UNTITLED

Download Jurnal Sosiologi MASYARAKAT Vol. 15, No. ... perlunya kerja sama antara penentu kebijakan, ahli ekonomi keuanga...

0 downloads 198 Views 316KB Size
Sosiologi Keuangan: Dulu dan Kini

Rochman Achwan Departemen Sosiologi, Universitas Indonesia Email: [email protected]

Abstract Michael Power, a financial economist, asserts that amid the current global financial crisis what we required is a sociologist of finance. In history, the most important contributions of sociology of finance is to provide views of how people create and gave meaning to money and, vice versa, how people being made and constituted by money. In addition to being the engine of change towards modern civilization, money can also undermine and even destroy the fundaments of society. This paper provides a succinct review on the history of sociology of finance in an attempt to find its relevancy today. Kata kunci: lembaga keuangan, rasionalitas, sosiologi keuangan, transisi ekonomi

60 |

R ochman A chwan

pendahuluan

Di tengah krisis keuangan dunia sekarang ini, bukan ahli keuangan atau punggawa ekonomi yang dibutuhkan tetapi justru seorang sosiolog keuangan. Setidaknya, itulah seruan Michael Power, ahli ekonomi keuangan dan penulis buku Organized Uncertainty: Designing a World of Risk Management (2009). Ia menegaskan perlunya kerja sama antara penentu kebijakan, ahli ekonomi keuangan dan ahli sosiologi keuangan dalam mengatasi krisis. Pasar yang mengatur dirinya sendiri (self-regulating market) yang ditandai dengan kebebasan pelaku pasar dari intervensi pemerintah kini tidak dapat dipertahankan lagi. Dan menurutnya, sosiolog keuangan memiliki pengetahuan mendalam dalam menjelaskan dasar-dasar etis dan sosial dari tingkah laku pasar keuangan. Penjelasan semacam ini dapat memberi sumbangan penting dalam merumuskan transparansi dan pengawasan atau penegakan norma sosial yang lebih dinamis di lembaga keuangan. Seruan ini sesungguhnya telah disuarakan oleh para ahli sosiologi satu abad silam. Walaupun mengakui peran uang sebagai mesin perubahan menuju peradaban modern, mereka mengingatkan bahaya dominasi self-regulating market dalam kehidupan masyarakat. Dalam bahasa mereka, self-regulating market atau rasionalitas instrumental hanyalah salah satu bukan satu-satunya rasionalitas yang membimbing perkembangan ekonomi. Bila jenis rasionalitas instrumental ini telah menjadi ideologi, strategi dan program, maka ia dapat menghancurkan pertahanan budaya masyarakat. Oleh karena itu, mahasiswa dan ahli sosiologi perlu memahami setiap konsep dalam ilmu sosial bukan dalam bentuk tunggal (singular), tetapi dalam bentuk jamak (plural). Bukan rationality namun rationalities. Uraian di bawah ini membahas perkembangan uang dan sosiologi keuangan dari masa ke masa. Bagian pertama mengupas percampuran antarkonsep rasionalitas; kedua, uang sebagai mesin perubahan menuju ekonomi transisi; dan ketiga, kemunculan sosiologi keuangan sebagai disiplin dalam sosiologi. R A SION A L I TA S DA N R E A S ONA BIL I TY

Secara umum, rasionalitas dapat diartikan sebagai tindakan ekonomi yang memiliki alasan masuk akal menurut pandangan Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 1, Ja nu a ri 2010: 59- 67

