah tersebut. Dengan tujuan agar tetap dapat bertahan hidup di daerah lain di Indonesia. Dengan pemahaman ini, mahasiswa juga akan dapat mengembangkan dirinya untuk dapat memahami masyarakat (termasuk teman mahasiswa) yang lain. D.
Penutup Semua pihak berupaya dalam mengatasi semakin menipisnya bahkan hilangnya karakter bangsa yang selama ini hidup dan menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Upaya ini dilakukan di setiap jenjang pendidikan, tidak terkecuali di perguruan tinggi. Salah satu upaya yang dilakukan di prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia adalah melalui mata kuliah Menyimak Apresiatif dan Kreatif. Pemilihan media yang berupa video seri diharapkan mampu menanamkan kembali nilai-nilai luhur bangsa ini pada diri mahasiswa. Video seri ini menyajikan banyak hal tentang masyarakat yang ada di wilayah Indonesia beserta budaya, termasuk bahasa, tata kehidupannya, juga nilai-nilai luhur yang dijunjung oleh mayarakat setempat. Dengan dipahaminya tata kehidupan masyarakat Indonesia, diharapkan mahasiswa dapat kembali menjunjung tinggi nilai-nilai luhur yang ada dan mengaplikasikannya dalam kehidupan bermasyarakatnya kelak. Daftar Pustaka Hermawan, Herry. 2012. Menyimak: Keterampilan Berkomunikasi yang Terabaikan. Yogyakarta: Graha Ilmu. Mustadi, Ali. 2013. “Teori Pendidikan Bahasa dan Perkembangan Bahasa Peserta Didik”. Pendidikan untuk Pencerahan dan Kemandirian Bangsa. Yogyakarta: Ash-Shaff. Soeparno. 2010. “Jenis Media untuk Pembelajaran Bahasadan Dasar-Dasar Pemilihannya”. Makalah dalam Pelatihan Guru-guru SMP dan MTs se-Kodya Yogyakarta. Tanggal 20 September 2010, FBS Universitas Negeri Yogyakarta. Widodo, Pratomo. 2014. “Membangun Karakter Melalui (Pembelajaran) Bahasa”. Memantapkan Pendidikan Karakter untuk Melahirkan Insan Bermoral, Humanis, dan Profesional. Yogyakarta: UNY Press. Zuchdi, Darmiyati. 2011. “Bahasa dan Sastra Indonesia sebagai Wahana Pendidikan Karakter”. Pendidikan Karakter dalam Perspektif Teori dan Praktik. Yogyakarta: UNY Press.
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
273
MODEL PEMBELAJARAN SASTRA BERBASIS MEANINGFUL LEARNING DAN BRAIN- BASED LEARNING UNTUK MEWUJUDKAN KEMAMPUAN MENULIS KREATIF MAHASISWA Elyusra dan St. Asiyah FKIP Universitas Muhammadiyah Bengkulu
[email protected] Abstrak Salah satu kompetensi yang harus dikuasai mahasiswa tamatan LPTK adalah komptensi menulis kreatif, yakni mencipta karya sastra. Berdasarkan hasil analisis kebutuhan mahasiswa dan dosen, serta kajian pustaka perlu dikembangkan model pembelajaran sastra berbasis meaningful learning dan brain based learning. Dengan model ini pembelajaran dilaksanakan dengan implementasi: pembelajaran tatap muka pada jadwal perkuliahan, pembelajaran mandiri, dan kelas menulis sastra. Pembelajaran tatap muka pada jadwal perkuliahan dilaksanakan dengan tahapan: prapemaparan, akuisisi, elaborasi, elaborasi tambahan, formasi memori, verifikasi dan pengecekan keyakinan, integritas fungsional dan perayaan, serta refleksi. Pembelajaran mandiri dilaksanakan mahasiswa berupa aktivitas prapemaparan, integritas fungsional lanjutan, dan kontrol belajar. Kelas menulis sastra dilaksanakan di luar jadwal perkuliahan tatap muka.
PENDAHULUAN Pembelajaran menulis kreatif di FKIP Universitas Muhammadiyah Bengkulu ditetapkan sebagai salah satu tujuan pembelajaran pada mata kuliah Apresiasi Sastra. Pembelajaran mencipta karya sastra ini sudah dilaksanakan dengan metode tertentu, tetapi hasil yang diperoleh belum mencapai taraf maksimal. Dalam pembelajarannya dosen masih kewalahan menghadapi mahasiswa yang tingkat keaktifan dan motivasinya masih rendah. Dari penuturan dosen diketahui bahwa dosen harus berupaya keras untuk memotivasi mahasiswa. Dari pihak mahasiswa diperoleh informasi bahwa mahasiswa tidak memperoleh cukup waktu untuk mengerjakan tugas, karena pemberitahuan tugas sering disampaikan setelah perkuliahan berlangsung beberapa minggu. Mahasiswa pun menyatakan belum puas terhadap metode pembelajaran yang diterapkan. Berdasarkan kenyataan di atas, perlu adanya perbaikan yang signifikan, dengan mengadakan penelitian dan pengembangan model pembelajaran. Model pembelajaran sastra yang dihasilkan yakni model pembelajaran sastra yang dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan mahasiswa dan dosen, situasi, dan kondisi yang ada, serta hasil kajian teoritik. Meaningful learning akan dapat mengarahkan mahasiswa dan dosen untuk mencapai kebermaknaan dalam belajar. Model ini dapat dipadukan dengan brain based learning yang dapat mengatasi rendahnya aktivitas belajar mahasiswa. Dalam makalah ini akan dikemukakan model pembelajaran sastra berbasis Meaningful learning dan brain based learning untuk mewujudkan kemampuan menulis kreatif mahasiswa ini merupakan hasil penelitian dan pengembangan yang sudah dilakukan dengan judul “Model Pembelajaran Sastra Berbasis Meaningful Learning dan Brain Based Learning”. KAJIAN PUSTAKA Pembelajaran sastra sejalan dengan tujuan karya sastra sebagai karya seni yang bertujuan memberikan kesenangan sekaligus pencerahan. Jadi, sifatnya emosional sekaligus intelektual. Pembelajaran sastra dijadikan wahana untuk mengembangkan kemampuan ekspresi diri, kemampuan membangun argumen dan berkomunikasi, mengembangkan gaya komunikasi (Bernard Hidayat dalam Stanton, 2012: vii). Dalam jangka panjang tujuan pembelajaran sastra adalah terbentuknya sikap positif terhadap sastra dengan ciri peserta didik mempunyai apresiasi yang tinggi terhadap karya sastra (Ismawati,2013: 30). Sehubungan dengan apresiasi, ada empat tingkatan apresiasi, yaitu: 1) tingkat menggemari, 2) tingkat menikmati, 3) tingkat mereaksi, 4) tingkat produksi. Tingkat menggemari ditandai oleh adanya rasa tertarik pada buku- buku sastra serta keinginan membacanya. Tingkat menikmati, yaitu mulai dapat menikmati cipta sastra karena mulai tumbuhnya pengertian. Tingkat
274
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
mereaksi, yaitu mulai ada keinginan untuk menyatakan pendapat tentang cipta sastra yang dinikmati dan keinginan untuk ikut berpartisipasi dalam berbagai kegiatan sastra. Tingkat produksi, yaitu tingkat menghasilkan cipta sastra (Wardani, 1981: 1-2). Anderson dan Krathwohl (dalam Dick, Carey, Carey, 2001: 28) melaksanakan revisi yang merupakan upaya menginovasi taksonomi Bloom yang sudah sangat lama dipergunakan dalam dunia pendidikan. Mereka menyatakan dimensi proses kognitif terdiri atas: remember, understand, apply, analyze, evaluate, dan create. Pada taksonomi ini, tingkat create berarti meletakkan elemenelemen bersama menjadi bentuk, kesatuan yang utuh, atau untuk membuat sebuah produk original. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kompetensi mencipta/ menulis/ menghasilkan karya sastra adalah salah satu tujuan pembelajaran yang berada pada tingkat yang paling tinggi dari tingkatan apresiasi maupun tingkat kognitif yang harus dicapai dalam pembelajaran. Oleh sebab itu, untuk dapat mewujudkannya, berbagai pembelajaran tingkat-tingkat kemampuan yang lain harus berjalan dengan baik. Pencapaian tujuan-tujuan yang lain tersebut menjadi syarat dicapainya tujuan pembelajaran mencipta karya sastra. Sebagai ahli psikologi pendidikan, Ausubel (Winkel, 2007: 404) menaruh perhatian besar pada belajar dengan memberikan tekanan pada unsur kebermaknaan dalam belajar melalui bahasa (meaningful verbal learning). Kebermaknaan diartikan sebagai kombinasi dari informasi verbal, konsep, kaidah dan prinsip, apabila ditinjau bersama-sama. Menurut Ausubel, belajar bermakna merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep- konsep yang relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Dengan demikian, dinyatakan Hernowo (2004: 66- 68) pengetahuan yang diterima pebelajar cocok dengan diri pebelajar, kemudian pebelajar mengetahui kegunaan ilmu yang dipelajarinya, serta terdorong untuk mencoba mempraktikan di lingkungan miliknya. Pembelajaran sastra bermakna menurut Wilson dapat dilakukan dengan lebih meningkatkan mutu pembelajaran dengan memperhatikan sejumlah aspek, yakni aktif, konstruktif, kolaboratif, intensional, kompleks, kontekstual, konversasional, dan reflektif (Trianto, 2011:5-6). Dijelaskan lebih lanjut oleh Trianto konsep pembelajaran bermakna yang diterapkan dalam pembelajaran sastra terwujud dalam tugas dan kegiatan yang dikembangkan. Impelementasi pembelajaran bermakna terhadap karakteristik tugas dan kegiatan dalam pembelajaran sastra adalah: 1) aktif: banyak membaca karya sastra, banyak mendengarkan karya sastra, banyak membacakan karya sastra, jika mungkin banyak menulis karya sastra. Guru dan siswa menyiapkan bendel portofolio membaca dan karya siswa; 2) konstruktif: pemberian informasi tentang tugas dan model teks sastra sebelum siswa mengerjakan tugas. Siswa memahami puisi dengan cara mengenal dan membaca banyak puisi, siswa memahami cerpen dengan cara banyak membaca cerpen; 3) kolaboratif: kerja kelompok, saling berbagi dan bertukar bacaan; 4) konversasional: berdiskusi, kerja kelompok, berdialog, presentasi di kelas; 5) reflektif: Tugas menampilkan karya, menilai karya teman; 6) Kontekstual: Tugas-tugas terkait dan berguna untuk usia dan kehidupan; 7) kompleks: Tugas membutuhkan berbagai pengetahuan dan keterampilan. Misalnya, bermain drama; 8) intensional: Guru dan siswa mengetahui tujuan belajar sastra untuk mencerdaskan (Trianto, 2011:5-6). Kualitas pembelajaran di atas dapat ditingkatkan lagi dengan elaborasi model belajar BrainBased Learning. Brain-Based Learning merupakan pendekatan komprehensif pengajaran yang didasarkan pada bagaimana otak bekerja pada saat belajar. Jadi, belajar secara alami (Trianto, 2008: 77). Tahap-tahap pembelajaran Brain Based Learning yang diungkapkan Jensen yaitu: 1) pra- pemaparan (memberikan sebuah ulasan kepada otak tentang pembelajaran baru); 2) persiapan (menciptakan keingintahuan atau kesenangan yang mirip dengan “mengatur kondisi antisipatif”, tetapi sedikit lebih jauh dalam mempersiapkan pebelajar; 3) akuisisi (pemberian fakta awal yang penuh ide, rincian, kompleksitas, dan makna); 4) elaborasi (tahap pemerosesan yang membutuhkan kemampuan berpikir yang murni); 5) inkubasi dan formasi memori (waktu istirahat dan waktu untuk mengulang kembali); 6) Verifikasi dan Pengecekan Keyakinan (fase mengkonfirmasikan pembelajaran); 7) Perayaan dan Integrasi (fase perayaan yang melibatkan emosi tahapan menggunakan pembelajaran baru, untuk pengukuhan lebih lanjut dan memperluas pembelajaran (Jensen, 2008: 57; Jensen, 2011: 233).
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
275
METODE Desain penelitian dirancang dengan menggunakan Research and Developmen, model Borg & Gall (1989: 626) yang dipadukan dengan model pengembangan instruksional model Dick, Carey dan Carey (2001:6-8). Proses pengembangan model pembelajaran sastra berbasis meaningful learning dan brain- based learning dalam penelitian ini dilaksanakan dalam langkah-langkah: 1) mengidentifikasi masalah dan menganalisis kebutuhan, 2) melakukan kajian pustaka, 3) merancang model awal, Subjek penelitian adalah mahasiswa dan dosen di Program studi Pendidikan Bahasa Indonesia, FKIP Universitas Muhammadiyah Bengkulu. Pengumpulan data tahap pertama dilakukan dengan observasi, angket, dan wawancara mendalam. Analisis: (1) data identifikasi kebutuhan mahasiswa dan dosen, (2) data persepsi mahasiswa dan dosen (3) data karakteristik mahasiswa dianalisis dengan tabel klasifikasi; HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menyatakan model pembelajaran sastra berbasis meaningful learning dan brain- based learning untuk mewujudkan kemampuan menulis kreatif mahasiswa di FKIP Universitas Muhammadiyah Bengkulu sebagai berikut. Model Pembelajaran Sastra Berbasis Meaningful Learning dan Brain- Based Learning untuk Mewujudkan Kemampuan Menulis Kreatif Mahasiswa P r a- p e m a p a r a n (-A.1) (Kontrak Perkuliahan)
&
P r a- p e m a p a r a n (-A. 2)
(Belajar Mandiri)
Tahapan Pembelajaran Tatap Muka pada Jadwal Perkuliahan
Pengelolaan Pembelajaran
Pra-Pemaparan (A)/ Persiapan Objektif / Tujuan pembelajaran advance organizer Alasan/ manfaat pembelajaran Akuisisi Elaborasi Elaborasi Tambahan (Pemahaman lebih dalam dan Umpan balik) Formasi Memori Refleksi Pra-Pemaparan (B)
Perayaa n
Integras i Pembelajaran Metakognitif
Integrasi Pembelajaran Afektif
Formasi Memori (Lanjutan)
Integritas Fungsional
Telepon & SMS
BELAJAR MANDIRI
Tatap Muka
KELAS MENULIS SASTRA
Pembelajaran Tatap Muka pada Jadwal Perkuliahan Selanjutnya
Pra- pemaparan adalah tahapan untuk membantu otak membangun peta konseptual yang lebih baik dengan memberikan latar belakang tentang materi yang akan dipelajari. Penyampaian
276
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
pra- pemaparan lebih difokuskan pada upaya membuat pebelajar “terkesima” oleh prosesnya, ketimbang oleh muatannya. (Jensen, 2013: 55). Pra- pemaparan dilaksanakan pada empat waktu, yaitu: Pertama, pada pelaksanaan kontrak perkuliahan dalam bentuk menyampaikan topik- topik materi dan sub-subtopiknya untuk satu semester (Pra-pemaparan –A.1); kedua, ketika bahan ajar dipelajari oleh mahasiswa dalam kegiatan mandiri sebelum pembelajaran tatap muka di kelas (Pra- pemaparan –A.2): ketiga, pada tahap awal pembelajaran tatap muka pada jadwal perkuliahan (Pra- pemaparan A); keempat, di akhir perkuliahan tatap muka, ketika pengampu mata kuliah menginformasikan materi yang akan dibahas pada perkulihan berikutnya (Pra- pemaparan B) Pra- pemaparan A-1 dapat memberikan gambaran umum yang menyeluruh tentang materi atau tugas-tugas yang akan mereka kerjakan. Walaupun materi pembelajaran tentang menulis kreatif, misalnya teori menulis puisi dipelajari pada pertengahan semester, namun sejak awal semester mahasiswa sudah mendapatkan informasi tentang tugas itu. Hal ini dapat memotivasi mahasiswa memulai pekerjaannya. Dinyatakan Jensen “kita belajar paling baik dengan membenamkan diri; dengan melompat ke dalam kehebohan, kemudian berpikir bagaimana bisa keluar dari situ”. Dalam pembelajaran berbasis kemampuan otak, pebelajar membuat kakinya basah di Unit K, kemudian menemukan solusinya di unit A, D, dan G. Inilah kehidupan yang sesungguhnya. Bukannya, melangkah dengan cara seperti garis lurus, tetapi bergerak ke depan, ke belakang, dan berputar seperti spiral. Hal ini merupakan kecenderungan alamiah otak. Walaupun demikian, pemikiran ini tidak bermaksud menyatakan struktur itu tidak perlu (Jensen, 2008: 478479). Pembelajaran seperti ini sangat mungkin, karena dua hal: 1) mahasiswa sudah memiliki pengalaman belajar atau kemampuan awal yang cukup, 2) mahasiswa dapat mempelajari materi ini lebih awal karena bahan ajar sudah disediakan dari awal semester. Pra- pemaparan B dapat menghilangkan kesan misteri pembelajaran berikutnya. Bahkan tahapan ini, dapat berfungsi sebagai strategi memotivasi. Langkah-langkah pembelajaran perkuliahan tatap muka, secara berturut-turut adalah: 1) Persiapan (Pra-pemaparan A); 2) penyampaian tujuan pembelajaran; 3) menyampaikan kerangka materi (Advance organizer); 4) akuisisi, dilaksanakan dengan diskusi, peralatan visual, dan aktivitas belajar kelompok; 5) elaborasi, kesempatan otak (mahasiswa) menyortir, menyelidiki, menganalisis, menguji, dan memperdalam pembelajaran. 6) Elaborasi tambahan dan umpan balik dilaksanakan dalam rangka mengurangi celah/ perbedaan antara pemahaman mahasiswa dengan konsep yang disiapkan pengampu mata kuliah. 7) Formasi memori, adalah pembelajaran yang merekatkan. Tahapan ini dilaksanakan dengan memberikan banyak kesempatan kepada mahasiswa untuk berinteraksi dan bereksperimen. 8) Integritas fungsional dan perayaan, tahapan menggunakan pembelajaran baru supaya lebih kuat dan luas dan menanamkan semua arti penting dari kecintaan terhadap belajar. 9) Refleksi, tahapan pengampu mata kuliah membimbing mahasiswa meninjau pembelajaran yang sudah diikuti, mengkomunikasikan atau mendiskusikan manfaat pembelajaran yang diperoleh, mengkomunikasikan atau mendiskusikan hambatan yang dihadapi, menyimpulkan materi pembelajaran. Diantara pelaksanaan langkah-langkah pembelajaran di atas, diintegrasikan pembelajaran aspek afektif dan metakognitif. Di sepanjang pembelajaran pengelolaan kelas senantiasa dijaga. Pengelolaan pembelajaran tahapan aktivitas pengampu mata kuliah untuk menjamin kelangsungan pembelajaran dengan melakukan aktivitas- aktivitas: 1) menginformasikan prosedur pembelajaran yang digunakan dan peran- peran yang harus dilakukan oleh mahasiswa; 2) Menginformasikan kemajuan belajar mahasiswa; 3) ) memberikan kebebasan (kontrol belajar) kepada mahasiswa 4) memotivasi mahasiswa; 5) Membuat jadwal strategi pembelajaran yang akan digunakan, 6) Membuat catatan kemajuan belajar mahasiswa dengan tertib, 7) memanfaatkan catatan kemajuan belajar mahasiswa untuk penetapan strategi pembelajaran.
