TEMPLAT TUGAS AKHIR S1

Download transpirasi) terhadap pengaruh putresin 1.25 dan 2.5 mM. Pemberian ... Skripsi sebagai salah satu syarat untuk...

0 downloads 173 Views 2MB Size
KARAKTER MORFOLOGI DAN FISIOLOGI GENOTIPE GANDUM (Triticum aestivum L.) INTRODUKSI TOLERAN SUHU TINGGI DI DATARAN TINGGI DAN SEDANG

SANDY PRATOMO

DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Karakter Morfologi dan Fisiologi Genotipe Gandum (Triticum aestivum L.) Introduksi Toleran Suhu Tinggi di Dataran Tinggi dan Sedang adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2014

Sandy Pratomo NIM G34090087

ABSTRAK SANDY PRATOMO. Karakter Morfologi dan Fisiologi Genotipe Gandum (Triticum aestivum L.) Introduksi Toleran Suhu Tinggi di Dataran Tinggi dan Sedang. Dibimbing oleh MIFTAHUDIN dan TATIK CHIKMAWATI. Gandum (Triticum aestivum L.) adalah tanaman dari famili Gramineae yang berasal dari daerah subtropik, memiliki protein tinggi dan banyak digunakan sebagai bahan dasar makanan di Indonesia, tetapi sebagian besar masih diimpor. Upaya menghemat devisa negara dari impor gandum adalah dengan cara mengembangkan gandum di Indonesia. Penanaman gandum di Indonesia menghadapi masalah cekaman suhu tinggi. Pemberian poliamin putresin diharapkan dapat menginduksi toleransi cekaman suhu tinggi. Penelitian ini bertujuan mempelajari sifat morfologi dan fisiologi dua genotipe gandum introduksi toleran suhu tinggi (Sbr dan Astreb) yang telah mendapat perlakuan putresin dan membandingkannya dengan genotipe lokal (Nias). Gandum ditanam di dua lokasi yaitu Cipanas (1100 m dpl) dan Cisarua (600 m dpl) kemudian diamati karakter morfologi (tinggi tanaman, jumlah anakan, jumlah stomata, sudut, tebal dan luas daun bendera) dan fisiologinya (kandungan klorofil dan laju transpirasi) terhadap pengaruh putresin 1.25 dan 2.5 mM. Pemberian putresin pada tanaman berpengaruh nyata pada kandungan klorofil a, b dan total pada periode aplikasi putresin ke-2 dengan konsentrasi 2.5 mM di Cipanas. Perbedaan genotipe hanya berpengaruh pada kerapatan stomata adaksial daun di Cipanas dan kerapatan stomata adaksial daun periode aplikasi putresin ke-1 di Cisarua. Genotipe Sbr memiliki pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan genotipe Astreb pada daerah yang tercekam suhu tinggi. Kata kunci: fisiologi, morfologi, putresin, Triticum aestivum

ABSTRACT SANDY PRATOMO.Morphological and Physiological Characters of High Temperature Tolerant Wheat (Triticum aestivum L.) Genotypes in Mid and High Altitudes. Supervised by MIFTAHUDIN and TATIK CHIKMAWATI. Wheat (Triticum aestivum) is a member of Gramineae family originated from subtropical regions, that is consumed as a second food in Indonesia, but most of it are imported. Efforts to save foreign exchange from import of wheat is to develop wheat in Indonesia. Planting wheat in Indonesia is facing high temperature stress. Application of putrescine is expected to induce high temperature stress tolerance. This research aimed to study the morphological and physiological respons of two introducted wheat genotypes (Sbr and Astreb) that are tolerant to high temperatures under putrescine application. Wheat was planted in two locations: Cipanas (1100 m asl) and Cisarua (600 m asl) and then was observed the morphological (plant height, number of tillers, number of stomata; angles, thickness and flag leaf area) and physiological characters (chlorophyll content and transpiration rate) to evaluate the effect of 0, 1.25 and 2.5 mM putrescine application. Putrescine treatment in plants significantly affected on the content of chlorophyll a, b and total chlorophyll after 2nd period of putrescine application consentration 2.5 mM in Cipanas. Genotypic differences only affected on adaxial stomatal density after putrescine application in Cipanas, and adaxial stomatal density after 1st period of putrescine application in Cisarua. Genotype Sbr showed better growth in both locations compared with genotype Astreb at high temperature area. Key word: morphology, physiology, putrescine, Triticum aestivum

KARAKTER MORFOLOGI DAN FISIOLOGI GENOTIPE GANDUM (Triticum aestivum L.) INTRODUKSI TOLERAN SUHU TINGGI DI DATARAN TINGGI DAN SEDANG

SANDY PRATOMO

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Indonesia pada Departemen Biologi

DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

Judul Skripsi : Karakter Morfologi dan Fisiologi Genotipe Gandum (Triticum aestivum L.) Introduksi Toleran Suhu Tinggi di Dataran Tinggi dan Sedang Nama : Sandy Pratomo NIM : G34090087

Disetujui oleh

Dr Ir Miftahudin, MSi Pembimbing I

Dr Ir Tatik Chikmawati, MSi Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Iman Rusmana, MSi Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Tuhan Semesta Alam atas segala karunia-Nya serta Shalawat kepada Rasulullah Muhammad SAW sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Topik yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan Mei 2013 ini ialah gandum, dengan judul :Karakter Morfologi dan Fisiologi Genotipe Gandum (Triticum aestivum L.) Introduksi Toleran Suhu Tinggi di Dataran Tinggi dan Sedang. Penulis mengucapkan rangkaian terima kasih kepada Bapak Dr Ir Miftahudin, MSi dan Ibu Dr Ir Tatik Chikmawati, MSi selaku pembimbing yang selalu memberikan arahan, bimbingan serta kepedulian yang tulus kepada penulis juga kepada Ibu Dr Ir Sri Sulistiyowati, MSi yang telah mencurahkan waktunya untuk perbaikan tulisan ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Adeel Abdulkarim Fadhl Althuhais, MSi dalam memberikan segala dukungan serta arahan dan Ibu Ir Karlina Syahruddin, MSi yang telah membantu selama pelaksanaan penelitian dan pengumpulan data di lapangan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada tim peneliti gandum S1 (Shely Rahmalani, Wulan RA dan Yusi Nurmala), serta Firda dan Syasti yang telah banyak membantu. Penghargaan juga ditujukan untuk Bapak, Ibu dan Adikku Bogie; Yuliani, Maimuna, Bapak Misbah dan Bapak Jajang; serta seluruh keluarga, teman-teman Departemen Biologi, Biologi angkatan 46, teman-teman Asrama Sylvasari, Sylvasari 46 (Nasir, Irpan, Babang, Muharrom, Hendri, Alfian, Khusnul, Ilham, Ifan, Agung, Andi, Warto, Gunawan dan Kodrat) dan Sylvapinus yang selalu mengingatkan untuk cepat menyelesaikan tugas akhir serta atas segala doa dan dukungannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2014 Sandy Pratomo

“Dia-lah, Yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kamu, sebagiannya menjadi minuman dan sebagiannya (menyuburkan) tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kamu menggembalakan ternakmu. Dia menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, kurma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS An Nahl: 10-11).

DAFTAR ISI DAFTAR ISI PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Suhu Kelembapan Cekaman Suhu Tinggi Putresin sebagai Pemicu Toleransi Cekaman Suhu Tinggi METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Tanaman Desain percobaan Pelaksanaan Percobaan Pengamatan Parameter Lingkungan Penanaman dan Pemeliharaan Penentuan Tanaman Sampel Pengamatan Pertumbuhan Tanaman. Daun Bendera Laju Transpirasi Relatif Kandungan Klorofil a, b dan total. Pengukuran Kerapatan Stomata Prosedur Analisis Data HASIL Keadaan Umum Tinggi tanaman Daun Bendera Laju Transpirasi Relatif Kerapatan Stomata Kandungan Klorofil PEMBAHASAN SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA Lampiran RIWAYAT HIDUP

xi 1 1 1 2 2 2 3 3 4 4 4 4 5 5 5 5 6 6 6 7 7 7 8 8 8 10 11 12 15 16 19 19 19 20 23 30

DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Data rataan suhu, kelembapan relatif, intensitas cahaya dan kecepatan angin bulanan di Cipanas dan Cisarua Tinggi dan jumlah anakan gandum di Cipanas dan Cisarua pada dua aplikasi konsentrasi putresin berbeda pada minggu ke-8 Tinggi dan jumlah anakan pada gandum genotipe Sbr, Astreb dan Nias Sudut, tebal dan luas daun bendera pada gandum genotipe Sbr, Astreb dan Nias di Cipanas dan Cisarua Sudut, tebal dan luas daun bendera pada gandum di Cipanas dan Cisarua dengan dua macam konsentrasi putresin Laju transpirasi relatif pada gandum genotipe Sbr, Astreb dan Nias di Cipanas dan Cisarua Laju transpirasi relatif pada gandum dengan dua konsentrasi berbeda di Cipanas Laju transpirasi relatif pada gandum pada dua aplikasi konsentrasi putresin yang berbeda di Cisarua Kerapatan stomata gandum pada genotipe Sbr, Astreb dan Nias di Cipanas dan di Cisarua Kerapatan stomata pada gandum pada dua aplikasi konsentrasi putresin berbeda di Cipanas Kerapatan stomata daun gandum pada dua aplikasi konsentrasi putresin berbeda di Cisarua Kandungan klorofil gandum pada genotipe Sbr, Astreb dan Nias di Cipanas dan Cisarua Kandungan klorofil gandum pada dua aplikasi konsentrasi putresin berbeda di Cipanas Kandungan klorofil gandum pada dua konsentrasi putresin berbeda di Cisarua 16

8 9 10 10 11 11 12 12 13 13 14 15 15

DAFTAR GAMBAR 1 2

Pengukuran laju transpirasi relatif menggunakan kertas kobalt klorida Pertumbuhan tinggi tanaman gandum pada minggu ke 3 sampai minggu ke 8 di Cipanas dan Cisarua: Sbr Cipanas , Sbr Cisarua , Astreb Cipanas , Astreb Cisarua , Nias Cipanas dan Nias Cisarua