S osiologi K euangan

| 61

pelaku bukan menurut pandangan para ahli. Oleh karena itu, kecuali tindakan insting, semua tindakan sosial termasuk tindakan ekonomi adalah rasional. Max Weber membagi rasionalitas menjadi tiga jenis antara lain rasionalitas instrumental, nilai dan tradisi. Kedua jenis rasionalitas yang terakhir berturut-turut sering disebut custom dan convention. Rasionalitas instrumental, secara umum, merupakan tindakan individu yang lebih mengutamakan kepentingan diri dan memperhitungkan untung dan rugi dalam mengejar tujuan-tujuan ekonomi. Sedangkan tindakan individu yang berorientasi pada rasionalitas nilai dan tradisi sering dipengaruhi oleh lingkungan budaya dan masyarakat. Derajat pengaruh lingkungan ini antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain berbeda-beda bergantung pada tingkat perkembangan ekonomi dan politik. Dalam penekanan yang berbeda, Emile Durkheim mengategorikan dua jenis tindakan sosial, yaitu tindakan sosial yang berorientasi pada solidaritas mekanis dan solidaritas organis. Kebanyakan para ahli sering salah arah dalam memahami pandangan kedua ahli sosiologi tersebut. Mereka umumnya berpendapat bahwa masyarakat modern sepenuhnya didominasi oleh tindakan rasionalitas instrumental atau dikuasai oleh solidaritas organik. Adam Smith misalnya menyatakan bila rasional instrumental telah mendominasi masyarakat maka masyarakat tersebut cenderung lebih beradab, mementingkan toleransi dan tidak menyukai anarki. Instrumental rationality is a means of civilizing society. Namun, bila kita mempelajari pemikiran kedua ahli sosiologi tersebut lebih mendalam, kita dapat menemukan percampuran antara pelbagai rasionalitas atau solidaritas sebagai faktor kemunculan masyarakat modern. Reformasi keagamaan (rasionalitas nilai) dan kepercayaan sosial (rasionalitas tradisi) bercampur dengan rasionalitas instrumental atau solidaritas organik. Dengan kata lain, setiap tindakan sosial baik pada tingkat mikro ataupun makro merupakan percampuran antara pelbagai rasionalitas atau solidaritas. Percampuran antar-rasionalitas atau solidaritas yang mendorong kemajuan ekonomi dapat disebut sebagai reasonability. Dalam kondisi sosial, politik dan ekonomi tertentu, salah satu rasionalitas dapat menaklukkan rasionalitas yang lain dan pada gilirannya menghambat kemajuan ekonomi ataupun melahirkan krisis ekonomi.

Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 1, Ja nu a ri 2010: 59- 67

62 |

R ochman A chwan

UA NG DA N E KONOM I T R A NSI SI

Sejumlah ahli sosiologi klasik telah membahas sisi positif dan negatif peran uang kertas sebagai alat tukar di awal kemunculan dan perkembangan ekonomi modern di Barat. Dalam tinjauan umum mengenai pemikiran para ahli tersebut, Mizruhi dan Streans (1994) menyatakan kemunculan uang kertas sebagai alat transaksi merupakan penanda proses sekularisasi dari masyarakat sederhana menuju masyarakat modern. Dalam bidang kehidupan ekonomi, uang mendorong terintegrasinya sejumlah wilayah lewat meluasnya pertukaran tidak langsung. Uang juga mendorong meluasnya investasi. Sejalan dengan perkembangan ekonomi ini, muncul penggunaan sistem akuntansi baru (double book-keeping) dalam mengelola perusahaan, birokrasi modern dan akhirnya negara-bangsa. Namun dalam proses sekularisasi ini, sering muncul konflik dan ketegangan sosial antar kelompok. Dalam masyarakat transisi menuju ekonomi uang, sering dijumpai pengucilan terhadap kelompok pedagang karena masyarakat menilai pedagang sebagai kelompok yang serakah dan mementingkan dirinya sendiri. Namun para pedagang yang cerdik sering menggunakan pelbagai cara agar dapat diterima sebagai bagian dari anggota masyarakat tersebut. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan jalan mengalokasikan sebagian dari keuntungannya untuk menyelenggarakan “ritual” setempat atau pesta dengan mengundang anggota masyarakat. Dengan cara ini, pandangan masyarakat tentang keserakahan mencair dan para pedagang dapat menjalankan usahanya dengan aman. Pedagang cerdik ini sesungguhnya menggabungkan rasionalitas instrumental dengan rasionalitas tradisi dalam mengejar keuntungan ekonomi. Dalam masyarakat modern, uang juga memiliki banyak makna (multiple meaning) sesuai dengan konteks sosialnya. Zelizer, seperti dikutip oleh Mizruhi dan Streans (1994) menyatakan bahwa rumah tangga modern sering mendefinisikan uang sesuai dengan pandangan masyarakatnya. Ada uang moral, uang rumah tangga, uang hadiah, uang pengobatan, dan lain-lain. Keberadaan tipe-tipe uang ini menandakan bahwa uang sebagai institusi bukanlah satu-satunya sarana mengejar keuntungan ekonomi.

Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 1, Ja nu a ri 2010: 59- 67

S osiologi K euangan

| 63

L E M B AG A K EUA NG A N

Lebih dari dua dasawarsa yang lalu, sejalan dengan kelahiran kembali sosiologi ekonomi, para sosiolog ekonomi tertarik mempelajari lembaga keuangan bank maupun nonbank. Ahli ekonomi dan ahli sosiologi ekonomi memiliki perbedaan dalam memandang lembaga keuangan. Ahli ekonomi memandang lembaga ini sebagai lembaga perantara (intermediary) yang bertugas menghimpun, mendistribusi dan menyimpan uang. Keberadaan pelbagai lembaga keuangan dengan keberagaman pelayanan keuangan diyakini akan mendinamisasi ekonomi masyarakat. Ahli sosiologi ekonomi sepakat dengan pandangan terse but, namun mereka memperkaya pandangannya dengan memasukkan dimensi kekuasaan dan hubungan sosial yang mereka anggap penting di dalam lembaga maupun antarlembaga keuangan tersebut. Berbeda dengan fokus di negara maju, kajian sosiologi ekonomi di negara yang sedang berkembang memfokuskan diri pada peran lembaga keuangan mikro dalam pemberantasan kemiskinan. Telah banyak studi keuangan mikro dilakukan selama 25 tahun terakhir. Secara umum studi ini membahas percampuran antar-rasionalitas yang dapat mendorong atau menghambat perkembangan lembaga keuangan ini dan ekonomi rumah tangga. Studi lain menaruh perhatian pada persoalan lingkungan kebijakan yang mempengaruhi perkembangan lembaga keuangan mikro (Rosengard et al. 2007). Di negara yang sedang berkembang, kemunculan lembaga keuangan mikro sering didukung oleh lembaga donor baik dari dalam maupun luar negeri. Salah satu studi penting yang perlu dicatat adalah studi yang mempersoalkan proses kemandirian organisasi lembaga keuangan mikro. Suatu proses yang harus dilalui oleh lembaga ini adalah melepas ketergantungan pada subsidi donor menuju kemampuan membiayai diri sendiri dan kemampuan memaksimalkan keuntungan. Studi lain memfokuskan diri pada bentuk dan penegakan organisasi internal di dalam lembaga. Berbeda dengan lembaga keuangan konvensional, bentuk organisasi lembaga keuangan mikro perlu menyesuaikan diri dengan kebiasaan masyarakat setempat. Sejumlah kalangan menyatakan bahwa desentralisasi organisasi memberi sumbangan penting terhadap kemajuan lembaga ini. Studi lain (Seibel et al. 2000) menekankan pada pembentukan dan Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 1, Ja nu a ri 2010: 59- 67

