TEMPLAT TUGAS AKHIR S1

Download diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam ..... -Penyakit. -Genetik. - ko...

0 downloads 309 Views 19MB Size
SINDROM PRAMENSTRUASI PEKERJA WANITA PADA BERBAGAI AKTIVITAS FISIK, POLA KONSUMSI DAN STATUS GIZI

FAIZA HARSAH

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Sindrom Pramenstruasi Pekerja Wanita pada Berbagai Aktivitas Fisik, Pola Konsumsi dan Status Gizi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2015

Faiza Harsah NIM I14124014

*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerjasama terkait

ABSTRAK FAIZA HARSAH. Sindrom Pramenstruasi Pekerja Wanita pada Berbagai Aktivitas Fisik, Pola Konsumsi dan Status Gizi. Dibimbing oleh IKEU TANZIHA. Penelitian ini bertujuan untuk untuk menganalisis Sindrom pramenstruasi (PMS) pekerja wanita pada berbagai aktivitas fisik, pola konsumsi dan status gizi. Desain yang digunakan adalah cross sectional dengan jumlah subjek sebanyak 45 orang wanita. Tempat dan subjek penelitian dipilih secara purposive di Loan Factory Credit Card Sentra Mandiri, Jakarta. Hasil uji beda Kruskal Wallis menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) antara status PMS dengan karakteristik subjek, karakteristik menstruasi, status gizi, tingkat kecukupan energi, protein, lemak, vitamin A, kalsium, zat besi, tingkat stres, aktivitas fisik, frekuensi konsumsi olahan kacang-kacangan, sayuran dan buah sumber isoflavon, susu, dan gula. Namun terdapat perbedaan yang nyata (p 18.5 - < 24.9 > 25.0 - < 27.0 >27.0

Persen lemak tubuh menurut Gibson (2005), dikategorikan menjadi Underfat (32%).

8

Pola konsumsi pangan diperoleh dengan metode food record 5x24 jam. Hasil dari record konsumsi dikonversikan ke dalam kandungan gizi. Berikut merupakan rumus untuk mengetahui kandungan gizi makanan yang dikonsumsi. Kgij = (Bj/100)xGijx(BDDj/100)

Keterangan: Kgij = Penjumlahan zat gizi I dari setiap bahan makanan yang dikonsumsi. Bj = Berat bahan makanan j (gram) Gij = kandungan zat gizi I dari bahan makanan j BDDj = persen bahan makanan j yang dapat dimakan Tingkat kecukupan zat gizi dihitung dengan rumus sebagai berikut. Tingkat kecukupan zat gizi=

Konsumsi zat gizi aktual Angka kecukupan zat gizi (AKG)

x 100%

Angka Kecukupan Gizi (AKG) individu diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut. AKG (aktual) =

Berat Badan Aktual (kg) x AKG Berat Badan AKG

Tingkat kecukupan energi dan protein dikelompokkan menjadi defisit berat (< 70%); defisit sedang (70-79%); defisit ringan (80-89%); cukup (90-119%); lebih (> 120 %) (Gibson 2005). Sedangkan kategori tingkat kecukupan lemak yaitu kurang (30% AKG) (WNPG 2004). Tingkat kecukupan zat gizi mikro dikategorikan menurut Gibson (2005), yaitu kurang (77% AKG). Selain Food Record, pola konsumsi subjek diamati melalui Food Frequency Questionnaire (FFQ) untuk menentukan frekuensi makan pangan sumber isoflavon, frekuensi konsumsi susu, gula, dan fast food (Lampiran 1). Kategori frekuensi pangan diukur dengan kategori Tidak pernah; 2 kali/bulan; 1-2 kali/minggu; 3-6 kali/minggu; 1 kali/hari; >1 kali/hari (Gibson 2005). Namun kategori ini kemudian disederhanakan lagi menjadi kategori konsumsi setiap hari (> 7 kali/minggu); sering (3-6 kali/minggu); jarang (1-2 kali/minggu); dan tidak pernah. Jumlah energi yang dikeluarkan untuk jenis aktivitas persatuan tertentu diklasifikasikan berdasarkan PAR (Physical Activity Ratio), seperti terlihat pada Tabel 3. Tabel 3 Nilai physical activity ratio Jenis Aktivitas Fisik Tidur Tidur-tiduran, duduk diam, membaca Duduk sambil menonton TV Mandi dan berpakaian Berdiri diam, beribadah, menunggu (berdiri), berhias Berkendaraan di mobil/bus/angkutan Makan dan minum Jalan santai

Physical Activity Ratio 1.00 1.20 1.72 2.30 1.50 1.20 1.60 2.50

9

Tabel 3 Nilai physical activity ratio (lanjutan) Jenis Aktivitas Fisik Physical Activity Ratio Berbelanja (membawa beban) 2.40 Mengendarai kendaraan 2.50 Menjaga anak 2.50 Melakukan pekerjaan rumah tangga 2.75 Setrika pakaian (duduk) 1.70 Kegiatan berkebun 2.70 Office Worker (duduk di depan meja, menulis, mengetik) 1.30 Office Worker (berjalan, membawa arsip) 1.60 Olahraga (Badminton) 4.85 Olahraga (Jogging, lari jarak jauh) 6.50 Olahraga (bersepeda) 3.60 Olahraga (Aerobik, berenang, sepak bola) 7.50 Kegiatan dilakukan dengan duduk 1.50 Kegiatan ringan 1.40 Memasak 2.10 Sumber: FAO/WHO/UNU (2001)

Nilai PAR (Physical Activity Ratio) kemudian dimasukkan ke dalam rumus Physical Activity Level (PAL), yaitu sebagai berikut: PAL = ∑(PAR x alokasi waktu setiap aktivitas)

24 jam Hasil dari nilai Physical Activity Level (PAL), dikategorikan menurut FAO/WHO/UNU (2001), menjadi sangat ringan (1.20-1.39), ringan (1.40-1.69), sedang (1.70-1.99), dan berat (2.00-2.40). Tingkat stres diukur menggunakan kuesioner yang diadaptasi dari Kuesioner Depression Anxiety Stress Scale 42 (DASS 42) yang telah dimodifikasi. Kuesioner ini merupakan instrumen yang digunakan oleh Lovibond dan Lovibond (1995) untuk mengetahui tingkat depresi, kecemasan dan stres (Lampiran 1). Tes ini merupakan tes standar yang telah diterima secara internasional. Peneliti dalam penelitian ini hanya memilih kuesioner yang mengukur tentang stres yaitu sebanyak 14 pertanyaan yang terdiri dari nomor 1, 3, 4, 9, 13, 16, 18, 22, 23, 28, 29, 30, 31, dan 42. Penilaiannya adalah dengan memberikan skor yaitu skor 0 untuk setiap pernyataan yang tidak pernah dialami, skor 1 untuk setiap pernyataan yang jarang dialami, skor 2 untuk setiap pernyataan yang sering dialami dan skor 3 untuk setiap pernyataan yang selalu dialami. Hasilnya dikategorikan menjadi 3 tingkatan stres yaitu stres ringan dengan skor < 56 % dari skor total, stres sedang dengan skor 56-75 % dari skor total, stres berat dengan skor >75 % dari skor total (Nursalam 2008). Tabel 4 Kategori variabel penelitian No 1 2

Variabel Pengetahuan gizi dan menstruasi Jenis Keluhan Menstruasi

Kategori pengukuran Kurang (< 60 %), sedang (60-80%), baik (>80%) Berat (skor 3); sedang (skor 2); ringan (skor 1)

Sumber Khomsan (2000) Jones et al. (1996)

10

Tabel 4 Kategori variabel penelitian (lanjutan) No 3

Variabel Tingkat keluhan menstruasi

4

Pendapatan subjek

5

Status Gizi

6

Persen lemak tubuh

7

Pola konsumsi pangan -Frekuensi dan jenis pangan

Kategori pengukuran 0 (tidak ada keluhan), 1-4 (ringan), 5-12 (sedang), dan >12 (berat) < 1 juta/ bulan (rendah); 1-2.5 juta/bulan (cukup); 2.6-4 juta/bulan (tinggi); > 4 juta/ bulan (sangat tinggi) Kurus (< 18.5); normal (> 18.5 - < 24.9); lebih ( > 25.0 - < 27.0); obese ( >27.0) Underfat (32%)

Tidak pernah; 2 kali/bulan; 1-2 kali/minggu; 3-6 kali/minggu; 1 kali/hari; >1 kali/hari Tingkat kecukupan energi Defisit berat (< 70%); defisit dan protein sedang (70-79%); defisit ringan (80-89%); cukup (90-119%); lebih (> 120 %) Tingkat kecukupan lemak Kurang (30% AKG) Konsumsi Isoflavon Cukup (40 mg/hari) (fitoestrogen)

8

Konsumsi makanan berisiko (manis, asin, kafein, diawetkan, berlemak) Tingkat kecukupan vitamin dan mineral Aktivitas Fisik

9

Tingkat Stres

Sering (> 1 kali/hari)

Kurang (< 77 % AKG); Cukup ( > 77 % AKG) Berdasarkan nilai Physical Activity Level (PAL) Sangat ringan (1.20-1.39) Ringan (1.40-1.69) Sedang (1.70-1.99) Berat (2.00-2.40) Stres ringan (< 56 % dari skor total), stres sedang (56-75 % dari skor total), stres berat ( >75 % dari skor total)

Sumber Jones et al. (1996) BPS (2010)

Riskesdas (2013) Gibson (2005)

Gibson (2005) Gibson (2005)

WNPG (2004) Ishiwata, Uesugi dan Uehara (2003) Riskesdas (2013) Gibson (2005) FAO/WHO/ UNU (2001)

Nursalam (2008)

Hasil pengolahan data kemudian dianalisis secara statistik deskriptif dan inferensia. Uji deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan variabel menggunakan distribusi mean, standar deviasi, minimal dan maksimal. Setiap variabel diuji beda dengan status PMS dengan menggunakan uji beda Kruskal Wallis. Selanjutnya, untuk mengetahui faktor resiko status PMS melalui uji regresi logistik.

11

Definisi Operasional Aktivitas fisik adalah berbagai kegiatan yang dapat menggerakkan anggota tubuh, dikategorikan menjadi kegiatan sangat ringan, ringan, sedang dan berat. Subjek adalah wanita yang bekerja di Loan Factory Credit Card Sentra Mandiri. Food Frequency Quessionaire adalah mendaftar frekuensi atau seberapa sering dalam mengonsumsi pangan sumber isoflavon, susu, gula, dan fast food. Menstruasi adalah adalah pengeluaran darah dari dinding rahim perempuan yang terjadi secara periodik Metode Food Record adalah metode pengumpulan data konsumsi pangan dalam waktu 4x24 jam pada hari kerja dan 1 x 24 jam pada hari libur. Persen lemak tubuh adalah jumlah lemak dalam tubuh yang dihitung menggunakan alat body fat monitor. Sindrom Pramenstruasi adalah gejala baik fisik maupun emosional yang dialami oleh subjek menjelang menstruasi. Pola Konsumsi Pangan adalah ganbaran kebiasaan makan subjek baik dalam konsumsi makanan utama maupun makanan selingan yang diamati dengan teknik food record 5 x 24 jam serta frekuensi konsumsi makanan sumber isoflavon, susu, gula, dan fast food. Status Gizi adalah keadaan gizi subjek yang diukur dengan menggunakan IMT dan persen lemak tubuh. Menarche adalah usia dimana seorang wanita mendapatkan periode menstruasi untuk pertama kali.