6

9

DAFTAR LAMPIRAN 1 Data rataan tiga bulan suhu udara, kelembaban udara, kecepatan angin dan intensitas cahaya di Cipanas bulan Januari, Februari dan Maret tahun 2013 2 Data rataan tiga bulan suhu udara, kelembaban udara, kecepatan angin dan intensitas cahaya di Cisarua bulan Januari, Februari dan Maret tahun 2013 3 Nilai P hasil sidik ragam karakter morfologi dan fisiologi setelah aplikasi putresin ke-1 di Cipanas 4 Nilai P hasil sidik ragam karakter morfologi dan fisiologi setelah aplikasi putresin ke-2 di Cipanas 5 Nilai P hasil sidik ragam karakter morfologi dan fisiologi setelah aplikasi putresin ke-1 di Cisarua 6 Nilai P hasil sidik ragam karakter morfologi dan fisiologi setelah aplikasi putresin ke-2 di Cisarua 7 Kerapatan stomata genotipe Sbr, Astreb dan Nias bagian adaksial dan abaksial konsentrasi 0, 1.25 dan 2.5 setelah aplikasi putresin ke-1 di Cipanas pada. Perbesaran 400 8 Kerapatan stomata genotipe Sbr, Astreb dan Nias bagian adaksial dan abaksial konsentrasi 0, 1.25 dan 2.5 mM setelah aplikasi putresin ke2 di Cipanas. Perbesaran 400 9 Kerapatan stomata genotipe Sbr, Astreb dan Niasbagian adaksial dan abaksial konsentrasi 0, 1.25 dan 2.5 mM setelah aplikasi putresin ke1 di Cisarua pada. Perbesaran 400 10 Kerapatan stomata genotipe Sbr, Astreb dan Niasbagian adaksial dan abaksial konsentrasi 0, 1.25 dan 2.5 mM setelah aplikasi putresin ke2 di Cisarua pada.Perbesaran 400

23

24 25 25 25 25

26

27

28

29

1

PENDAHULUAN Latar Belakang Gandum (Triticum aestivum L.) merupakan anggota famili Gramineae yang berasal dari daerah subtropik (Mac Key 1988). Gandum dimanfaatkan sebagai bahan baku tepung terigu yang banyak digunakan dalam pembuatan berbagai produk makanan karena kaya akan sumber kalori dan protein. Gandum sebagai bahan utama tepung terigu mempunyai keunggulan khas yaitu memiliki gluten yang dapat mengembangkan adonan olahan berbasis terigu (Budiarti 2005). Kebutuhan tepung terigu di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya sejalan dengan perkembangan ekonomi dan jumlah penduduk (Azwar et al. 1988). Pada tahun 1984 konsumsi tepung terigu di Indonesia mencapai 6.18 kg/kapita/tahun, meningkat terus setiap tahun sampai pada tahun 1999 menjadi 14.29 kg/kapita/tahun (Musa 2002). Pemerintah Indonesia pada tahun 2011-2012 telah mengimpor sebanyak 11.6 juta ton gandum, periode Januari-April 2013 sebanyak 2.5 juta ton gandum dan diperkirakan pada tahun 2019, Indonesia akan mengimpor 15 juta ton gandum setiap tahunnya (APTINDO 2014). Salah satu cara untuk menekan impor gandum dan menghemat devisa negara adalah dengan mengembangkan gandum di dalam negeri sesuai dengan kondisi agroklimat Indonesia (Setyowati et al. 2009). Gandum berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia dengan memperhatikan pengaruh lingkungan biotik dan abiotik terutama curah hujan dan suhu (Azwar et al. 1988). Hal yang perlu diperhatikan dalam pembudidayaan gandum di Indonesia adalah pengaruh suhu tinggi yang dapat menyebabkan cekaman panas bagi tanaman gandum. Hasil dari berbagai penelitian di Indonesia menyatakan bahwa tanaman gandum dapat tumbuh dan berkembang cukup baik, dengan daya adaptasi yang terbatas. Pengetahuan mengenai budidaya gandum di Indonesia terputus sejak 4 sampai 5 dekade yang lalu, hal tersebut menimbulkan persepsi bahwa gandum tidak bisa ditanam di Indonesia. Areal tanam gandum pun hanya pada dataran tinggi dan bersaing dengan areal tanam tanaman pangan lainnya sehingga belum banyak bisa menekan impor gandum (Danakusuma 1985). Pengamatan karakter morfologi dan fisiologi tanaman gandum introduksi yang diadaptasi pada daerah tropik dataran tinggi dan sedang perlu dilakukan untuk mengetahui sifat-sifat unggul dari tanaman tersebut (Miswar et al. 2012), sehingga dapat digunakan sebagai dasar pengembangan galur/varietas gandum yang dapat beradaptasi di lingkungan agroklimat Indonesia. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mempelajari karakter sifat morfologi dan fisiologi dua genotipe gandum introduksi toleran terhadap cekaman suhu tinggi (Sbr dan Astreb) yang telah diberi perlakuan putresin dan membandingkannya dengan genotipe lokal (Nias).

2

TINJAUAN PUSTAKA Gandum (Triticum aestivum L.) termasuk ke dalam famili Gramineae yang berasal dari daerah subtropis. Sistematika gandum diuraikan di bawah ini : Kerajaan : Plantae Divisi : Magnoliophyta Kelas : Liliopsida Ordo : Poales Famili : Poaceae Genus : Triticum Spesies : Triticum aestivum L. Gandum memiliki kelebihan di antara tanaman serealia karena memiliki kandungan gluten yang tinggi, karbohidrat 60-80%, protein 6-17%, lemak 1.5-2%, mineral 1.5-2% dan vitamin. Kandungan glutein gandum mencapai 80% yang merupakan karakter khas dibanding serealia lainnya. Glutein merupakan protein yang bersifat kohesif dan liat sebagai dasar penentu elastisitas bahan makanan berbasis tepung (Bowden et al. 2007). Suhu Gandum merupakan tanaman yang biasa ditanam di daerah subtropik dengan suhu rata-rata lebih rendah dari daerah tropik. Tanaman gandum yang akan ditanam pada daerah tropik harus ditanam pada kondisi yang sesuai dengan lingkungan daerah subtropik. Geografi Indonesia yang terdiri atas dataran rendah dan dataran tinggi membuat lokasi penanaman gandum menjadi terkendala. Tanaman gandum yang ditanam di Indonesia beradaptasi pada dataran tinggi (> 1000 m dpl), jika ditanam di dataran rendah maka tanaman gandum akan mengalami berbagai cekaman. Faktor pembatas pertumbuhan gandum di antaranya adalah suhu. Suhu terendah sebagai syarat tumbuh tanaman gandum adalah 5 °C, sedangkan suhu tertinggi adalah 37 °C. Suhu optimum untuk tumbuh dan kembang tanaman gandum adalah sekitar 25 sampai 30 °C (Takeshi dan Amane 2009). Selama masa reproduktif, suhu yang ekstrem di luar batas optimum akan mempengaruhi perkembangan, fotosintesis dan organ reproduksi tumbuhan (Bowden et al. 2007). Kelembapan Tanaman gandum membutuhkan asupan air dengan kelembapan yang relatif rendah dibanding tanaman serealia lainnya. Pada kondisi dataran tinggi Indonesia, gandum ditanam dengan rata-rata kelembapan di atas 80% pada musim hujan dan di bawah 80 % ketika musim kemarau. Ketika masa reproduktif berlangsung, tanaman memerlukan kelembapan yang tinggi, dan jika kelembapan rendah maka pasokan air dari akar akan berkurang yang berakibat daun menjadi stres dan menghambat proses fotosintesis. Hal tersebut akan berdampak pada penurunan hasil panen. Pada daerah penanaman gandum yang kering, kelembapan yang terlalu rendah akan berakibat pada laju fotosintesis yang rendah, dan ukuran luas daun yang kecil juga mengurangi daya angkut hara. (Bowden et al. 2007).

3

Cekaman Suhu Tinggi Cekaman suhu tinggi diartikan sebagai peningkatan suhu melampaui batas maksimum suhu yang diperlukan untuk tumbuh tanaman dan mengakibatkan kerusakan pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Wahid dan Close. 2007). Ketika suhu udara tinggi maka tanaman akan mengangkut air lebih banyak dan menguapkannya melalui stomata sebagai mekanisme regulasi suhu. Suhu yang semakin tinggi akan membuat laju transpirasi semakin cepat dan semakin banyak air yang diambil oleh tumbuhan. Stomata pun akan menutup agar tanaman tidak kehilangan banyak air. Keadaan tersebut akan menghambat proses fotosintesis yang akhirnya akan membuat suhu tanaman naik kembali. Jika hal tersebut terjadi, maka aliran karbohidrat dan hasil fotosintat lainnya akan berkurang. Suhu di atas 30°C selama pembungaan akan mengakibatkan polen steril dan aborsi bunga (Bowden et al. 2007). Suhu tinggi tidak hanya terjadi pada siang hari tetapi juga pada malam hari, dan jika hal tersebut terjadi maka tanaman gandum akan kehilangan banyak air. Pada beberapa spesies tanaman ada yang mengakumulasi berbagai jenis osmolit seperti gula, gula alkohol, prolin, amonium dalam bentuk tersier dan quartener (Sairan dan Tyagi 2004). Akumulasi dari osmolit tersebut kemungkinan dapat memicu ketahanan stres pada tumbuhan. Sintesis dari prolin saat terjadi cekaman akan menjadi buffer redoks yang berpotensi untuk mengurangi cekaman suhu tinggi (Wahid dan Close 2007). Proses fotosintesis diketahui sebagai proses yang paling rentan terhadap cekaman suhu tinggi karena akan mengurangi fotosintat dalam tanaman, hal tersebut akan menjadi penghambat pada aktivitas fotosistem II yang labil terhadap perbedaan suhu (Banu dan Serpil 2009). Putresin (poliamin) diketahui dapat meningkatkan pertumbuhan dan mengurangi cekaman pada tanaman (Sarvajeet dan Narendra 2010). Putresin sebagai Pemicu Toleransi Cekaman Suhu Tinggi Poliamin adalah senyawa kimia dengan gugus penyusun amina yang memiliki peranan penting dalam pertumbuhan, perkembangan dan respon tanaman terhadap cekaman di lingkungannya. Poliamin yang ada sekarang ini adalah putresin, spermidin, spermin dan cadaverin. Poliamin yang umum terdapat pada tanaman adalah putresin, spermidin dan spermin (Adriana 1996). Penggunaan poliamin dalam konsentrasi tinggi secara umum berhubungan dengan pembelahan sel. Pada penelitian yang dilakukan oleh Meral et al (2005) menunjukkan bahwa konsentrasi rendah dari aplikasi putresin pada Arabidobsis thaliana akan menstimulasi pertumbuhan akar, namun konsentrasi yang tinggi akan menghambat pertumbuhan akar. Jika suatu sel kekurangan poliamin endogen maka pertumbuhannya akan terstimulasi melalui pemberian poliamin eksogen (Porter dan Bergeron 1983). Penggunaan poliamin juga mempengaruhi sintesis protein dan DNA (Cortines dan Mizrahi 1991). Saat tumbuhan kekurangan hormon pertumbuhan, pemberian poliamin secara eksogen dapat menstimulasi pertumbuhan dengan konsentrasi tertentu. Penggunaan berbagai jenis poliamin termasuk putresin perlu pertimbangan lebih lanjut karena akan saling berhubungan antara konsentrasi poliamin endogen dan eksogen terkait perubahan pada kromosom dan formasi benang spindel. Pada penelitian El-Bassiouny et al (2008) menyebutkan bahwa aplikasi putresin pada gandum melalui daun meningkatkan jumlah anakan pertanaman,

4

jumlah daun dan luas daun, jumlah bobot basah, bobot kering akar dan tajuk. Penggunaan putresin juga akan meningkatkan persentase karbohidrat dan protein.

METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua lokasi percobaan yaitu Balai Percobaan Tanaman Hias (BALITHI) Cipanas (1100 m dpl) dan kebun percobaan Cisarua (600 m dpl) pada bulan Januari sampai dengan bulan Mei 2013. Cipanas merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Kawasan tersebut berada di kawasan daerah wisata, jenis tanah Andosol dan terletak pada ketinggian 1100 m dpl dengan tipe iklim tinggi basah. Cisarua merupakan Kecamatan di Kabupaten Bogor yang berada pada posisi 06°42’LS dan 106°56’ BB. Kecamatan Cisarua memiliki curah hujan rata-rata 3178 mm/thn dan suhu udara antara 17.58°C sampai 23.91°C. Bentuk wilayah Kecamatan Cisarua terdiri atas perbukitan sampai bergunung (25%), berombak sampai berbukit (40%), dan datar sampai berombak (35%). Bahan Tanaman Bahan tanaman yang digunakan pada penelitian ini adalah dua genotipe gandum introduksi yang bersifat toleran terhadap suhu tinggi tropik dan satu genotipe lokal. Benih gandum yang diintroduksi adalah SBR*D/I/09/38 dan ASTREB*2/CBRD berasal dari CYMMIT Meksiko dan benih lokal yang digunakan adalah Nias berasal dari Departemen Agronomi dan Hortikultura Faperta IPB. Desain percobaan Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini ialah rancangan acak kelompok petak terpisah (Split Block Design) dengan dua faktor. Faktor utamanya adalah putresin yang terdiri atas tiga taraf yaitu 0, 1.25 dan 2.5 mM, kemudian sub-faktornya adalah genotipe yang terdiri atas tiga genotipe tanaman yaitu SBR*D/I/09/38, ASTREB*2/CBRD dan Nias. Percobaan terdiri atas sembilan perlakuan dengan tiga ulangan sehingga terdapat 27 satuan percobaan di setiap lokasi. Model linier rancangannya adalah sebagai berikut :

5

X ijk    i   j   ij   k    jk   ijk keterangan: 

= rerata

i

= pengaruh ulangan

j

= pengaruh petak utama

 ij

= galat petak utama

k   jk  ijk

= pengaruh sub-petak = interaksi efek level A dan B = galat sisa Pelaksanaan Percobaan

Pelaksanaan percobaan ini dibagi ke dalam empat macam kegiatan yaitu pengamatan parameter lingkungan, penanaman dan pemeliharaan; penentuan tanaman sampel dan pengamatan pertumbuhan tanaman. Pengumpulan data dilakukan di lapangan dan di laboratorium. Pengamatan Parameter Lingkungan Pengukuran iklim di Cipanas dan Cisarua dilakukan menggunakan alat Luther Four in one untuk mengukur parameter suhu udara, kelembapan relatif, intensitas cahaya, dan kecepatan angin selama tiga bulan (Lampiran 6 dan 7). Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman gandum ditanam dengan sistem budidaya lahan kering. Penanaman benih dilakukan secara langsung dengan menebar benih sebanyak 6 g dalam barisan pada petak percobaan berukuran petak 1.25 m  4 m. Pada satu petak terdapat lima baris dan jarak antara baris adalah 25 cm. Pemeliharan tanaman terdiri atas pemupukan, pengairan dan pengendalian gulma. Pemupukan dilakukan sebanyak dua kali dengan memberikan pupuk Urea (112.5 g plot-1), SP36 (100 g plot-1) dan KCl (50 g plot-1) pada saat 10 hari setelah tanam (HST) dan Urea (112.5 g plot-1) pada saat 30 HST. Pengendalian gulma dilakukan pada petak percobaan dengan cara mencabut gulma secara manual sebelum pemberian pupuk. Pengendalian gulma dilakukan sebelum pemberian pupuk kedua dilakukan. Pemberian putresin dilakukan secara foliar dengan cara menyemprotkan pada bagian adaksial daun. Pemberian putresin dilakukan saat 1 minggu sebelum berbunga dan 1 minggu setelah berbunga. Penentuan Tanaman Sampel Sampel tanaman ditentukan secara acak dengan jumlah 5 sampel tanaman per petak percobaan. Sampel diambil pada baris tanam ke-2, 3 dan 4 dari baris tanam pada petak percobaan. Pengamatan sampel tanaman dibagi ke dalam tiga periode yaitu pengamatan pada periode sebelum aplikasi putresin ke-1 (1 minggu sebelum aplikasi putresin ke-1), setelah aplikasi putresin ke-1 (1 minggu sebelum pembungaan) dan setelah aplikasi putresin ke-2 (1 minggu setelah pembungaan). Pada parameter pengukuran laju transpirasi, luas daun dan kandungan klorofil

6

dilakukan sebanyak 3 kali pada saat sebelum aplikasi putresin, setelah putresin ke1 dan ke-2. Pada pengukuran parameter tebal, sudut dan luas daun bendera dilakukan satu minggu setelah aplikasi putresin ke-2. Pengamatan Pertumbuhan Tanaman. Pengukuran pertumbuhan tanaman dilakukan mulai 21 HST. Parameter yang diukur antara lain tinggi tanaman dan jumlah anakan. Pengukuran tinggi tanaman diukur dari pangkal batang sampai ujung daun bendera. Tinggi tanaman diamati pada 21 HST dan diamati sampai dengan minggu ke-9. Jumlah anakan dihitung secara serentak pada saat pengamatan tinggi tanaman dilakukan. Daun Bendera Parameter daun bendera yang diukur meliputi tebal, sudut dan luas daun bendera. Sudut daun bendera dan tebal daun bendera diukur satu minggu setelah aplikasi putresin periode ke-2. Sudut daun bendera diukur menggunakan busur derajat tegak lurus dengan batang tanaman dan pengukuran tebal daun diukur menggunakan jangka sorong. Luas daun bendera dihitung menggunakan metode pengukuran linier dengan mengalikan antara panjang dan lebar daun bendera dengan faktor pengali 0.75 (Chanda dan Singh 2002). Laju Transpirasi Relatif Laju transpirasi relatif mengukur sejumlah uap air yang hilang dalam berat per satuan luas dan per satuan waktu (mg·cm-2·detik-1). Laju transpirasi relatif diukur dengan metode kertas kobalt-klorida. Sebanyak dua buah kertas kobaltklorida dengan panjang 1 cm dan lebar 0.5 cm yang berwarna biru diletakkan pada dua sisi daun gandum, kemudian dijepit dengan plastik mika agar tidak tembus air (Gambar 1). Waktu yang digunakan untuk merubah warna biru menjadi merah muda dicatat dalam detik. Luasan daun bendera gandum yang tertutup kertas kobalt-klorida digunakan untuk menduga laju transpirasi. Perbedaan bobot kertas kobalt-klorida sebelum dan sesudah terjadi perubahan warna ditentukan dengan ditimbang sebagai jumlah uap air tanaman yang hilang melalui transpirasi. Pengukuran laju transpirasi relatif dilakukan 15 HST sebelum aplikasi putresin ke-1 (1 minggu sebelum aplikasi putresin ke-1), setelah aplikasi putresin ke-1 (1 minggu sebelum pembungaan) dan setelah aplikasi putresin ke-2 (1 minggu setelah pembungaan).

Gambar 1 Pengukuran laju transpirasi relatif menggunakan kertas kobalt klorida

7

Kandungan Klorofil a, b dan total. Kandungan klorofil ditentukan dengan mengekstrak daun gandum menggunakan metode Arnon yang dimodifikasi (Winterman & De Mots 1965). Daun gandum seberat 0.25 g dihaluskan dengan mortar dan ditambahkan pelarut aseton (80%) sebanyak 12.5 ml, kemudian disaring dalam labu takar dan volume ditepatkan kembali hingga 12.5 ml. Hasil ekstraksi kemudian diambil sebanyak 5 ml, dan ditambahkan 6 ml aseton (80%) kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang 645 nm, 652 nm dan 663 nm menggunakan spektrofotometer. Penentuan kandungan klorofil dilakukan pada periode sebelum aplikasi putresin ke-1 (1 minggu sebelum aplikasi putresin ke-1), setelah aplikasi putresin ke-1 (1 minggu sebelum pembungaan) dan setelah aplikasi putresin ke-2 (1 minggu setelah pembungaan). Penentuan kandungan klorofil a, b dan total dihitung mengunakan rumus: Klorofil a (mg·g-1) = (0.0127D663)–(0.00269D645) Klorofil b (mg·g-1) = (0.0299D645) –(0.00468D663) Klorofil total (mg·g-1) = (0.0202D645)–(0.00468D663) Pengukuran Kerapatan Stomata Pengukuran kerapatan stomata dilakukan pada saat satu minggu setelah aplikasi putresin ke-2, dengan mengoleskan kuteks bening pada bagian epidermis adaksial dan abaksial daun, kemudian dibiarkan beberapa menit hingga mengering. Selanjutnya kuteks ditarik secara perlahan menggunakan plester bening kemudian ditempatkan pada plastik preparat mika. Preparat diamati dengan mikroskop pada perbesaran 10  40 dan dihitung jumlah stomata·mm-2. Jumlah stomata dihitung dengan mengambil gambar terlebih dahulu menggunakan kamera digital, kemudian dihitung jumlah stomata (Royer 2001). Kerapatan stomata dihitung sebanyak tiga kali pada periode sebelum aplikasi putresin ke-1 yaitu pada periode sebelum aplikasi putresin ke-1 (1 minggu sebelum aplikasi putresin ke-1), setelah aplikasi putresin ke-1 (1 minggu sebelum pembungaan) dan setelah aplikasi putresin ke-2 (1 minggu setelah pembungaan). Kerapatan stomata dihitung dengan rumus : Kerapatan stomata = Prosedur Analisis Data Data dianalisis dengan menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA) dengan uji F pada tingkat kepercayaan 95%. Jika hasil uji F berbeda nyata, maka data diuji lebih lanjut dengan uji selang berganda Duncan (DMRT) pada tingkat kepercayaan 95% menggunakan program IBM SPSS Statistic v.20. Analisis data akan melihat nilai P dari aplikasi putresin konsentrasi 0, 1.25 dan 2.5 mM dari tiga periode dan nilai P dari perbedaan pertumbuhan antara genotipe.