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
277
Pembelajaran mandiri di luar kelas dilaksanakan dengan pertimbangan kompleksitas materi dan dalam rangka menjalankan belajar alami dengan memberikan kontrol/ kebebasan belajar kepada mahasiswa. “Kelas Menulis Sastra” dilaksanakan di luar jadwal perkuliahan. berdasarkan: a) pertimbangan: prinsip pembelajaran menulis; mahasiswa perlu menerapkan praktik-praktik yang dilakukan oleh penulis yang baik; b) penerapan pendekatan proses dan hasil, kegiatan menulis yang autentik; c) Tahapan menulis adalah: perencanaan, penyusunan, revisi, dan pengeditan. Tahapan ini kadang- kadang tidak linear; d) Tidak cukupnya alokasi waktu pembelajaran tatap muka untuk aktivitas menulis kreatif. Berdasarkan empat hal di atas, kelas menulis dilaksanakan dalam rangka memfasilitasi mahasiswa dalam proses menghasilkan teks sastra atau menghasilkan teks kreatif. Tugas pengampu mata kuliah adalah: (1) memberikan pembimbingan menulis sastra kepada mahasiswa baik pada proses penulisan kreatif maupun ilmiah. Pembimbingan dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan mahasiswa dengan mengatur waktu pertemuan dengan dosen, melalui pesan singkat/ SMS, atau telepon. SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis kebutuhan mahasiswa dan dosen dapat disusun model pembelajaran sastra berbasis meaningful learning dan brain based learning untuk mewujudkan kemampuan menulis kreatif mahasiswa. Pembelajaran dilaksanakan dengan empat bentuk, yaitu: pembelajaran pada jadwal perkuliahan secara tatap muka dengan mengintegrasikan pembelajaran aspek afentif dan metakognitif. Selain itu, mahasiswa melakukan pembelajaran mandiri dan kelad menulis sastra.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi yang telah membiayai penelitian ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada LPPM Universitas Muhammadiyah Bengkulu yang telah memfasilitasi penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Borg, W.R. & Gall M.D.. 1989. Educational Research: An Introduction. New York: Logmen. Dick, Walter, Carey, Lou dan Carey James O. 2001. The Systematic Design of Instruction. Sixth Edition. Boston:Pearson. Hernowo. Bu Slim & Pak BiL . 2004. Membincangkan Pendidikan di Masa Depan. Bandung: MIC. Ismawati, Erna. 2013. Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Penerbit Ombak.. Jensen, Eric. 2013. “Memahami Pembelajaran Berbasis Cara Kerja Otak”, Buletin INDEKS. http://www.Indeks-penerbit .com/image/data/Buletin%20Indeks%202013.pdf (diakses April 2013). ___. 2011. Pemelajaran Berbasis Otak, Paradigma Pengajaran Baru, terjemahan Benyamin Molan. Jakarta: PT Indeks. ___. 2008. Brain- Based Learning, Pembelajaran Berbasis Kemampuan Otak: Cara Baru dalam Pengajaran dan Pelatihan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Stanton, Robert. 2012. Teori Fiksi. Terjemahan Sugihastuti dan Rossi Abi Al Irsyad. Yogyakarta:Pustaka Pelajar. Trianto, Agus. 2011 “Membaca Sastra untuk Mencerdaskan, Berbasis Pembelajaran Bermakna (Meaningful Learning)”, Makalah Semirata, , hh. 5-6. ___. 2008. Teori Belajar Bahasa Kedua. Bengkulu: FKIP UNIB. Wardani, I.G.A.K.. 1981. Pengajaran Sastra. Jakarta: Departemen P dan K. Winkel, W. S.. 2007. Psikologi Pengajaran. Yogyakarta: Media Abadi.
278
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
PENINGKATANPERASAAN MAHASISWA PPGT MELALUI REFLEKSI PADA MATA KULIAH TERKAIT BAHASA INDONESIA Galih Kusumo Email:
[email protected] Abstrak Pengendalian perasaan yang baik cenderung akan mendorong mahasiswa untuk mampu menghadapi berbagai macam permasalahan. Pengendalian perasaan bukanlah sesuatu yang harus dihapalkan, melainkan disadari oleh siswa. Salah satu bentuk yang dapat dilakukan pengajar untuk menyadarkan siswa akan pentingnya perasaaan melalui refleksi. Refleksi akan membantu untuk menyadarkan mahasiswa akan peran perasaan dan cara untuk mengendalikannya dalam pembelajaran. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan. Subjek penelitian ini adalah mahasiswa Rintisan Program Profesi Guru Terintegrasi (PPGT) Universitas Sanata Dharma angkatan 2013 dengan jumlah 34 mahasiswa. Objek penelitian pada tahun pertama adalah perasaan mahasiswa. Kuesioner dan hasil refleksi mahasiswa menjadi alat pengumpul data yang utama dalam penelitian ini. Statistik deskriptif digunakan untuk menganalisis data kuantitatif, sedangkan data kualitatif dianalisis dengan menggunakan model analisis data yang dikemukakan oleh Miles and Huberman. Hasil Penelitian menunjukkan adanya peningkatan perasaan dalam diri mahasiswa dalam mata kuliah terkait Bahasa Indonesia. Kata Kunci: Perasaan, refleksi
PENDAHULUAN Peningkatan mutu pendidikan akan selalu terkait dengan proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Guru perlu mengoptimalkan proses pembelajaran yang dilakukannya agar siswa mampu menguasai materi dengan baik. Rusman (2011) mengungkapkan pembelajaran sebagai suatu interaksi yang terjadi antara guru dengan siswa dan suatu sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Berdasarkan hal tersebut, proses interaksi dapat berjalan dengan baik apabila perasaan selama pembelajaran terjaga dengan baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Sardiman (2011) yang mengungkapkan bahwa keberhasilan seseorang dalam pembelajaran dapat terjadi apabila dirinya memiliki keinginan untuk belajar. Keinginan atau dorongan yang muncul dalam diri seseorang ini akan muncul apabila orang tersebut memiliki suatu hal yang disebut dengan perasaan. Perasaaan akan menjadi penggerak dalam diri siswa yang pada akhirnya akan memunculkan suatu kegiatan belajar. Lebih lanjut lagi, penggerak tersebut akan mempengaruhi keberlangsungan kegiatan belajar dan memberikan suatu arah pada pencapaian tujuan pembelajaran. Siswa dengan daya gerak yang lemah akan membuat arah pembelajaran menjadi tidak jelas yang pada akhirnya akan berdampak pada tidak tercapainya tujuan pembelajaran demikian pula sebaliknya. Hal ini sejalan dengan pendapat Laird (2007) yang menyatakan “feelings of emotion are the first part of an emotional response, and the rest of the response—facial expressions, physical responses of the body and actions—are caused by the feeling”. Mahasiswa dengan perasaan yang baik akan berdampak pada perilakunya salah satu contohnya mahasiswa dengan perasaan yang baik akan berusaha untuk melakukan segala hal agar menguasai konsep dengan baik dan berusaha memperjelas tujuannya. Penguasaan konsep dan pencapaian tujuan yang baik pada akhirnya akan memberikan hasil maksimal pada prestasi belajar mahasiswa tersebut. Oleh karena itu, menjadi tantangan bagi para pengajar untuk mampu memunculkan perasaan yang baik dalam diri setiap mahasiswa dalam perkuliahan. Tantangan untuk memunculkan perasaan yang positif dapat ditemukan oleh dosen ketika mengajar mahasiswa dari daerah 3 T (terluar, tetinggal, dan terdepan) dalam program rintisan PPGT (Program Profesi Guru Terintegrasi). Dalam perkuliahan, mahasiswa rintisan PPGT cenderung mengalami kesulitan pada mata kuliah yang berkaitan dengan bahasa Indonesia. Sejak awal, mahasiswa PPGT angkatan memiliki perasaan yang cenderung kurang positif terhadap mata kuliah tersebut. Perasaan ini yang kemudian mendorong mahasiswa untuk melakukan tindakan-tindakan yang cenderung semakin menjauhkan dirinya dengan mata kuliah yang berkaitan dengan bahasa Indonesia. Beberapa mahasiswa PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
279
mengungkapkan bahwa beberapa tindakan seperti kurang memperhatikan perkuliahan bahasa Indonesia dengan baik, kurangnya kemandirian dalam mempelajari bahasa Indonesia, usaha untuk memperdalam kemampuan mereka dalam bahasa Indonesia, dll disebabkan karena adanya perasaan yang negatif terhadap mata kuliah bahasa Indonesia. PERASAAN Perasaan sering juga disebut dengan “renjana”. Perasaaan merupakan suatu gejala psikis yang memiliki sifat khas subjektif yang berhubungan dengan persepsi dan dialami sebagai rasa senang-tidak senang, sedih-gembira, dll (Sunaryo, 2002). Senada dengan hal tersebut Maramis (1999) mengungkapkan perasaan sebagai nada perasaan menyenangkan atau tidak yang menyertai pikiran dan biasanya berlangsung lama. Lebih lanjut lagi, Chaplin (1972) menyatakan perasaan adalah keadaan individu sebagai akibat dari persepsi sebagai akibat stimulus baik eksternal maupun internal.Perasaan menjadi salah satu faktor keberhasilan seseorang dalam hidup. Seseorang yang kurang berhasil mengendalikan perasaannya dengan baik cenderung akan sering menghadapi berbagai permasalahan. Hal ini sejalan dengan syrus (dalam Barret dan sallovey, 2002) yang menyatakan bahwa “The sage will rule his feelings, the fool will be their slave”. Manusia seringkali bertindak hanya didasarkan pada perasaan suka pada suatu hal, apabila mereka memiliki perasaan tidak suka maka mereka cenderung akan menghindari hal tersebut. Sejalan dengan hal tersebut, Laird (2002) menyatakan bahwa “feelings do have some intimate,and undoubtedly important, connection with behavior and action” Hal ini menggambarkan adanya perasaan yang negatif seringkali menghambat manusia untuk berkembang ke arah yang lebih baik. Oleh karena itu, seseorang perlu mengendalikan dengan baik perasaaanya dalam mengerjakan sesuatu. REFLEKSI Refleksi menjadi salah satu kegiatan yang perlu diperhatikan dalam kegiatan pembelajaran.Peristiwa yang dialami seseorang akan menjadi kurang bermakna dan menjadi biasa saja manakala tidak diikuti dengan kegiatan refleksi. Melalui refleksi, mahasiswa akan diajak untuk bukan hanya melihat tetapi juga memaknai secara mendalam suatu peristiwa atau kejadian yang telah mereka lakukan(Satriani dan Emi, 2012). Hal ini menunjukkan bahwa dalam kegiatan refleksi seseorang akan melihat kembali pengalamannya, menyadari, dan mengevaluasinya untuk tujuan yang lebih besar. Jadi, refleksi merupakan suatu proses yang memunculkan makna dalam penegalaman manusiawi dengan memahami kebenaran, mengerti sumber-sumber perasaan dan reaksi yang dialami, memperdalam pemahaman tentang implikasi yang telah dimengerti, memahami dirinya dan bagaimana seharusnya sikapnya terhadap orang lain (Kanisius, 2010). Kegiatan refleksi dalam penelitian ini dijalankan dengan mengikuti model yang dikembangkan oleh Mbato (2013) seperti pada gambar 1.
METODE Penelitian ini menggunakan metode action research. Dalam penelitian tindakan dikenal beberapa siklus dimana masing-masing siklus terdiri atas empat tahapan yaitu planning, action, observation, dan reflection (Kemmis & McTaggart, 1988). Siklus ini dalam praktek tidak selalu linear dan bersifat kaku tetapi bisa melibatkan berbagai tahapan lain seperti exploring, identifying,
280
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
planning, collecting information, analysing and reflecting, hypothetising and speculating, intervening, observing, reporting, writing and presenting (Burns, 2010). Kadang-kadang, penelitian tindakan dapat melibatkan siklus dalam siklus ketika inisiatif-initiatif kecil direncanakan, diimplemenatasikan dan dievaluasi sebagai bagian dari siklus pengajaran yang lebih besar (Mbato, 2013). Penelitian ini dilaksanakan di Universitas Sanata Dharma, Mrican, Jalan Afandi No.1, Condongcatur, Depok, Sleman. Subjek penelitian ini adalah mahasiswa Rintisan Program Profesi Guru Terintegrasi (PPGT) PGSD Universitas Sanata Dharma angkatan 2013 dengan jumlah 36 mahasiswa dengan melibatkan empat dosen yang terlibat langsung dalam proses pembimbingan bagi ketiga puluh enam mahasiswa ini. Objek penelitian ini adalah perasaan mahasiswa PPGT angkatan 3 dalam mata kuliah yang terkait dengan bahasa Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode campuran (mixed methods) yaitu kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif dikumpulan melalui survey diawal dan akhir semester, sementara data kualitatif dikumpulkan setiap bulan dan di akhir semester dalam bentuk jurnal refleksi mahasiswa dan refleksi diskusi. Kedua jenis data ini digunakan untuk menjawab kedua pertanyaan penelitian baik menyangkut perkembangan regulasi afektif mahasiswa yang berupa perasaan mahassiwa PPGT dalam mata kuliah bahasa Indonesia. Analisis data yang digunakan setelah data terkumpul meliputi analisis kualitatif, dan analisis deskriptif. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan pada perasaan mahasiswa dalam mata kuliah yang berkaitan dengan bahasa Indonesia. Hasil kuantitatif menunjukkan adanya peningkatan skor dari skor rata-rata 4,7 menjadi 5,2(lihat tabel 1). Hal ini menunjukkan adanya perubahan yang cenderung positif dari mahasiswa PPGT angkatan 3 pada mata kuliah bahasa Indonesia. Perubahan ini tentunya terjadi sebagai dampak adanya kesadaran dari diri mahasiswa untuk selalu mengendalikan perasaannya dalam mata kuliah bahasa Indonesia dengan bimbingan dari para mentor.
Hasil refleksi awal menunjukkan bahwa mahasiswa PPGT angkatan 3 cenderung memiliki perasaan yang negatif dalam mata kuliah bahasa Indonesia. Para mahasiswa cenderung kurang merasa senang dalam mempelajari mata kuliah yang berkaitan dengan bahasa Indonesia. Hal ini terungkap dari pendepat beberapa mahasiswa dalam refleksinya. Mahasiswa 1 menyatakan bahwa “saya merasa tidak senang dan menjengkelkan dengan mata kuliah yang terkait dengan bahasa Indonesia” . hal serupa juga disampaikan oleh mahasiswa 2 dimana menyatakan bahwa “perasaan saya dalam mata kuliah bahasa Indonesia sering tidak suka dan cenderung jenuh”. Lebih lanjut lagi, mahasiswa 3 menyatakan bahwa “ mata kuliah bahasa Indonesia membuat saya bingung karena bahasa Indonesiabeda dengan yang saya gunakan di tempat saya.”