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Sentra Mandiri terletak di jalan R.P. Soeroso no 2-4 Jakarta. Loan Factory Credit Card merupakan salah satu bagian dari struktur kerja Bank Mandiri yang di dalamnya terdiri dari empat tim kerja, yaitu Operator Scanner-Batch manager, ICR validasi, Admin Entry Data, Pre Screener. Jumlah karyawan di Loan Factory secara keseluruhan yaitu 107 orang karyawan dengan didominasi oleh karyawan wanita (69.2%). Hari kerja yaitu Senin sampai Jumat mulai pukul 07.30 sampai dengan pukul 16.30 WIB, dengan waktu istirahat dari pukul 12.00 sampai dengan pukul 13.00.

Sindrom Pramenstruasi Menstruasi merupakan suatu proses yang normal terjadi pada wanita dan dapat dijadikan suatu indikator penting dari kesehatan wanita (Mc Pherson & Korfine 2004). Siklus menstruasi normal terdiri atas fase folikuler, ovulasi dan fase luteal. Fase folikuler terjadi pada hari ke 5 sampai dengan 14 pada siklus

12

setelah menstruasi. Fase ini ditandai dengan berkembangnya beberapa folikel yang dipengaruhi oleh follicle stimulating hormone (FSH) yang meningkat. FSH yang meningkat disebabkan oleh regresi korpus luteum, sehingga hormon steroid berkurang. Perkembangan folikel menyebabkan produksi estrogen meningkat. Estrogen memicu pertambahan pasokan darah ke dalam uterus sehingga dinding uterus menebal dan terbentuk, sehingga siap untuk menerima telur yang sudah dibuahi. Ketika folikel sudah benar-benar matang, kelenjar pituitari mengeluarkan hormon lain, yaitu LH (Luteinizing Hormone) untuk melepaskan folikel tersebut dan memicu ovum untuk turun ke tabung fallopi menuju uterus. Inilah yang disebut sebagai fase ovulasi dan terjadi pada hari ke 14 pada siklus menstruasi (Wirakusumah 2003). Folikel yang kosong mengeluarkan hormon yang disebut progesteron yang berperan dalam mempersiapkan kehamilan. Tetapi, apabila telur tidak dibuahi setelah kira-kira tujuh hari sesudah ovulasi, folikel akan diserap tubuh. Hal ini akan menyebabkan turunnya kadar hormon progesteron sekaligus dengan turunnya hormon estrogen, sehingga akan akan menyebabkan pelepasan lapisan uterus dalam bentuk aliran darah yang disebut menstruasi (Wirakusumah 2003). Menjelang mentruasi sebagian besar wanita sering mengalami gejala yang disebut sindrom pramenstruasi atau lebih dikenal dengan istilah premenstrual syndrome (PMS). Premenstrual Syndrome (PMS) adalah sekumpulan keluhan dan gejala fisik, emosional, dan prilaku yang dialami oleh sebagian besar wanita selama akhir fase luteal dari setiap siklus menstruasi yaitu 7-14 hari sebelum menstruasi (Brahmbhatt et al. 2013). Keluhan fisik seperti payudara terasa sakit atau membengkak, perut kembung, sakit kepala, sakit sendi, sakit punggung, mual, muntah, diare atau sembelit, dan tumbuhnya masalah kulit seperti jerawat. Keluhan psikis meliputi depresi, sensitif, lekas marah, gangguan tidur, kelelahan, lemah, dan kadang-kadang perubahan suasana hati yang sangat cepat (Devi 2009). Hal ini disebabkan karena pada fase luteal kadar estrogen yang tinggi sedangkan kadar progestreron menurun. Ketidakseimbangan ini yang diduga menyebabkan sindrom pramenstruasi. Meningkatnya kadar estrogen dalam darah ini akan menyebabkan gejala depresi, karena hormon estrogen yang tinggi dapat menyebabkan terganggunya proses kimia tubuh (Brunner & Suddarth 2001). Berdasarkan frekuensi PMS yang dialami, sebagian besar subjek (60%) mengalami PMS dengan frekuensi kadang-kadang, namun masih terdapat subjek yang mengalami PMS dengan frekuensi sering (40%). PMS yang dialami dikategorikan berdasarkan tingkatan keluhannya. Tingkat keluhan PMS atau status PMS diperoleh dari hasil penjumlahan dari masing-masing jenis keluhan. Menurut Mason (2007), terdapat lebih dari 300 jenis keluhan premenstrual syndrome. Namun, dalam penelitian ini hanya menggunakan 10 jenis keluhan menstruasi yang sering dialami. Skor dan kategori keluhan PMS dapat dilihat pada analisis dan pengolahan data (halaman 7). Tabel 5 merupakan sebaran subjek berdasarkan status PMS yang dialami. Tabel 5 Sebaran subjek berdasarkan status PMS Status PMS Ringan Sedang Berat Total

n 15 26 4 45

% 33.3 57.8 8.9 100

13

Berdasarkan hasil pengkategorian jenis keluhan PMS yang dialami (Tabel 5), sebagian besar subjek (57.8%) memiliki status PMS sedang, sedangkan status PMS ringan dialami oleh 33.3% subjek dan status PMS berat dialami oleh 8.9% subjek. Rata-rata subjek mengalami 3-4 jenis keluhan. Berdasarkan urutan jenis keluhan yang paling banyak dialami subjek, diantaranya keram di bawah perut (71.1%), emosional (64.4%), sakit pinggang (53.3%), jerawat (51.1%), sakit pada payudara (37.7%), lesu (17.7%), sakit kepala (15.5%), mual (11.1%) dan muntah (2.2%). Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Pujiastuti (2007) mengenai sindrom pramenstruasi pada pekerja pabrik korek api, bahwa sebagian besar keluhan yang dialami subjek adalah nyeri di bawah perut. Prostaglandin diproduksi oleh tubuh secara berlebihan bersama hormon lainnya seperti estrogen dan progesteron pada saat keadaan stres. Nyeri di bawah perut disebabkan oleh ketidakseimbangan prostaglandin yang dihasilkan oleh tubuh. Selain itu, hormon estrogen dapat menyebabkan peningkatan kontraksi uterus secara berlebihan sehingga menyebabkan rasa nyeri (Mulyono et al. 2001).

Karakteristik Subjek Karakteristik subjek pada penelitian ini meliputi usia, status, pendapatan, pengetahuan gizi dan menstruasi. Selengkapnya, karakteristik subjek dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Sebaran subjek berdasarkan karakteristik dan status PMS Karakteristik Subjek

Ringan n %

Usia (tahun) 19-29 13 86.7 30-49 2 13.3 Total 15 100 Status Menikah 5 33.3 Belum Menikah 10 66.7 Total 15 100 Pendapatan Cukup 0 0 Tinggi 14 93.3 Sangat tinggi 1 6.7 Total 15 100 Pengetahuan gizi dan menstruasi Sedang 7 46.7 Baik 8 53.3 Total 15 100

Status PMS Sedang Berat n % n %

Total n %

26 0 26

100 0 100

4 0 4

100 0 100

43 2 45

95.6 4.4 100

6 20 26

23.1 76.9 100

0 4 4

0 100 100

11 34 45

24.4 75.6 100

1 21 4 26

3.8 80.8 15.4 100

0 3 1 4

0 75 25 100

1 38 6 45

2.2 84.4 13.3 100

7 19 26

26.9 73.1 100

0 4 4

0 100 100

14 31 45

31.1 68.9 100

p

0.261

0.383

0.308

0.644

Usia. Menurut Depkes (2001), usia produktif berkisar antara 15- 45 tahun. Sebagian besar subjek (95.6%) berada pada rentang usia 19-29 tahun (Tabel 6). Hasil uji Kruskal Wallis, menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara usia subjek dengan status PMS (p>0.05). Hal ini tidak sejalan dengan

14

penelitian yang dilakukan oleh Cornforth (2000), bahwa Premenstrual Syndrome semakin mengganggu dengan semakin bertambahnya usia, terutama antara usia 30-45 tahun. Faktor risiko yang paling berhubungan dengan PMS adalah faktor peningkatan umur. Penelitian menemukan bahwa sebagian besar wanita yang mencari pengobatan PMS adalah mereka yang berusia lebih dari 30 tahun. Walaupun ada fakta yang mengungkapkan bahwa sebagian remaja mengalami gejala-gejala yang sama dan kekuatan PMS yang sama dengan yang dialami oleh wanita yang lebih tua (Freemen 2007). Namun, pada penelitian Wittchen et al. 2002 menyatakan bahwa meskipun gejala pramenstruasi dijelaskan pada wanita dari menarche sampai menopause tidak jelas bahwa gejala akan tetap stabil atau meningkat seiring dengan meningkatnya usia. Status. Sebagian besar subjek (75.6%) berstatus belum menikah (Tabel 6). Subjek dengan status belum maupun yang sudah menikah sebagian besar mengalami PMS status sedang. Hasil uji beda Kruskal Wallis menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) antara status pernikahan dengan status PMS yang dialami. Hal ini tidak sejalan dengan Yuliarti (2009) yang menyatakan bahwa wanita yang sudah menikah lebih banyak mengalami PMS dibandingkan dengan yang belum menikah, selain itu keluhan PMS semakin berat dirasakan oleh wanita yang sudah melahirkan beberapa anak, terutama bila pernah mengalami kehamilan dengan komplikasi seperti toksimia. Pendapatan. Martianto dan Ariani (2004) menjelaskan bahwa tingkat pendapatan seseorang akan berpengaruh terhadap jenis dan jumlah bahan pangan yang dikonsumsinya. Sebagian besar pendapatan subjek (84.4%) dikategorikan ke dalam kategori pendapatan tinggi (Tabel 6). Berdasarkan hasil uji beda Kruskal Wallis dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara pendapatan dengan status PMS subjek (p>0.05). Tingkat pendapatan sangat menentukan bahan makanan yang akan dibeli. Pendapatan merupakan faktor penting untuk menentukan kualitas dan kuantitas makanan, sehingga erat hubungannya dengan gizi (Suhardjo 2005). Namun hasil ini sejalan dengan penelitian Rizk et al. (2010) yang menunjukkan bahwa pendapatan keluarga tidak berpengaruh terhadap kejadian sindrom premenstruasi. Pengetahuan Gizi dan Menstruasi. Pengetahuan gizi merupakan pengetahuan tentang makanan dan zat gizi, sumber-sumber zat gizi pada makanan, makanan yang aman dikonsumsi sehingga tidak menimbulkan penyakit (Notoatmojo 2003). Pengetahuan gizi dapat dijadikan landasan yang dapat menentukan konsumsi pangan (Khomsan 2000). Pengetahuan gizi dan menstruasi merupakan sekumpulan pertanyaan yang secara umum terkait dengan gizi dan menstruasi. Terdapat 8 butir pertanyaan yang terkait dengan pengetahuan gizi dan menstruasi (Lampiran 1). Berdasarkan hasil yang diperoleh, sebagian besar subjek (68.9%) memiliki pengetahuan gizi dan menstruasi baik (Tabel 6). Uji Kruskal Wallis menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara pengetahuan gizi dan menstruasi dengan status PMS (p>0.05). Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Atmarita dan Fallah (2004), bahwa tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan lebih mudah menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Namun, hasil dari penelitian ini sejalan dengan Suhardjo (1989), bahwa pengetahuan gizi saja belum mampu membuat seseorang mengubah perilakunya, untuk itu masih

15

dibutuhkan motivasi dan perhatian agar individu mau mengubah pola hidupnya dan pemilihan bahan makanan.