8

HASIL Keadaan Umum Secara umum suhu udara di Cipanas lebih rendah dibandingkan di Cisarua. Kelembapan relatif di Cipanas (78.4%) lebih rendah dari Cisarua (83.0%). Intensitas cahaya di Cipanas (19.8%) lebih rendah dibandingkan dengan intensitas cahaya di Cisarua (27.3%). Kecepatan angin di Cipanas (2.56 m·s-1) lebih tinggi dari kecepatan angin di Cisarua (0.81 m·s-1) (Tabel 1, Lampiran 1 dan 2). Tabel 1 Data rataan suhu, kelembapan relatif, intensitas cahaya dan kecepatan angin bulanan di Cipanas dan Cisarua Intensitas Suhu Kelembapan relatif Kecepatan Bulan cahaya (% (oC) (%) angin (m·detik-1) hari) Cipanas Januari 20.8 80.5 11.0 2.2 Februari 20.1 77.6 20.8 3.7 Maret 21.5 77.0 27.5 1.7 Rataan 20.8 78.4 19.8 2.6 Cisarua Januari 26.5 83.3 13.0 1.0 Februari 28.9 80.3 23.2 1.0 Maret 27.1 85.3 45.8 0.4 Rataan 27.5 83.0 27.3 0.8 Sumber : Adeel Abdulkarim Fadhl Altuhaish (2013)

Tinggi tanaman Perubahan tinggi tanaman meningkat terus sampai minggu ke-8, namun aplikasi putresin di Cipanas dan Cisarua tidak berpengaruh nyata pada tinggi tanaman dan jumlah anakan. Pada waktu memasuki minggu ke-4, ketiga genotipe di Cipanas mengalami pertumbuhan yang pesat dibandingkan pertumbuhan ketiga genotipe tersebut di Cisarua (Gambar 2 dan Tabel 2). Aplikasi putresin konsentrasi 2.5 mM cenderung menyebabkan tanaman lebih tinggi dibandingkan konsentrasi yang lebih rendah pada kedua lokasi (Tabel 2).

9

Tinggi Tanaman (cm)

120.00 100.00 80.00 60.00 40.00 20.00 0.00 3

4

5 6 Minggu Setelah Tanam

7

8

Gambar 2 Pertumbuhan tinggi tanaman gandum pada minggu ke 3 sampai minggu ke 8 di Cipanas dan Cisarua: Sbr Cipanas , Sbr Cisarua , Astreb Cipanas , Astreb Cisarua , Nias Cipanas dan Nias Cisarua Tabel 2 Tinggi dan jumlah anakan gandum di Cipanas dan Cisarua pada dua aplikasi konsentrasi putresin berbeda pada minggu ke-8 Putresin (mM) 0 1.25 2.5 0 1.25 2.5

Tinggi dan Anakan Tinggi (cm) Jumlah anakan Cipanas 94 7 90 7 94 7 Cisarua 84 6 85 7 86 6

Angka-angka pada kolom yang sama dan tidak diikuti oleh huruf, tidak berbeda pada uji F pada taraf uji 5%.

Perbedaan genotipe di Cipanas dan Cisarua berpengaruh nyata pada tinggi tanaman, dengan genotipe Sbr dan Nias lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe Astreb, tetapi tinggi tanaman Sbr dengan Nias tidak berbeda nyata. Perbedaan antara genotipe tidak berpengaruh nyata pada jumlah anakan. Secara umum perbedaan genotipe menyebabkan tinggi tanaman dan jumlah anakan tanaman di Cipanas lebih besar dibandingkan dengan di Cisarua, dan genotipe Nias memiliki habitus lebih tinggi dibandingkan dengan genotipe Sbr dan Astreb (Tabel 3).

10

Tabel 3 Tinggi dan jumlah anakan pada gandum genotipe Sbr, Astreb dan Nias Tinggi dan Anakan Tinggi (cm) Jumlah anakan Cipanas 93b 6 90a 7 95b 8 Cisarua 85ab 6 a 83 7 87b 6

Genotipe Sbr Astreb Nias Sbr Astreb Nias

Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf uji 5%, sedangkan angka-angka pada kolom yang sama dan tidak diikuti oleh huruf, tidak berbeda pada uji F pada taraf uji 5%.

Daun Bendera Perbedaan genotipe di Cipanas berpengaruh nyata pada tebal daun bendera dengan genotipe Nias memiliki ketebalan daun lebih tipis. Secara umum perbedaan genotipe di Cisarua tidak berpengaruh nyata terhadap sudut, luas dan tebal daun bendera, tetapi sudut daun bendera di Cisarua lebih lebar dan jatuh dibandingkan dengan sudut daun bendera di Cipanas pada waktu pengukuran yang sama. Secara umum luas dan tebal daun bendera di Cipanas lebih besar dibandingkan di Cisarua (Tabel 4). Tabel 4 Sudut, tebal dan luas daun bendera pada gandum genotipe Sbr, Astreb dan Nias di Cipanas dan Cisarua Genotipe

Daun Bendera Sudut

Luas (cm2)

Tebal (mm)

23.4 23.3 23.5

0.014b 0.013ab 0.011a

18.2 17.5 19.2

0.012 0.011 0.014

Cipanas Sbr Astreb Nias

92.9 66.0 85.8 Cisarua

Sbr Astreb Nias

107.3 88.1 101.1

Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf uji 5%, sedangkan angka-angka pada kolom yang sama dan tidak diikuti oleh huruf, tidak berbeda pada uji F pada taraf uji 5%.

Aplikasi putresin dengan konsentrasi 1.25 dan 2.5 mM tidak berpengaruh nyata terhadap sudut, luas dan tebal daun bendera di Cipanas dan Cisarua. Sudut daun bendera gandum di Cisarua lebih besar dibandingkan dengan sudut daun bendera di Cipanas pada waktu pengukuran yang sama, sedangkan luas dan tebal daun bendera di Cipanas secara umum cenderung lebih besar dibandingkan di Cisarua (Tabel 5).

11

Tabel 5 Sudut, tebal dan luas daun bendera pada gandum di Cipanas dan Cisarua dengan dua macam konsentrasi putresin Putresin (mM)

Daun Bendera Sudut

Luas (cm2)

Tebal (mm)

24.2 23.0 22.9

0.012 0.013 0.013

19.0 19.0 16.9

0.014 0.011 0.012

Cipanas 0 1.25 2.5

68.4 69.8 66.4 Cisarua

0 1.25 2.5

103.2 86.9 106.4

Angka-angka pada kolom yang sama dan tidak diikuti oleh huruf, tidak berbeda pada uji F pada taraf uji 5%.

Laju Transpirasi Relatif Perbedaan genotipe di Cipanas dan di Cisarua tidak berpengaruh nyata terhadap laju transpirasi relatif bagian adaksial maupun abaksial daun. Namun secara umum laju transpirasi di Cipanas lebih cepat dibandingkan dengan laju transpirasi di Cisarua (Tabel 6, Lampiran 3 dan 4). Tabel 6 Laju transpirasi relatif pada gandum genotipe Sbr, Astreb dan Nias di Cipanas dan Cisarua Genotipe Sbr Astreb Nias Sbr Astreb Nias

Transpirasi (mg·cm-2·detik-1) Adaksial Abaksial Cipanas 0.075 0.070 0.120 0.077 0.094 0.097 Cisarua 0.076 0.052 0.077 0.049 0.083 0.051

Angka-angka pada kolom yang sama dan tidak diikuti oleh huruf, tidak berbeda pada uji F pada taraf uji 5%.

Secara umum aplikasi putresin ke-1 dan ke-2 di Cipanas tidak berpengaruh nyata terhadap laju transpirasi relatif bagian adaksial maupun abaksial. Peningkatan terjadi pada laju transpirasi bagian adaksial daun pada periode setelah aplikasi putresin ke-1 (Tabel 7 dan Lampiran 3). Laju transpirasi relatif di Cisarua tidak berbeda nyata pada dua periode aplikasi putresin di bagian adaksial maupun abaksial daun (Tabel 8, Lampiran 5 dan 6).

12

Tabel 7 Laju transpirasi relatif pada gandum dengan dua konsentrasi berbeda di Cipanas Periode

Putresin (mM)

Transpirasi (mg·cm-2·detik-1) Adaksial Abaksial 0.077 0.060 0.105 0.112 0.082 0.069

Sebelum aplikasi putresin

-

Setelah aplikasi putresin ke-1

0 1.25 2.5

0.069 0.083 0.088

0.051 0.049 0.053

Setelah aplikasi putresin ke-2

0 1.25 2.5

0.108 0.060 0.120

0.064 0.064 0.099

Angka-angka pada kolom yang sama dan tidak diikuti oleh huruf, tidak berbeda pada uji F pada taraf uji 5%.

Tabel 8 Laju transpirasi relatif pada gandum pada dua aplikasi konsentrasi putresin yang berbeda di Cisarua Periode

Putresin (mM)

Transpirasi (mg·cm-2·detik-1) Adaksial Abaksial 0.079 0.070 0.073 0.044 0.126 0.079

Sebelum aplikasi putresin

-

Sete lah aplikasi putresin ke-1

0 1.25 2.5

0.076 0.077 0.073

0.042 0.036 0.043

Setelah aplikasi putresin ke-2

0 1.25 2.5

0.077 0.072 0.087

0.050 0.047 0.056

Angka-angka pada kolom yang sama dan tidak diikuti oleh huruf, tidak berbeda pada uji F pada taraf uji 5%.

Kerapatan Stomata Kerapatan stomata bagian adaksial daun antara genotipe di Cipanas berbeda nyata dan genotipe Sbr memiliki kerapatan paling tinggi dibandingkan dengan Astreb dan Nias (Lampiran 3 dan 4). Namun kerapatan stomata ketiga genotipe tersebut tidak berbeda nyata pada bagian abaksial daun. Kerapatan stomata bagian adaksial dan abaksial daun gandum antara genotipe di Cisarua tidak berbeda nyata, namun secara umum bagian adaksial genotipe Sbr memiliki kerapatan stomata paling tinggi dibandingkan dengan Astreb dan Nias (Tabel 9, Lampiran 5 dan 6).