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
281
Perasaan yang cenderung negatif ini disebabkan karena mahasiswa merasa ketakutan apabila menemui permasalahan yang terkait dengan cara berkomunikasi. Mahasiswa merasa bahwa berkomunikasi menjadi sesuatu hal yang kurang menyenangkan untuk dilakukan. Perasaan negatif ini diungkapkan oleh beberapa mahasiswa PPGT angkatan 3. Mahasiswa 1 menyatakan bahwa “Saya kurang menyukai matakuliah bahasa Indonesia. Apalagi saya tidak pandai menyampaikan sesuatu jadi merasa takut karena takut membuat kesalahan”. Hal yang kurang lebih sama disampaikan oleh mahasiswa 3 yang menyatakan “bahwa ada beberapa rumpun mata kuliah yang setiap kali saya belajar saya tetap saja tidak paham misalnya yang berkaitan dengan cara berbicara atau menulis.Ini yang membuat saya tidak senang”. Perasaan negatif mahasiswa tersebut semakin lama semakin besar dan mendorong mahasiswa untuk cenderung menjahui mata kuliah yang berhubungan dengan bahasa Indonesia, misal dengan memberi porsi belajar yang lebih sedikit, jarang mencari sumber-sumber yang terkait dengan mata kuliah bahasa Indonesia, dll. Mahasiswa juga sudahmembuatrencana-rencanauntukmingguberikutnyadalamrefleksinya. Meskipundemikian, beberapamahasiswanampaknyamasihbelummampumembuatrencana yang lebihkonkrit.Sebagaicontohmahasiswa 7 yang menyatakanrencananyaadalah“saya akan belajartekun”. Perencanaan ini tentunya agak sedikit membingungkan ketika harus diimplementasikan. Belajar tekun tentunya akan lebih mudah dipahami apabila mahasiswa menentukan berapa jam dia akan mulai belajar? Bagaimana dia akan belajar?, Dimana dia akan belajar?dll. Oleh karena itu, perencanaandari beberapa mahasiswa masihperludirumuskanulang. Selain itu, berdasarkan hasil sharing bersama antara mentor dan mahasiswa ditemukan bahwa seringkali rasa malas menjadi kendala dari mahasiswa untuk melaksanakan perencanaannya. Berbagai macam tugas dan kesibukan membuat mereka menjadi kurang memperhatikan perencanaan yang telah mereka rancang sebelumnya. Dampaknya beberapa perencanaan pada kurang dapat berjalan dengan baik. Hasil dari refleksi akhir mahasiswa menunjukkan adanya perubahan dalam diri mahasiswa PPGT angkatan 3. Sebagian mahasiswa tersebut telah mampu untuk meningkatkan perasaan mereka terkait dengan rumpun mata kuliah yang sebelumnya cenderung negatif. Peningkatan yang terjadi cenderung belum tinggi, tetapi hal itu bukanlah suatu masalah. Perubahan dalam segi afektif memang tidak bisa terjadi secara instan butuh adanya proses dan waktu. Oleh karena itu, peningkatan yang terjadi dalam hal ini dapat dipandang sebagai suatu keberhasilan kecil untuk mengubah segi afektif dari mahasiswa. Harapannya perubahan yang terus menerus dan konstan akan dapat terjadi dan segi afektif mahasiswa akan berkembang dengan sangat baik yang pada akhirnya akan membantu mereka untuk berhasil. Perubahan ini nampak jelas dari ungkapanungkapan mahasiswa dalam refleksinya. Mahasiswa 1 menyatakan bahwa “Sikap saya adalah sudahmulai menyukai mata kuliahterkait bahasa Indonesia”. Hal yang serupa juga diungkapkan oleh mahasiswa 3 dan 4 yang menyatakan “saya juga sudah mulai berusaha untuk antusias dengan mata kuliah bahasa Indonesia, “Perasaan saya sudah mulai agak senang dengan matakuliah bahasa Indonesia”. Mahasiswa juga sudah mulai membuat rencana-rencana untuk minggu berikutnya dalam refleksinya. Perencanaan-perencanaan yang dibuat oleh mahasiswa juga sudah mulai mengalami perubahan. Perencanaan yang dibuat memang telah diusahakan untuk lebih konkrit dan tidak menimbulkan kebingungan. Hal ini nampak dari perencanaan yang dibuat oleh mahasiswa 1 yang menyatakan bahwa “saya akan mulai memberikan waktu khusus selama 1 jam setiap hari untuk mngerjakan tugas-tugas yang terkait dengan mata kuliah bahasa Indonesia”. Hal yang kurang lebih sama direncanakan juga oleh mahasiswa 2 yang menyatakan “saya akan pergi keperpustakaan seminggu 2 kali untuk membaca buku-buku yang terkait dengan mata kuliah bahasa Indonesia”. PENUTUP Hasil penelitian memberikan suatu gambaran bahwa telah terjadi suatu perubahan dalam diri mahasiswa terkait dengan perasaannya dalam mata kuliah yang berhubungan dengan bahasa Indonesia. Penggalian secara berkelanjutan dan refleksi pribadi yang dimonitoring secara terus menerus memberikan dampak pada perubahan yang positif dalam segi perasaaan yang ada dalam diri mahasiswa PPGT angkatan 3.
282
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
DAFTAR PUSTAKA Barret, Lisa Feldman dan Peter Salovey. (2002). The Wisdom in Feeling: Psychological Processes in Emotional Intelegences. New York: Gulfold Press. Borkowski, J., Carr, M., & Rellinger, E. (1994). Self-regulated cognition: Interdependence of metacognition, attributions, and self-esteem. In D. Schunk & B. Zimmerman (Eds.), SelfRegulation of learning and performance: Issues and educational applications (pp. 53-92). Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum. Burns, A. (2010). Doing action research in English language teaching: A guide for practitioners. New York: Routledge. Hutchinson, T., & Waters, A. (1987). English for specific purposes: A learning-centred approach. Cambridge: Cambridge University Press. Kanisius. 2010. Paradigma Pedagogi Reflektif. Yogyakarta: Kanisius. Kemmis, S., & McTaggart, R. (1988). Introduction: The nature of action research. In S. Kemmis & R.McTaggart (Eds.), The action research planner (pp. 5-28). Victoria: Deakin University. Laird, James D. (2007). Feelings: The Perception of Self .New York: Oxford University Press. Mbato, Consilianus Laos. (2013). Facilitating EFL Learners' Self Regulation in Reading :Implementing a Metacognitive Approach in anIndonesian Higher Education Context. Theses Unpublished. Lismore: Southern Cross University. Rusman. (2011). Model-Model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sardiman, A.M. (2011). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: RajawaliPress. Satriani, Intan. 2012. Contextual Teaching and Learning Approach to Teaching Writing. Indonesian Journal of Applied Linguistic. No. 1, Vol. 2. Sunaryo. (2002). Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta: Kedokteran EGC.
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
283
BUKU AJAR MEMBACA BERMUATAN PENDIDIKAN KARAKTER BAGI MAHASISWA PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA Haryadi *) FBS, Universitas Negeri Semarang
[email protected] [email protected] SARI Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsi (1) nilai-nilai pendidikan karakter yang dapat dimuatkan pada buku ajar membaca dan (2) bagian-bagian buku ajar membaca yang dapat dimuati pendidikan karakter. Penelitian ini menggunakan desain penelitian dan pengembangan atau research and development (R&D). Hasil penelitian ini adalah (1) nilai-nilai yang dapat dimuatkan pada buku ajar membaca, yaitu kejujuran, kedisiplinan, bekerja keras, kreatif, kemandirian, demokrasi, rasa ingin tahu, menghargai prestasi, berkomunikasi, dan gemar membaca, (2) bagian-bagian buku ajar membaca yang dimuati pendidikan karaktr adalah bab pendahuluan, tujuan pembelajaran, petunjuk, peta konsep, uraian materi, rangkuman, latihan, evaluasi, tugas, penilaian, referensi, dan refleksi. Kata kunci: buku ajar, membaca, dan pendidikan karakter
PENDAHULUAN Perkuliahan yang berkualitas perlu didukung oleh buku ajar yang berkualitas. Buku ajar berperan penting untuk membantu tugas mahasiswa sebagai pelajar, dosen sebagai pengajar, dan perguruan tinggi sebagai penyelenggara pendidikan (Pannen dan Purwanto 2005:6). Bagi mahasiswa, buku ajar dapat digunakan sebagai pegangan dalam perkuliahan sehingga mereka dapat mengkaji materi perkuliahan dari buku ajar yang digunakan. Di samping itu, buku ajar dapat digunakan mahasiswa sebagai sumber informasi tambahan, pelengkap atau perbandingan dengan informasi lain yang sudah dimiliki. Buku ajar mata kuliah dibuat berdasarkan tujuan instruksional (kompetensi dasar) yang hendak dicapai setelah perkuliahan selesai (Pannen dan Purwanto 2005:9). Tujuan instruksional dijabarkan dari kurikulum yang berlaku di perguruan tinggi. Kurikulum perguruan tinggi mencakup empat komponen, yaitu komponen dasar umum, bidang studi, proses belajar-mengajar (perkuliahan), dan dasar kependidikan (Tarigan dan Tarigan 2009:2). Komponen yang keempat berlaku bagi perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan keguruan. Komponen dasar umum berisi tujuan penyelenggaraan pendidikan di perguruan tinggi dan kompetensi-kompetensi yang dimiliki oleh mahasiswa, yaitu kompetensi personal, sosial, dan kultural. Komponen bidang studi berisi mata kuliah-mata kuliah yang akan diajarkan. Komponen proses belajar-mengajar (perkuliahan) berisi bahan ajar perkuliahan dan cara penyajiannya berupa pendekatan dan metode perkuliahan. Dasar kependidikan berisi muatan pembentukan secara khas tenaga kependidikan. Buku ajar sebagai sarana pendidikan dibuat untuk mendukung tercapainya tujuan pendidikan nasional dan mendukung program pemerintah. Pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan warga negara yang demokrasi serta bertanggung jawab (Aqib dan Rohmanto 2008:37). Saat ini pemerintah melalui jalur pendidikan mempunyai program pembangunan karakter bagi warga negaranya. Pendidikan karakter menjadi penting untuk melengkapi pendidikan keilmuan ketika bangsa ini membutuhkan manusia yang memiliki karakter yang kuat dan tegar, yaitu posisi penting dan strategis dilembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif bahkan diposisi penting di swasta, manusia berkarakter sangat urgen (Asah-Asuh 2010:1). Pemerintah mengupayakan secara optimal pembentukan karakter bagi kaum terpelajar. Pembentukan karakter dilakukan dengan melalui jalur pendidikan yang akan mencetak generasi muda penerus bangsa yang berakhlakul karimah. Pada jalur pendidikan formal, pembentukan karakter dimulai dari jenjang pendidikan SD sampai dengan perguruan tinggi. Pembentukan karakter di SD sampai dengan perguruan selama ini hanya dibebankan pada mata pelajaran atau
284
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
mata kuliah yang berkaitan dengan moral, yaitu agama dan kewarganegaraan. Namun, mulai tahun 2010 pembentukan karakter peserta dibebankan dan menjadi kewajiban pada mata pelajaran atau mata kuliah yang lainnya yang diajarkan di sekolah dan di perguruan tinggi. Upaya yang bisa dilakukan diantaranya membuat buku ajar bermuatan nilai-nilai pendidikan karakter sehingga dapat membentuk mahasiswa yang mempunyai karakter yang dapat diteladani peserta didiknya. Dosen perlu kiranya mempersiapkan buku ajar yang dapat digunakan untuk pembelajaran dan pengembangan karakter karena salah satu faktor yang mempengaruhi pendidikan karakter dalam dunia pendidikan adalah buku ajar (Masrukhi 2009:108). Salah satu buku ajar yang perlu dibuat untuk mahasiswa Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia adalah buku ajar membaca. TINJAUAN PUSTAKA Buku ajar adalah bahan-bahan atau materi perkuliahan yang disusun secara sistematis yang digunakan dosen dan mahasiswa dalam proses (Pannen dan Purwanto 2005:6-7). Batasan buku ajar juga diungkapkan oleh Widodo dan Jasmadi (2008:40). Menurut mereka, buku ajar merupakan sarana atau alat pembelajaran yang berisi materi pembelajaran, metode, batasan-batasan, dan cara mengevaluasi yang didesain secara sistematis dan menarik dalam rangka mencapai tujuan yang diharapkan, yaitu mencapai kompetensi atau subkompetensi dengan segala kompleksitasnya. Dua batasan tentang buku ajar yang relevan diutarakan oleh Muslich dan Prastowo. Muslich (2010:50) mengatakan bahwa buku ajar merupakan salah satu jenis buku pendidikan yang berisi uraian tentang materi pelajaran atau bidang studi yang disusun secara sistematis dan telah diseleksi berdasarkan tujuan tertentu, orientasi pembelajaran, dan perkembangan siswa (mahasiswa) untuk diasimilasikan. Prastowo (2011:166-167) mengatakan bahwa buku ajar merupakan buku yang berisi suatu ilmu pengetahuan hasil analisis terhadap kurikulum dalam bentuk tertulis yang ditulis oleh seorang pengarang atau tim pengarang yang disusun berdasarkan kurikulum atau tafsiran kurikulum yang berlaku. Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa buku ajar adalah salah satu jenis buku pendidikan yang berisi materi pelajaran atau perkuliahan bidang tertentu, metode, latihan, rangkuman, evaluasi yang disusun secara sistematis dan menarik untuk mencapai tujuan pembelajaran. Para ahli memberi batasan membaca yang berbeda-beda berdasar pada sudut pandang yang dipakainya sehingga definisi membaca berjumlahnya banyak. Para ahli umumnya baru bersepakat dalam satu hal, yaitu bahwa proses yang kompleks untuk pemahaman isi bacaan. Berdasarkan kekompleksan dalam membaca, definisi membaca yang beragam dan jumlahnya yang banyak dapat diklasifikas menjadi empat, yaitu pengertia belum kompleks, cukup kompleks, kompleks, dan sangat kompleks. Batasan membaca yang paling luas adalah yang sangat kompleks, yaitu membaca sebagai proses pengenalan dan penyandian kembali, pemahaman simbol-simbol tertulis dan memberikan reaksi kritis terhadap bacaan dalam menentukan signifikasi, nilai, fungsi, dan hubungan isi bacaan itu dengan suatu masalah kehidupan yang lebih luas serta dampak dari masalah yang dipaparkan penulis, dan mampu berpikir secara kreatif berdasarkan hasil bacanya untuk kepentingan sehari-hari (Rahim 2005:3, Nurhadi 2004:60). Karakter adalah ciri khas yang dimiliki oleh suatu benda ataun individu (Kertajaya 2010:3). Hidayatullah (2010:13) menyatakan bahwa karakter adalah kualitas atau kekuatan mental atau moral, akhlak atau budi pekerti individu yang merupakan kepribadian khusus yang menjadi pendorong dan penggerak serta yang membedakan dengan individu. Menurut Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa karakter adalah kumpulan atau gabungan nilai yang melekat kuat pada pemiliknya (individu) yang menjadi perangai, kebiasaan atau perbuatan dalam atau tercermin pada pikiran dan tingkah laku yangbersifat khas dari setiap individu sebagai pendorong dan penggerak yang diperoleh dari bawaan dan bentukan lewat pendidikan dan kontak lingkungan. Pendidikan karakter merupakan keseluruhan dinamika relasioanl antarpribadi dengan berbagai macam dimensi, baik dari dalam maupun dari luar dirinya, agar pribadi itu semakin dapat menghayati kebebasannya sehingga ia dapat semakin bertanggung jawab atas pertumbuhan sendirinya sendiri sebagai pribadi dan perkembangan orang lain dalam hidup mereka. Karena pendidikan karakter bersifat khas individual, pendidikan karakter perlu memperhatikan potensi diri yang dimiliki individu atau berbasis potensi diri. Menurut Khan (2010:14), pendidikan karakter PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
285
berbasis potensi diri (individu) merupakan pendidikan yang tidak saja membimbing dan membina setiap anak didik untuk memiliki kompetensi intelektual, keterampilan mekanik, dan pembangunan karakter. Nilai-nilai yang dapat digunakan dalam pendidikan budaya dan karakter ada delapan belas, yaitu religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandidi, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab (Kementrian Pendidikan Nasional 2010). METODE PENELITIAN Desain penelitian yang digunakan adalah desain penelitian dan pengembangan atau research and development (R & D). Dari sepuluh tahapan research and development dari Borg dan Gall (1983:775–776), yang digunakan dua tahap, yaitu (1) penelitian dan pengumpulan data atau informasi tentang kebutuhan pengembangan produk, (2) perencanaan penyusunan pengembangan produk. Data penelitian ini adalah data kebutuhan mahasiswa dan dosen terhadap buku ajar membaca yang bermuatan nilai-nilai pendidikan karakter. Alat dan teknik pengumpul data penelitian ini berupa angket dan FGD. Teknik yang digunakan dalam menganalisis data penelitian ini adalah kualitatif dan kuantitatif. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANNYA 1.