Karakteristik Menstruasi Karakteristik menstruasi terdiri dari usia menarche, lama siklus menstruasi, dan lama menstruasi. Sebaran subjek berdasarkan karakteristik menstruasi disajikan dalam Tabel 7. Tabel 7 Sebaran subjek berdasarkan karakteristik menstruasi dan status PMS Karakteristik Menstruasi

Status PMS Sedang Berat n % n %

n

6.7 0 66.6 26.7 100

0 2 13 11 26

0 7.7 50 42.3 100

0 1 3 0 4

0 25 75 0 100

1 3 26 15 45

2.2 6.7 57.8 33.3 100

53.3 26.7 20 100

7 15 4 26

26.9 57.7 15.4 100

1 3 0 4

25 75 0 100

16 22 7 45

35.6 48.9 15.5 100

86.7 13.3 100

25 1 26

96.2 3.8 100

3 1 4

75 25 100

41 4 45

91.1 8.9 100

Ringan n %

Usia Menarche (tahun) 13,3 4 Total 15 Lama siklus menstruasi (hari) 30 3 Total 15 Lama Menstruasi (hari) 3-9 13 >9 2 Total 15

Total %

p

0.189

0.535

0.300

Usia Menarche. Menarche adalah suatu periode menstruasi pertama yang merupakan indikator berkembangnya sistem reproduksi sekaligus biomarker yang kritis untuk kehidupan reproduksi seseorang (Al-Sahab, Hamadeh & Tamim 2010). Hasil Riskesdas (2013) menunjukkan bahwa 37.5% rata-rata usia menarche pada anak Indonesia adalah 13-14 tahun dengan kejadian lebih awal pada usia kurang dari 9 tahun dan terjadi secara terlambat sampai 20 tahun. Seiring dengan perubahan pola hidup saat ini ada kecenderungan anak perempuan mendapatkan menstruasi yang pertama kali usianya makin lebih muda. Rentang usia menarche subjek berkisar antara 10-15 tahun. Usia menarche subjek termasuk ke dalam kategori normal. Berdasarkan Tabel 7, sebagian besar subjek (57.8%) mengalami menarche pada rentang usia 12 sampai 13.3 tahun. Rata-rata usia menarche subjek yaitu 12.98 + 1.2 tahun. Hasil uji beda Kruskal Wallis menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antara usia menarche dengan status PMS (p> 0.05). Hasil ini didukung oleh penelitian Woods, Most & Dery (1982) bahwa gejala premenstruasi tidak berhubungan dengan usia haid pertama (menarche). Usia menarche dapat merefleksikan beberapa aspek kehidupan dalam suatu populasi termasuk diantaranya kesehatan umum, kematangan seksual, kondisi lingkungan, status nutrisi dan pertumbuhan, serta tingkat kesejahteraan (Batubara, Soesanti & Waal 2010).

16

Lama Siklus Menstruasi. Siklus menstruasi terdiri atas perubahanperubahan di dalam ovarium (indung telur) dan uterus (rahim). Endometrium disiapkan untuk kedatangan ovum yang dibuahi pada kira-kira hari ke-21 siklus menstruasi. Endometrium akan runtuh pada hari ke-28 siklus menstruasi apabila hanya ovum yang tidak dibuahi yang tiba dalam uterus sehingga menstruasi terjadi dan siklus di ulang sekali lagi (Pearce 2000). Panjang siklus menstruasi ialah jarak antara tanggal mulainya menstruasi yang lalu dengan mulainya menstruasi berikutnya. Hari dimulainya perdarahan dinamakan hari pertama siklus (Sarwono 2000). Lama siklus menstruasi sebagian besar wanita pertengahan usia reproduktif yaitu terjadi setiap 25-35 hari dengan median panjang siklus adalah 28 hari (Hanafi 2002). Sebagian besar subjek (48.9%) memiliki siklus menstruasi yang normal yaitu berkisar antara 25-30 hari (Tabel 7). Hasil uji beda Kruskal Wallis menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) antara lama siklus menstruasi yang dialami dengan status PMS. Siklus haid (menstruasi) tergantung dari perubahan-perubahan estrogen, maka segala keadaan yang menghambat kadar estrogen akan mempengaruhi siklus reproduksi yang normal (Wiknojosastro 2009). Lama Menstruasi. Sebagian besar subjek (91.1%) mengalami menstruasi selama 3-9 hari (Tabel 7). Lama menstruasi subjek termasuk ke dalam kategori yang normal. Hasil uji beda Kruskal Wallis menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara lama menstruasi dengan status PMS (p>0.05). Hasil ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Woods, Most dan Dery (1982) bahwa wanita yang mengalami durasi haid yang panjang, lebih banyak melaporkan kram/nyeri premenstrual, mudah marah dan depresi premenstrual. Hal ini dipengaruhi oleh estrogen dan hubungan ini merupakan konsekuensi sintesis prostaglandin yang distimulasi oleh estrogen.

Aktivitas Fisik dan PMS Menurut Mahardikawati dan Roosita (2008), akvitas fisik yaitu suatu rangkaian gerak tubuh yang menggunakan tenaga atau energi. Olahraga merupakan salah satu jenis aktivitas fisik. Aktivitas fisik subjek terdiri dari berbagai macam kegiatan yang diamati pada hari kerja dan hari libur, termasuk didalamnya durasi setiap kegiatan yang dilakukan dengan dikalikan rasio setiap kegiatan berdasarkan PAR (Physical Activity Ratio) dan dibagi 24 jam. Hasil pengkategorian aktivitas fisik berdasarkan pada PAL (Physical Activity Level) ditabulasikan dengan status PMS yang dialami dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Sebaran subjek berdasarkan kategori aktivitas fisik dan status PMS Aktivitas Fisik Sangat Ringan Ringan Total

Ringan n % 6 40 9 60 15 100

Status PMS Sedang Berat n % n % 11 42.3 2 50 15 57.7 2 50 26 100 4 100

n 19 26 45

Total % 42.2 57.8 100

p

0.945

17

Berdasarkan Tabel 8, sebagian besar subjek (57.8%) memiliki aktivitas fisik yang ringan (Tabel 8). Rata-rata PAL yang dimiliki subjek yaitu 1.43. Seseorang dikatakan beraktivitas ringan (sedentary) bila tidak banyak melakukan kerja fisik, tidak berjalan jauh, umumnya menggunakan alat transportasi, tidak latihan atau berolahraga secara teratur, menghabiskan waktu senggangnya dengan duduk dan berdiri dengan sedikit bergerak (FAO/WHO/UNU 2001). Aktivitas olahraga yang terdiri dari jenis, lama dan frekuensi olahraga diketahui melalui hasil pengisian kuesioner (Lampiran 1). Rata-rata frekuensi olahraga yang dilakukan subjek yaitu 1 kali perminggu dengan rata-rata durasi olahraga yaitu sekitar 18.8 menit. Olahraga yang sering dilakukan subjek yaitu jogging atau lari (48.9%). Frekuensi dan durasi olahraga subjek masih kurang memenuhi syarat aktivitas olahraga yang dianjurkan. Menurut Wirakusumah (2003) frekuensi olahraga sebaiknya 3-4 kali perminggu, dengan durasi 30 sampai dengan 45 menit setiap kali berolahraga. Seorang pekerja kantor memiliki jumlah hari kerja dan waktu kerja yang lama dibandingkan waktu libur dan istirahat, sehingga memungkinkan untuk sedikit melakukan aktivitas fisik terutama olahraga. Kategori aktivitas fisik sangat ringan dan ringan paling banyak mengalami PMS dengan status sedang. Hasil uji beda Kruskal Wallis menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (p>0.05) antara kategori aktivitas fisik dengan status PMS yang dialami. Aktivitas fisik yang ringan disebabkan karena sebagian besar subjek melakukan kegiatan sedentary dan karena kesibukan membuat subjek untuk jarang berolahraga. Hasil penelitian menunjukkan peluang terjadinya PMS lebih besar pada wanita yang tidak melakukan olahraga rutin dari pada wanita yang sering melakukan olahraga. Dampak positif berolahraga yang dilakukan secara teratur dapat menurunkan kadar estrogen menjelang menstruasi sehingga dapat membantu menurunkan berbagai keluhan PMS (Kroll 2010). Efek dari penurunan kadar estrogen ini juga mempengaruhi beberapa neurotransmitter utama yang mengatur suasana hati dan perilaku yaitu serotonin (Halbreich 2003). Aktivitas fisik berupa olahraga juga dapat merangsang hormon endorfin keluar dan menimbulkan perasaan tenang saat sindrom pramenstruasi terjadi (Tambing 2012). Tingkat Stres dan PMS Stres diartikan sebagai suatu tekanan dan ketegangan yang mempengaruhi seseorang dalam kehidupan. Pengaruh yang timbul dapat bersifat wajar ataupun tidak, tergantung dari reaksi terhadap ketegangan tersebut (Gunarsa & Gunarsa 2004). Pemicu dari stres disebut stressor. Ada beberapa stressor pada pekerja, diantaranya kebutuhan waktu, jadwal kerja, dan struktur pekerjaan. Setiap pekerjaan memiliki karakteristiknya masing-masing. Hal yang dapat memicu stres adalah pekerjaan dimana terlalu banyak hal yang dilakukan, tekanan waktu, deadline dan berulang. Stres seringkali menjadi pemicu terjadinya PMS. Beberapa penelitian menghubungkannya dengan masalah otot, terutama otot-otot tangan pada pekerja kantor yang sering menggunakan keyboard komputer. Rasa cemas, depresi, dan ketidakpuasan adalah masalah mental yang dapat timbul (Yuliarti 2009). Kategori tingkat stres diperoleh melalui penilaian kuesioner yang berisi 14 pertanyaan yang diadaptasi dari kuesioner Depression Anxiety Stress Scale 42

18

(DASS 42) yang telah dimodifikasi (Lampiran 1). Penilaiannya tingkat sres menurut Nursalam (2008) tersaji dalam sub bab pengolahan dan analisis data (halaman 9). Subjek berdasarkan tingkat stres dan status PMS dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Sebaran subjek berdasarkan kategori tingkat stres dan status PMS Tingkat stres Ringan Sedang Total

Ringan n % 14 93.3 1 6.7 15 100

Status PMS Sedang Berat n % n % 25 96.2 4 100 1 3.8 0 0 26 100 4 100

n 43 2 45

Total % 95.6 4.4 100

p

0.594

Sebagian besar subjek (95.6%) mengalami stres ringan (Tabel 9). Hal ini diduga karena pada saat pengisian kuesioner terjadinya bias atau subjek memang menganggap hal yang terkait dengan gejala stres tersebut biasa dialami dan mereka menanggapi hal itu biasa dan jarang dialami. Berdasarkan skor tingkat stres, skor paling tinggi yaitu 64 dan paling rendah yaitu 7. Gejala yang sangat sering dialami oleh subjek yaitu mudah panik atau gelisah dalam menanggapi suatu masalah dalam kesehariannya. Berdasarkan PMS yang dialami, sebagian besar subjek dengan tingkat stres ringan dan sedang memiliki status PMS sedang. Berdasarkan hasil uji Kruskal Wallis yaitu tidak terdapat perbedaan yang nyata antara tingkat stres dengan status PMS (p>0.05). Menurut Thu, Diaz dan Sawhsarkapaw (2006), wanita dengan gaya hidup stres, lebih mungkin untuk depresi dan mengalami perubahan suasana hati selama fase pramenstruasi dibandingkan dengan yang tidak mengalami stres. Mulyono et al. (2001) menambahkan bahwa stres memainkan peran dalam tingkat kehebatan gejala premenstrual syndrome. Saat stres, tubuh akan memproduksi hormon adrenalin, estrogen, progesteron serta prostaglandin yang berlebihan. Estrogen dapat menyebabkan peningkatan kontraksi uterus secara berlebihan, sedangkan progesteron bersifat menghambat kontraksi. Peningkatan kontraksi secara berlebihan ini menyebabkan rasa nyeri.