13

Tabel 9 Kerapatan stomata gandum pada genotipe Sbr, Astreb dan Nias di Cipanas dan di Cisarua Jumlah stomata·mm-2 Adaksial Abaksial Cipanas 153.7b 103.1 141.7a 97.0 a 137.0 103.4 Cisarua 157.0 96.8 153.9 96.6 152.3 93.4

Genotipe Sbr Astreb Nias Sbr Astreb Nias

Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf uji 5%, sedangkan angka-angka pada kolom yang sama dan tidak diikuti oleh huruf, tidak berbeda pada uji F pada taraf uji 5%.

Secara umum aplikasi putresin di Cipanas dan Cisarua tidak berpengaruh nyata terhadap kerapatan stomata pada bagian adaksial dan abaksial daun (Lampiran 3, 4, 5 dan 6) tetapi terjadi peningkatan jumlah stomata pada periode setelah aplikasi putresin ke-1 dan ke-2 (Tabel 10 dan 11). Tabel 10 Kerapatan stomata pada gandum pada dua aplikasi konsentrasi putresin berbeda di Cipanas Periode Sebelum aplikasi putresin

Putresin (mM) -

Jumlah stomata·mm-2 Adaksial Abaksial 113.4 83.2 112.6 84.2 115.9 85.7

Setelah aplikasi putresin ke-1

0 1.25 2.5

134.7 136.2 127.8

92.3 94.0 94.7

Setelah aplikasi putresin ke-2

0 1.25 2.5

140.9 146.3 145.1

97.2 104.9 101.4

Angka-angka pada kolom yang sama dan tidak diikuti oleh huruf, tidak berbeda pada uji F pada taraf uji 5%.

14

a

Gambar 1

b

c d Ukuran porus stomata genotipe Sbr setelah aplikasi putresin ke-2 konsentrasi 2.5 mM di Cipanas bagian (a) adaksial, (b) abaksial, dan di Cisarua bagian (c) adaksial, (d) abaksial. Perbesaran 400x

Secara umum aplikasi putresin ke-1 dan ke-2 juga tidak berpengaruh nyata terhadap kerapatan stomata bagian adaksial maupun abaksial daun di Cisarua (Tabel 11; Lampiran 9 dan 10). Tabel 11 Kerapatan stomata daun gandum pada dua aplikasi konsentrasi putresin berbeda di Cisarua Periode

Putresin (mM)

Jumlah stomata·mm-2 Adaksial Abaksial 135.4 96.3 123.2 99.9 122.4 90.6

Sebelum aplikasi putresin

-

Setelah aplikasi putresin ke-1

0 1.25 2.5

146.4 140.9 147.7

91.1 92.3 100.4

Setelah aplikasi putresin ke-2

0 1.25 2.5

154.8 153.7 154.8

93.4 98.9 94.4

Angka-angka pada kolom yang sama dan tidak diikuti oleh huruf, tidak berbeda pada uji F pada taraf uji 5%.

15

Kandungan Klorofil Kandungan klorofil a, b dan total tidak berbeda nyata antara genotipe baik di Cipanas maupun di Cisarua, tetapi kandungan klorofil a, b dan total di Cipanas lebih tinggi dibandingkan di Cisarua. Genotipe Sbr di Cisarua memiliki kandungan klorofil a, b dan total paling besar dibandingkan Astreb dan Nias (Tabel 12). Tabel 12 Kandungan klorofil gandum pada genotipe Sbr, Astreb dan Nias di Cipanas dan Cisarua Genotipe

a

Sbr Astreb Nias

55.13 52.79 52.80

Sbr Astreb Nias

39.93 38.03 39.04

Klorofil (mg·g-1) b Cipanas 20.60 21.38 22.15 Cisarua 20.65 18.86 18.91

total

80.69 78.35 80.90 60.58 56.89 57.94

Angka-angka pada kolom yang sama dan tidak diikuti oleh huruf, tidak berbeda pada uji F pada taraf uji 5%.

Aplikasi putresin periode ke-1 di Cipanas tidak berpengaruh nyata terhadap kandungan klorofil a, b dan total. Aplikasi putresin periode ke-2 berpengaruh nyata terhadap kandungan klorofil a, b dan total, namun konsentrasi putresin 2.5 mM tidak berbeda nyata dengan kontrol (Tabel 13). Tabel 13 Kandungan klorofil gandum pada dua aplikasi konsentrasi putresin berbeda di Cipanas

-

a 48.14 49.34 54.48

Klorofil (mg·g-1) B 19.59 23.09 23.32

67.73 72.43 77.79

Setelah aplikasi putresin ke-1

0 1.25 2.5

60.62 58.01 58.00

22.42 23.21 23.61

83.04 81.22 81.61

Setelah aplikasi putresin ke-2

0 1.25 2.5

58.52b 43.73a 58.48b

23.14b 18.85a 22.15ab

87.46b 66.41a 86.06b

Periode

Putresin (mM)

Sebelum aplikasi putresin

total

Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT pada taraf uji 5%, sedangkan angka-angka pada kolom yang sama dan tidak diikuti oleh huruf, tidak berbeda pada uji F pada taraf uji 5%.

16

Aplikasi putresin di Cisarua pada periode ke-1 dan ke-2 tidak berpengaruh nyata terhadap kandungan klorofil a, b dan total. Namun kandungan klorofil setelah aplikasi putresin ke-2 menurun dibandingkan setelah aplikasi putresin ke1. Secara umum pemberian putresin konsentrasi 1.25 mM dapat meningkatkan kandungan klorofil a, b dan total di Cisarua (Tabel 14). Tabel 14 Kandungan klorofil gandum pada dua konsentrasi putresin berbeda di Cisarua

-

a 51.96 50.39 66.75

Klorofil (mg·g-1) b 31.61 28.99 44.54

83.57 79.38 111.29

Setelah aplikasi putresin ke-1

0 1.25 2.5

48.39 49.93 48.37

23.88 22.63 22.68

72.26 72.54 71.03

Setelah aplikasi putresin ke-2

0 1.25 2.5

39.82 41.41 35.77

18.81 21.42 18.19

58.63 62.83 53.95

Periode

Putresin (mM)

Sebelum aplikasi putresin

Total

Angka-angka pada kolom yang sama dan tidak diikuti oleh huruf, tidak berbeda pada uji F pada taraf uji 5%.

PEMBAHASAN Pertumbuhan gandum dipengaruhi oleh faktor internal (fotoperiode, waktu termal dan kematangan tanaman) maupun eksternal (kondisi lingkungan) baik lingkungan biotik maupun abiotik (Azwar et al. 1989). Tanaman gandum adalah tanaman berhari panjang yang sensitif terhadap lama penyinaran matahari yang akan menentukan pertumbuhan tanaman untuk ke arah vegetatif atau generatif (Bowden et al. 2007). Faktor penghambat dalam proses pertumbuhan tanaman di antaranya adalah cekaman. Cekaman pada tumbuhan adalah respon tumbuhan terhadap kondisi lingkungan biotik (hama dan penyakit tanaman) maupun abiotik (kondisi tanah dan iklim) (Lambers et al. 2008). Bentuk pengaruh cekaman iklim pada tumbuhan di antaranya adalah cekaman suhu. Cekaman suhu pada gandum yang ditanam di daerah tropis adalah cekaman suhu tinggi (Lillemo et al. 2005) yang akan mempengaruhi proses fisiologis tumbuhan. Proses fisiologis tersebut meliputi akumulasi biomassa tumbuhan, pengikatan CO2 dan pengangkutan hara yang terkait pada keseluruhan proses pertumbuhan (Taiz dan Zeiger 2002). Suhu rata-rata di Cipanas adalah 20.8 oC, sedangkan di Cisarua adalah 27.5 o C. Menurut Bowden et al. (2007) kisaran suhu pertumbuhan gandum adalah 15 o C sampai 30 oC. Dengan demikian, suhu di Cipanas dan Cisarua masih dalam kisaran yang sesuai untuk pertumbuhan gandum di wilayah tropis. Namun menurut Hendershot et al. (1992) suhu pertumbuhan optimum gandum adalah 18 o C sampai 23 oC. Oleh karena itu, pertumbuhan gandum di Cipanas masih lebih

17

baik dibandingkan dengan di Cisarua. Kelembapan relatif di Cipanas (78.4%) lebih rendah dari Cisarua (83%). Pada kondisi dataran tinggi Indonesia, gandum ditanam dengan rata-rata kelembapan di atas 80% pada musim hujan dan di bawah 80% ketika musim kemarau (Satari et al. 1976). Tingkat kelembapan di kedua lokasi masih dalam batas normal syarat tumbuh dan kembang gandum. Genotipe Nias di Cipanas memiliki kerapatan stomata 137 stomata·mm-2 dengan laju transpirasi sebesar 0.094 mg·cm-2·detik-1, sedangkan genotipe Nias di Cisarua memiliki kerapatan stomata 152.3 stomata·mm-2 dengan laju transpirasi sebesar 0.083 mg·cm-2·detik-1. Pada genotipe Astreb di Cipanas memiliki kerapatan sebesar 141.7 stomata·mm-2dengan laju transpirasi sebesar 0.12 mg·cm-2·detik-1, sedangkan di Cisarua, genotipe Astreb memiliki kerapatan lebih tinggi 153.9 stomata·mm-2dengan laju transpirasi 0.077mg·cm-2·detik-1. Data tersebut menunjukkan bahwa hubungan antara kerapatan stomata dan laju transpirasi tidak sama pada genotipe berbeda. Aplikasi putresin pada penelitian ini bertujuan untuk membantu tanaman gandum sebagai regulator pertumbuhan tanaman untuk beradaptasi pada lingkungan tropis, yaitu dengan mempercepat pertumbuhan (El-Tohamy et al. 2008) namun, aplikasi putresin di Cipanas dan Cisarua tidak memberi pengaruh yang nyata terhadap kerapatan stomata. Menurut Bowden et al (2007) jumlah stomata mempengaruhi laju transpirasi pada daun gandum yang berfungsi sebagai jalan penguapan air dan pemasukan gas CO2 saat fotosintesis. Pada kondisi cekaman panas, suhu udara di sekitar tanaman tidak optimal untuk pertumbuhan keseluruhan gandum, suhu udara di lingkungan yang tinggi menyebabkan tanaman akan menguapkan air yang banyak sebagai respon terhadap kenaikan suhu lingkungan. Suhu udara yang tinggi akan mengakibatkan laju transpirasi terus meningkat dan apabila terlalu banyak menguapkan air, stomata daun akan menutup untuk menjaga agar daun tidak layu dan kehilangan lebih banyak air. Cara tersebut akan menghambat proses fotosintesis dan transpirasi tanaman. Pada penelitian ini, aplikasi putresin tidak mempengaruhi laju transpirasi pada gandum. Namun, laju transpirasi dipengaruhi oleh faktor lingkungan antara lain kelembapan relatif, suhu dan kecepatan angin. Dibandingkan dengan Cisarua, Cipanas memiliki suhu lebih rendah namun memiliki kecepatan angin lebih tinggi. Kondisi tersebut menyebabkan laju transpirasi di Cipanas relatif lebih tinggi dari Cisarua. Faktor yang mempengaruhi transpirasi di antaranya adalah kecepatan angin. Menurut Taiz dan Zeiger (2002) kecepatan angin yang mempengaruhi laju transpirasi berhubungan dengan lapisan pembatas kedap udara (boundary layer) yang terdapat pada lapisan paling atas permukaan daun. Lapisan tersebut menjaga agar laju transpirasi pada tanaman tetap rendah. Lapisan pembatas sangat tipis dan sangat mudah terbawa oleh angin sehingga pada kecepatan angin yang tinggi lapisan tersebut akan terkikis dan dapat menaikan laju transpirasi. Ketebalan dari boundary layer akan menambah panjang jalur difusi uap air. Molekul uap air yang akan keluar dari daun harus berdifusi melalui lapisan epidermis (sel penjaga) yang tebal serta harus melewati lapisan pembatas untuk mencapai lingkungan luar. Laju transpirasi berkurang karena difusi uap air terhalang oleh lapisan pembatas. Ketiga genotipe yang ditanam di kedua lokasi mempunyai respon transpirasi yang sama terhadap suhu lingkungan. Menurut Bowden et al. (2007) transpirasi memiliki keterkaitan dengan fotosintesis, yaitu pada waktu berlangsung