Kebutuhan Mahasiswa dan Dosen terhadap Muatan Pendidikan Karakter pada Buku Ajar Membaca
Kebutuhan mahasiswa dan dosen terhadap muatan pendidikan karakter terdiri atas dua aspek kebutuhan. Kedua aspek kebutuhan tersebut adalah aspek nilai-nilai yang dimuatkan dan bagianbagian yang dimuati nilai-nilai pendidikan karakter. Nilai-nilai yang dimuatkan pada bahan ajar membaca adalah nilai kejujuran, kedisiplinan, kerja keras, kreatif, kemandirian, demokrasi, rasa ingin tahu, menghargai prestasi, komunikasi, dan gemar membaca. Berdasarkan hasil analisis data penelitian, kebutuhan mahasiswa terhadap bagian-bagian bahan ajar yang dimuatan nilai-nilai pendidikan karakter dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel Kebutuhan Mahasiswa terhadap Bagian Buku Ajar yang Dimuatai Nilai-Nilai Pendidikan Karakter ASPEK SUBASPEK KEBUTUHAN HASIL Bagian Tujuan Dicantumkan secara eksplisit pada KD 44% yang Pembelajaran dimuati Petunjuk Dicantumkan dalam bentuk cara 63% melakukan Peta konsep Mengkritisi dengan cara berdiskusi 65% Uraian Ada ilustrasinya 45% Materi Rangkuman Mencantumkan kriteria penilaian 67% Latihan Aturan mengerjakan latihan 40% Evaluasi Aturan mengerjakan evaluasi 45% Tugas Aturan mengerjakan tugas 38 Penilaian Mencantumkan kriteria penilaian 51 Referensi Menilai kebenaran referensi yang 58 digunakan Refleksi Meminta mahasiswa merefleksi 49 Pada bagian tujuan pembelajaran, nilai-nilai karakter dimuatkan dengan cara dicantumkan secara eksplisit pada indikator. Jawaban tersebut merupakan jawaban yang terbanyak dibandingkan jawaban lainnya, yaitu 40%. Alasan dosen memilih itu adalah hal tersebut perlu dilakukan, indikator dapat digunakan untuk memuat nilai karakter, agar lebih jelas nilai-nilainya, agar lebih efketif. Pada bagian petunjuk, nilai-nilai karakter dapat dimuatkan dengan cara dicantumkan dalam bentuk cara melakukan. Jawaban tersebut merupakan jawaban yang terbanyak dibandingkan
286
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
jawaban lainnya, yaitu 71%. Alasan dosen memilih itu adalah lebih baik seperti tiu, hal tersebut perlu dilakukan, agar lebih jelas cara melakukannya. Pada bagian peta konsep, nilai-nilai karakter dapat dimuatkan dengan cara mahasiswa mengkritisi melalui berdiskusi. Jawaban tersebut merupakan jawaban yang terbanyak dibandingkan jawaban lainnya, yaitu 80%. Alasan dosen memilih itu adalah kalimatnya lebih halus, lebih dapatberpikir kritis, mahasiswa bisa melakukan kerja sama, mahasiswa mempunyai tanggung jawab, hasilnya akan lebih baik. Pada bagian uraian materi, nilai-nilai karakter dapat dimuatkan dengan carauraian matei ada slogan. Jawaban tersebut merupakan jawaban yang terbanyak dibandingkan jawaban lainnya, yaitu 33%. Alasan dosen memilih itu adalahdapatmemotivasi mahasiswa, hal tersebut perlu dilakukan, memuat pesan moral yang benar, lebih mengena. Pada bagian rangkuman, nilai-nilai karakter dapat dimuatkan dengan cara mencantumkan aturan merangkum. Jawaban tersebut merupakan jawaban yang terbanyak dibandingkan jawaban lainnya, yaitu 71%. Alasan dosen memilih itu adalah seperti itu sudah baik, hal tersebut perlu dilakukan, dapat digunakan untuk memuatkan nilai karakter, mahasiswa jelas tentang apa yang perlu dilakukan, agar mahasiswa tahu tata cara merangkum. Pada bagian latihan, nilai-nilai karakter dapat dimuatkan dengan cara mencantumkan aturan mengerjakan latihan. Jawaban tersebut merupakan jawaban yang terbanyak dibandingkan jawaban lainnya, yaitu 50%. Alasan dosen memilih itu adalah cara yang baik untuk memuatkan nilai karakter, hal tersebut perlu dilakukan, mahasiswa bisa lebih jelas cara mengerjakan latihan, hasilnya akan lebih efektif. Pada bagian evaluasi, nilai-nilai karakter dapat dimuatkan dengan cara mencantumkan aturan mengerjakan evaluasi. Jawaban tersebut merupakan jawaban yang terbanyak dibandingkan jawaban lainnya, yaitu 44%. Alasan dosen memilih itu adalah cara yang baik untuk memuatkan nilai karakter, hal tersebut perlu dilakukan, mahasiswa bisa lebih jelas cara mengerjakan latihan, hasilnya akan lebih efektif. Pada bagian tugas mandiri, nilai-nilai karakter dapat dimuatkan dengan cara mencantumkan aturan mengerjakan tugas mandiri. Jawaban tersebut merupakan jawaban yang terbanyak dibandingkan jawaban lainnya, yaitu 40%. Alasan dosen memilih itu adalah cara yang baik untuk memuatkan nilai karakter, hal tersebut perlu dilakukan, mahasiswa bisa lebih jelas cara mengerjakan latihan, hasilnya akan lebih efektif, agar mahasiswa bisa luwes/fleksibel dalam mengerjakannya. Pada bagian penilaian, nilai-nilai karakter dapat dimuatkan dengan cara mencantumkan kriteria penilaian. Jawaban tersebut merupakan jawaban yang terbanyak dibandingkan jawaban lainnya, yaitu 50%. Alasan dosen memilih itu adalah cara yang baik untuk memuatkan nilai karakter, hal tersebut perlu dilakukan, mahasiswa bisa mempunyai prestasi yang maksimal, akan memotivasi mahasiswa untuk belajar lebih tekun. Pada bagian referensi, nilai-nilai karakter dapat dimuatkan dengan cara menilai kebenaran referensi yang digunakan. Jawaban tersebut merupakan jawaban yang terbanyak dibandingkan jawaban lainnya, yaitu 50%. Alasan dosen memilih itu adalah cara yang baik untuk memuatkan nilai karakter, hal tersebut perlu dilakukan, mahasiswa bisa lebih hati-hati dan cermat dalam mencantumkan referensi, cara untuk membangun karakter mahasiswa. Pada bagian refleksi, nilai-nilai karakter dapat dimuatkan dengan carameminta mahasiswa merefleksi secara lengkap. Jawaban tersebut merupakan jawaban yang terbanyak dibandingkan jawaban lainnya, yaitu 57%. Alasan dosen memilih itu adalah cara yang baik untuk memuatkan nilai karakter, hal tersebut perlu dilakukan, mahasiswa agar lebih memahami karakter, kemampuan komprehensif lebih terarah. 2.
Prinsip-Prinsip Pemuatan Nilai-Nilai Pendidikan Karakter pada Buku Ajar Membaca
Prinsip-prinsip pemuatan nilai-nilai pendidikan karakter pada buku ajar membaca meliputi dua aspek, yaitu (1) nilai-nilai yang dimuatkan, yang bersubaspek kejujuran, kedisiplinan, kerja kersa, kreatif, mandiri, demokrasi, rasa ingin tahu, menghargai prestasi, bersahabat/berkomunikasi, gemar membaca, (2) bagian-bagian yang dimuati, yang bersubaspek bab pendahuluan, tujuan pembelajaran, petunjuk, peta konsep, uraian materi, rangkuman, latihan, evaluasi, tugas, penilaian, referensi, dan refleksi. PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
287
Prinsip-prinsip pemuatan nilai kejujuran pada buku ajar membaca adalah (1) contoh tujuan pembelajaran yang memuat nilai kejujuran adalah mahasiswa dapat menjelaskan pegertian membaca dengan apa adanya seseuai kemampuan, (2) agar dapat melaksanakan perkuliahan sesuai dengan aturan akademik, mahasiswa perlu memahami silabus dan tujuan pembelajaran, (3) sebelum kuliah mahasiswa ditugasi membaca materi perkuliahan. Agar melakukan kegiatan itu, mahasiswa diminta untuk menandai bagian-bagian penting materi yang dibaca, (4) agar mahasiswa tidak menyontek atau tidak menjadi plagiat dalam mengerjakan latihan, evaluasi, tugas mandiri; dalam bahan ajar perlu ada sanksi yang berat atau diberi nilai E, (5) sanksi yang diberikan kepada mahasiswa yang menyontek atau menjadi plagiat adalah diberi tambahan tugas yang banyak, (6) untuk memberi dorongan agar mahasiswa tidak menyontek atau tidak menjadi plagiat, dalam bahan ajar perlu ada kata bijak, (7) pengondisian yang perlu dilakukan agar mahasiswa tidak menyontek atau tidak menjadi plagiat dalam mengerjakan latihan, evaluasi, tugas mandiri adalah open books dan tipe soal beda, (8) supaya mengerjakan latihan, evaluasi, dan tugas sesuai kemampuan; mahasiswa perlu percaya diri, (9) referensi yang digunakan untuk mengerjakan tugas ditulis sesuai yang ada pada tugas; secara cermat, sesuai yang ada pada tugas, sesuai aturan penulisan, (10) untuk mengecek referensi yang digunakan dalam tugas, mahasiswa perlu menunjukkan dalam bentuk soft copy atau hard copy, (11) mahasiswa mengungkapkan keberhasilan dan kekurangannya dalam mengkaji bahan ajar sesuai yang dialami, dan (12) mahasiswa mengungkapkan pendapatnnya tentang kelebihan dan kelemahan bahan ajar membaca sesuai pendapatnya. Prinsip-prinsip pemuatan nilai kedisipinan pada buku ajar membaca adalah (1) contoh tujuan pembelajaran yang memuat nilai kedisiplinan adalah mahasiswa dapat menjelaskan pegertian membaca dengan tertib dan patuh; mahasiswa dapat menjelaskan pengertian membaca secara disiplin, (2) agar dapat disiplin dalam mengikuti perkuliahan, mahasiswa perlu memahami tujuan pembelajaran, (3) untuk memberi dorongan agar mahasiswa disiplin mengikuti perkuliahan, dalam bahan ajar perlu ada kata bijak, (4) agar dapat mengkaji materi secara tertib, mahasiswa perlu membaca uraian materi secara bertahap, (5) mahasiswa mengaji materi secara tertib secara urut; dari bab satu ke bab lainnya, (6) agar dapat mengkaji bahan ajar dengan disiplin (tertib dan patuh), dalam bahan ajar perlu ada petunjuk yang jelas dan rinci, (7) agar mau mengerjakan latihan, evaluasi, dan tugas secara tertib; mahasiswa perlu tahu nilai yang diperoleh jika mengerjakan, (8) agar mau membaca bahan ajar sesuai waktu yang ditentukan, mahasiswa perlu memahami petunjuk, (9) agar dapat mengumpulkan latihan dan tugas tepat waktu, mahasiswa perlu mengetahui waktu pengumpulan, (10) mahasiswa mengerjakan dan mengumpulkan tugas mandiri sesuai waktu yang disepakati atau waktu yang telah ditentukan, (11) mahasiswa mengerjakan dan mengumpulkan tugas mandiri bentuk, isi, sistematika sesuai petunjuk, (12) agar dapat mengerjakan latihan, evaluasi, dan tugas sesuai prosedur; dalam bahan ajar perlu ada petunjuk mengerjakan, dan (13) mahasiswa menulis referensi sesuai pedoman penulisan karya ilmiah secara umum. Prinsip-prinsip pemuatan nilai kerja keras pada buku ajar membaca adalah (1) contoh tujuan pembelajaran yang memuat nilai kerja keras adalah mahasiswa dapat menjelaskan pegertian membaca dengan sungguh-sungguh, (2) agar dapat mengkaji bahan ajar dengan sungguh-sungguh, mahasiswa perlu memahami manfaat membaca bahan ajar dan atau tujuan membaca bahan ajar, (3) setelah membaca uraian materi setiap bab, mahasiswa diminta membuat catatan dalam bentuk uraian, (4) untuk memberi dorongan agar mahasiswa bekerja keras dalam mengikuti perkuliahan, dalam bahan ajar perlu ada kata bijak, (5) agar dapat mengkaji bahan ajar secara efektif dan efisien, mahasiswa perlu memilih strategi membaca yang tepat, (6) mahasiswa dalam mengkaji bahan ajar menerapkan berbagai teknik membaca, (7) jika ada kesulitan dalam mengkaji bahan ajar dan mengerjakan tugas, mahasiswa diminta untuk mendiskusikan dengan teman, (8) sebelum tugas dikumpulkan (agar baik), mahasiswa diminta untuk meneliti secara berulang, (9) untuk mendalami materi yang sudah dikaji, mahasiswa diberi tugas membaca sumber lain yang relevan dari buku dan atau jurnal, dan (10) untuk dapat mengkaji materi dengan baik, mahasiswa perlu membaca secara teliti dan seksama. Prinsip-prinsip pemuatan nilai kreatif pada buku ajar membaca adalah (1) contoh tujuan pembelajaran yang memuat nilai kreatif adalah mahasiswa dapat menjelaskan pegertian membaca dengan berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki, (2) setelah membaca uraian materi, mahasiswa perlu diminta pendapatnya mengenai
288
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
pokok-pokok informasi atau semua informasi yang ada pada bahan ajar membaca, (3) agar dapat mengembangkan materi yang telah dikuasai, mahasiswa perlu diminta untuk membuat pendapat baru yang berupa definisi dan atau konsep, dan (4) untuk memberi dorongan agar mahasiswa disiplin mengikuti perkuliahan, dalam bahan ajar perlu ada kata bijak. Prinsip-prinsip pemuatan nilai kemandirian pada buku ajar membaca adalah (1) contoh tujuan pembelajaran yang memuat nilai kemandirian adalah mahasiswa dapat menjelaskan pegertian membaca dengan tidak bergantung pada orang lain, (2) untuk memberi dorongan agar mahasiswa mandiri dalam mengikuti perkuliahan, dalam bahan ajar perlu ada kata bijak, (3) setelah membaca uraian materi, mahasiswa diminta untuk menuangkan gagasannya secara mandiri, (4) agar mahasiswa dapat mendalami dan mengembangkan pemahaman yang diperoleh, mahasiswa mengkaji materi secara mandiri dengan cara membaca sumber lain di luar bahan ajar, (5) mahasiswa diberi kemandirian untuk membuat rangkuman, (6) merefleksi secara mandiri bahan ajar yang telah dikaji dengan cara memberi saran, (7) mahasiswa dapat mencari referensi secara mandiri di internet, Prinsip-prinsip pemuatan nilai demokrasi pada buku ajar membaca adalah (1) contoh tujuan pembelajaran yang memuat nilai demokrasi adalah mahasiswa dapat menjelaskan pegertian membaca dengan berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain, (2) untuk memberi dorongan agar mahasiswa mandiri dalam mengikuti perkuliahan, dalam bahan ajar perlu ada kata bijak, (3) mahasiswa diberi kesempatan untuk mengurangi dan atau menambah tujuan pembelajaran bermusyawarah/berdiskusi, (4) mahasiswa diberi pilihan/kesempatan mengurangi dan atau menambah materi semua bab, (5) mahasiswa diberi pilihan/kesempatan menambah materi kelompok/diskusi, (6) mahasiswa diberi pilihan mengerjakan latihan dan tugas mandiri pada setiap bab, (7) mahasiswa diberi kebebasan dalam memilih referensi dari buku dan atau jurnal, (8) mahasiswa diberi kebebasan memberi refleksi sesuai pandangannya pada akhir setiap bab. Prinsip-prinsip pemuatan nilai rasa ingin tahu pada buku ajar membaca adalah (1) contoh tujuan pembelajaran yang memuat nilai rasa ingin tahu adalah mahasiswa dapat menjelaskan pegertian membaca dengan bersikap dan bertindak yang selalu berupaya untuk mengetahuai lebih mendalam dan luas dari sesuatu yang dipelajarinya, (2) untuk memberi dorongan agar mahasiswa rasa ingin tahu dalam mengikuti perkuliahan, dalam bahan ajar perlu ada kata bijak, (3) untuk menumbuhkan rasa/nilai ingin tahu, mahasiswa diminta mengembangkan materi dengan cara membaca dari berbagai sumber, yaitu buku dan jurnal, (4) untuk menumbuhkan rasa/nilai ingin tahu kepada mahasiswa diminta mengembangkan materi dengan cara bertanya kepada dosen pengampu; sesama teman dan atau dosen pengampu, (5) untuk menumbuhkan rasa/nilai ingin tahu, dalam bahan ajar terdapatmateri pengayakan. Prinsip-prinsip pemuatan nilai menghargai prestasi pada buku ajar membaca adalah (1) contoh tujuan pembelajaran yang memuat nilai menghargai prestasi adalah mahasiswa dapat menjelaskan pegertian membaca dengan bersikap dan bertindak mendorong dirinya menghasilkan sesuatu yang berguna, mengaku, dan menghormati keberhasilan orang lain, (2) untuk memberi dorongan agar mahasiswa menghargai prestasi dalam mengikuti perkuliahan, dalam bahan ajar perlu ada kata bijak, (3) untuk dapat mempunyai prestasi/nilai yang baik, mahasiswa perlu membaca bahan ajar secara efektif dan efisien dan membaca bahan ajar secara kontinyu, dan (4) untuk mendorong mahasiswa berprestasi yang maksimal, mahasiswa diberi nilai A. Prinsip-prinsip pemuatan nilai bersahabat atau berkomunikasi pada buku ajar membaca adalah (1) contoh tujuan pembelajaran yang memuat nilai komunikatif adalah mahasiswa dapat menjelaskan pegertian membaca dengan tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain, (2) untuk memberi dorongan agar mahasiswa bekerjasama dalam mengikuti perkuliahan, dalam bahan ajar perlu ada kata bijak, (3) mahasiswa dapat melakukan bekerja sama pada saat mengurangi dan menambah tujuan pembelajaran dan mengkaji uraian materi, dan (4) mahasiswa mengurangi, melengkapi dan atau memperbaiki bahan ajar dengan cara berdiskusi dengan teman serombel/kelas. Prinsip-prinsip pemuatan nilai gemar membaca pada buku ajar membaca adalah (1) contoh tujuan pembelajaran yang memuat nilai gemar membaca adalah mahasiswa dapat menjelaskan pegertian membaca dengan membiasakan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya, (2) untuk memperkaya pemahaman tentang materi PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
289
membaca yang telah dikuasai, mahasiswa perlu membaca buku atau tulisan dari berbagai ilmu yang relevan, yaitu linguistik, (3) agar dapat mengembangkan ilmu yang telah dipahami dari uraian materi, mahasiswa perlu membaca berbagai sumber bacaan yang relevan, yaitu buku danatau jurnal, (4) agar dapat menguasai bahan ajar membaca, mahasiswa perlu menyediakan waktu yang cukup untuk membaca bahan ajar membaca dengan cara membuat jadwal sendiri, (5) untuk memberi dorongan agar mahasiswa gemar membaca bahan ajar membaca dan referensi yang relevan, dalam bahan ajar perlu ada kata bijak, (6) selain nilai kejujuran, kedisiplinan, kerja keras, kreatif, mandiri, demokrasi, rasa ingin tahu, menghargai prestasi, komunikasi, gemar membaca; nilai-nilai lain yang dapat dimuatkan pada bahan ajar membaca adalah nilai tanggung jawab, semangat kebangsaan,dan religius, dan (7) nilai-nilai tersebut dapat dimuatkan dengan cara mencantumkan kata-kata pemantik (contohnya: kata bijak) pada uraian materi . Prinsip-prinsip pemuatan nilai-nilai pendidikan karakter pada bagian-bagian buku ajar membaca adalah (1) pada bagian tujuan pembelajaran, nilai-nilai karakter dimuatkan dengan cara dicantumkan secara eksplisit pada kompetensi dasar; dicantumkan secara eksplisit pada indikator, (2) pada bagian petunjuk, nilai-nilai karakter dapat dimuatkan dengan cara dicantumkan dalam bentuk cara melakukan, (3) pada bagian peta konsep, nilai-nilai karakter dapat dimuatkan dengan cara mahasiswa mengkritisi dengan cara berdiskusi, (4) pada bagian uraian materi, nilai-nilai karakter dapat dimuatkan dengan cara uraian materi ada ilustrasi, (5) pada bagian rangkuman, nilainilai karakter dapat dimuatkan dengan cara mencantumkan kriteria penilaian merangkum, (6) pada bagian latihan, nilai-nilai karakter dapat dimuatkan dengan cara mencantumkan aturan mengerjakan latihan, (7) pada bagian evaluasi, nilai-nilai karakter dapat dimuatkan dengan cara mencantumkan aturan mengerjakan evaluasi, (8) pada bagian tugas mandiri, nilai-nilai karakter dapat dimuatkan dengan cara mencantumkan aturan mengerjakan tugas mandiri, (9) pada bagian penilaian, nilai-nilai karakter dapat dimuatkan dengan cara mencantumkan kriteria penilaian, (10) pada bagian referensi, nilai-nilai karakter dapat dimuatkan dengan cara menilai kebenaran referensi yang digunakan, dan (11) pada bagian refleksi, nilai-nilai karakter dapat dimuatkan dengan cara meminta mahasiswa merefleksi secara lengkap dan meminta mahasiswa merefleksi apa adanya. Pemuatan nilai-nilai pendidikan karakter tidak pada bagian materi ajar, tetapi pada bagian-bagian lain dari buku ajar. Bagian-bagian buku ajar ini yang dimuatai nilai-nilai pendidikan karakter adalah sampul depan dan belakang buku ajar, bab pendahuluan (kompetensi, strategi perkuliahan, dan ilustrasi), bab isi, bab penutup (simpulan dan ilustrasi), dan penyudah (uji kompetensi). Bagian-bagian bab isi yang dimuati nilainilai pendidikan karakter adalah tujuan pembelajaran, petunjuk mengkaji uraian materi, kriteria penilaian, rangkuman, latihan, evaluasi, tugas, refleksi, dan ilustrasi. 3.