Frekuensi Konsumsi Makanan dan PMS Frekuensi konsumsi makanan diukur dengan menggunakan metode FFQ atau Food Frequency Questionnaire, yaitu metode pengukuran konsumsi makanan dengan menggunakan kuesioner untuk memperoleh data mengenai frekuensi seseorang dalam mengonsumsi makanan dan minuman. Frekuensi konsumsi dapat dilakukan selama periode tertentu, misalnya harian, mingguan, bulanan maupun tahunan. Kuesioner terdiri dari daftar bahan makanan dan minuman (Supariasa 2011). Frekuensi konsumsi makanan yang dianalisis dalam penelitian ini diantaranya frekuensi konsumsi olahan kacang-kacangan, buah dan sayuran sumber isoflavon (fitoestrogen), susu, gula dan fast food. Berikut ini merupakan penjelasan lebih lanjut mengenai frekuensi dari masing-masing sumber makanan tersebut.

19

Frekuensi Konsumsi Olahan Kacang-kacangan Sumber Isoflavon Fitoestrogen merupakan senyawa kimia yang berasal dari hormon tumbuhan yang memiliki struktur kimia menyerupai hormon estrogen tubuh manusia, juga dikenal dengan istilah isoflavon. Fitoestrogen dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu isoflavon, coumestan dan lignan. Isoflavon merupakan fitoestrogen yang sering digunakan di masyarakat (Rishi 2002). Sumber tanaman kaya fitoestrogen yang biasanya digunakan adalah kedelai. Berbagai produk olahan berbahan dasar kedelai seperti tahu, tempe dan kecap telah lama dihasilkan oleh masyarakat Indonesia (Martadisoebrata, Sastrawinata & Saifuddin 2005). Thompson et al. (2006) dalam penelitiannya menyatakan bahwa makanan yang mengandung lebih tinggi fitoestrogen terdapat pada jenis kedelai dibandingkan fitoestrogen yang ada pada sayuran dan buah-buahan. Frekuensi sumber isoflavon yang diamati konsumsinya yaitu tempe, tahu dan susu kedelai, karena ketiganya memiliki kadar isoflavon yang cukup tinggi, dengan kadar isoflavon masing-masingnya yaitu 18.307 µg, 27.150 µg, dan 2.957 µg (Thompson et al. 2006). Sebaran subjek berdasarkan kategori frekuensi konsumsi olahan kacang-kacangan sumber isoflavon serta status PMS yang dialami disajikan dalam Tabel 10. Tabel 10 Sebaran subjek berdasarkan frekuensi konsumsi olahan kacangkacangan sumber isoflavon Frekuensi Setiap hari Sering Jarang Tidak pernah Total

Ringan n % 3 20 10 66.7 1 6.7 1 6.7 15 100

Status PMS Sedang Berat n % n % 3 11.5 0 0 19 73.1 2 50 4 15.4 1 25 0 0 1 25 26 100 4 100

Total n % 6 13 31 68.9 6 13.3 2 4.4 45 100

p

0.659

Sebagian besar subjek (68.9%) mengonsumsi olahan kacang-kacangan dengan kategori sering (Tabel 10). Rata-rata subjek mengonsumsi olahan kacangkacangan yaitu 4.2 kali/minggu. Olahan kacang-kacangan yang dominan dikonsumsi oleh subjek yaitu susu kedelai. Berdasarkan hasil uji beda Kruskal Wallis menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) antara frekuensi konsumsi olahan kacang-kacangan sumber isoflavon dengan status PMS. Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ishiwata, Uesugi dan Uehara (2003), asupan isoflavon sebanyak 40 mg/hari dapat menurunkan gejala PMS. Konsumsi makanan sumber isoflavon terutama pada produk-produk kedelai dan turunannya (kacang kedelai, tempe, tahu, oncom, tahu, dll) dianggap dapat menurunkan gejala PMS karena struktur dan sifat isoflavon yang menyerupai estrogen memiliki sifat antioksidan, menghambat angiogenesis, memfasilitasi aksi neurobehavioural, serta mempunyai sifat ganda yaitu estrogenic (saat kadar estrogen alami tubuh dalam keadaan yang terbatas) dan anti-estrogenic effects (saat kadar estrogen didalam tubuh tinggi). Hal tersebut yang memungkinkan isoflavon sebagai fitoestrogen dapat mengurangi PMS dengan menstabilkan siklus alami estrogen (Bryant et al. 2005).

20

Frekuensi Konsumsi Sayuran dan Buah-buahan Sumber Isoflavon Sayuran dan buah-buahan juga merupakan salah satu sumber isoflavon. Sayuran yang memiliki kadar isoflavon tertinggi dibandingkan sayuran lain yaitu bayam, wortel, kol, brokoli, dan buncis dengan masing-masing kadar isoflavonnya yaitu 4.2 µg, 3.8 µg, 80.0 µg, 94.1 µg dan 16.6 µg. Sedangkan buahbuahan yang memiliki kadar isoflavon yang tinggi diantaranya apel, pisang, jeruk dan strawberi dengan masing-masing kadar isoflavonnya yaitu 4.9 µg, 2.6 µg, 19.0 µg, dan 51.6 µg (Thompson et al. 2006). Tabel 11 merupakan sebaran subjek berdasarkan kategori frekuensi konsumsi sayuran dan buah-buahan sumber isoflavon serta status PMS yang dialami. Tabel 11 Sebaran subjek berdasarkan frekuensi konsumsi sayuran sumber isoflavon dan status PMS Konsumsi Sayuran Ringan n % Setiap hari 5 33.3 Sering 9 60.0 Jarang 1 3 Total 15 100 Konsumsi Buah-buahan Setiap hari 5 33.3 Sering 9 60.0 Jarang 1 3 Total 15 100 Frekuensi

Status PMS Sedang Berat n % n % 8 30.8 1 25 15 57.7 2 50 3 11.5 1 25 26 100 4 100

14 26 5 45

31.1 57.8 11.1 100

5 20 1 26

10 33 2 45

22.2 73.3 4.4 100

19.2 76.9 3.8 100

0 4 0 4

0 100 0 100

n

Total %

p

0.656

0.692

Sebagian besar subjek mengonsumsi sayuran (57.8%) dan buah (73.3%) dalam kategori sering. Rata-rata konsumsi sayuran subjek yaitu 6.4 kali/minggu dan konsumsi buah subjek yaitu 5.6 kali/minggu. Frekuensi konsumsi sayuran dan buah subjek termasuk dalam kategori cukup. Berdasarkan status PMS yang dialami, sebagian besar subjek mengalami PMS status sedang baik itu secara keseluruhan dari kategori frekuensi konsumsi sayuran maupun buah. Hasil uji beda Kruskal Wallis menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (p>0.05) antara frekuensi konsumsi sayuran dan buah subjek dengan tingat keluhan PMS. Isoflavon memiliki sifat dan struktur yang menyerupai estrogen memiliki sifat antioksidan, menghambat angiogenesis, memfasilitasi aksi neurobehavioural, serta mempunyai sifat ganda yaitu estrogenic dan anti-estrogenic effects. Hal tersebut yang memungkinkan isoflavon sebagai fitoestrogen dapat mengurangi PMS dengan menstabilkan siklus alami estrogen (Bryant et al. 2005). Frekuensi Konsumsi Susu Mann dan Truswell (2002) menyatakan bahwa susu merupakan sumber kalsium yang paling tinggi dan merupakan penyumbang kalsium terbesar dari konsumsi kalsium harian. Wiseman (2002) menyatakan bahwa apabila susu dan produk susu tidak dikonsumsi maka akan sulit untuk mendapatkan asupan kalsium yang baik kecuali ditambah dengan konsumsi tablet kalsium. Susu tidak hanya kaya akan kalsium, akan tetapi mineral dalam susu juga diabsorpsi dengan baik.

21

Tabel 12 merupakan sebaran subjek berdasarkan kategori frekuensi konsumsi susu serta status PMS yang dialami. Tabel 12 Sebaran subjek berdasarkan frekuensi konsumsi susu dan status PMS Frekuensi Setiap hari Sering Jarang Tidak pernah Total

Ringan n % 6 40.0 8 53.3 0 0 1 6.7 15 100

Status PMS Sedang Berat n % n % 10 38.5 2 50 9 34.6 0 0 4 15.4 2 50 3 11.5 0 0 26 100 4 100

Total n % 18 40.0 17 37.8 6 13.3 4 8.9 45 100

p

0.935

Sebagian besar subjek (40.0%) mengonsumsi susu pada kategori setiap hari (Tabel 12). Jenis susu yang dikonsumsi oleh subjek terdiri dari susu segar, susu kental manis, susu bubuk serta olahan susu seperti keju dan yoghurt. Rata-rata konsumsi susu subjek yaitu 5.6 kali/minggu. Sebagian besar subjek mengalami PMS status sedang. Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) antara frekuensi susu dengan status PMS subjek. Sumber terbaik kalsium adalah susu nonfat karena memilki ketersediaan biologik yang tinggi (Almatsier 2002). Kalsium adalah salah satu mineral yang berperan penting dalam meringankan sindrom pramenstruasi (PMS) (Devi et al. 2010). Asupan kalsium yang cukup secara umum akan mengurangi nyeri selama fase menstruasi dan mengurangi retensi air selama fase premenstruasi yang disebakan karena defisiensi kalsium (Johnson et al. 2005). Menurut Lutfiah (2007), kalsium dari susu tidak berhubungan dengan skor keluhan menstruasi. Tingkat konsumsi kalsium yang tidak berhubungan dengan skor keluhan menstruasi bisa disebabkan karena berbagai hal, diantaranya yaitu konsumsi pangan penghambat penyerapan kalsium seperti serat, fitat, dan oksalat. Selain itu, gangguan menstruasi disebabkan karena berbagai hal, diantaranya yaitu karena faktor psikologik seperti keadaan stres dan gangguan emosi juga cenderung menurunkan absorpsi dan meningkatkan ekskresi kalsium (Almatsier 2002). Frekuensi Konsumsi Gula Frekuensi konsumsi gula diketahui melalui Food Fequency Questionaire. Konsumsi gula yang dimaksud adalah pemakaian atau penambahan gula pasir, dan gula aren pada makanan secara langsung, bukan gula yang berasal dari atau terkandung secara alami dalam suatu bahan pangan. Sebaran subjek berdasarkan kategori frekuensi konsumsi gula serta status PMS yang dialami dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Sebaran subjek berdasarkan frekuensi konsumsi gula dan status PMS Frekuensi Sering Jarang Tidak pernah Total