18

transpirasi maka uap air bertukar dengan CO2 yang masuk melalui stomata. Laju transpirasi lebih lambat di area dengan suhu yang rendah dan kelembapan udara relatif tinggi. Hal ini sesuai dengan data iklim di Cisarua (Tabel 1), walaupun suhu lebih tinggi, namun kelembapan relatif tinggi pada saat siang hari. Hal ini berbeda dengan Cipanas, walaupun suhu tertinggi di Cipanas hanya 20.8 oC namun, kelembapan udara rendah dan kecepatan angin tinggi dibandingkan di Cisarua. Hal tersebut menyebabkan laju transpirasi dan pertukaran CO2 untuk fotosintesis pada tanaman lebih tinggi sehingga secara umum tinggi tanaman dan jumlah anakan di Cipanas lebih besar dibandingkan di Cisarua. Klorofil merupakan zat hijau daun yang terkandung dalam kloroplas daun yang menyerap berbagai panjang gelombang matahari. Klorofil berfungsi sebagai pigmen warna penangkap cahaya untuk proses fotosintesis yang menyerap panjang gelombang lebih kecil dari 480 nm dan di antara 550 nm sampai 700 nm (Heldt dan Heldt 2005). Pengaruh nyata pada aplikasi putresin hanya terlihat pada periode setelah aplikasi putresin ke-2 di Cipanas, namun konsentrasi putresin 2.5 mM tidak berbeda nyata dengan kontrol. Di Cisarua aplikasi putresin konsentrasi 1.25 mM pada periode ke-1 dan ke-2 dapat meningkatkan nilai kandungan klorofil (Tabel 14), tetapi pemberian konsentrasi putresin 2.5 mM cenderung menurunkan kandungan klorofil kembali. Pemberian konsentrasi putresin 1.25 mM di Cisarua relatif dapat meningkatkan kandungan klorofil dibandingkan tanpa perlakuan putresin. Menurut Diaz-Almeyda et al. (2011); dan Mathur et al. (2011) suhu yang tinggi pada gandum dapat merusak membran fotosintetik sehingga menyebabkan penurunan kandungan klorofil. Derajat sudut daun bendera pada tanaman sereal merupakan suatu cara pengukuran untuk mengetahui tingkat efisiensi tanaman dalam menggunakan energi radiasi matahari. Tegakan daun bendera dalam membentuk sudut dipengaruhi oleh genotipe gandum dan gen penyandinya. Sudut daun bendera di Cipanas, tidak dipengaruhi oleh aplikasi putresin. Sudut daun bendera di Cipanas yang terukur kurang dari 100° yang menandakan tanaman gandum masih dalam masa pertumbuhan. Pada saat pengukuran, sudut daun bendera masih dalam fase akhir pengisian bulir yang kemudian akan menuju fase akhir pertumbuhan. Berbeda dengan di Cipanas, pada waktu pengukuran yang sama di Cisarua, sudut daun bendera lebih dari 100o yang menandakan gandum telah mencapai masa akhir pertumbuhan. Menurut Borojevic dan Dencic (1986) bentuk sudut daun bendera menandakan fase pertumbuhan gandum. Jika bentuk sudut horizontal terhadap batang maka memasuki fase pengisian bulir gandum, ketika daun telah menjuntai menandakan pertumbuhan telah mencapai akhir. Sudut daun bendera pada gandum juga menandakan kematangan fisik tanaman sebelum akhirnya akan mengalami senesens (De Christaldo et al. 1992). Secara umum luas daun bendera di Cipanas lebih luas dibandingkan di Cisarua. Hasil ini selaras dengan kandungan klorofil yang lebih tinggi di Cipanas. Luas daun bendera sangat penting dalam proses pertumbuhan gandum terutama dalam hal kapasitas fotosintesis yang dapat dilakukan. Daun bendera yang tetap utuh terjaga selama pertumbuhan sangat penting untuk produksi karbohidrat selama pengisian bulir. Luas daun bendera dipengaruhi oleh laju pertumbuhan anakan dan laju perluasan daun. Luas daun bendera menentukan penggunaan air pada tumbuhan. Selama masa vegetatif, tanaman membutuhkan banyak air untuk persiapan pembungaan dan pengisian bulir. Rasio pertumbuhan yang seimbang

19

dari luas daun sangat dibutuhkan untuk menentukan kombinasi optimal dalam kapasitas fotosintesis dan produksi karbohidrat, namun juga tetap dapat menjaga ketersediaan air di tanah untuk pertumbuhan (Bowden et al. 2007). Menurut Thomas dan Kiang (1987) pemakaian poliamin sintetik dalam dosis tinggi akan mengurangi pertumbuhan sel, tetapi jika tumbuhan mengalami defisiensi poliamin endogen maka pemberian poliamin sintetik akan menstimulasi pertumbuhan sel (Porter dan Bergeron 1983). Tinggi tanaman selain dipengaruhi oleh asupan air dan kondisi hara juga dipengaruhi oleh genotipe dan waktu tanam. Tinggi tanaman mempengaruhi distribusi hasil fotosintat dan transpor hara di dalam tanaman. Kesesuaian tinggi tanaman sangat dibutuhkan untuk mengurangi kompetisi energi antara batang dengan malai sehingga produksi dan berat bulir meningkat. Faktor yang mempengaruhi tinggi tanaman gandum ialah gen Rht1 atau Rht2. Selain suhu, kelembapan dan kecepatan angin, faktor lain yang menyebabkan pertumbuhan gandum lebih baik di Cipanas adalah kemungkinan karena lahan gandum di Cisarua tergenang air pada waktu hujan. Gandum sensitif terhadap genangan air karena menyebabkan menurunnya konsentrasi oksigen dalam tanah. Ketersedian nitrogen dan berbagai nutrient lainnya juga berkurang akibat genangan air sehingga menyebabkan pertumbuhan daun menjadi melambat, pembentukan anakan terhambat dan juga menghambat pertumbuhan serta anakan yang produktif (Bowden et al. 2007). Genotipe Nias yang ditanam di Cipanas dan Cisarua mempunyai habitus paling tinggi dibandingkan dengan genotipe gandum introduksi. Genotipe Nias dapat berkembang dengan baik di lingkungan Cipanas dengan suhu lebih rendah dibanding Cisarua. Namun, kedua genotipe introduksi yang diteliti, yaitu genotipe Sbr memiliki habitus lebih tinggi dan tumbuh lebih baik di Cipanas maupun di Cisarua. Dengan demikian genotipe Sbr tumbuh lebih baik di dataran sedang dan tinggi dibandingkan dengan genotipe Astreb.

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Aplikasi putresin dengan dua jenis konsentrasi hanya mempengaruhi kandungan klorofil a, b dan total pada periode setelah aplikasi putresin ke-2 di Cipanas. Perbedaan genotipe berpengaruh nyata pada kerapatan stomata adaksial pada periode setelah aplikasi putresin di Cipanas dan kerapatan stomata adaksial di Cisarua pada periode setelah aplikasi putresin ke-1. Genotipe Sbr memiliki pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan genotipe Astreb pada daerah yang tercekam suhu tinggi, baik di Cipanas maupun di Cisarua. Genotipe Sbr memiliki pertumbuhan lebih unggul dari Astreb sehingga dapat tumbuh baik di dataran sedang di Indonesia Saran Penelitian lebih lanjut mengenai introduksi tanaman gandum pada dataran tinggi harus lebih menyesuaikan kondisi cuaca di daerah percobaan agar dapat mengasilkan data yang lebih akurat. Hal tersebut akan mempengaruhi pemberian

20

putresin dan efeknya terhadap tanaman gandum. Faktor lingkungan dan peneliti sangat mempengaruhi penelitian yang dilaksanakan dilapangan dalam mengaplikasikan putresin serta analisis bahan tanaman.