Pembahasan Hasil Penelitian
Nilai-nilai pendidikan karakter yang dimuatkan pada buku ajar membaca adalah nilai kejujuran, kedisiplinan, kerja keras, kreatif, kemandirian, demokrasi, rasa ingin tahu, menghargai prestasi, komunukasi, dan gemar membaca. Nilai-nilai tersebut sesuai dengan nilai-nilai yang terdapat pada nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa (Kemendiknas 2010). Pemuatan nilai-nilai tersebut pada buku ajar membaca relevan dengan temuan penelitian yang dilakukan Kosasih (2010). Dalam penelitiannya, ia memuatkan nilai-nilai (kecakapan hidup) yang pada buku teks SMK. Nilai-nilai yang dimuatkannya adalah kesadaran potensi diri, kecakapan berpikir, kecakapan bekerja sama, kecakapan berkomunikasi, dan kecakapan akademik. Muatan nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat pada buku ajar membaca hasil penelitian ini relevan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Revell dan Arthur (2007) dan Masrukhi (2009). Kesesuaian hasil penelitian ini dan hasil penelitian Revell dan Arthur (2007) ada pada perlunya penerapan pendidikan karakter untuk calon guru dan guru. Penelitian ini menerapkan pendidikan karakter dengan cara memutakan nilai-nilai pendidikan karakter pada buku ajar membaca yang merupakan bahan ajar yang digunakan dalam mata kuliah membaca. Dengan cara seperti itu diharapkan dapat menumbuhkan perilaku yang baik kepada mahasiswa sesuai nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung pada buku ajar membaca. Penelitian Revell dan Arthur (2007) merekomendasikan perlunya penerapan pendidikan karakter pada pelatihan guru. Guru perlu berperilaku dan bertindak secara tepat sesuai pendidikan karakter, guru harus menjadi teladan, 'guru mendorong murid menerapkan moral, dan guru harus terlibat dalam proses pendidikan karakter.
290
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
Kesesuaian hasil penelitian ini dan penelitian yang telah dilakukan Masrukhi (2009) adalah pada perlunya upaya membangun pendidikan karakter. Upaya yang dilakukan pada penelitian ini untuk membangun pendidikan karakter adalah dengan memasukkan nilai-nilai pendidikan karakter pada buku ajar membaca yang digunakan oleh mahasiswa. Nilai-nilai pendidikan karakter yang diupayakan dibangun adalah nilai kejujuran, kedisiplinan, kerja keras, kreatif, mandiri, demokrasi, rasa ingin tahu, menghargai prestasi, komunikasi, dan gemar membaca. Pembangunan karakter yang diupayakan dalam penelitian Masrukhi (2009) dengan melalui pembelajaran pendidikan kewarganegaraan. Dalam pembelajaran pendidikan kewarganegaraan faktor yang mempengaruhi pembangunan karakter adalah faktor apresiasi guru pendidikan kewarganegaraan terhadap pendidikan karakter, kepemimpinan kepala sekolah dalam mendukung pembelajaran mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan, kultur sekolah dalam mendukung pembelajaran mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan, dan rancangan pembelajaran mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan yang mengintegrasikan pendidikan karakter. Hal yang baru lagi dari hasil penelitian ini adalah adanya ilustrasi pada setiap bab pada buku ajar ini. Ilustrasi tersebut berupa kata bijak yang berasal dari berbagai suku bangsa yang ada di Nusantara dan tokoh dunia. Kata bijak yang berasal dari berbagai suku bangsa yang ada di Nusantara digunakan untuk menanamkan nilai-nilai luhur yang dianut bangsa Indonesia pada mahasiswa, sedangkan kata bijak dari tokoh dunia digunakan untuk memberi inspirasi kepada mahasiswa untuk berpikir mendunia. Tujuan dihadirkannya kata bijak tersebut adalah agar mahasiswa berperilaku sesuai nilai-nilai luhur yang telah dianut bangsa Indonesia dan berilmu yang luas. Hal itu sesuai dengan prinsip hidup yang dianut dan dilaksanakan oleh bangsa Jepang sehingga negara tersebut menjadi negara maju. Prinsip hidup itu berbunyi, “Berprilaku secara lokal dan berpikir secara internasional.” Hasil penelitian ini dapat digunakan acuan dalam mengimplementasikan nilai-nilai pendidikan karakter pada buku ajar atau buku teks yang digunakan di sekolah. Penelitian ini telah menghasilkan sebuah buku ajar yang bermuatan nilai-nilai pendidikan karakter yang relevan dengan yang tercantum pada kompetensi inti. Selain itu, penilain dalam buku ajar hasil penelitian ini sudah menggunakan alat penilaian dengan memperhatikan nilai-nilai pendidikan karakter, misalnya mahasiswa yang tidak jujur diberi nilai E (tidak lulus).
DAFTAR PUSTAKA Asah-Asuh: Membangun Karakter & Budaya Bangsa. 2010. Produk Pendidikan Karakter. Edisi 3/Th I, Mei 2010. Aqib, Zainal dan Elham Rohmanto. 2008. Membangun Profesionalisme Guru dan Pengawas Sekolah. Bandung: Yrama Widya. Borg, Walter R and Meredith Damien Gal. 1983. Educational Research: An Intruduction. New York: Longman. Hidayatullah, Furqon. 2010. Pendidikan Karakter. Surakarta: Yuma Pustaka. Kemendiknas. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta: Kemendiknas. Kertajaya, Hermawan. 2010. Grow with Character: The Model Marketing. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Khan, D. Yahya. 2010. Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri. Yogyakarta: Pelangi Publishing. Kosasih. 2010. “Analisis dan Penyusunan Model Buku Teks Bahasa Indonesia SMK Berbasis Pendidikan Kecakapan Hidup”. Disertasi. Bandung: UPI. Masrukhi. 2009. “Manajemen Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Pembangun Karakter”. Disertasi: Unnes. Muslich, Mansur. 2010. Text Book Writing: Dasar-Dasar Pemahaman, Penulisan, dan Pemakaian Buku Teks. Jogyakarta: Ar-Ruzz Media. Nurhadi. 2004. Bagaimana Meningkatkan Kemampuan Membaca: Suatu Teknik Memahami Literatur yang Efisien. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Pannen, Paulina dan Purwanto. 2005. Penulisan Bahan Ajar. Jakarta: Depdiknas.
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
291
Prastowo, Andi. 2011. Panduan KreatifMembuat Bahan Ajar Inovatif: Menciptakan Metode Pembelajaran yang Menarik dan Menyenangkan.Yogyakarta: DIVA Press. Rahim, Farida. 2005. Pengajaran Membaca di Sekolah Dasar. Jakarta: Bumi Angkasa. Revell, Lynn dan James Arthur. 2007. “Character Education in Schools and the Education of Teachers”. Journal of Moral Education. Vol. 36, No. 1, March 2007. London: Routledge Informa Ltd. www.4shared.com. (Diunduh 11-4-2010). Tarigan, Henry Guntur dan Djago Tarigan. 2009. Telaah Buku Teks Bahasa Indonesia. Bandung: Angkasa. Widodo, Chomsin S. dan Jasmadi. 2008. Panduan Menyusun Bahan Ajar Berbasis Kompetensi. Jakarta:PT Elex Media Komputinda.
292
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
PENGARUH METODE QUANTUM WRITING TERHADAP KETERAMPILAN MENULIS AKADEMIK Ida Bagus Artha Adnyana, Kadek Dwi Cahaya Putra Jurusan Administrasi Niaga Politeknik Negeri Bali surel:
[email protected] Telepon: 08124686285 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penerapan metode quantum dalam pembelajaran menulis akademik pada pendidikan vokasi S1-Terapan Politeknik Negeri Bali. Kajian ini dilakukan karena kemampuan mahasiswa untuk menulis masih kurang, padahal menulis merupakan bagian dari kemahiran berbahasa Indonesia. Objek kajian penelitian ini adalah proses pembelajaran menulis yang dilandasi dengan metode quantum writing di pendidikan vokasi S1-terapan Politeknik Negeri Bali. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara, dan kuesioner dan selanjutnya dianalisis dengan Mann-Whitney U-test. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 85,81 % responden mengatakan bahwa buku ajar yang dikembangkan ini sangat layak untuk mendukung proses pembelajaran menulis akademik. Hasil uji lapangan juga secara signifikan menunjukkan adanya peningkatan prestasi pebelajar. Mann-Whitney U=2.027,5, n1 = 53, n2 = 52, p < 0,05, r = 0,41. Kata kunci: metode quantum,keterampilan menulis akademik The Influence of Quantum Writing Method to Academic Writing Skill Abstract This research was conducted to examine the impact of quantum writing method on academic writing of undergraduate students studying at a vocational school in Bali. The rationale for the research was that the quality of students’ writing was still low, though writing is an integral part of mastering Indonesian language. The object studied was the writing learning process based on quantum method. Observation, interview, and questionnaire were used to gather the data which were then analyzed by using Mann-Whitney U-test. The result showed that 85,81% of the respondents perceived that the module developed could be well applied in the teaching learning process. The research also found that the module could significantly improve the learners’ writing skill. Mann-Whitney U=2.027,5, n1 = 53, n2 = 52, p < 0,05, r = 0,41. Key words: quantum method, academic writing skill
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
293
1. PENDAHULUAN Keterampilan menulis merupakan salah satu submateri pokok dalam pengajaran bahasa Indonesia di Politeknik Negeri Bali. Topik ini diberikan kepada mahasiswa semester satu atau semester dua, dengan tujuan agar mahasiswa memiliki keterampilan yang memadai dalam menulis, baik itu dalam menulis surat, laporan ilmiah, karya tulis ilmiah populer, dan artikel ilmiah. Subpokok bahasan yang diberikan dalam mendukung keterampilan menulis ini meliputi pengenalan ragam bahasa, pemahaman ejaan, pemakaian kalimat efektif, pembuatan paragraf, dan organisasi wacana. Metode pembelajaran yang digunakan saat ini masih bersifat konvensional dengan didukung oleh buku pegangan (hand-out) yang masih kental dengan gaya text book. Langkah-langkahnya, meliputi pemberian teori, latihan atau penugasan, dan presentasi karya tulis. Dilihat dari jenis sasaran yang baru tercapai, pemerolehan pengetahuan mahasiswa baru sampai pada tataran deklaratif (untuk mengetahui apa) dan pengetahuan prosedural (untuk mengetahui bagaimana). Sedangkan pengetahuan konstektualnya (kapan dan bagaimana) belum tersentuh. Demikian juga kalau dilihat dari sisi tujuan pembelajaran. Kemampuan mahasiswa tampaknya masih terbatas pada pengetahuan informasi verbal dan keterampilan intelektual. Penguasaan strategi kognitif belum mendapat sentuhan yang memadai. Hal lain yang dapat diketahui berkaitan dengan perilaku pengajar selama ini dalam mengasuh pembelajaran menulis perlu mendapat perhatian. Pengajar tidak menentukan tujuan menulis atau sasaran menulis. Pengajar kurang menuntun mahasiswa melalui proses menulis. Pengajar juga jarang menyediakan wacana yang baik sebagai model bagi pelajar. Pengajaran hanya memperhatikan produk yang berupa tulisan, itu pun sebatas ketepatan ejaan dan kerapian tulisan. Perilaku ini tampaknya berhubungan dengan kemampuan yang dapat dicapai oleh mahasiswa dalam pembelajaran menulis. Hal yang tidak jauh berbeda juga terjadi di pendidikan vokasi S1-Terapan, Politeknik Negeri Bali. Melalui pengamatan, tes awal, dan wawancara, diketahui mahasiswa umumnya mengalami kesulitan dalam menulis. Sebagai indikator bahwa menulis bagi mereka bukan hal yang gampang sehingga sangat sulit sekali memperoleh naskah dari mereka untuk penerbitan majalah kampus. Dalam setiap terbitan (kwartalan) paling banyak hanya dua atau tiga tulisan yang mampu dihasilkan oleh sekitar 225 mahasiswa S1-Terapan. Tulisan mahasiswa umumnya kurang koheren. Di samping itu, mahasiswa umumnya kurang menggemari pembelajaran menulis. Berdasarkan tes awal juga diketahui bahwa rata-rata akurasi kemampuan mereka dalam menerapkan ejaan hanya 62%. Keadaan ini diperparah dengan rendahnya budaya baca. Kondisi di atas perlu segera diatasi. Langkah-langkah praktis perlu segera ditemukan untuk mengatasi kondisi itu. Melalui penelitian tindakan kelas dan pembuatan buku ajar yang memadai, langkah-langkah praktis dapat diharapkan ditemukan. Perancangan langkah-langkah untuk mengatasi kondisi di atas tidak dapat dilepaskan dari kondisi itu sendiri. Jika kondisi di atas dicermati, tersirat bahwa mahasiswa diajak belajar menulis tidak dengan sebagaimana mestinya orang menulis. Dalam melaksanakan tugas menulis, mahasiswa tidak diberi konteks. Akibatnya, mahasiswa berpikir bahwa tulisan mereka hanya akan dibaca oleh gurunya dalam rangka melakukan penilaian. Mahasiswa tidak diajak melalui proses yang biasa ditempuh jika orang menulis sehingga mereka merasa sulit untuk segera menulis, setelah topik ditetapkan dan tidak tahu apa yang mesti mereka lakukan setelah draf pertama mereka hasilkan. Mahasiswa juga tidak dibiasakan menemukan pola-pola tulisan melalui membaca wacana-wacana yang bermutu secara struktural. Menulis, sebagaimana aktivitas berbahasa pada umumnya, adalah aktivitas sosial, berlangsung dalam konteks [4], dan tidak pernah dilakukan dalam situasi vakum . Oleh karena itu, jika mahasiswa ditugasi menulis tanpa alasan yang jelas, mereka akan mengalami kesulitan. Menulis adalah proses kognitif yang kompleks yang mencakup perencanaan, penuangan, dan peninjauan [4];[2]. Untuk dapat menulis, perencanaan dan pengetahuan topik sangat diperlukan. Di samping itu, yang juga sangat diperlukan adalah pengetahuan tentang pola dan struktur wacana. Pengetahuan tentang pola-pola wacana, tidak hanya bisa didapat melalui pembelajaran, tetapi juga melalui pemerolehan [5]. Dengan demikian, contoh-contoh tulisan dengan kualitas struktur yang baik diperlukan oleh mahasiswa sebagai model [6].