Ringan n % 6 40 6 40 3 20 15 100

Status PMS Sedang Berat n % n % 12 46 2 50 12 46 1 25 2 8 1 25 26 100 4 100

n 20 19 6 45

Total % 44.4 42.2 13.3 100

p

0.938

22

Sebagian besar subjek (44.4%) mengonsumsi gula dalam kategori sering (Tabel 13). Rata-rata konsumsi gula subjek yaitu 2 kali/minggu. Berdasarkan rata-rata frekuensi konsumsi gula subjek dalam seminggu, termasuk dalam kategori jarang. Uji beda Kruskal Wallis menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) antara frekuensi konsumsi gula dengan status PMS subjek. Menurut Rayburn (2001), faktor kebiasaan makan dengan kadar gula tinggi dapat memperberat gejala PMS. Konsumsi makanan tinggi gula dapat menaikkan gula darah. Peningkatan gula darah dapat disebabkan oleh defisiensi magnesium. Magnesium berperan dalam metabolisme karbohidrat yaitu memecah gula dengan cara merubah glukosa menjadi dua asam piruvat. Bila asupan magnesium rendah maka produksi serotonin menurun karena magnesium digunakan dalam proses glikolisis dan magnesium berperan juga dalam produksi serotonin yang berfungsi untuk mengontrol emosi dan nafsu makan. Frekuensi Makanan Fast Food Makanan cepat saji atau fast food adalah makanan yang tersedia dalam waktu cepat dan siap dikonsumsi, seperti fried chicken, hamburger atau pizza. Mudahnya memperoleh makanan cepat saji di pasaran memudahkan tersedianya variasi pangan sesuai selera dan daya beli, selain itu pengolahan dan penyiapannya lebih mudah dan cepat sehingga cocok untuk mereka yang sibuk (Sulistijani 2002). Akan tetapi, fast food biasanya mengandung zat gizi yang terbatas atau rendah. Selain itu kandungan lemak dan natrium cukup tinggi pada berbagai fast food (Worthington-Robert 2000). Ketidakseimbangan dapat terjadi, jika fast food dijadikan sebagai pola makan setiap hari (Mahdiyah, Zulaikhah & Asih 2004). Sebaran subjek berdasarkan kategori frekuensi konsumsi fast food serta hubungannya dengan tingkat keluhan PMS yang dialami dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Sebaran subjek berdasarkan frekuensi konsumsi fast food dan status PMS Frekuensi Sering Jarang Tidak pernah Total

Ringan n % 2 13.3 8 53.3 5 33.3 15 100

Status PMS Sedang Berat n % n % 3 11.5 2 50 21 80.8 2 50 2 7.7 0 0 26 100 4 100

n 7 31 7 45

Total % 15.6 68.9 15.6 100

p

0.078

Sebagian besar subjek (68.9%) termasuk dalam kategori jarang dalam mengonsumsi fast food (Tabel 14). Rata-rata konsumsi fast food subjek yaitu 1.3 kali/minggu. Rata-rata frekuensi konsumsi fast food dalam seminggu, termasuk dalam kategori jarang. Subjek dengan frekuensi fast food sering dan jarang banyak mengalami PMS dengan status sedang sedangkan subjek yang tidak pernah mengonsumsi fast food paling banyak mengalami PMS dengan status ringan. Hasil uji beda Kruskal Wallis menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p< 0.1) antara frekuensi fast food dengan tingkat keluhan PMS subjek. Menurut Paath et al. (2004), konsumsi fast food yang terus menerus akan mempengaruhi organ tubuh dan terganggunya fungsi reproduksi, seperti gangguan menstruasi.

23

Hal ini dapat disebabkan karena dalam fast food mengandung tinggi lemak, kalori, dan natrium. Kelebihan konsumsi lemak mengakibatkan obesitas. Wanita obese cenderung lebih banyak mengalami PMS (Antai et al. 2004). Mengurangi konsumsi makanan bergaram dapat menyebabkan penahanan air (retensi) dan pembengkakan pada perut. Usaha dengan mengurangi asupan garam dapat mengurangi rasa kembung dan sakit saat menjelang menstruasi (Simon 2003).

Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi Pola makan atau pola konsumsi pangan merupakan susunan jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu. Pola makan merupakan berbagai informasi yang memberi gambaran mengenai macam dan jumlah bahan makanan yang dimakan tiap hari oleh suatu orang dan merupakan ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat tertentu (Baliwati et al. 2004). Menurut Depkes RI (2007), berbagai macam faktor yang mempengaruhi pola makan seseorang diantaranya budaya, agama, status sosial ekonomi, personal preference, rasa lapar, nafsu makan rasa kenyang dan kesehatan. Survei konsumsi makanan merupakan salah satu penilaian status gizi dengan melihat jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi. Metode pengukuran konsumsi makanan digunakan untuk memperoleh data konsumsi makanan pada tingkat individu. Salah satu metode pengukuran konsumsi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Food Record yang dilakukan 5 x 24 jam, yang terdiri dari 4 hari kerja dan 1 hari libur. Menurut Hartriyanti dan Iriyanti (2007), food record merupakan catatan subjek mengenai jenis dan jumlah makanan dan minuman dalam satu periode waktu, biasanya 1 sampai 7 hari. Prinsip dari metode food record yaitu subjek diminta untuk mencatat semua yang ia makan dan minum setiap kali sebelum makan dengan estimasi menggunakan ukuran rumah tangga (URT). Hasil dari record konsumsi dikonversikan ke dalam kandungan gizi dengan menggunakan DKBM (Daftar Komposisi Bahan Makanan) sehingga diperoleh total energi atau zat gizi yang dikonsumsi. Selanjutnya, hasil total konsumsi digunakan untuk mengetahui tingkat kecukupan energi dan zat gizi. Tingkat kecukupan energi dan zat gizi dihitung dengan cara konsumsi zat gizi aktual dibagi dengan angka kecukupan zat gizi dikalikan dengan seratus persen. Angka Kecukupan Gizi yaitu banyaknya zat-zat minimal yang dibutuhkan seseorang untuk mempertahankan status gizi yang adekuat. AKG yang dianjurkan didasarkan pada patokan berat badan untuk masing-masing kelompok umur, jenis kelamin, tinggi badan, berat badan, kondisi khusus dan aktivitas fisik (Almatsier 2002). AKG yang digunakan yaitu aktual yang diperoleh dari berat badan aktual (kg) dibagi dengan berat badan AKG dikali dengan AKG. Angka Kecukupan gizi yang digunakan yaitu AKG tahun 2013. Tingkat Kecukupan Energi, Protein dan Lemak Zat gizi makro merupakan zat gizi yang dibutuhkan dalam jumlah besar untuk menunjang proses dalam tubuh. Zat gizi makro yang dianalisis kaitannya dengan PMS dalam penelitian ini diantaranya protein dan lemak. Tingkat

24

kecukupan energi, protein dan lemak subjek dan status PMS yang dialami disajikan dalam Tabel 15. Tabel 15 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan energi, protein, lemak dan status PMS Kategori kecukupan Energi Defisit berat Defisit sedang Cukup Total Protein Defisit berat Defisit sedang Defisit ringan Cukup Total Lemak Kurang Cukup Lebih Total

tingkat

Ringan n %

Status PMS Sedang Berat n % n %

n

14 1 0 15

93.3 6.7 0 100

24 0 2 26

92.3 0 7.7 100

4 0 0 4

100 0 0 100

42 1 2 45

93.4 2.2 4.4 100

13 1 0 1 15

86.6 6.7 0 6.7 100

20 3 1 2 26

76.9 11.6 3.8 7.7 100

4 0 0 0 4

100 0 0 0 100

37 4 1 3 45

82.2 8.9 2.2 6.7 100

1 5 9 15

6.7 33.3 60 100

1 4 21 26

3.8 15.4 80.8 100

1 0 3 4

25 0 75 100

3 9 33 45

6.7 20.0 73.3 100

Total %

p

0.406

0.205

0.815

Tingkat Kecukupan Energi dan PMS. Sebagian besar subjek (93.4%) memiliki tingkat kecukupan energi dalam kategori defisit berat (Tabel 15). Ratarata energi sehari subjek yaitu 1078 + 316.35 kkal. Hal yang dapat mempengaruhi subjek sehingga sebagian besar tingkat kecukupan energinya defisit berat diantaranya diduga terdapat flat slope syndrome, dimana seseorang yang berstatus gizi lebih, akan mengurangi makanan yang ia konsumsi dan sebaliknya seseorang dengan status gizi kurang akan menambahkan makanan yang dikonsumsi, sehingga terjadi bias. Hasil uji beda Kruskal Wallis menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara tingkat kecukupan energi dengan status PMS (p >0.05). Konsumsi energi bervariasi selama siklus reproduksi, dengan titik terendah dalam tahap periovular dan puncaknya pada fase luteal (Dye & Blundell 1997). Asupan kalori selama siklus menstruasi memiliki paralelisme tertentu dengan irama serotonin. Pada fase pramenstruasi, dengan aktivitas serotonin rendah, ada kecenderungan untuk konsumsi berlebihan makanan dan depresi. PMS telah dikaitkan dengan metabolisme serotonin disfungsional, dan bukti eksperimental menunjukkan bahwa fluktuasi hormon yang mempengaruhi tingkat serotonin pusat (Wyatt, Drimmock, & O’Brien 1999). Tingkat Kecukupan Protein dan PMS. Sebagian besar subjek (82.2%) mengalami defisit berat protein (Tabel 15). Rata-rata asupan protein setiap hari subjek yaitu 30.6 + 9.8 gram. Sebagian besar subjek dari kategori tingkat kecukupan protein mengalami status PMS sedang. Hasil uji beda Kruskal Wallis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara tingkat kecukupan protein dengan status PMS yang dialami subjek (p>0.05). George dan Eby (2006) dalam penelitiannya menyatakan bahwa konsumsi makanan sumber

25

protein dapat membantu merangsang produksi hormon estrogen selama menstruasi, sehingga mengurangi peradangan serta keram menstruasi. Asupan protein yang kurang akan mempengaruhi penurunan frekuensi puncak luteinizing hormone dan akan mengalami pemendekan fase folikuler, sehingga mengakibatkan ketidakseimbangan hormon dan dapat memperberat keluhan pramenstruasi (Almatsier 2004). Tingkat Kecukupan Lemak dan PMS. Sebagian besar subjek (73.3%) memiliki tingkat kecukupan lemak yang melebihi standar (Tabel 15). Rata-rata asupan lemak sehari subjek yaitu 32.4 + 10.9 gram. Hal ini karena sebagian besar subjek mengonsumsi beraneka macam gorengan setiap harinya sebagai sarapan atau camilan. Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara tingkat kecukupan lemak dengan status PMS yang dialami subjek (>0.05). Menurut Nagata et al. (2004), asupan lemak berhubungan dengan kejadian PMS. Hal ini didukung dengan penelitian bahwa terdapat hubungan positif antara total asupan lemak dengan perubahan skor PMS. Lemak akan meningkatkan kadar estrogen dalam darah, sehingga akan menyebabkan gejala depresi, karena hormon estrogen yang tinggi dapat menyebabkan terganggunya proses kimia tubuh (Brunner & Suddarth 2001). Tingkat Kecukupan Zat Gizi Mikro Zat gizi mikro merupakan zat gizi yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit oleh tubuh, namun memiliki peran dan fungsi yang sangan vital bagi tubuh. Kekurangan zat gizi mikro dapat menyebabkan beberapa defisiensi menurut jenis zat gizi mikro. Tingkat kecukupan zat gizi mikro yang dihitung adalah kalsium, zat besi, vitamin A dan vitamin C. Tabel 16 merupakan tabel sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan kalsium, zat besi, vitamin A dan C serta status PMS yang dialami subjek. Tabel 16 Sebaran subjek berdasarkan tingkat kecukupan zat gizi mikro dan status PMS Kategori tingkat kecukupan Kalsium Kurang Cukup Total Zat besi Kurang Cukup Total Vitamin A Kurang Cukup Total Vitamin C Kurang Cukup Total