DAFTAR PUSTAKA Adriana D. 1996. Pengaruh pemberian putresin pada berbagai konsentrasi terhadap perubahan kualitas buah pepaya (Carica papaya L.) varietas 'Dampit' [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [APTINDO] Asosisasi Produsen Tepung Terigu Indonesia. 2014. Overview industri tepung terigu nasional Indonesia. Jakarta (ID) [Internet]. [diakses 2014 Mei 01]. Tersedia pada http://www.aptindo.or.id pdfs/Overview%20Industri%20Terigu%20nasionalupdate%2014%20maret%2 02013.pdf. Azwar R, Danakusuma T, Daradjat AA. 1988. Prospek pengembangan terigu di Indonesia di dalam Buku 1 Risalah Simposium Tanaman Pangan II; 1988 Maret 12-13; Bogor, Indonesia. Bogor (ID): Puslitbangtan. hlm 17. Banu E, Serpil T. 2009. Photosynthetic responses of two wheat varieties to high teperature. EAJBS. 3:97-106. Borojevic S, Dencic S. 1986. Screening a wheat collection for leaf position at different stages of growth. Plant Breed. 93:97-106. Bowden P, Edwards J, Ferguson N, M'Nee T, Manning B, Roberts K, Schipp A, Schulze K, Wilkins J. 2007. Wheat Growth & Development. State of New South Wales (NZ): NSW Department of Primary Industries Press. Budiarti SG. 2005. Karakterisasi beberapa sifat kuantitatif plasma nutfah gandum (Triticum aestivum L.). Bul Plasm Nutf. 11(2):49-54 Chanda SV dan Singh YD. 2002. Estimation of leaf area in wheat using linear measurements. PBd Seed Science. 46(2):75-79. Cortines M, Mizrahi Y. 1991. Polyamines in cell division, fruit set and development and seed germination. Di dalam: Slocum RD dan Flores HE, editor. Biochemistry and Physiology of Polyamines in Plants. Boca Raton, Florida (US). CRC Press. hlm 175-186. Danakusuma T. 1985. Hasil penelitian terigu dan prospek pengembangannya. Dalam Hasil Penelitian Terigu 1980-1984. Risalah Rapat Teknis Puslitbangtan; 1985 28-29 Maret. Bogor (ID): Badan Litbang Pertanian, Puslitbang Tanaman Pangan. De Cristaldo RMO, De Carvalho FIF, Barbosa-Neto, Federizzi LC.1992. Inheritance of flag leaf angle in wheat (Triticum aestivum L.). Rev Brasi. Genet. 15(2):385-397. Díaz-Almeyda E. Thomé P, El Hafidi M, Iglesias-Prieto R. 2011. Differential stability of photosynthetic membranes and fatty acid composition at elevated temperature. Coral Reefs. 30:217-225. El-Bassiouny HM, Mostafa HA, El-Khawas SA, Hassanein RA, Khalil SI, Abd El-Monem AA. 2008. Physiologycal responses of wheat plant to foliar treatments with Arginine or Putrescine. Aust J Basic and Appl Sci. 4:13901403. El-Tohamy, El-Abagy, N El-Greadly. 2008. Studies on the effect of putrescine yeast and vitamin C on growth, yield and physiological responses of eggplant

21

(Solanum melongena L.) under sandy soil conditions. Aust J Basic and Appl Sci. 2(2):296-300. Heldt HW, Heldt F.2005. Plant Biochemistry. 3rd Edition. London (UK). Elsevier Academic Press. hlm 49-55. Hendershot KL. Wang J, Nguyen HT. 1992. Induction temperature of heat – shock protein synthesis in wheat. Crop Sci. 32:256-261. Lambers H, Chapin III FS, Pons TL. 2008. Plant Physiological Ecology 2nd ed. New York (US): Springer Press. hlm 5-10. Lillemo M, Ginkel MV, Trethowan RM, Hernandez E, Crossa J. 2005. Differential adaptation of CYMMIT bread wheat to global high temperature environtment. Crop Sci. 45:2443-2453. Mac-Key J. 1988. A plant breeder's perspective on taxonomy of cultivated plants. Biologisches Zentralblatt. 107:369-379. Mathur S, Allakhverdiev SI, Jajoo A. 2011. Analysis of high temperature stress on the dynamics of antenna size and reducing side heterogeneity of Photosystem II in wheat leaves (Triticum aestivum). BBA. 1807:22-29. Meral U, Palavan-Unsal N, Ismailoglu I. 2005. The effect of putrescine and difluoromethylornithine on cell division activity of wheat in different ploidy level. Caryologia. 58(1):15-20. Miswar ZF, Sukarmin, Ihsan F. 2012. Teknik karakterisasi kuantitatif beberapa aksesi nenas. Bul Tek Pertan. 17(1):10-13. Musa S. 2002. Program pengembangan gandum tahun 2002 dan rencana 2003. Disampaikan pada acara rapat koordinasi pengembangan gandum; 2002 3-5 September; Pasuruan, Indonesia. Pasuruan (ID): Direktorat Serealia. Direktorat Jenderal Bina Produksi Tanaman Pangan. Porter CW, Bergeron RJ. 1983. Spermidine requirement for cell proliferation in eukaryotic cells: structural specificity and quantitation. Science. 219:10831085. Royer DL. 2001. Stomatal density and stomatal index as indicators of paleoatmospheric CO2 concentration. Palaeobot and Palynol. 114:1-28 Sairam RK, Tyagi A. 2004. Physiology and molecular biology of salinity stress tolerance in plants. Curr Sci. 86:407-421. Sarvajeet S, Narendra T. 2010. Polyamines and Biotic stress tolerance in plants. Plant Signal & Behav. 5(1):26-33. Setyowati M, Haranida I, Sutoro. 2009. Pengelompokan Plasma Nutfah Gandum (Triticum aestivum) berdasarkan karakter kuantitatif Tanaman. Bul Plasm Nutf. 15(1): 32-37. Taiz L, Zeiger E. 2002. Plant Physiology. 3rd Ed. Massachusetts (US): Sinauer Associated Inc Publisher. hlm 592-621. Takeshi N, Amane M. 2009. Differences between rice and rheat in temperature responses of photosynthesis and plant growth. Plant Cell Physiol. 50:744-755. Thomas T, Kiang DT. 1987. Additive growth inhibitory effects of difluoromethylomithine and anti estrogenson MCF-7 cell line. Biochem Biophys Res Commun. 148:1338-1345. Wahid A, Close TJ. 2007. Expression of Dehydrins under heat stress and their relationship with water relations of sugarcane leaves. Biol Plant. 51:104-109. Winterman JFG, De Mots A. 1965. Spectrophotometric characteristics of chlorophylls a and b and their phaeophytins in ethanol. BBA.109:448-453.

22

Lampiran

23

Lampiran 1 Data rataan tiga bulan suhu udara, kelembaban udara, kecepatan angin dan intensitas cahaya di Cipanas bulan Januari, Februari dan Maret tahun 2013 Lampiran Januari T (°C) 24.6 23.8 20.6 20 20 20 21.1 20.4 22.6 17.1 18.3 20.7 21.1 270.3

RH (%) 63.9 72.6 70.3 74.6 81.7 83.6 90 84.3 73.1 75 82.3 80.2 84.4 1016

KA (m/s) 1.9 2 4.5 3.7 2.8 3.5 1.9 2.4 3.3 4.2 2.2 2.6 2.3 37.3

IC (lux) 18490 8450 11210 16200 9140 12770 13200 18850 19320 12930 15090 9910 24500 190060

Februari T RH (°C) (%) 23 77 19.5 81.4 23 75.4 25.3 76.8 23.7 76.7 20.7 87.8 20 78.2 22.9 72.5 20.1 80.5 21 80.9 21.3 82.3 25 78.3 22 78 21 64.5 22.3 81.9 20 83.2 19.6 76.2 18 79 21.8 73.7 20.2 78.9 17.5 78.6 18.1 83.3 21 83.1 20.2 73.3 20 68.8 21.5 75.6 21 79.8 20.9 67.3 590.6 2173

KA (m/s) 2.8 0.9 4.3 0.2 3.6 2.8 3.5 2.5 3.3 2.5 2.4 3.3 1.9 1.3 1.2 1.9 5.8 2.2 3.8 4.3 6.7 4.5 9.3 12.5 7.5 6.4 6.9 3.4 111.7

IC (lux) 18200 15340 38000 19690 35500 5290 35100 21400 10570 18560 11100 3850 16800 9850 18590 10160 12400 15700 30500 15380 6640 19910 12010 17070 11700 7890 13510 17080 467790

Maret T (°C) 195 25.1 25.5 19.5 25.1 25.5 16.2 17.4 21.2 21.1 18.2 18.7 17.3 21.3 21.1 21.3 19.2 20.7 25.5 20.9 21 19.7 26 24.2 21.1 22.2 23.2 23.3 19.5 19.7 23.9 664.1

RH (%) 75 45.5 65.1 75 45.5 65.1 84.2 77.1 74.6 71.3 85.6 82.5 88.8 71.1 81.3 68.7 81.9 69.3 65.2 75.8 70.4 69.7 63.6 58.6 69.2 71.1 70.4 70 77.3 76.4 70.4 2215.7

Jumlah Ratarata 20.8 78.2 2.9 14620 21.1 77.6 4.0 16706.8 21.4 71.5 a Keterangan : T=Suhu, RH=Kelembapan Relatif, KA=Kecepatan angin, IC=Intensitas Cahaya b Sumber : Adeel Abdulkarim Fadhl Altuhaish (2013)

KA (m/s) 3.9 10.5 4.7 7.5 5.6 1.3 1.5 1.2 0.4 0.5 0.4 1 1 0.3 0.1 0.4 0.4 0.2 0.2 0.7 0.4 0.2 0.3 1.6 1.3 1.2 1.3 1.8 0 49.9

IC (lux) 30100 25900 31400 31900 18420 8140 9330 6480 14890 1848 10000 2800 1203 5900 5940 15330 4410 18640 15670 38400 25200 15430 24300 12160 19040 1202 13870 21400 16540 3530 18750 468123

1.7

15100.7

24

Lampiran 2 Data rataan tiga bulan suhu udara, kelembaban udara, kecepatan angin dan intensitas cahaya di Cisarua bulan Januari, Februari dan Maret tahun 2013 Februari T RH (°C) (%) 27 78.3 28.9 73.4 27.8 75.7 27.5 73.6 26.4 81.8 26.1 78.6 26.1 85 26.1 26.1 25.9 80.5 28.7 74.7 23.9 83.9 24.4 90.8 26.6 81.7 27.5 76 25.2 76.7 25.2 91.8 23.9 92.4 25.1 81.4 24.4 82.2 26.6 26.6 34.6 70.4 610.6 1528.9

KA (m/s) 2.1 1.2 2.8 0 0.2 0.7 0 1.6 0.6 1.5 0.2 1.1 3.3 0 0 1.2 0.2 0.7 17.4

IC (lux) 31600 3170 47200 8890 26700 7630 51100 37900 9940 1980 0 0 48000 10700 11200 25200 7500 13800 14600 43700 15000 1410 3750 9970 7490 12500 29000 55600 535530.0

Maret T (°C) 26.4 29.2 29 26.3 26.1 28.7 30.3 27.9 26 29.6 31.2 31.5 27.8 32.6 28.8 28.7 28.6 31.1 29.7 29.7 29.4 28.9 26.6 28.6 26.6 29.2 29.2 29.2 29.2 28.4 31.1 680.4

RH (%) 78.1 77.2 71 89.5 83.7 73.6 68.9 77.3 84.3 81.4 66.2 63.1 77 63.8 75.7 75.6 69.3 66.1 67.1 79.3 79.1 78.5 80.7 79 88.2 80.5 86.4 86.1 2146.7

KA (m/s) 2 0.1 1.4 1.1 1 1.2 1.3 0.8 0.7 0 2.9 0.4 1.8 1.2 0 1.2 0.1 0.7 0.3 0.2 1.1 0.8 0.6 1.7 0 0 0 1.8 24.4