64 |

R ochman A chwan

penegakan aturan atau norma yang dapat disepakati oleh manajemen dan nasabah. Proses pembentukan dan pelembagaan norma ini memerlukan energi yang besar dan waktu. Studi yang lebih menekankan pada persoalan ketidakseimbangan antar-rasionalitas dilaporkan oleh Achwan (2007). Dalam studinya di Kalimantan Barat, penulis melaporkan keberhasilan Credit Union dalam mengembangkan bentuk organisasi yang spesifik, mewujudkan kemandirian organisasi, dan keuntungan yang diperoleh selama lembaga ini berdiri pada tahun 1987. Namun keberadaan lembaga ini justru mempertebal batas etnik dengan etnik lain. Menurut catatan dari lembaga ini, total nasabah hingga tahun 2007 berjumlah lebih dari 60.000 orang. Akan tetapi hampir semua nasabah ini berasal dari satu etnik sungguhpun lembaga ini tidak melarang etnik lain menjadi nasabah. Perkembangan rasionalitas instrumental kurang didukung oleh rasional nilai yang lebih universal. Ketimpangan antar-rasionalitas ini disebabkan oleh dinamika sosial yang berkembang di wilayah ini. Hubungan antaretnik selalu menjadi persoalan besar sepanjang pemerintahan Presiden Suharto. Etnik A menguasai birokrasi pemerintahan, etnik B perdagangan, etnik C perkebunan. Dalam konteks semacam ini, negara perlu memainkan peran penting sebagai jembatan untuk mendorong kerja sama antaretnik. Di negara maju, studi lembaga keuangan difokuskan pada lembaga perbankan modern. Dimensi kekuasaan sangat menonjol dalam membahas peran bank dalam ekonomi modern. Muzruhi and Stearn (1994) menjelaskan faktor kekuasaan dalam perkembangan ekonomi dari kapitalisme manajerial menuju kapitalisme finansial. Kapitalisme manajerial merupakan sistem ekonomi, dengan kondisi bahwa manajer atau pucuk pimpinan perusahaan memiliki kekuasaan dalam mengontrol perusahaan perbankan dan membangun hubungan dengan perusahaan-perusahaan yang menjadi nasabahnya. Interlocking directorate adalah suatu bentuk kekuasaan ketika pucuk pimpinan perusahaan perbankan dapat menunjuk dan mengangkat anak buahnya menduduki puncuk pimpinan di perusahaan perbankan lain. Mereka juga dapat membangun aliansi dengan aktor ekonomi lain dan membentuk kartel dalam menghadapi pesaingnya. Kapitalisme finansial merupakan sistem ekonomi, ketika pemilik saham bukan pucuk pimpinan memiliki kekuasaan absolut dalam mengendalikan perusahaan perbankan. Lewat puncuk Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 1, Ja nu a ri 2010: 59- 67

S osiologi K euangan

| 65

pimpinan perusahaannya, pemilik saham dapat menyetujui atau menolak pembelian (take over) atau penggabungan perusahaan (merger). Semenjak awal dasawarsa delapan puluhan, jenis kapitalisme ini berkembang dengan pesat dengan munculnya aktor keuangan raksasa seperti perusahaan-perusahaan keuangan dan investasi di lantai bursa terkemuka di dunia. Raksasa keuangan ini tidak lagi mengurusi merger dan take over tetapi lebih memfokuskan pada perdagangan saham atau jenis produk keuangan lain di lantai bursa (capital market). Mereka juga dapat mengganti peran lembaga perbankan dalam menyalurkan kredit kepada perusahaan. S O SIOL O GI K EUA NG A N

Perkembangan kapitalisme keuangan ini telah mendorong ahli sosiologi yang mempelajari gejala keuangan memisahkan diri dari sosiologi ekonomi dan mendirikan sosiologi keuangan. Bi-dang spesialisasi ini tidak lagi tertarik mempelajari makna uang, jaringan sosial antarperusahaan dan kelekatan sosial dalam kehidupan ekonomi (Cetina 2007). Wilayah ini merupakan kajian sosiologi ekonomi. Para perintis sosiologi keuangan menyaksikan perkembangan spektakuler bursa saham di dunia semenjak awal dasawarsa delapan puluhan. Mengutip data dari Sassen, Cetina (2007) menyatakan bahwa volume saham di lantai bursa naik tiga kali lebih cepat dibandingkan rata-rata produk domestik bruto (GDP) 23 negara-negara maju yang tergabung dalam Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) sejak 1980. Volume perdagangan mata uang, saham dan surat berharga yang beredar di lantai bursa juga mengalami kenaikan lima kali semenjak 1980. Ekonomi dunia kini telah dikuasai oleh perusahaan-perusahaan keuangan dan investasi. Pertanyaan penting yang ingin dijawab oleh sosiologi keuangan adalah bagaimana kita mendefinisikan tindakan ekonomi seperti spekulasi? Bagaimana kita membedakan antara sepekulasi dengan perjudian yang secara historis jaraknya tidak lebih dari ‘satu inci’? Seperti apa tata kelola atau governance pasar keuangan dunia dewasa ini? Bagaimana kita menjelaskan aspek-aspek khusus dari pasar keuangan seperti dasar-dasar informasi dan teknologi serta pengetahuan mengenai penentuan harga saham? Melihat perkembangan pasar keuangan yang spektakuler ini dan perannya dalam perkembangan ekonomi dunia, mungkinkah kita Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 1, Ja nu a ri 2010: 59- 67