Ringan n %

Status PMS Sedang Berat n % n %

n

15 0 15

100 0 100

26 0 26

100 0 100

4 0 4

100 0 100

45 0 45

100 0 100

15 0 15

100 0 100

26 0 26

100 0 100

4 0 4

100 0 100

45 0 45

100 0 100

12 3 15

80 20 100

19 7 26

73.1 26.9 100

4 0 4

100 0 100

35 10 45

77.8 22.2 100

15 0 15

100 0 100

23 3 26

88.5 11.5 100

4 0 4

100 0 100

42 3 45

93.3 4.7 100

Total %

p

0.155

0.440

0.272

0.034

26

Tingkat Kecukupan Kalsium dan PMS. Secara keseluruhan subjek memiliki tingkat kecukupan kalsium yang kurang dari standar AKG (Tabel 16). Rata-rata asupan kalsium sehari subjek yaitu 162.3 + 97.03 mg. Hasil Uji beda Kruskal Wallis menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (p>0.05) antara tingkat kecukupan kalsium dengan status PMS. Kalsium berperan dalam mengontrol sekresi paratiroid (Pragasta 2008). Peran hormon tiroid yang berhubungan dengan siklus menstruasi adalah mempertahankan sekresi hormon gonadotropin yang merangsang pelepasan hormon FSH dan LH di hipofisis. Pembentukan estrogen dirangsang oleh FSH, sedangkan pembentukan hormon progesteron dihasilkan oleh korpus luteum yang dirangsang oleh LH dan berfungsi menyiapkan dinding uterus agar dapat menerima telur yang sudah dibuahi (Devi et al. 2010). Kalsium adalah salah satu mineral yang berperan penting dalam meringankan sindrom pramenstruasi (PMS) (Devi et al. 2010). Menurut Johnson et al. (2005), asupan kalsium yang cukup secara umum akan mengurangi nyeri selama fase menstruasi dan mengurangi retensi air selama fase premenstruasi yang disebakan karena defisiensi kalsium. Peningkatan keluhan sindrom pramenstruasi tersebut terjadi bila defisiensi itu terjadi pada fase luteal. Menurut Ganong (2001), fase luteal adalah fase dari ovulasi hingga menstruasi dengan jangka waktu rata-rata 14 hari. Pada saat itu terjadi kontraksi otot perut yang sangat intens untuk mengeluarkan darah menstruasi. Kontraksi yang sangat intens ini kemudian menyebabkan otot menegang. Ketegangan otot tersebut tidak hanya terjadi pada otot perut, tetapi juga otot-otot penunjang otot perut. Kontraksi ini akan meningkat apabila mengalami defisiensi kalsium. Kadar estrogen yang meningkat pada fase luteal menyebabkan kadar kalsium dalam darah menurun. Kadar kalsium yang rendah (hipokalsemia) menunjukkan gejala-gejala yang mirip dengan keluhan PMS yaitu kegelisahan, daya ingat berkurang, kejang otot, kram perut, depresi, lesu, dan lebih emosional, sehingga jika terjadi defisiensi kalsium saat PMS dapat memperparah keluhan PMS yang ada (Thys-Jacobs 2000). Tingkat Kecukupan Zat Besi dan PMS. Secara keseluruhan subjek memiliki tingkat kecukupan zat besi yang kurang (Tabel 16). Rata-rata asupan zat besi sehari subjek yaitu 8.06 + 2.35 mg. Hasil Uji beda Kruskal Wallis menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata (p>0.05) antara tingkat kecukupan zat besi dengan status PMS. Gejala kekurangan zat besi meliputi depresi, gangguan aktivitas fisik, dan masalah kognitif (Chocano-Bedoya 2011). Depresi disebabkan kurangnya serotonin dalam tubuh. Salah satu peran zat besi adalah dalam metabolisme serotonin. Serotonin adalah neurotransmitter yang berpengaruh pada pathogenesis sindrom pramenstruasi. Estrogen dan progesteron mempengaruhi aktivitas serotonin. Beberapa gejala dan gangguan suasana hati pada sindrom pramenstruasi dipengaruhi oleh disfungsi serotonin (Brunner & Suddarth 2001). Tingkat Kecukupan Vitamin A dan PMS. Sebagian besar subjek memiliki tingkat kecukupan vitamin A yang kurang dari standar AKG (Tabel 16). Rata-rata asupan vitamin A sehari subjek yaitu 295.6 + 185.5 RE. Hasil uji beda Kruskal Wallis menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) antara tingkat kecukupan vitamin A dengan status PMS subjek. Vitamin A merupakan sumber antioksidan yang berasal dari makanan. Asupan zat gizi tersebut penting karena dapat mengurangi dampak stres yang terjadi pada tubuh karena antioksidan

27

dapat menghambat aktivitas senyawa oksidan baik yang berbentuk radikal bebas atau pun bentuk senyawa oksigen reaktif lain. Kerusakan oksidatif akibat stres terjadi karena rendahnya antioksidan didalam tubuh sehingga tidak dapat mengimbangi reaktivitas senyawa oksidan (Winarsi 2007). Selain itu, menurut Almatsier (2002) menyatakan bahwa vitamin A berfungsi dalam pertumbuhan dan perkembangan, dan reproduksi serta berfungsi sebagai pembentuk sel darah merah. Gangguan pembentukan sel darah merah dapat menyebabkan gangguan proses menstruasi. Tingkat Kecukupan Vitamin C dan PMS. Sebagian besar subjek (93.3%) memiliki tingkat kecukupan vitamin C yang kurang (Tabel 16). Rata-rata asupan vitamin C subjek dalam sehari adalah 22.65 + 23.5 mg. Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata (p0.05). Hasil ini tidak sejalan dengan teori yang menerangkan bahwa wanita obese cenderung lebih banyak mengalami PMS (Antai et al. 2004). Obesitas sangat erat hubungannya dengan PMS. Wanita obese (IMT > 30 kg/m2) hampir tiga kali lipat berisiko tinggi mengalami PMS dibandingkan dengan yang tidak obese (Masho, Adera & South 2005). Lemak tubuh mempengaruhi siklus menstruasi. Sel adipose memproduksi estrogen pada wanita obesitas sirkulasi estrogen sangat besar dibanding dengan wanita normal (Mayo 1999). Sebagian besar subjek (48.9%) memiliki persen lemak tubuh pada kategori Obese dengan rata-rata persen lemak tubuh yaitu 32.29 + 8.82%. Status PMS ringan banyak ditemui pada subjek dengan kategori persen lemak tubuh Obese (66.6%), status PMS sedang pada subjek dengan persen lemak tubuh overfat dan obese (34.6%), dan status PMS berat pada subjek dengan persen lemak tubuh obese (75%). Berdasarkan hasil uji beda Kruskal Wallis, tidak terdapat perbedaan yang nyata antara persen lemak tubuh dengan status PMS (p>0.05). Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Waryana (2010), bahwa apabila komposisi lemak tubuh seseorang kurang, maka akan mempengaruhi kadar estrogen dalam sistem reproduksi serta mengakibatkan terjadinya PMS.

29

Analisis Regresi Logistik Uji regresi logistik digunakan untuk mengetahui faktor resiko PMS. Variabel yang diduga mempengaruhi PMS diantaranya pengetahuan gizi, Indeks Massa Tubuh (IMT), stres, persen lemak tubuh, tingkat kecukupan protein, lemak, vitamin A, vitamin C, aktivitas fisik, frekuensi konsumsi susu, gula dan fast food. Berikut ini merupakan persamaan yang diperoleh berdasarkan uji regresi logistik. Log P = -25.448-2.940(x1)-5.729(x2)-3.854(x3) 1-p Keterangan: X1 = tingkat kecukupan lemak X2 = pengetahuan gizi dan menstruasi X3 = Indeks Massa Tubuh

Berdasarkan hasil uji regresi logistik, terdapat tiga variabel yang menjadi faktor resiko PMS, diantaranya tingkat kecukupan lemak, pengetahuan gizi dan menstruasi, serta Indeks Massa Tubuh. Hasil uji regresi logistik menunjukkan bahwa tingkat kecukupan lemak yang rendah dapat menurunkan terjadinya keluhan PMS sebanyak 0.053 kali, pengetahuan gizi dan menstruasi yang sedang dapat menurunkan resiko terjadinya keluhan PMS 0.003 kali dan Indeks Massa Tubuh yang rendah (underweight) dapat menurunkan resiko PMS sebesar 0.021 kali.

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Usia subjek yaitu antara 21-38 tahun dengan rata-rata usia 25.46 + 3.7 tahun. Sebanyak 11 orang (24.4%) dan belum menikah sebanyak 34 orang (75.6%). Sebagian besar pendapatan subjek berkisar antara 2-4 juta perbulan. Sebagian besar subjek memiliki pengetahuan gizi dan menstruasi yang baik (68.9%). Rata-rata usia menarche subjek yaitu 12.98 + 1.2 tahun. Subjek memiliki siklus menstruasi berkisar antara 25-30 hari dan sebagian besar subjek mengalami menstruasi selama 3-9 hari (91.1%). Berdasarkan hasil pengkategorian jenis keluhan PMS yang dialami, sebanyak 15 orang subjek (33.3%) mengalami keluhan PMS ringan, 26 orang subjek (57.8%) mengalami keluhan sedang dan 4 orang subjek (8.9%) mengalami keluhan berat. Aktivitas fisik subjek sebagian besar ringan (57.8%). Rata-rata PAL yang dimiliki subjek yaitu 1.43 dan rata-rata frekuensi olahraga yang dilakukan subjek yaitu 1 kali/minggu dengan rata-rata durasi olahraga yaitu sekitar 18.8 menit. Tingkat kecukupan energi dan protein subjek termasuk dalam kategori defisit berat. Sebagian besar subjek memiliki tingkat kecukupan lemak yang melebihi standar (73.3%). Tingkat kecukupan kalsium, zat besi, vitamin A dan vitamin C termasuk dalam kategori kurang (< 77%). Rata-rata subjek mengonsumsi olahan kacang-kacangan 4.2 kali/minggu, sayuran 6.4 kali/minggu, buah 5.6 kali/minggu,

30

susu 5.6 kali/minggu, gula 2 kali/minggu dan fast food 1.3 kali/minggu. Sebagian besar subjek mengalami stres ringan (95.6%). Sebagian besar subjek memiliki status gizi normal (48.9 %) sedangkan persen lemak tubuh yaitu obese. Berdasarkan uji beda tingkat keluhan PMS dengan seluruh variabel, menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (p>0.05), kecuali tingkat kecukupan vitamin C dan frekuensi fast food. Berdasarkan uji regresi logistik, variabel tingkat kecukupan lemak, IMT dan pengetahuan gizi dan menstruasi merupakan faktor yang mempengaruhi PMS.

Saran Penelitian selanjutnya perlu dilakukan untuk lebih melengkapi dan memperkuat penelitian yang telah ada sebelumnya, dengan menambahkan subjek yang tidak mengalami PMS sebagai kelompok pembanding dengan kelompok subjek PMS. Selain itu, usia subjek lebih bervariasi lagi pada rentang 19-45 tahun, sehingga tidak terjadi bias.

DAFTAR PUSTAKA Almatsier S. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta (ID): Gramedia. _________. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta (ID): Gramedia. Al-Sahab B, Hamadeh JM, Tamim H. 2010. Early menarche predicts incidence of asthma in early adulthood. American Journal of Epidemiology; 173 (1): 6470. Amalia NR. 2013. Hubungan indeks massa tubuh dan persen lemak tubuh dengan sindrom premenstruasi pada remaja putri di SMA Bina Insani Bogor [skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Antai AB, Udezi AW, Ekanem EE, Okon UJ, Umoiyoho AU. 2004. Premenstrual syndrome: prevalence in students of the university of Calabar, Nigeria. African Journal of Biomedical Research, 7:45-50. Anthony I. 2002. Sindroma Pra-haid, Wanita dan Nutrisi. Health Media Nutrition Series. Atmarita, Fallah. 2004. Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta, 17-19 Mei. Jakarta (ID). Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Baliwati YF dkk. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Batubara JRL, Soesanti F, Waal HDVD. 2010. Age at menarche in Indonesian girls: a national survey. Acta Med Indones-Indones J Intern Med, 42(2). [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Kota Bogor dalam Angka. Bogor (ID): BPS Bogor.