IC (lux) 16100 44500 35400 51500 33000 58000 61800 13800 12100 67100 53500 50100 27800 48100 27200 48900 18800 47900 10000 26000 48600 39700 24600 19700 10500 40100 13300 23500 46600 38800 45100 1102100,0

April T (°C) 28.3 27.2 28 28.6 26.6 29.9 29.9 28.7 26.2 26.1 25.2 26.2 25.4 27.2 27.2 27.1 27.1 25.7 25.8 27.1 27.1 25.5 26.5 26.9 26.9 27 27.1 576.4

RH (%) 77.3 80.9 77.2 86 82 70.7 86.2 81.2 91.8 83.9 85.8 80.8 79.5 85.5 83.1 77.9 91.1 88.5 84.3 84.3 91.5 93.8 92.1 87.8 88.3 75.5 2187.0

Jumlah Ratarata 26.5 80.5 1.0 19126.1 28.9 76.7 0.9 35551,6 27.1 84.1 a Keterangan : T=Suhu, RH=Kelembapan Relatif, KA=Kecepatan angin, IC=Intensitas Cahaya b Sumber : Adeel Abdulkarim Fadhl Altuhaish (2013)

KA (m/s) 0 0.6 0 0 0.8 0 0 0 0.1 0.7 0.2 0.1 0 0 0.6 0.1 0 0 01 0 0 0.2 0 0.1 0.8 0.1 4.5

IC (lux) 15900 18600 18300 42300 11400 36700 1770 45200 32100 20400 201 62900 15500 13800 37500 22600 27000 1160 5300 53900 5400 65800 61000 63100 7380 30900 716111.0

0.2

27542.7

25

Lampiran 3 Nilai P hasil sidik ragam karakter morfologi dan fisiologi setelah aplikasi putresin ke-1 di Cipanas Kerapatan Stomata Adak Abak .187 .585 .005* .495 .296 .406 .032* .028* .366 .475 .671 .142

Cipanas Putresin Genotipe Blok Putresin*Genotipe Putresin*Blok Genotipe*Blok

Setelah Putresin Ke-1

Laju Transpirasi Relatif Adak Abak .351 .896 .743 .791 .686 .296 .256 .424 .699 .726 .671 .513

Kandungan Klorofil a .564 .147 .663 .967 .914 .458

b .845 .156 .625 .486 .189 .137

total .901 .053 .991 .781 .698

a

Keterangan : KS=Kerapatan Stomata, KK=Kandungan Klorofil, LTR=Laju Transpirasi Relatif

Lampiran 6 Nilai P hasil sidik ragam karakter morfologi dan fisiologi setelah aplikasi putresin ke-2 di Cipanas Cipanas

Setelah Putresin Ke-2

Kerapatan Stoama Adak Abak

Kandungan Klorofil a

b

total

LDB

TDB

LTR

SDB

Adak

Abak

TT

JA

Putresin

.261

.005*

.031*

.050*

.046*

.585

.729

.146

.068

.142

.083

.889

Genotipe

.026*

.304

.830

.786

.917

.987

.038*

.060

.440

.183

.028*

.053

.570

.067

.248

.202

.332

.373

.633

.499

.604

.229

Blok Putresin*Genotipe

.797

.926

.294

.415

.127

.578

.199

.880

.084

.325

.099

.584

Putresin*Blok

.829

.981

.100

.497

.038

.289

.112

.594

.161

.721

.415

.138

Genotipe*Blok

.671

.329

.067

.089

.024*

.374

.820

.694

.014

.803

.544

.790

a

Keterangan :

LDB=Luas Daun Bendera, TDB=Tebal Daun Bendera, SDB=Sudut Daun Bendera, LTR=Laju Transpirasi Relatif, TT=Tinggi Tanaman, JA=Jumlah Anakan

Lampiran 5 Nilai P hasil sidik ragam karakter morfologi dan fisiologi setelah aplikasi putresin ke-1 di Cisarua Cisarua

Kerapatan Stomata

Putresin Genotipe Blok Putresin*Genotipe Putresin*Blok Genotipe*Blok

Setelah Putresin Ke-1

Adak .138 .004* .849 .097 .794 .596

Abak 337 .052 .534 .905 .069 .752

Laju Tanspirasi Rrelatif Adak Abak .964 .602 .311 .507 .385 .988 .571 .353 .620 .544 .486 .078

Kandungan Klorofil a .861 .507 .430 .023* .036 .117

b .860 .170 .272 .775 .769 .121

total .956 .374 .323 .584 .541 .591

a

Keterangan : KS=Kerapatan Stomata, KK=Kandungan Klorofil, LTR=Laju Transpirasi Relatif

Lampiran 4 Nilai P hasil sidik ragam karakter morfologi dan fisiologi setelah aplikasi putresin ke-2 di Cisarua Cipanas

Kandungan Klorofil a

b

total

LDB

TDB

SDB

LTR Adak

Abak

TT

JA

Putresin

.261

.005*

.031*

.050*

.046*

.585

.729

.146

.068

.142

.083

.889

Genotipe

.026*

.304

.830

.786

.917

.987

.038*

.060

.440

.183

.028*

.053

Blok

-

.570

.067

.248

.202

.332

.373

.633

.499

-

.604

.229

Putresin*Genotipe

.797

.926

.294

.415

.127

.578

.199

.880

.084

.325

.099

.584

Putresin*Blok

.829

.981

.100

.497

.038

.289

.112

.594

.161

.721

.415

.138

Genotipe*Blok

.671

.329

.067

.089

.024*

.374

.820

.694

.014

.803

.544

.790

Setelah Putresin Ke-2

a

Kerapatan Stomata Adak Abak

Keterangan :

LDB=Luas Daun Bendera, TDB=Tebal Daun Bendera, SDB=Sudut Daun Bendera, LTR=Laju Transpirasi Relatif, TT=Tinggi Tanaman, JA=Jumlah Anakan

26 Lampiran 7 Kerapatan stomata genotipe Sbr, Astreb dan Nias bagian adaksial dan abaksial konsentrasi 0, 1.25 dan 2.5 setelah aplikasi putresin ke-1 di Cipanas pada. Perbesaran 400 26

Genotipe SBR

Kontrol Abaksial

1.25 mM Adaksial

Abaksial

2.5 mM Adaksial

Abaksial

Adaksial

Genotipe Astreb

Kontrol Abaksial

1.25 mM Adaksial

Abaksial

2.5 mM Adaksial

Abaksial

Adaksial

Genotipe Nia

Kontrol Abaksial

1.25 mM Adaksial

Abaksial

2.5 mM Adaksial

Abaksial

Adaksial

27

Lampiran 8 Kerapatan stomata genotipe Sbr, Astreb dan Nias bagian adaksial dan abaksial konsentrasi 0, 1.25 dan 2.5 mM setelah aplikasi putresin ke-2 di Cipanas. Perbesaran 400 Genotipe SBR

Kontrol Abaksial

1.25 mM Adaksial

Abaksial

2.5 mM Adaksial

Abaksial

Adaksial

Genotipe Astreb

Kontrol Abaksial

1.25 mM Adaksial

Abaksial

2.5 mM Adaksial

Abaksial

Adaksial

Genotipe Nias

1.25 mM Adaksial

Abaksial

27

Kontrol Abaksial

2.5 mM Adaksial

Abaksial

Adaksial

28 Lampiran 9 Kerapatan stomata genotipe Sbr, Astreb dan Niasbagian adaksial dan abaksial konsentrasi 0, 1.25 dan 2.5 mM setelah aplikasi putresin ke-1 di Cisarua pada. Perbesaran 400 28

Genotipe SBR

Kontrol Abaksial

1.25 mM Adaksial

Abaksial

2.5 mM Adaksial

Abaksial

Adaksial

Genotipe Astreb

Kontrol Abaksial

1.25 mM Adaksial

Abaksial

2.5 mM Adaksial

Abaksial

Adaksial

Genotipe Nia

Kontrol Abaksial

1.25 mM Adaksial

Abaksial

2.5 mM Adaksial

Abaksial

Adaksial

29

Lampiran 10 Kerapatan stomata genotipe Sbr, Astreb dan Niasbagian adaksial dan abaksial konsentrasi 0, 1.25 dan 2.5 mM setelah aplikasi putresin ke-2 di Cisarua pada.Perbesaran 400 Genotipe SBR

Kontrol Abaksial

1.25 mM Adaksial

Abaksial

2.5 mM Adaksial

Abaksial

Adaksial

Genotipe Astreb

Kontrol Abaksial

1.25 mM Adaksial

Abaksial

2.5 mM Adaksial

Abaksial

Adaksial

Genotipe Nias

29

Kontrol Abaksial

1.25 mM Adaksial

Abaksial

2.5 mM Adaksial

Abaksial

Adaksial

30

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Karawang, pada tanggal 27 Mei 1991. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara dengan Ayah bernama Sarjono dan Ibunda Indah Yuskandini. Penulis memasuki jenjang pendidikan anak-anak di TK Al Irsyad Al Islamiyyah (1996-1998) karawang selama dua tahun, kemudian melanjutkan pendidikannya ke SDN Karang Pawitan I, Karawang (1998-2003). Penulis melanjutkan ke jenjang SMP Negeri 6 Jakarta Timur (2003-2006), lalu melanjutkan ke SMA Negeri 4 kota Bekasi (2006-2009). Penulis diterima di IPB Departemen Biologi melalui jalur masuk PMDK (2009-2014). Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan di antaranya divisi kesekretariatan UKM Tarung Derajat IPB (2009-2010), Pengurus UKM Taekwondo IPB (2011), Divisi Pertahanan dan Keamanan Asrama Sylvasari (2010-2011), Divisi Badan Rumah Tangga Asrama Sylvapinus (2011-2012), Divisi Olahraga dan Kesenian Asrama Sylvapinus (2012-2013). Penulis menerima beasiswa BBM saat pendidikan. Selama di IPB penulis pernah mengikuti les bahasa di Lab Bahasa LSI IPB yaitu les Bahasa Korea dasar dan Bahasa Perancis dasar. Selama di IPB karya tulis yang pernah dibuat penulis antara lain “Keanekaragaman Edible Mushroom di Hutan Pendidikan Gunung Walat” (2011) dan “Budidaya Tanaman Sayuran Bayam Dengan Teknik Hidroponik” (2012). Penulis menyelesaikan skripsi yang berjudul “Karakter Morfologi dan Fisiologi Genotipe Gandum (Triticum aestivum L.) Introduksi Toleran Suhu Tinggi di Dataran Tinggi dan Sedang” (2013) di bawah bimbingan Dr Ir Miftahudin, MSi dan Dr Ir Tatik Chikmawati, MSi.