66 |

R ochman A chwan

memahaminya sebagai bentuk perkembangan yang tak terkendali dari rasionalitas instrumental? Kini telah muncul sejumlah studi awal mengenai krisis keuangan dunia oleh ahli sosiologi keuangan. Studi Kessler (2009) misalnya menyoroti persoalan tata kelola pasar uang dunia yang didominasi oleh para spekulan keuangan. Ia melukiskan sebab-sebab terjadinya krisis keuangan yang kini sedang melanda dunia sebagai berikut: The sub prime crisis, like previous crises, tells a story of how new investment opportunities emerged, followed by excessive credit expansion. Here, too, we witnessed a constant rise of prices that did not only decouple financial from any real value (if there is such a thing), but also let speculative motives dominate investment decisions. Ultimately, the bubble burst, which led to wide-reaching changes (hal.11). Kutipan tersebut jelas mengandung arti bahwa rasionalitas instrumental telah berkembang secara membabi buta meninggalkan rasionalitas nilai dan tradisi. Krisis keuangan ini meninggalkan luka mendalam bukan saja masyarakat biasa di negara maju namun juga di negara yang sedang berkembang. Pemutusan hubungan kerja, kenaikan harga kebutuhan pokok dan barang konsumsi yang kini mulai dialami di negara yang sedang berkembang dapat menggoyahkan dan malahan merusak dasar-dasar institusi masyarakat. Rasionalitas instrumental tidak boleh lagi dipandang sekadar sebagai pendorong efisiensi ekonomi, namun juga harus dipandang sebagai “binatang buas” yang harus dikendalikan, dan didisiplinkan agar menjadi lebih beradab. PE N U T U P

Uang, sebagai institusi sosial, telah lama menjadi objek kajian sosiologi. Di samping menjadi mesin perubahan menuju peradaban modern, uang juga dapat menggoyahkan dan malahan merusak dasar-dasar institusi masyarakat. Salah satu sumbangan penting sosiologi keuangan adalah memandang setiap ide dan konsep dalam bentuk plural. Krisis keuangan dunia menunjukkan betapa rapuhnya bila ide dan konsep dipandang dalam bentuk singular. Krisis ini juga menunjukkan rapuhnya dominasi pasar dalam kehidupan ekonomi sehari-hari. Kini sudah saatnya meninjau ulang konsep rasionalitas instrumental atau pasar dan hubungannya dengan negara. Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 1, Ja nu a ri 2010: 59- 67

S osiologi K euangan

| 67

DA F TA R pustaka

Achwan, Rochman. 2007. “Microfinance Institutions, Social Capital and Peace Building: Evidence from West Kalimantan, Indonesia”. Paper yang diajukan pada sesi tentang standar hidup dalam “the 3rd International Conference on Gross National Happiness,” University of Chulalongkorn, Bangkok, Thailand, 22-28 November 2007. Cetina, Karin Knorr. 2007. “Economic Sociology and the Sociology of Finance: Four Distinctions, Two Developments, One Field?” European Economic Sociology Electronic Newsletter, Vol. 8, No. 3. Kessler, Oliver. 2009. “Towards an Economic Sociology of the Subprime Crisis?” European Economic Sociolog y Electronic Newsletter, Vol. 10, No. 2. Mizruhi, Mark S. dan Linda Bewster Streans. 1994. “Money, banking, and Financial Markets,” dalam Niel Smelser dan Richard Swedberg, eds., The Handbook of Economic Sociology. Princeton: Princeton University Press. Power, Michael. 2009. “Opportunity Out of Crisis: Economic Sociology and the Analysis of Risk, Regulation and Security.” European Economic Sociology Electronic Newsletter, Vol. 10, No. 2. Rosengard, Jay K, Richard H Patten, Don E Johnston Jr, dan Widjojo Koesoemo. 2007 “The Promise and the Peril of Microfinance Institutions in Indonesia.” Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 43, No.1: 87-112. Seibel, Hans Dieter, Gilbert Llanto, dan Benjamin Quinos. 2000. “How Values Create Value: Social Capital in Microfinance The Case of the Philippines.” Working paper. Development Research Center, University of Cologne, Germany.

Ju rna l Sosiolog i M A S YA R A K AT Vol. 15, No. 1, Ja nu a ri 2010: 59- 67