294
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
Jika pandangan-pandangan para ahli tentang kegiatan menulis di atas diperhatikan, maka penerapan metode quantum writing tampaknya dapat dijadikan upaya mengatasi masalah pembelajaran menulis, dalam Mata Kuliah Bahasa Indonesia di pendidikan S1-Terapan, Politeknik Negeri Bali. Hal ini juga sejalan dengan Rencana Induk Pengembangan (RIP) Penelitian Politeknik Negeri Bali, yaitu mengembangkan sains dan teknologi tepat guna untuk pembangunan manusia dan daya saing bangsa. Demikian pula road map penelitian sampai tahun 2015 diarahkan pada riset pengembangan (R&D). Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1) Bagaimana respons pelajar pada uji coba terhadap penggunaan MetodeQuantum Writing? 2) Apakah ada pengaruh terhadap peningkatan prestasi belajar menulis setelah diterapkannya model pembelajaran dengan MetodeQuantum yang sudah diujicobakan?
2. KAJIAN LITERATUR Teori quantum dipahami sebagai interaksi yang mengubah energi menjadi pancaran cahaya yang dahsyat. Dalam konteks belajar menulis, quantum dapat dimaknai sebagai interaksi yang terjadi dalam proses belajar niscaya mampu mengubah berbagai potensi yang ada di dalam diri manusia menjadi pancaran atau ledakan-ledakan gairah (dalam memperoleh hal-hal baru) yang dapat ditularkan atau ditunjukkan kepada orang lain [3]. Membaca dan menulis adalah salah satu bentuk interaksi dalam proses belajar. Untuk dapat mencapai efek penting dalam menulis, maka pada saat awal menulis yang diperlukan adalah semangat untuk mengeluarkan apa saja yang disimpan atau disembunyikan di dalam diri, tanpa dibatasi atau dipenjara oleh aturan apapun. Suasana bebas, tidak mengancam, dan seolah-olah seorang penulis berada di dunia ini sendirian sangat penting untuk dikondisikan oleh seorang penulis agar yang ingin ditampakkan keluar, yang berasal dari dalam, dapat muncul secara total. Model pembelajaran menulis dengan quantum writing ini dibagi dalam dua tahap, yaitu pertama berisi konsep-konsep yang diharapkan dapat memberikan kebaruan tentang menulis dan bagian kedua berisi tentang teknik-teknik yang perlu dikembangkan dalam menulis. Bagian pertama, ditujukan untuk mengayakan “mental” seorang penulis – terutama sekali bagi penulis yang baru ingin memasuki dunia tulis-menulis – agar dirinya siap dan berani menulis. Bagian kedua, ditujukan untuk kebutuhan praktik menulis dengan teknik-teknik yang memberdayakan. Dalam praktik menulis metode quantum juga menggunakan pendekatan kontekstual. Pembelajaran kontekstual merupakan sebuah pendekatan pembelajaran yang mengoptimalkan kontekstualisasi materi pelajaran dengan dunia nyata pelajar. Dengan mengontekstualkan materi dengan dunia nyata, maka pelajar akan terdorong untuk menghubungkan antara pengetahuan awal yang dimiliki dan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan cara demikian, hasil belajar pelajar dapat dimaksimalkan. Pembelajaran kontekstual mengindikasikan agar pembelajaran berlangsung secara alamiah dalam bentuk kegiatan pelajar, yaitu: bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari pengajar ke pelajar. Strategi pembelajaran berpendekatan kontekstual lebih mementingkan proses dibandingkan dengan hasil. Dalam konteks demikian, pelajar diarahkan untuk memahami makna belajar, status pelajar saat itu, dan cara mencapai tujuan pelajar. Dengan demikian, pelajar memosisikan diri-sendiri sebagai orang yang memerlukan suatu bekal awal untuk hidupnya nanti. Mereka mempelajari apa yang bermanfaat bagi dirinya dan berupaya menggapainya. Dalam upaya itu, pelajar memerlukan pengajar sebagai pengarah dan pembimbing (fasilitator). Metode quantum dikembangkan dengan tujuan agar pembelajaran berlangsung lebih produktif dan bermakna. Pendekatan dimulai dengan menjelajah diri di mana yang paling mudah ditulis adalah tentang diri. Hal ini juga diperkuat oleh Oliver Wendell Holmes, yang mengatakan apa yang ada di hadapan kita dan apa yang ada di belakang kita, hanyalah hal-hal kecil bila dibandingkan dengan apa yang ada di dalam diri kita [3]. Menulis bagi diri-sendiri adalah menulis untuk keperluan mengumpulkan bahan-bahan yang dapat ditulis dengan bagus dan akhirnya nanti dikonsumsi oleh orang selain diri kita sendiri. Yang perlu disadari adalah pikiran senantiasa bergerak detik demi detik dan bisa jadi membentuk gagasan yang tidak jelas. PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
295
Paradigma menulis adalah cara kita melihat dunia, bukan berkaitan dengan pengertian visual dari tindakan melihat, melainkan berkaitan dengan persepsi, memahami, menafsirkan. Menulis adalah sebuah aktivitas manusia yang alami. Salah satu nilai yang didapatkan adalah membantu kita memadukan dan menata kehidupan kita yang kompleks. Menurut Pennebaker kegiatan menulis dapat mewujudkan sasaran yang tidak sederhana dalam berbagai cara, yaitu: 1.
menjernihkan pikiran,
2. 3. 4. 5.
mengatasi trauma yang menghalangi penyelesaian tugas-tugas penting, membantu dalam mendapatkan dan mengingat informasi baru, membantu memecahkan masalah membantu kita ketika kita terpaksa harus menulis. [3]
Pembelajaran Quantum Writing merupakan sebuah pendekatan yang mengakui dan menunjukkan kondisi alamiah dari pengetahuan. Melalui hubungan di dalam dan di luar ruang kuliah, suatu pendekatan pembelajaran dengan metode quantum menjadikan pengalaman lebih relevan dan berarti bagi pelajar dalam membangun pengetahuan yang akan mereka terapkan dalam pembelajaran seumur hidup. Pembelajaran quantum menyajikan suatu konsep dengan cara mengaitkan materi pelajaran dengan konteks di mana materi tersebut digunakan serta hubungan dengan bagaimana seorang belajar. Materi pembelajaran akan bertambah berarti, jika pelajar mempelajari materi yang disajikan melalui konteks kehidupan mereka dan menemukan arti di dalam proses pembelajarannya, sehingga pembelajaran akan menjadi lebih berarti dan menyenangkan. Penerapan pembelajaran quantum akan sangat membantu pengajar untuk menghubungkan materi pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi pelajar untuk membentuk hubungan antara pengetahuan dan penerapannya dengan kehidupan sehari-hari. Pembelajaran quantum berfokus pada multi-aspek lingkungan belajar, di antaranya kelas, laboratorium sain dan komputer, tempat bekerja maupun tempat-tempat lainnya. Fokus pembelajaran ini membantu pengajar merancang lingkungan belajar yang memungkinkan mengaitkan berbagai bentuk pengalaman sosial, budaya, fisik, dan psikologi dalam mencapai hasil belajar yang lebih baik. Tindakan yang direncanakan untuk mengatasi masalah yang dihadapi adalah menerapkan metode quantum writing secara terpadu dengan langkah-langkah seperti di bawah ini. 1) Memilih/menetapkan topik tulisan. 2) Menetapkan tujuan menulis dan sasaran tulisan. 3) Menggali materi tulisan. 4) Menyeleksi materi tulisan 5) Menata secara sistematis materi yang telah diseleksi dengan peta pikir. 6) Memilih pola tulisan yang tepat. 7) Menulis draf awal. 8) Mengendapkan 9) Merevisi/menyunting tulisan secar berkelompok didampingi oleh fasilitator 10) Menulis draf akhir.
3. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan selama dua tahun (bersifat longitudinal). Rinciannya sebagai berikut: tahun pertama kegiatannya fokus pada analisis kebutuhan, perancangan model, pembuatan draf buku ajar, dan uji coba penerapan buku ajar. Tahun kedua fokus pada pengembangan, validasi, dan uji coba atau penerapan produk yang lebih luas. Draf buku ajar yang sudah dihasilkan pada tahun pertama, selanjutnya akan dilakukan evaluasi kembali serta diujicobakan baik secara perseorangan, kelompok kecil, dan uji lapangan yang lebih luas pada tahun kedua. Hal ini dilakukan untuk menyempurnakan buku ajar, serta menghindari adanya miskonsepsi terhadap konsep-konsep materi yang dikembangkan. Drafbuku ajar yang telah disusun diujicobakan dengan menggunakan metode eksperimen. Tahap ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh keefektifan penggunaan buku ajar terhadap hasil belajar mahasiswa D4. Metode analisis yang digunakan adalahMann-Whitney U-test.
296
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Produk buku ajar yang dihasilkan pada tahun pertama adalah buku ajar “Prigel Menulis Akademik dengan Metode Quantum”. Ada lima unit materi yang dikembangkan dalam buku ajar. Materi yang disajikan dengan model quantum ini menggunakan pendekatan kontekstual dan fungsional, artinya materi yang disajikan mengikuti tahap-tahap tertentu sesuai dengan kebutuhan aktivitas nyata sehari-hari yang dilakoni pelajar. Adanya dukungan contoh beberapa tulisan dalam buku ajar, diharapkan dapat menumbuhkan motivasi dan prestasi belajar mahasiswa. Buku ajar ini, akan memberi pengalaman dan tantangan bagi mahasiswa untuk belajar karena dapat digunakan untuk belajar mandiri maupun kelompok dan bukan sekadar menerima informasi. Mahasiswa juga dapat melatih aktivitas belajarnya sesuai dengan kemampuan dan kecepatannya dalam memahami materi-materi yang disajikan. Secara keseluruhan ada lima materi yang disajikan dalam buku ajar ini, meliputi unit: paradigma menulis yang mengantarkan pelajar untuk mengetahui hakikat pentingnya menulis dan memotivasi keinginan menulis; ragam bahasa dalam menulis akademik; menulis akademik berbasis metode Quantum; gaya selingkung tulisan akademik, dan pola-pola tulisan. Subjek uji coba lapangan terdiri dari 105 mahasiswa Program Studi D-4 Manajemen Bisnis Internasional dan Manajemen Informatika semester II tahun 2015/2016. Materi yang diujicobakan pada tahap ini adalah menulis deskripsi dengan metode quantum writing. Mahasiswa diajarkan unit ini dengan fokus sasaran membuat latar belakang suatu penelitian, memindahkan hasil pengamatan, atau merinci objek atau peristiwa sehingga mampu menciptakan daya khayal bagi pembaca. Uji ini dilaksanakan pada bulan April sampai Juli 2016. Pemberian kuesioner kepada mahasiswa dimaksudkan untuk memperoleh informasi aktual tentang persepsi mahasiswa terhadap materi yang disajikan dalam buku ajar. Komentar dan saran mahasiswa terhadap buku ajar terutama materi “Menulis Akademik dengan Metode Quantum” dikumpulkan melalui kuesioner. Respons pelajar sangat baik yang dinyatakan oleh 85,81% menyatakan bahwa buku ajar ini dapat mendukung pembelajaran menulis.
Gambar 1. Grafik Hasil Nilai Pretes dan Postes di Kelas Percobaan Berdasarkannilai rata-rata yang diperoleh dapat diketahui bahwa terjadi peningkatan sebesar 13,21 dari nilai awal saat pretes sebesar 66,87 menjadi 80,08 pada saat postes. Ini menunjukkan bahwa metode quantum writing yang diujicobakan dapat membantu mahasiswa dalam meningkatkan keterampilan mereka dalam menulis akademik. Hal ini juga diperkuat oleh hasil uji MannWhitney U=2.027,5, n1 = 53, n2 = 52, p < 0,05, r = 0,41. Setelah diuji dengan rumus effect size[1], juga didapat bahwa besar efek metode pembelajaran quantum writing terhadap prestasi kemampuan menulis mahasiswa adalah sebesar 0,84 (large effect).Mann-Whitney U = 2.723, n1 = 53, n2 = 52, p < 0,05, r = 0,84 dengan post-hoc power analysis 99%. Ini berarti bahwa efek penggunaan metode pembelajaran quantum writing melebihi 25% dan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain. Pretes dan postes juga dilakukan terhadap kelas kontrol pada pembelajaran keterampilan menulis di Program Studi Manajemen Informatika semester dua. Hal ini dilakukan untuk dapat melihat apakah benar model pembelajaran kontekstual ini mampu meningkatkan prestasi keterampilan menulis mahasiswa.
Gambar 2 Grafik Hasil Nilai Pretes dan Postes di Kelas Kontrol PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
297
Berdasarkan hasil pretes dan postes di kelas kontrol diketahui bahwa memang terjadi juga peningkatan hasil belajar, yaitu rata-rata nila hasil pretes sebesar 66 menjadi 71,08 pada saat postes. Namun peningkatan yang terjadi tidak setinggi dibandingkan peningkatan yang terjadi di kelas percobaan, yaitu hanya sebesar 5,08.
5. SIMPULAN Berdasarkan hasil uji coba penggunaan metode quantum writing dalam pembelajaran menulis, dapat disimpulkan: 1. Respons pelajar terhadap penggunaan Metode Quantumdalam belajar menulis sangat baik yaitu sebesar 85,81%. Hal ini berarti buku ajar yang sudah dikembangkan sangat layak untuk mendukung pembelajaran menulis. 2. Berdasarkan hasil uji coba lapangan, Metode Quantum yang sudah dikembangkan secara signifikan dapat meningkatkan hasil belajar keterampilan menulis. Hal ini dibuktikan dengan hasil uji Mann-Whitney U=2.027,5, n1 = 53, n2 = 52, p < 0,05, r = 0,41.
6. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih ditujukan kepada Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi atas bantuan dana hibah yang diberikan sesuai Nomor DIPA-SP Dipa-042.06.1.401516/2016 Tanggal 7 Desember 2015. Kontrak Perjanjian Pelaksanaan Hibah Program Penelitian Tahun Anggaran 2016 Nomor: 04.3700/PL8/LT/2016 tanggal 7 April 2016 Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Direktur dan Kepala P3M Politeknik Negeri Bali atas dukungan dan bantuan administrasi dalam penyelesaian penelitian Ini. DAFTAR PUSTAKA [1]Field, A Discovering Statistics Using SPSS (and Sex and Drugs and Rock 'n' Roll) (Third ed.), Sage Publications,Dubai, 2009. [2] Glover, John A. and Burning, Roger H,Educational Psychology: Principles and Applications, HarperCollins Pubplishers,USA,1990. [3]Hernowo,Quantum Writing. Mizan Learning Center,Bandung,2004. [4]Hull, Glynda Ann. Research on Writing: Building a Cognitive and Social Understanding of Composing, In Resnick, Laurent B and Leopold E. Klopfer, Toward the Thinking Curriculum: Current Cognitive Research. ASCD, 1989. [5]Squire, James E,Tracing the Development of Writing. In Mason, Jana M. (Ed.),Reading and Writing Connections,Allyn and Bacon,1989. [6]White, Ronald V,Approach to Writing. In Long, Michael H. and Richards, Jack C.(Eds.), Methodology in TESOL, Newbury House Publishers,New York,1987.