31

Brahmbhatt S, Sattigeri BM, Shah H, Kumar A, Parikh D. 2013. A prospective survey study on premenstrual syndrome in young and middle aged women with an emphasis on its management. Int J Res Med Sci. 2013 May;1(2):6972. doi: 10.5455/2320-6012.ijrms20130506. Brunner, Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta (ID): EGC. Bryant M, Cassidy A, Hill C, Powell J, Talbot D, Dye L. 2005. Effect of consumption of soy isoflavones on behavioural, somatic, and affective symptoms in women with premenstrual syndrome. British Journal of Nutrition 93:731-739. Chocano-Bedoya, et al. 2011. Dietary B vitamin intake and incident premenstrual syndrome. Am J Clin Nutr ;93:1080-6. Cornforth T. 2007. What risk factors are associated with pms?[internet]. (diunduh 2014 Sept 25). Tersedia pada: http://www.Women’s health.about.com. [Depkes RI] Departemen Kesehatan RI. 2001. Program Penanggulangan Anemia Gizi pada Wanita Usia Subur (WUS).Jakarta (ID): Direktorat Gizi Masyarakat, Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. ________. 2007. Keluarga sadar Gizi (Kadarzi). Jakarta(ID): Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Deutch B. 1995. Menstrual pain in Danish women correlated with low n-3 polyunsaturated fatty acid. European Journal Clinical Nutrition. Vol 49:508-516. Devi M. 2009. Hubungan kebiasaan makan dengan kejadian sindrom pramenstruasi pada remaja putri. Teknologi dan Kejuruan, Vol 32, September 2009: 197-208. Devi M, Syarief H, Damanik R, Sulaeman A, Setiawan B, Dewi R. 2010. Suplementasi daun torbangun (Coleus amboinicus Lour) untuk menurunkan keluhan sindrom pramenstruasi pada remaja putri (supplementation of torbangun leaves [Coleus amboinicus Lour] in reducing the complainst of pre-menstrual syndrome [pms] among teenage girls). PGM 2010, 33(2): 180-194. Dickerson LM, Pharm D, Pamela J, Mazyck, Melissa H. 2003. Premenstrual syndrome. American Family Physicians. 67:1743-1752. Dye L, Blundell JE. 1997. Menstrual cycle and appetite control: implications for weight regulation. Hum Reprod; 12: 1142-51. FAO/WHO/UNU. 2001. FAO/WHO/UNU.

Human

Energy

Requirements.

Rome

(IT):

Freemen EW. 2007. Epidemiology and etiology of premenstrual syndromes: etiology. Dalam Medscape Multispecialty Education [internet]. [diunduh 2014 Sep 21]. Tersedia pada: http://www.medscape.org. Ganong WF. 2001. Fisiologi Kedokteran. Jakarta (ID) : EGC.

32

George A, Eby. 2006. Zinc treatment prevents dysmenorrhea [internet]. [diunduh oleh Dewantari 2009 Nov 25]. Tersedia pada: http://george-ebyresearch.com/html/zinc-forcramps.pdf. Gibson RS. 2005. Principles of Nutritional Assessment. Second Edition. New York (US): Oxford University Press Inc. Gunarsa SD, Gunarsa YS. 2004. Psikologi Praktis: Anak. Remaja. dan Keluarga. Jakarta (ID): BPK Gunung Mulia. Halbreich U. 2003. The etiology, biology, and evolving pathology of premenstrual syndromes. Psychoneuroendocrinology. Suppl 3:55-99. Hanafi H. 2002. Keluarga Berencana dan KB. Jakarta(ID): Pustaka Sinar Harapan. Hartriyanti, Iriyanti. 2007. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Jakarta(ID): Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada. Ishiwata N, Uesugi S, Uehara M. 2003. Effects of soy isoflavones on premenstrual syndrome. Soy Protein Research 6:135-139. Johnson ERB, Hankinson SE, Bendich A, Johnson SR, Willet WC, Manson JE. 2005. Calcium and Vitamin D Intake and Risk of Incident Premenstrual Syndrome. Arch Intern Med; 165: 1246-52. Jones L, Derek, Abraham, Suzane. 1996. Every Girl. London (EN): Oxford University Press. Khomsan A. 2000. Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Kroll A. 2010. Recreational physical activity and premenstrual syndrome in college-aged women [tesis]. Massachusetts: Public Health, Biostatistic and Epidemiology, University of Massachusetts Amherst. Lemeshow S, David WH. 1997. Besar Sampel dalam Penelitian Kesehatan (terjemahan). Yogyakarta (ID): Gajah Mada University Press. Lovibond SH, Lovibon PF. 1995. Manual for the Depression Anxiety Stres Scales. The Phychology, Foundation of Australia Inc. Lutfiah V. 2007. Hubungan konsumsi pangan sumber kalsium dengan keluhan menstruasi pada remaja [skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Mahardikawati VA, Roosita K. 2008. Aktivitas fisik, asupan energi, dan status gizi wanita pemetik teh di PTPN VIII Bandung, Jawa Barat. Jurnal Gizi dan Pangan; 3(2);79-85. Mahdiyah J, Zulaikhah EK, Asih. 2004. Peran mahasiswa dalam mengurangi pola konsumsi fast food pada remaja kota. Karya Tulis Mahasiswa Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial IPB. Mann J, Truswell AS. 2002. Essentials of Human Nutrition. New York (US): Oxford University Press.

33

Martadisoebrata D, Sastrawinata S, Saifuddin AB. 2005. Bunga Rampai Obstetri dan Ginekologi Sosial. Jakarta (ID): Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Martianto D, Ariani M. 2004. Analisis Perubahan Konsumsi dan Pola Konsumsi Pangan Masyarakat dalam Dekade Terakhir. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII “Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi”; Jakarta 17-19 Mei 2004. Jakarta: LIPI. Martini F, Prasetyowati. 2009. Gizi dan Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta (ID): Pustaka Media. Masho SW, Adera T, South-Paul J. 2005. Obesity as a risk factor for premenstrual syndrome. J Psychosom Obstet Gynaecol; 26:33-9. Mason P. 2007. Pharmaceutical and nutrition writer and consultant looks at diet and PMS. J Nutr Soc. 2007. Nov; 66(4);493-507. Matsumoto T, Ushiroyama T, Morimura M, Moritani T, Hayashi T, Suzuki T, Tatsum N. 2006. Autonomic nervous system activity in late luteal phase of eumorrheic women with premenstrual syndrome. Journal of Psychosomatic Obstetric & Gynecology. 27 : 131-39. Mayo JL. 1999. Premenstrual Syndrome: A Natural Approach to Management. Applied Nutritional Science Report. 5(6):1-8. Mc Kinley. 2008. Nutrition and Premenstrual syndrome. Health Center University of Illinoisat Urbana-Champaign. Mc Pherson ME, Korfine L. 2004. Menstruation across time: menarche, menstrual attitudes, experiences, and behaviors. Women’s Health Issues, vol. 14, no. 6, pp. 193–200. Mulyono et al. 2001.Stress psikososisal pada wanita pekerja status kawin di PT. Tulus Tritunggal Gresik. Jurnal Universitas Airlangga. Nagata C, Hirokawa K, Shimizu N, Shimizu H. 2004. Soy, fat and other dietary factors in relation to premenstrual symptoms in Japanese women. BJOG; 111: 594-9. Notoatmojo. 2003. Ilmu Kesehatan Jakarta(ID): PT. Rineka Cipta.

Masyarakat

Prinsip-Prinsip

Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Keperawatan Edisi 2. Jakarta (ID): Salemba Medika. Hal 92-120.

Dasar. Ilmu

Paath, Francin E, Rumdasih Y, Heryati. 2004. Gizi dalam Kesehatan Reproduksi. Jakarta (ID): Buku Kedokteran EGC. Pearce E. 2000. Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis. Jakarta (ID): Gramedia. Pragasta R. 2008. Anatomi dan Fisiologi Sistem Endokrin. Malang (ID): Fakultas Kedokteran Universitas Islam Malang. Pujiastuti A. 2007. Pengaruh pre menstrual syndrom terhadap produktivitas kerja wanita di pabrik korek api pematang siantar [tesis]. USU.

34

Rayburn WF. 2001. Obstetri dan Ginekologi. Alih bahasa: H. TMA Chalik. Jakarta(ID); Widya Medika. Rishi RK. 2002. Phytoestrogens in health and illnes. Calcutta. Indian J Pharmacology. 2002 34:311-320. [Riskesdas] Riset Kesehatan Dasar. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Rizk DEE, Mosallam M, Alyan S, Nagelkerke N. 2010. Prevalence and impact of premenstrual syndrome in adolescent schoolgirls in the United Arab Emirates. Acta Obstet Gynecol; 85: 589-98. Sarwono P. 2000. Ilmu Kebidanan. Jakarta(ID): Yayasan Bina Pustaka. Simon H. 2003. Premenstrual Syndrome. Associate Profesor of Medicine, Harvard Medical School; Physician, Massachusetts General Hospital. A.D.A.M. Inc. Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. Bogor (ID): IPB-PAU Pangan dan Gizi. Suhardjo. 2005. Perencanaan Pangan dan Gizi. Jakarta(ID): Bumi Aksara. Sulistijani DA. 2002. Sehat dengan Menu Berserat.Jakarta (ID): Trubus Agriwidya. Supariasa. 2011. Penilaian Status Gizi. Jakarta (ID):EGC. Tambing Y. 2012. Aktivitas fisik dan sindrom premenstruasi pada remaja [tesis]. Universitas Gajah Mada. Thompson LU, Boucher BA, Liu Z, Cotterchio M, Kreiger N, 2006. Phytoestrogen Content of Foods Consumed in Canada, Including Isoflavones, Lignans, and Coumestan. Lawrence Erlbaum Associates, Inc. 2006. 54(2), 184–201. Thu M, Diaz EOG, Sawhsarkapaw. 2006. Premenstrual syndrome among female university students in Thailand. AU J.T. 9(3): 158-162. Thys-Jacobs S. 2000. Micronutrient and the premenstrual syndrome: The case for calcium. J of the Am College of Nutr 2:220-227.

Utari D. 2013. Hubungan asupan gizi dengan sindrom pramenstruasi pada remaja putri di SMS Bina Insani Bogor [skripsi]. Institut Pertanian Bogor. Waryana. 2010. Gizi Reproduksi. Yogyakarta (ID): Pustaka Rihama Widayati RS. 2007. Diet Penanganan Sindrom Pramenstruasi. Gaster. 3(1): 69-73. Wiknojosastro H. 2009. Ilmu Kandungan. Jakarta (ID): YBP-SP. Winarsi H. 2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas. Jakarta (ID): Kanisius.

Wirakusumah E. 2003. Tips dan Solusi Agar Tetap Sehat, Cantik, dan Bahagia di Masa Menopause dengan Terapi Estrogen Alami. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Wiseman G. 2002. Nutrition and Health. London (EN): Taylor & Francis. Wittchen HU et al. 2002. Prevalence, incidence and stability of premenstrual dysphoric disorder in the community. Psychol Med;32:119-32.

35

[WNPG] Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta (ID): LIPI. Woods NF, Most A, Dery GK. 1982. Prevalence of perimenstrual symptoms. Am J Public Health; 72: 1257-64. Worthington-Robert. 2000. Nutrition Throughout The Life Cycle. Edisi ke-4. United Stated (US): McGraw-Hill Book Companies, Inc. Wurtman JJ et al. 1989. Effect of nutrient intake on premenstrual depression. American Journal of Obstetrics & Gynecology. Volume 161, 5: 1228-1234. Wyatt KM, Drimmock PW, O’Brien PMS. 1999. Selective serotonin reuptake inhibitors for premenstrual syndrome. The Cochrane Library. Oxford, England (EN): Update Software. Yuliarti N. 2009. Woman Health and Beauty. Yogyakarta (ID): ANDI.