298
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
PEMBELAJARAN BERBASIS RISET PADA MATA KULIAH ‘TEORI BELAJAR BAHASA’ DI JURUSAN TADRIS BAHASA INDONESIA, IAIN SYEKH NURJATI Indrya Mulyaningsih IAIN Syekh Nurjati, Cirebon
[email protected] dan 082117777623 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pembelajaran berbasis riset di Jurusan Tadris Bahasa Indonesia. Data penelitian deskriptif eksplanatif ini diperoleh melalui observasi, wawancara, dan analisis dokumen. Penelitian ini dilakukan selama empat bulan di Jurusan Tadris Bahasa Indonesia pada mata kuliah Teori Belajar Bahasa. Melalui pembelajaran ini, mahasiswa belajar:1) teori, 2) penerapan teori tersebut, 3) menyelesaikan masalah, 4) metodologi penelitian, dan 5) kaidah penulisan ilmiah. Kata Kunci: bahasa, berbasis riset, Indonesia, pembelajaran
Pendahuluan Saat ini, keberadaan bahasa asing sudah sangat luas dan bebas. Para orang tua juga lebih bangga jika putra-putri mereka pandai dan mahir berbahasa asing. Fenomena ini tentu saja akan menggeser keberadaan bahasa Indonesia. Walaupun tidak hilang, tetapi pengetahuan dan kepiawaian dalam berbahasa Indonesia akan menurun. Keberadaan Tadris Bahasa Indonesia (TBI) sangat penting untuk menjawab fenomena tersebut. TBI diharapkan dapat menjaga dan mengembangkan keberadaan bahasa Indonesia. Oleh karena itu, mahasiswa Jurusan TBI tidak hanya menguasai materi, tetapi juga dapat menggunakan sesuai kaidah dan mengajarkannya. Demi mencapai tujuan tersebut, hendaknya pembelajaran dilaksanakan secara efektif dan efisien. Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan dalam pembelajaran adalah model pembelajaran. Selama ini telah dikenal beragam model pembelajaran. Salah satunya adalah pembelajaran berbasis riset. Pembelajaran ini biasa digunakan pada bidang sains. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bidang non-sains juga menggunakan model tersebut. Melalui penelitian ini diharapkan dapat ditemukan model pembelajaran berbasis riset yang sesuai dengan Jurusan TBI. Kajian Pustaka 1. Pembelajaran Bahasa Pembelajaran bahasa merupakan proses mempelajari bahasa. Dalam proses ini terdapat empat konsep utama, yakni bahasa, belajar, mengajar bahasa, dan konteks. Pembelajaran bahasa (1) membutuhkan suatu konsep tentang hakikat bahasa, (2) membutuhkan pandangan dan wawasan tentang pelajar dan hakikat belajar bahasa, (3) mengimplikasikan pandangan tentang pengajar bahasa dan pengajaran bahasa, serta (4) pemahaman terhadap konteks tertentu. Konsep dasar bahasa yang dipelajari, yakni fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Fonologi adalah “deskripsi sistem dan pola bunyi ujaran dalam sebuah bahasa” (Yule, 2014: 60). Morfologi diartikan sebagai studi tentang bentuk bahasa. Ilmu morfologi menyangkut struktur internal kata (Verhaar, 2012: 11). Sintaksis merupakan “salah satu cabang tata bahasa yang menelaah struktur-struktur kalimat, klausa, dan frasa” (Tarigan, 2009: 4). Semantik merupakan studi ilmiah tentang makna (Pateda, 2010: 25). Suwandi (2008: 9) menyatakan bahwa semantik merupakan telaah lambang atau tanda yang menyatakan makna, hubungan makna yang satu dengan makna yang lain dan pengaruhnya terhadap manusia dan masyarakat. 2. Pengembangan Model Pembelajaran Model berfungsi sebagai pedoman bagi pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran dari awal sampai akhir (Mulyatingsih, 2010: 1). Oleh karena itu, metode pembelajaran memuat pendekatan, metode, dan teknik pembelajaran. Sukmadinata dan Erliana (2012: 151) menambahkan adanya penciptaan situasi lingkungan yang memungkinkan pembelajar untuk belajar. Supriadie dan Darmawan (2012: 9) yang menambahkan bahwa PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
299
“pembelajaran adalah suatu konsepsi dari dua dimensi kegiatan belajar dan mengajar”. Prinsip belajar haruslah berorientasi pada pembelajar. Menurut pendekatan Feuerstein (dalam Bellanca, 2011: 6) keberhasilan dalam belajar dapat dicapai melalui (a) mengubah siswa untuk belajar lebih efisien dan (b) mengajar untuk menggali potensi yang dimiliki pembelajar. Model pembelajaran berfungsi sebagai kerangka konseptual yang menggambarkan langkah-langkah pembelajaran (Suryaman, 2004: 66; Akbar, 2013: 49-50). Hal ini dilakukan agar dapat mencapai target atau tujuan belajar. Selain itu, model pembelajaran juga dapat digunakan pengajar sebagai pedoman dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran yang efektif. Model belajar atau model pembelajaran harus disesuaikan dengan kondisi peserta didik. Joyce, Marsha, dan Emily (2011: 1) menyatakan bahwa kunci utama untuk mencapai tujuan pembelajaran adalah dengan menggunakan model pembelajaran efektif yang berorientasi pada kecerdasan. Oleh karena itu, model pembelajaran yang dipilih hendaknya mampu melatih pembelajar untuk menjadi lebih handal. Selain itu, pengajar juga dapat menyusun atau merencanakan model pembelajaran sendiri. Adapun hal yang perlu diperhatikan menurut Wahyuni dan Abdul (2012: 14), meliputi: kemampuan analitik, kemampuan pengembangan, dan kemampuan pengukuran. Kemampuan analitik berupa analisis terhadap kondisi pembelajaran. Kualitas pembelajaran ditentukan oleh teknik yang mengarah pada langkah-langkah dalam pembelajaran (Henard dan Deborah, 2012: 7). Kualitas pembelajaran, meliputi beberapa hal, seperti 1) disain dan materi kurikulum yang tepat, 2) keberagaman metode pembelajaran, 3) penggunaan umpan balik, dan 4) penilaian hasil belajar yang efektif. Pembelajaran di perguruan tinggi tentu saja memiliki karakter yang berbeda dengan di sekolah, baik dasar, menengah, maupun atas. Pembelajaran di perguruan tinggi dapat dikategorikan dengan pembelajaran orang dewasa. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran orang dewasa, meliputi: 1) aktivitas yang dilakukan hendaknya sesuai kebutuhan, 2) tujuan pembelajaran adalah untuk kehidupan masa datang pembelajar, 3) pengalaman merupakan sumber belajar terpenting, 4) posisikan pembelajar sebagai individu yang mampu mengatur diri sendiri sehingga pengajar hanya sebagai fasilitator, dan 5) pembelajaran orang dewasa hendaknya dapat menerima berbagai keputusan walaupun mengandung perbedaanperbedaan (Uno, 2012: 57; Hamalik, 2012: 122). 3. Pembelajaran Berbasis Riset Pembelajaran Berbasis Riset merupakan metode pembelajaran yang menggunakan authentic learning, problem-solving, cooperative learning, contextual (hands on & minds on, dan inquiry discovery approach yang dipandu oleh filosofi konstruktivisme (Widayati dkk, 2010: 4). Filosofi konstruktivisme mencakup 4 (empat) aspek, yaitu: pembelajaran yang membangun pemahaman mahasiswa, pembelajaran dengan mengembangkan prior knowledge, pembelajaran yang merupakan proses interaksi sosial, serta pembelajaran bermakna yang dicapai melalui pengalaman nyata. Terdapat beberapa strategi dalam memadukan pembelajaran dan riset, yaitu; (1) memperkaya bahan ajar dengan hasil penelitian dosen, (2) menggunakan temuan-temuan penelitian mutakhir dan melacak sejarah, (3) memperkaya kegiatan pembelajaran dengan isuisu penelitian kontemporer, (4) mengajarkan materi metodologi penelitian di dalam proses pembelajaran, (5) memperkaya proses pembelajaran dengan kegiatan penelitian dalam skala kecil, (6) memperkaya proses pembelajaran dengan melibatkan peserta didik dalam kegiatan, (7) memperkaya proses pembelajaran dengan mendorong peserta didik, dan (8) memperkaya proses pembelajaran dengan nilai-nilai yang harus dimiliki oleh peneliti (Umar dkk, 2011: 22). Berikut ini sifat yang melekat pada pembelajaran berbasis riset (Widayati dkk,2010: 8). 1. Mendorong dosen untuk melakukan penelitian atau mengupdate keilmuannya dengan membaca dan memanfaatkan hasil penelitian orang lain sebagai bahan pembelajaran. 2. Mendorong peran peserta didik lebih aktif dalam proses pembelajaran, bahkan menjadi mitra aktif dosen. 3. Peserta didik menjadi lebih kompeten dalam keilmuan dan penelitian serta terampil mengidentifikasi persoalan serta memecahkannya dengan baik 4. Peserta didik memiliki kemandirian, kritis, dan kreatif sehingga memberikan peluang munculnya ide dan inovasi baru.
300
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
5. Peserta didik dilatih memiliki etika, khususnya etika profesi misalnya menjauhkan diri dari perilaku buruk misalnya plagiarisme. Metode Penelitian Penelitian ini berbentuk deskriptif eksplanatif. Hal ini karena data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka (Moleong, 2010:11). Data dikumpulkan dengan cara observasi, wawancara, dan analisis dokumen (Cohen, 2000: 271; Moleong, 2010: 9). Validitas data pada penelitian tahap ini ditempuh dengan triangulasi sumber, triangulasi metode, triangulasi peneliti, dan triangulasi teori (Moleong, 2000: 178; 2010: 330). Penelitian ini dilakukan selama empat bulan, dari Februari-Juni 2016. Hasil Penelitian dan Pembahasan Jurusan TBI IAIN Syekh Nurjati Cirebon merupakan jurusan yang baru berdiri, tepatnya Mei 2015. Oleh karena itu, data pada penelitian ini adalah seluruh mata kuliah pada Semester Genap Tahun Akademik 2015/2016, yakni satu kelas dengan 11 mata kuliah, meliputi: 1) Akhlak Tasawuf, 2) Linguistik Umum, 3) Berbicara, 4) Bimbingan dan Konseling, 5) Filsafat Bahasa, 6) Fonologi Bahasa Indonesia, 7) Membaca, 8) Menulis, 9) Menyimak, 10) Pancasila, dan 11) Teori Belajar Bahasa. Ke-11 mata kuliah tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni mata kuliah teori dan mata kuliah praktik. Mata kuliah disebut mata kuliah teori karena pembelajaran ini bertujuan pada pengenalan dan lebih banyak pada pemahaman terhadap berbagai teori. Demikian sebaliknya, mata kuliah disebut mata kuliah praktik karena pembelajaran ini bertujuan mempraktikkan bahkan menghasilkan sehingga mahasiswa memiliki keterampilan. Mata kuliah teori terdiri atas: 1) Akhlak Tasawuf, 2) Linguistik Umum, 3) Filsafat Bahasa, 4) Fonologi Bahasa Indonesia, 5) Pancasila, dan 6) Teori Belajar Bahasa. Adapun mata kuliah praktik mencakup: 1) Bimbingan dan Konseling, 2) Berbicara, 3) Membaca, 4) Menulis, dan 5) Berbicara. Sepanjang pengamatan dapat disimpulkan bahwa pembelajaran mata kuliah pada Semester Genap Tahun Ajaran 2015/2016 lebih banyak menggunakan penugasan. Dosen membagi kelas menjadi beberapa kelompok. Setiap kelompok diminta untuk membuat makalah dan dipresentasikan. Adapun tema makalah ditentukan oleh dosen. Biasanya tema disesuaikan dengan materi yang akan dibahas pada setiap pertemuan. Kelompok yang pertama kali presentasi merupakan kelompok yang mendapat tema atau materi pertama, sesuai urutan Rencana Pembelajaran Semester (RPS) mata kuliah yang bersangkutan. Proses lengkapnya sebagai berikut. Kelompok yang mendapat giliran presentasi menyampaikan isi makalah yang sudah dibuat. Selesai presentasi dilanjutkan dengan tanya jawab seputar materi yang didiskusikan. Pada sesi ini, mahasiswa lain diperbolehkan untuk menanggapi, baik berupa sanggahan, pertanyaan, maupun pernyataan. Berbagai tanggapan yang disampaikan oleh peserta diskusi, ditanggapi pula oleh pemakalah. Setelah dirasa cukup, sesi diskusi pun ditutup. Setelah itu, dosen menambah penjelasan terkait berbagai pertanyaan yang disampaikan oleh peserta diskusi. Lalu dosen menutup perkuliahan. Begitulah rutinitas perkuliahan yang dilakukan di Jurusan TBI IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa di antara 11 mata kuliah, hanya satu mata kuliah yang memanfaatkan riset atau hasil penelitian sebagai bahan pembelajaran. Mata kuliah tersebut adalah Teori Belajar Bahasa. Pada mata kuliah ini mengkaji berbagai hasil penelitian yang menerapkan teori belajar bahasa, baik bahasa pertama maupun kedua. Adapun metode belajarnya adalah dengan membagi kelas ke dalam beberapa kelompok. Setiap kelompok terdiri atas 5-6 mahasiswa. Setiap kelompok diminta mencari sebuah artikel yang membahas penerapan teori belajar bahasa. Setiap kelompok juga diminta mempresentasikan isi artikel. Aktivitas belajar dilanjutkan dengan tanya jawab. Dosen bertugas menjelaskan ulang berbagai jawaban yang belum jelas serta menjelaskan ulang berbagai jawaban yang belum tepat. Pada kesempatan berikutnya, dosen mengulas artikel yang baru didiskusikan. Pembahasan yang dilakukan dosen tidak sebatas pada isi artikel, tetapi juga meluas pada hal lain. Hal pertama yang dilakukan dosen adalah meminta mahasiswa untuk mencermati judul artikel. Mahasiswa diminta untuk menjelaskan kembali dengan bahasa sendiri, maksud dari judul artikel tersebut. Dosen meminta mahasiswa menyebutkan komponen atau aspek yang terdapat pada judul artikel. PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
301
Setelah itu, dosen meminta mahasiswa mencermati bagian latar belakang dari artikel tersebut. Mahasiswa diminta menjelaskan kembali latar belakang yang ada dalam artikel dengan bahasa sendiri. Dosen mengaitkan latar belakang tersebut dengan berbagai kasus yang ada di sekitar. Selanjutnya, dosen meminta mahasiswa mencermati bagian rumusan masalah. Mahasiswa diminta untuk menjelaskan keterkaitan rumusan masalah dengan latar belakang. Dosen meminta mahasiswa untuk mencatat rumusan masalah pada artikel tersebut. Dilanjutkan pada bagian teori. Mahasiswa diminta mencermati berbagai teori yang ada di artikel. Dosen menunjuk 2-3 mahasiswa untuk menjelaskan teori yang digunakan dengan menggunakan bahasa sendiri. Seorang mahasiswa diminta untuk menyusun sintesis dari berbagai teori yang digunakan. Dosen meminta mahasiswa lain untuk menjelaskan keterkaitan teorirumusan masalahlatar belakangjudul. Hal ini agar mahasiswa mengetahui peran teori dalam sebuah penelitian. Bagian selanjutnya adalah metode penelitian. Pada kesempatan ini, dosen mengajukan beberapa pertanyaan dan mahasiswa diminta untuk menjawab. Pertanyaan berkisar pada hal-hal yang ada pada metode penelitian. Mahasiswa diharapkan dapat mempelajari dan memetakan halhal yang harus ada pada metode penelitian, misalnya: cara menentukan informan atau sampel, cara memperoleh atau mengumpulkan data, cara mengetahui atau mengecek keakuratan dan kevalidan data, serta cara menganalisis data. Semakin sering mempelajari hal tersebut, mahasiswa akan menjadi terbiasa dan tidak bingung ketika menghadapi masalah yang sama. Masuk pada bagian pembahasan. Dosen meminta mahasiswa membaca kembali rumusan masalah yang sudah dicatat. Salah satu dari mahasiswa yang presentasi diminta untuk menjawab rumusan masalah. Jawaban tersebut berasal dari bagian pembahasan di artikel, tetapi disampaikan ulang dengan bahasa sendiri. Anggota kelompok yang presentasi diminta untuk membantu memberi penjelasan. Demi meyakinkan pemahaman seluruh mahasiswa, dosen mengulangi uraian kelompok yang presentasi serta memberi penjelasan-penjelasan tambahan. Banyak manfaat yang diperoleh melalui pembelajaran berbasis riset ini. 1. Dosen dipaksa untuk belajar hal-hal yang terkait dengan artikel yang dipresentasikan. Hal ini karena tentu saja masalah yang dibahas memiliki keterkaitan dengan ilmu-ilmu lain. Oleh karena itu, dosen dituntut untuk dapat mengaitkan berbagai pengetahuan sehingga dapat menguraikan penyelesaian seperti pada artikel. 2. Mahasiswa tidak hanya belajar teori. Selain mempelajari teori yang ada pada artikel, mahasiswa juga dapat mempelajari penerapan teori tersebut. Melalui artikel ini, mahasiswa belajar menyelesaikan masalah dengan berbagai teori tanpa harus terjun langsung ke lapangan. Dalam hal ini, mahasiswa tidak memerlukan waktu banyak untuk belajar teori. Mahasiswa dapat belajar teori dan mempraktikkannya secara bersamaan. Dalam waktu yang tidak lama, mahasiswa dapat mengetahui penerapan berbagai teori serta dapat menyelesaikan berbagai masalah. 3. Mahasiswa tidak hanya belajar tentang ke-ilmuan, tetapi juga belajar tentang penelitian. Melalui artikel tersebut, mahasiswa dapat belajar tentang metodologi penelitian. Selain itu, mahasiswa juga dapat mempelajari kaidah penulisan sebuah artikel ilmiah, baik format, sistem rujukan, cara menuliskan kutipan, maupun bahasa yang digunakan. Simpulan Berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap mata kuliah Teori Belajar Bahasa, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran riset yang sesuai untuk Jurusan Tadris Bahasa Indonesia adalah dengan menugaskan mahasiswa untuk mencari sebuah artikel dan mempresentasikannya. Artikel tersebut hendaknya membahas masalah yang berhubungan dengan Jurusan TBI dan menggunakan bahasa Indonesia. Ucapan Terima Kasih Terima kasih kepada mahasiswa Jurusan Tadris Bahasa Indonesia Semester II Tahun Akademik 2015/2016 atas kesediaannya menjadi informan pada penelitian ini. Daftar Pustaka Akbar, S. (2013). Instrumen Perangkat Pembelajaran. Bandung: Rosda. Alwi, Hasan dkk. (2003). Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
302
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
Bellanca, J. (2011). 200+ Strategi dan Proyek Pembelajaran Aktif untuk Melibatkan Kecerdasan Siswa (Edisi Kedua). Jakarta: Indeks. Cohen, Louis, et al. (2000). Research Methods in Education. Great Britain: TJ International Ltd, Padstow, Cornwall. Dardjowidjojo, Soenjono. (2008). Psiko-Linguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Fadllan, Andi. (2014). Model Pembelajaran Fisika di Madrasah Berbasis Riset (Kasus di Madrasah Aliyah Negeri 2 Kudus). http://eprints.walisongo.ac.id/3938/1/Andi_FadlanMadrasah_berbasis_riset.pdf diunduh Senin, 28 Maret 2016 pukul 11.15 WIB. Hamalik, O. (2012). Psikologi Belajar dan Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Henard, F. & Deborah, Roseveare. (2012). Fostering Quality Teaching in Higher Education: Policies and Practices. Perancis: IMHE. Joyce, B., Weil, M., & Calhoun, E. (2011). Model-model Pengajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Mahsun. (2014). Genolinguistik: Kolaborasi Linguistik dengan Genetika dalam Pengelompokan Bahasa dan Populasi Penuturnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Moleong, Lexy. J. (2000). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. ______. (2010). Metode Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mulyatiningsih, E. (2010). “Pembelajaran Aktif, Kreatif, Inovatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAIKEM)” dalam Diklat Peningkatan Kompetensi Pengawas dalam Rangka Penjaminan Mutu Pendidikan P4TK Bisnis dan Pariwisata Depok, tanggal 23-25 Agustus 2010.Pateda, Mansoer. 2010. Semantik Leksikal. Jakarta: Rineka Cipta. Sastra, Gusdi. (2011). Neurolinguistik: Suatu Pengantar. Bandung: Alfabeta. Sukmadinata, N. S. & Syaodih, E. (2012). Kurikulum dan Pembelajaran Kompetensi. Bandung: Refika Aditama. Sumarsono. (2014). Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Supriadie, D. & Darmawan, D. (2012). Komunikasi Pembelajaran. Bandung: Rosda. Suryaman. (2004). Penerapan Model Pembelajaran Suatu Inovasi di Perguruan Tinggi (Tantangan Umum Pendidikan Tinggi). Jurnal Pendidikan IKIP PGRI Madiun. Vol. 10, No. 1, Juni, pp. 1-14. Suwandi, Sarwiji. (2008). Semantik: Pengantar Kajian Makna. Yogyakarta: Media Perkasa. Tarigan, Henry Guntur. (2009). Pengajaran Sintaksis. Bandung: Angkasa. Umar, Masri Kudrat dkk. (2011). Pengembangan Pembelajaran Berbasis Riset di Program Studi Pendidikan Fisika FMIPA Universitas Negeri Gorontalo. http://repository.ung.ac.id/riset/show/2/802/pengembangan-pembelajaran-berbasis-riset-diprogram-studi-pendidikan-fisika-fmipa-universitas-negeri-gorontalo-ketua.html diunduh Senin, 28 Maret 2016 pukul 10.30 WIB. Uno, H. B. (2008). Teori Motivasi dan Pengukurannya, Analisis di Bidang Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. van den Broek, Gesa Sonja. (2012). “Innovative Research-Based Approaches to Learning and Teaching”, OECD Education Working Papers, No. 79, OECD Publishing. http://dx.doi.org/10.1787/5k97f6x1kn0w-en diakses Senin, 28 Maret 2016 pukul 12.15 WIB. Verhaar, J.W.M. (2012). Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Wahyuni, S. & Ibrahim, A.S. (2012). Perencanaan Pembelajaran Bahasa Berkarakter. Bandung: Refika Aditama. Widayati Dkk. (2010). Pedoman Umum Pembelajaran Berbasis Riset (PUPBR). Universitas Gadjah Mada. Yule, George. (2014). Kajian Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
303
KEMAMPUAN MENULIS KALIMAT MAHASISWA DITINJAU DARI ASPEK LITERASI SAINS MAHASISWA PGSD UNIVERSITAS MURIA KUDUS Mila Roysa, Fina Fakhriyah, Siti Masfuah Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Muria Kudus PO.BOX. 53 Gondangmanis Bae Kudus
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan kemampuan menulis kalimat mahasiswa PGSD ditinjau dari aspek literasi sains. Dalam menulis kalimat, terdapat beberapa penilaian kemampuan menulis di antaranya, isi gagasan yang dikemukakan, organisasi isi, tata bahasa, pilihan struktur dan kosakata, dan ejaan tata tulis. Kemampuan menulis kalimat merupakan bagian dari kemampuan berbahasa yang kreatif produktif. Analisis kemampuan literasi sains oleh calon guru sekolah dasar digunakan sebagai fondasi untuk meningkatkan kualitas pembelajaran konsep sains mahasiswa PGSD UMK. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Subjek penelitian ini yaitu mahasiswa PGSD semester III tahun akademik 2015/2016. Data diperoleh dari analisis kemampuan menulis kalimat konsep sains. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan menulis kalimat mahasiswa ditinjau dari aspek literasi sains mahasiswa PGSD Universitas Muria Kudus berada pada kategori sangat baik.