36

37

Lampiran 1 Kuesiomer penelitian Sehubungan dengan penelitian saya yang berjudul Sindrom Pramenstruasi pekerja wanita pada berbagai aktivitas fisik, pola konsumsi dan status gizi dengan kerendahan hati saya mohon kesediaan saudari untuk menjadi responden dalam penelitian ini. Semua data dan informasi yang dikumpulkan akan dijaga kerahasiaannya dan hanya akan digunakan untuk kepentingan penelitian.

INFORMED CONSENT

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, bersedia dan menyetujui menjadi responden dalam penelitian Sindrom Pramenstruasi pekerja wanita pada berbagai aktivitas fisik, pola konsumsi dan status gizi

Jakarta,…………….. 2014

___________________

38

39

No. Responden: KUESIONER PENELITIAN

SINDROM PRAMENSTRUASI PEKERJA WANITA PADA BERBAGAI AKTIVITAS FISIK, POLA KONSUMSI DAN STATUS GIZI

Oleh: Faiza Harsah

Nama Lengkap Alamat Nama Instansi Pewawancara No Hp Tanggal Wawancara

I14124014

: : : : : :

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

40

41

KARAKTERISTIK RESPONDEN 1. Nama Lengkap : _______________________[A1] 2. Umur/Tanggal Lahir : ____tahun/______________[A2] 3. Alamat : _______________________[A3] 4. Berat Badan (diisi oleh pewawancara) : ___ kg [A4] 5. Tinggi Badan (diisi oleh pewawancara) : ___ cm [A5] 6. Lemak tubuh (diisi oleh pewawancara) : ___% [A6] 7. Status : 1. Menikah 2. Belum menikah 8. Jumlah anggota keluarga : orang 9. Pendidikan terakhir : 10. Jabatan/ masa kerja : / tahun 11. Total Pendapatan /bulan : A. KARAKTERISTIK MENSTRUASI B1 B2

B3

B4

B5

B6

B7

B8

B9

Usia pertama kali menstruasi Jadwal menstruasi

........ tahun a. awal bulan (10 hari pertama) b. pertengahan bulan c. akhir bulan (10 hari terakhir) Keteraturan jadwal menstruasi a. sering tepat waktu b. sering datang lebih awal c. sering datang terlambat Lama siklus menstruasi a. < 25 hari b. 25-30 hari c. >30 hari Lama menstruasi a. 9 hari Apakah pernah mengalami a. Ya, sering PMS? b. Tidak c. Kadang-kadang Jenis keluhan PMS yang biasa a. Keram di bawah perut/perut kembung dialami b. Sakit kepala (jawaban boleh lebih dari satu) c. Mual d. Muntah e. Sakit pada payudara f. Sakit pinggang g. Lesu h. Timbul Jerawat i. Emosional j. dan lain-lain............... Apakah keluhan menggangu a. Ya aktivitas? b. Tidak c. Kadang-kadang Apa yang anda lakukan untuk a. Istirahat/berbaring mengatasi keluhan? b. Mengkompres perut dengan air hangat c. Minum obat d. Minum suplemen e. Mengatur makanan f. Lainnya.........

42

B. PENGETAHUAN GIZI DAN MENSTRUASI Beri tanda silang (X) pada salah satu jawaban yang paling tepat! C1

Menstruasi pertama kali dinamakan

C2

Menstruasi merupakan tanda bahwa seorang wanita memasuki usia

C3

Salah satu tanda yang bukan merupakan keluhan menjelang menstruasi adalah Makanan yang banyak mengandung kalsium adalah

C4

C5

Salah satu zat gizi yang banyak terdapat di sayur dan buah adalah

C6

Makanan yang dapat mengurangi keluhan menstruasi diantaranya

C7

Makanan yang dihindari untuk mengatasi keluhan menstruasi adalah

C8

Upaya penanggulangan keluhan menstruasi yang baik dan benar adalah

a. menarche b. menopause c. perdarahan a. Produktif b. Subur c. Dewasa a. Keram di bawah perut b. Timbulnya jerawat c. Sakit gigi a. Tempe b. Susu c. Jeruk a. Serat b. Lemak c. Protein a. Buah, sayur dan susu b. Kopi, fast food c. Garam dan gula a. Tinggi lemak b. Rendah lemak c. Rendah garam a. Perubahan gaya hidup b. Hindari stress c. Konsumsi obat/suplemen

43

C. TINGKAT STRES Beri tanda ceklis pada jawaban yang sesuai dengan yang anda dialami selama 1 bulan terakhir! No.

Pernyataan

D1

Mudah menjadi marah karena hal-hal yang sepele Merasa sulit untuk beristirahat Mudah panik/ gelisah Takut diri terhambat oleh tugas-tugas yang tidak bisa dilakukan Kesulitan untuk tenang setelah sesuatu yang mengganggu Merasa sedih dan depresi Kehilangan minat pada banyak hal (misal: makan, sosialisasi) Sulit untuk antusias pada banyak hal Cemas berlebihan dalam suatu situasi namun bisa lega bila situasi tersebut berakhir Sulit untuk meningkatkan inisiatif dalam melakukan sesuatu Mudah tersinggung Kesulitan dalam menelan Merasa gangguan dalam bernafas (nafas cepat, sulit bernafas) Tidak dapat melihat hal yang positif dari suatu kejadian

D2 D3 D4

D5 D6 D7 D8 D9

D10

D11 D12 D13

D14

Tidak pernah

Kadangkadang

Sering

Sangat sering

44

D. FOOD RECORD Contoh: Waktu makan

Menu

Bahan makanan

Makan Pagi

Nasi goreng

Nasi Putih Bakso Telur Ayam Gula

Telur Ceplok Teh manis

Banyaknya yang dimakan 1 centong 2 biji 1 butir 2 sendok makan

Isilah tabel di bawah ini, berdasarkan makanan yang dikonsumsi pada hari 1! Hari/Tanggal:________________________________ Waktu makan Menu Bahan makanan Banyaknya yang dimakan Makan Pagi (06.00-09.00)

Snack Pagi (09.00-12.00)

Makan Siang (12.00-14.00)

Snack Siang (14.00-18.00)

Makan malam (18.00-21.00)

Snack malam (21.00)

45

Isilah tabel di bawah ini, berdasarkan makanan yang dikonsumsi pada hari 2 ! Hari/Tanggal:_______________________________ Waktu makan Menu Bahan makanan Banyaknya yang dimakan Makan Pagi (06.00-09.00)

Snack Pagi (09.00-12.00)

Makan Siang (12.00-14.00)

Snack Siang (14.00-18.00)

Makan malam (18.00-21.00)

Snack malam (21.00)

46

Isilah tabel di bawah ini, berdasarkan makanan yang dikonsumsi pada hari 3 ! Waktu makan Menu Bahan makanan Banyaknya yang dimakan Makan Pagi (06.00-09.00)

Snack Pagi (09.00-12.00)

Makan Siang (12.00-14.00)

Snack Siang (14.00-18.00)

Makan malam (18.00-21.00)

Snack malam (21.00)

47

Isilah tabel di bawah ini, berdasarkan makanan yang dikonsumsi pada hari 4 ! Waktu makan Menu Bahan makanan Banyaknya yang dimakan Makan Pagi (06.00-09.00)

Snack Pagi (09.00-12.00)

Makan Siang (12.00-14.00)

Snack Siang (14.00-18.00)

Makan malam (18.00-21.00)

Snack malam (21.00)

48

Isilah tabel di bawah ini, berdasarkan makanan yang dikonsumsi pada hari 5 (Hari Libur)! Waktu makan Menu Bahan makanan Banyaknya yang dimakan Makan Pagi (06.00-09.00)

Snack Pagi (09.00-12.00)

Makan Siang (12.00-14.00)

Snack Siang (14.00-18.00)

Makan malam (18.00-21.00)

Snack malam (21.00)

49

FOOD FREQUENCY QUESTIONNAIRE (FFQ) Isilah dengan memberikan tanda ceklis (√ ) pada kolom yang dianggap sesuai Bahan Makanan

1-2 kali/ minggu Serealia, Umbi-umbian dan olahannya Nasi Jagung Mie Roti Biskuit Kentang Singkong Lainnya......... Lauk Hewani Daging Ayam Daging Sapi Ikan sarden Ikan Mas Ikan lele Ikan Teri Ikan Nila Ikan Asin Telur Ayam Lainnya.... Kacang-kacangan dn Olahannya Tempe Tahu Oncom Kacang Tanah Kacang Hijau Susu Kedelai Lainnya...... Sayur dan Olahannya Bayam Kangkung Sawi Wortel Kol Daun singkong Brokoli Buncis Selada Taoge Labu Siam Buah Apel Pisang Anggur Jeruk Strawberri Jambu Biji

Semangka Lainnya.....

2 kali/bln

Frekuensi 3-6 kali/ 1 kali/ minggu hari

>1 kali/ hari

Tidak pernah

50

Bahan Makanan

2 kali/bln

1-2 kali/ minggu

Frekuensi 3-6 kali/ 1 kali/ minggu hari

>1 kali/ hari

Tidak pernah

Susu dan Olahannya Susu Segar Susu Kental Manis Susu Bubuk Keju Yoghurt Lain-lain Gula Teh Kopi Saos Fast Food

E. AKTIVITAS FISIK F1

Berapa kali olahraga dalam seminggu

F2 F3

Berapa lama waktu untuk olahraga? Olahraga apa yang biasa dilakukan

F4

Apa alat transportasi ke kantor?

a. 1 kali c. > 3 kali b. 2 kali d. Tidak pernah ……….menit a. Lari b. Bersepeda c. Renang d. Basket e. Badminton f. Voli g. lainnya……. a. jalan kaki b. sepeda c. motor d. mobil/angkutan umum (kereta) Berapa lama?

51

Recall Kegiatan (Hari Kerja) Isilah kolom di bawah ini sesuai dengan kegiatan yang anda lakukan pada hari kerja, dimulai dari waktu bangun tidur sampai tidur lagi.

Contoh: Waktu 21.00-05.00

Jenis Kegiatan Tidur

Keterangan

Waktu

Jenis Kegiatan

Keterangan

52

Recall Kegiatan (Hari Libur) Isilah kolom di bawah ini sesuai dengan kegiatan yang anda lakukan pada hari libur, dimulai dari waktu bangun tidur sampai tidur lagi. Waktu Jenis Kegiatan Keterangan

53

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirlkan di Rangkasbitung pada tanggal 7 September 1991. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Syahrul dan Ibu Neldawati. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Cijoro Pasir 03 pada tahun 2003, sekolah menengah pertama di SMP Negeri 2 Rangkasbitung pada tahun 2006 dan sekolah menengah atas di SMA Negeri 3 Rangkasbitung pada tahun 2009. Penulis melanjutkan kuliah Diploma III di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI dengan Program Keahlian Manajemen Industri Jasa Makanan dan Gizi. Penulis pernah melakukan Praktek Kerja Lapang Manajemen Asuhan Gizi Klinik dan Manajemen Penyelenggaraan Makananan Rumah Sakit di RSUD Cibinong pada bulan September sampai Desember 2011. Penulis juga pernah Praktek Kerja Lapang Praktek Usaha Jasa Boga (PUJB) di Kantin Sehati Diploma IPB. Penulis menyelesaikan kuliah diploma III pada tahun 2009. Penulis melanjutkan studi ke jenjang pendidikan sarjana program alih jenis Ilmu Gizi Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor melalui seleksi ujian mandiri tahun 2012. Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi di Desa Ciasmara, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor pada bulan Juli sampai Agustus 2014. Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana pada tahun 2015.