Kata kunci: menulis kalimat, literasi sains PENDAHULUAN Keterampilan berbahasa mempunyai empat komponen, yaitu: keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan membaca, dan keterampilan menulis. Setiap keterampilan erat sekali berhubungan dengan tiga keterampilan lainnya dengan cara yang beraneka ragam. Dengan memperoleh keterampilan berbahasa, biasanya melalui suatu hubungan urutan yang teratur: mula-mula pada masa kecil kita belajar menyimak bahasa, kemudian berbicara, sesudah itu kita belajar membaca dan menulis (Tarigan 2008:1). Menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang paling tinggi tingkatannya; dengan menulis kita dapat menuangkan pikiran dan gagasan. Menulis sebagai suatu keterampilan berbahasa tidak datang secara otomatis, tetapi memerlukan latihan dan praktik yang dilakukan secara terus menerus. Keterampilan menulis dapat diperoleh dari belajar, berlatih, dan pembiasaan diri. Salah satu contoh dari keterampilan menulis adalah menulis kalimat. Kalimat adalah satuan gramatika yang dibatasi oleh jeda panjang yang disertai nada akhir turun naik. Sebagai calon guru program studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, hendaknya mahasiswa diharapkan dapat menulis kalimat dengan tepat. Hal ini dimaksudkan agar kelak dalam membelajarkan keterampilan menulis kepada siswa dapat dipertanggungjawabkan ketepatan dalam penulisan kalimat, misalnya dalam penulisan isi gagasan yang dikemukakan, organisasi isi, tata bahasa, gaya: pilihan struktur dan kosakata, ejaan dan tata tulis. Analisis penulisan kemampuan menulis kalimat dilakukan pada mahasiswa Prodi Pendidikan Guru Sekolah Dasar semester III. Analisis kalimat mahasiswa ini ditinjau dari dari aspek literasi Sains mahasiswa. Laugsch (2000) menyatakan bahwa pengembangan literasi sains sangat penting karena dapat memberikan kontribusi bagi kehidupan sosial dan ekonomi, serta untuk memperbaiki pengambilan keputusan ditingkat masyarakat dan personal. Hal ini diperkuat dengan pendapat Poedjiadi (2005) menyampaikan bahwa seseorang yang memiliki kemampuan literasi sains dan teknologi adalah orang yang memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah dengan menggunakan konsep-konsep sains yang diperoleh dalam pendidikan sesuai dengan jenjangnya, mengenal produk teknologi yang ada disekitarnya, beserta dampak baik, maupun penggunaan produk teknologi dan pemeliharaannya, kreatif dalam membuat hasil teknologi yang disederhanakan sehingga para peserta didik mampu mengambil keputusan berdasarkan nilai dan budaya masyarakat setempat. Penilaian literasi Sains digunakan sebagai penunjang peningkatan kualitas mahasiswa sebagai calon guru sekolah dasar. Melalui literasi Sains mahasiswa program studi pendidikan guru
304
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
sekolah dasar khusunya dapat melaksanakan pembelajaran yang kreatif dan mengoptimalkan pembentukan literasi sains. A. KAJIAN PUSTAKA a. Menulis Dalman (2015:3) mengemukakan bahwa menulis merupakan suatu kegiatan komunikasi berupa penyampaian pesan (informasi) secara tertulis kepada pihak lain dengan menggunakan bahasa tulis sebagai alat atau medianya. Aktivitas menulis melibatkan beberapa unsur, yaitu: penulis sebagai penyampaian pesan, isi tulisan, saluran atau media, dan pembaca. Iskandarwassid dan Sunendar (2008: 291) menjelaskan bahwa keterampilan menulis merupakan keterampilan yang paling tinggi tingkat kesulitannya bagi pembelajar dibandingkan dengan ketiga keterampilan lainnya. Menulis adalah proses mengabadikan bahasa dengan tandatanda grafis, representasi dari kegiatan-kegiatan ekspresi bahasa, dan kegiatan melahirkan pikiran dan perasaan dengan tulisan. Penjelasan yang sudah diuraikan menurut beberapa ahli dapat disimpulkan bahwa menulis merupakan kegiatan menuangkan ide, gagasan, dan pikiran secara tertulis yang bertujuan untuk menyampaikan informasi kepada pembaca. b.
Kalimat Kalimat merupakan satuan bahasa yang secara relatif dapat berdiri sendiri, mempunyai pola intonasi akhir dan terdiri atas klausa (Cook, Elson, dan Picket dalam Putrayasa, 2012: 1). Kalimat adalah suatu bentuk linguistis, yang tidak termasuk ke dalam suatu bentuk yang lebih besar karena merupakan suatu konstruksi gramatikal (Bloomfield dalam Putrayasa, 2012: 1). Di sisi lain, Lado (dalam Putrayasa, 2012: 1) mengatakan bahwa kalimat adalah satuan terkecil dari ekspresi lengkap. Pendapat Lado dipertegas lagi oleh Sutan Takdir Alisyahbana (dalam Putrayasa, 2012: 1) yang menyatakan bahwa kalimat satuan bentuk bahasa yang terkecil, yang mengucapkan suatu pikiran yang lengkap. Sementara itu, Ramlan (dalam Putrayasa, 2012: 1) mengatakan bahwa kalimat adalah suatu gramatikal yang dibatasi oleh adanya jeda panjang yang disertai nada akhir turun atau naik. Chaer (2011: 327) yang mengemukakan maksud dari kalimat adalah satuan bahasa yang berisi suatu “pikiran” atau “amanat” yang lengkap. Lengkap, berarti di dalam satuan bahasa yang disebut kalimat itu terdapat. 1. Unsur atau bagian yang menjadi pokok pembicaraan, yang lazim disebut dengan istilah subjek (S). 2. Unsur atau bagian yang menjadi “komentar” tentang subjek, yang lazin disebut dengan istilah predikat (P). 3. Unsur atau bagian yang merupakan pelengkap dari predikat, yang lazim disebut dengan istilah objek (O). 4. Unsur atau bagian yang merupakan “penjelasan” lebih lanjut terhadap predikat dan subjek, yang lazim disebut dengan istilah keterangan (K). Beberapa penjelasan yang sudah diuraikan dari beberapa ahli, dapat disimpulkan bahwa kalimat adalah satuan bahasa terkecil yangterdiri atas satuan gramatikal tersusun secara sistematis dan sekurang-kurangnya berunsur subjek dan predikat. c. Literasi Sains Literasi adalah kemampuan siswa untuk menerapkan pengetahuan dan keterampilan dalam suatu bidang, menganalisis, memberi alasan, dan berkomunikasi secara efektif karena siswa mengajukan, memecahkan dan menafsirkan masalah dalam berbagai situasi (Holbrook & Rannikmae, 2009), sedangkan literasi sains adalah kemampuan untuk menggunakan pengetahuan sains, mengidentifikasi pertanyaan dan menarik kesimpulan berdasarkan fakta untuk memahami dan membuat keputusan tentang alam dan perubahannya yang disebabkan oleh aktivitas manusia (OECD, 1999:62). Literasi sains terdiri dari pengetahuan dan pemahaman tentang konsep-konsep ilmiah dan proses yang dibutuhkan seseorang dalam pengambilan keputusan, partisipasi sosial, budaya dan produktivitas ekonomi (Dani, 2009).
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
305
B.
METODE Metode yang penulis gunakan dalam menudukung penulisan ini adalahgabungan dari penelitian kualitatif dan kuantitatif (penelitian campuran). Creswell (2009) menjelaskan metode penelitian kombinasi merupakan pendekatan dalam penelitian yang mengkombinasikan atau menghubungkan antara metode penelitian kuantitatif dan kualitatif. Hal itu mencakup landasan filosofis, penggunan pendekatan kuantitatif dan kualitatif, dan mengkombinasika kedua pendekatan dalam penelitian Menghitung Nilai Rata-rata Kelas Peneliti menjumlahkan nilai yang diperoleh siswa, selanjutnya dibagi dengan jumlah siswa kelas tersebut sehingga, diperoleh nilai rata-rata. Daryanto (2011: 191), untuk mendapatkan nilai rata-rata menggunakan rumus sebagai berikut:
Rumus 1. Rata-rata kelas Keterangan: : Nilai rata-rata : Jumlah semua nilai siswa : Jumlah siswa Data Kualitatif Analisi data kualitatif dalam penelitian ini dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung. Kriteria Penskoran Kemampuan Menulis Kalimat
1.
Aspek Penilaian Isi gagasan yang dikemukakan
2.
Organisasi isi
No
Rentang Skor 27-30 22-26 17-21 13-16 18-20 14-17 10-13
7-9 3.
Tata bahasa 22-25 18-21 11-17 5-10
4.
306
Gaya: pilihan struktur dan kosakata
14-15 12-13 10-11 7-9
Kriteria Isi kalimat sangat sesuai dengan tema. Isi kalimat sesuai dengan tema. Isi kalimat kurang sesuai dengan tema. Isi kalimat tidak sesuai dengan tema. Struktur kalimat sangat jelas, runtut dan lengkap, sesuai dengan struktur kalimat. Struktur kalimat cukup jelas, runtut dan lengkap, sesuai dengan struktur kalimat. Struktur kalimat kurang jelas, runtut dan kurang lengkap, kurang sesuai dengan struktur kalimat. Struktur kalimat tidak jelas, tidak runtut dan tidak lengkap, tidak sesuai dengan struktur kalimat.
Bahasa yang digunakan bahasa baku, tidak terdapat kesalahan penggunaan bahasa, tidak mengaburkan makna. Bahasa yang digunakan bahasa baku, terdapat sedikit kesalahan penggunaan bahasa. Bahasa yang digunakan tidak baku, terdapat kesalahan penggunaan bahasa, dan agak mengaburkan makna. Bahasa yang digunakan tidak baku, terdapat kesalahan penggunaan bahasa, dan mengaburkan makna. Pemilihan kata sangat baik dan tepat. Pemilihan kata baik dan cukup tepat. Pemilihan kata terbatas dan kurang tepat. Pemilihan kata sangat terbatas dan tidak tepat.
PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
5.
Ejaan dan tata tulis
9-10 7-8 5-6 3-4
Menguasai aturan penulisan, tidak terdapat kesalahan ejaan dan tanda baca, tulisan sangat rapi dan bersih. Menguasai aturan penulisan, terdapat kesalahan ejaan dan tanda baca, tulisan rapi dan bersih. Cukup menguasai aturan penulisan, terdapat kesalahan ejaan dan tanda baca, tulisan kurang rapi dan kurang bersih. kurang menguasai aturan penulisan, terdapat kesalahan ejaan dan tanda baca, tulisan tidak rapi dan tidak bersih.
(Sumber: Nurgiyantoro, 2013: 440) HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Evaluasi diberikan pada mahasiswa yang berupa soal pilihan ganda beralasan berjumlah 40 soal. Mahasiswa menjawab soal pilihan ganda, kemudian menuliskan alasan pemilihan jawaban tersebut. Tabel 2. Penilaian Kemampuan Menulis Kalimat Mahasiswa ditinjau dari Aspek Literasi Sains Mahasiswa PGSD UMK Aspek Penilaian Isi Gaya: Gagasa pilihan Mahan yang Organi Tata struktu Ejaan dan Jumlah Kategor siswa Dikem sasi Isi Bahasa r dan Tata Tulis Skor i ukaka kosakat n a 30 15 21 13 5 84 SB 1 30 16 17 13 5 81 SB 2 30 14 20 12 5 77 SB 3 30 16 21 12 5 84 SB 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
30 30 26
16 17 18
17 21 21
12 13 13
5 5 5
80 86 83
SB SB SB
30 30 30
17 17 17
21 21 21
13 13 13
5 6 6
86 87 87
SB SB SB
30 30 30
17 14 17
21 21 21
13 13 13
6 6 6
87 84 87
SB SB SB
26 30 30
16 17 17
17 21 21
13 13 13
6 5 6
78 83 87
SB SB SB
30 30
17 17
21 17
13 13
8 5
89 82
SB SB
Jumlah
1512
Rata-rata Nilai maksimum Nilai minimum
70,92 89 77
Kriteria: PERTEMUAN ILMIAH BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (PIBSI) XXXVIII
307
Rentang Skor
Kategori
0 ≤ skor < 25 26 ≤ skor < 50 51 ≤ skor < 75 76 ≤ skor ≤ 100
Kurang Cukup Baik Sangat Baik
Berdasarkan tabel 2 dapat dijelaskan bahwa kemampuan menulis kalimat ditinjau dari aspek literasi memperoleh rata-rata nilai sebesar 70,92 pada rentang skor 51 ≤ skor